Polemik Perbandingan Strategi Pemerintah (1)

Polemik Perbandingan Strategi
Pemerintahan Bush dan Obama dalam
Menanggapi Pengayaan Senjata Nuklir
oleh Iran

Nama Kelompok:
Assay Lovelianty Farmin – 1801441114
Arsya Husnan –
Ramadhan Rizki –

BINUS University
2016
BAB I
Latar Belakang
Berbicara mengenai relasi yang terbentuk antara Amerika Serikat (AS) dengan Iran, maka
tak akan jauh dari pemerintahan Bush dan Obama. Pasalnya, Iran merupakan salah satu negara
yang membawa dilema politik untuk AS. Padahal pada masa pemerintahan Bush, Iran sempat
berhubungan baik dengan AS, disebabkan oleh aksi bantuan Iran dalam menekan Taliban dari
Afghanistan pada tahun 2001[ CITATION Ste05 \l 1033 ]. Sayangnya, relasi yang baik ini tidak
bertahan lama. Tepat 2 tahun setelahnya yaitu 2003, Iran berhasil mengubah persepsi baik AS
melalui usahanya dalam mendukung teroris yang berbentuk suplai senjata, perlindungan, dan

pengayaan uranium untuk pembuatan senjata nuklir. Awal pertentangan antara Tehran dan
Washington ini di bawah kepemimpinan Bush sebagai presiden AS kala itu.
George W. Bush menjabat sebanyak dua kali sebagai pemimpin tertinggi AS.
Pemerintahan Bush terkenal dengan agresinya yang cenderung berbentuk militer. Bahkan setelah
tragedi 9/11 di gedung WTC, Bush langsung berkehendak untuk menginvasi Iraq dengan
justifikasi bahwa Iraq telah melindungi teroris. Akan tetapi alasan ini malah menjadi tidak
konsisten, dan malah berubah menjadi isu perlindungan HAM atas rakyat Iraq yang tertindas
oleh pemerintahan “Sadam Hussain”. Penjelasan di atas menjadi relevan dengan isu Iran karena
sebenarnya Iran dan AS berkerjasama untuk menetralisir situasi internal Iraq [ CITATION
Ste05 \l 1033 ]
Menariknya pada tahun 2003, Iran malah berbalik arah mendukung beberapa golongan
yang dilawan oleh AS. Dukungan itu berupa orang-orang terlatih yang bersenjata, dan
memberikan bantuan terhadap golongan islam Shia di Iraq, kemudian diikuti oleh kelompok
ekstrimis Taliban di Afganistan.
Hal-hal yang telah disebutkan di atas hanya awal dari aksi Iran yang kontroversial.
Apabila muncul pertanyaan, mengapa AS sangat menentang Iran dan bahkan aksi perlawanan ini
berlanjut hingga pemerintahan Obama? Kita harus mengetahui sejarah dimana Iran mempunyai

pengaruh yang cukup kuat terhadap beberapa teroris di Timur Tengah. Pengaruhnya tidak hanya
terbatas pada Taliban, namun juga Hezbollah, Palestinian Islamic Jihad, dan Hamas. Iran

memberikan kontribusinya melalui distribusi senjata dengan tujuan tertentu. Salah satunya
adalah melawan Israel.
Namun, alasan yang paling vital adalah pengayaan senjata nuklir yang dilakukan oleh
Tehran. Akibat dari pengayaan senjata nuklir oleh Iran, serta arah politik mereka yang berpihak
kepada kelompok ekstrimis, akhirnya AS terutama di bawah pemerintahan Bush menentukan
bahwa Iran adalah salah satu dari “The axis of evil”. Mengapa? Karena potensi gabungan antara
teroris dan senjata nuklir akan membahayakan stabilitas dan keamanan dunia. Proses negosiasi
antara AS dan Iran pun terus dilanjutkan sampai pemerintahan Obama yang berasal dari partai
Demokrat. Inilah yang akan dibahas oleh karya tulis ini. Dengan presiden yang berbeda, Bush
dan Obama memberikan taktik-taktiknya tersendiri dalam menghadapi Iran.
Rumusan Masalah
Iran merupakan negara yang cukup berpengaruh di Timur Tengah. pengaruh mereka
nyatanya telah mencapai beberapa kelompok ekstrimis di wilayah ini, dan bahkan menaikkan
tingkat pengayaan nuklir hingga hampir mencapai 20% batas pengelolaan uranium. Bush dan
Obama dengan latar belakang variatif (terutama latar belakang partai), mempunyai strategi dan
pendekatan yang berbeda terhadap Iran. Dengan birokrasi yang cukup rumit, diikuti oleh
pengaruh dari orang-orang tertentu di masing-masing partai, akan menjawab pertanyaan
mengapa pemerintahan Bush dan Obama cenderung berperilaku demikian. Sehingga dari sini
disimpulkan satu pertanyaan vital yaitu, “Bagaimana polemik perbandingan strategi
pemerintahan Bush dan Obama dalam menaggapi isu Iran?”

