HUBUNGAN ANTARA BRONKITIS KRONIK DENGAN RIWAYAT RINITIS BERULANG SEBAGAI FAKTOR RISIKO

SEBAGAI FAKTOR RISIKO SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Elsa Rosalina G0008090

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET Surakarta 2011

commit to user

Elsa Rosalina. G0008090, 2011 , Hubungan antara Bronkitis Kronik dengan Riwayat Rinitis Berulang sebagai Faktor Risiko., Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Tujuan Penelitian : untuk mengetahui adanya hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan case-control. Dilakukan terhadap 60 responden, yaitu 30 kasus bronkitis kronik positif sebagai kelompok kasus dan 30 kasus ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) sebagai kelompok kontrol. Pengumpulan data dilakukan mulai dari bulan April sampai dengan Mei 2011 dengan menggunakan data primer dari kuesioner.

Hasil Penelitian : Pada penelitian ini diperoleh data dari kelompok kasus, 24 responden memiliki riwayat rinitis berulang dan 6 responden tidak memiliki riwayat rinitis berulang. Sedangkan pada kelompok kontrol, 22 responden memiliki riwayat rinitis berulang dan 8

responden tidak memiliki riwayat rinitis berulang. Berdasarkan analisis statistik dengan X 2 dengan taraf signifikansi (p) < 0,05 didapatkan hasil p = 0,542 serta dari tabel Odds Ratio didapatkan OR = 1,5 dan Interval Kepercayaan (IK) = 0,5 – 4,9.

Simpulan Penelitian : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

Kata kunci : Bronkitis Kronik, Riwayat Rinitis Berulang

commit to user

Recurrent Rhinitis as a Risk Factor., Faculty of Medicine, Sebelas Maret University.

Objective : The purpose of this studywas to analyze the correlation between chronic bronchitis and the history of recurrent rhinitis as a risk factor.

Method : This was an observational analytic study with case control approach. Conducted on 60 respondents, were 30 cases of positive chronic bronchitis as the case group, and 30 cases of ARI (Acute Respiratory Infection) as a control group. The data was collected from April to May 2011 by using primary data from questionnaires.

Result: In this study the data obtained from the cases group, 24 respondents had a history of recurrent rhinitis and 6 respondents did not have a history of recurrent rhinitis. Whereas in the control group, 22 respondents had a history of recurrent rhinitis and 8 respondents did not have

history of recurrent rhinitis. Based on statistical analysis by X 2 with a significance level (p) <0.05, p = 0.542 is obtained and from the Odds Ratio table obtained OR = 1.5 and Confidence Intervals (CI) = 0.5 - 4.9.

Conclusion : From this study it can be concluded that there was no correlation between chronic bronchitis and the history of recurrent rhinitis as a risk factor.

Key words : Chronic Bronchitis, The History of Recurrent Rhinitis

Rinitis Berulang sebagai Faktor Risiko”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan tingkat sarjana di Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari kerjasama dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan, dr., Sp.PD-KR-FINASIM., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Muthmainah, dr., M.Kes., selaku Ketua Tim Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Dr. Reviono, dr., Sp.P (K), selaku pembimbing utama yang telah berkenan meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dan motivasi. 4. Vicky Eko Nurcahyo Hariadi, dr., Sp.THT-KL., M.Sc., selaku pembimbing pendamping atas segala bimbingan, arahan, dan waktu yang beliau luangkan bagi penulis. 5. Yusup Subagio S, dr.,Sp.P (K)., selaku penguji utama yang telah berkenan menguji dan memberikan saran, bimbingan, nasihat untuk menyempurnakan kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 6. Novi Primadewi, dr., Sp.THT-KL., M.Kes, selaku anggota penguji atas segala bimbingan, saran, nasihat untuk memperbaiki kekurangan dalam penulisan skripsi ini. 7. Budi Subagijo, dr. dan Sri Wulandyah Widayati, selaku orang tua serta Dhany Saputra, S.Kom., M.Sc dan Nila Permatasari S.T selaku kakak dari penulis yang telah memberikan doa, memfasilitasi, dan memotivasi penulis dengan penuh kasih sayang. 8. Seluruh Staf SMF Paru dan SMF THT RSUD Dr. Moewardi Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan. 9. Residen PPDS Paru dan Perawat di Poliklinik Paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta serta Residen PPDS THT-KL dan Perawat di Poliklinik THT RSUD Dr.Moewardi Surakarta yang telah banyak membantu penulis selama pengambilan data. 10. Seluruh Staf Dinas Kesehatan Surakarta atas segala bantuan yang telah diberikan, 11. Seluruh Staf Klinik Pengobatan Fosmil Surakarta atas segala bantuannya yang telah diberikan. 12. Tim Skripsi, Perpustakaan FK UNS yang banyak membantu dalam penyelesaian skripsi dan sebagai salah satu tempat untuk mencari referensi. 13. Teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, yang turut membantu penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini.

Kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi perbaikan selanjutnya. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.

Surakarta, Juli 2011

commit to user

Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Umur ........................................................................................ 46 Tabel 3. Karakteristik Bronkitis Kronik ...................................................................................... 47 Tabel 4. Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ........................................................ 48 Tabel 5. Karakteristik Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ................................................... 50 Tabel 6. Distribusi Riwayat Rinitis pada ISPA ........................................................................... 52 Tabel 7. Karakteristik Riwayat Rinitis pada ISPA ...................................................................... 53 Tabel 8. Distribusi Riwayat Rinitis Berulang ............................................................................. 55

commit to user

Gambar 2. Grafik Distribusi Bronkitis Kronik dan ISPA Berdasarkan Umur ........................... 46 Gambar 3. Grafik Distribusi Riwayat Rinitis pada Bronkitis Kronik ........................................ 48 Gambar 4. Grafik Distribusi Riwayat Rinitis pada ISPA ........................................................... 52

commit to user

Universitas Sebelas Maret Lampiran 2. Surat Ijin Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian dan Pengambilan Sampel dari Pihak RSUD Dr. Moewardi Surakarta Lampiran 4. Data Hasil Penelitian Lampiran 5. Hasil Uji Statistik Chi Square Lampiran 6. Kuesioner Bronkitis Lampiran 7. Kuesioner Rinitis

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bronkitis adalah radang dari selaput lendir bronkus, yaitu saluran pernapasan yang membawa aliran udara dari trakea ke paru. Bronkitis berbahaya bagi kesehatan di seluruh dunia. Bronkitis dibagi menjadi dua berdasarkan onset, yaitu bronkitis akut dan kronik (Enright, 2005).

