Etika Emansipatoris Jurgen Habermas. doc
Etika Emansipatoris Jurgen Habermas
Pendahuluan
Janji yang diusung modernitas 1 akan kemajuan bagi umat manusia serta
peningkatan kualitas kemanusiaan telah gagal dipenuhinya. Hingga akhir abad silam
modernitas justru melahirkan banyak permasalahan bagi umat manusia. Kemajuan
teknologi hanya dapat dinikmati segelintir manusia di negara-negara maju guna
menambah kesenjangan kekayaan dibanding manusia di belahan bumi lain. Kapitalisme
yang diusung korporat-korporat raksasa makin mencengkeram di berbagai pelosok bumi
dengan menyingkirkan unit-unit usaha gurem yang gagal memahami mekanisme
persaingan pasar bebas. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan ditambah
berbagai aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan telah mencapai tahap yang
memprihatinkan.
Pemikiran modern (modernism) sendiri pada awalnya adalah satu bentuk gugatan
terhadap dogmatisme gereja yang mengekang perkembangan akal budi manusia atas
nama ajaran Ilahi. Pekik kemerdekaan "Cogito Ergo Sum" Descartes menggulirkan bola
salju subjektivisme dan rasionalisme yang menjadi roda pendorong modernisme.
Rangkaian pemikiran yang selanjutnya menarik sains dan teknologi yang berkembang
pesat dibelakangnya. Mereka percaya bahwa dengan kemajuan sains dan teknologi tidak
akan lagi ada permasalahan yang tidak dapat diatasi. Bahkan, kelak tidak akan ada lagi
misteri yang tidak dapat dipecahkan dengan keduanya, sebuah pernyataan yang
meminggirkan sistem pemikiran lain seperti filsafat dan agama dari arus utama
1
Istilah modernitas perlu dibedakan dengan modernisme terlebih dahulu, modernitas adalah keadaan
masyarakat modern yang berbeda dengan keadaan masyarakat zaman pertengahan sedangkan modernisme
adalah gagasan-gagasan yang melandasi perubahan tersebut diantaranya rasionalisme, humanisme, dan
kapitalisme. Donny Gahral Adian. Percik Pemikiran Kontemporer. (Bandung, Jalasutra, 2006) hlm 67-73
1
pemikiran. Janji kemajuan bagi manusia segera menjadi keyakinan aklamasi para
penganut modernisme. Sebuah janji yang diucapkan namun gagal dipenuhi sehingga
gugatan deras mengalir kepadanya bahkan dari para pemikir barat sendiri.
Salah satu gugatan besar yang dialami modernisme berawal dari Nietszche
dengan membuka kedok utama kehendak berkuasa yang berada di balik rasionalitas dan
nilai-nilai moral yang dianggap universal oleh pemikir barat. Pada periode selanjutnya
Freud menguak keberadaan alam bawah sadar yang mengenggelamkan subjek sadar yang
dianggap rasional. Puncak gugatan terhadapnya dilahirkan oleh Heidegger yang
menafikan universalisme pemikiran mengingat kedudukan manusia sebagai das sein (ada
disana) yaitu suatu entitas yang berlumuran sejarah dengan selubung tafsirnya masingmasing. Sebuah pemikiran yang nantinya akan membuka jalan bagi para pemikir
postmodern.
Jauh sebelumnya, dalam sistem sosial, gugatan datang dari Marx terhadap sistem
ekonomi kapitalis yang diusung modernisme dengan pernyataan bahwa eksploitasi
terhadap para pekerja oleh para pemilik alat-alat produksi sebagai suatu perampokan.
Marx juga menganggap bahwa sistem kapitalisme, diakibatkan kontradiksi-kontradiks
yang ada didalamnya akan mengalami kehancuran dan memunculkan satu masyarakat
komunis dengan ciri hilangnya kepemilikan pribadi. Sebuah gugatan yang masih dapat
ditemui bentuknya dalam pemikiran Mahzab Frakfrut di Jerman dan juga menjadi
dogmatis ditangan Marxisme Leninisme di Soviet abad silam.
Abad ke-20 sendiri ditandai dengan dua arus utama gugatan terhadap
modernisme. Gugatan pertama berasal dari sekelompok pemikir Mahzab Frakfrut,
2
sebagai penerus kritik Marx, yang mempertanyakan keberadaan teori-teori positivis yang
mengaku bebas nilai namun mengabaikan kemungkinan emansipasi dan dianggap hanya
memperkokoh kekuasaan. Mereka mengusung teori-teori baru yang kerap disebut teori
kritis. Gugatan kedua terhadap modernisme datang dari arus posmodernisme, sebagai
pewaris Nietszche, yang memaklumatkan kematian narasi-narasi besar universal dan
membuka jalan bagi keberadaan narasi-narasi kecil dengan keunikan masing-masing.
Sebuah arus pemikiran yang juga banyak berhutang pada pemikiran strukturalisme
bahasa sebagaimana diusung Ferdinand de Saussure dengan perkembangan beragam
bentuk namun memiliki satu warna tersendiri. Para pemikir posmodern beranggapan
bahwa modernisme sudah selesai dan harus ditinggalkan, suatu gagasan yang tidak
disetujui oleh pemikir Mahzab Frakfurt terutama oleh Jurgen Habermas sebagai tokoh
yang disebut pewaris generasi kedua Mahzab Frakfrut. Habermas berpendapat bahwa
modernisme hanyalah satu proyek yang belum selesai sehingga harus dituntaskan
tujuannya.
Tulisan ini mencoba membahas tawaran gagasan Habermas tentang penyelesaian
proyek modernisme. Tulisan akan lebih difokuskan pada sistem etika yang diusung
karena hal ini adalah salah satu pokok bahasan yang menjadi perdebatan dengan kaum
posmodern. Latar belakang intelektual akan memulai tulisan ini dilanjutkan dengan
penjabaran sistem pemikiran etikanya. Tulisan akan diakhiri dengan keberatan-keberatan
dari kaum posmodern terhadap gagasan Habermas sebagai satu perbandingan kritis yang
menarik untuk dilihat.
Biografi Singkat
3
Habermas lahir pada 18 Juni 1929, menempuh pendidikan di Universitas
Gottingen dalam bidang sastra, sejarah, ekonomi, psikologi, dan filsafat2. Dia lalu
melanjutkan pendidikan di bidang filsafat pada Universitas Bonn hingga mencapai gelar
doktor pada 1954, dengan disertasi yang bercerita tentang konflik antara yang absolute
dan sejarah dalam pemikiran Schelling3. Disertasi tersebut diberi judul Das Absolute und
die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah). Kemudian dia menekuni pemikiran George
Lukacs dalam History and Class Consciousness (Sejarah dan Kesadaran Kelas),
pemikiran Mahzab Frankfurt seperti karya Adorno dan Horkheimer dalam Dialectics of
Enlightenment (Dialektika Pencerahan), pemikiran Marx muda, dan Hegel muda.
Gurunya adalah Karl Lowith seorang guru besar di Jerman4.
Habermas selanjutnya bergabung dengan Mahzab Frakfurt pada 1956 dan
mendapatkan popularitasnya di kalangan mahasiswa karena kritik-kritiknya yang radikal.
Meskipun demikian, dia lalu meninggalkan Frakfurt pada 1970 karena konflik dengan
mahasiswa akibat ketidaksetujuannya dengan tindak kekerasan yang mereka lakukan.
Baginya tindak kekerasan bukanlah suatu solusi bagi permasalahan yang mendasar
sedangkan bagi mahasiswa dia dianggap tidak konsisten dengan keradikalan
pemikirannya5. Dia lalu bergabung dengan Max Planck Institute yang mempelajari
keadaan di dalam dunia ilmiah yang bersifat teknis hingga pada akhirnya Habermas
kembali lagi ke Frakfurt pada 19826.
Habermas adalah seorang penulis yang produktif dan karyanya banyak bertebaran
di dalam berbagai esai dan buku. Diantara banyak karyanya, terdapat karya-karya yang
2
Ibrahim Ali Fauzi. Jurgen Habermas. (Jakarta, Teraju, 2003) hlm 18-19
James Bohman dan William Rehg. "Jurgen Habermas" dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2007
(http://plato.stanford.edu/entries/habermas/)
4
Ibrahim Ali Fauzi. op. cit., hlm 19-20
5
Ibid., hlm 30-31
6
Ibid., hlm 23-25
3
4
menandai peralihan fase-fase pemikirannya sebagaimana diklasifikasikan dalam The
Cambridge Dictionary of Philosophy7. Fase pertama ditandai dengan karyanya The
Structural Transformation of The Public Sphere (1961) berisi analisis kesejarahan tentang
kemunculan ruang publik di Eropa pada abad ke-18 dan kemundurannya kemudian. Fase
berikutnya ditandai dengan dua karyanya yaitu The Logic of Social Sciences (1963) dan
Knowledge and Human Interests (1967) yang mengungkap kepentingan-kepentingan di
balik ilmu-ilmu sosial. Fase ketiga dalam perkembangan intelektualnya ditandai dengan
karyanya dua jilid The Theory of Communicative Action (1982) dimana dia mengajukan
satu bangunan teori kritis atas modernitas dengan berdasar pada teori komprehensif
tentang tindak komunikasi. Fase kemudian mewujud dalam Discourse Ethics: Notes on a
Program of Mutual Justification (1982) dengan aplikasi teori yang dia usung ke dalam
permasalahan yang lebih luas mencakup permasalahan etika, politik, dan hukum. Fase
kelima dalam intelektualitas Habermas diwujudkan dalam Between Facts and Norms
(1992) yang menyusun satu sistematisasi atas hukum dan demokrasi dengan landasan
teori normatifnya dan teori sosial yang dia ajukan.
Seting Sosial Kehidupan Habermas
Habermas mengalami masa kecil di masa kekuasaan Nazi masih bercokol. Dia
tumbuh dewasa pada masa kekalahan Nazi, dan bangsa Jerman pada umumnya, setelah
kegagalan penaklukan Hitler atas Eropa pada perang dunia II. Proses sejarah tersebut
diakhiri dengan bunuh dirinya Hitler dan peradilan Mahkamah Internasional di
Nuremberg atas para perwira yang terlibat di dalamnya atas kejahatan terhadap
perdamaian dan kemanusiaan8. Peradilan yang membawa satu kedalaman pemikiran
7
Robert Audi (ed.). The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge, Cambridge University Press,
1995) hlm 359
8
Arno Kappler dan Adriane Grevel. Fakta Mengenai Jerman (terj.: Edith Koesoemawiria dan Dian Nangoi
Panjaitan). (Jakarta, Katalis, 1995) hlm 93-110
5
Habermas tentang kegagalan moral dan politik bangsa Jerman di bawah rezim Nazi.
Suatu kesan yang muncul kembali ketika dia membaca karya Heidegger, filsuf besar
Jerman yang sekaligus pendukung Nazi, Introduction to Metahphysic (1959) yang
mengandung senjungan terselubung kepada Nazi. Ketika Habermas meminta konfirmasi
terbuka pada Heidegger ternyata yang bersangkutan tidak membalasnya dengan jawaban
apapun. Diamnya Heidegger tersebut menambah keyakinan Habermas akan kegagalan
sistem filsafat Jerman dalam menyediakan satu skema intelektual guna memahami
ataupun mengkritik Nazi9.
Iklim intelektual di Jerman sendiri pada masa Habermas ditandai dengan
perdebatan panjang antara dominasi ajaran positivisme, yang ingin menerapkan metodemetode ilmu alam ke dalam ilmu sosial, dengan mereka yang menentangnya. Salah satu
puncak perdebatan yang diikuti Habermas sendiri terjadi pada 1961-1965 di Tubingen
antara Adorno dengan Karl Popper dan selanjutnya dilanjutkan oleh Habermas di pihak
Adorno dan Hans Albert sebagai pembela Popper10. Pada dasarnya kritik yang digagas
Mahzab Frakfurt adalah pada tujuan pengetahuan dalam positivisme yang semata-mata
menyelidiki apa yang ada (das sein) tanpa memperdulikan apa yang seharusnya ada (das
sollen). Suatu pengetahuan hanya digunakan untuk menyalin realitas tentu akan berpihak
pada pelestarian keadaan yang ada (status quo) tanpa perduli seberapa buruknya keadaan
tersebut. Celakanya, justru dari pengetahun tersebut dihasilkan satu peramalan,
sebagaimana semboyan positivisme yang diusung August Comte savoir pour prevoir
9
James Bohman dan William Rehg. op. cit., (http://plato.stanford.edu/entries/habermas/)
Fransisco Budi Hardiman. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen
Habermas. (Yogyakarta, Buku Baik, 2004) hlm 16-17
10
6
(mengetahui untuk meramalkan), guna kepentingan rekayasa sosial, dan berbagai
kebijakan sosial politik dalam penanganan masalah-masalah di masyarakat11.