Landasan Teori: Realis dan Konstruktifis
Dalam menjawab pertanyaan yang telah diformulasikan di atas, karya tulis ini
menggunakan kombinasi antara 2 sudut pandang yang saling melengkapi. Pendekatan tersebut
adalah realisme dan konstruktifisme. Salah satu pertanyaan yang menjadi polemik adalah
bagaimana

setiap

kepemimpinan,

Bush

maupun

Obama

mengkonstruksi

masyarakat


domestiknya, dan pola pikir dunia internasional dalam menjustifikasi kebijakan luar negeri
mereka melawan Iran. Seperti halnya realis yang menekankan akan suatu negara yang cenderung

egois dan mementingkan kepentingan nasionalnya sendiri, keputusan Bush maupun Obama
merepresentasikan kepentingan nasional AS yang bertujuan baik untuk mempertahankan,
maupun memperluas kekuatannya. Kekuatan tersebut akan digapai ketika AS berhasil
menyebarkan pengaruhnya.

BAB II
1. Analisa: Perbandingan Birokrasi Politik dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Bush
dan Obama terhadap Isu Iran
Untuk mengetahui bagaimana birokrasi politik di AS, kita patut mengetahui latar
belakang partai dari tiap presiden. George W. Bush merupakan bagian dari partai republik,
dimana partai ini terkenal bersifat konservatif. Oleh karena itu, calon dari pihak republik sering
terlihat memainkan sisi militer/hard power dari pada soft power. Kebalikan dari partai ini,
demokrat menonjolkan visi partainya yang mengarah ke kesejahteraan sosial seperti, pendidikan,
ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Salah satu kandidat demokrat yang berhasil terpilih
adalah Obama. Bahkan Obama telah menjabat sebanyak dua kali atau selama 8 tahun.
Dengan kepentingan yang dipengaruhi oleh partai masing-masing, Bush dalam
menangani Iran lebih menggunakan diplomasi koersif, yaitu negosiasi yang berdasarkan imbalan

dan sangsi. Bahkan di masa pemerintahan Bush, basis militer AS terhitung cukup banyak di
Timur Tengah. Hal ini menyebabkan dunia internasional yang melihat AS berperilaku cukup
agresif. Namun dari semua sanksi yang dikenakan, pemerintahan Bush belum pernah
mengangkat senjata secara langsung untuk melawan Iran. Setidaknya itulah yang diikuti Bush
oleh anjuran atau saran dari sekretaris negaranya, Condi Rice pada tahun 2005 di kepemimpinan
yang kedua[ CITATION Sco05 \l 1033 ].
Pada dasarnya, Condi Rice menyatakan bahwa akan lebih baik merangkul Iran di meja
diplomasi dari pada melakukan perang. Rice menambahkan, jikalau Bush mengambil keputusan
untuk berperang, maka ia sama saja akan menurunkan popularitas AS di mata internasional.
Secara analitis, hal ini benar bahwa sejak invasi AS terhadap Iraq yang dilihat kurang beralasan,
dunia internasional menjadi skeptis akan kepemimpinan AS sebagai negara hegemony. Negara
hegemony setidaknya harus ikut menjaga ketertiban dunia, bukannya memancing peperangan. Di
lain sisi, perang juga merugikan perekonomian negara. Perang tidaklah murah dari segi dana

