BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Suatu fenomena yang dalam kurun waktu terakhir ini berkembang pesat

  mengikuti pesatnya laju globalisasi ekonomi dunia adalah munculnya blok-blok ekonomi dan perdagangan regional di sejumlah wilayah di dunia. Di dalam literatur perdagangan / ekonomi internasioanal, fenomena ini disebut sebagai regionalism, yakni pembentukan integrasi-integrasi ekonomi regional seperti ASEAN di Asia Tenggara, Uni Eropa (UE) di Eropa, dan NAFTA di Amerika Utara. Bentuk dari integrasi-integrasi ekonomi regional yang ada bervariasi, mulai dari yang sangat sederhana atau yang masih pada tahap awal dari kesepakatan-kesepakatan bersama untuk meningkatkan perdagangan antarmereka (preferential trading arrangement; PTA) yang bersifat tidak mengikat atau sukarela seperti APEC (Asia Pacific Economic Co-operation) hingga pembentukan organisasi resmi dengan segala macam kesepakatan yang sifatnya

   mengikat, seperti ASEAN dan UE.

  Kedua organisasi ekonomi regional tersebut mempunyai pengaruh yang tidak kecil terhadap perdagangan internasional, terutama UE yang merupakan organisasi ekonomi regional termaju di dunia hingga saat ini yang telah mencapai tahap akhir dari pembentukan suatu integrasi ekonomi regional yakni kesamaan dalam bidang fiscal dan moneter dengan mengeluarkan uang tunggalnya Euro (€). Bahkan organisasi ekonomi ini juga sangat diperhitungkan di dalam kancah perpolitikan internasioanal. Semakin pentingnya UE, tidak hanya di dalam perekonomian dan perdagangan Eropa, tetapi juga pada tingkat global, banyak negara-negara di Eropa Timur bekas negara-negara satelit Uni Soviet berkeinginan keras untuk bergabung dengan UE. Bahkan Turki telah ditolak oleh Perancis untuk sementara waktu tetap berusaha sekuat tenaga untuk bergabung dengan UE.

  Adam Smith dalam tulisannya An Inquiry into The Wealth of Nation atau yang dikenal dengan The Wealth of Nation (1776) mengatakan secara alami bahwa setiap manusia akan selalu memperoleh dorongan untuk dapat meningkatkan kehidupannya agar lebih baik bagi dirinya sendiri. Selanjutnya yang baik bagi dirinya sendiri. Inilah dasar falsafah individualisme yang menjadi landasan prinsip demokrasi ekonomi pasar dan hak asasi manusia. Falsafah individualisme ini dalam perjalanannya memenangkan dari segala pertarungan dan macam-macam falsafah pemikiran ekonomi, terutama dengan pemikiran ekonomi, terutama dengan pemikiran komunisme. Posisi falsafah individualisme ini lebih memiliki sifat universal dan manusiawi dibandingkan dengan

   komunisme yang dikembangkan oleh Karl Marx.

  Pemikiran individualisme yang merangsang setiap aktivitas ekonomi bergerak secara bebas merupakan dasar dari perkembangan ekonomi pasar sehingga berkembang menjadi perdagangan bebas antar individu, antar kelompok, antar masyarakat, antar daerah hingga antarnegara.

  Gejala globalisasi terjadi dalam kegiatan finansial, investasi, dan perdagangan yang kemudian memengaruhi tata hubungan ekonomi antar bangsa.

  Proses globalisasi itu telah meningkatkan kadar hubungan saling ketergantungan antar negara, bahkan menimbulkan proses menyatukan ekonomi dunia sehingga batas-batas antar negara dalam berbagai praktik dunia usaha/ bisnis seakan-akan tidak berlaku lagi.

  ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

  Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Cambodia, Laos, Myanmar dan

  Menghadapi perkembangan tananan ekonomi dunia yang serba cepat dan tidak pasti, melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) IV- 27-28 Januari 1992 di Singapura, ASEAN mengambil beberapa langkah penguatan integritas ekonomi yang dirangkumkan dalam dua macam dokumen. Pertama kerangka persetujuan peningkatan Kerjasama Ekonomi ASEAN (Franework Agreement on Enhancing

  

ASEAN Economic Cooperation) , sebagai payung dari semua bentuk kerjasama

  yang telah ada dan akan dilaksanakan. Kedua pembentukan kawasan perdagangan

  Preferensi Efektif yang seragam (Common Effentive Tarif CEPT) terhitung mulai

   1 Januari 1991.

  Negara ASEAN menyatakan bahwa AFTA tidak dimaksudkan untuk menciptakan blog dagang, melainkan untuk mendorong agar Negara-negara ASEAN lebih cepat berintegrasi dan menyesuaikan diri dengan sistem dan keadaan perdagangan internasional. AFTA diharapkan dapat menjadi sarana untuk meningkatkan efisiensi termasuk juga speasialisasi dan pembagian kerja dari

   anggotanya, dan sekaligus sebagai sarana untuk memasuki pasar global. 3 4 Ibid 5 Ibid.

  Departeman Perdagangan Republik Indonesia, Laporan Perdagangan AFTA, (Jakarta: Dibentuknya kawasan perdagangan bebas ASEAN bukan berarti tidak menimbulkan masalah dan hambatan, justru beberapa diantaranya sangat mendasar dan sulit diatasi, salah satunya masalah mendasar adalah adanya keserupaan pandangan dalam struktur ekonomi negara-negara anggota ASEAN.

  Rendahnya perdagangan antar sesama anggota negara ASEAN sekaligus mencerminkan orientasi perdagangan luar negeri masing-masing Negara yang

   langsung berhubungan dengan pasar internasional, di luar kawasan regional.

  Perjanjian AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992 . Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN sebagai wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis dipercepat menjadi tahun 2003 , dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.

  Skema Common Effective Preferential Tariffs For ASEAN Free Trade Area (CEPT-AFTA) merupakan suatu skema untuk mewujudkan AFTA melalui : penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya. Maka dalam melakukan pedagangan sesama anggota biaya operasional mampu ditekan sehingga akan menguntungkan.

  Perkembangan terakhir yang terkait dengan AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura dan Thailand, dan bagi Kamboja, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015.

  Bagi Indonesia yang menganut falsafah pembangunan ekonomi nasionalistik regional tentu dalam menanggapi pembentukan kawasan Perdagangan Bebas ASEAN tidak melarutkan eksistensi dan posisi Indonesia. Dengan kata lain, pembentukan AFTA bersifat penting, tetapi tidak harus mengorbankan kepentingan pembangunan ekonomi nasional yang selama ini sudah berjalan. Oleh karena itu Indonesia masih tetap hati-hati dalam menentukan komoditi yang akan dilepas bersaing dalam rangka AFTA tersebut.

  Dengan masuknya Indonesia dalam siklus AFTA secara otomatis terjadi perubahan dimensi dan sifat ekonomi nasional. Dimensi ekonomi nasional berubah menjadi ekonomi regional. Hal ini disebabkan bukan hanya sebagai pasarnya sendiri sampai meliputi perekonomian negara lain.

  Dengan diberlakukannya kawasan perdagangan bebas ASEAN itu berarti kian bebasnya hambatan dari produk-produk yang telah disepakati (semen, pupuk, pulp, tekstil, perhiasan dan permata, perabot dari kayu, rotan, barang-barang, kulit, plastic, obat-obatan, elektronika, kimia, produk karet, minyak nabati, keramik dan gelas serta copper cathode) dari Negara ASEAN untuk dijual di Indonesia begitu pula sebaliknya.