Sementara itu di bidang ekonomi dalam masa Habermas, ramalan Marx akan
runtuhnya sistem Kapitalisme makin jauh dari kenyataan. Kapitalisme makin
memperkokoh dirinya dalam masyarakat barat dengan menarik kaum proletar, kaum yang
diduga Marx akan menjadi subjek revolusi, ke dalam sistemnya. Kapitalisme,
sebagaimana dikumandangkan kaum revisionis seperti Eduard Bernstein, telah mampu
menyesuaikan
dirinya
dengan
perkembangan
jaman
guna
menghindarkan
kehancurannya12. Ajaran Marx sendiri justru terbelah menjadi tiga arus utama 13, di Uni
Sovyet ajarannya dijadikan dogma yang menjadi legitimasi rezim partai komunis Lenin
dan penerusnya, di Eropa diusung oleh sayap moderat dalam tubuh partai sosial demokrat
namun telah kehilangan sisi revolusionernya, dan terakhir adalah ajaran Marx yang
diusung oleh Mahzab Frakfrut, dimana Habermas tergabung didalamnya, yang lebih
menonjol sisi akademis dan kritisnya.
Pengaruh Intelektual
Pemikiran Habermas adalah kombinasi yang unik dari berbagai tradisi pemikiran
barat. Sebagai salah satu pewaris Mahzab Frakfurt maka tak heran jika ajaran Marx
menjadi tulang punggung pemikirannya. Namun Habermas juga melampauinya dengan
mengadopsi berbagai pemikiran kontemporer yang dipelajarinya. Dia mengadopsi
pemikiran Kant, Max Weber, dan juga psikoanalisis Freud. Perhatiannya juga tak luput
dari perkembangan filsafat bahasa sebagaimana diusung Ludwig Wittgenstein sebagai
11
Fransisco Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas. (Yogyakarta, Kanisius, 2003) hlm 21-24
12
Fransisco Budi Hardiman. Kritik Ideologi, hlm 27-28
13
Martin Jay. Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis (terj.:
Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005) hlm 1-2
7
wakil Lingkaran Wina. Filsafatnya tentang modernitas mencoba menembus jalan buntu
teori kritis yang sudah dirintis Mahzab Frankfurt. Berikut akan coba diuraikan beberapa
tokoh yang mempengaruhi pemikiran Habermas dan gagasan-gagasan kunci mereka yang
turut memberi warna dalam ide-ide yang nantinya diusung olehnya.
Immanuel Kant
Pemikiran etika Kant14 adalah salah satu pilar utama pemikiran etika Habermas.
Karenanya Habermas kerap mendapatkan label sebagai penganut Neo-Kantian dalam
klasifikasi pemikiran etikanya. Etika Kant sendiri dibangun atas dasar kemutlakan
kehendak baik sebagai satu hal yang baik pada dirinya sendiri (an sich). Nilai moral
berpusat pada kesadaran subjek atau satu niatan akan perbuatan baik yang disebutnya
“maksim”. Maksim sendiri dibagi atas maksim empiris dan maksim a priori. Maksim
empiris mempertimbangkan akibat dari satu tindakan sedangkan maksim a priori tidak
sehingga maksim jenis kedualah yang dapat diuniversalkan. Maksim a priori inilah yang
dicari oleh Kant sebagai dasar satu tindakan etis.
Karl Marx
Gagasan utama Marx yang memberi pengaruh kuat bagi Habermas kelak adalah
konsepnya tentang keterasingan dalam kerja dan perjuangan kelas. Gagasan pertama
diambilnya dari filsafat Hegel tentang pekerjaan dan Feuerbach tentang agama sebagai
bentuk keterasingan. Gagasan kedua adalah hasil pemikirannya tentang keberadaan
sistem ekonomi yang menjadi basis dari sistem lainnya seperti agama, ideologi, dan
sistem sosial. Alur sejarah pada dasarnya hanyalah satu sejarah perjuangan kelas. Kedua
gagasan inilah yang nantinya akan dikembangkan lebih lanjut oleh Habermas.
14
Uraian ini didasarkan pada Fransisco Budi Hardiman. Filsafat Modern. (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2004) hlm 145-147
8
Gagasan tentang pekerjaan dapat dijelaskan sebagai berikut15. Menurut Hegel,
manusia tidak dapat menenali dirinya sendiri dari definisi positif seperti aku adalah
sesuatu tapi dia hanya dapat memahami dirinya dengan definisi negatif terhadap objekobjek disekitarnya seperti aku bukanlah kursi, aku bukanlah meja, dan sebagainya.
Negasi ini adalah dasar dari pembentukan subjektivitas manusia. Namun, dengan objekobjek yang ada disekitarnya pulalah manusia dapat mewujudkan subjektivitasnya ke
dalam wujud yang nyata. Ketika seorang penulis membuat satu puisi diatas kertas yang
tadinya kosong maka dia mendapatkan keakuan dirinya dalam bentuk puisi yang
ditulisnya. Ketika melihat puisi yang ditulisnya dia melihat perwujudan dirinya sendiri di
alam nyata. Penitisan ke dalam wujud abstrak inilah yang dimaksud dengan pekerjaan.
Pekerjaan adalah suatu kebahagiaan bagi manusia karena dengannya dia dapat
mewujudkan eksistensi dirinya di alam. Pekerjaan adalah satu hakikat eksistensi diri
manusia.
Marx mengambil pendapat Feuerbach tentang agama sebagai bentuk keterasingan
manusia namun melanjutkannya dengan mempertanyakan apakah yang menyebabkan
manusia terpaksa harus mengasingkan dirinya sendiri dalam agama. Marx menjawab
bahwa apa yang terjadi adalah adanya keterasingan dalam pekerjaan. Dalam sistem
ekonomi yang ada, manusia justru diasingkan dari pekerjaan yang seharusnya
mewujudkan eksistensi dirinya di alam. Apa yang terjadi dengan seorang buruh yang
harus terus menerus melinting rokok tanpa pernah mengerti seperti apakah bentuk utuh
rokok yang dia buat dan tanpa pernah bisa memiliki apa yang telah menjadi hasil
kerjanya adalah satu pengasingan terhadap pekerjaannya, terhadap eksistensi dirinya.
15
Uraian ini didasarkan pada Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx. (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 1999) hlm 87-109
9
Jadi, dengan sistem ekonomi yang ada ternyata menghasilkan manusia yang terasing dari
dirinya sendiri16.
Gagasan kedua Marx adalah tentang kelas. Marx memahami sejarah manusia
dalam kerangka dialektika Hegel namun bersifat materialis. Pada dasarnya sejarah
manusia ditentukan oleh cara dia memproduksi barang dan kepemilikan terhadap alat-alat
produksi17. Pada mulanya dalam masyarakat kuno tidak ada hak kepemilikan pribadi,
kemudian dilanjutkan dengan masa feodal abad pertengahan, diikuti dengan sistem
kapitalisme yang ada pada masa Marx yang diramalkan akan jatuh dan digantikan dengan
sistem masyarakat sosialis tanpa hak milik. Kejatuhan sistem kapitalisme sendiri
diakibatkan oleh eksploitasi yang makin memuncak dari kaum borjuis, para pemilik alatalat produksi, terhadap kaum proletar yang menurut Marx adalah subjek utama pelaku
revolusi. Kaum borjuis sendiri makin lama akan makin sedikit jumlahnya, mengingat
sistem kapitalis menuntut efisiensi tinggi dalam persaingannya sehingga memaksa
mereka melakukan merger demi merger sehingga mewujudkan penumpukan modal pada
sedikit orang dan memunculkan banyak kaum proletar baru dari kaum borjuis yang gagal
dalam bersaing sehingga terpaksa menjual alat-alat produksi yang semula dikuasainya.
Max Weber
16
Franz Magnis Suseno. op. cit., hlm 87-109
Antony Giddens dan David Held. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan,
dan Konflik (terj.: Vedi R Hadiz). (Jakarta, Rajawali Pers, 1987) hlm 13-18
17
10
Gagasan utama Weber18 adalah tentang rasionalisasi di dalam masyarakat. Faktorfaktor apa saja yang mendorong munculnya rasionalisasi di dalam satu masyarakat
sementara dalam masyarakat lain faktor apa yang menghambat munculnya rasionalisasi
tersebut. Hasil penelitiannya terhadap beberapa agama menghasilkan satu hipotesis
bahwa agama Calvinis adalah satu ajaran yang rasional sehingga mampu mendorong
terwujudnya satu sistem ekonomi yang rasional yaitu kapitalisme. Sedangkan agamaagama lain seperti Hindu dan Taoisme justru menghambat munculnya kapitalisme
meskipun Weber menjelaskan bahwa hambatan tersebut hanya sementara karena pada
dasarnya semua sistem sosial termasuk ekonomi pada akhirnya akan cenderung menjadi
lebih rasional19.
Rasionalisasi yang dimaksud adalah apa yang disebut dengan rasionalitas formal
yaitu suatu proses berpikir subjek dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan yang
ingin dihasilkannya. Pilihan tersebut juga didasarkan pada kebiasaan, peraturan, dan
hukum yang universal dan berasal dari satu sistem besar seperti birokrasi dan ekonomi.
Weber mengambil contoh birokrasi, dalam arti luas, adalah satu sistem yang rasional.
Contoh lain dikemukakan Ritzer pada masa sekarang adalah bagaimana restoran siap saji
(fast food) melayani pembelinya dengan cara yang paling efisien yang berarti sesuai
dengan rasionalisasi20.
Sigmund Freud
18
Berdasarkan uraian George Ritzer dan Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern (terj.: Alimandan).
(Jakarta, Kencana, 2004) hlm 37-40
19
Ibid., hlm 39 Gagasan ini sekaligus satu bantahan terhadap tesis Marx bahwa sistem ekonomi akan
menghasilkan sistem kepercayaan religius namun justru Weber menunjukkan sistem keyakinan itulah yang
menghasilkan satu sistem ekonomi.
20
Ibid., hlm 40
11
Jasa terbesar Freud adalah gagasannya tentang keberadaan alam tak sadar dalam
manusia. Apa yang menjadi ide dasar rasionalitas manusia ternyata kerap tenggelam
dalam gejolak dalamnya alam tak sadar yang dipunyainya. Pada awalnya Freud hanya
mengenali keberadaan alam sadar, alam prasadar, dan alam tak sadar. Kemudian konsep
tersebut mendapat bentuk dalam istilah id, ego, dan superego. Id adalah kawasan dimana
bercokol naluri-naluri dasar manusia seperti naluri seksual dan agresif. Ego adalah lokasi
dimana kepribadian seseorang dipertahankan sejalan dengan prinsip realitas. Superego
adalah daerah yang dibentuk melalui internalisasi larangan-larangan dan perintahperintah yang berasal dari luar individu yang mengalami perubahan sehingga melekat di
dalam kepribadian seseorang21.
Lingkaran Wina
Lingkaran Wina22 adalah satu kelompok yang didirikan berbagai cendekiawan di
kota Wina, Austria. Mereka diantaranya adalah Rudolph Carnap dan M Schilck. Ajaran
mereka termaktub dalam sebuah manifesto yang dikeluarkan oleh Carnap, H Hanh, dan
Otto Neurath berjudul Wissenscahfte Weltauffassung der Wiene Kreis (Pandangan Dunia
Ilmiah Kelompok Wina). Di dalamnya tercantum pokok-pokok pemikiran yang kelak
lebih dikenal dalam aliran positivisme logis. Pandangan ini bersifat anti terhadap
metafisika ad merupakan penerus empirisme yang diusung Hobbes dan David Hume
yang dalam proses sejarahnya diradikalkan menjadi positivisme oleh Comte.
Beberapa pemikir yang tidak tergabung secara resmi namun menjadi juru bicara
utama pemikiran Lingkaran Wina adalah Ludwig Wittgenstein dan Karl Popper.
21
Kees Bertens (ed.). Psikoanalisis Sigmud Freud (terj.: Kees Bertens). (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2006) hlm 32-33
22
Donny Gahral Adian. op. cit., hlm 30-36
12
Wittgenstein mengusulkan konsep verifikasi terhadap kebenaran yang pada intinya
mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat dicek kebenarannya oleh pengalaman
empiris adalah tidak mempunyai nilai kebenaran. Konsep ini kemudian hari ditolak dan
direvisi dengan gagasan falsifikasi, yang menyatakan bahwa tidak harus diverifikasi
secara empiris namun dapat dicek melalui kebenaran penalaran, oleh Karl Popper.