maupun sumber daya manusia. Inilah yang harus dipikirkan oleh Bush. Lagipula, tak ada
jaminan bahwa penggunaan kekerasan akan lebih efektif dari pada berdiplomasi di atas meja.
Tak hanya Condi Rice yang tidak setuju dengan jalan berperang, seorang agen CIA dari
2006-2009, Michael Hayden menegaskan bahwa perang hanya akan memberikan dampak
katastropik di kawasan Timur Tengah. apa yang dimaksud dari katastropis adalah bagaimana
perang akan menghasilkan bencana lain, berupa konflik baru di kawasan tersebut. Apalagi,

keamanan Timur Tengah sejak awal sudah tidak stabil lagi. Peran teorisme yang merajalela, serta
perang saudara di beberapa tempat membuat kawasan ini sangat rentan. Selain itu, tindakan ini
hanya akan menjustifikasi Iran untuk terus melanjutkan dan mengembangkan program senjata
nuklir sebagai bentuk dari pertahanan dari serangan agresif AS.
Pada masa pemerintahan Barack Obama, walaupun Michael Hayden telah menjadi
mantan agen CIA, ia tetap memberikan nasehatnya terhadap pemerintahan Obama dalam
menghadapi Iran[ CITATION Pet15 \l 1033 ]. Tidak sulit untuk Obama mengikuti anjuran
tersebut, mengingat partai demokrat jarang mengambil jalan militer.
Menimbang banyaknya masukan dari beberapa pihak, kongres AS dari pemerintahan
Obama menyimpulkan adanya 3 alternatif dalam menghadapi Iran[ CITATION Pet15 \l 1033 ].
Pertama, akan diberikan pembatasan terhadap Iran mengenai pengayaan senjata nuklir. Kedua,
akan ada kemungkinan untuk pergi berperang. Namun sekali lagi alternatif kedua ini tidak
dianjurkan oleh banyak pihak. Dan yang terakhir, memberikan sangsi yang lebih berat untuk
Iran. Yang diperdebatkan oleh kongres pada alternatif ketiga ini adalah kemiripan dengan yang
pertama. Hal yang membedakan hanya tingkat beratnya sangsi.
Arkansas Senator Tom Cotton menyarankan kongres melalui media The Atlantic bahwa
mereka harus mengingat kembali tujuan utama dalam menghadapi Iran. Tujuan tersebut adalah
menghentikan pengelolaan uranium ke senjata pemusnah masal. Oleh karena itu, tiap alternatif
yang dijabarkan di atas harus diulas kembali. Dari ketiga alternatif, manakah yang akan
mempermudah jalan mencapai kepentingan nasional AS? Akhirnya, pemerintahan Obama

memutuskan untuk memberikan sangsi yang lebih berat.
2. Faktor Domestik dan Internasional Kebijakan Luar Negeri Bush dan Obama terhadap
Iran

Faktor domestik dan internasional yang mempengaruhi kebijakan luar negeri AS terhadap
Iran sebenarnya saling berkesinambungan. Pertama dari sisi internal tepat setelah tragedi 9/11,
pemerintahan Bush yang bertanggung jawab atas bobolnya sistem keamanan nasional akhirnya
mengambil suatu kebijakan untuk melawan teroris di seluruh dunia. Salah satu istilah yang
terkenal saat itu adalah “War on terror”. Oleh karena itulah AS kala itu melakukan banyak agresi
terutama ke kawasan Timur Tengah yang dipercaya menjadi sarang teroris. Agresi yang
diimplementasikan oleh AS juga merupakan pembuktian terhadap warga negaranya sendiri kalau
AS bisa mempertahankan ketahanan nasional dan menanggapi serangan yang terjadi.
Di saat yang sama, Iran malah mendukung beberapa kelompok teroris yang telah
disebutkan sebelumnya. Taliban dari Afghanistan, Hamas, dan Hazbulloh dari Libya. Jelas sekali
apa yang dilakukan oleh Iran bertentangan dengan kebijakan luar negeri AS saat itu. Secara
instan, Iran menjadi sumber permasalahan baru. Bahayanya, Iran berkontribusi dalam pelatihan,
perlindungan, supplai senjata, maupun secara finansial terhadap kelompok-kelompok ekstrimis
tersebut. dukungan mereka diiringi oleh pengembangan senjata nuklir yang jelas berbahaya
apabila jatuh ke tangan yang salah.
Untuk itu, negara adidaya ini berencana menjinakkan Iran melalui memperkuat relasi

