Upaya Penanggulangan Pengangguran Kaum M

Upaya Penanggulangan Pengangguran Kaum Muda Lewat
Peningkatan Kualitas Pendidikan dan Keterampilan
Pendahuluan
Akhir tahun 2010, Organisasi untuk Kerja sama dan Pengembangan Ekonomi (Organization
for Economic Co-operation and Development/ OECD) merilis laporan bahwa perekonomian
global pulih, tapi pengangguran kaum muda semakin memburuk. Laporan organisasi yang
beranggotakan lebih dari 30 negara itu menyebutkan, jumlah pengangguran kaum muda
kemungkinan lebih dari dua kali lipat dari rata-rata jumlah pengangguran.
Secara keseluruhan di wilayah OECD, dalam tiga tahun hingga kuartal ketiga 2010,
pengangguran di kalangan anak muda (15 – 24 tahun) meningkat 5,5 poin menjadi 18,5 persen.
Di wilayah Eropa meningkat 7,4 poin menjadi 21,1 persen, sedangkan di Amerika Serikat jumlah
pengangguran pemuda 18,2 persen. Sementara di Jepang pengangguran pemuda mencapai 8,8
persen atau 1,2 persen lebih besar dibanding 2007. Laporan OECD mencatat, orang muda jauh
lebih rentan terhadap pengangguran dari pekerja dewasa atau yang lebih tua. Rata-rata jumlah
pengangguran pemuda sebesar 2,7 kali daripada kalangan yang lebih tua.
Kaum muda lebih rentan terhadap pengangguran
Pengangguran bukanlah satu-satunya penderitaan yang dialami kaum muda. Sebab,
banyak juga yang putus sekolah dan mereka tidak lagi terdeteksi dalam statistik angkatan kerja.
Setidaknya ada 16,7 juta orang muda di negara OECD yang sedang bermasalah dalam pekerjaan,
pendidikan, atau pelatihan. Sekitar 6,7 juta orang di antaranya masih mencari kerja, sedangkan
10 juta menyerah untuk mencari pekerjaan.

Laporan ini juga mengatakan, orang muda yang berjuang masuk ke angkatan kerja setelah
meninggalkan sekolah bisa terjebak dalam permasalahan akut. Risikonya termasuk kesulitan
mencari pekerjaan dalam jangka panjang. Mereka kesulitan untuk mengejar perbedaan dengan
rekan-rekan mereka. Orang-orang muda yang meninggalkan sekolah di tahun-tahun mendatang
dituntut berjuang lebih keras dibanding generasi sebelumnya dalam mencari pekerjaan.

1

Mengingat besarnya jumlah pengangguran di tingkat pemuda tidak heran mereka juga rentan
masuk dalam kemiskinan.
Menurut analisa OECD, ada dua kelompok kaum muda yang mengalami kesulitan dalam
menempuh dunia kerja. Pertama, kelompok yang memang memiliki latar belakang kurang bagus
untuk memasuki dunia kerja. Mereka yang tidak memiliki ijazah, datang dari latar belakang
kurang bagus, kaum imigran yang minoritas, atau yang berada di kalangan kurang mampu dan
yang tinggal di daerah terpencil.
Kedua, mereka yang tidak mempunyai kemampuan dan keterampilan khusus. Kelompok
ini menghadapi hambatan yang signifikan untuk mencari pekerjaan yang stabil. Mereka memiliki
kualifikasi, tapi tidak mempunyai keterampilan yang memadai untuk pasar tenaga kerja. Karena
itu, mereka sering bolak-balik menjadi pengangguran.
Mengingat pemuda sering menjadi sasaran pengangguran, OECD berharap pemerintah di