Habermas bersama gurunya Adorno terlibat dalam satu perdebatan dengan Karl Popper
dan muridnya Hans Albert tentang metodologi yang pas bagi ilmu-ilmu sosial.
Mahzab Frankfurt
Mahzab Frankfurt23 didirikan pada tahun 1923 sebagai kelanjutan tradisi kritis
yang pudar dengan berdirinya negara Uni Sovyet yang menjadikan tradisi kritis Marx
menjadi satu dogma Marxisme-Leninisme. Mahzab ini terkenal dengan teori kritis yang
dimaksudkan sebagai satu kritik ideologi dan kritik terhadap positivisme. Kritik ideologi,
sejalan dengan pemikiran Marx, menggugat ideologi yang sudah dibakukan oleh
kekuasaan sebagai pendukungnya. Ideologi seharusnya mempunyai sifat dialektis
sehingga tetap mendorong unsur kritis di dalamnya. Kritik terhadap positivisme
mempunyai nada yang sama karena klaim bebas nilai dan bebas kepentingan yang
diusungnya akan menjadikan ilmu sebagai pelestari status quo semata.
Selain itu, kritik juga dilontarkan oleh Mahzab Frakfurt terhadap masyarakat
modern. Kritik terutama diarahkan terhadap rasio instrumental yang telah mendominasi
masyarakat modern. Rasio instrumental adalah suatu pemikiran yang memandang segala
sesuatu hal yang lain dalam kerangka manipulasi bagi kepentingan seseorang. Rasio ini
telah digunakan dengan baik oleh Nazi dalam pemusnahan etnis Yahudi melalui cara
yang efektif dan efisien yaitu dengan pembangunan kamp-kamp konsentrasi. Rasio
23
ibid, hlm 43-58
13
serupa digunakan oleh kaum borjuis, terutama di Amerika, guna mengebiri potensi
revolusi kaum proletar sebagaimana ramalan Marx. Kaum proletar telah terintegrasi ke
dalam kapitalisme itu sendiri melalui budaya konsumerisme. Mereka tidak bisa lepas dan
menyadari keberadaan kelasnya sehingga amat jauh dari revolusi yang menurut Marx
akan menjatuhkan kapitalisme. Sayangnya, dominasi tersebut telah sedemikian kuatnya
sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk membongkarnya. Mahzab Frakfurt
hanya dapat menemukan jalan buntu teori kritisnya yang berujung pada pesimisme.
Disinilah Habermas, sebagai generasi kedua Mahzab Frankfurt, akan tampil dengan
terobosan pemikirannya.
Fase Awal Pemikiran Filsafat Habermas
Pemikiran Habermas bertolak dari karyanya The Structural Transformation of the
Public Sphere (1961), yang mengisahkan sejarah perkembangan ruang publik borjuis
pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 serta kemundurannya kemudian 24. Habermas
mencatat dua fase perubahan didalamnya yaitu dari masyarakat monarkis feodal
(monarchical feudal status society) menjadi masyarakat liberal (liberal bourgeois public
sphere) dan selanjutnya menjadi masyarakat modern dalam negara kesejahteraan
(modern mass social welfare state). Dalam keadaan masyarakat monarkis feodal tidak
didapati pembedaan antara negara dan masyarakat sipil, publik dan privat, dan dimana
politik diorganisasikan melalui representasi simbol dan status. Pergantian kemudian
menghasilkan satu konstitusi beorjuis liberal yang membedakan antara ruang privat dan
publik dimana didalamnya dimungkinkan satu perdebatan rasional dan kritis untuk
membentuk satu opini publik. Pergeseran kemudian di dalam negara kesejahteraan justru
menghasilkan kembali pengaburan batas antara ruang publik dan privat. Hal ini salah
24
Robert Audi (ed.). op. cit., hlm 359
14
satunya adalah akibat buruk dari komersialisasi ruang publik dengan adanya media
massa, hubungan masyarakat (public relation), dan budaya konsumen25.
Fase awal intelektual Habermas juga ditandai dengan kritik derasnya terhadap
positivisasi ilmu-ilmu sosial. Dia terlibat langsung berhadapan dengan Hans Albert dalam
perdebatan tentang metode yang diawali oleh Adorno melawan Karl Popper sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya. Pada pokoknya, kritik Habermas, sejalan dengan Mahzab
Frankfurt, adalah tentang klaim bebas nilai dan bebas kepentingan yang digagas oleh
kaum positivis.
Etika Emansipatoris Jurgen Habermas
Dalam dua karyanya The Logic of Social Sciences (1963) dan Knowledge and
Human Interests (1967), Habermas, dengan menerapkan teknik psikoanalisis terhadap
pengetahuan di masyarakat, berhasil mengungkapkan tiga kepentingan utama dibalik
pengetahuan yang ada. Kepentingan-kepentingan itu26 adalah pengetahuan yang didorong
oleh kepentingan bersifat teknis, praktis, dan emansipatoris. Ketiganya dapat dipahami
berhubungan dengan tiga anasir eksistensi manusia secara sosial yaitu kerja, komunikasi,
dan kekuasaan. Kepentingan pertama terkait dengan kebutuhan untuk kelestarian diri
manusia akan menghasilkan satu pengetahuan yang bersifat teknis dengan rasio
instrumental guna pengendalian alam bagi kepentingan manusia. Pengetahuan kedua
terkait dengan kebutuhan sosial manusia untuk saling memahami dalam lingkungan
masyarakatnya dan menghasilkan satu pengetahuan yang bersifat sosial-hermeneutis.
Pengetahuan ketiga terkait dengan kepentingan pengembangan tanggung jawab sebagai
manusia dan menghasilkan pengetahuan yang kritis dan emansipatoris demi tercapainya
25
26
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structural_Transformation_of_the_Public_Sphere
Ibrahim Ali Fauzi. op. cit., hlm 46-58
15
kedaulatan manusia itu sendiri. Pengetahuan jenis ketiga ini dapat mentransendensikan
kedua pengetahuan sebelumnya27.
Gagasan Habermas tentang pembedaan kepentingan selaras dengan pembedaan
rasionalitas yang telah digagas sebelumnya oleh Kant. Kant dalam pemikiran filsafatnya
membedakan rasio ke dalam tiga fakultas utama. Pertama adalah rasio murni yang terkait
rasio pengkalkulasi berhubungan dengan permasalahan ilmu pengetahuan dimana
patokan validasinya adalah kebenaran (truth). Rasio kedua adalah rasio praktis yang
terkait dengan masalah normatifitas yang akan berhubungan dengan moralitas dan politik
dengan patokan validitasnya adalah kebenaran normative (normative rightness). Rasio
ketiga adalah rasio estetis terkait dengan keindahan atau seni yang akan berhubungan
dengan masalah estetika dimana patokan validitasnya hanyalah kejujuran (truthfulness)28.
Keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam menaklukan alam dan memenuhi kebutuhan
manusia membawa popularitas baginya sehingga memunculkan gagasan akan
penggunaan metodenya bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, jenis
pengetahuan lain tenggelam dalam metode ilmu-ilmu alam. Celakanya, orang lupa bahwa
kepentingan utama yang melandasi ilmu alam tersebut adalah kepentingan manipulasi
bagi kepentingan manusia. Apabila hal tersebut digunakan guna menyelidiki manusia lain
maka yang terjadi adalah ilmu-ilmu tersebut rentan untuk diselewengkan guna
kepentingan tertentu seperti kepentingan pemilik modal misalnya. Akan terjadi satu
manipulasi oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya. Selain itu, adanya jarak yang
diambil oleh peneliti dengan subjek hanya akan menghasilkan satu pengetahuan yang
27
David Jay dan Julia Jay. The Harper Collins Dictionary of Sociology. (New York, Harper Perennial,
1991) hlm 203-204
28
John Rundell. "Jurgen Habermas" dalam Peter Beilharz (ed.). Teori-teori Sosial: Observasi Kritis
terhadap Para Filosof Terkemuka (terj.: Sigit Jatmiko). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002) hlm 214-215
16
afirmatif atau mengamini kekuasaan yang ada (status quo)29. Perkembangan kapitalisme
yang dahsyat dengan segala penghisapannya yang terjadi diduga banyak memanfaatkan
ilmu-ilmu dengan karakter seperti ini.
Dominasi rasio instrumental dalam peradaban modern inilah yang mengakibatkan
banyak problematika. Suatu patologi dalam modernitas menurut istilah Habermas. Cara
mengatasi masalah tersebut adalah dengan memunculkan kembali rasio komunikatif
dalam percaturan ilmu-ilmu sosial. Penyelidikan Habermas kemudian beralih kepada
tindak komunikasi yang akan menghasilkan teori tindak komunikatif, salah satu gagasan
orisinil utamanya. Disini Habermas banyak berhutang pada teori tindak komunikatif dari
para filsuf analitik bahasa seperti Wittgenstein dan J L Austin30.
Konsep language games Wittgenstein adalah satu penjelasan dalam teori tindak
komunikasi yang diusung Habermas. Tindak komunikasi, sebagai satu unsur utama
kebudayaan, adalah satu sistem penyampaian makna melalui tindakan dan praktek
komunikasi. Apa yang gagal tersampaikan dalam praktek komunikasi dilengkapi dengan
tindakan, sedangkan apa yang menjadi maksud tindakan disampaikan melalui praktek
komunikasi. Dengan demikian, terwujudlah satu jalinan interpretasi hingga maknanya
dapat tersampaikan. Dalam tindak komunikasi di masyarakat terjadilah interaksi tersebut
antar individu di masyarakat sehingga mencapai satu objektivitas yang berasal dari
intersubjektivitas. Nilai-nilai yang mendasari tindak komunikasi masing-masing subjek
akan saling berdialog sehingga mewujud menjadi satu sistem nilai yang disepakati
bersama. Apa yang disebut oleh Habermas sebagai struktur-struktur normatif seperti
dalam contoh pranata sosial31.
29
Fransisco Budi Hardiman. Melampaui., hlm 21-24
http://en.wikipedia.org/wiki/J%C3%BCrgen_Habermas
31
Fransisco Budi Hardiman. Melampaui., hlm 113-114
30
17
Perwujudan satu struktur normatif bersama adalah satu gagasan yang selaras
dengan ide universalisasi dari sistem etika Kant. Menurut Kant 32, suatu kewajiban moral
baru dapat bernilai etik setelah memenuhi proses penguniversalan dalam artian bahwa hal
tersebut dapat diberlakukan sebagai undang-undang secara umum, begitu juga
sebaliknya. Contoh sederhana perbuatan mencubit adalah perbuatan yang tidak baik
karena kita sendiri tidak ingin dicubit dan akan menyakitkan kalau semua orang boleh
mencubit seenaknya saja. Penguniversalan satu patokan etik tersebut diberi tambahan
oleh Habermas dalam bentuk dialog intersubjektivitas dalam keadaan yang ideal. Jadi,
suatu norma hanya dapat diterima apabila hal tersebut selaras dengan konsensus
argumentasi mereka yang nantinya akan mengalami akibatnya 33. Oleh karena itu, akan
dihasilkan satu sistem etika yang bersifat emansipatoris karena melibatkan mereka yang
terkena akibatnya.
Konsensus dalam satu tindak percakapan hanya akan tercapai dalam satu situasi
percakapan ideal (ideal speech situation). Prasyarat yang harus dipenuhinya adalah tidak
adanya satu pihak yang lebih dominan dibandingkan pihak lainnya, tidak ada
pembatasan-pembatasan yang menghambat, dan tidak adanya distorsi ideologis di
dalamnya34. Suatu situasi yang menunjukkan kebebasan masing-masing subjek dalam
argumentasi yang terbuka dan saling menghargai. Orientasi yang ada haruslah mengacu
pada pemahaman, bukan keberhasilan35.
Kegagalan mencapai konsensus menunjukkan satu distorsi dalam komunikasi.
Satu distorsi yang kerap diakibatkan oleh tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh
32
Donny Gahral Adian. op. cit., hlm 123-124
Robert Audi (ed.). op. cit., hlm 359
34
David Jay dan Julia Jay. op. cit., hlm 203-204
35
Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (terj.: Nurhadi).
(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2006) hlm 351-363
33
18
suatu otoritas yang mengekang. Bagi Habermas suatu tindak komunikasi haruslah
bersifat partisipatif dan emansipatif sehingga tercapai tujuannya yaitu solidaritas dan
keadilan36. Partisipatif dalam artian menuntut peran serta aktif semua subjek didalamnya.
Emansipatif dalam artian menghilangkan unsur-unsur represif dalam tindak komunikasi37.
Pada masa sekarang, Habermas memberikan contoh satu norma yang telah
mencapai konsensus global adalah permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM)38. Habermas
menganggap HAM sudah menjadi satu bahasa internasional yang tidak hanya
mencerminkan satu budaya tertentu namun dapat diterima diberbagai belahan dunia.
