ABSTRACT THE PROOF OF EVIDENCE OF EXPERT TESTIMONY AND STATEMENT LETTER FROM THE AUTHORIZED INSTITUTIONS IN THE CALCULATION OF STATE LOSSES IN CORRUPTION CRIME By M.Ihkwan Husain, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko Email : m.ihkwanhusaingmail.com

  

ABSTRAK

KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI DAN SURAT DARI

  

INSTANSI YANG BERWENANG MENGHITUNG KERUGIAN

NEGARA DALAM KASUS TINDAK PIDANA KORUPSI

Oleh

  

M.Ihkwan Husain, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko

Email :

Tindak Pidana korupsi merupakan suatu kejahatan luar biasa/Extraordinery crime, dalam

korupsi terdapat 30 jenis tindak pidana korupsi yaitu salah satunya adalah kerugian

negara yang dapat di hitung jumlahnya. salah satu usaha untuk memberntas tindak pidana

korupsi yaitu dengan pembuktian kerugian negara dari instansi yang berwenang

menghitung kerugian negara. dimana hasil audit investigasi yang dilakukan oleh Instansi

yang berwenang menghitung kerugian negara juga berfungsi sebagai alat bukti, yang

berupa surat-surat yang menjelaskan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi,

auditor dapat diminta keterangannya untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan

ahli. Permasalahan yang diteliti oleh penulis adalah Bagaimanakah kekuatan Pembuktian

dan faktor penghambat dalam pembuktian keterangan Ahli dan Surat dari Instansi yang

Berwenang Menghitung kerugian Negara dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi.

Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan

yuridis empiris. Data yang digunakan berupa data primer dan sekunder. Metode

pengumpulan data yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan.

Analisis data menggunakan analisis data secara deskriptif kualitatif. Hasil penelitian

menunjukan bahwa Kekuatan pembuktian kesaksian ahli dan surat dari instansi yang

berwenang menghitung kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi

mempengaruhi keyakinan hakim sesuai dengan fakta di persidangan dan ketentuan

perundang undangan bahwa keterangan ahli dan surat mempunyai kekuatan hukum

mengikat sesuai dengan KUHP, Dalam hal pembuktian kerugian Negara instansi yang

berhak menghitung kerugian dari instansi BPK maupun BPKP semuanya mempunyai

kekuatan hukum tersendiri yang diatur dalam undang-undang, PERPRES, dan KEPRES

Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian

Negara dan besarnya kerugian Negara. Faktor penghambat adalah faktor hukum, faktor

sarana dan fasilitas, faktor masyarakat, dan faktor budaya.Saran yang dapat diberikan

penulis bahwa dengan memberikan payung hukum atau dasar hukum yang jelas terhadap

instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara . Serta faktor yang menjadi

penghambat berasal dari faktor hukum, maupun dari sarana dan fasilitas bisa diatasi oleh

penyidik maupun intansi lain yang bekerja sama

Kata Kunci: Pembuktian, Alat Bukti, Instansi Yang Berwenang, Tindak Pidana

Korupsi

  

ABSTRACT

THE PROOF OF EVIDENCE OF EXPERT TESTIMONY AND STATEMENT

LETTER FROM THE AUTHORIZED INSTITUTIONS IN THE CALCULATION

OF STATE LOSSES IN CORRUPTION CRIME

By

  

M.Ihkwan Husain, Eddy Rifai, Gunawan Jatmiko

Email :

The criminal act of corruption belongs to an extraordinary crime, as in corruption there

are 30 types of corruption acts, one of which is the countable losses of the state. Among

the efforts to eradicate the corruption crime is by proving the state losses done by the

authorized institutions to calculate the state losses. The results of such investigative audit

conducted by the authorized institutions also serves as means of proof, in the form of

letter of statement explaining about the occurrence of a criminal act of corruption, the

auditor can be asked for his statement to be used as legal evidence of expert testimony.