beberapa negara harus memprioritaskan kebijakan-kebijakan yang memberikan hasil efektif.
Menurut laporan yang dipublikasikan pada akhir tahun lalu itu, pemerintah bisa melakukan
program bantuan pekerjaan bagi berbagai kelompok pemuda, seperti yang dilaksanakan di
Denmark, Belanda dan Jepang.
Selain itu, perlu memperkuat program magang serta program pelatihan dan kejuruan bagi
pemuda yang mempunyai keterampilan rendah. Pemerintah juga perlu mendorong perusahaan
mempekerjakan kaum muda. Hal ini dengan menawarkan penargetan subsidi bagi pemuda
berketerampilan rendah.
Kualitas tenaga kerja Indonesia berdasar tingkat pendidikan
Sumber daya manusia seharusnya menjadi kekuatan tersendiri bagi Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia saat ini mencapai lebih dari 237 juta jiwa . Indonesia sementara ini baru
mampu menyediakan lebih banyak tenaga kerja untuk sektor informal.
Hingga sekarang sektor informal masih menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja
Indonesia. Hasil survei Badan Pusat Statistik Februari 2010 memperlihatkan, 68,58 persen (73,67
juta) dari 116 juta angkatan kerja Indonesia pada 2010 terserap di sektor informal. Sisanya, 31,42
persen (33,74 juta) masuk sektor formal. Tingginya penyerapan tenaga kerja di sektor informal
2

sebenarnya memperlihatkan betapa masih rendahnya kualitas tenaga kerja Indonesia. Hal ini
juga tidak lepas dari kompetensi para tenaga kerja, 51 persen berpendidikan sekolah dasar.

Penyerapan tenaga kerja sangat dipengaruhi ketersediaan tenaga kerja. Hasil survei Badan
Pusat Statistik Kuartal pertama tahun 2010 menunjukkan 55,31 juta pekerja (51,50 persen)
memiliki jenjang pendidikan sekolah dasar ke bawah. Hanya 2,89 juta pekerja (2,69 persen)
lulusan diploma dan 4,49 juta pekerja (4,60 persen) bergelar sarjana.
Salah satu pekerjaan rumah yang harus diselesaikan berkaitan dengan ketenagakerjaan di
Indonesia adalah rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM). Survei Badan Pusat Statistik
kuartal pertama 2010 (Seputar Indonesia, Sabtu 3 April 2011) menunjukkan 51,50 persen
angkatan kerja hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah. Dari total angkatan kerja yang
mencapai 116 juta orang, 68,58 persen (73,67 juta) hanya mampu menembus persaingan di
sektor informal. Padahal, kualitas SDM yang baik memberi harapan ada perbaikan dalam
berbagai aspek, dan selanjutnya dapat memajukan negara. Lapangan pekerjaan akan mendapat
supply orang-orang yang betuk-betul ahli di bidangnya.
Fenomena pengangguran terdidik
Harapan untuk menghasilkan SDM yang berkualitas sekarang ini berada salah satunya
berada di pundak dunia pendidikan. Masyarakat pun menyadari bahwa untuk mendapat
pekerjaan yang didambakan harus mengenyam pendidikan yang tinggi. Sayangnya, lembaga
pendidikan acapkali tidak dapat mengabulkan ekspektasi dunia kerja maupun masyarakat.
Lulusan yang mereka hasilkan banyak yang tidak terserap di pasar tenaga kerja. Berbagai alasan
menjadikannya demikian, di antaranya kompetensi yang diajarkan tidak sesuai dengan
kebutuhan dunia usaha.

Survei yang sama memperlihatkan, tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan diploma
dan sarjana mengalami peningkatan masing-masing 2,05 persen dan 1,16 persen dibanding
Agustus 2009. Penyebabnya disinyalir adalah lapangan pekerjaan yang belum mensyaratkan
pendidikan tinggi. Data sebelumnya menyebutkan, selama periode 2004 – 2009, pengangguran
berpendidikan tinggi, baik diploma maupun sarjana, bertambah 529.662 jiwa menjadi 1.115.020
orang. Tiap tahun rata-rata hampir 106.000 lulusan perguruan tinggi menjadi pengangguran.
Kurangnya keterampilan menjadi faktor utama bagi mereka untuk bersaing di pasar tenaga kerja.
3

