proposal usg (IPP) bab 1,2,3

EVALUASI PEMERIKSAAN USG PROTRUSI INTRAVESIKA
PROSTAT DENGAN KLINIS BPH DI RUMAH SAKIT UMUM
DAERAH CENGKARENG JAKARTA
Proposal Skripsi
Diajukan dalam rangka seminar proposal untuk pembuatan skripsi Program Studi
Diploma 4 Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politekknik Kesehatan
Kemenkes Jakarta II

DISUSUN OLEH :
YULIATI ROCHMAH
NPM : P2.31.30.1.13.036

PROGRAM STUDI DIPLOMA 4
JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II
2017

HALAMAN PERSETUJUAN

Proposal Skripsi Mahasiswa Program Diploma 4 (PS D4 ) Tahun 2017 dengan
judul:

EVALUASI PEMERIKSAAN USG PROTRUSI INTRAVESIKA PROSTAT
DENGAN KLINIS BPH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG JAKARTA

DISUSUN OLEH :
YULIATI ROCHMAH
NPM : P2.31.30.1.13.036

Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Seminar Proposal
Program Diploma 4 Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik
Kesehatan Kemenkes Jakarta II.

Jakarta,

April 2017

Menyetujui :
Pembimbing Materi,

Pembimbing Teknis


Drs. Suhartono BP, DFM

dr. Tatan Saefudin, SP.Rad, M.Kes

NIP. 195211011977031001

NIP. 195408181980031004
2

EVALUASI PEMERIKSAAN USG PROTRUSI INTRAVESIKA PROSTAT
DENGAN KLINIS BPH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH
CENGKARENG JAKARTA
Protokol Penelitian
Dibuat sebagai acuan dan langkah-langkah prosedur penelitian dalam pembuatan
skripsi Program Studi Diploma 4 Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi
Politekknik Kesehatan Kemenkes Jakarta II

DISUSUN OLEH :
YULIATI ROCHMAH

NPM : P2.31.30.1.13.036

PROGRAM STUDI DIPLOMA 4
JURUSAN TEKNIK RADIODIAGNOSTIK DAN RADIOTERAPI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN JAKARTA II
2017

3

HALAMAN PENGESAHAN
Protokol Penelitian Mahasiswa Program Dipoloma 4 dengan judul : EVALUASI
PEMERIKSAAN USG PROTRUSI INTRAVESIKA PROSTAT DENGAN
KLINIS BPH DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CENGKARENG
JAKARTA

DISUSUN OLEH :
YULIATI ROCHMAH
NPM : P2.31.30.1.13.036
Telah diujikan dihadapan dewan Penguji Seminar Proposal Program Diploma 4
Teknik Radiodiagnostik dan Radioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes Jakarta

II dan disyahkan sebagai kerangka acuan dalam penelitian skripsi
Jakarta,

April 2017

Pembimbing Materi,

Pembimbing Teknis

Drs. Suhartono BP, DFM

dr. Tatan Saefudin, SP.Rad, M.Kes

NIP. 195211011977031001

NIP. 195408181980031004
Mengetahui :

Ketua Program Studi Diploma 4
Teknik Radiodiagnostik Dan Radioterapi

Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Jakarta II

Dra. Hj. Gando Sari, M. Kes
NIP. 195811231982032009
4

DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PERSETUJUAN

ii

PROTOKOL PENELITIAN

iii

HALAMAN PENGESAHAN

iv


DAFTAR ISI

v

DAFTAR GAMBAR vi

BAB I PENDAHULUAN

1

A.

Latar Belakang

1

B.

Rumusan Masalah


3

D.

Tujuan Penelitian

3

E.

Manfaat Penelitian

4

F.

Keaslian Penelitian

4


BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP
A.

5

Kajian Teori

5

1.

Anatomi Prostat

5

2.

Fisiologi Prostat


7

3.

Patologi Prostat

8

4.

Ultrasonografi

10

5.

Teknik Skening USG Prostat

12


6.

Sonoanatomi Prostat

15

7.

Pengaturan Gambar USG

18

8.

Artefak gambaran USG

20

9.


Sonopatologi Prostat

22

Kerangka Konsep

24

B.

BAB III METODELOGI PENELITIAN
A.

Jenis dan Metode Penelitian

25
25

5

B.

Tempat dan Waktu Penelitian

25

C.

Populasi dan Sampel

25

D.

Metode Pengumpulan Data

26

E.

Instrumen Penelitian

26

F.