Bronkitis akut ini terjadi pada sekitar 5 % orang dewasa, dan tingkat kejadi- annya meningkat pada musim dingin dan musim gugur dibandingkan dengan mu- sim panas dan musim semi. Di Amerika, bronkitis akut merupakan penyakit paling sering peringkat ke sembilan pada pasien rawat jalan. Virus dipandang sebagai penyebab paling sering. Sebuah studi di Perancis menunjukkan bahwa dari 164 kasus bronkitis akut, 37 % disebabkan oleh virus, 21 % di antaranya adalah rhinovirus . Sedangkan peran dari bakteri sebagai penyebab bronkitis akut masih belum jelas, karena biopsi bronkus tidak menunjukkan invasi bakteri. Beberapa data

menunjukkan Bordetella pertussis sebagai penyebab sebanyak 13-32 % dari kasus batuk yang bertahan 6 hari atau lebih, dan hanya 1 % sebagai penyebab bronkitis akut. Dalam sebuah studi, 34 % pasien bronkitis akut akan terdiagnosis bronkitis kronik atau asma setelah follow up 3 tahun. Dalam studi lain, asma bronkial ringan

Fowler, 2006). Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Di Inggris, COPD terdiagnosis pada 4 % pria dan 2 % wanita pada usia diatas 45 tahun, dan 6 % pria dan 4 % wanita meninggal akibat COPD. Di Negara ini pula, COPD merupakan penyebab kematian paling sering ketiga, dan satu-satunya penyebab kematian yang terus meningkat tiap tahunnya. Menurut the Global Burden of Disease Study, COPD adalah penyebab kematian tersering keenam di dunia pada tahun 1990 dan akan naik ke peringkat ketiga pada tahun 2020 (Hanzel, 2004). Dan di Amerika, 20 % penduduk dewasa mengidap COPD, dan COPD merupakan penyebab kematian tersering keempat (Hunter dan King, 2003).

Penyakit saluran pernapasan bawah sering dikaitkan dengan penyakit pada saluran pernapasan atas, seperti antara asma bronkial dengan rinitis alergika (Lundbland, 2002) dan common cold yang bergerak dari penyakit infeksi pernapasan atas ke penyakit infeksi pernapasan bawah atau pneumonia (Fahey, 2005). Hubungan asma dengan rinitis, antara lain oleh ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma ) sudah dibuktikan bahwa rinitis alergi merupakan faktor risiko terjadinya asma dan kebanyakan pasien asma juga memiliki rinitis (Cruz et al, 2007; Togias, 2003), oleh The Copenhagen Allergy Study telah dibuktikan 100 persen dari subjek dengan asma alergi terhadap serbuk sari juga memiliki rinitis alergi terhadap serbuk sari, begitu juga dengan asma alergi terhadap binatang dan tungau terhadap rinitis alergi binatang atau tungau yang masing-masing mempunyai

membuktikan hubungan kuat antara asma dengan rinitis pada anak (Chiron et al, 2010). Selain rokok dan polusi, bronkitis juga sering dikaitkan dengan radang pada saluran pernapasan atas. Penyakit pada sinus, seperti sinusitis, diyakini memiliki pengaruh terhadap bronkitis (Nurjihad, Yunus, 2001; Kim dan Rubin, 2007). Selain sinusitis, bronkitis juga diduga memiliki hubungan dengan penyakit-penyakit pernapasan atas, misalnya rinitis, yaitu melalui postnasal drip. Namun masih banyak kontroversi mengenai hal ini, antara lain karena masih tidak jelasnya bronkitis itu sendiri, kurangnya penelitian mendasar mengenai hubungan postnasal drip dengan bronkitis, dan tumpang tindih antara bronkitis dengan asma berhubungan dengan postnasal drip ini. Diagnosis bronkitis sering ditegakkan dalam praktek sehari-hari, sehingga seharusnya bronkitis dapat dibedakan dan ditetapkan dengan mudah. Namun manifestasi utama dari penyakit ini adalah batuk, yang bukan merupakan gejala spesifik (Naning et al, 2008), sehingga sering kali diagnosis bronkitis ditegakkan apabila tidak ditemukan gejala dan tanda yang mengarah ke penyakit lain .

Maka dari itu, berdasarkan data-data di atas, penulis tertarik untuk meneliti hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : Apakah terdapat hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adanya hubungan antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang sebagai faktor risiko.

D. Manfaat Penelitian

1. Aspek teoritis Menambah pengetahuan bagi peneliti dan klinisi tentang hubungan bronkitis kronik dan riwayat rinitis berulang.

2. Aspek praktis Memberikan tambahan informasi mengenai hubungan bronkitis kronik dan rinitis sehingga dapat membantu penegakan diagnosis dengan benar dan penentuan tata laksana selanjutnya.

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Bronkitis

Istilah bronkitis mengacu pada radang di bronkus (jalur pernapasan yang berukuran medium atau lebar dalam paru) (Stauffer, 2010).

a. Bronkitis Akut

1) Definisi Bronkitis akut adalah penyakit traktus respiratori yang sering dijumpai, yang ditandai oleh batuk yang mengalami perkembangan, dengan atau tanpa produksi sputum. Gejala umum lainnya antara lain sakit tenggorokan, hidung berair, hidung buntu, demam ringan, radang pleura, dan malaise. Bronkitis akut sering terjadi selama dalam keadaan penyakit yang diakibatkan oleh virus, seperti pilek atau influenza. Kebanyakan kasus bronkitis yang disebabkan oleh virus dapat sembuh sendiri dalam beberapa minggu, sehingga pemakaian antibiotik tidak dianjurkan. Pemakaian antibiotik dilakukan jika ditemukan hasil dari pemeriksaan

(Buhagiar, 2009).

2) Epidemiologi Di Amerika Serikat, batuk merupakan gejala yang paling umum dari pasien yang berkunjung ke dokter, dan bronkitis akut adalah diagnosis yang paling sering diberikan. Setiap tahun dilaporkan bronkitis akut sampai dengan 5 % dari populasi umum. Sebagian besar pasien mendatangi dokter, dan ini menyumbang lebih dari 10 juta kunjungan dokter per tahun. 10 dari 1000 orang dengan bronkitis akut melakukan rawat jalan per tahunnya. Alasan utama untuk mencari dokter adalah untuk meringankan gejala, dan salah satu survei pada orang dewasa menunjukkan bahwa 66 % nya melakukan pada minggu pertama sakit, dan

88 % melakukannya dalam waktu 2 minggu (Braman, 2006).

