Elipsis dalam Bahasa al Quran

USLUB AL-ḤAŻF (ELIPSIS) DALAM AL-QUR’AN

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Semantik
Dosen Pengampu:
Dr. H. Mardjoko Idris, MA

Disusun oleh:
Rifqi Aulia Rahman
1320411182

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PRODI PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

I. Pendahuluan
Sebagai kitab suci yang autentik dan sempurna, wajar jika al-Qur’an dianggap
sakral dan harus diterima sebagai doktrin yang didekati secara dogmatis-ideologis.

Namun, tentulah akan lebih memuaskan akal dan melegakan hati, jika al-Qur’an didekati
melalui metodologi ilmiah-rasional. Untuk itu, ayat-ayat al-Qur’an, terutama yang
menimbulkan pemahaman ambigu (mutasyabihat) harus mendapat sentuhan makna
esoteris (takwil). Perangkat takwil ini melahirkan beragam interpretasi tentang
implementasi kajian bahasa, dan di antara fokus kajian pemikir belakangan adalah kajian
makna dalam gaya bahasa Hadzf (elipsis). Di sinilah pentingnya penalaran terhadap ayatayat al-Qur’an.
Tentu saja, dalam upaya tersebut harus ada syarat dan kaidah-kaidah yang dapat
dipertanggungjawabkan secara etik-akademis, demi meminimalisasi penafsiran al-Qur’an
dari bias-bias penafsir yang tak terhindarkan. As-Suyuti misalnya, mengajukan sekian
syarat kualifikasi yang harus dipenuhi oleh penafsir, di antaranya adalah penguasaan
terhadap ilmu Balaghah, sebagai lanjutan dari penguasaan terhadap bahasa Arab. Di
antara isu yang didiskusikan oleh Suyuti dalam makalah ini adalah persoalan hadzf
(elipsis), yang secara khusus dikaji di bawah spektrum ijaz dan ithnab.1
Jika uslub hadzf dijadikan sebagai alat tertentu untuk pengayaan bahasa, setiap
pemahaman terhadap hadzf dan aplikasinya tidak mungkin terpisahkan dari deskripsi apa
pun tentang karakteristik bahasa dan maknanya. Deskripsi tentang karakteristik bahasa
akan menjadi sempurna dalam kerangka pertumbuhan akal dalam perspektif
pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, lebih khusus makalah ini akan
menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan pembahasan, di antaranya jenis-jenis
uslub hadzf dalam al-Qur’an dan bagaimana implikasi makna yang digali dari gaya

bahasa tersebut.

1 Azam Bachtiar, Al-Hadzf atau Al-Ijaz:Telaah Krisis atas Konsep Ellipsis dalam Kesarjanaan Islam,
Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis vol.13 no.1 Januari 2012, hlm.78

1

II. Pembahasan
A. Definisi Hadzf (Elipsis) dan Awal Kemunculannya
Merujuk kepada kamus lisan al-arab, makna leksikal yang ditunjukkan oleh
kata hadzf berkisar kepada tiga makna:2
.‫ قرطعه من طررفه‬:‫ حرذف الشيء ريحذفه؛ أي‬:‫الرقططعع؛ إذ نقول كما جاء في لسان العرب‬
.‫ قرطعه‬:‫ "قرطف الشيء ريقطفه؛ أي‬:‫ وهو أيضضا بمعنى القطع؛ كما رذركر صاحب اللسان‬،‫الرقططعف‬
.‫ وال ط رططرح كذلك السقاط‬،‫ال ط رططرح؛ إذ إنه ل عيحرذف شيء إل طر عطررح‬

o
o
o

Secara bahasa, Hadzf yaitu kondisi terputus, terbuang, dan gugur. Melihat definisi

lingustik yang disampaikan, at-Tahanawi dan as-Syamari lebih memilih kata
‫( القققسققققاط‬eliminasi) untuk mendefinisikan uslub hadzf.3 Hal ini pada gilirannya
mengasumsikan, dalam kasus klausa tentunya, bahwa sebelum diberlakukannya
hadzf, terdapat huruf, kata, atau kalimat tertentu yang kemudian dieliminasi.
Sebab, tidak logis, ada sesuatu yang dibuang namun dikatakan bahwa ia tidak
eksis sebelumnya. Sedangkan menurut istilah hadzf adalah
‫ أو للرعلم به وكونه معروضفا‬،‫إسقاط وططرح جزءء من الكلم أو الستغناء عنه؛ لدليل رد طرل عليه‬
Yang artinya menggugurkan sebagian dari ungkapan atau tidak dibutuhkannya
sebagian ungkapan tersebut, karena ada bukti yang menunjukkan terbuangnya
sesuatu itu, atau karena sudah difahaminya hal tersebut, atau juga karena sangat
familiarnya hal tersebut.
Sementara itu Zarkasyi juga menambahkan definisi operasional elipsis,
yaitu menanggalkan sebagian atau keseluruhan lafadz karena suatu pertimbangan
atau argumen tertentu. Frase “pertimbangan tertentu” dalam definisi tersebut,
mempertegas asumsi yang telah disinggung di muka, bahwa sebelumnya betulbetul ada lafadz dari rangkaian klausa, yang kemudian dieliminasi karena
argumentasi tertentu.4
Oleh karenanya, penulis mempertemukan beberapa asumsi definitif di atas
bahwa elipsis adalah ungkapan tertentu yang menghilangkan sebagian kata-kata
atau kalimatnya dengan alasan yang tertentu pula.
Menurut Nur Kholis Setiawan, terkait mekanisme pelahiran makna,