Lulusan pendidikan menengah atas dan tinggi yang belum mendapatkan kerja sering
disebut pengangguran terdidik. Semakin tahun jumlahnya tidak pernah berkurang. Produk
pendidikan formal seakan gamang memasuki dunia kerja. Belum lagi jumlah mereka yang
semakin besar dan tidak sebanding dengan lowongan kerja yang ditawarkan. Akbatnya mereka
terpaksa menganggur.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, jumlah pengangguran terdidik jauh lebih
besar dibanding yang tidak terdidik. Berdasarkan data BPS per Agustus 2010, jumlahnya 8,32 juta
orang, dan turun 0,27 juta orang dibanding Februari 2010 (8,59 juta orang). Tingkat
pengangguran terbuka (TPT) pada Agustus 2010 sebesar 7,14 persen, lebih rendah dibanding
Agustus 2009 (7,87 persen) dan lebih rendah dibanding Februari 2010 (7,41 persen).
Kendati begitu, jumlah tersebut masih sangat besar dan membuat prihatin, khususnya

bagi kalangan pendidikan dan lembaga pendidikan formal. Karena terbukti, lulusan lembaga
pendidikan ini menjadi penyumbang terbesar dalam angka pengangguran yaitu 3.448.137 orang.
Di tempat kedua diisi jenjang pendidikan menengah pertama 1.657.452 orang dan untuk jenjang
pendidikan dasar (SD/MI) menyumbang 1.522.465 orang. Lulusan program diploma dan
universitas menyumbang angka yang tidak sedikit, yaitu masing-masing 538.186 orang dan
820.020 orang. Sementara pada Februari 2009, BPS mencatat pengangguran terdidik mencapai
9.259.000 orang. Dari jumlah itu, jumlah pengangguran berpendidikan perguruan tinggi
mencapai 626.600 orang, diploma 486.400 orang, SMA kejuruan 1.337.600 orang, SMA dan
sederajat 2.133.600 orang, SMP dan sederajat 2.054.700 orang, serta SD dan sederajat
2.143.700 orang. Sedangkan yang belum lulus pendidikan dasar 416.000 orang dan belum
mengenyam pendidikan sama sekali 60.300 orang.
Pada Agustus 2010, pekerja pada pekerja pada jenjang pendidikan SD ke bawah masih
mendominasi yaitu sekitar 54,5 juta orang (50,38 persen), sedangkan jumlah pekerja dengan
pendidikan tinggi masih relatif kecil. Pekerja dengan pendidikan diploma hanya sekitar 3,0 juta
orang (2,79 persen) dan pekerja dengan pendidikan sarjana hanya sebesar 5,2 juta orang (4,85
persen). Penyerapan tenaga kerja dalam enam bulan terakhir (Februari 2010 – Agustus 2010)
masih didominasi mereka yang berpendidikan rendah.
Di samping itu, besarnya jumlah pengangguran terdidik juga sangat terlihat ketika ada
lowongan kerja atau ada pameran bursa kerja yang sering populer dengan sebutan Job Fair.
4


Mereka menjadikan Job Fair sebagai salah satu tumpuan utama dalam mencari kerja. Besarnya
jumlah pencari kerja terdidik membuat Job Fair harus diadakan berkali-kali pada satu tahun
dalam satu kota. Namun, ketika sampai di bursa kerja, hanya sedikit dari para pemburu kerja
tersebut yang pulang dengan wajah gembira dan puas karena diterima dan mendapatkan
pekerjaan yang diinginkan. Selebihnya, mereka harus pulang dengan tangan hampa. Ada
sejumlah faktor yang menyebabkan hal tersebut. Mulai dari lowongan yang tidak sesuai
keinginan hingga kualifikasi pekerja yang tidak sesuai lowongan yang ada. Belum lagi karena
persaingan yang tinggi sehingga hanya segelintir orang yang bisa tertampung perusahaan yang
menawarkan pekerjaan dalam bursa kerja tersebut.
Bank Dunia melalui laporannya berjudul “Education, Training and Labor Market
Outcomes for Youth in Indonesia” yang dipublikasikan pada Oktober tahun lalu memaparkan
berbagai persoalan yang dialami para remaja lulusan sekolah menengah atas yang hendak
mencari kerja. Dalam laporan Bank Dunia itu disebutkan bahwa transisi dari sekolah ke dunia
kerja merupakan sesuatu yang sulit bagi semua remaja.
Lulusan sekolah menengah dihadapkan dengan kesulitan mencari pekerjaan dan akses
terhadap pekerjaan. Karena ketersediaan pekerjaan dengan keterampilan tidak sesuai
pertumbuhan pencapaian pendidikan. Pekerjaan dan tren gaji merujuk pada produktivitas
rendah, terutama bagi lulusan sekolah menengah yang termasuk ke dalam pekerja terampil
tingkat rendah. Sementara itu, alasan-alasan yang mengakibatkan keterampilan yang kurang