Pengolahan dan Analisis Data

27

DAFTAR PUSTAKA

6

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Bagian prostat

7

Gambar 2. 2 Teknik skening longitudinal

13

Gambar 2. 3 Skening longitudinal kandung kemih dan prostat

13

Gambar 2. 4 Teknik skening transversal

14

Gambar 2. 5 Skening transversal kandung kemih dan prostat

14

Gambar 2. 6 Gambaran sagital pada kandung kemih dan prostat

15

Gambar 2. 7 skening transversal, gambaran sonoanatomi prostat

15

Gambar 2. 8 skening longitudinal, gambaran sonoanatomi prostat

16

Gambar 2. 9 skening transversal, gambaran sonoanatomi prostat

16

Gambar 2. 10 Skening transversal, gambaran sonoanatomi prostat

17

Gambar 2. 11 Sonoanatomi prostat

18

Gambar 2. 12 Time gain compensator (TGC) dan gain

19

Gambar 2. 13 Fokus zone

19

Gambar 2. 14 Penambahan depth dari kiri ke kanan

20

Gambar 2. 15 Posterior acoustic enhancement

21

Gambar 2. 16 Refraksi artefak

21

Gambar 2. 17 Reverberasi artefak

22

Gambar 2. 18 Skening koronal ultrasonografi transrektal dengan kistik tinggi

22

Gambar 2. 19 Skening koronal ultrasonografi transrektal dengan kistik rendah 23
Gambar 2. 20 Skening aksial ultrasonografi transrektal

7

23

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
USG adalah bentuk energi mekanik yang menggunakan gelombang suara
dengan frekuensi melebihi 20.000 Hz. USG membutuhkan media untuk
perambatan yaitu jeli (Gupta 2007). Rentan frekuensi yang digunakan dalam
pemeriksaan USG transabdominal prostat adalah 3.5-5 MHz (Laauckner 2011).
USG memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan radiologis yang lain,
yaitu bersifat non-invasif, dapat digunakan untuk melihat pergerakan organ, sifat
jaringan-jaringan yang dicitrakan dapat dibedakan, tenaga listrik yang diperlukan
hanya sedikit, dan memungkinkan tindakan biopsi jaringan yang tepat (Ilyas &
Budyatmoko 2005). Ultrasonografi juga dapat bermanfaat mengukur volume
prostat dan penuntun pada saat dilakukan biopsi. Ultrasonografi transabdominal
dengan

kandung

kemih

penuh

biasanya

dapat

memperlihatkan

dan

memungkinkan mengukur volume prostat. Pengukuran volume prostat yang lebih
akurat dapat dilakukan dengan ultrasonografi transrektal (Kidingallo et al. 2011).
Pembesaran kelenjar prostat ini merupakan salah satu masalah
geniutorinari yang prevalensi dan insidennya meningkat seiring dengan
bertambahnya usia. Insiden BPH diperkirakan akan meningkat mencapai 20%
pada pria berusia 65 tahun ke atas atau mencapai 20 juta pria pada tahun 2030
(Lajiness 2016). Di Indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan
kedua setelah penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya,
diperkirakan hampir 50% pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan
usia harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit BPH.
Selanjutnya, 5% pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di atas 60
tahun. Oleh itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih rakyat indonesia, maka dapat
diperkirakan 100 juta adalah pria berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira
sebanyak 5 juta, maka secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta pria
Indonesia menderita penyakit BPH (Amalia 2007).
1

2

Pembesaran prostat lobus media dan lobus lateral, akan memberikan
gambaran protrusi pada pemeriksaan ultrasonografi transabdominal (Chia et al.
2003). Protrusi prostat ini dapat menyebabkan obstruksi mekanik dan protrusi
prostat akan menjadi semacam katup yang akan menutup leher buli-buli pada
setiap buang air kecil (Doyle 1995). Pada pemeriksaan ultrasonografi
transabdominal, dapat diketahui berapa volume prostat dan besarnya protrusi
prostat ke dalam buli-buli, yang dapat dipakai untuk meramalkan derajat
sumbatan, dan dapat dijadikan sebagai pertimbangan untuk melakukan tindakan
invasif dalam pengelolaan BPH (Chia et al. 2003)(Rahardjo 1999).
Penelitian berdasarkan Yen Hong Tan (2003) menyatakan bahwa makin
besar derajat protrusi prostat maka episode retensi akut berulang makin meningkat
(Tan & Foo 2003). Penelitian lain yang dilakukan oleh Chia (2003) menyebutkan
protrusi prostat mempunyai korelasi yang signifikan dengan obstruksi intravesika
penilaian perkembangan penyakit dan kebutuhan akan intervensi bedah (Chia et
al. 2003). Secara fisiologi, perbedaan volume buli-buli berpengaruh terhadap
besarnya protrusi prostat ke dalam buli-buli, dengan kata lain buli-buli yang
penuh akan menyebabkan protrusi prostat ke dalam buli-buli makin