interaksi para ahli dan sarjana muslim (sejak paruh pertama abad kedua) terhadap
al-Qur’an,

yang

lebih

menekankan

aspek

kebahasaan

dan

susastra,

menginformasikan kepada kita adanya ide dan gagasan tentang elipsis. Karya2 Ibnu Mandzur, Lisan al-arab, juz II (Kairo: Dar Al Ma’arif), hlm.810
3Azam Bachtiar, Al-Hadzf atau Al-Ijaz...hlm. 80
4 Ibid


2

karya yang bertitel Ma’ani al-Qur’an, yang menelaah aspek mikrostruktur alQur’an dan kemungkinan perubahan makna akibat perubahan struktur kalimat,
memuat ide tersebut. Menurutnya, sarjana paling awal dalam isu ini adalah
Hamzah al-Kisa’i (w. 189/805).5
Penelitian Nur Kholis dalam batas-batas tertentu, hanya menunjukkan
elipsis sebagai sebuah medium untuk memahami dan memecahkan problem
klausa dan mengungkap rahasia-rahasianya dari perspektif struktur maupun
makna. Demikian juga penelitian as-Syamari, hanya membedah dari perspektif
tersebut. Sampai di sini, kita belum mengetahui motif-motif lain yang mungkin
turut mendasari dan membentuk ide tentang elipsis.
Namun jika beralih menuju abad keempat, kita dapati Abu Bakar alBaqilani (w.403 H) berusaha mempertahankan dan meneguhkan kemukjizatan alQur’an dalam konteks perdebatan dengan kaum atheis lewat tiga aspek,
memasukkan elipsis di bawah naungan Ijaz. Dimana ijaz merupakan turunan dari
aspek ketiga mukjizat al-Qur’an, yaitu keindahan susunan dan tingkat
sastrawinya.
Pada akhir abad keempat, seorang pakar sastra dan teolog Asy’arian
terkemuka, Abdul Qohir al-Jurjani (w.474 H) menyuguhkan karya yang bertitel
Dalail al-I’jaz yang menelaah elipsis, bahkan secara hiperbolis, Jurjani
mengantarkan kajian elipsis dengan statmen seperti di bawah ini :

“Hadzf merupakan metode yang sangat tajam, sebuah cara penanganan
yang halus, sebuah hal yang luar biasa dan mirip magis. Di dalamnya
Anda melihat bahwa tidak menyebutkan sesuatu merupakan hal yang
dianggap lebih fasih ketimbang menyebutkannya, menahan untuk
mengungkapkan dianggap lebih informatif ketimbang mengungkapnya,
dan Anda menemukan diri Anda lebih fasih tentang sesuatu jika Anda
tidak membicarakannya, dan Anda menemukan penjelasan yang lebih
lengkap jika Anda tidak menjelaskannya.”6
Barangkali, formulasi kaidah-kaidah elipsis secara matang dimapankan oleh
Jamaluddin Abdullah bin Yusuf bin Ahmad bin Abdullah bin Hisyam al-Anshari,
yang lebih dikenal sebagai Ibn Hisyam (708-761 H), dalam karyanya yang kelak
menjadi pegangan bagi generasi sesudahnya, yaitu Mughni al-Labib. Karya ini
5 Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, cet II (Yogyakarta:eLSAQ Press, 2006), hlm.
147-150
6 Abdul Qohir Al Jurjani, Dalailul I’jaz, maktabah syamilah vol. II, hlm. 170

3

ditulis murni untuk kepentingan akademis, sistematisasi dan koreksi atas
kesalahan-kesalahan gramatik kasus I'rab yang menggejala kala itu.7

B. Klasifikasi Hadzf
Adapun secara ijmaly, tipologi hadzf dalam terminologi bahasa arab dibagi
menjadi dua, yaitu:8
- Konteks dimana mahdzuf bisa diperlihatkan atau diperjelas dengan bantuan
I’rob, seperti ungkapan ahlan wa sahlan, akan ketahuan bahwa ada yang me