memadai menyebabkan pemberi pekerjaan menilai kualitas dari 25 persen lulusan sekolah
menengah buruk. Keterampilan kognitif sangat rendah bagi sebagian besar populasi. Kemudian,
ada kesenjangan besar dalam keterampilan umum (perilaku, pemecahan masalah dan berpikir).
Apabila keterampilan kognitif, umum, dan kejuruan sangat rendah bagi lulusan sekolah
menengah, cukup andil apabila menganggap bahwa keterampilan ini lebih rendah lagi bagi
mereka yang tidak lulus sekolah.
Keterampilan Paling Dicari Di Dunia Kerja Indonesia (Persen)
Pekerja Dewasa

Jenis Keterampilan

Pekerja Muda

4,2

menulis

5,4

5,2


berbahasa Inggris

3,9

5

15,6

komunikasi

10,5

9,8

kerja tim

14,5

7,1


kepemimpinan

1,9

5,8

manajemen waktu

4,8

8,4

independensi

5,6

4,9

Adaptasi


8,2

7,8

kreatifitas

9,6

4,9

kemampuan berhitung

7,9

7,5

menyelesaikan masalah

6,2


7,1

komputer

9,9

11,1

teknik

10,8

Sumber: Bank Dunia (dalam Seputar Indonesia, 3 April, 2011)

Menurut Bank Dunia, sistem

pelatihan

memegang peranan penting dalam

mengompensasi dan meningkatkan keterampilan. Namun, pada saat ini terfokus dalam pelajaran
dasar, yang berguna bagi mereka yang berpendidikan dan berpenghasilan lebih tinggi.
Bank Dunia memberi sejumlah rekomendasi untuk mendekatkan pendidikan dan dunia
kerja. Cara terbaik untuk meningkatkan outcome pasar tenaga kerja bagi remaja adalah dengan
mencegah putus sekolah sejak dini. Di samping itu, perlunya meningkatkan keterampilan kognitif
para siswa sebelum mereka mencapai pendidikan menengah. Fakta bahwa seringkali lulusan
melamar dan menerima pekerjaan apa saja, meski tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya.
Hal ini memperlihatkan betapa harmonisasi antara dunia kerja dengan pendidikan masih perlu
ditingkatkan.
Ada beberapa langkah yang ditempuh guna mencetak calon tenaga kerja berkualitas
sekaligus, sekaligus sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja. Di antaranya memperbanyak jumlah
sekolah menengah kejuruan (SMK). Langkah tersebut guna memenuhi kebutuhan dunia usaha
akan tenaga terampil. Selain itu, pengembangan SMK juga memberi keuntungan lain karena
alumninya memiliki bekal untuk menjadi entrepreneur. Namun, ini tidak mudah sebab
pendidikan SMK membutuhkan biaya cukup mahal dan memerlukan praktik yang banyak. Karena
6