kecil,

sedangkan buli-buli kosong akan menyebabkan protrusi prostat ke dalam buli-buli
makin besar (Yuen et al. 2002).
Di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng, pemeriksaan prostat dengan
klinis

BPH

hanya

menggunakan

teknik

transabdominal.

Penggunaan

transabdominal masih sangat efektif untuk mengidentifikasi prostat dengan
gambaran yang baik dan pengukuran volume prostat yang akurat (Abu-yousef &
Narayana 1982). Tercatat kurang lebih 35 pemeriksaan USG perhari, dengan
catatan sekitar 20% per hari pemeriksaan USG pada klinis BPH.
Dalam penelitian ini peneliti akan membahas tentang evaluasi protrusi
intravesika prostat pada pemeriksaan ultrasonografi prostat dengan klinis BPH.
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penulis tertarik
mengangkat judul “evaluasi pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat dengan
klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta”

3

B. Rumusan Masalah
Dari hasil penelitian lapangan mendapati berbagai masalah pada
pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat pada klinis BPH yang menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Masalah-masalah tersebut merupakan masalah penelitian
yang dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.

Bagaimana prosedur pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat dengan

2.

klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta?
Bagaimana teknik skening USG protrusi intravesika prostat dengan klinis

3.

BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengakereng Jakarta?
Bagaimana menghasilkan mutu gambar yang baik pada USG protrusi
intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah

4.

Cengkareng Jakarta?
Bagaimana hasil gambaran USG protrusi intravesika prostat dengan klinis
BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta?

C. Batasan Masalah
Batasan masalah penilitian yang di teliti adalah mendeskripsikan

dan

mengevaluasi pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat dengan klinis BPH di
Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta. Bagian yang diteliti hanya
prosedur, teknik skening, dan hasil gambaran pada USG protrusi intravesika
prostat dengan klinis BPH.

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.

Tujuan Umum

Untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi USG protrusi intravesika prostat
dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta.

2.

Tujuan Khusus

4

a.

Untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi prosedur USG protrusi intravesika
prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng
Jakarta.

b.

Untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi teknik skening USG protrusi
intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng Jakarta.

c.

Untuk mendeskripsikan dan mengevaluasi hasil gambaran USG protrusi
intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng Jakarta.

E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a.

Manfaat Teoritis
Dapat mengembangkan pengetahuan, wawasan, serta menjadi referensi

mengenai USG protrusi intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit
Umum Daerah Cengkareng Jakarta.
b.

Manfaat Praktis
Hasil penelitian lapangan yang merupakan evaluasi terhadap pemeriksaan

USG protrusi intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum
Daerah Cengkareng Jakarta, diharapkan dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak
sebagai masukan untuk mengembangkan pemeriksaan tersebut di tempat-tempat
lain.

F.

Keaslian Penelitian
Penulisan ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis, belum

pernah dilakukan penelitian dengan judul “evaluasi pemeriksaan USG protrusi
intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng
Jakarta” dari aspek masalah penelitian, kerangka konsep, hipotesis, rancangan
penelitian, populasi dan sampel, instrumen penelitian, teknik pengumpulan,
pengolahan dan analisis data penelitian.

BAB II
KAJIAN TEORI DAN KERANGKA KONSEP

A. Kajian Teori
1.

Anatomi Prostat
Dalam keadaan normal prostat berukuran kira-kira sebesar kenari dengan