  Dalam menerapkan ketentuan anti dumping berdasarkan GATT-WTO, Peraturan Pemerintah No. 34 tahun 1996 kurang mengakomodasi semua ketentuan GATT-WTO tentang anti dumping. Prosedur penyelesaian sengketa GATT pada dasarnya mempunyai tiga tujuan, yaitu realisasi dari tujuan GATT, perlindungan keuntungan yang berasal dari perjanjian, dan untuk penyelesaian

  

  sengketa itu sendiri, sehingga masih adanya kekaburan yang perlu penafsiran- penafsiran terutama dalam penentuan harga normal, kerugian (Injury), dan Causal

  

Link sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada

  produsen dalam negeri dimana dalam kasus tindakan dumping sering kali merugikan produsen dalam negeri yang memproduksi barang sejenis.

  Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis memilih judul “Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA”

B. Perumusan Masalah

  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa 1.

  Bagaimanakah kerangka hukum perdagangan bebas AFTA? 2. Bagaimanakah bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam kerangka perdagangan bebas AFTA?

  3. Bagaimanakah kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi industri dalam negeri dalam kerangka perdagagan bebas AFTA?

7 Faisal Salam, Penyelesaian Sengketa Bisnis Secara Nasional dan Internasional,Mandar

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

  1. Tujuan Penulisan

  Adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah: a.

  Untuk mengetahui kerangka hukum perdagangan bebas AFTA.

  b.

  Untuk mengetahui bentuk-bentuk perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam kerangka perdagangan bebas AFTA c.

  Untuk mengetahui kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi industri dalam negeri dalam kerangka perdagagan bebas AFTA

  2. Manfaat Penulisan

  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis, yaitu sebagai berikut: a.

  Manfaat Teoritis Diharapkan menjadi pertimbangan dalam pemikiran dan wawasan berpikir dalam suatu karya ilmiah di bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum ekonomi yang membahas perdagangan internasional terlebih dengan spesifikasi perdagangan bebas antara negara-negara anggota ASEAN.

  b.

  Manfaat Praktis Diharapkan dapat menjadi masukan bagi pembaca, khususnya mengenai

  Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA dengan adanya penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang Kerangka Pasar Bebas AFTA dalam melindungi industri dalam negeri

  D. Keaslian Penulisan

  Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara diketahui bahwa penelitian tentang Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas Afta

  Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas cabang Fakultas Hukum yang mirip yang penulis temukan adalah : 1.

  Febrina Rezkitta Hasibuan, dengan judul Kebijakan di Bidang Perdagangan yang Tanggap terhadap Perubahan Makrostruktur Sistem Internasional (Analisis Yuridis terhadap Perjanjian AFTA China – Indonesia). Skripsi Universitas Sumatera Utara 2. Halimatul Maryani, Analisis Hukum Mengenai Kesepakatan Perdagangan

  Bilateral dan Regional dalam Kaitannya dengan WTO (Studi Terhadap Utara 3. Mayer Hayrani DS Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri

  Dalam Asean China Free Trade Agreement (ACFTA) Skripsi Universitas Sumatera Utara

  E. Tinjauan Pustaka

  Arus globalisasi ekonomi yang menimbulkan hubungan interdependensi dan integrasi dalam bidang finansial, produksi dan perdagangan telah membawa dampak yang cukup luas pada perekonomian Indonesia. Dampak dari arus globalisasi ekonomi ini lebih terasa lagi setelah dikembangkannya prinsip didukung secara bersama-sama oleh negara-negara di dunia dalam bentuk

  

  kerjasama ekonomi regional. ASEAN yang merupakan salah satu kerjasama regional merupakan bentuk kekuatan baru di benua Asia, karena menjadi salah satu kawasan dengan jumlah potensi pasar terbesar di dunia.

  Hal ini tentunya menarik minat negara-negara lain yang ingin mengembangkan potensi kerjasama mereka di wilayah Asia. Terlebih lagi rencana terbesar ASEAN yang akan membentuk ASEAN Economic Community (AEC) yang membawa kerjasama ekonomi ke arah yang lebih luas yaitu dalam satu kerangka komunitas ASEAN.

1. Pasar Bebas

  Perdagangan bebas adalah sebuah konsep ekonomi yang mengacu penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan

9 Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya

  hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.