-

nashab kan ketika dii’rob. Hasil penerawangan i’rob nya adalah
‫جئت اهل ونزلت مكانا سهل‬
Konteks dimana mahdzuf tidak bisa diperjelas walaupun dengan bantuan
I’rob (gramatika). Namun bisa diketahui posisinya dengan jelas jika ditelusuri
lewat semantika tuturannya, seperti ungkapan
‫ أصله يعطي ما يشاء ويمنع ما يشاء‬، ‫يعطي ويمنع‬
Klasifikasi yang berbeda dipaparkan oleh Suyuti. Dia mencatat ada

beberapa bentuk elipsis, yakni:
1. Iqtita’, yaitu menghilangkan sebagian partikel huruf dalam satu kata, seperti
dalam potongan ayat surat al-Maidah : 6, (‫)وامسحوا برؤسكم‬, menurutnya huruf
‫ ب‬bermula dari kata ‫ بعض‬. faedah tidak dituliskannya kata ‫ بعض‬secara utuh

bertujuan untuk memberikan porsi ijtihad bagi fuqaha’ dalam memutuskan
suatu hukum, dalam kasus ini adalah mengusap rambut kepala. Oleh
karenanya, membasuh kepala dalam konteks wudlu terdapat beberapa
mazhab, ada yang mengharuskan diusap semua helai rambut tersebut,
selanjutnya ada juga yang mencukupkan mengusap hanya pada sebagian
rambut saja.
2. Ikhtifa’, yaitu penuturan salah satu dari dua materi atau lebih, yang memiliki
relasi konjungsional yang kuat, karena dianggap cukup mewakili, seperti
dalam potongan ayat surat an-Nahl : 81, (‫)سرابيل تقيكم الحر‬. Menurutnya tidak
disebutkan perbandingan dari kata ‫ الحر‬yaitu ‫ البرد‬dikarenakan yang menjadi
sasaran pembicaraan itu bangsa Arab, yang hidup di daerah panas dan tandus,
dan tentu saja perlindungan dari “panas” lebih mereka butuhkan ketimbang
“dingin”. Alasan selanjutnya, dikarenakan perlindungan dari “dingin” telah
dijelaskan dalam ayat sebelumnya, an-Nahl ayat 80 dan 5.
7 Azam Bachtiar, Al-Hadzf atau Al-Ijaz...hlm. 83-84
8 Ahmad al-hasyimi. Jawahir al-Balaghoh. (Beirut : maktabah ashriyah). hlm. 103

4

3. Ihtibak, yakni terkumpulnya dua hal yang berlawanan dalam satu ungkapan,

lalu dieliminir salah satunya sebagai petanda atau penunjuk pada yang lain.
Seperti yang dicontohkan dalam kisah nabi Musa pada surat an-Naml : 12,
‫وأدخل يدك فى جيبك تخرج بيضاء‬
Menurutnya ada kata (‫)غير بيضاء‬, sebab warna tangan Musa belum putih
(bersinar) sebelum dimasukkan ke kantong.
4. Ikhtizal, menghilangkan satu kata atau lebih, baik nomina, verba, atau
konjungsi.9 Contoh yang diajukan Suyuti seperti penanggalan konjungsi (‫)أن‬
dalam potongan ayat surat ar-Rum ayat 24 ( ‫ومن آياته يريكم البرق‬...), kalau
melihat secara gramatika, semestinya ada ‘an mashdariyyah’ yang
mendahului kata yurikum. Argumentasinya ialah memang benar ‘an
mashdariyyah’ dibuang dan itu menjadikan fi’ilnya dirafa’. Hal itu didukung
oleh kata sebelumnya yaitu huruf min yang berfaidah tab’idh (parsial).10
C. Faktor Penyebab Hadzf
Hukum asal menyatakan bahwa ketika suatu makna dibutuhkan oleh
sami’(pendengar), maka sejatinya lafadz yang menjelaskan makna tersebut harus
diungkapkan dalam suatu pernyataan. Sebaliknya, ketika makna sudah diketahui
dengan jelas olehnya, maka lafadz yang menjelaskan makna tersebut ditiadakan
(Hadzf). Sementara itu, jika terjadi suatu keadaan di luar frame hukum asal, maka
hal tersebut tidak lantas mengubah konteks hukum asal, kecuali karena beberapa
alasan.11

Alasan dan faktor yang menyebabkan tidak dituturkannya lafadz di
antaranya:
-

-

Menyamarkan suatu hal kepada selain mukhotob (orang kedua), misalnya “‫”أقبل‬
dengan maksud “Ali”
Kondisi yang sempit, adakalanya ketika sedang sakit, seperti syair di bawah ini
‫ سهر دائم وحزن طويل‬# ‫ كيف أنت ؟ قلت عليل‬: ‫قال لي‬
Dan juga ketika kawatir hilangnya kesempatan, seperti ucapan pemburu
ketika melihat hewan buruannya, “‫”!!!غزال‬
Menggeneralisasi objek secara umum, seperti dalam QS. Yunus:10