itu, hubungan dengan dunia usaha sebagai tempat praktik, termasuk memperkaya kurikulum
mereka sendiri menjadi tantangan yang harus dihadapi pengelola SMK.
Untuk meningkatkan kualitas lulusan, ke depan SMK diarahkan pada dua jalur. Pertama,
jalur pemagangan penuh sehingga dalam setahun para siswa benar-benar berkonsentrasi dalam
pemagangan di satu bidang industri tertentu. Kedua, pemagangan satu tahun dilanjutkan dengan
ke jenjang pendidikan tinggi. Setelah itu bekerja. Atau pemagangan lantas bekerja dan kemudian
masuk untuk menyelesaikan pendidikan tinggi sehingga kompetensi siswa bisa betul-betul
tuntas. Di sini penting ditekankan perlunya link dengan para pengusaha misalnya untuk
pemagangan dan fasilitasi pelatihan khusus.
Persaingan di Luar Negeri
Di era globalisasi, pasar tenaga kerja semakin luas, sehingga tingkat persaingan juga kian
ketat dan kompetitif. Seiring dengan hal itu, tuntutan dunia kerja meningkat pula sehingga
keberadaan sumber daya manusia yang berkualitas mutlak mereka cari.
Keberadaan SDM yang berkualitas akan berdampak pada peningkatan mutu barang dan
jasa. Tak heran jika terjadi migrasi tenaga kerja internasional. Fenomena ini menimpa sebagian
besar negara di dunia sehingga menuntut masing-masing negara memiliki daya saing yang tinggi
terkait SDM-nya. Kondisi tenaga kerja Indonesia sekarang masih banyak membutuhkan
peningkatan. Apalagi mereka yang hendak bersaing di pasar luar negeri. Sejauh ini minat warga
negara Indonesia untuk mengais rezeki di negeri orang cukup besar, mencapai 5 juta orang.
Mereka memanfaatkan tingginya kebutuhan akan pekerja domestik di sejumlah negara seperti
Malaysia, Hong Kong dan Taiwan, serta negara-negara di Timur Tengah. Sekitar 30-40 persen dari
5 juta pekerja Indonesia di luar negeri bekerja di sektor formal, sisanya pekerja domestik. Hal ini
tentu bukanlah situasi yang patut dibanggakan oleh negara dengan angkatan kerja mencapai 116
juta orang. Apalagi, peluang menembus sektor formal sebenarnya cukup terbuka. Di antaranya
yang bisa dimasuki tenaga kerja asal Indonesia yaitu kostruksi, industri, anak buah kapal, dan
para medis. Malaysia, seperti diberitakan Antara (26 Maret 2011), juga telah mengajukan
permintaan 26.600 TKI sektor formal. Sejauh ini Indonesia baru bisa merealisasikan 6000
pekerja.

7

Proses pengurusan TKI sektor formal ini perlu dilakukan secara cermat agar mereka yang
dipekerjakan di sana benar-benar sesuai kriteria yang diperlukan dan mengikuti peraturan yang
berlaku di kedua negara. Kementrian tenaga kerja dan transmigrasi juga bertekad akan
melakukan sertifikasi standar internasional, terutama untuk kebutuhan industri dan jasa. Usaha
meningkatkan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar kerja internasional seyogianya tidak
melupakan daya tahan agar seorang tenaga kerja tidak mudah terbujuk rayuan bekerja di luar
negeri. Selama ini banyak tenaga berkualitas yang memilih bekerja di luar negeri karena
dianggap menghasilkan pendapatan yang lebih besar. Salah satu caranya dengan mendorong
perusahaan agar bersedia membayar mahal tenaga kerja berkualitas.

Daftar Pustaka

Buchari Alma, Kewirausahaan, Bandung: Alfabeta, 2007
Ciputra, Pendidikan Kewirausahaan Untuk Menyelesaikan Masalah Kemiskinan dan
Pengangguran di Indonesia. Jakarta, 2007.
D. Sudjana, Manajemen Program Pendidikan untuk Pendidikan Non Formal dan
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : Falah Production, 2004.
M Ikhsan Modjo, Pengangguran Terdidik Apa yang Salah?
http://www.kompas.com/kompascetak/0611/15/opini/3096718.htm diakses 17/4/2011.
Pengentasan Pengangguran Terdidik Butuh Langkah Nyata, www.republika.co.id, diakses
17/4/2011.

8