berat kurang dari 20 gram (Pearce 2009). Dengan ukuran panjang sekitar 4 - 4.5
cm (transversal), lebar 2.5 – 3 cm (AP), dan tebalnya kurang lebih 3 – 4 cm
(cephalo caudad) (Srivastava 2006). Karena berat jenis jaringan prostat 1.05
gram/ml maka volume dalam ml dapat disamakan dengan berat kelenjar prostat
(Bapat et al. 2006). Letaknya mengelilingi uretra pars prostatika dan di antara
leher kandung kemih serta diafragma urogenitalis. Apeks prostat terletak di atas
sfingter uretra eksterna kandung kemih. Di anterior berbatasan dengan simfisis
pubis namun dipisahkan oleh lemak ekstraperitonial pada rongga retropubis
(kavum Retzius). Pembesaran prostat akan membendung uretra dan menyebabkan
retensi urin (Pearce 2009). Di posterior, prostat dipisahkan dari rektum oleh fasia
Denonvilliers.
a) Menurut Lowsley
Menurut klasifikasi Lowsley prostat terdiri dari empat lobus, lobus depan
(anterior), lobus belakang (posterior), lobus tengah (media), dan lobus lateral.
Lobus anterior atau isthmus yang terletak di depan uretra dan menghubungkan
lobus kanan dan lobus kiri bagian ini tidak mengandung kelenjar dan hanya berisi
otot polos, lobus posterior yang terletak di belakang uretra dan dibawah duktus
ejakulatorius, lobus media yang terletak diantara uretra dan duktus ejakulatorius
banyak mengandung kelenjar dan merupakan bagian yang menyebabkan uvula
vesicae yang menonjol kedalam kandung kemih apabila lobus medial ini
membesar, lobus lateral yang terletak dikanan uretra (Furqan 2003)(McVary &
Welliver 2016).
b) Menurut Wibowo dan Paryana (2007)
Menurut Wibowo dan Paryana (2007). Kelenjar prostat terletak dibawah
organ kandung kemih. Kelenjar prostat mengelilingi uretra posterior dan di
5

6

sebelah proksimalnya berhubungan dengan buli-buli, sedangkan bagian distalnya
kelenjar prostat ini menempel pada diafragma urogenital yang sering disebut
dengan otot dasar panggul. Kelenjar prostat merupakan kelenjar yang terdiri dari
30-50 kelenjar yang terbagi atas empat lobus, lobus pertama adalah lobus
posterior, lobus kedua adalah lobus lateral kemudian lobus ketiga adalah lobus
anterior, dan lobus yang terakhir adalah lobus medial (Wibowo & Paryana 2007).
c) Menurut Mc Neal
Menurul Mc Neal Prostat terbagi atas empat zona dan satu segmen yang
terdiri dari zona parifer, zona sentral, zona transisional, zona spingter preprostat
dan segmen anterior (Furqan 2003). Prostat normal terdiri dari 50 lobulus
kelenjar. Duktus kelenjar-kelenjar prostat ini lebih kurang 20 buah, duktus
tersebut secara terpisah bermuara pada uretra prostatika dan dibagian lateral
verumontanum. BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena
mengandung banyak jaringan kelenjar (Kumar et al. 2005). Pada pemeriksaan
ultrasonografi transrektal bisa teraba sulkus medial posterior di antara kedua lobus
lateral. Lobus-lobus prostat mengandung banyak kelenjar yang mensekresi basa
yang ditambahkan pada cairan semen saat ejakulasi. Kelenjar prostat membuka ke
sinus prostatikus. Duktus ejakulatoris adalah saluran yang mengalirkan cairan dari
vesika seminalis yang memasuki bagian atas prostat dan kemudian ke uretra pars
prostatika di verumontanum (McVary & Welliver 2016).
Pada protat terdapat pasokan darah, limfe dan saraf yang berasal dari
arteri vesikalis inferior, arteri pudendalis interna, dan arteri hemoroidalis
medialis (Furqan 2003). Pleksus vena prostatika terletak di antara kapsula prostat
dan selubung fibrosa bagian luar. Pleksus ini menerima darah dari vena dorsalis
penis dan mengalirkan ke vena iliaka interna yang juga berhubungan dengan
pleksus vena presakal (Faiz & Moffat 2003). Oleh karena struktur inilah sering
dijumpai metastase karsinoma prostat secara hematogen ke tulang pelvis dan
vertebra lumbalis. Persarafan kelenjar prostat sama dengan persarafan kandung
kemih bagian inferior yaitu fleksus saraf simpatik dan parasimpatis. Aliran getah
bening dari prostat dialirkan ke dalam getah bening node iliaka interna
(hipogastrika), sacral, vesikal, dan iliaka eksterna (Furqan 2003).
Gambar 2.1

7

Bagian prostat
(Sumber: Mc Vary KT, 2016)
Keterangan Gambar :
1. Zona transisi
2. Zona central
3. Zona peripheral
4. Anterior fibromuscular stroma

2.