HAM tidak lagi mencerminkan satu hal yang khas bagi masyarakat Eropa, namun telah
digunakan sebagai bahasa perlawanan bagi gerakan-gerakan masyarakat dalam
menghadapi bahasa kekerasan yang diusung otoritas yang sewenang-wenang. Sebuah
konsensus normatif yang dapat melandasi dunia ditengah-tengah perdagangan bebas yang
makin global.
Teori tindak komunikasi Habermas menegaskan bahwa modernitas tidak perlu
ditinggalkan begitu saja. Modernitas adalah satu "proyek yang belum selesai" dan sedang
mengalami gangguan semata. Pemunculkan kembali rasio yang tidak semata-mata
instrumentatif maka rasionalitas akan mampu menyehatkan kembali modernitas.
Habermas beranggapan bahwa unsur-unsur emansipatif dalam modernitas yang dapat
diangkat ke permukaan guna menghindari penyakit-penyakit yang dideritanya seperti
pada contoh keterasingan dari pekerjaan yang digagas oleh Marx.
36
Ibrahim Ali Fauzi. op. cit., hlm 124
Ali Mudhofir. Kamus Filsafat Barat. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001) hlm 207-210
38
Jurgen Habermas. Religion and Rationality: Essays on Reason, God, and Modernity.. (Cambridge, MIT
Press, 2002) hlm 153-154
37
19
Teori Habermas tersebut sejalan dengan Marx39 tentang sikap kritisnya. Berbeda
dengan Marx yang menganggap penting peran kaum proletar dalam revolusi menggugat
sistem yang mengasingkan manusia, Habermas lebih menaruh perhatian pada para
ilmuwan sebagai pelaku revolusi mengingat pengetahuan mereka dalam permasalahan
empiris dan kecakapan mereka dalam tindak komunikasi 40. Berbeda pula dengan Marx
yang
menganggap
kerja sebagai eksistensi utama
manusia,
Habermas
lebih
mementingkan tindak komunikasi yang emansipatoris terutama dalam mencapai
objektivitas norma etika dari proses intersubjektivitas.
Habermas dan Kaum Posmodern
Keteguhan Habermas dalam memegang janji modernitas menjadi satu kekhasan
sistem filsafatnya apabila dibandingkan sekelompok filsuf yang kerap diberi julukan
kaum posmodern. Berbeda dengan Habermas, dengan mewarisi semangat Nietzche dan
Heidegger, mereka beranggapan bahwa modernitas sudah tidak layak dihidupi dan harus
dikubur dalam-dalam sejarahnya. Kini telah masuk kepada masa dimana modernitas
dengan narasi-narasi besarnya telah mati digantikan dengan cerita-cerita kecil yang
mengandung unsur lokalitas dan temporalitas. Kritik Habermas terhadap mereka,
terutama terhadap Lyotard dan Foucault akan coba diuraikan dalam pembahasan berikut.
Lyotard adalah filsuf yang menggagas kematian narasi besar dengan segala klaim
universalitasnya dalam abad modern untuk kemudian digantikan dengan narasi-narasi
kecil dalam era posmodern. Ketimbang mencari konsensus sebagaimana digagas
Habermas, Lyotard lebih mengusulkan untuk menerima disensus, merayakan perbedaan
dan keragaman. Kritik utama yang diusung Habermas terhadapnya adalah ketiadaan satu
39
Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionalitas (terj.: Nurhadi).
(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2007) hlm 504-545
40
Ali Mudhofir. op. cit., hlm 207-210
20
standar penilaian, suatu standar untuk menilai tentang benar salah ataupun baik buruk
sesuatu hal, yang akan menggiring kepada irasionalitas, suatu yang dituduhkan Habermas
kepada Lyotard. Sebaliknya Lyotard menuduhkan kepada gagasan yang diusung
Habermas sebagai narasi besar41.
Foucault terkenal dengan keberhasilannya melihat relasi antara diskursus,
pengetahuan, dan kuasa. Dia menengarai keberadaan kuasa dalam setiap relasi terkait
wacana dan pengetahuan. Habermas menyesalkan reduksi Foucault terhadap segala
formasi wacana, tindakan, dan pengetahuan hanya sekedar sebagai satu fungsi dari
kekuasaan. Tuduhan Habermas terhadap Foucault adalah atas presentisme, relativisme,
dan kriptonormativisme. Presentisme adalah suatu reduksi segala wacana dalam sejarah
ke dalam struktur khusus kekuasaan yang mendasarinya. Relativisme adalah konsekuensi
dari reduksi segala sesuatu ke dalam kekuasaan, sedangkan kekuasaan relatif, maka klaim
kebenaran itu turut menjadi relatif pula. Kriptonormativisme gagasan Foucault berarti
ketiadaan dasar atas sikap kritis yang diajukannya 42. Sementara itu Foucault menganggap
situasi ideal (ideal speech situation) yang diusung Habermas sebagai prasyarat tindak
komunikatif adalah utopis dan tidak berpijak atas realitas. Keyakinan Habermas akan
keberadaan situasi semacam itu dipandang naïf bagi Foucault. Pencarian terhadap situasi
tersebut adalah suatu hal yang membuang waktu saja karena tidak akan ditemukan 43.
Kritik Lain terhadap Pemikiran Habermas
Selain kritik deras dari kaum Posmodern, terdapat beberapa hal yang dapat kita
pertanyakan dalam sistem pemikiran Habermas. Kritik pertama berkaitan dengan asumsi
41
Yasraf Amir Piliang. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.. (Bandung,
Jalasutra, 2004) hlm 225-226
42
Ibid hlm 223-225
43
Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas (terj.: Imam Baehaqy dan Ahmad
Badlowi). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000) hlm 159-160
21
penggunaan rasio instrumental terhadap alam adalah didasarkan asumsi fisika Newtonian.
Habermas tidak menengok kepada perkembangan fisika modern yang diusung Einstein
dengan teori relativitasnya dan munculnya teori kuantum yang memperbarui cara
pandang kita kepada alam fisik. Suatu pandangan yang akan merubah cara pandang kita
terhadap keseluruhan realitas sehingga, sebagaimana diungkapkan Capra, menjadi titik
balik peradaban44. Suatu pandangan yang menurutnya akan menemukan kesejajaran
dengan cara pandang manusia di belahan bumi lain yang tertuang dalam ajaran
mistisisme timur45.
Kritik kedua masih terkait dengan permasalahan tersebut, penggunaan rasio
instrumental terhadap alam adalah satu hal yang dibenarkan oleh Habermas. Padahal
penggunaan rasio instrumental dalam artian eksploitasi semata-mata alam guna
kepentingan manusia telah terbukti pada masa sekarang menimbulkan banyak kerusakan
alam yang pada gilirannya akan berakibat buruk juga bagi manusia. Diperlukan satu
relasi, dengan mengambil istilah Habermas, yang bertujuan saling memahami antara
manusia dengan alam. Dengan demikian pada akhirnya tercapai satu keselarasan yang
saling menguntungkan antara manusia dengan alam.
Penutup
Habermas adalah salah satu pemikir terbesar yang masih hidup pada abad
sekarang. Gagasannya tentang tindak komunikasi dan etika emansipatoris pada dasarnya
adalah kelanjutan semangat humanisme dari Marx guna membebaskan manusia dari
keterasingan dan secara lebih luas membebaskan modernitas dari patologi yang
44
Untuk gagasan Capra tentang titik balik peradaban dapat dilihat pada Fritjof Capra. The Turning Point;
Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan (terj.: M Thoyibi). (Yogyakarta,
Jejak, 2007)
45
Pembahasan tentang kesejajaran antara fisika modern dengan mistisisme timur dapat dirujuk pada Fritjof
Capra. The Tao of Physic: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur (terj.: Aufiya
Ilhamal Hafizh). (Bandung, Jalasutra, 2005)
22
dideritanya.
Habermas
lebih
memilih
menyelesaikan
modernitas
ketimbang
meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan seteru intelektualnya, kaum posmodern.
Habermas percaya manusia masih memerlukan satu landasan normatif etik yang dapat
digapai dengan satu tindak komunikatif yang partisipatif dan emansipatif dalam satu
situasi ideal. Suatu kepercayaan yang banyak dikritik dari lawan-lawannya dan dianggap
sebagai satu utopia belaka. Arti penting gagasan Habermas adalah dukungannya terhadap
demokrasi di dalam peradaban global, suatu demokrasi dalam arti sesungguhnya dimana
masing-masing subjek didalamnya bebas dalam melakukan tindak komunikasi dengan
rasionalitasnya. Bebas dari distorsi dari otoritas berkuasa dan bebas dari rasa takut dalam
mengeluarkan pendapat sendiri. Suatu cita-cita yang tidak terlalu buruk untuk
diperjuangkan ditengah era dimana kapitalisme dan birokrasi negara telah mencekam
dasar kebebasan individu yang rasional sebagaimana saat sekarang.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. (Bandung, Jalasutra, 2006)
Anonim.
"Jurgen
Habermas"
dalam
Wikipedia
(http://en.wikipedia.org/wiki/J
%C3%BCrgen_Habermas). 2007
Anonim. "Karl Marx" dalam Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Karl_marx). 2007
Anonim.
"The
Transformation
of
The
Public
Sphere"
dalam
Wikipedia
(http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structural_Transformation_of_the_Public_Sph
ere). 2007.
Audi, Robert (ed.). The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge, Cambridge
University Press, 1995).
Bertens, Kees (ed.). Psikoanalisis Sigmud Freud (terj.: Kees Bertens). (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2006).
Boeree, C George. Personalitiy Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog
Dunia (terj.: Inyiak Ridwan Muzir). (Yogyakarta, Prismasophie, 2007)
Bohman, James dan William Rehg. "Jurgen Habermas" dalam Stanford Encyclopedia of
Philosophy. (http://plato.stanford.edu/entries/habermas/).2007
Capra, Fritjof. The Tao of Physic: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan
Mistisisme Timur (terj.: Aufiya Ilhamal Hafizh). (Bandung, Jalasutra, 2005)
Capra, Fritjof. The Turning Point; Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.: M Thoyibi). (Yogyakarta, Jejak, 2007)
Fauzi, Ibrahim Ali. Jurgen Habermas. (Jakarta, Teraju, 2003)
Giddens, Antony dan David Held. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai
Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik (terj.: Vedi R Hadiz). (Jakarta, Rajawali Pers,
1987)
Habermas, Jurgen. Religion and Rationality: Essays on Reason, God, and Modernity.
(Cambridge, MIT Press, 2002)
Habermas, Jurgen. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat
(terj.: Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2006)
Habermas, Jurgen. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionalitas (terj.:
Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2007)
24
Hardiman, Fransisco Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. (Yogyakarta, Kanisius, 2003)
Hardiman, Fransisco Budi. Filsafat Modern. (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Hardiman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas. (Yogyakarta, Buku Baik, 2004)
Jay, David dan Julia Jay. The Harper Collins Dictionary of Sociology. (New York, Harper
Perennial, 1991)
Jay, Martin. Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori
Kritis (terj.: Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005)
Kappler, Arno dan Adriane Grevel. Fakta Mengenai Jerman (terj.: Edith Koesoemawiria
dan Dian Nangoi Panjaitan). (Jakarta, Katalis, 1995)
Mudhofir, Ali. Kamus Filsafat Barat. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
(Bandung, Jalasutra, 2004)
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern (terj.: Alimandan).
(Jakarta, Kencana, 2004)
Rundell, John. "Jurgen Habermas" dalam Peter Beilharz (ed.). Teori-teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka (terj.: Sigit Jatmiko).
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002)
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999)
Turner, Bryan S. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas (terj.: Imam Baehaqy
dan Ahmad Badlowi). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000)
Weber, Max. Sosiologi (terj.: Noorkholis). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006)
25
26
Pendahuluan
Janji yang diusung modernitas 1 akan kemajuan bagi umat manusia serta
peningkatan kualitas kemanusiaan telah gagal dipenuhinya. Hingga akhir abad silam
modernitas justru melahirkan banyak permasalahan bagi umat manusia. Kemajuan
teknologi hanya dapat dinikmati segelintir manusia di negara-negara maju guna
menambah kesenjangan kekayaan dibanding manusia di belahan bumi lain. Kapitalisme
yang diusung korporat-korporat raksasa makin mencengkeram di berbagai pelosok bumi
dengan menyingkirkan unit-unit usaha gurem yang gagal memahami mekanisme
persaingan pasar bebas. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi berlebihan ditambah
berbagai aktivitas manusia yang tidak ramah lingkungan telah mencapai tahap yang
memprihatinkan.