9 Azam Bachtiar, Al-Hadzf atau Al-Ijaz...hlm. 85
10At-Tafsir at-Thobari juz 20 hlm. 87, maktabah as-Syamilah
11 Hifni nasif, dkk, Syarah durus al Balaghoh, (Kairo: Dar ibn al juzy, 2008), hlm. 55-56

5


       
   
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang yang
dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam)

Objek seruan di atas tidak disebutkan. Oleh karenanya objek dalam ayat ini
menjadi lebih umum yaitu semua hamba Allah
-

Menempatkan kata kerja transitif ke intransitif, karena tidak adanya kaitan
maksud kata kerja tersebut dengan objek, seperti dalam ayat

















      
Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orangorang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal lah yang
dapat menerima pelajaran.

Statmen ini sependapat dengan apa yang dikatakan Zamakhsyari 12, ketika beliau
menganalisis ayat 23 dari surat al-Qoshos :
       
     
         
      
Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana
sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang
menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah maksudmu (dengan
berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami tidak dapat
meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu
memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah
lanjut umurnya".

Beliau menyatakan, bahwa objek dalam yasquun, tadzudaan, dan nasqi tidak
disebutkan, padahal ketiga kata kerja tersebut transitif. Alasan yang diutarakannya
sama dengan pernyataan di awal, bahwa kata kerja tersebut tidak ada keterkaitan
makna dengan objek, atau dalam pernyataan Zamakhsyari, yang menjadi main
aims bukan objeknya, tapi kata kerjanya itu sendiri.
12 Rojak ‘Ied, Falsafatul Balaghoh baina at-taqniyah wa at-tathowur, cet. II (Syiria:Mansyaat almaarif),
hlm. 86

6

-

Bersandarnya kata kerja dengan naib al fail karena alasan menyamarkan pelaku
utama, atau karena telah diketahuinya pelaku utama dengan jelas, atau justru tidak
diketahuinya dengan benar, seperti:
‫خلق النسان ضعيفا‬
Dalam potongan ayat tersebut, pelaku (fa’il) nya tidak disebutkan (majhul),
karena sudah sangat jelas bahwa pencipta manusia adalah Allah SWT.

D. Hadzf dan Ijaz
Terminologi hadzf juga masuk dalam sub pembahasan ijaz13,dalam
definisinya ijaz hadzf adalah ijaz dengan cara membuang sebagian dari
pernyataan dengan tetap tidak mengurangi makna yang dimaksudkan, dan dengan
syarat terdapat qarinah (tanda) yang menunjukkan adanya perkataan yang
dibuang. Apabila tidak ada qarinah dalam pernyataan tersebut, maka hal itu tidak
bisa dibenarkan.
Ungkapan yang dibuang dalam kalimat ijaz bisa bermacam-macam, antara
lain:14
1. Huruf, dalam pembahasan ini terdapat beberapa huruf yang sering dibuang
dalam al-Qur’an, seperti alif, wawu, ya’, nun, ta’, dan lam. Seperti dalam
potongan firman Allah surat Maryam : 20,
... ‫و لم أك بغيا‬..
Pada ungkapan ayat di atas tepatnya pada kata ‫ أك‬ada huruf yang dibuang
yaitu ‫ ن‬, yang aslinya ‫ولم أكن‬
Begitu juga dengan contoh huruf lain, seperti kalimat yang sering dilafalkan
oleh orang Islam pada umumnya ‫بسم الله الرحمن الرحيم‬. Alif dalam kata ismun
dibuang karena alasan meringkas dan oleh karena seringnya diucapkan.15
2. Kata isim yang berfungsi sebagai mudhof, seperti firman Allah SWT:
13 Istilah untuk ungkapan yang singkat, padat, dan tak terbantahkan
14 Ahmad al-hasyimi. Jawahir...... hlm. 199-200
15 Muhammad Syamlul, I’jazu rosmi Al-Qur’an, (Kairo : Dar Assalam), hlm. 31