The problems examined by the researcher is to find out the proof of evidence of statement

letter from the experts and to find out the inhibiting factors in the proof of evidence and

expert testimony and the statement letter from the authorized institution counting the

losses of the State in corruption case. The approaches used in this research were

normative and empirical approach. The data sources consisted of primary and secondary

data. The data collection method was completed through library research and field

research. While the data analysis was done using qualitative descriptive data analysis.

The result of the research showed that the proof of evidence of experts testimony and the

statement letter from the authorized institutions to calculate the losses of the State in the

case of corruption could affect the judge's conviction in accordance with the facts in the

hearing and the provisions of legislation that the expert's and letter's statements have

binding legal force in accordance with The Book of Criminal Conduct. The government

institutions entitled to calculate the loss of the State are BPK (The Audit Board of

Indonesia) and BPKP (Indonesia's National Government Internal Auditor) which are

equipped with legal force regulated in the law, Presidential Regulation, and Presidential

Decree. In certain cases, the judges may assess the loss of the State and the amount of the

losses based on the facts on the trial. The inhibiting factors included, legal factors,

facilities and infrastructures, community, and cultural factors. The researcher suggested

that it is important to provide a legal umbrella or legal basis to the authorized institutions

in the calculation of State losses. While the inhibiting factors of legal factors, as well as

facilities and infrastructures can be handled by investigators and other institutions

working altogether. Keywords: Proof of Evidence, Means of Proof, Authorized Agencies, Corruption

I. PENDAHULUAN

  Korupsi adalah suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan dapat merugikan suatu bangsa. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Kita melihat akhir- akhir ini banyak sekali pemberitaan dari koran maupun media elektronik yang banyak sekali memberitakan beberapa kasus korupsi di beberapa daerah di Indonesia yang oknumnya kebanyakan berasal dari pegawai negeri yang seharusnya mengabdi untuk kemajuan bangsa ini.

  Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat 30 jenis Tindak Pidana Korupsi, dan dapat dikelompokan dalam tujuh kelompok, diantara tujuh kelompok tersebut ialah kerugian keuangan Negara.

  Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan, kerugian Negara/ Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.Dalam penjelasan pasal 32 ayat (1) Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang pembrantasan tindak pidana korupsi yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. 1 Komisi pemberantasan korupsi, Memahami

  untuk membasmi:buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi,

  Kerugian negara yang jumlah kerugiannya dihitung oleh instansi yang berwenang yaitu di lakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

  Lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang merupakan salah satu bertugas untuk menghitung kerugian negara dalam tindak pidana korupsi, lembaga Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berwenang mengaudit kerugian tindak pidana korupsi.

  Dasar peraturan yang melandasi pelaksanaan audit investigasi oleh BPKP adalah KEPPRES Nomor 103 tahun 2001 yang telah beberapa kali mengalami perubahan. Terakhir dengan Perpres Nomor 3 Tahun 2013, PERPRES Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Perdilan Interen Pemerintah (SPIP), PERPRES nomor 192 tahun 2014 tentang Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kewenangan BPKP dalam melakukan Audit Investigasi meskipun sudah jelas, beberapa tersangka korupsi mencoba untuk menggoyahkan kewenangan BPKP dalam melakukan Audit Investigasi, dengan mengadakan

1 Arti kerugian negara dalam

  Judicial Review terhadap Pasal 6a

  UU No.30 Tahun 2002. Penjelasan

  Pasal 6a disebutkan bahwa Komisi Pemberatasan Korupsi harus berkoordisai dengan lembaga yang berwenang untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

  2

   Korupsi di Indonesia terus menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun. Tindak pidana korupsi sudah meluas dalam masyarakat, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian negara, maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat.

3 Tindak Pidana Korupsi merupakan

  tindak pidana yang sangat berbahaya yang mengancam semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tindak Pidana Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Alat bukti yang digunakan dalam pembuktian di sidang pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, keterangan terdakwa. Aturan tersebut berlaku untuk perkara korupsi, hanya saja khusus untuk alat bukti petunjuk dapat diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi elektronik, ataupun dari dokumen rekaman data atau informasi sesuai Pasal 26 A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999.

  Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) memiliki kedudukan sebagai auditor internal pemerintah yang memperoleh amanah dalam hal lembaga yang berwenang memeriksa dan 3 Evi Hartanti. 2005. Tindak Pidana Korupsi. mengevaluasi kegiatan pengadaan barang dan jasa pemerintah.

  Peranan Polri sendiri sebagai penyidik pada tindak pidana korupsi selain bertugas menyelidiki adanya perbuatan koruptor oleh oknum- oknum tertentu dibantu oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dimana hasil audit investigasi yang dilakukan oleh auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga berfungsi sebagai alat bukti bagi penyidik Polri, yang berupa surat-surat yang menjelaskan tentang telah terjadinya suatu tindak pidana korupsi. Selain hasil audit yang dapat dijadikan sebagai alat bukti surat, auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pun juga dapat diminta keterangannya untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti keterangan ahli.

  Putusan Mahkamah Konstitusi No.25/PUU-XIV/2016 yang menyatakan bahwa kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi di hapuskan karena menumbulkan ketidak pastian hukum dan bertentangan dengan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 28G ayat (1). Selain itu, menurut Mahkamah kata “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juga bertentanga dengan prinsip perumusan tindak pidana yang harus memenuhi perinsip hukum harus tertulis (lex

  scripta), harus ditafsirkan seperti

  yang di baca (lex stricta), dan tidak multitafsir (lex certa), oleh karenannya bertentangan dengan perinsip negara hukum sebagaimana UUD 1945. Dengan demikian, tindak pidana korupsi menurut Pasal tersebut harus memenuhi adanya kerugian negara atau perekonomian negara yang benar-benar nyata (actual loss) bukan hanya dapat menimbulkan kerugian negara atau

  potential loss. Untuk menghitung

  kerugian negara tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 32 ayat (1) yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk. Kerugian negara yang jumlah kerugiannya dihitung oleh instansi yang berwenang yaitu di lakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

  Pada Bagian A, Angka 6 SEMA No,4 Tahun 2016 menyebutkan bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara, yang berarti Badan Pemeriksa Keuangan yang berhak menghitung kerugian Negara secara men-declare, dan dalam hal tertentu kerugian Negara besarnya kerugian

  Negara berdasarkan fakta di persidangan. Berdasarkan uraian diatas memberi- kan gambaran bahwa kewenangan audit investigatif secara atributif ada pada BPK sebagai mana dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara, Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan juga Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksaan Keuangan. Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan judul sekripsi yaitu “Analisi Kekuatan pembuktian keterangan saksi ahli dan alat bukti surat dari Lembaga yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara dalam perkara Tindak Pidana

  Korupsi”. Berdasarkan uraian latar belakang dan memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

  a. Bagaimanakah kekuatan pembuktian keterangaan ahli dan surat dari Instansi yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi? b. Apakah faktor-faktor penghambat dalam pembuktian menggunakan alat bukti keterangan ahli dan surat dari Instansi yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi?

  Pendekatan masalah dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data dan sekunder. Metode pengumpulan data yaitu menggunakan penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data menggunakan analisis data secara deskriptif kualitatif.

  Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting dalam proses pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan pembuktian inilah ditentukan nasib pelaku tindak pidana. Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam beracara di pengadilan tetap berlaku KUHAP. Sesuai dengan Pasal 26 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang- Undang ini. Artinya berdasarkan bunyi pasal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa selama Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi tidak menentukan lain, maka segala ketentuan hukum acara pidana yang terdapat dalam KUHAP berlaku bagi proses peradilan tindak pidana penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan termasuk pembuktian.