3) Etiologi

Virus merupakan penyebab terbesar dari bronkitis akut, sekitar 85 sampai 95 persen. Virus yang paling sering adalah rhinovirus, adenovirus, influenza A dan B, dan parainfluenza virus. Sedangkan bakteri umumnya bakteri komensal yang terisolasi dari orofaring. Bakteri yang sering adalah Mycoplasma pneumoniae, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae,Moraxella catarrhalis, dan Bordetella (Worrall, 2008).

4) Diagnosis (Bartlett, 2010) 4) Diagnosis (Bartlett, 2010)

a) Demam lebih dari 100,4°F atau 38°C (Orang-orang di atas usia 75 tahun tidak selalu menunjukkan gejala demam)

b) Batuk lebih dari 10 hari

c) Nyeri dada ketika batuk, susah bernapas, atau batuk darah

d) Batuk menyalak yang membuat pasien susah bernapas, terlebih jika batuk itu tidak hilang-hilang.

e) Batuk yang disertai penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan. Kebanyakan orang yang menderita batuk yang tidak sembuh- sembuh setelah infeksi saluran napas bagian atas, biasanya tidak membutuhkan tes diagnostik seperti x-ray, kultur, dan tes darah. Tetapi, tes direkomendasikan apabila hasil diagnosis berdasarkan pemeriksaan tidak begitu jelas, atau jika dicurigai adanya kondisi lain, seperti pneumonia.

b. Bronkitis Kronik

1) Definisi Bronkitis kronik adalah salah satu jenis penyakit paru obstruktif kronik, yang ditandai dengan batuk produktif selama 3 bulan atau lebih dalam setahun selama sedikitnya 2 tahun. Gejala lain meliputi wheezing dan napas yang memendek, terutama ketika melakukan kegiatan fisik.

berwarna kuning atau hijau, dan mungkin disertai garis darah (Kuschner et al , 2009; Bobadilla et al, 2002).

2) Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut (Sutoyo, 2009; Anzueto, Schaberg, 2003; Pillete et al., 2001).

Penderita dengan bronkitis kronik mengalami eksaserbasi yang cukup sering tiap tahunnya, terutama saat musim penghujan atau musim dingin pada negara dengan 4 musim. Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus pernapasan dan infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal jantung kongestif, emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti narkotik dan lain-lain. Proses yang kompleks merupakan kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggung jawab atas terjadinya bronkitis kronik. Efek kombinasi tersebut menghasilkan kolonisasi bakteri dan infeksi kronik yang berkontribusi terhadap kejadian eksaserbasi dan kerusakan mekanisme pertahanan paru yang berakibat memudahkan terjadinya eksaserbasi dan demikian seterusnya.

Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronik (rokok, polusi udara, infeksi berulang) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Inflamasi ini melibatkan berbagai sel, mediator, dan menimbulkan banyak efek. Sel makrofag yang banyak terdapat pada Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronik (rokok, polusi udara, infeksi berulang) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Inflamasi ini melibatkan berbagai sel, mediator, dan menimbulkan banyak efek. Sel makrofag yang banyak terdapat pada

Selain makrofag, sel limfosit T dan neutrophil juga berperan pada mekanisme ini sehingga terjadi berbagai mediator dan sitokin (perforin, granzyme-B, TNF-X oleh limfosit T dan IL-8, LTB4, GM-CSF oleh neutrofil) yang saling berinteraksi dan menimbulkan proses inflamasi kronik. Neutrofil yang teraktivasi meningkat pada penderita bronkitis kronik dan akan semakin meningkat pada saat eksaserbasi akut. Neutrofil mengeluarkan elastase dan proteinase-3 yang merupakan mediator yang poten untuk merangsang produksi mukus sehingga terlibat dalam hipersekresi mukus yang kronik.

Selain mekanisme di atas, juga dilibatkan imunoglobulin (Ig) A sekretori yang berfungsi sebagai barier pada epitel saluran napas yang mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa. Asap rokok/polusi udara melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas antara lain melalui pengaruhnya terhadap ekspresi reseptor polimerik Imunoglobulin yang mengakibatkan penurunan produksi komponen IgA sekretori dan melemahkan transport komponen sekretori yang mengakibatkan rendahnya kadar IgA dalam lumen saluran napas.Hal ini menyebabkan penurunan mekanisme pertahanan saluran napas sehingga memudahkan Selain mekanisme di atas, juga dilibatkan imunoglobulin (Ig) A sekretori yang berfungsi sebagai barier pada epitel saluran napas yang mencegah penetrasi antigen ke dalam mukosa. Asap rokok/polusi udara melemahkan mekanisme pertahanan saluran napas antara lain melalui pengaruhnya terhadap ekspresi reseptor polimerik Imunoglobulin yang mengakibatkan penurunan produksi komponen IgA sekretori dan melemahkan transport komponen sekretori yang mengakibatkan rendahnya kadar IgA dalam lumen saluran napas.Hal ini menyebabkan penurunan mekanisme pertahanan saluran napas sehingga memudahkan

Murphy and Sethi mengemukakan hipotesis Vicious circle pada bronkitis kronik dengan mengungkapkan kerusakan jalan napas akibat infeksi kronik dan kolonisasi bakteri adalah melalui penglepasan mediator inflamasi yang terus menerus. Kondisi tersebut melemahkan pertahanan paru dan menyebabkan infeksi persisten sehingga mengakibatkan inflamasi kronik dengan konsekuensi penurunan fungsi paru secara progresif. Kondisi ini seperti lingkaran setan atau lingkaran yang tak jelas ujung pangkalnya.

3) Epidemiologi (Alsagaff dan Mukty, 2005)

a) Distribusi dan insidensi

Insidensi dari bronkitis di negara-negara industri menunjukkan peningkatan. Peningkatan ini mungkin berkaitan dengan polusi udara.

b) Jenis kelamin

Bronkitis lebih sering ditemukan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan 3-10 : 1.

Insidensi di Belanda ialah 10-15 persen pria dewasa, 5 persen wanita dewasa, dan 5 persen anak-anak.

d) Pekerjaan

Bronkitis lebih menyebar pada pekerja yang terekspos udara berasap dan berdebu. Hal ini berkaitan erat dengan faktor alergi dan hiperreaktifitas bronkus.