sekutu dengan 3 negara Uni Eropa (Jerman, Perancis, dan setidaknya dulu ketika Inggris masih
menjadi bagian dari UE) membuat AS lebih mudah bernegosiasi dan membujuk ketiga negara
untuk menekan Iran. Salah satu duta besar Inggris memperingatkan Iran bahwa ketika mereka
menggagalkan perundingan lain, maka akan ada lebih banyak sangsi yang datang. Dari pihak
Jerman juga menambahkan bahwa sangsi yang datang akan jauh lebih berat.
Tak jauh berbeda dengan faktor yang dimiliki oleh pemerintahan Obama, kita semua tahu
bahwa Obama hanya melanjutkan kebijakan yang telah diformulasi oleh pemerintahan
sebelumnya. Namun saat turunnya Bush dari tahta kepemimpinan, adanya keraguan dari
beberapa aktor seperti salah satu kandidat presiden yaitu, senator John McCain yang menilai
bahwa tidak tepat apabila pemimpin yang terpilih selanjutnya berasal dari partai Demokrat.
Pasalnya, ia merasa Iran merupakan urusan yang sangat vital untuk negara dan tidak bisa
dikontrol oleh orang-orang yang tidak keras seperti Bush.

Akan tetapi menurut analisa karya tulis ini, inilah mengapa ketika Obama terpilih sebagai
presiden selanjutnya, ia memilih pendekatan baru dalam menghadapi Iran. Pemerintahannya
mengurangi intervensi militer, dan lebih fokus pada strategi cerdik. Bhakan berbeda dengan
Bush, Obama cenderung mengerahkan militer secara efisien. Bagaimana? Dengan penggunaan
drone. Dengan begitu, pertumpahan darah dari tentara AS akan jauh lebih berkurang. Strategi
cerdik ini diusungkan bukan hanya sekedar ingin menangani permasalahan nuklir Iran, namun
juga bentuk pembuktian bahwa kandidat demokrat juga mempunyai kapabilitas menangani isu

tersebut.
Faktor domestik lainnya adalah kegagalan pemerintahan Bush untuk memaksa Iran
memberhentikan, atau setidaknya menurunkan tingkat pengayaan uranium. Selama masa
kepemimpinannya, Bush terlalu fokus pada hard power tanpa mempertimbangkan aspek lainnya.
Ketika Bush sadar bahwa soft power juga penting, hal ini sudah cukup terlambat mengingat masa
jabatannya hampir habis. Inilah yang dipelajari oleh pemerintahan Obama. Ia akhirnya
mengkombinasikan 2 aspek strategi sehingga menciptakan hal baru. Strategi-strategi tersebut
akan dijelaskan lebih rinci di bagian selanjutnya.
3. Analisa: Perbandingan Strategi Bush dan Obama dalam Menanggapi Pengayaan
Senjata Nuklir oleh Iran
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pengayaan senjata nuklir yang dilakukan
oleh Iran sangatlah berbahaya, mengingat keberpihakan negara ini terhadap kelompok-kelompok
ekstrimis. Yang dikhawatirkan adalah apabila AS membiarkan Iran untuk terus melakukan
pengayaan, maka akan semakin besar kemungkinan terciptanya senjata pemusnah masal, dan
jatuh di tangan yang tidak tepat (salah satunya teroris). Ketika teroris dapat mendapat akses ke
senjata mematikan ini, maka kestabilan duniapun akan terancam.
Salah satu teori dari realis yaitu, “hegemonic stability” menekankan bagaimana suatu
negara hagemon akan berperilaku sedemikian rupa untuk menjaga stabilitas kawasan. Hal ini
dilakukan karena mereka merasa bahwa sebagai negara dengan pengaruh besar, maka akan ada
kewajiban yang sama besar pula untuk dikerjakan. Inilah salah satu landasan yang menjelaskan

mengapa AS ingin bernegosiasi dengan Iran agar menurunkan tingkat pengayaannya.