7

‫و جاهدوا في الله حق جهاده‬
Artinya : “Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenarbenarnya.”(QS.Al-Hajj:78)
Pada ayat di atas terdapat kata yang dibuang, yaitu kata ‫ سبيل‬yang terdapat
pada ungkapan ‫ في سبيل الله‬. Kata yang dibuang pada ayat tersebut berfungsi
sebagai mudhof. Penjelasan semantisnya demikian, kata sabil tidak dituliskan
dalam ayat itu agar jihad dapat dimaknai secara holistik, asal tertuju dan diniati
untuk Allah SWT semata. Di samping jihad secara fisik, memerangi orang
kafir, munafiq, dan murtad, juga ada jihad memerangi hawa nafsu, jihad qolb
dengan mensucikannya dari kuduniawian, dan jihad ruh dengan mengosongkan
wujud makhluk yang fana dan menyatukannya dengan Zat yang qadim.16
3. Kata isim berfungsi sebagai mudhof ‘ilaih, seperti firman Allah SWT :
‫و واعدنا موسى ثلثين ليلة و اتممناها بعشر‬
Artinya : “Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan taurat) sesudah
berlalu waktu tiga puluh malam,dan Kami sempurnakan jumlah malam itu
dengan sepuluh (malam lagi).”(QS.Al-A’raf:142)
Pada ayat di atas terdapat kata yang dibuang yaitu pada ungkapan ‫بعشر ليال‬.
Pada ungkapan tersebut kata yang dibuang adalah ‫ ليال‬. Kata tersebut berfungsi
sebagai mudhof ‘ilaih. Alasan terbuangnya kata tersebut adalah sudah
diketahuinya maksud dari pembicaraan, karena sudah dijelaskan pula dalam
ayat sebelumnya, yaitu dalam surat al-Baqoroh:5117
     
    
 
4. Kata isim yang berfungsi sebagai maushuf, seperti terdapat dalam firman Allah
SWT :
16 At-Tafsir at-Alusi juz 13 hlm. 155, maktabah as-Syamilah
17 At-Tafsir as-Sya’rawi juz 1 hlm. 3035, maktabah as-Syamilah

8

‫إل من تاب و عمل صالحا‬
Artinya : “Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal dengan amal
yang salih.”(QS.Maryam:60)
Kata yang dibuang terdapat pada ungkapan ‫ وعمل صلحا‬. Kata yang dibuang
adalah ‫ عمل‬sehingga kalimat lengkap pada ayat tersebut adalah ‫عمل‬
‫ صالحا وعمل‬. Kata ‫ عمل‬pada ayat di atas berfungsi sebagai maushuf.
5. Kata isim yang berfungsi sebagai sifat, seperti firman Allah SWT :
‫فزادتهم رجسا إلي رجسهم‬
Artinya : “Maka dengan surah itu bertambah kekafiran mereka di samping
kekafirannya (yang telah ada).” (QS.At-Taubah:125).
Kata yang dibuang pada ayat di atas adalah ‫ مضافا‬, sehingga lengkapnya
adalah ‫ مضافا إلي رجسهم‬. Ada keterkaitan antara rijsan yang pertama dan kedua.
Kata yang pertama dimaksud akhlak biadab orang kafir yang berusaha
mendustakan surat yang telah turun. Adapun kata yang kedua diartikan sikap
dengki, permusuhan, berbagai tipu daya orang kafir. Dan sikap yang tercela
dari orang kafir itu menjadi berlipat-lipat ketika turunnya ayat-ayat yang
baru.18
6. Perangkat syarat, seperti firman Allah :
‫إتبعوني يحببكم الله‬
Artinya : ”Ikutilah Aku, (bila kamu mengikuti aku), niscaya Allah mengasihi
kamu.”(QS.Ali Imran:31)
Pada ayat di atas kata yang dibuang adalah ‫فإن تتبعوني‬, sehingga lengkapnya
adalah ‫إتبعوني فإن تتبعوني‬.....
7. Frase syarat-jawab, seperti firman Allah SWT :

18 At-Tafsir al-Fakhrurrazi juz 1 hlm. 2314, maktabah as-Syamilah

9

‫ولو تري إذ وقفوا على النار‬
Artinya : “Dan jika kamu (Muhammad) melihat ketika mereka dihadapkan ke
neraka, (tentulah kamu melihat suatu peristiwa yang mengharukan.”(QS.AlAn’am:27)
Pada ayat di atas ungkapan yang dibuang adalah ‫ لرأيت امر فظيعا‬yang berfungsi
sebagai jawab

syarat

dengan

alasan

menghindarkan

pemaknaan

dan

penjustifikasian subjektif pendengar, padahal maksud dari pembuangan itu
agar ada semacam upaya tahwil (takwil yang bisa didramatisir jawabannya).19
8. Kata sebagai musnad, seperti firman Allah SWT :
‫و لئن سألتهم من خلق السموات والرض ليقولن الله‬
Artinya : “Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka :”siapakah
yang menciptakan langit dan bumi ?” tentu mereka akan menjawab: (yang
menciptakannya) Allah.”
Pada ayat di atas lafal yang dibuang adalah ‫ خلقهن الله‬. Ungkapan
‫ خلقهن‬merupakan musnad dan lafadz ‫ الله‬menjadi musnad ‘ilaih.
9. Berupa lafadz yang bersandar, seperti firman Allah :
‫ل يسأل عما يفعل وهم يسئلون‬
Artinya : “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan mereka lah
akan ditanyai (tentang apa yang mereka perbuat).”(QS.Al-Anbiya’:23)
Lafadz yang dibuang pada ayat di atas adalah ‫عما يفعلون‬
10. Lafadz yang dibuang berupa jumlah, seperti firman Allah SWT :
‫كان الناس أمة واحدة فبعث الله النبيين‬
Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi.”(QS.Al-Baqarah:213)
19 At-Tafsir at-Alusi juz 5 hlm. 284, maktabah as-Syamilah