4) Etiologi (Wilson, 2005)

a) Polusi udara

Eksaserbasi dari bronkitis terjadi berlipat-lipat ketika udara tercemar oleh asap dalam jumlah tinggi.

b) Rokok

Merokok dapat merusak pohon bronkus dan merupakan salah satu faktor etiologi yang bertanggung jawab atas bronkitis kronik.

c) Infeksi

Infeksi adalah penyebab utama dari eksaserbasi akut dari bronkitis kronik. Dari sebuah studi di Hong Kong, pada biakan sputum pasien eksaserbasi akut bronkitis kronik positif ditemukan Haemophilus influenzae sebesar 13 %, Pseudomonas aeruginosa 6 %, dan Streptococcus pneumoniae 5,5 %. Obstruksi aliran udara yang lebih parah dikaitkan dengan kemungkinan lebih tinggi untuk ditemu-

5) Diagnosis (Alsagaff dan Mukty, 2005)

Menurut American Thoracic Society, diagnosisnya adalah sebagai berikut:

a) Anamnesis

Anamnesis ulang pada waktu penderita kembali memeriksakan diri, amat bermanfaat untuk menilai progesivitas penyakit dan respons pengobatan. Sesak napas yang menjadi keluhan utama, sering disertai batuk, mengi, dahak, serta infeksi saluran napas berulang.

b) Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaa fisik dapat ditemukan tanda-tanda : Hiperinflamasi paru, penggunaan otot napas sekunder, perubahan pola napas dan suara napas yang abnormal.

c) Pemeriksaan Radiologis

Dibutuhkan x-foto thoraks dalam proyeksi PA serta lateral, namun perlu ditekankan bahwa korelasi kelainan foto toraks dengan gradasi obstruksi jalan napas tidak besar. Pada foto toraks nampak gambaran tubular shadow berupa bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apeks paru dan corakan paru yang bertambah. Pemeriksaan yang lebih canggih seperti CT-scan tidak dibutuhkan.

d) Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan utama adalah FEV1 dan rasio FEV1/FVC, walau masih banyak lagi pemeriksaan faal paru lain, namun tidak ada bukti bahwa Pemeriksaan utama adalah FEV1 dan rasio FEV1/FVC, walau masih banyak lagi pemeriksaan faal paru lain, namun tidak ada bukti bahwa

e) Pemeriksaan Laboratorium

Analisis gas darah dan elektrolit perlu dikerjakan pada penderita COPD dengan FEV1 kurang dari 1,5 liter atau EKG yang konsisten dengan pembesaran ventrikel kanan. Eritrositosis sekunder yang didapatkan dari kadar Hb dan hematokrit, mencerminkan keadaan hipoksemia yang kronis. Pemeriksaan laboratorium lainnya disesuaikan dengan keadaan.

c. Bronkitis Eosinofilik

Bronkitis eosinofilik adalah penyebab batuk kronik yang ditemukan baru-baru ini, yang bertanggung jawab atas 10 sampai 15 persen kasus. Pasien dengan penyakit ini mempunyai batuk kronik dengan sputum bereosinofil (3 % eosinofil), tetapi tidak ada kelainan lain yang terlihat bersama dengan asma. Secara spesifik, pasien ini tidak mempunyai gejala obstruksi saluran napas, tes fungsi paru normal, dan tes respon terhadap methacoline juga normal (Smucny, 2003).

Bronkitis eosinofilik sering ditemukan dengan gejala batuk kronis, aliran napas yang terhalang, saluran napas yang hiperresponsif, dan bukti obyektif dari atopi seperti dahak atau darah bereosinophil, peningkatan kadar Bronkitis eosinofilik sering ditemukan dengan gejala batuk kronis, aliran napas yang terhalang, saluran napas yang hiperresponsif, dan bukti obyektif dari atopi seperti dahak atau darah bereosinophil, peningkatan kadar

2. Rinitis

Rinitis digambarkan sebagai radang dari membran mukus yang membatasi hidung. Kondisi ini ditandai oleh hidung buntu, rhinorrhea, bersin, gatal di hidung (Carek,Dickerson, 2003).

a. Rinitis Alergi

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Dan menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 definisi rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorrhea, rasa gatal, dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE (Irawati Kasakeyan, Rusmono, 2007)

Rinitis alergi adalah masalah hidung paling sering di Amerika Serikat, mengenai 1 dari 5 orang dewasa dan anak-anak. Onset dari rinitis alergi secara khas pada masa kanak-kanak, remaja, dan awal masa dewasa. Pada sebuah studi di Tuczon, Arizona, 42 % dari anak-anak yang dievaluasi mempunyai rinitis alergi sejak usia enam tahun, tetapi onset dari gejalanya biasanya nampak antara usia 10-20 tahun. Delapan puluh persen kasus rinitis Rinitis alergi adalah masalah hidung paling sering di Amerika Serikat, mengenai 1 dari 5 orang dewasa dan anak-anak. Onset dari rinitis alergi secara khas pada masa kanak-kanak, remaja, dan awal masa dewasa. Pada sebuah studi di Tuczon, Arizona, 42 % dari anak-anak yang dievaluasi mempunyai rinitis alergi sejak usia enam tahun, tetapi onset dari gejalanya biasanya nampak antara usia 10-20 tahun. Delapan puluh persen kasus rinitis

1) Patofisiologi (Carek,Dickerson, 2003) Rinitis alergi mungkin musiman atau tidak berkesudahan, dan keduanya mungkin hadir dalam individu yang sama. Kedua tipe rinitis alergi ini merupakan hasil reaksi yang diperantarai IgE dari mukosa nasal kepada alergen.

Alergen musiman yang paling sering adalah serbuk sari. Serbuk sari pohon-pohon banyak dilepaskan selama awal hingga pertengahan musim semi. Sedangkan musim serbuk sari rerumputan yang paling tinggi adalah pada akhir musim semi hingga awal musim panas, dan serbuk sari rumput liar pada akhir musim kemarau hingga awal musim gugur.

Rinitis alergi yang tidak berkesudahan disebabkan oleh reaksi yang diperantarai IgE terhadap alergen di lingkungan. Alergen-alergen ini termasuk debu hama, ketombe binatang, dan jamur. Sebagai tambahan, kecoa dan serangga-serangga lain, dan tanaman-tanaman lain yang dapat mmproduksi alergen yang bertanggung jawab terhadap rinitis alergi yang tidak berkesudahan.

a) Anamnesis

Anamnesis yang detil dan akurat penting untuk evaluasi awal individu dengan rinitis alergi. Hasil anamnesis pasien harus dicatat, dan ditanyakan apakah diri sendiri atau keluarga ada riwayat atopi (rinitis alergi, asma, eksim atopi, dsb) selama masa kanak-kanak harus ditemukan. Pertanyaan tentang gejala dan pola gejala, termasuk onset, progres, tingkat keparahan, durasi, hubungan dengan musim, kegiatan sehari-hari dan faktor-faktor yang memperburuk, harus ditanyakan.