  Kegiatan pembuktian tindak pidana korupsi, disamping tetap menggunakan KUHAP dalam bidang atau hal tertentu berlaku ketentuan khusus sesuai yang ditentukan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, seperti mengenai sistem pembebanan pembuktian Tindak Pidana Korupsi yang menganut pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang. Menurut jaksa Andi Metrawijawa proses kerjasama dalam penyidikan perkara yang berindikasi tindak pidana korupsi tersebur adalah Penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung menerima laporan atau mengetahui adanya indikasi tindak pidana korupsi melakukan serangkaian penyelidikan dengan mencari dan mengumpulkan fakta-fakta dan bukti-bukti tentang indikasi tindak pidan korupsi tersebut. Setelah memperoleh fakta-fakta dan bukti- bukti yang diduga merugikan keuangan negara maka penyidik Kejaksaan Tinggi lampung meminta bantuan tertulis kepada Kepala BPKP Perwakilan Provinsi Lampung secara tertulis untuk melakukan audit investigasi untuk mengetahui apakah terdapat kerugian negara.

II. PEMBAHASAN

A. Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli dan Surat Dari Instansi yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara dalam Kasusu Tindak Pidana korupsi

  Pihak BPKP Perwakilan Provinsi Lampung setelah menerima suarat resmi dari penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung lalu meminta ekspose/pemaparan tentang kasus posisi dan bukti/fakta yang sudah diperoleh. Setelah menerima penjelasan gambaran kasus posisi didukung dengan fakta/bukti yang Lampung maka tima auditor BPKP Perwakilan Provinsi Lampung meminta bukti-bukti dukung kepada penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung untuk dilakukan audit dan datang ke lokasi/Tempat Kejadian Perkara jika dianggap perlu.

  Berdasarkan status penyelidikan yang kemudian ditingkatkan menjadi penyidikan maka pihak Penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung melayangkan permintaan tertulis untuk melakukan audit perhitungan kerugian negara sebagai tindak lanjut dari audit investigasi. Dalam audit perhitungan kerugian negara BPKP perwakilan Provinsi Lampung berdasarkan data dan bukti yang ia dapat dari penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung mengitung besaran kerugian keuangan yang terjadi akibat tindak pidana korupsi tersebut sehingga diketahui secara jelas dan pasti berapa jumlahnya. Setelah melakukan pengitungan dan mengkaji hasil dari audit pengitungan kerugian negara oleh auditor BPKP Perwakilan Provinsi Lampung maka hasilnya dituangkan ke dalam Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara (LHPKKN) yang diterbitkan dan ditandatangani oleh tim auditor BPKP Perwakilan Provinsi Lampung yang kemudian diserahkan kepada penyidik Kejaksaan Tinggi Lampung.

  Laporan Hasil Audit Dalam Rangka Menghitung Kerugian Negara yang dilakukan BPKP Perwakilan Provinsi Lampung berdasarkan permintaan penyidik tersebut, kembali digunakan oleh Penuntut umum dalam surat dakwaannya yang menjelaskan bahwa telah terjadi kerugian negara oleh terdakwa yang sedang dalam pemeriksaan persidangan.

  Hasil audit investigasi dalam tindak pidana korupsi sebenarnya bukan merupakan domain Badan Pengawas Keuangandan Pembangunan (BPKP). Kewenangan audit investigatif secara atributif ada pada BPK sebagaimana dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara, Undang- Undang No. 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, dan juga Undang-Undang No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