Lalu bagaimanakah strategi yang dimainkan oleh AS? Untuk mengetahui ini, kita perlu
membagi pemerintahan menjadi 2 kepemimpinan yaitu Bush dan Obama. Pertama di bawah
pemerintahan Bush, strategi yang diimplementasikan secara bertahap dari berbicara di atas meja
runding, sampai dengan diplomasi koersif. Diplomasi koersif adalah negosiasi yang memerlukan
sanksi agar aktor yang dikehendaki mau mengerjakan apa yang diperintahkan negara “coercer”.
Perumpamaan yang tepat untuk menggambarkan koersif diplomasi adalah “stick and carrot”
yaitu, apabila negara yang dituju menurut maka mereka boleh mendapatkan wortel. Namun jika
sebaliknya, maka negara tersebut akan dipukul dengan tongkat.
Strategi seperti inilah yang digunakan oleh Bush. Akan tetapi, sebelum jenis diplomasi ini
diterapkan, pemerintahan Bush memulai langkah dengan mengkonstruksi pola pikir dunia
internasional akan bahaya yang dibawa Iran. Konstruksi ini terutama dituju untuk negara-negara
besar Eropa seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Inilah yang benar-benar terjadi bahwa AS
berhasil meyakinkan ketiga negara tersebut. Pada bulan Oktober 2003, 3 negara besar Uni Eropa
berhasil membuat Iran setuju untuk mengikuti protokol IAEA (International Atomic Energy
Agency) agar menunda pengayaan [ CITATION Ste05 \l 1033 ].
Sayangnya pada tahun 2006, Iran kembali melanjutkan program pembuatan senjata
nuklirnya di bawah presiden Mahmoud Ahmadinejad. Akhirnya pada tahun yang sama, melalui
Condoleezza Rice sebagai sekretaris negara mengumumkan bahwa AS akan bergabung dengan 3

Uni Eropa menjadi P5+1 (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman). Pada akhirnya
negosiasi ini malah tetap tidak sukses juga.
Disebabkan oleh negosiasi yang kerap gagal, AS di bawah pemerintahan Bush melakukan
beberapa sanksi yang dikenakan kepada Iran. Sanksi tersebut berupa penolakan AS terhadap Iran
sebagai anggota WTO, meyakinkan beberapa bank asing untuk tidak berkerjasama dengan Iran,
memutus pasokan minyak sehingga pengayaannya tertunda, sampai dengan pelarangan turis
untuk berkunjung ke Iran[ CITATION Ste05 \l 1033 ]. Tentu dengan kombinasi dari sanksi
ekonomi dan pelarangan berhubungan dengan bank asing membuat beberapa proyek asing
dibatalkan. Iran pun kewalahan dengan hal ini.
Adapula strategi cerdik yang dilakukan oleh Bush di masa kepemimpinannya. Ia
berusaha untuk mengkonstruksi Iran secara internal. Maksudnya adalah, AS menempatkan

dirinya berpihak pada rakyat Iran yang sudah terlalu lama menderita oleh kebijakan
pemerintahannya. Jadi, berhubungan sanksi ekonomi yang diberikan AS, secara tidak langsung
mempengaruhi perekonomian domestik. Strategi ini bertujuan agar terjadi perlawanan dan
perpecahan di sisi dalam, sehingga rezim Iran akan lebih mudah untuk menuruti perintah dari
AS. Tak hanya itu, negara adidaya ini juga mempertahankan pengaruhnya di Timur Tengah
dengan menaruh lebih banyak basis militer. Basis militer ini berguna untuk menjaga dan
melindungi semua negara yang bersekutu dengan AS.
Menurut penjelasan di atas, kita menyimpulkan bahwa walaupun kebijakan AS
cenderung terlihat serba militer/hard power, kenyataannya masih ada beberapa strategi lain yang
menonjolkan aspek smart power. Contoh smart power yang kami jelaskan disini adalah ketika
AS meyakinkan masyarakat Iran akan ketidakadilan rezimnya. Adapula hasutan AS terhadap
negara sekutu P5 + Jerman, dan bank asing untuk menekan Iran secara finansial. Tindakan yang
diimplementasikan AS secara tidak langsung mengisolasi Iran dari akses luar.
Di sisi lain, pemerintahan Obama malah kebalikan dari pemerintahan Bush yang
didominasi oleh hard power. Pasalnya, Obama berkaca dari pengalaman presiden sebelumnya
yakni tak lain adalah Bush yang dinilai gagal dalam membawa Iran ke meja diplomasi.
Walaupun sempat menunda pengayaan uranium pada tahun 2003, Iran kembali melanjutkan
projeknya pada tahun 2006. Ini menjadi pertimbangan pemerintahan Obama, sehingga AS
memutuskan untuk fokus pada strategi smart power.
Lebih jelasnya, smart power merupakan taktik dimana AS menjalin hubungan yang lebih
baik dengan negara-negara lain, serta memulihkan pencitraan AS dari negara yang senang
berperang ke negara pecinta damai. Bahkan pada kala ini, AS membuat sebuah program yang
bernama Virtual Embassy agar memberikan kesempatan kepada generasi muda Iran untuk belajar
di AS. Hal ini disampaikan dan dipastikan oleh sekretaris negara, Clinton dalam wawancaranya
dengan Voice of America (VOA)[ CITATION Ira11 \l 1033 ].
Dari sini kita dapat melihat bahwa walaupun sebelumnya Iran dianggap sebagai musuh,
malah sebaliknya digandeng oleh AS di bawah pemerintahan Obama secara internal.
Maksudnya, AS berusaha untuk memenangkan hati rakyat Iran, dan secara tidak langsung
mengkonstruksi pola pikir yang positif terhadap AS melalui pendidikan. Usaha ini sangat penting