  Perdagangan Internasional sering dibatasi oleh berbagai pajak negara, biaya tambahan yang diterapkan pada barang ekspor impor, dan juga regulasi non tarif pada barang impor. Secara teori, semuha hambatan-hambatan inilah yang ditolak oleh perdagangan bebas. Namun dalam kenyataannya, perjanjian- perjanjian perdagangan yang didukung oleh penganut perdagangan bebas ini 8 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Books Terrace & Library,

  2009), hlm. 7 justru sebenarnya menciptakan hambatan baru kepada terciptanya pasar bebas. Perjanjian-perjanjian tersebut sering dikritik karena melindungi kepentingan perusahaan-perusahaan besar.

  Hambatan-Hambatan Perdagangan Non Tarif. Kebijakan perdagangan internasional adalah berbagai tindakan dan peraturan yang dijalankan suatu negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang akan mempengaruhi struktur, komposisi, dan arah perdagangan internasional negara tersebut.

  Kebijakan perdagangan internasional dilaksanakan dengan tujuan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, dan lapangan kerja serta menjaga stabilitas ekonomi nasional. Akan tetapi, dalam praktek perdagangan internasional saat ini, kebanyakan pemerintah melakukan campur tangan dalam kegiatan perdagangan internasional menggunakan kebijakan lainnya tersebut untuk menyembunyikan motif proteksi atau sekedar mengecoh negara lainnya. Oleh karena itu, sampai saat ini masih banyak negara yang memberlakukan kebijakan nontarif barrier walaupun beberapa ahli beranggapan bahwa kebijakan nontarif barrier dapat menjadi penghalang untuk tercapainya

   keterbukaan dalam perdagangan internasional.

  Berbagai hambatan nontarif 1. Kuota impor

  Kuota impor adalah pembatasan secara lansung terhadap jumlah barang yang boleh diimpor dari luar negeri untuk melindungi kepentingan industri dan 10 Stdln.blogspot.com/2010/07/Hambatan-Hambatan-Perdagangan-Non-Tarif_29.html, konsumen. Pembatasan ini biasanya diberlakukan dengan memberikan lisensi kepada beberapa kelompok individu atau perusahaan domestik untuk mengimpor suatu produk yang jumlahnya dibatasi secara langsung.

  Kuota impor dapat digunakan untuk melindungi sektor industri tertentu dan neraca pembayaran suatu negara. Negara maju pada umumnya memberlakukan kuota impor untuk melindungi sektor pertaniannya. Sedangkan negara-negara berkembang melakukan kebijakan kuota impor untuk melindungi sektor industri manufakturnya atau untuk melindungi kondisi neraca pembayarannya yang seringkali mengalami defisit akibat lebih besarnya impor daripada ekspor.

   Perbedaan kuota impor dan tarif impor yang setara : 1.

  Pemberlakuan kuota impor akan memperbesar permintaan yang selanjutnya daripada yang diakibatkan oleh pemberlakuan tarif impor yang setara;

  2. Dalam pemberlakuan kuota impor, jika pemerintah melakukan pemilihan perusahaan yang berhak memperoleh lisensi impor tanpa mempertimbangkan efisiensi, maka akan menyebabkan timbulnya monopoli dan distorsi 3. Pada kuota impor, pemerintah akan memperoleh pendapatan secara lansung melalui pemungutan secara lansung pada penerima lisensi impor;

  4. Kuota impor membatasi arus masuk impor dalam jumlah yang pasti, sedangkan tarif impor membatasi arus masuk impor dalm jumlah yang tidak dapat dipastikan.

  Macam-macam kuota impor : a.

  Absolute/ uniteral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan secara sepihak (tanpa negoisasi) b.

  Negotiated/ bilateral quota, yaitu sistem kuota yang ditetapkan atas kesepakatan atau menurut perjanjian c.

  Tarif kuota, yaitu pembatasan impor yang dilakukan dengan mengkombinasikan sistem tarif dengan sistem kuota.

  d.

  Mixing quota, yaitu pembatasan impor bahan baku tertent untuk melindungi industri dalam negeri.