Fisiologi Prostat
Kelenjar prosat mengeluarkan cairan alkalis yang menetralkan cairan

vagina yang asam, suatu fungsi penting karena sperma lebih dapat bertahan hidup
dalam lingkungan yang sedikit basa. Prostat juga menghasilkan enzim-enzim
pembekuan dan fibrinolisin. Enzim-enzim pembekuan prostat membekukan
semen sehingga sperma yang diejakulasikan tetap tertahan di saluran reproduksi
wanita saat penis ditarik keluar. Bekuan seminal diuraikan oleh fibrinolisin
sehingga sperma motil yang dikeluarkan bebas bergerak ke dalam saluran
reproduksi (Lauralle 2001). Pertumbuhan ephitelium glandula prostat juga
dipengaruhi oleh hormon tertentu yaitu hormon dihidrostestosteron (DHT).
Hormon tersebut diperoleh dari konversi testosteron dan androgen adrenal yang
memasuki sel sekretorik epithelium glandular untuk kemudian diubah menjadi
dihidrotestosteron oleh enzim 5 alfa reduktase. DHT memiliki aktivitas 30 lebih
kuat dari testosteron dan ikatan DHT dengan resptor androgen yang
mempengaruhi transkripsi gen dan pertumbuhan BPH.

8

3.

Patologi Prostat

a.

Definisi
Pembesaran prostat jinak atau Benign Prostatic Hypertrophy (BPH) adalah

pertumbuhan nodul-nodul fibroadenomatosa majemuk dalam prostat, dimulai dari
bagian periuretral sebagai proliferasi yang terbatas dan tumbuh dengan menekan
kelenjar normal yang tersisa (Wilson & Hillegas 2005).
b. Patologi
Patologis BPH ditandai dengan pertumbuhan kelenjar hiperplastik dan
stroma yang bergabung menjadi nodul mikroskopis dan makroskopis di kelenjar
prostat. Ada lima jenis umum dari nodul BPH, yaitu fibromyoadenomatous
(umum), fibroadenomatous, fibrous/fibrovaskular, fibromuskular, dan muskular
(jarang). Umumnya BPH terdiri dari kelenjar (mengandung sebagian besar sel
kelenjar prostat), campuran (mengandung stroma dan sel epitel kelenjar), dan
stroma (yang hanya berisi sel stroma). Nodul awal yang berkembang pada BPH
ditemukan di daerah periuretra dan biasanya stroma, terdiri dari jaringan fibrosa
dan beberapa otot polos. Pada beberapa kasus, nodul BPH dapat ditemukan di
zona perifer, yang dapat teraba dengan pemeriksaan colok dubur, dan biasanya
terdiri dari unsur-unsur kelenjar epitel. Kurangnya unsur kelenjar di nodul stroma
BPH, dan pengamatan perbedaan zona di awal nodul BPH menyebabkan etiologi
yang berbeda dari nodul stroma dibandingkan dengan BPH komponen kelenjar.
Ketika zona transisi membesar secara makroskopik, karena pertumbuhan BPH
nodular, keadaan ini dapat menghambat aliran urin melalui uretra prostat dan
karenanya menjadi gejala sistem bagian bawah urin (Lower Urinary Tract
Symptoms) (Roehrborn 2008).
c. Patofisiologi
Biasanya ditemukan gejala, tanda obstruksi, dan iritasi. Gejala dan tanda
obstruksi jalan kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi,
miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah, dan rasa
belum puas sehabis miksi. Gejala iritasi disebabkan karena hipersensitivitas otot
detrusor berarti bertambahnya frekuensi miksi, keinginan buang air kecil
berulang-ulang (nokturia), miksi sulit ditahan, dan rasa sakit saat buang air kecil.
Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal berkontruksi dengan cukup kuat
atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus. Gejala