  Pada Bagian A, Angka 6 SEMA No,4 Tahun 2016 menyebutkan bahwa Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara, yang berarti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berhak menghitung kerugian Negara secara men-declare, dan dalam hal tertentu Hakim dapat menilai adanya kerugian Negara besarnya kerugian Negara berdasarkan fakta di persidangan. Berdasarkan hasil wawancara dengan para seponden dan studi kepustakaan yang penulis lakukan maka menurut penulis kekutan pembuktian keterangan ahli dan surat dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara Untuk menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli dan surat, terbagai atas dua teori yakni dari tinjauan dari segi formal dan dari tinjauan segi materil. Ditinjau dari segi formil, alat bukti keterangan ahli ditegaskan pada pasal 1 angka 28 adalah alat bukti yang sempurna, sebab keterangan ahli tersebut sah dan sempurna karena sesuai dengan ketentuan Pasal 183 jo Pasal 185 ayat 2 , Pasal 160 ayat 4 jo 179 ayat 2, dan pasal 120 ayat 2. Ditinjau dari segi formil, alat bukti surat ditegaskan pada Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna. Sebab bentuk surat tersebut dibuat dalam bentuk yang resmi berdasarkan peraturan perundang-undangan, maka alat bukti surat yang sesuai dangan Pasal 187 huruf a, b, dan c adalah alat bukti yang sempurna kecuali data dibuktikan dengan alat bukti lawan (tegen bewijs).

  Namun dari sudut materil alat bukti keterangan ahli dan surat tetap bersifat bebas kekuatan pembuktianya. Hal ini disebabkan hukum acara pidana yang berpatokan pada pencarian kebenaran materil (materiel waarheid), asas keyakinan hakim (Pasal 183) dan asas batas minimal pembuktian. Dengan alasan dan penjelasan di atas menunjukan bagaimanapun bukti keterangan ahli dan surat, kesempurnaan itu tidak mengubah sifatnya menjadi alat bukti yang mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan yang melekat pada kesempurnaannya tetap bersifat kekuatan pembuktian yang bebas.

  Hakim bebas untuk menilai kekuatannya dan kebenarannya. Kebenaran ini dapat ditinjau dari beberapa alasan. Baik dari segi asas kebenaran sejati (truth), atas keyakinan hakim, maupun dari sudut batas minimal pembuktian. Berdasarkan pemaparan dari hasil wawancara dengan responden diatas dihubungkan dengan kekuatan pembuktian keterangan ahli dan surat dari lebaga yang berwenang menghitung kerugian Negara dalam siapa yang lebih baik dalam pembuktian kasus tindak pidana Dalam penjelasan Pasal 32 UU Tipikor disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalah kerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.

  Dalam hal pembuktian kerugian Negara instansi yang berhak menghitung kerugian dari instansi BPK maupun BPKP semuanya mempunyai kekutan hukum tersendiri yang diatur dalam undang- undang, PERPRES, dan KEPRES, siapapun yang memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak harus diikuti hakim. Demikian pula dengan ahli. Jika ada ahli yang berpendapat tidak ada kerugian berkewajiban untuk mengikuti. Sebab, hakim bisa berpendapat sendiri, meski pada prinsipnya rumusan hasil pleno kamar yang tertuang dalam SEMA mengikat para hakim. “SEMA ini tidak selamanya mengikat para hakim, tidak harus sama persis (seperti yang ada dalam rumusan SEMA) Bahkan, jika nyata terbukti ada kerugian negara, hanya dengan satu lembar kuitansi yang

  valid pun, majelis hakim bisa menghitung kerugian negara sendiri.

  Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.

B. Faktor-faktor Penghambat dalam Pembuktian Menggunakan Alat Bukti Keterangan Ahli dan Surat dari Instansi yang Berwenang Menghitung Kerugian Negara dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi

  Pelaksanaan pembuktian keterangan ahli dan surat dari Instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi memerlukan banyak kerjasama dan dukungan dari berbagai aspek dan Instansi agar proses pembuktian menggunakan keterangan ahli dan surat dari Instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara dapat berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan harapan para penegak hokum dan pelaksanaan dari pembuktian tersebut serta tujuan dari proses pembuktian dengan menggunakan keterangan ahli dan surat dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara dapat tercapai dengan baik dan sesuai dengan harapan penyidik. Namun terkadang dalam pelaksanaan pembuktian menggunakan keterangan ahli dan surat dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara mengalami suatu kendala yang menyebabkan prosen pembuktian menggunakan keterangan ahli dan surat dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara itu sendiri berjalan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan baik itu dari penyidik ataupun dari tersangka tindak pidana korupsi dan keluar dari tujuan semula yang diharapkan dapat tercapai. Berdasarkan hasil wawancara yang penulis lakukan dengan para responden dihubungkan dengan teori faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pembuktian keterangan ahli dan surat dari Instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara dalam kasus Tindak Pidana Korupsi adalah sebagai berikut:

  1. Faktor Hukum

  Hambatan yang timbul dan menjadi perhatian para praktisi hukum, para akademisi hukum dan masyarakat akibat tidak eksplisit/jelas tugas dan kewenangan instansi mana yang berhak menghitung kerugian negara dalam melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi adalah saat BPKP Perwakilan Provinsi Lampung digugat oleh pejabat Bupati non aktif Lampung Timur yaitu Satono.

  2. Faktor Sarana dan Fasilitas, Penyidik sulit memperoleh alat bukti dan barang bukti yang sah menurut hukum dalam mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu kendala pihak penyidik untuk mengajukan pelaku korupsi ke depan pengadilan.

  Pelaku korupsi dan saksi maupun mereka yang terlibat didalamnya sengaja penuntut umum mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti dan saksi-saksi berikut data yang akurat serta konkrit sebagai dasar untuk melakukan penuntutan

  3. Faktor Masyarakat

  Menurut responden Jaksa Andi Metrawijawa sikap acuh masyarakat juga ikut ambil bagian dalam faktor penghambat dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Provinsi Lampung. Contohnya dalam hal sosialisasi pencegahan dan akibat tindak pidana korupsi pada fokus grup masyarakat Provinsi Lampung yang para pesertanya terlihat antusias, namun setelah itu cenderung tidak mau membagi atau menularkan pengetahuan yang ia dapat kepada kelompok masyarakat yang lebih besar. Bahkan yang lebih memprihatinkan lagi anggota fokus grup tersebut membiarkan tindak pidana korupsi terjadi dilingkungannya tanpa bertindak apapun.

  4. Faktor Budaya Nilai-nilai dari budaya malu yang sudah terkikis dari para birokrat yang sudah berulang kali menjadi terduga yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, dan juga budaya birokrasi yang rumit dan panjang juga menjadi hambatan bagi penyidik dalam meberantas tindak pidana korupsi seperti penanganan hasil temuan internal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara yaitu BPK atupun BPK yang masih sentralitas yakni dimana hasil temuan BPKP maupun BPK harus menyerahkan kepada BPKP maupun BPKP pusat baru setelah itu dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau Komisi Pemberantasan Korupsi, yang seharusnya dapat langsung dikirim kepada instansi penyidik sehingga dapat mempercepat dan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.

  Menurut pendapat penulis masih adanya faktor penghambat dalam pembuktian keterangan ahli dan surat dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi yang berasal dari faktor hukumnya sendiri sangat disayangkan karena sebagai peraturan yang seharusnya memiliki kepastian yang jelas terhadap instansi mana yang berhak menghitung kerugian Negara malah menjadi hal atau alasan penghambat penegakan hukumnya sendiri

  III. PENUTUP

  A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

  1. Pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan Kekuatan pembuktian kesaksian ahli dan surat dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara dalam kasus tindak pidana korupsi mempengaruhi keyakinan hakim sesuai dengan fakta di persidangan dan ketentuan perundang undangan bahwa keterangan ahli dan surat mempunyai kekuatan hukum mengikat sesuai dengan urutan pembuktian dalam KUHP Pasal 183 dan Pasal 184, untuk menilai kekuatan pembuktian keterangan ahli dan surat, terbagai atas dua teori yakni dari tinjauan dari segi formal dan dari tinjauan segi Dalam hal pembuktian kerugian Negara instansi yang berhak menghitung kerugian dari instansi BPK maupun BPKP semuanya mempunyai kekutan hukum tersendiri yang diatur dalam undang-undang, PERPRES, dan KEPRES, Siapapun yang memeriksa kerugian negara, baik BPK maupun BPKP, tidak harus diikuti hakim. jika nyata terbukti ada kerugian negara, hanya dengan satu lembar kuitansi yang

  valid pun, majelis hakim bisa

  menghitung kerugian negara sendiri. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.