2. Pembatasan Ekspor Secara Sukarela

  Konsep ini mengacu pada kasus di mana negara pengimpor mendorong atau bahkan memaksa negara lain mengurangi ekspornya secara sukarela dengan perdagangan yang lebih keras lagi. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan kekhawatiran akan lumpuhnya sektor tertentu dalam perekonomian domestik akibat impor yang berlebih.

  Pembatasan ekspor secara sukarela ini kurang efektif, karena pada umumnya negara pengekspor enggan membatasi arus ekspornya secara sukarela.

  Pembatasan ekspor ini justru membebankan biaya yang lebih mahal bagi negar pengimpor karena lisensi impor yang bernilai tinggi itu justru diberikan pada pemerintah atau perusahaan asing.

  3. Kartel-kartel Internasional Kartel internasional adalah sebuah organisasi produsen komoditi tertentu dari berbagai negara. Mereka sepakat untuk membatasi outputnya dan juga mengendalikan ekspor komoditi tersebut dengan tujuan memaksimalkan dan meningkatkan total keuntungan mereka. Berpengaruh tidaknya suatu kartel ditentukan oleh hal-hal berikut: a.

  Sebuah kartel internasional berpeluang lebih besar untuk berhasil dalam menentukan harga jika komoditi yang mereka kuasai tidak memiliki subtitusi; b. Peluang tersebut akan semakin besar apabila jumlah produsen, negara, atau pihak yang terhimpun dalam kartel relatif sedikit.

  4. Dumping pasaran, atau penjualan komoditi ke luar negeri dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan harga penjualan domestiknya.

  5. Subsidi Ekspor Subsidi ekspor adalah pembayaran lansung atau pemberian keringanan pajak dan bantuan subsidi pada para eksportir atau calon eksportir nasional, dan atau pemberian pinjaman berbunga rendah kepada para pengimpor asing dalam rangka memacu ekspor suatu negara.

  2. ASEAN Free Trade Agreement

  AFTA merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya. ASEAN Free Trade Area (AFTA) adalah kawasan perdagangan bebas ASEAN dimana tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun

   hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN.

  Perkembangan terakhir AFTA adalah adanya kesepakatan untuk menghapuskan semua bea masuk impor barang bagi Brunai Darussalam pada tahun 2010, Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapura,Thailand,Cambodia, Laos, Myanmar dan Vietnam pada tahun 2015. Sebagai Con toh : Vietnam menjual sepatu ke Thailand, Thailand menjual radio ke Indonesia, dan Indonesia melengkapi lingkaran tersebut dengan menjual kulit ke Vietnam. Melalui spesialisasi bidang usaha, tiap bangsa akan mengkonsumsi lebih banyak tersebut tidak ada hambatan tarif (bea masuk 0-5%) maupun hambatan non-tarif bagi negara – negara ASEAN melalui skema CEPT-AFTA.

  AFTA sendiri dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Pada pelaksanaan perdagangan bebas khususnya di Asia Tenggara yang tergabung dalam AFTA proses perdagangan tersebut tersistem pada skema CEPT-AFTA. Common Effective Preferential Tarif

  

Scheme (CEPT) adalah program tahapan penurunan tarif dan penghapusan

  hambatan non-tarif yang disepakati bersama oleh negara-negara ASEAN sehingga dalam melakukan perdagangan sesama anggota, biaya operasional mampu di tekan sehinnga akan menguntungkan.

  Dalam skema CEPT-AFTA barang-barang yang termasuk dalam tarif scheme adalah semua produk manufaktur, termasuk barang modal dan produk pertanian olahan, serta produk-produk yang tidak termasuk dalam definisi produk pertanian. (Produk-produk pertanian sensitive dan highly sensitive dikecualikan dari skemaCEPT).

  Dalam skema CEPT, pembatasan kwantitatif dihapuskan segera setelah suatu produk menikmati konsesi CEPT, sedangkan hambatan non-tarif dihapuskan dalam jangka waktu 5 tahun setelah suatu produk menikmati konsensi CEPT.

3. Industri dalam Negeri

  adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

  Industri dalam negeri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, dan/atau barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.