Pemikiran modern (modernism) sendiri pada awalnya adalah satu bentuk gugatan
terhadap dogmatisme gereja yang mengekang perkembangan akal budi manusia atas
nama ajaran Ilahi. Pekik kemerdekaan "Cogito Ergo Sum" Descartes menggulirkan bola
salju subjektivisme dan rasionalisme yang menjadi roda pendorong modernisme.
Rangkaian pemikiran yang selanjutnya menarik sains dan teknologi yang berkembang
pesat dibelakangnya. Mereka percaya bahwa dengan kemajuan sains dan teknologi tidak
akan lagi ada permasalahan yang tidak dapat diatasi. Bahkan, kelak tidak akan ada lagi
misteri yang tidak dapat dipecahkan dengan keduanya, sebuah pernyataan yang
meminggirkan sistem pemikiran lain seperti filsafat dan agama dari arus utama
1
Istilah modernitas perlu dibedakan dengan modernisme terlebih dahulu, modernitas adalah keadaan
masyarakat modern yang berbeda dengan keadaan masyarakat zaman pertengahan sedangkan modernisme
adalah gagasan-gagasan yang melandasi perubahan tersebut diantaranya rasionalisme, humanisme, dan
kapitalisme. Donny Gahral Adian. Percik Pemikiran Kontemporer. (Bandung, Jalasutra, 2006) hlm 67-73
1
pemikiran. Janji kemajuan bagi manusia segera menjadi keyakinan aklamasi para
penganut modernisme. Sebuah janji yang diucapkan namun gagal dipenuhi sehingga
gugatan deras mengalir kepadanya bahkan dari para pemikir barat sendiri.
Salah satu gugatan besar yang dialami modernisme berawal dari Nietszche
dengan membuka kedok utama kehendak berkuasa yang berada di balik rasionalitas dan
nilai-nilai moral yang dianggap universal oleh pemikir barat. Pada periode selanjutnya
Freud menguak keberadaan alam bawah sadar yang mengenggelamkan subjek sadar yang
dianggap rasional. Puncak gugatan terhadapnya dilahirkan oleh Heidegger yang
menafikan universalisme pemikiran mengingat kedudukan manusia sebagai das sein (ada
disana) yaitu suatu entitas yang berlumuran sejarah dengan selubung tafsirnya masingmasing. Sebuah pemikiran yang nantinya akan membuka jalan bagi para pemikir
postmodern.
Jauh sebelumnya, dalam sistem sosial, gugatan datang dari Marx terhadap sistem
ekonomi kapitalis yang diusung modernisme dengan pernyataan bahwa eksploitasi
terhadap para pekerja oleh para pemilik alat-alat produksi sebagai suatu perampokan.
Marx juga menganggap bahwa sistem kapitalisme, diakibatkan kontradiksi-kontradiks
yang ada didalamnya akan mengalami kehancuran dan memunculkan satu masyarakat
komunis dengan ciri hilangnya kepemilikan pribadi. Sebuah gugatan yang masih dapat
ditemui bentuknya dalam pemikiran Mahzab Frakfrut di Jerman dan juga menjadi
dogmatis ditangan Marxisme Leninisme di Soviet abad silam.
Abad ke-20 sendiri ditandai dengan dua arus utama gugatan terhadap
modernisme. Gugatan pertama berasal dari sekelompok pemikir Mahzab Frakfrut,
2
sebagai penerus kritik Marx, yang mempertanyakan keberadaan teori-teori positivis yang
mengaku bebas nilai namun mengabaikan kemungkinan emansipasi dan dianggap hanya
memperkokoh kekuasaan. Mereka mengusung teori-teori baru yang kerap disebut teori
kritis. Gugatan kedua terhadap modernisme datang dari arus posmodernisme, sebagai
pewaris Nietszche, yang memaklumatkan kematian narasi-narasi besar universal dan
membuka jalan bagi keberadaan narasi-narasi kecil dengan keunikan masing-masing.
Sebuah arus pemikiran yang juga banyak berhutang pada pemikiran strukturalisme
bahasa sebagaimana diusung Ferdinand de Saussure dengan perkembangan beragam
bentuk namun memiliki satu warna tersendiri. Para pemikir posmodern beranggapan
bahwa modernisme sudah selesai dan harus ditinggalkan, suatu gagasan yang tidak
disetujui oleh pemikir Mahzab Frakfurt terutama oleh Jurgen Habermas sebagai tokoh
yang disebut pewaris generasi kedua Mahzab Frakfrut. Habermas berpendapat bahwa
modernisme hanyalah satu proyek yang belum selesai sehingga harus dituntaskan
tujuannya.
Tulisan ini mencoba membahas tawaran gagasan Habermas tentang penyelesaian
proyek modernisme. Tulisan akan lebih difokuskan pada sistem etika yang diusung
karena hal ini adalah salah satu pokok bahasan yang menjadi perdebatan dengan kaum
posmodern. Latar belakang intelektual akan memulai tulisan ini dilanjutkan dengan
penjabaran sistem pemikiran etikanya. Tulisan akan diakhiri dengan keberatan-keberatan
dari kaum posmodern terhadap gagasan Habermas sebagai satu perbandingan kritis yang
menarik untuk dilihat.
Biografi Singkat
3
Habermas lahir pada 18 Juni 1929, menempuh pendidikan di Universitas
Gottingen dalam bidang sastra, sejarah, ekonomi, psikologi, dan filsafat2. Dia lalu
melanjutkan pendidikan di bidang filsafat pada Universitas Bonn hingga mencapai gelar
doktor pada 1954, dengan disertasi yang bercerita tentang konflik antara yang absolute
dan sejarah dalam pemikiran Schelling3. Disertasi tersebut diberi judul Das Absolute und
die Geschichte (Yang Absolut dan Sejarah). Kemudian dia menekuni pemikiran George
Lukacs dalam History and Class Consciousness (Sejarah dan Kesadaran Kelas),
pemikiran Mahzab Frankfurt seperti karya Adorno dan Horkheimer dalam Dialectics of
Enlightenment (Dialektika Pencerahan), pemikiran Marx muda, dan Hegel muda.
Gurunya adalah Karl Lowith seorang guru besar di Jerman4.
Habermas selanjutnya bergabung dengan Mahzab Frakfurt pada 1956 dan
mendapatkan popularitasnya di kalangan mahasiswa karena kritik-kritiknya yang radikal.
Meskipun demikian, dia lalu meninggalkan Frakfurt pada 1970 karena konflik dengan
mahasiswa akibat ketidaksetujuannya dengan tindak kekerasan yang mereka lakukan.
Baginya tindak kekerasan bukanlah suatu solusi bagi permasalahan yang mendasar
sedangkan bagi mahasiswa dia dianggap tidak konsisten dengan keradikalan
pemikirannya5. Dia lalu bergabung dengan Max Planck Institute yang mempelajari
keadaan di dalam dunia ilmiah yang bersifat teknis hingga pada akhirnya Habermas
kembali lagi ke Frakfurt pada 19826.
Habermas adalah seorang penulis yang produktif dan karyanya banyak bertebaran
di dalam berbagai esai dan buku. Diantara banyak karyanya, terdapat karya-karya yang
2
Ibrahim Ali Fauzi. Jurgen Habermas. (Jakarta, Teraju, 2003) hlm 18-19
James Bohman dan William Rehg. "Jurgen Habermas" dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy. 2007
(http://plato.stanford.edu/entries/habermas/)
4
Ibrahim Ali Fauzi. op. cit., hlm 19-20
5
Ibid., hlm 30-31
6
Ibid., hlm 23-25
3
4
menandai peralihan fase-fase pemikirannya sebagaimana diklasifikasikan dalam The
Cambridge Dictionary of Philosophy7. Fase pertama ditandai dengan karyanya The
Structural Transformation of The Public Sphere (1961) berisi analisis kesejarahan tentang
kemunculan ruang publik di Eropa pada abad ke-18 dan kemundurannya kemudian. Fase
berikutnya ditandai dengan dua karyanya yaitu The Logic of Social Sciences (1963) dan
Knowledge and Human Interests (1967) yang mengungkap kepentingan-kepentingan di
balik ilmu-ilmu sosial. Fase ketiga dalam perkembangan intelektualnya ditandai dengan
karyanya dua jilid The Theory of Communicative Action (1982) dimana dia mengajukan
satu bangunan teori kritis atas modernitas dengan berdasar pada teori komprehensif
tentang tindak komunikasi. Fase kemudian mewujud dalam Discourse Ethics: Notes on a
Program of Mutual Justification (1982) dengan aplikasi teori yang dia usung ke dalam
permasalahan yang lebih luas mencakup permasalahan etika, politik, dan hukum. Fase
kelima dalam intelektualitas Habermas diwujudkan dalam Between Facts and Norms
(1992) yang menyusun satu sistematisasi atas hukum dan demokrasi dengan landasan
teori normatifnya dan teori sosial yang dia ajukan.
Seting Sosial Kehidupan Habermas
Habermas mengalami masa kecil di masa kekuasaan Nazi masih bercokol. Dia
tumbuh dewasa pada masa kekalahan Nazi, dan bangsa Jerman pada umumnya, setelah
kegagalan penaklukan Hitler atas Eropa pada perang dunia II. Proses sejarah tersebut
diakhiri dengan bunuh dirinya Hitler dan peradilan Mahkamah Internasional di
Nuremberg atas para perwira yang terlibat di dalamnya atas kejahatan terhadap
perdamaian dan kemanusiaan8. Peradilan yang membawa satu kedalaman pemikiran
7
Robert Audi (ed.). The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge, Cambridge University Press,
1995) hlm 359
8
Arno Kappler dan Adriane Grevel. Fakta Mengenai Jerman (terj.: Edith Koesoemawiria dan Dian Nangoi
Panjaitan). (Jakarta, Katalis, 1995) hlm 93-110
5
Habermas tentang kegagalan moral dan politik bangsa Jerman di bawah rezim Nazi.
Suatu kesan yang muncul kembali ketika dia membaca karya Heidegger, filsuf besar
Jerman yang sekaligus pendukung Nazi, Introduction to Metahphysic (1959) yang
mengandung senjungan terselubung kepada Nazi. Ketika Habermas meminta konfirmasi
terbuka pada Heidegger ternyata yang bersangkutan tidak membalasnya dengan jawaban
apapun. Diamnya Heidegger tersebut menambah keyakinan Habermas akan kegagalan
sistem filsafat Jerman dalam menyediakan satu skema intelektual guna memahami
ataupun mengkritik Nazi9.
Iklim intelektual di Jerman sendiri pada masa Habermas ditandai dengan
perdebatan panjang antara dominasi ajaran positivisme, yang ingin menerapkan metodemetode ilmu alam ke dalam ilmu sosial, dengan mereka yang menentangnya. Salah satu
puncak perdebatan yang diikuti Habermas sendiri terjadi pada 1961-1965 di Tubingen
antara Adorno dengan Karl Popper dan selanjutnya dilanjutkan oleh Habermas di pihak
Adorno dan Hans Albert sebagai pembela Popper10. Pada dasarnya kritik yang digagas
Mahzab Frakfurt adalah pada tujuan pengetahuan dalam positivisme yang semata-mata
menyelidiki apa yang ada (das sein) tanpa memperdulikan apa yang seharusnya ada (das
sollen). Suatu pengetahuan hanya digunakan untuk menyalin realitas tentu akan berpihak
pada pelestarian keadaan yang ada (status quo) tanpa perduli seberapa buruknya keadaan
tersebut. Celakanya, justru dari pengetahun tersebut dihasilkan satu peramalan,
sebagaimana semboyan positivisme yang diusung August Comte savoir pour prevoir
9
James Bohman dan William Rehg. op. cit., (http://plato.stanford.edu/entries/habermas/)
Fransisco Budi Hardiman. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jurgen
Habermas. (Yogyakarta, Buku Baik, 2004) hlm 16-17
10
6
(mengetahui untuk meramalkan), guna kepentingan rekayasa sosial, dan berbagai
kebijakan sosial politik dalam penanganan masalah-masalah di masyarakat11.
Sementara itu di bidang ekonomi dalam masa Habermas, ramalan Marx akan
runtuhnya sistem Kapitalisme makin jauh dari kenyataan. Kapitalisme makin
memperkokoh dirinya dalam masyarakat barat dengan menarik kaum proletar, kaum yang
diduga Marx akan menjadi subjek revolusi, ke dalam sistemnya. Kapitalisme,
sebagaimana dikumandangkan kaum revisionis seperti Eduard Bernstein, telah mampu
menyesuaikan
dirinya
dengan
perkembangan
jaman
guna
menghindarkan
kehancurannya12. Ajaran Marx sendiri justru terbelah menjadi tiga arus utama 13, di Uni
Sovyet ajarannya dijadikan dogma yang menjadi legitimasi rezim partai komunis Lenin
dan penerusnya, di Eropa diusung oleh sayap moderat dalam tubuh partai sosial demokrat
namun telah kehilangan sisi revolusionernya, dan terakhir adalah ajaran Marx yang
diusung oleh Mahzab Frakfrut, dimana Habermas tergabung didalamnya, yang lebih
menonjol sisi akademis dan kritisnya.