Selain itu juga perlu ditanyakan tentang keberadaan peliharaan dalam rumah, asap rokok atau polusi udara.

Gejala dari rinitis alergi meliputi bersin-bersin; gatal pada hidung, mata, palatum, atau faring; hidung buntu dengan obstruksi jalan napas sebagian atau seluruhnya; rhinorrhea, sering bersama dengan pengeringan postnasal. Mata berair dan sakit ditambah dengan discharge gelatinous konjungtiva di pagi hari dan perasaan tidak fit seperti mudah tersinggung, lelah, dan depresi mungkin muncul selama masa puncak gejala.

b) Pemeriksaan

Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada hidung, mata, tenggorokan, dan telinga. Paru dan kulit juga harus diperiksa. Pasien Pemeriksaan fisik harus difokuskan pada hidung, mata, tenggorokan, dan telinga. Paru dan kulit juga harus diperiksa. Pasien

Sedangkan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan hitung eosinofil dan total IgE, pemeriksaan sekret hidung untuk sel-sel inflamasi, test kulit untuk mendeteksi IgE yaitu dengan test prick epicutan dan tes intradermal, test radioallergosorbent untuk alternatif test kulit. Selain itu dapat juga dengan fiber-optic nasal endoscopy, rhinomanometry, CT scan atau MRI.

b. Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, β-Blocker, aspirin, klorpromazin, dan obat topikal hidung dekongestan) (Papon et al, 2005).

Rinitis ini digolongkan menjadi non-alergi bila adanya alergi/alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan alergi yang sesuai (anamnesis, tes cukit kulit, kadar antibodi kulit IgE spesifik serum) (Bernstein, 2004).

Etiologi dan patofisiologi yang pasti belum diketahui. Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan antara lain:

a) Neurogenik (disfungsi sistem otonom)

Serabut simpatis hidung berasal dari korda spinalis segmen Th 1-

2, menginervasi terutama pembuluh darah mukosa dan sebagian kelenjar. Serabut simpatis melepaskan ko-transmitter noradrenalin dan neuropeptida Y yang menyebabkan vasokontriksi dan penurunan sekresi hidung. Tonus simpatis ini berfluktuasi sepanjang hari yang menyebabkan adanya peningkatan tahanan rongga hidung yang bergantian selama 2-4 jam. Keadaan ini yang disebut “siklus nasi”. Dengan adanya siklus ini, seseorang akan tetap mampu bernapas normal melalui rongga hidung yang berubah luasnya.

Serabut saraf parasimpatis berasal nukleus salivatori superior menuju ganglion sphenopalatina dan membentuk n.Vidianus, kemudian menginervasi pembuluh darah dan terutama kelenjar eksokrin. Pada rangsangan akan terjadi pelepasan ko-transmitter asetilkolin dan vasoaktif intestinal peptida yang menyebabkan peningkatan sekresi hidung dan vasodilatasi, sehingga terjadi kongesti hidung.

b) Neuropeptida

Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di Pada mekanisme ini terjadi disfungsi hidung yang diakibatkan oleh meningkatnya rangsangan terhadap saraf sensoris serabut C di

c) Nitrik Oksida

Kadar Nitrik Oksida yang tinggi dan persisten di lapisan epitel hidung dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau nekrosis epitel, sehingga rangsangan nonspesifik berinteraksi langsung ke lapisan sub- epitel. Akibatnya terjadi peningkatan reaktifitas serabut trigerminal dan rekrutment refleks vaskular dan kelenjar mukosa hidung.

d) Trauma

Rinitis vasomotor dapat merupakan komplikasi jangka panjang dari trauma hidung melalui mekanisme neurogenik dan/atau neuropeptida.

2) Gejala Klinik (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007)

Pada rinitis vasomotor, gejala sering dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman beralkohol, makanan pedas, udara dingin, pendingin dan pemanas ruangan, perubahan kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan, stres/emosi. Pada keadaan normal faktor-faktor tersebut tidak dianggap sebagai gangguan oleh individu tersebut.

namun gejala yang dominan adalah hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi pasien. Selain itu terdapat rinorrhea yang mukoid atau serosa. Keluhan ini jarang disertai dengan gejala mata.

Gejala dapat memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur oleh karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembap, asap rokok dan sebagainya.

Berdasar gejala yang menonjol, kelainan ini dibedakan dalam tiga golongan, yaitu:

a) Golongan Bersin (Sneezer). Gejala biasanya memberikan respon yang baik dengan antihistamin dan glukokortikosteroid topikal

b) Golongan Rinorrhea (Runners). Gejala dapat diatasi dengan pemberian antikolinergik topikal

c) Golongan Tersumbat (Blockers). Kongesti umumnya memberikan respon yang baik dengan terapi glukokortikosteroid topikal dan vasokonstriktor oral.

3) Diagnosis (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007)

Diagnosis umumnya ditegakkan dengan cara eksklusi, yaitu menyingkirkan adanya rinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal, dan akibat obat. Dalam anamnesis dicari faktor yang mempengaruhi timbulnya gejala.

berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat. Hal ini perlu dibedakan dengan rinitis alergi. Permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol (hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan tetapi pada golongan rinorrhea sekret yang akan ditemukan adalah serosa dan banyak jumlahnya.

Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan rinitis alergi. Kadang ditemukan juga eosinofil pada sekret hidung, akan tetapi jumlahnya sedikit. Tes cukit kulit biasanya negatif. Kadar IgE spesifik tidak meningkat.

c. Rinitis Medikamentosa

Rinitis medikamentosa adalah suatu kelainan hidung berupa gangguan respon normal vasomotor yang diakibatkan oleh pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. Dapat dikatakan bahwa hal ini disebabkan oleh pemakaian obat yang berlebihan (Lockey, 2006).