F. Metode Penelitian

  1. Jenis Penelitian

  Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif

   yaitu ilmu hukum yang obyeknya hukum itu sendiri.

  Dalam penelitian ini metode yuridis normatif digunakan untuk meneliti norma-norma hukum internasional dan hukum nasional yang berlaku terkait dengan perlindungan industri dalam negeri dalam kerangka AFTA.

  2. Sifat Penelitian

  bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,

  

  menelaah, menjelaskan dan menganalisis suatu peraturan hukum. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak hanya ditujukan untuk mendeskripsikan gejala-gejala atau fenomena-fenomena hukum yang terkait dengan perlindungan industri dalam negeri dan kepastian hukum bagi keberlangsungan usaha industri dalam negeri menghadapi AFTA akan tetapi lebih ditujukan untuk menganalisis fenomena-fenomena hukum tersebut dan kemudian mendeskripsikannya secara sistematis sesuai dengan kaidah-kaidah penulisan. 13 Jhonny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm. 57.

3. Sumber Data Penelitian

  Data pokok dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data atau informasi hasil penelaahan dokumen penelitian serupa yang pernah dilakukan sebelumnya, bahan kepustakaan seperti buku-buku, literatur, koran, majalah, jurnal ataupun arsip-arsip yang sesuai dengan penelitian yang akan dibahas, yang meliputi: a.

  Bahan Hukum Primer Bahan hukum yang bersifat mengikat seperti undang-undang, perjanjian inernasional, dan lain-lain, yang dalam penelitian tesis ini terdiri dari berbagai peraturan hukum yang berkaitan dengan implementasi dari perjanjian AFTA termasuk perjanjian-perjanjian internasional yang terkait dalam hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang 1984 Tentang Perindustrian, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 Tentang Bea Masuk Antidumping Dan Bea Masuk Imbalan, Keppres Nomor 84 Tahun 2002 Tentang Tindakan Pengamanan Industri Dalam Negeri Dari Akibat Lonjakan Impor, dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/M- DAG/PER/3/2007 Tentang Standarisasi Jasa Bidang Perdagangan Dan Pengawasan Standar Nasional Indonesia (SNI) Wajib Terhadap Barang Dan Jasa Yang Diperdagangkan, Peraturan Daerah Kota Medan No. 22 Tahun 2002 tentang Izin Gangguan. b.

  Bahan Hukum Sekunder Bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti berbagai tulisan, jurnal dan buku-buku yang dianggap berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan diangkat.

  c.

  Bahan Hukum Tersier: Merupakan bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti kamus umum, dan kamus hukum sepanjang memuat informasi yang relevan dengan materi penelitian ini.

  4. Teknik Pengumpulan Data

  Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) untuk mendapatkan konsepsi yang berhubungan dengan objek penelitian ini yang dapat berupa peraturan perundang-undangan, buku, tulisan ilmiah dan karya-karya ilmiah lainnya.

  5. Alat Pengumpulan Data

  Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dimana seluruh data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini, dikumpulkan dengan mempergunakan studi kepustakaan. Pada tahap awal pengumpulan data, dilakukan inventaris seluruh data dan atau dokumen yang relevan dengan topik pembahasan. Selanjutnya dilakukan pengkategorian data- data tersebut berdasarkan rumusan masalah yang telah ditetapkan. Data tersebut

   selanjutnya dianalisis dengan metode analisis yang sudah dipilih.

6. Analisis Data

  Dilakukan secara kualitatif, yakni suatu bentuk analisa yang tidak bertumpu pada angka-angka melainkan pada kalimat-kalimat. Bahan hukum yang diperoleh akan dipilah-pilah, dikelompokkan dan disusun sedemikian rupa sehingga menjadi suatu rangkaian yang sistematis yang akan dipergunakan untuk membedah dan menganalisis permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini melalui interpretasi dan abstraksi bahan-bahan hukum yang tersedia. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir deduktif induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai titik tolak untuk melakukan penelitian. Dengan demikian teori digunakan sebagai alat, ukuran dan akan menggunakan teori sebagai pisau analisis dalam melihat masalah dalam perlindungan hukum terhadap industri dalam negeri dalam AFTA.