Pengaruh Intelektual
Pemikiran Habermas adalah kombinasi yang unik dari berbagai tradisi pemikiran
barat. Sebagai salah satu pewaris Mahzab Frakfurt maka tak heran jika ajaran Marx
menjadi tulang punggung pemikirannya. Namun Habermas juga melampauinya dengan
mengadopsi berbagai pemikiran kontemporer yang dipelajarinya. Dia mengadopsi
pemikiran Kant, Max Weber, dan juga psikoanalisis Freud. Perhatiannya juga tak luput
dari perkembangan filsafat bahasa sebagaimana diusung Ludwig Wittgenstein sebagai
11
Fransisco Budi Hardiman. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis tentang Metode
Ilmiah dan Problem Modernitas. (Yogyakarta, Kanisius, 2003) hlm 21-24
12
Fransisco Budi Hardiman. Kritik Ideologi, hlm 27-28
13
Martin Jay. Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori Kritis (terj.:
Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005) hlm 1-2
7
wakil Lingkaran Wina. Filsafatnya tentang modernitas mencoba menembus jalan buntu
teori kritis yang sudah dirintis Mahzab Frankfurt. Berikut akan coba diuraikan beberapa
tokoh yang mempengaruhi pemikiran Habermas dan gagasan-gagasan kunci mereka yang
turut memberi warna dalam ide-ide yang nantinya diusung olehnya.
Immanuel Kant
Pemikiran etika Kant14 adalah salah satu pilar utama pemikiran etika Habermas.
Karenanya Habermas kerap mendapatkan label sebagai penganut Neo-Kantian dalam
klasifikasi pemikiran etikanya. Etika Kant sendiri dibangun atas dasar kemutlakan
kehendak baik sebagai satu hal yang baik pada dirinya sendiri (an sich). Nilai moral
berpusat pada kesadaran subjek atau satu niatan akan perbuatan baik yang disebutnya
“maksim”. Maksim sendiri dibagi atas maksim empiris dan maksim a priori. Maksim
empiris mempertimbangkan akibat dari satu tindakan sedangkan maksim a priori tidak
sehingga maksim jenis kedualah yang dapat diuniversalkan. Maksim a priori inilah yang
dicari oleh Kant sebagai dasar satu tindakan etis.
Karl Marx
Gagasan utama Marx yang memberi pengaruh kuat bagi Habermas kelak adalah
konsepnya tentang keterasingan dalam kerja dan perjuangan kelas. Gagasan pertama
diambilnya dari filsafat Hegel tentang pekerjaan dan Feuerbach tentang agama sebagai
bentuk keterasingan. Gagasan kedua adalah hasil pemikirannya tentang keberadaan
sistem ekonomi yang menjadi basis dari sistem lainnya seperti agama, ideologi, dan
sistem sosial. Alur sejarah pada dasarnya hanyalah satu sejarah perjuangan kelas. Kedua
gagasan inilah yang nantinya akan dikembangkan lebih lanjut oleh Habermas.
14
Uraian ini didasarkan pada Fransisco Budi Hardiman. Filsafat Modern. (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 2004) hlm 145-147
8
Gagasan tentang pekerjaan dapat dijelaskan sebagai berikut15. Menurut Hegel,
manusia tidak dapat menenali dirinya sendiri dari definisi positif seperti aku adalah
sesuatu tapi dia hanya dapat memahami dirinya dengan definisi negatif terhadap objekobjek disekitarnya seperti aku bukanlah kursi, aku bukanlah meja, dan sebagainya.
Negasi ini adalah dasar dari pembentukan subjektivitas manusia. Namun, dengan objekobjek yang ada disekitarnya pulalah manusia dapat mewujudkan subjektivitasnya ke
dalam wujud yang nyata. Ketika seorang penulis membuat satu puisi diatas kertas yang
tadinya kosong maka dia mendapatkan keakuan dirinya dalam bentuk puisi yang
ditulisnya. Ketika melihat puisi yang ditulisnya dia melihat perwujudan dirinya sendiri di
alam nyata. Penitisan ke dalam wujud abstrak inilah yang dimaksud dengan pekerjaan.
Pekerjaan adalah suatu kebahagiaan bagi manusia karena dengannya dia dapat
mewujudkan eksistensi dirinya di alam. Pekerjaan adalah satu hakikat eksistensi diri
manusia.
Marx mengambil pendapat Feuerbach tentang agama sebagai bentuk keterasingan
manusia namun melanjutkannya dengan mempertanyakan apakah yang menyebabkan
manusia terpaksa harus mengasingkan dirinya sendiri dalam agama. Marx menjawab
bahwa apa yang terjadi adalah adanya keterasingan dalam pekerjaan. Dalam sistem
ekonomi yang ada, manusia justru diasingkan dari pekerjaan yang seharusnya
mewujudkan eksistensi dirinya di alam. Apa yang terjadi dengan seorang buruh yang
harus terus menerus melinting rokok tanpa pernah mengerti seperti apakah bentuk utuh
rokok yang dia buat dan tanpa pernah bisa memiliki apa yang telah menjadi hasil
kerjanya adalah satu pengasingan terhadap pekerjaannya, terhadap eksistensi dirinya.
15
Uraian ini didasarkan pada Franz Magnis Suseno. Pemikiran Karl Marx. (Jakarta, Gramedia Pustaka
Utama, 1999) hlm 87-109
9
Jadi, dengan sistem ekonomi yang ada ternyata menghasilkan manusia yang terasing dari
dirinya sendiri16.
Gagasan kedua Marx adalah tentang kelas. Marx memahami sejarah manusia
dalam kerangka dialektika Hegel namun bersifat materialis. Pada dasarnya sejarah
manusia ditentukan oleh cara dia memproduksi barang dan kepemilikan terhadap alat-alat
produksi17. Pada mulanya dalam masyarakat kuno tidak ada hak kepemilikan pribadi,
kemudian dilanjutkan dengan masa feodal abad pertengahan, diikuti dengan sistem
kapitalisme yang ada pada masa Marx yang diramalkan akan jatuh dan digantikan dengan
sistem masyarakat sosialis tanpa hak milik. Kejatuhan sistem kapitalisme sendiri
diakibatkan oleh eksploitasi yang makin memuncak dari kaum borjuis, para pemilik alatalat produksi, terhadap kaum proletar yang menurut Marx adalah subjek utama pelaku
revolusi. Kaum borjuis sendiri makin lama akan makin sedikit jumlahnya, mengingat
sistem kapitalis menuntut efisiensi tinggi dalam persaingannya sehingga memaksa
mereka melakukan merger demi merger sehingga mewujudkan penumpukan modal pada
sedikit orang dan memunculkan banyak kaum proletar baru dari kaum borjuis yang gagal
dalam bersaing sehingga terpaksa menjual alat-alat produksi yang semula dikuasainya.
Max Weber
16
Franz Magnis Suseno. op. cit., hlm 87-109
Antony Giddens dan David Held. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai Kelompok, Kekuasaan,
dan Konflik (terj.: Vedi R Hadiz). (Jakarta, Rajawali Pers, 1987) hlm 13-18
17
10
Gagasan utama Weber18 adalah tentang rasionalisasi di dalam masyarakat. Faktorfaktor apa saja yang mendorong munculnya rasionalisasi di dalam satu masyarakat
sementara dalam masyarakat lain faktor apa yang menghambat munculnya rasionalisasi
tersebut. Hasil penelitiannya terhadap beberapa agama menghasilkan satu hipotesis
bahwa agama Calvinis adalah satu ajaran yang rasional sehingga mampu mendorong
terwujudnya satu sistem ekonomi yang rasional yaitu kapitalisme. Sedangkan agamaagama lain seperti Hindu dan Taoisme justru menghambat munculnya kapitalisme
meskipun Weber menjelaskan bahwa hambatan tersebut hanya sementara karena pada
dasarnya semua sistem sosial termasuk ekonomi pada akhirnya akan cenderung menjadi
lebih rasional19.
Rasionalisasi yang dimaksud adalah apa yang disebut dengan rasionalitas formal
yaitu suatu proses berpikir subjek dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan yang
ingin dihasilkannya. Pilihan tersebut juga didasarkan pada kebiasaan, peraturan, dan
hukum yang universal dan berasal dari satu sistem besar seperti birokrasi dan ekonomi.
Weber mengambil contoh birokrasi, dalam arti luas, adalah satu sistem yang rasional.
Contoh lain dikemukakan Ritzer pada masa sekarang adalah bagaimana restoran siap saji
(fast food) melayani pembelinya dengan cara yang paling efisien yang berarti sesuai
dengan rasionalisasi20.
Sigmund Freud
18
Berdasarkan uraian George Ritzer dan Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern (terj.: Alimandan).
(Jakarta, Kencana, 2004) hlm 37-40
19
Ibid., hlm 39 Gagasan ini sekaligus satu bantahan terhadap tesis Marx bahwa sistem ekonomi akan
menghasilkan sistem kepercayaan religius namun justru Weber menunjukkan sistem keyakinan itulah yang
menghasilkan satu sistem ekonomi.
20
Ibid., hlm 40
11
Jasa terbesar Freud adalah gagasannya tentang keberadaan alam tak sadar dalam
manusia. Apa yang menjadi ide dasar rasionalitas manusia ternyata kerap tenggelam
dalam gejolak dalamnya alam tak sadar yang dipunyainya. Pada awalnya Freud hanya
mengenali keberadaan alam sadar, alam prasadar, dan alam tak sadar. Kemudian konsep
tersebut mendapat bentuk dalam istilah id, ego, dan superego. Id adalah kawasan dimana
bercokol naluri-naluri dasar manusia seperti naluri seksual dan agresif. Ego adalah lokasi
dimana kepribadian seseorang dipertahankan sejalan dengan prinsip realitas. Superego
adalah daerah yang dibentuk melalui internalisasi larangan-larangan dan perintahperintah yang berasal dari luar individu yang mengalami perubahan sehingga melekat di
dalam kepribadian seseorang21.
Lingkaran Wina
Lingkaran Wina22 adalah satu kelompok yang didirikan berbagai cendekiawan di
kota Wina, Austria. Mereka diantaranya adalah Rudolph Carnap dan M Schilck. Ajaran
mereka termaktub dalam sebuah manifesto yang dikeluarkan oleh Carnap, H Hanh, dan
Otto Neurath berjudul Wissenscahfte Weltauffassung der Wiene Kreis (Pandangan Dunia
Ilmiah Kelompok Wina). Di dalamnya tercantum pokok-pokok pemikiran yang kelak
lebih dikenal dalam aliran positivisme logis. Pandangan ini bersifat anti terhadap
metafisika ad merupakan penerus empirisme yang diusung Hobbes dan David Hume
yang dalam proses sejarahnya diradikalkan menjadi positivisme oleh Comte.
Beberapa pemikir yang tidak tergabung secara resmi namun menjadi juru bicara
utama pemikiran Lingkaran Wina adalah Ludwig Wittgenstein dan Karl Popper.
21
Kees Bertens (ed.). Psikoanalisis Sigmud Freud (terj.: Kees Bertens). (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama,
2006) hlm 32-33
22
Donny Gahral Adian. op. cit., hlm 30-36
12
Wittgenstein mengusulkan konsep verifikasi terhadap kebenaran yang pada intinya
mengatakan bahwa segala sesuatu yang tidak dapat dicek kebenarannya oleh pengalaman
empiris adalah tidak mempunyai nilai kebenaran. Konsep ini kemudian hari ditolak dan
direvisi dengan gagasan falsifikasi, yang menyatakan bahwa tidak harus diverifikasi
secara empiris namun dapat dicek melalui kebenaran penalaran, oleh Karl Popper.
Habermas bersama gurunya Adorno terlibat dalam satu perdebatan dengan Karl Popper
dan muridnya Hans Albert tentang metodologi yang pas bagi ilmu-ilmu sosial.