1) Patofisiologi (Ramey et al, 2006)

Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal Mukosa hidung merupakan organ yang sangat peka terhadap rangsangan atau iritan, sehingga harus berhati-hati memakai topikal

Pemakaian topikal vasokonstriktor yang berulang dan dalam jangka waktu lama akan menyebabkan terjadinya fase dilatasi berulang (rebound dilatation) setelah vasokonstriksi, sehingga timbul gejala obstruksi. Adanya gejala obstruksi ini menyebabkan pasien lebih sering dan lebih banyak lagi menggunakan obat tersebut. Pada keadaan ini ditemukan kadar agonis alfa-adrenergik yang tinggi di mukosa hidung. Hal ini akan diikuti dengan penurunan sensitifitas reseptor alfa- adrenergik di pembuluh darah sehingga terjadi suatu toleransi. Aktivitas dari tonus simpatis yang menyebabkan vasokonstriksi (dekongesti mukosa hidung) menghilang. Akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan mukosa hidung. Keadaan ini disebut juga sebagai rebound congestion.

Kerusakan yang terjadi pada mukosa hidung pada pemakain obat tetes hidung dalam waktu lama ialah: 1) silia rusak. 2) sel goblet berubah ukurannya, 3) membran basal menebal, 4)pembuluh darah melebar, 5) stroma tampak edema, 6) hipersekresi kelenjar mukus dan perubahan pH sekret hidung, 7) lapisan submukosal menebal, dan 8) lapisan periostium menebal. Oleh karena itu pemakaian obat topikal vasokonstriktor sebaiknya tidak lebih dari satu minggu, dan sebaiknya yang bersifat isotonik dengan sekret hidung normal (pH antara 6,3 dan 6,5).

Pasien mengeluh hidungnya tersumbat terus menerus dan berair. Pada pemeriksaan tampak edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang (Irawati, Poerbonegoro, Kasakeyan, 2007).

d. Rinitis Simpleks ( Hueston, Mainous III, 2003) Penyakit ini merupakan penyakit virus yang paling sering ditemukan pada manusia. Sering disebut juga sebagai selesma, common cold, flu. Rinitis simpleks bisa terjadi sepanjang saluran pernapasan, dengan peradangan dan keterlibatan permukaan mukosa hidung, sinus, tenggorokan, telinga, dan paru. Banyak diagnosis rinitis simpleks yang gejalanya tumpang tindih dengan gejala lain (misalnya, sinusitis akut dan rinitis simpleks; rinitis simpleks dengan bronkitis akut). Respon peradangan terhadap patogen menghasilkan bengkak, discharge, dan rasa nyeri.

1) Epidemiologi

Rinitis simpleks adalah penyakit menular yang sering ditemukan. Orang dewasa biasanya memiliki 2-4 kejadian rinitis simpleks setiap tahun, dan anak-anak di tempat penitipan memiliki sebanyak enam atau tujuh kejadian. Meskipun rinitis simpleks ringan, cenderung membaik dengan sendirinya, dan durasinya pendek, mereka adalah penyebab utama penyakit dan ketidakhadiran di industri dan sekolah.

biasanya terjadi melalui kontak dengan benda mati seperti bermain kartu serta melalui tangan langsung ke tangan seperti berjabat tangan. Rinitis simpleks memiliki variasi musim, di Amerika Serikat, terdapat peningkatan prevalensi antara September dan Maret. Tidak jelas mengapa variasi ini ada, meskipun mungkin terkait untuk meningkatkan kepadatan populasi dalam ruangan pada bulan-bulan dingin. Suhu bukanlah kunci dari variasi musiman tanpa kehadiran patogen.

2) Patofisiologi Sebuah studi baru-baru ini menetapkan bahwa sebagian besar rinitis simpleks disebabkan oleh virus. Rhinoviruses adalah jenis virus yang paling sering, ditemukan pada 53 persen pasien. Coronaviruses adalah penyebab kedua yang paling sering.

Infeksi yang disebabkan virus jarang cukup berat sehingga memerlukan rawat inap. Namun, hal ini tidak benar untuk pasien dengan masalah paru berat, di antaranya infeksi pernapasan yang disebabkan virus dapat menghasilkan kompromi pernafasan akut yang memerlukan rawat inap. Pasien dari populasi berpenghasilan rendah dengan penyakit paru kronis berada pada risiko terbesar untuk kompromi berat terkait dengan infeksi pernapasan virus.

Akhirnya, banyak dokter mengatakan kepada pasien bahwa pasien tersebut "rentan" untuk rinitis simpleks. Kerentanan lebih besar tampaknya Akhirnya, banyak dokter mengatakan kepada pasien bahwa pasien tersebut "rentan" untuk rinitis simpleks. Kerentanan lebih besar tampaknya

6 sampai 17 bulan, ketika menderita rinitis simpleks mungkin terjadi kompromi dan dapat mengakibatkan komplikasi seperti otitis media.

3) Diagnosis Rinitis simpleks sering diduga berdurasi pendek, tetapi gejala sebenarnya bisa bertahan 12 sampai 14 hari. Dalam sebuah penelitian yang mengamati efektivitas saline nasal spray untuk rinitis simpleks, Adam dan rekan menemukan bahwa waktu median untuk pemulihan dari rinitis simpleks tanpa komplikasi adalah 15,5 hari.

Nasal Discharge

Di awal perkembangan rinitis simpleks, nasal discharge jernih. Saat peradangan lebih berkembang, discharge dapat menjadi berwarna. Kuning, hijau, atau nasal discharge berwarna coklat-merupakan indikator dari peradangan, bukan infeksi sekunder bakteri. Tidak adanya perubahan warna discharge hidung tidak meningkatkan kemungkinan kemunculan sinusitis, namun keadaan ini sendiri kurang dapat dijadikan sebagai prediktor infeksi bakteri tanpa adanya tanda-tanda lain dari sinusitis. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa pasien dengan discharge yang tidak berubah warna respon terhadap antibiotik lebih baik daripada yang mereka merespon plasebo.

Meskipun bukti bahwa discharge yang tidak berubah warna tidak Meskipun bukti bahwa discharge yang tidak berubah warna tidak

e. Rinitis Hipertrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Istilah hipertrofi digunakan untuk menunjukkan perubahan mukosa hidung pada konka inferior yang mengalami hipertrofi karena proses inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi sekunder. Konka inferior dapat juga mengalami hipertrofi tanpa terjadi infeksi bakterial, misalnya sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.

Gejala utama adalah sumbatan hidung atau gejala di luar hidung akibat hidung yang tersumbat, seperti mulut kering, nyeri kepala dan gangguan tidur. Sekret biasanya banyak dan mukopurulen.