10

Lafadz yang dibuang diperkirakan ‫فاختلفوا فبعث‬. Jumlah tersebut tidak disebut
karena telah ada ayat sebelumnya yang mempunyai redaksi dan konteks yang
sama20, yaitu ayat
....‫وما كان الناس إل أمة واحدة فاختلفوا‬
11. Lafadz yang dibuang berupa beberapa jumlah, Seperti firman Allah :
‫فأرسلون يوسف أيها الصديق‬
Artinya : ”Maka utuslah aku (kepadanya). setelah pelayan itu berjumpa dengan
Yusuf, dia berseru :Yusuf, wahai orang yang amat terpercaya.”(QS.Yusuf:45)
Pada ayat di atas terdapat beberapa jumlah yang dibuang yaitu
‫فأرسلوني الي يوسف لستعبره الرؤيا فأرسلوه فأتاه و قال له يا يوسف‬
Menurut Roja’ ‘Ied, terbuangnya Jumlah (kalimat) dalam gaya bahasa Ijaz
Hadzf diklasifikasikan menjadi dua bagian21, yaitu :
a. Jumlah yang menjadi akibat dari sebab yang telah ditutur, contoh dalam


QS. Al Anfal : 8,








 

Agar Allah menetapkan yang hak (Islam) dan membatalkan yang batil
(syirik) walaupun orang-orang yang berdosa (musyrik) itu tidak
menyukainya.

Ayat ini menunjukkan akibat dari ayat sebelumnya yang juga hampir mirip
redaksinya,
......      
 
Kedua ayat di atas terkesan hanya mengulangi. Namun ternyata
kandungannya berbeda. Ayat pertama mengandung sebab yang telah
dijanjikan Allah dalam kejadian tersebut, yaitu kemenangan dalam perang
Badr. Adapun ayat kedua merupakan akibat dari ayat pertama. Karena
20 Tantowi, At-tafsir Al-Wasith, Maktabah Syamilah vol.II
21 Rojak ‘Ied, Falsafatul Balaghoh baina at-taqniyah wa at-tathowur, cet. II (Syiria:Mansyaat almaarif),
hlm. 93

11

kemenangan atas musuh-musuh dalam perang Badr telah tercapai,
sampailah pada kejayaan al-Qur’an dan agama Islam.22
b. Jumlah yang menjadi sebab dari akibat yang telah ditutur, contoh dalam
QS. Al Baqoroh:60,
     
     
        
       
  
Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami
berfirman: "Pukul lah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah
daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah
mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah
rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka
bumi dengan berbuat kerusakan.

Dalam ayat tersebut, terkandung makna larangan untuk berbuat kerusakan
di muka bumi. Sementara kaum bani Isra’il tetap melakukan perusakanperusakan tersebut. Maka di ayat sebelumnya telah ada akibat dari
sebab/perbuatan mereka ini,23
‫عرلى ال ط ررذيرن رظل رعموا ررطجضزا رمرن ال طرسرمارء ربرما ركاعنوا ي رطفعسعقورن‬
‫رفأ رن طرزل طرنا ر‬
Oleh karena makalah ini mengacu sepenuhnya kepada pendekatan semantik,
makna dan tujuan retorika ijaz harus juga dibahas. Selain tujuan dan makna gaya
bahasa hadzf yang sudah disebut sebelumnya, uslub ijaz hadzf juga mempunyai
tujuan lain, yaitu untuk meringkas, untuk memudahkan hafalan, memudahkan
pemahaman, menghilangkan perasaan bosan jenuh, dan memperoleh makna yang
banyak dengan ungkapan yang singkat.
Suatu ungkapan akan dinilai baik jika memenuhi syarat-syarat tertentu,
seperti benar secara struktural, tepat dalam diksi kata, dan ungkapan tersebut
dituturkan dalam kondisi yang tepat pula. Kalam ijaz dianggap tepat jika
dituturkan dalam kondisi berikut:24
22 Tantowi, At-tafsir.....
23 Muhammad Mutawalli as-Sya’rawi, At-Tafsir As-Sya’rawi, Maktabah Syamilah vol.II
24 Ali Al-Jarim Dan Musthofa Amin. Al Balaghotul Wadhihah. (Beirut : Dar Al-Maarif). hlm. 242-246