sebagai langkah-langkah dalam mencapai kepentingan nasional negara adidaya ini. Kepentingan
nasional tersebut tidak lain adalah menjinakkan Iran dan menurunkan tingkat pengelolaan
uraniumnya. Namun, satu hal yang perlu ditekankan adalah dengan adanya inisiatif virtual
embassy, bukan berarti AS benar-benar bersahabat dengan Iran. Justifikasi yang diberikan AS
adalah, mereka hanya melawan rezim Iran, tetapi tidak untuk rakyatnya.
Di masa pemerintahan ini, AS juga memperkuat hubungan dengan Israel. Israel berperan
penting mengingat Iran memusuhi negara ini atas kekejaman yang mereka lakukan terhadap
Palestina. Dengan demikian, kita menyimpulkan bahwa Obama perlu berkomunikasi dengan
Israel sehingga tidak melakukan usaha gegabah yang akan memberikan alasan bagi Iran untuk
terus memiliki senjata Nuklir. Sekretaris pertahanan negara, Robert Gates menyampaikan
aspirasinya bahwa penting untuk menjelaskan maksud dan tujuan AS dengan jelas kepada Israel.
Mengapa demikian? Jadi, AS akan tahu langkah apa yang akan diambil Israel dalam menghadapi
Iran. Apakah mereka akan menyerang Iran terlebih dahulu? Bila benar demikian, maka mau
tidak mau AS harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan. Keputusan apa yang paling bijak?
Mendukung Israel? Tidak mendukung keduanya? Ataukah tetap konsisten mengancam Iran?
Gate dan Mike Mullens sebagai ketua Joint Chiefs pun mempunyai ide lain bahwa
pemerintahan Obama harus bisa mengkonstruksi pemikiran para petinggi Iran, membuat mereka
percaya bahwa ketika perundingan gagal, AS akan benar-benar menggunakan kekerasan.
Konstruksi pemikiran ini perlu untuk dilakukan karena Iran jelas tidak bisa dihadapi dengan
lembut. Tetapi ironinya negara adidaya ini tidak bisa seenaknya mengerahkan militernya.
Penjelasan di atas menjadi salah satu tugas yang harus dipecahkan Obama.
Analisa di atas jelas menggambarkan bagaimana pemerintahan obama memanfaatkan
strategi cerdik, dimana mereka mengkombinasikan hard power dan soft power sekaligus. Seperti
Joseph Nye dan teorinya bahwa ketika suatu negara berhasil memanfaatkan kedua strategi, maka
mereka akan mendapatkan kemenangan yang strategis[ CITATION Ira11 \l 1033 ]. Obama
menyeimbangkan penggunaan sangsi dan pembangunan relasi dengan beberapa negara, termasuk
rakyat dari Iran sendiri agar bisa mencapai kepentingan nasionalnya.
Namun secara logika, hal ini membuat taktik AS terlihat tidak konsisten oleh Iran sendiri.
Di sisi lain AS ingin merangkul rakyat Iran. Sedangkan AS juga ingin menakut-nakuti Iran

bahwa mereka serius akan menggunakan kekuatan militernya. Awalnya ingin menciptakan solusi
strategis malah berakhir saling bertentangan. Tidak mungkin AS di bawah kepemimpinan Obama
berhasil meyakinkan sisi keras mereka, sekaligus beramah-tamah dengan semua orang termasuk
masyarakat Iran sendiri.