Pada pemeriksaan ditemukan konka yang hipertrofi, terutama konka inferior. Permukaannya berbenjol-benjol karena mukosa yang juga hipertrofi. Akibatnya pasase udara dalam rongga hidung menjadi sempit. Sekret mukopurulen dapat ditemukan di antara konka inferior dan septum dan juga di dasar rongga hidung.

f) Rinitis Atrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007) Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung yang kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis f) Rinitis Atrofi (Wardani dan Mangunkusumo, 2007) Rinitis atrofi merupakan infeksi hidung yang kronik, yang ditandai oleh adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka. Secara klinis

Pada pemeriksaan histopatologi tampak metaplasia epitel torak bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis, silia menghilang, lapisan submukosa menjadi lebih tipis, kelenjar-kelenjar berdegenerasi atau atrofi.

1) Etiologi

Banyak teori mengenai etiologi dan patogenesis atrofi dikemukakan, antara lain 1) infeksi oleh kuman spesifik. Yang tersering ditemukan adalah spesies Klebsiella, terutama Klebsiella ozaena. Kuman lainnya yang juga sering ditemukan adalah Staphilococcus, Streptococcus, dan Pseudomonas aeruginosa. 2) Defisiensi Fe, 3) Defisiensi vitamin A, 4) Sinusitis Kronik, 5) Kelainan hormonal, 6) Penyakit kolagen, yang termasuk penyakit autoimun.

2) Gejala dan Tanda Klinis

Keluhan biasanya berupa napas berbau, ada ingus kental yang berwarna hijau, ada kerak (krusta) hijau, ada gangguan penghidu, sakit kepala dan hidung merasa tersumbat.

konka inferior dan media menjadi hipotrofi atau atrofi, ada sekret purulen dan krusta yang berwarna hijau.

Pemeriksaan penunjang untuk membantu menegakkan diagnosis adalah pemeriksaan histopatologik yang berasal dari biopsi konka media, pemeriksaan mikrobiologi dan uji resistensi kuman dan tomografi komputer (CT scan) sinus paranasal.

g) Rinitis Difteri (Wardani dan Mangunkusumo, 2007) Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacteriium diphteriae, dapat terjadi primer pada hidung atau sekunder dari tenggorok, dapat ditemukan dalam keadaan akut atau kronik. Dugaan adanya rinitis difteri harus dipikirkan pada penderita dengan riwayat imunisasi tidak lengkap. Penyakit ini semakin jarang ditemui karena cakupan program imunisasi yang semakin meningkat.

Gejala rinitis difteri akut ialah demam, toksemia, terdapat limfadenitis dan mungkin adanya paralisis otot pernapasan. Pada hidung ada ingus yang bercampur darah, mungkin ditemukan pseudomembran putih yang mudah berdarah, dan ada krusta coklat di nares anterior dan rongga hidung. Jika perjalanan penyakitnya menjadi kronik, gejala biasanya lebih ringan dan mungkin dapat sembuh sendiri, tetapi dalam keadaan kronik, masih dapat menulari. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan kuman dari sekret hidung.

h) Rinitis Jamur (Wardani dan Mangunkusumo, 2007) Dapat terjadi bersama dengan sinusitis dan bersifat invasif atau non- invasif. Rinitis jamur non-invasif dapat menyerupai rinolith dengan inflamasi mukosa yang lebih berat. Rinolith ini sebenarnya adalah bola jamur (fungus ball ). Biasanya tidak terjadi destruksi kartilago dan tulang.

Tipe invasif ditandai dengan ditemukannya hifa jamur pada lamina propia. Jika terjadi invasi jamur pada submukosa dapat mengakibatkan perforasi septum atau hidung pelana. Jamur sebagai penyebab dapat dilihat dengan pemeriksaan histopatologi, pemeriksaan sediaan langsung atau kultur jamur, misalnya Aspergillus, Candida, Histoplasma, Fussarium, dan Mucor.

Pada pemeriksaan hidung terlihat adanya sekret mukopurulen, mungkin terlihat ulkus atau perforasi pada septum disertai dengan jaringan nekrotik berwarna kehitaman (black eschar).

i) Rinitis Tuberkulosa (Wardani dan Mangunkusumo, 2007)

Rinitis tuberkulosa merupakan kejadian infeksi tuberkulosa ekstra pulmoner. Sering dengan peningkatan kasus tuberkulosis (new emerging disease ) yang berhubungan dengan kasus HIV AIDS, penyakit ini harus diwaspadai keberadaannya. Tuberkulosis pada hidung berbentuk noduler atau ulkus, terutama mengenai tulang rawan septum dan dapat mengakibatkan perforasi.

sehingga menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya basil tahan asam (BTA) pada sekret hidung. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sel datya Langerhans dan limfositosis.

j) Rinitis Sifilis (Wardani dan Mangunkusumo, 2007) Penyebab penyakit ini sudah jarang ditemukan. Penyebab rinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum. Pada rinitis sifilis yang primer dan sekunder gejalanya serupa dengan rinitis akut lainnya, hanya mungkin dapat terlihat adanya bercak/bintik pada mukosa. Pada rinitis sifilis tersier dapat ditemukan gumma atau ulkus, yang terutama mengenai septum nasi dan dapat mengakibatkan perforasi septum.

Pada pemeriksaan klinis didapatkan sekret mukopurulen yang berbau dan krusta. Mungkin terlihat perforasi septum atau hidung pelana. Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan mikrobiologik dan biopsi.

k) Post Nasal Drip (Smucny, 2003) Post nasal drip adalah penyebab paling umum dan paling sering dari batuk kronis, berkisar 8-87 persen dari pasien dengan batuk kronis. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk rinitis alergi, rinitis non alergik, sinusitis bakteri atau jamur kronis, dan rinitis medikamentosa (dari dekongestan hidung atau kokain). Postnasal drip juga dapat bertahan dalam waktu lama setelah infeksi pernapasan atas oleh virus. Selain batuk, pasien k) Post Nasal Drip (Smucny, 2003) Post nasal drip adalah penyebab paling umum dan paling sering dari batuk kronis, berkisar 8-87 persen dari pasien dengan batuk kronis. Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, termasuk rinitis alergi, rinitis non alergik, sinusitis bakteri atau jamur kronis, dan rinitis medikamentosa (dari dekongestan hidung atau kokain). Postnasal drip juga dapat bertahan dalam waktu lama setelah infeksi pernapasan atas oleh virus. Selain batuk, pasien

3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) (Alsagaff dan Mukty, 2005)

ISPA adalah radang akut saluran pernapasan atas maupun bawah yang disebabkan oleh infeksi jasad renik atau bakteri, maupun virus, tanpa atau disertai radang parenkim paru.