  2. Faktor-faktor yang menjadi penghambat dalam pembuktian keterangan ahli dan surat dari instansi yang berwenang mengitung kerugian Negara adalah: a. Faktor Hukum, yaitu tidak eksplisit/jelas tugas dan kewenangan instansi mana yang lebih berhak dalam melakukan pengitungan kerugian keuangan negara dalam kasus Tindak Pidana Korupsi.

  b. Faktor Sarana dan Fasilitas, Penyidik sulit memperoleh alat bukti dan barang bukti yang sah menurut hukum dalam mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu kendala pihak penyidik untuk mengajukan pelaku korupsi ke depan pengadilan. Pelaku korupsi dan saksi maupun mereka yang terlibat didalamnya sengaja menutupi sehingga pihak penyidik/penuntut umum mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti dan saksi-saksi berikut data yang akurat serta konkrit sebagai dasar untuk melakukan penuntutan c. Faktor Masyarakat, sikap acuh masyarakat membiarkan tindak pidana korupsi terjadi dilingkungannya tanpa bertindak apapun dan masyarakat yang terlibat didalamnya sengaja menutupi sehingga pihak penyidik/penuntut umum mengalami kesulitan untuk mendapatkan bukti-bukti dan saksi-saksi berikut data yang akurat serta konkrit sebagai dasar untuk melakukan penuntutan

  d. Faktor Budaya, nilai-nilai dari budaya malu yang sudah terkikis dari para birokrat yang sudah berulang kali menjadi terduga yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, dan juga budaya birokrasi yang rumit dan panjang juga menjadi hambatan bagi penyidik dalam meberantas tindak pidana korupsi seperti penanganan hasil temuan internal dari instansi yang berwenang menghitung kerugian Negara yaitu BPK atupun BPK yang masih sentralitas yakni dimana hasil temuan BPKP maupun BPK harus menyerahkan kepada BPKP maupun BPKP pusat baru setelah itu dilimpahkan ke Kejaksaan Agung, Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia atau Komisi Pemberantasan Korupsi, yang seharusnya dapat langsung dikirim kepada instansi penyidik sehingga dapat mempercepat upaya pembuktian tindak pidana korupsi dan pemberantasan tindak pidana korupsi tersebut.

  B. Saran

  1. Memberikan payung hukum atau dasar hukum yang jelas/eksplisit oleh Negara dalam suatu peraturan Perundang-Undangan terhadap instansi yang berewenangan menghitung kerugian negara dalam melakukan audit investigatif maupun audit penghitungan keuangan Negara Korupsi. Instansi Penyidik seperti

  Undang-UndangNomor 20 Tahun

  Kejaksaan maupun Kepolisian tidak

  2001 tentang Perubahan atas

  hanya melakukan Memory Of

  Undang-Undang Nomor 31

  Understanding (MOU) dengan

  Tahun 1999 tentang

  BPKP Perwakilan Provinsi Lampung

  Pemberantasan Tindak Pidana

  saja tetapi juga dengan BPK

  Korupsi

  Perwakilan Provinsi Lampung guna menghindari pemahaman hakim

  Peraturan Presiden Republik

  tentang kewenangan BPKP

  Indonesia Nomor 192 Tahun

  Perwakilan Provinsi Lampung dalam

  2014 Tentang Badan

  menghitung kerugian negara yang mengadung resiko kegagalan dalam

  Pengawasan Keuangan dan

  penyelidikan, penyidikan maupun

  Pembangunan penuntutan.