9

iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga
vesika sering berkontraksi meskipun belum penuh. Gejala dan tanda ini diberi
skor untuk menentukan berat keluhan klinik.
Apabila kandung kemih ada kelainan, akan terjadi retensi urin sehingga
pada akhir miksi masih ditemukan sisa urin didalam kandung kemih, dan timbul
rasa tidak tuntas pada akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut pada suatu saat akan
terjadi kemacetan total, sehingga penderita tidak mampu lagi miksi. Karena
produksi urin terus terjadi maka pada suatu saat vesika tidak mampu lagi
menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila tekanan
vesika menjadi lebih tinggi dari pada tekanan spingter dan obstruksi, akan terjadi
ketidak mampuan menahan kencing (inkontinensia paradoks). Retensi kronik
menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter, hidronefrosis, dan gagal ginjal.
Pada waktu miksi penderita harus selalu mengedan sehingga lama
kelamaan menyebabkan hernia atau hemoroid. Karena selalu terdapat sisa urin
dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini dapat menambah
keluhan iritasi atau menimbulkan hematuria. Batu tersebut dapat saja
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks dapat terjadi pielonefritis (Furqan
2003).
d. Grade protrusi intravesika prostat (IPP)
Menurut Hiroyuki Nose, (2005) dalam jurnalnya accuracy of two
noninvasive

methods

of

diagnosing

bladder

outlet

obstruction

using

ultrasonography mengatakan bahwa terdapat tiga grade protrusi intravesika
prostat yaitu unobstructod, equivocal dan obstructed. kandung kemih dengan IPP
5 mm atau lebih diklasifikasikan grade 1 (unobstructod), kandung kemih dengan
IPP 5 mm sampai dengan 10 mm diklasifikasikan grade 2 (equivocal), dan
kandung kemih dengan IPP lebih dari 10 mm dapat diklasifikasikan grade 3
(obstructed) (Nose et al. 2005).
e. Faktor Resiko
Tidak ada bukti yang meyakinkan mengenai korelasi antara faktor-faktor
lain selain usia dalam peningkatan kejadian BPH. Merokok juga diduga sebagai
faktor yang berhubungan dengan prostatektomi, namun ras, habitus, kebiasaan

10

seksual dan penyakit-penyakit lain serta obat-obatan belum ditemukan
mempunyai korelasi dengan peningkatan kejadian BPH.

4.

Ultrasonografi

a.

Pengertian
Ultrasonografi (USG) merupakan salah satu diagnostik imejing (pencitraan

diagnostik) untuk pemeriksaan alat-alat tubuh, di mana pemeriksa dapat
mempelajari bentuk, ukuran anatomis, gerakan, serta hubungan dengan jaringan
sekitarnya (Boer A 2005). Ultrasonografi menggunakan gelombang suara
berfrekuensi tinggi (1-10 MHz), yang dihasilkan oleh kristal piezo-elektrik pada
transduser (Patel 2007).
b.

Cara Kerja USG
Transduser bekerja sebagai pemancar dan sekaligus penerima gelombang

suara. Pulsa listrik yang dihasilkan oleh generator diubah menjadi energi akustik
oleh transduser kemudian dipancarkan dengan arah tertentu pada bagian tubuh.
Sebagian yang dipancarkan akan dipantulkan dan sebagian lagi akan merambat
terus menembus jaringan yang akan menimbulkan bermacam-macam ekho
(pantulan gelombang ultrasonik) sesuai dengan jaringan yang dilaluinya. Pantulan
ekho yang berasal dari jaringan-jaringan tersebut akan membentur transduser, dan
kemudian diubah menjadi pulsa listrik lalu diperkuat dan selanjutnya
diperlihatkan dalam bentuk cahaya pada layar osiloskop. Dengan demikian, bila
transduser digerakkan seolah-olah pemeriksan melakukan irisan-irisan pada
bagian tubuh yang diinginkan, dan gambaran irisan-irisan tersebut akan dapat
dilihat pada monitor. Masing-masing jaringan tubuh mempunyai hambatan
akustik tertentu. Dalam jaringan yang heterogen akan ditimbulkan bermacammacam ekho, jaringan tersebut dikatakan ekhogenik. Sedangkan pada jaringan
yang homogen hanya sedikit atau sama sekali tidak ada ekho, kejadian tersebut
disebut dengan anekhoik atau bebas ekho. Dengan demikian kista dan suatu massa
solid akan dapat dibedakan (Boer A 2005). Cairan memiliki kemampuan
menghantarkan suara dengan sangat baik sedangkan tulang dan udara merupakan

11

konduktor suara yang buruk sehingga tidak dapat divisualisasi dengan baik (Patel
2007).
c.