ISPA adalah suatu kelompok penyakit sebagai penyebab angka absensi tertinggi bila dibandingkan dengan kelompok penyakit lain. Lebih dari 50 % dari absensi atau dari semua angka tidak masuk kerja/sekolah disebabkan penyakit ini. Angka kekerapan kejadian ISPA, tertinggi pada kelompok- kelompok tertutup di masyarakat, misalnya penghuni asrama, kesatrian, sekolah, atau sekolah yang juga menyelenggarakan pemondokan. Di negara barat, kasus ini banyak dijumpai pada karyawan dan murid sekolah pada musim dingin, awal musim gugur, atau pada masa-masa pergantina musim.

infeksi bakterial sering merupakan penyulit ISPA yang disebabkan oleh virus, terutama bila ada epidemi atau pandemi. Penyulit bakterial umumnya disertai keradangan parenkim.

a. ISPA yang disebabkan virus

Virus pernapasan merupakan penyebab terbesar ISPA. Hingga kini telah dikenal lebih dari 100 jenis virus penyebab ISPA. Infeksi virus memberikan gambaran klinik yang khas akan tetapi sebaliknya beberapa jenis virus bersama-bersama dapat pula memberikan gambaran yang hampir sama. Dalam klinik dikenal enam kelompok besar virus pernapasan sebagai penyebab ISPA, yaitu Orthomyxovirus, Paramyxovirus, Metamyxovirus, Adenovirus,Piconarvirus, Coronavirus .

Gambaran klinik secara umum yang sering didapat adalah: rinitis, nyeri tenggorokan, batuk-batuk dengan dahak kuning/putih kental, nyeri retrosternaldan konjungtivitis. Suhu badan meningkat antara 4-7 hari, disertai malaise, mialgia, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah-muntah, dan insomnia.Kadang dapat juga terjadi diare. Bila peningkatan suhu berlangsung lama biasanya menunjukkan adanya penyulit.

Di klinik dikenal enam gambaran sindroma ISPA yang disebabkan virus, yaitu:

Sindroma ini ditandai dengan peningkatan sekresi hidung, bersin- bersin, hidung buntu, kadang-kadang disertai sekresi air mata dan konjungtivitis ringan.

2) Sindroma Faring Gambaran klinik yang menonjol adalah suara serak dan nyeri tenggorok dengan derajat ringan sampai berat. Terdapat keradangan faring dan pembesaran adenoid serta tonsil, kadang-kadang adenoid sangat besar sehingga menimbulkan obstruksi pada hidung. Sering dijumpai penderita dengan batuk-batuk tanpa disertai koriza.

3) Sindroma Faringkonjungtiva Gejala klinik diawali dengan faringitis yang berat kemudian diikuti dengan konjungtivitis yang sering kali bilateral. Dapat pula dimulai dengan konjungtivitis yang berlangsung 1-2 minggu sebelum gejala faringitis itu sendiri. Pada sindroma faringokonjungtiva didapatkan fotofopi dan nyeri pada bola mata.

4) Sindroma Influenza Gambaran yang menonjol pada sindroma influenza adalah gangguan fisik cukup berat,dengan gejala batuk, meriang, panas badan, lemah badan, nyeri kepala. Nyeri tenggorok, nyeri retrosternal, nyeri seluruh tubuh, malaise, dan anoreksia.

Gambaran klinik berupa vesikel-vesikel yang terdapat di dalam mulut dan faring. Vesikel ini kemudian mengalami ulserasi dengan tepi yang membengkak, disertai nyeri tenggorokan,nyeri kepala, dan panas badan.

6) Sindroma Laringotrakeobronkitis Obstruktif Akut

Gambaran klinik tampak gawat dan berat berupa batuk-batuk, sesak napas yang disertai stridor inspirasi, sianosis serta gangguan-gangguan sistemik lain.

Gejala awal sering ringan yaitu berupa sindroma koriza, kemudian dengan cepat memburuk berupa obstruksi jalan napas yang hebat dengan penarikan-penarikan sela antariga toraks bagian bawah serta penggunaan otot-otot napas bantu secara menonjol.

b. ISPA yang disebabkan oleh Micoplasma Pneumonia

Penularan banyak terjadi melalui kontak yang erat seperti yang terjadi dalam keluarga maupun di asrama. Gejala klinik berupa nasofaringitis, bronkitis, bronkopneumonia, atau pleuritis. Sering pula dilaporkan ada infeksi sekunder oleh Diplococcus pneumonia, Neiseria kataralis, dan Haemophilus influenza.

c. Psitakosis-Ornitosis

Agen psitakosis didapatkan pada burung parkit atau nuri, sedang ornitosis banyak terdapat pada burung merpati. Cara infeksi terjadi melalui pernapasan, juga dari benda-benda yang tercemar atau melalui gigitan.

Gejala klinik bervariasi, dari gejala ringan pada saluran napas sampai pada keadaan yang lebih berat berupa pneumonia.

d. Demam Q (Demam Queensland)

Disebabkan oleh riketsia golongan Coxiella bunetti gejala klinik yang menonjol ialah infeksi saluran pernapasan dengan atau tanpa penyulit radang paru.

Berdasarkan landasan teori yang telah disebutkan di atas, maka diperoleh kerangka teori sebagai berikut:

Faktor Risiko Rinitis :

1. Alergen

2. Obat topikal nasal

3. Infeksi (bakteri, virus, jamur)

4. Perubahan suhu dan kelembapan

5. Asap

6. Stress

Rinitis Berulang

Post Nasal Drip

IgA menurun

Inflamasi di Bronkus

Bronkitis Akut

Bronkitis Simpleks

Terdapat hubungan bermakna antara bronkitis kronik dengan riwayat rinitis berulang.

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan Case Control.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta pada bulan April- Mei 2011.

C. Subjek Penelitian

1. Kriteria Inklusi

a. Pasien usia 18-87 tahun

b. Laki-laki dan perempuan

c. Bersedia menjadi responden dalam penelitian.

diagnosis dari dokter spesialis Paru di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta (sebagai kelompok kasus).

e. Pasien yang mengidap ISPA di Poliklinik Penyakit Paru dan Poliklinik Penyakit THT RSUD dr. Moewardi Surakarta (sebagai kelompok kontrol).

2. Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang menderita penyakit asma, bronkiektasis, dan tuberkulosis, dan lain-lain.

b. Pasien yang sudah lama bronkitis kroniknya tidak kambuh.

D. Teknik Sampling

Pengambilan sampel dilakukan secara purposive sampling yaitu memilih subjek berdasarkan ciri-ciri yang sudah diketahui sebelumnya.