Mahzab Frankfurt
Mahzab Frankfurt23 didirikan pada tahun 1923 sebagai kelanjutan tradisi kritis
yang pudar dengan berdirinya negara Uni Sovyet yang menjadikan tradisi kritis Marx
menjadi satu dogma Marxisme-Leninisme. Mahzab ini terkenal dengan teori kritis yang
dimaksudkan sebagai satu kritik ideologi dan kritik terhadap positivisme. Kritik ideologi,
sejalan dengan pemikiran Marx, menggugat ideologi yang sudah dibakukan oleh
kekuasaan sebagai pendukungnya. Ideologi seharusnya mempunyai sifat dialektis
sehingga tetap mendorong unsur kritis di dalamnya. Kritik terhadap positivisme
mempunyai nada yang sama karena klaim bebas nilai dan bebas kepentingan yang
diusungnya akan menjadikan ilmu sebagai pelestari status quo semata.
Selain itu, kritik juga dilontarkan oleh Mahzab Frakfurt terhadap masyarakat
modern. Kritik terutama diarahkan terhadap rasio instrumental yang telah mendominasi
masyarakat modern. Rasio instrumental adalah suatu pemikiran yang memandang segala
sesuatu hal yang lain dalam kerangka manipulasi bagi kepentingan seseorang. Rasio ini
telah digunakan dengan baik oleh Nazi dalam pemusnahan etnis Yahudi melalui cara
yang efektif dan efisien yaitu dengan pembangunan kamp-kamp konsentrasi. Rasio
23
ibid, hlm 43-58
13
serupa digunakan oleh kaum borjuis, terutama di Amerika, guna mengebiri potensi
revolusi kaum proletar sebagaimana ramalan Marx. Kaum proletar telah terintegrasi ke
dalam kapitalisme itu sendiri melalui budaya konsumerisme. Mereka tidak bisa lepas dan
menyadari keberadaan kelasnya sehingga amat jauh dari revolusi yang menurut Marx
akan menjatuhkan kapitalisme. Sayangnya, dominasi tersebut telah sedemikian kuatnya
sehingga tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk membongkarnya. Mahzab Frakfurt
hanya dapat menemukan jalan buntu teori kritisnya yang berujung pada pesimisme.
Disinilah Habermas, sebagai generasi kedua Mahzab Frankfurt, akan tampil dengan
terobosan pemikirannya.
Fase Awal Pemikiran Filsafat Habermas
Pemikiran Habermas bertolak dari karyanya The Structural Transformation of the
Public Sphere (1961), yang mengisahkan sejarah perkembangan ruang publik borjuis
pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 serta kemundurannya kemudian 24. Habermas
mencatat dua fase perubahan didalamnya yaitu dari masyarakat monarkis feodal
(monarchical feudal status society) menjadi masyarakat liberal (liberal bourgeois public
sphere) dan selanjutnya menjadi masyarakat modern dalam negara kesejahteraan
(modern mass social welfare state). Dalam keadaan masyarakat monarkis feodal tidak
didapati pembedaan antara negara dan masyarakat sipil, publik dan privat, dan dimana
politik diorganisasikan melalui representasi simbol dan status. Pergantian kemudian
menghasilkan satu konstitusi beorjuis liberal yang membedakan antara ruang privat dan
publik dimana didalamnya dimungkinkan satu perdebatan rasional dan kritis untuk
membentuk satu opini publik. Pergeseran kemudian di dalam negara kesejahteraan justru
menghasilkan kembali pengaburan batas antara ruang publik dan privat. Hal ini salah
24
Robert Audi (ed.). op. cit., hlm 359
14
satunya adalah akibat buruk dari komersialisasi ruang publik dengan adanya media
massa, hubungan masyarakat (public relation), dan budaya konsumen25.
Fase awal intelektual Habermas juga ditandai dengan kritik derasnya terhadap
positivisasi ilmu-ilmu sosial. Dia terlibat langsung berhadapan dengan Hans Albert dalam
perdebatan tentang metode yang diawali oleh Adorno melawan Karl Popper sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya. Pada pokoknya, kritik Habermas, sejalan dengan Mahzab
Frankfurt, adalah tentang klaim bebas nilai dan bebas kepentingan yang digagas oleh
kaum positivis.
Etika Emansipatoris Jurgen Habermas
Dalam dua karyanya The Logic of Social Sciences (1963) dan Knowledge and
Human Interests (1967), Habermas, dengan menerapkan teknik psikoanalisis terhadap
pengetahuan di masyarakat, berhasil mengungkapkan tiga kepentingan utama dibalik
pengetahuan yang ada. Kepentingan-kepentingan itu26 adalah pengetahuan yang didorong
oleh kepentingan bersifat teknis, praktis, dan emansipatoris. Ketiganya dapat dipahami
berhubungan dengan tiga anasir eksistensi manusia secara sosial yaitu kerja, komunikasi,
dan kekuasaan. Kepentingan pertama terkait dengan kebutuhan untuk kelestarian diri
manusia akan menghasilkan satu pengetahuan yang bersifat teknis dengan rasio
instrumental guna pengendalian alam bagi kepentingan manusia. Pengetahuan kedua
terkait dengan kebutuhan sosial manusia untuk saling memahami dalam lingkungan
masyarakatnya dan menghasilkan satu pengetahuan yang bersifat sosial-hermeneutis.
Pengetahuan ketiga terkait dengan kepentingan pengembangan tanggung jawab sebagai
manusia dan menghasilkan pengetahuan yang kritis dan emansipatoris demi tercapainya
25
26
http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structural_Transformation_of_the_Public_Sphere
Ibrahim Ali Fauzi. op. cit., hlm 46-58
15
kedaulatan manusia itu sendiri. Pengetahuan jenis ketiga ini dapat mentransendensikan
kedua pengetahuan sebelumnya27.
Gagasan Habermas tentang pembedaan kepentingan selaras dengan pembedaan
rasionalitas yang telah digagas sebelumnya oleh Kant. Kant dalam pemikiran filsafatnya
membedakan rasio ke dalam tiga fakultas utama. Pertama adalah rasio murni yang terkait
rasio pengkalkulasi berhubungan dengan permasalahan ilmu pengetahuan dimana
patokan validasinya adalah kebenaran (truth). Rasio kedua adalah rasio praktis yang
terkait dengan masalah normatifitas yang akan berhubungan dengan moralitas dan politik
dengan patokan validitasnya adalah kebenaran normative (normative rightness). Rasio
ketiga adalah rasio estetis terkait dengan keindahan atau seni yang akan berhubungan
dengan masalah estetika dimana patokan validitasnya hanyalah kejujuran (truthfulness)28.
Keberhasilan ilmu-ilmu alam dalam menaklukan alam dan memenuhi kebutuhan
manusia membawa popularitas baginya sehingga memunculkan gagasan akan
penggunaan metodenya bagi seluruh ilmu pengetahuan. Dengan demikian, jenis
pengetahuan lain tenggelam dalam metode ilmu-ilmu alam. Celakanya, orang lupa bahwa
kepentingan utama yang melandasi ilmu alam tersebut adalah kepentingan manipulasi
bagi kepentingan manusia. Apabila hal tersebut digunakan guna menyelidiki manusia lain
maka yang terjadi adalah ilmu-ilmu tersebut rentan untuk diselewengkan guna
kepentingan tertentu seperti kepentingan pemilik modal misalnya. Akan terjadi satu
manipulasi oleh pihak tertentu terhadap pihak lainnya. Selain itu, adanya jarak yang
diambil oleh peneliti dengan subjek hanya akan menghasilkan satu pengetahuan yang
27
David Jay dan Julia Jay. The Harper Collins Dictionary of Sociology. (New York, Harper Perennial,
1991) hlm 203-204
28
John Rundell. "Jurgen Habermas" dalam Peter Beilharz (ed.). Teori-teori Sosial: Observasi Kritis
terhadap Para Filosof Terkemuka (terj.: Sigit Jatmiko). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002) hlm 214-215
16
afirmatif atau mengamini kekuasaan yang ada (status quo)29. Perkembangan kapitalisme
yang dahsyat dengan segala penghisapannya yang terjadi diduga banyak memanfaatkan
ilmu-ilmu dengan karakter seperti ini.
Dominasi rasio instrumental dalam peradaban modern inilah yang mengakibatkan
banyak problematika. Suatu patologi dalam modernitas menurut istilah Habermas. Cara
mengatasi masalah tersebut adalah dengan memunculkan kembali rasio komunikatif
dalam percaturan ilmu-ilmu sosial. Penyelidikan Habermas kemudian beralih kepada
tindak komunikasi yang akan menghasilkan teori tindak komunikatif, salah satu gagasan
orisinil utamanya. Disini Habermas banyak berhutang pada teori tindak komunikatif dari
para filsuf analitik bahasa seperti Wittgenstein dan J L Austin30.
Konsep language games Wittgenstein adalah satu penjelasan dalam teori tindak
komunikasi yang diusung Habermas. Tindak komunikasi, sebagai satu unsur utama
kebudayaan, adalah satu sistem penyampaian makna melalui tindakan dan praktek
komunikasi. Apa yang gagal tersampaikan dalam praktek komunikasi dilengkapi dengan
tindakan, sedangkan apa yang menjadi maksud tindakan disampaikan melalui praktek
komunikasi. Dengan demikian, terwujudlah satu jalinan interpretasi hingga maknanya
dapat tersampaikan. Dalam tindak komunikasi di masyarakat terjadilah interaksi tersebut
antar individu di masyarakat sehingga mencapai satu objektivitas yang berasal dari
intersubjektivitas. Nilai-nilai yang mendasari tindak komunikasi masing-masing subjek
akan saling berdialog sehingga mewujud menjadi satu sistem nilai yang disepakati
bersama. Apa yang disebut oleh Habermas sebagai struktur-struktur normatif seperti
dalam contoh pranata sosial31.
29
Fransisco Budi Hardiman. Melampaui., hlm 21-24
http://en.wikipedia.org/wiki/J%C3%BCrgen_Habermas
31
Fransisco Budi Hardiman. Melampaui., hlm 113-114
30
17
Perwujudan satu struktur normatif bersama adalah satu gagasan yang selaras
dengan ide universalisasi dari sistem etika Kant. Menurut Kant 32, suatu kewajiban moral
baru dapat bernilai etik setelah memenuhi proses penguniversalan dalam artian bahwa hal
tersebut dapat diberlakukan sebagai undang-undang secara umum, begitu juga
sebaliknya. Contoh sederhana perbuatan mencubit adalah perbuatan yang tidak baik
karena kita sendiri tidak ingin dicubit dan akan menyakitkan kalau semua orang boleh
mencubit seenaknya saja. Penguniversalan satu patokan etik tersebut diberi tambahan
oleh Habermas dalam bentuk dialog intersubjektivitas dalam keadaan yang ideal. Jadi,
suatu norma hanya dapat diterima apabila hal tersebut selaras dengan konsensus
argumentasi mereka yang nantinya akan mengalami akibatnya 33. Oleh karena itu, akan
dihasilkan satu sistem etika yang bersifat emansipatoris karena melibatkan mereka yang
terkena akibatnya.
Konsensus dalam satu tindak percakapan hanya akan tercapai dalam satu situasi
percakapan ideal (ideal speech situation). Prasyarat yang harus dipenuhinya adalah tidak
adanya satu pihak yang lebih dominan dibandingkan pihak lainnya, tidak ada
pembatasan-pembatasan yang menghambat, dan tidak adanya distorsi ideologis di
dalamnya34. Suatu situasi yang menunjukkan kebebasan masing-masing subjek dalam
argumentasi yang terbuka dan saling menghargai. Orientasi yang ada haruslah mengacu
pada pemahaman, bukan keberhasilan35.
Kegagalan mencapai konsensus menunjukkan satu distorsi dalam komunikasi.
Satu distorsi yang kerap diakibatkan oleh tindakan-tindakan represif yang dilakukan oleh
32
Donny Gahral Adian. op. cit., hlm 123-124
Robert Audi (ed.). op. cit., hlm 359
34
David Jay dan Julia Jay. op. cit., hlm 203-204
35
Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat (terj.: Nurhadi).
(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2006) hlm 351-363
33
18
suatu otoritas yang mengekang. Bagi Habermas suatu tindak komunikasi haruslah
bersifat partisipatif dan emansipatif sehingga tercapai tujuannya yaitu solidaritas dan
keadilan36. Partisipatif dalam artian menuntut peran serta aktif semua subjek didalamnya.
Emansipatif dalam artian menghilangkan unsur-unsur represif dalam tindak komunikasi37.
Pada masa sekarang, Habermas memberikan contoh satu norma yang telah
mencapai konsensus global adalah permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM)38. Habermas
menganggap HAM sudah menjadi satu bahasa internasional yang tidak hanya
mencerminkan satu budaya tertentu namun dapat diterima diberbagai belahan dunia.