12

1) Mohon belas kasihan
Dalam istilah jawa seorang pengemis yang berkeliling dari satu kampung
ke kampung lain sering menggunakan password dalam meminta :
“kawelasanipun, den/neng”. Ungkapan yang singkat tapi padat makna. Jika
dijabarkan dengan lebih terperinci, mungkin akan menjadi seperti ini :
“pak, anda kan orang yang baik hati. Harta anda lebih melimpah dari pada
kepunyaan kami. Maka kasihanilah kami”, dan sebagainya.
2) Mengadukan keadaan
Sudah menjadi respon natural manusia, ketika seseorang terserang sakit
secara spontan akan mengungkapkan kata “aduh” sebagai ganti rasa
pengaduan yang bertele-tele
3) Permohonan ampun
Begitu juga ketika kesalahan dibuat oleh manusia, kata-kata yang selalu
menghiasi setelahnya – apabila menyadari kesalahan – adalah “ma’af”.
4) Bela sungkawa
Setting kultural yang identik dengan kepiluan, keheningan, sekaligus
kesedihan. Implikasi linguistisnya adalah bahasa-bahasa nasehat yang
ringan dan singkat, motivasi yang tidak panjang lebar sekaligus tidak
membingungkan, dan pelipur musibah yang menentramkan seperti “sabar”.
5) Mencerca dan mencela sesuatu
Dalam percakapan antara penjual dan pembeli di Arab, ketika pembeli
menawar dengan harga yang tidak pantas dan tidak sesuai dengan tarif
penjual, si penjual langsung menjawab, “bakhil anta...”
6) Janji dan ancaman
Ungkapan yang sangat familiar dari orang Jawa ketika dihadapkan dengan
peristiwa yang menuntut komitmen dan implikasinya yaitu “tenan lo!!” dan
“awas nek suloyo!!!”.
7) Surat menyurat formal instansi
Format yang jelas, singkat dan to the point harus digarisbawahi jikalau
sudah berurusan dengan regulasi resmi surat menyurat instansi. Ungkapan
yang muluk-muluk, alur yang kesana kemari, yang lebay susunannya
sangat tidak diperkenankan dalam wilayah ini. Maka dalam instansi resmi,
dikenal istilah memo yang menunjukkan pesan singkat namun resmi,
seperti : “Diharap semua pegawai mengikuti rapat dadakan siang nanti jam
13.30 WIB di ruang pertemuan. terimakasih”
8) Regulasi resmi
13

Regulasi resmi dengan segala otoritasnya harus jami’ dan mani’. Kalau
dalam bahasa penelitian, harus ditempuh melalui metode verifikasi
(pengumpulan bukti-bukti yang mendukung statmen) dan falsifikasi
(pengumpulan bukti yang bertentangan dengan statmen), artinya statmen
regulasi resmi itu harus holistik dan tidak terbantahkan, seperti dasar
falsafah negara kita, Pancasila. Singkat dan padat makna, yang kalau
dijabarkan mendetail tidak akan ada ujungnya, karena akan muncul banyak
perspektif , dan bahkan tendensi, yang bermacam-macam.
9) Mensyukuri nikmat
Terutama orang Islam, yang mempunyai slogan khas ketika menerima
anugerah yang tak terhingga atau ketika terhindar dari malapetaka yang
menimpa, yaitu ungkapan “Alhamdulillah...”
Selanjutnya, penulis juga merasa perlu menambahkan penjelasan terkait
dengan uslub hadzf jika dilihat dari segi kuantitas atau banyaknya sesuatu yang
dibuang. Dalam penjelasan ini, penulis merumuskan ushlub hadzf terbagi menjadi
5 bagian:
1. Hadzf al-harf (huruf), seperti contoh dalam firman Allah QS. Al A’raf:113
       
   
Dan beberapa ahli sihir itu datang kepada Fir'aun mengatakan: "(Apakah)
Sesungguhnya Kami akan mendapat upah, jika kamilah yang menang?"

Di dalam ayat tersebut, ada huruf yang dibuang, yaitu hamzah istifham (‫)أ‬
sebelum huruf ‫إن‬. Argumentasi terbuangnya huruf tersebut adalah para tukang
sihir itu telah yakin bahwa mereka akan menang, oleh karenanya mereka
seakan-akan sudah berhak atas hadiah yang disiapkan oleh Fir’aun.
2. Hadzf al-kalimah (kata), seperti dalam QS. Yunus:10
       
   
Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga), dan menunjuki orang
yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang Lurus (Islam)

14

Kata yang terbuang dalam ayat tersebut berposisi sebagai objek (maf’ul),
dengan maksud menjadi objek dalam ayat ini lebih umum yaitu semua hamba
Allah
3. Hadzf al-ibarah (frase), seperti firman Allah QS. Al Baqoroh:60,
 ....     ....... 
artinya ....lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu"....