Kelebihan USG
USG memiliki kelebihan dibandingkan pemeriksaan radiologis yang lain,

yaitu bersifat non-invasif, dapat digunakan untuk melihat pergerakan organ, sifat
jaringan-jaringan yang dicitrakan dapat dibedakan, alat USG kecil dan dapat
dibawa ke mana-mana, pemeriksaan tidak memerlukan waktu yang lama, berbagai
bidang organ tubuh dapat diperiksa, tenaga listrik yang diperlukan hanya sedikit,
tidak memerlukan alat-alat tambahan, memungkinkan tindakan biopsi jaringan
yang tepat, serta peralatan relatif lebih murah jika dibandingkan dengan alat
rontgen diagnostik khusus, kedokteran nuklir, tomografi komputer, dan alat
magnetic resonansi (Ilyas & Budyatmoko 2005).
d.

Pemeriksaan pencitraan
Ultrasonografi transabdominal

(TAUS)

dapat

mendeteksi

adanya

hidronefrosis ataupun kerusakan ginjal akibat adanya obstruksi, dan menilai
saluran kemih bagian atas (Angka et al. 2010). Pada pengukuran prostat
dibutuhkan volume buli kurang dari 400 mL. Kandung kemih yang penuh dapat
bertindak sebagai perantara untuk melihat gambaran organ yang diperiksa yang
disebut dengan jendela akustik, sehingga penetrasi gelombang dapat mencapai
kelenjar prostat. Kelenjar prostat terletak di dasar buli dan anterior rektum.
Transduser yang digunakan adalah kurve linier dengan frekuensi 3.5 sampai
dengan 5 MHz. Letakan transduser pada regio suprapubis dengan posisi
transversal dan longitudinal. Berdasarkan dari studi Hough dan List,
ultrasonografi transabdominal memiliki akurasi cukup baik untuk mendeteksi dan
menilai pembesaran prostat. Pada ultrasonografi transabdominal, ukuran normal
kelenjar prostat tidak melebihi 3x3x5 cm atau volume tidak melebihi 30 cm 3.
Pengukuran Volume prostat dapat menggunakan formula, geometrik dan ellipsoid
(Insidens 2016). Volume TAUS: (0,52 x transversal x longitudinal x
anteroposterior).
5.

Teknik Skening USG Prostat

a.

Prosedur Pemeriksaan

12

1) Menurut WHO (2011)
Standar transduser yang digunakan untuk skening abdomen menggunakan
kurve linier 3 MHz sampai 5 MHz. Kandung kemih dan prostat dapat dinilai pada
saat kandung kemih penuh. Pasien harus minum 1 liter air per jam sebelum
pemeriksaan agar kandung kemih tidak kosong. Ada beberapa pasien yang tidak
memungkinkan. Contohnya pasien yang tidak dapat mengkontrol buang air kecil,
dan gagal ginjal sehingga pengisian kandung kemih sangat lambat.
Untuk pasien yang menggunakan kateter, kateter harus di klaim satu jam
sebelum pemeriksaan, dan pasien harus minum air 1 liter. Jika kandung kemih
pada pasien kateter tidak penuh maka dapat diisi dengan memasukan air melalui
kateter. Hati-hati untuk tidak memasukan udara karena akan menyebabkan
bayangan artefak (Laauckner 2011).
b. Teknik Skening Pemeriksaan Ultrasonografi Prostat
Adapun teknik pemeriksaan USG prostat menurut para ahli:
1) Menurut dr.H.Sidharta,MD (2006)
Menurut dr. H. Sidharta dalam bukunya atlas ultrasonografi mengatakan
bahwa USG prostat dapat dilakukan dengan cara transvesikal/transabdominal,
diperlukan vesika urinaria yang berisi penuh dan dilakukan dengan posisi
transduser

transversal

dan

longitudinal.

Dapat

juga

dilakukan

dengan

transrektal/endorektal dilakukan dengan vesika urinaria kosong (Sidharta 2006).
2) Menurut Berthold Block, MD (2004)
Menurut Berthold Block, MD dalam bukunya Color Atlas of Ultrasound
mengatakan bahwa pemeriksaan prostat transabdominal dilakukan dengan posisi
transduser transversal dan longitudinal atau sedikit oblik sejauh mana prostat
dapat diamati. Pada potongan longitudinal, Letakan transduser pada pertengahan
simphisis pubis. Sudutkan kebawah perlahan-lahan, identifikasi lumen pada
kandung kemih dan belakang prostat dengan gambaran hipoekhoik. Pada
potongan transversal letakan transduser pada simphisis pubis dan sweeping
kebawah perlahan-lahan kemudian identifikasi kandung kemih dan prostat.
Prostat menunjukan potongan melintang, menampilkan bentuk bulat atau segitiga
dengan ukuran 3-4 cm transversal dan 2-3 cm anteroposterior. Sweeping ke atas
perlahan-lahan untuk melihat potongan vesika seminalis (Berthold Block 2004).