HAM tidak lagi mencerminkan satu hal yang khas bagi masyarakat Eropa, namun telah
digunakan sebagai bahasa perlawanan bagi gerakan-gerakan masyarakat dalam
menghadapi bahasa kekerasan yang diusung otoritas yang sewenang-wenang. Sebuah
konsensus normatif yang dapat melandasi dunia ditengah-tengah perdagangan bebas yang
makin global.
Teori tindak komunikasi Habermas menegaskan bahwa modernitas tidak perlu
ditinggalkan begitu saja. Modernitas adalah satu "proyek yang belum selesai" dan sedang
mengalami gangguan semata. Pemunculkan kembali rasio yang tidak semata-mata
instrumentatif maka rasionalitas akan mampu menyehatkan kembali modernitas.
Habermas beranggapan bahwa unsur-unsur emansipatif dalam modernitas yang dapat
diangkat ke permukaan guna menghindari penyakit-penyakit yang dideritanya seperti
pada contoh keterasingan dari pekerjaan yang digagas oleh Marx.
36
Ibrahim Ali Fauzi. op. cit., hlm 124
Ali Mudhofir. Kamus Filsafat Barat. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001) hlm 207-210
38
Jurgen Habermas. Religion and Rationality: Essays on Reason, God, and Modernity.. (Cambridge, MIT
Press, 2002) hlm 153-154
37
19
Teori Habermas tersebut sejalan dengan Marx39 tentang sikap kritisnya. Berbeda
dengan Marx yang menganggap penting peran kaum proletar dalam revolusi menggugat
sistem yang mengasingkan manusia, Habermas lebih menaruh perhatian pada para
ilmuwan sebagai pelaku revolusi mengingat pengetahuan mereka dalam permasalahan
empiris dan kecakapan mereka dalam tindak komunikasi 40. Berbeda pula dengan Marx
yang
menganggap
kerja sebagai eksistensi utama
manusia,
Habermas
lebih
mementingkan tindak komunikasi yang emansipatoris terutama dalam mencapai
objektivitas norma etika dari proses intersubjektivitas.
Habermas dan Kaum Posmodern
Keteguhan Habermas dalam memegang janji modernitas menjadi satu kekhasan
sistem filsafatnya apabila dibandingkan sekelompok filsuf yang kerap diberi julukan
kaum posmodern. Berbeda dengan Habermas, dengan mewarisi semangat Nietzche dan
Heidegger, mereka beranggapan bahwa modernitas sudah tidak layak dihidupi dan harus
dikubur dalam-dalam sejarahnya. Kini telah masuk kepada masa dimana modernitas
dengan narasi-narasi besarnya telah mati digantikan dengan cerita-cerita kecil yang
mengandung unsur lokalitas dan temporalitas. Kritik Habermas terhadap mereka,
terutama terhadap Lyotard dan Foucault akan coba diuraikan dalam pembahasan berikut.
Lyotard adalah filsuf yang menggagas kematian narasi besar dengan segala klaim
universalitasnya dalam abad modern untuk kemudian digantikan dengan narasi-narasi
kecil dalam era posmodern. Ketimbang mencari konsensus sebagaimana digagas
Habermas, Lyotard lebih mengusulkan untuk menerima disensus, merayakan perbedaan
dan keragaman. Kritik utama yang diusung Habermas terhadapnya adalah ketiadaan satu
39
Jurgen Habermas. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionalitas (terj.: Nurhadi).
(Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2007) hlm 504-545
40
Ali Mudhofir. op. cit., hlm 207-210
20
standar penilaian, suatu standar untuk menilai tentang benar salah ataupun baik buruk
sesuatu hal, yang akan menggiring kepada irasionalitas, suatu yang dituduhkan Habermas
kepada Lyotard. Sebaliknya Lyotard menuduhkan kepada gagasan yang diusung
Habermas sebagai narasi besar41.
Foucault terkenal dengan keberhasilannya melihat relasi antara diskursus,
pengetahuan, dan kuasa. Dia menengarai keberadaan kuasa dalam setiap relasi terkait
wacana dan pengetahuan. Habermas menyesalkan reduksi Foucault terhadap segala
formasi wacana, tindakan, dan pengetahuan hanya sekedar sebagai satu fungsi dari
kekuasaan. Tuduhan Habermas terhadap Foucault adalah atas presentisme, relativisme,
dan kriptonormativisme. Presentisme adalah suatu reduksi segala wacana dalam sejarah
ke dalam struktur khusus kekuasaan yang mendasarinya. Relativisme adalah konsekuensi
dari reduksi segala sesuatu ke dalam kekuasaan, sedangkan kekuasaan relatif, maka klaim
kebenaran itu turut menjadi relatif pula. Kriptonormativisme gagasan Foucault berarti
ketiadaan dasar atas sikap kritis yang diajukannya 42. Sementara itu Foucault menganggap
situasi ideal (ideal speech situation) yang diusung Habermas sebagai prasyarat tindak
komunikatif adalah utopis dan tidak berpijak atas realitas. Keyakinan Habermas akan
keberadaan situasi semacam itu dipandang naïf bagi Foucault. Pencarian terhadap situasi
tersebut adalah suatu hal yang membuang waktu saja karena tidak akan ditemukan 43.
Kritik Lain terhadap Pemikiran Habermas
Selain kritik deras dari kaum Posmodern, terdapat beberapa hal yang dapat kita
pertanyakan dalam sistem pemikiran Habermas. Kritik pertama berkaitan dengan asumsi
41
Yasraf Amir Piliang. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.. (Bandung,
Jalasutra, 2004) hlm 225-226
42
Ibid hlm 223-225
43
Bryan S Turner. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas (terj.: Imam Baehaqy dan Ahmad
Badlowi). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000) hlm 159-160
21
penggunaan rasio instrumental terhadap alam adalah didasarkan asumsi fisika Newtonian.
Habermas tidak menengok kepada perkembangan fisika modern yang diusung Einstein
dengan teori relativitasnya dan munculnya teori kuantum yang memperbarui cara
pandang kita kepada alam fisik. Suatu pandangan yang akan merubah cara pandang kita
terhadap keseluruhan realitas sehingga, sebagaimana diungkapkan Capra, menjadi titik
balik peradaban44. Suatu pandangan yang menurutnya akan menemukan kesejajaran
dengan cara pandang manusia di belahan bumi lain yang tertuang dalam ajaran
mistisisme timur45.
Kritik kedua masih terkait dengan permasalahan tersebut, penggunaan rasio
instrumental terhadap alam adalah satu hal yang dibenarkan oleh Habermas. Padahal
penggunaan rasio instrumental dalam artian eksploitasi semata-mata alam guna
kepentingan manusia telah terbukti pada masa sekarang menimbulkan banyak kerusakan
alam yang pada gilirannya akan berakibat buruk juga bagi manusia. Diperlukan satu
relasi, dengan mengambil istilah Habermas, yang bertujuan saling memahami antara
manusia dengan alam. Dengan demikian pada akhirnya tercapai satu keselarasan yang
saling menguntungkan antara manusia dengan alam.
Penutup
Habermas adalah salah satu pemikir terbesar yang masih hidup pada abad
sekarang. Gagasannya tentang tindak komunikasi dan etika emansipatoris pada dasarnya
adalah kelanjutan semangat humanisme dari Marx guna membebaskan manusia dari
keterasingan dan secara lebih luas membebaskan modernitas dari patologi yang
44
Untuk gagasan Capra tentang titik balik peradaban dapat dilihat pada Fritjof Capra. The Turning Point;
Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan Kebangkitan Kebudayaan (terj.: M Thoyibi). (Yogyakarta,
Jejak, 2007)
45
Pembahasan tentang kesejajaran antara fisika modern dengan mistisisme timur dapat dirujuk pada Fritjof
Capra. The Tao of Physic: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisisme Timur (terj.: Aufiya
Ilhamal Hafizh). (Bandung, Jalasutra, 2005)
22
dideritanya.
Habermas
lebih
memilih
menyelesaikan
modernitas
ketimbang
meninggalkannya sebagaimana yang dilakukan seteru intelektualnya, kaum posmodern.
Habermas percaya manusia masih memerlukan satu landasan normatif etik yang dapat
digapai dengan satu tindak komunikatif yang partisipatif dan emansipatif dalam satu
situasi ideal. Suatu kepercayaan yang banyak dikritik dari lawan-lawannya dan dianggap
sebagai satu utopia belaka. Arti penting gagasan Habermas adalah dukungannya terhadap
demokrasi di dalam peradaban global, suatu demokrasi dalam arti sesungguhnya dimana
masing-masing subjek didalamnya bebas dalam melakukan tindak komunikasi dengan
rasionalitasnya. Bebas dari distorsi dari otoritas berkuasa dan bebas dari rasa takut dalam
mengeluarkan pendapat sendiri. Suatu cita-cita yang tidak terlalu buruk untuk
diperjuangkan ditengah era dimana kapitalisme dan birokrasi negara telah mencekam
dasar kebebasan individu yang rasional sebagaimana saat sekarang.
23
DAFTAR PUSTAKA
Adian, Donny Gahral. Percik Pemikiran Kontemporer. (Bandung, Jalasutra, 2006)
Anonim.
"Jurgen
Habermas"
dalam
Wikipedia
(http://en.wikipedia.org/wiki/J
%C3%BCrgen_Habermas). 2007
Anonim. "Karl Marx" dalam Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Karl_marx). 2007
Anonim.
"The
Transformation
of
The
Public
Sphere"
dalam
Wikipedia
(http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structural_Transformation_of_the_Public_Sph
ere). 2007.
Audi, Robert (ed.). The Cambridge Dictionary of Philosophy. (Cambridge, Cambridge
University Press, 1995).
Bertens, Kees (ed.). Psikoanalisis Sigmud Freud (terj.: Kees Bertens). (Jakarta, Gramedia
Pustaka Utama, 2006).
Boeree, C George. Personalitiy Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama Psikolog
Dunia (terj.: Inyiak Ridwan Muzir). (Yogyakarta, Prismasophie, 2007)
Bohman, James dan William Rehg. "Jurgen Habermas" dalam Stanford Encyclopedia of
Philosophy. (http://plato.stanford.edu/entries/habermas/).2007
Capra, Fritjof. The Tao of Physic: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan
Mistisisme Timur (terj.: Aufiya Ilhamal Hafizh). (Bandung, Jalasutra, 2005)
Capra, Fritjof. The Turning Point; Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat, dan
Kebangkitan Kebudayaan (terj.: M Thoyibi). (Yogyakarta, Jejak, 2007)
Fauzi, Ibrahim Ali. Jurgen Habermas. (Jakarta, Teraju, 2003)
Giddens, Antony dan David Held. Perdebatan Klasik dan Kontemporer Mengenai
Kelompok, Kekuasaan, dan Konflik (terj.: Vedi R Hadiz). (Jakarta, Rajawali Pers,
1987)
Habermas, Jurgen. Religion and Rationality: Essays on Reason, God, and Modernity.
(Cambridge, MIT Press, 2002)
Habermas, Jurgen. Teori Tindakan Komunikatif I: Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat
(terj.: Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2006)
Habermas, Jurgen. Teori Tindakan Komunikatif II: Kritik atas Rasio Fungsionalitas (terj.:
Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2007)
24
Hardiman, Fransisco Budi. Melampaui Positivisme dan Modernitas: Diskursus Filosofis
tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas. (Yogyakarta, Kanisius, 2003)
Hardiman, Fransisco Budi. Filsafat Modern. (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2004)
Hardiman, Fransisco Budi. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jurgen Habermas. (Yogyakarta, Buku Baik, 2004)
Jay, David dan Julia Jay. The Harper Collins Dictionary of Sociology. (New York, Harper
Perennial, 1991)
Jay, Martin. Sejarah Mahzab Frankfurt: Imajinasi Dialektis dalam Perkembangan Teori
Kritis (terj.: Nurhadi). (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005)
Kappler, Arno dan Adriane Grevel. Fakta Mengenai Jerman (terj.: Edith Koesoemawiria
dan Dian Nangoi Panjaitan). (Jakarta, Katalis, 1995)
Mudhofir, Ali. Kamus Filsafat Barat. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2001)
Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan.
(Bandung, Jalasutra, 2004)
Ritzer, George dan Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern (terj.: Alimandan).
(Jakarta, Kencana, 2004)
Rundell, John. "Jurgen Habermas" dalam Peter Beilharz (ed.). Teori-teori Sosial:
Observasi Kritis terhadap Para Filosof Terkemuka (terj.: Sigit Jatmiko).
(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002)
Suseno, Franz Magnis. Pemikiran Karl Marx. (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1999)
Turner, Bryan S. Teori-teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas (terj.: Imam Baehaqy
dan Ahmad Badlowi). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2000)
Weber, Max. Sosiologi (terj.: Noorkholis). (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006)
25
26