Kalimat asli dari struktur tersebut menurut al-Farra, “pukullah dengan
tongkatmu, ‘kemudian Musa memukul tongkatnya’...”. Jadi ada yang
dibuang setelah kata (‫)الحجر‬, yaitu (‫)فضرب‬. Sehingga yang dimaksud adalah
keluarnya mata air tersebut setelah Musa memukulkan tongkatnya, bukan
setelah perintah Tuhan kepada Musa.25
4. Hadzf al-Syarti ( klausa), seperti firman Allah :
‫إتبعواني يحببكم الله‬
Artinya : ”Ikutilah Aku, (bila kamu mengikuti aku), niscaya Allah mengasihi
kamu.”(QS.Ali Imran:31)
Pada ayat di atas, kata yang dibuang adalah ‫فإن تتبعوني‬, sehingga lengkapnya
adalah ‫إتبعوني فإن تتبعوني‬.....
5. Hadzf al-jumlah (kalimat), seperti firman Allah SWT :
‫كان الناس أمة واحدة فبعث الله النبيين‬
Artinya : “Manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan),
maka Allah mengutus para nabi.”(QS.Al-Baqarah:213)
Lafadz yang dibuang diperkirakan ‫فاختلفوا فبعث‬. Jumlah tersebut tidak disebut
karena telah ada ayat sebelumnya yang mempunyai redaksi dan konteks yang
sama26, yaitu ayat ‫وما كان الناس إل أمة واحدة فاختلفوا‬.... .

25 Nur Kholis Setiawan, Al-Qur’an Kitab Sastra......hlm. 153-154
26 Tantowi, At-tafsir ......

15

III. Penutup
Uraian sederhana di atas mengantarkan kita pada konklusi betapa konsep elipsis
ini menempati posisi krusial dalam diskursus retorika (Balaghah), tafsir, ataupun yang
lain. Pendek kata, dalam lingkup kesarjanaan Islam, konsep elipsis yang selalu
diletakkan di bawah spektrum Ijaz, dalam perjalanannya kemudian, digunakan untuk
berbagai kepentingan.
Ada beberapa tipe elipsis yang diperkenalkan oleh sejumlah ilmuwan dengan
referensinya. Dari pembahasan di atas, dapat kita lihat bahwa elipsis biasanya terjadi
dalam susunan-susunan kalimat yang susunan aslinya bisa dipahami dengan beberapa
indikasi ekstra-tekstual, baik dalam frase sebelumnya atau frase sesudahnya. Tujuan
umum elipsis adalah untuk memperpendek atau memperindah frase. Lebih jauh lagi, di
dalam pembahasan tersebut, kita juga menemukan bahwa syarat-syarat elipsis adalah
bahwa pendengar harus sudah mengetahui.
Sebagai tambahan, lahirnya konsep elipsis dalam kajian al-Qur’an yang
diaplikasikan secara luas, menandakan betapa generasi sebelum kita tidak pernah
sungkan menggunakan berbagai approach dalam berinteraksi dengan al-Qur’an. Betapa
pun hasil upaya itu tidak harus disepakati sepenuhnya. Oleh karenanya, sudah
sepantasnya kita mengapresiasi upaya mereka pada satu sisi dengan tetap
mengkritisinya pada sisi yang lain.

16

IV. Daftar Pustaka:
Al-Jarim Ali dan Musthofa Amin, Al Balaghotul Wadhihah, Beirut : Dar Al-Maarif,
1999
Al-Hasyimi Ahmad, Jawahir al-Balaghoh, Beirut : maktabah ashriyah, 1999
Abdul Qohir Al Jurjani, Dalailul I’jaz, maktabah syamilah vol. II
Azam Bachtiar, Al-Hadzf atau Al-Ijaz:Telaah Krisis atas Konsep Ellipsis dalam
Kesarjanaan Islam, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an dan Hadis vol.13 no.1,
Januari 2012
Hifni nasif dkk, Syarah durus al Balaghoh, Kairo: Dar ibn al juzy, 2008
Mandzur Ibnu, Lisan Al-arab, Juz II, Kairo : Dar Al-Maarif
Setiawan Nur Kholis, Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar, cet II Yogyakarta:eLSAQ
Press, 2006
Rojak ‘Ied, Falsafatul Balaghoh baina at-taqniyah wa at-tathowur, cet. II
Syiria:Mansyaat almaarif, tt
Syamlul Muhammad, I’jazu rosmi Al-Qur’an, Kairo : Dar Assalam, 2008
At-tafsir Al-Wasith, Maktabah Syamilah vol.II
At-Tafsir al-Fakhrurrazi, Maktabah as-Syamilah vol.II
At-Tafsir at-Alusi, Maktabah as-Syamilah vol.II
At-Tafsir as-Sya’rawi, Maktabah Syamilah vol.II

17