2. Faktor-faktor atau hal-hal yang

  

  menjadi penghambat pembuktian

  

  keterangan ahli dan surat dari

  

  Instansi yang berwenang menghitung

  

  kerugian Negara dalam kasus tindak

  

  pidana korupsi yang berasal dari faktor hukum, maupun dari sarana No. HP : 089638774787 dan fasilitas bisa diatasi oleh penyidik maupun intansi lain yang bekerja sama dalam pembuktian tindak pidana korupsi agar dalam proses pembuktian dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan harapan dan mencapai tujuan semula yang diharapkan

  DAFTAR PUSTAKA BPKP, Tim Pengkajian SPKN RI.

  2002. Upaya Pencegahan dan

  Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan Pelayanan Masyarakat, BPKP: Jakarta

  Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana

  Korupsi. Bandung : PT Sinar Grafika.

  Komisi pemberantasan korupsi, Memahami untuk membasmi:buku saku untuk memahami tindak pidana korupsi, Jakarta: KPK

  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Dokumen yang terkait

ANALISIS PERRLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PENAHANAN TERSANGKA PADA TINGKAT PENYIDIKAN BERDASARKAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2015 (STUDI KEPOLISIAN RESOR LAMPUNG BARAT) Oleh Devolta Diningrat, Eddy Rifai, Tri Andrisman

0 0 11

ABSTRACT THE LAW ENFORCEMENT AGAINST CORRUPTORS BY THE CORRUPTION COURT IN LAMPUNG By Della Rahmaswary, Eddy Rifai, Diah Gustiniati Email : dellarahmasyahoo.co.id

0 0 15

ABSTRACT CRIMINOLOGICAL ANALYSIS OF RAPE CRIME AGAINST CHILDREN IN THE DISTRICT COURT OF KALIANDA JURISDICTION By Arief Satria Wibowo, Sunarto, Firganefi Email : ariefsatriawibowo96gmail.com

1 0 14

ABSTRACT ANALYSIS ADDITIONAL CRIMINAL ON PERSON OF SEXUAL VIOLENCE AGAINST CHILDREN BASED ON GOVERNMENT REGULATION IN LIEU OF LAW NUMBER 17 YEAR 2016 By Andre Rinaldy.T , Nikmah Rosidah, Damanhuri.WN

0 0 12

ABSTRACT THE POLICE ROLE IN THE ERADICATION OF CRIMINAL ACT ONLINE PROSTITUTION BY HIGH SCHOOL STUDENTS IN BANDAR LAMPUNG (Study at Bandar Lampung Police) By Tutut Wuri Hastuti

0 0 16

ABSTRACT CRIMINALOGICAL ANALYSIS CRIMINAL ACT OF ABUSE UNDERTAKEN A FATHER TO BOY BLADDER by Riska Putri Mulya, Firganefi, Eko Raharjo Email : riskaputrimulyagmail.com

0 0 13

ABSTRACT THE EFFORTS OF CUSTOMS PORT OF PANJANG IN PREVENTING DRUG SMUGGLING By ANNISA DRAHIKA

0 1 15

ABSTRACT THE IMPLEMENTATION OF RIGHTS FOR VICTIMS OF WRONG ARRESTS BASED ON GOVERNMENT REGULATION NUMBER 922015 By Yosef Caroland, Eko Raharjo, Gunawan Jatmiko

0 0 13

ABSTRACT A CRIMINOLOGICAL ANALYSIS ON SEXUAL DEVIATION OF SAME SEX AMONG FEMALE PRISONERS AT CORRECTIONAL FACILITY FOR WOMEN CLASS II A WAYHUI SOUTH LAMPUNG By Muhammad Guntur Hartotrisno, Sunarto, Budi Rizki Husin

0 0 12

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) (Studi Kasus Putusan Nomor : 50/Pid./2015/PT.TJK)

0 0 11