BAB III
Kesimpulan
Amerika Serikat di bawah pemerintahan George W. Bush dan Barack Obama mempunyai
ciri khasnya tersendiri. Dalam masa jayanya, Bush terkenal dengan aksi militernya terhadap
Timur Tengah. Dan kebijakan luar negeri yang sangat kontroversial, dan terus berlarut sampai 4
kali masa jabatan adalah perundingan dengan Iran mengenai masalah isu pengayaan senjata
nuklir. kepemilikan senjata nuklir sangat berbahaya bagi negara yang tidak bisa diprediksi arah
keberpihakannya. Salah satunya adalah Iran. Iran yang awalnya berhubungan baik dengan AS
malah berbalik mendukung kelompok-kelompok teroris. Bahayanya adalah ketika Iran
mempermudah akses senjata nuklir kepada organisasi ekstrimis tersebut.
Sebagaimana teori hegemonic stability, Amerika Serikat sebagai negara hegemony
mempunyai kewajiban untuk menjaga kestabilan dan keamanan dunia. Mengatasi permasalahan
Iran merupakan salah satu tugas yang harus diselesaikan. Pada masa jabatan Bush, AS cenderung
bersikap semena-mena tanpa mempertimbangkan opini masyarakat dunia internasional. Strategi
yang berfokus pada kekuatan militer ini pada akhirnya malah menurunkan popularitas atau
pencitraan baik AS terhadap dunia.
Di lain sisi, Presiden Barack Obama yang muncul dari partai demokrat mempunyai
tantangannya sendiri. Hal pertama yang harus ia buktikan adalah kapabilitasnya sebagai bagian
partai demokrat untuk menghadapi Iran yang dinilai keras kepala. Strategi yang dimainkan
Obama kerap dinilai cerdik (smart power) karena menggabungkan beberapa aspek yang sempat
diacuhkan oleh Bush. Sayangnya, karya tulis ini akhirnya menilai bahwa taktik yang
diimplementasikan oleh Obama malah terlihat tidak konsisten. Hal ini menyebabkan munculnya
permasalahan baru yaitu, bagaimana bisa meyakinkan rezim Iran (kalau AS tidak akan segan

mengerahkan kekuatan militer melawan Iran) ketika pencitraan yang ditunjukkan AS adalah
negara yang bersahabat? Hal-hal di atas merupakan bentuk strategi yang khas dari Bush maupun
Obama.

Referensi
Beinart, Peter. (2015). Why the Iran Deal Makes Obama's Critics So Angry. Diunduh dari:
http://googleweblight.com/?
lite_url=http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/07/iran-nuclear-dealobama/398450/&ei=keP5QjeD&lc=enID&s=1&m=46&host=www.google.co.id&ts=1481009989&sig=AF9NednVCS-9SM-DcdGFYmqOk9QsB3grw, diakses: 20/11/2016
Hadley, Stephen J. (2014). The George Bush Administration. Diunduh dari:
http://iranprimer.usip.org/resource/george-w-bush-administration, diakses: 10/11/2016
Iran, Politik. (2011). The Obama Administration's Soft Power Strategy on Iran. Diunduh dari:
http://www.iranpolitik.com/2011/10/29/news/obama-administration%E2%80%99s%E2%80%9Csmart-power%E2%80%9D-strategy-iran/,diakses: 20/11/2016
Ritter, Scott. (2005). Sleepwalking to Disaster in Iran. Diunduh dari:
www.globalpolicy.org/component/content/article/202/41792.html,diakses 20/11/2016
Ross, Dennis. (2015). The Inside Story of Obama’s Iran Strategy. Diunduh dari:
http://www.politico.eu/article/the-inside-story-of-obamas-path-to-yes-on-iran-netanhayuisrael-iran/, diakses 20/11/2016
Viaud, Astrid. (2016). The Iran Nuclear Deal: The Iranian and US Domestic Factors that Put Its
Implementation at Risk. Diunduh dari:
http://www.egmontinstitute.be/wp-content/uploads/2016/06/SPB74.pdf,Diakses:
20/11/2016