G. Sistematika Penulisan

  BAB I PENDAHULUAN Pada bagian bab ini akan membahas tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan Sistematika Penulisan

  BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA Pada bagian bab ini akan membahas tentag Tinjauan Umum tentang Perdagangan Bebas ; Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas, Manfaat Perdagangan Bebas, Dasar Hukum Pengaturan Perdagangan Regional dan Tinjauan Umum tentang AFTA; Sejarah dan Pengertian AFTA, Keanggotaan AFTA, Tujuan AFTA Dasar Hukum AFTA serta Kerangka Hukum Perdagangan Bebas AFTA ; Pengaturan Tarif dan Perdagangan Barang; Pengaturan Bidang Jasa Penyelesaian Sengketa AFTA

  BAB III BENTUK-BENTUK PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PERDAGANGAN BEBAS AFTA Negeri; Pengertian Industri Dalam Negeri, Dasar Hukum Industri Dalam Negeri, Perlindungan Hukum Industri Dalam Negeri, Perlindungan Hukum Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Perdagangan Bebas, Peran Pemerintah Indonesia dalam Perdagangan Bebas, Penerapan Standar Industri Di Indonesia, Perlindungan hukum pemerintah terhadap produk-produk Barang Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA seta Instrumen Yang Digunakan Untuk Melindungi Industri Dalam Negeri Dari Praktik Dumping

  BAB IV KEBIJAKAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DALAM MELINDUNGI INDUSTRI DALAM NEGERI DALAM KERANGKA PERDAGAGAN BEBAS AFTA Pada bab ini akan membahas tentang Kebijakan Politik Hukum Perdagangan Bebas Indonesia, Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia dalam Melindungi Industri Dalam Negeri dalam Kerangka Perdagangan Bebas, Pengaruh AFTA terhadap Kebijakan Perdagangan Indonesia, Kendala Pemerintah Republik Indonesia Terkait Pelaksanaan Perdagangan Bebas AFTA BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bab kesimpulan dan saran dari seluruh rangkaian bab-bab sebelumnya. Dalam bab ini berisikan dilengkapi dengan saran

Dokumen yang terkait

KATA PENGANTAR - Pengaruh Iklan Televisi dan Selebriti Pendukung terhadap Kesadaran Merek Wardah pada Mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara

0 0 16

BAB I - Inheritance For The Future

0 0 10

Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Usia Menarke pada Remaja Putri di SMP Negeri 30 Medan

0 0 28

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Remaja - Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Usia Menarke pada Remaja Putri di SMP Negeri 30 Medan

0 0 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pelabuhan Danau 2.1.1 Definisi Pelabuhan Dan Fungsinya - Studi Pintu Masuk Utama Dermaga Pelabuhan Danau Terhadap Kenyamanan Penumpang (Studi Kasus : Pelabuhan Ajibata, Danau Toba)

1 2 27

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Vaginosis Bakterial 2.1.1. Definisi - Profil Skor Nugent Berdasarkan Pewarnaan Gram pada Pasien Vaginosis Bakterial di RSUP Haji Adam Malik Medan

0 0 19

Penggunaan Pelepah Daun Kelapa Sawit dengan Perlakuan Fisik, Kimia, Biologi dan Kombinasinya Terhadap Performans Domba Lokal Jantan

0 1 16

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep - Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud

0 2 19

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Konflik Batin Tokoh Utama Dalam Novel Saman Karya Ayu Utami: Pendekatan Psikoanalisis Sigmund Freud

0 2 9

BAB II KERANGKA HUKUM PERDAGANGAN BEBAS AFTA A. Tinjauan Umum tentang Perdagangan Bebas 1. Sejarah dan Pengertian Perdagangan Bebas - Perlindungan Terhadap Industri Dalam Negeri Dalam Kerangka Pasar Bebas AFTA

2 2 34