13

Gambar 2.2
Teknik skening longitudinal
(Sumber: Berthold Block, 2004)

Gambar 2.3
Skening longitudinal kandung kemih dan prostat
(Sumber: Berthold Block, 2004)
Keterangan gambar:
P. Prostat
Sy. Simphisis Pubis
1. Kandung kemih
2. Garis yang melalui prostat dan kandung kemih (B)
3. Garis yang melalui kandung kemih dan vesika seminalis
4. Garis yang melalui batas atas pada kandung kemih

14

Gambar 2.4
Teknik skening transversal
(Sumber: Berthold Block, 2004)

a

b

c

Gambar 2.5
Skening transversal kandung kemih dan prostat
(Sumber: Berthold Block, 2004)
keterangan:
a. Skening transversal menunjukan kandung kemih yang bebas ekho (B) dan
prostat (P) yang hipoekhoik.
b. Transduser disudutkan ke cephalad untuk melihat potongan vesika
seminalis.
c. Skening dengan batas atas kandung kemih.
3) Menurut S.J Chia (2003)
Menurut S.J Chia dalam jurnalnya yang berjudul Correlation of
intravesical prostatic protrusion with bladder outlet obstruction, pemeriksaan
USG prostat dapat di lakukan dengan skening longitudinal dan horizontal,
kemudian evaluasi prostat dan leher kandung kemih dengan penonjolan prostat ke
dalam kandung kemih. Ukur jarak vertikal dari ujung tonjolan protrusi sampai
dasar dari kandung kemih (Chia et al. 2003).

15

Gambar 2.6
Gambaran sagital pada kandung kemih dan prostat
(sumber: S.J Chia, 2003)
6.

Sonoanatomi Prostat

a.

Menurut dr. H. Sidharta (2006)
Kelenjar prostat merupakan bangunan berbetuk piramid atau chestnut,

ekhostruktur hiperekhoik, homogen, permukaan rata, berlokasi dibelakang bawah
kandung kemih, dengan panjang tidak lebih dari 40 mm dan lebar tidak lebih dari
50 mm dan tebal tidak lebih dari 30 mm. Vesika seminalis merupakan bangunan
bilateral, berbentuk tubuler berlokasi di atas kiri dan kanan kelenjar prostat,
isokekhoik, dan aksis panjang pada umumnya berkisar 20-50 mm (Sidharta 2006).
Gambar 2.7

Skening transversal, gambaran sonoanatomi prostat
(Sumber: dr. H. Sidharta, 2006)
Keterangan gambar:
B. Kandung kemih
Z. kelenjar prostat

16

Gambar 2. 8
Skening longitudinal, gambaran sonoanatomi prostat
(Sumber: dr.H.Sidharta, 2006)
Keterangan gambar:
B. Vesica Urinaria
VS. Vesica Seminalis
Z. Kelenjar Prostat
b.

Menurut Berthold Block (2004)
Berikut ini adalah gambaran sonoanatomi dari prostat. Pada gambaran

sonoanatomi prostat ini menampilkan letak dan posisi transduser serta bentuk dari
sonografi prostat dilihat dari potongan longitudinal dan transversal (Berthold
Block 2004).

Gambar 2.9
Skening transversal, gambaran sonoanatomi prostat
(Sumber: Berthold Block, 2004)
Keterangan Gambar:
80. Kandung kemih
82. Uretra

17

83. Prostat

Gambar 2.10
Skening longitudinal, gambaran sonoanatomi prostat
(Sumber: Berthold Block, 2004)
Keterangan Gambar:
80. kandung kemih
81. Pembukaan dari ureter
83. Prostat
c.

84. Vesika Seminalis
89. Rektum
94. Artefak

Menurut Paul Butler (2006)
Menurut Paul Butler dalam bukunya Applied Radiological Anatomy (2006)

menjelaskan bahwa kelenjar prostat dapat dilakukan dengan pemeriksaan
ultrasonografi transabdominal dan ultrasonografi transrektal. Pada ultrasonografi
transabdominal kelenjar prostat sudah dapat digambarkan tetapi lebih jelas
digambarkan dengan ultrasonografi transrektal karena lebih dekat ke arah superior
dari prostat. terdapat beberapa zona yang dapat digambarkan pada ultrasonografi
transabdominal. Zona sentral dan periferal biasanya bersifat homogen dengan
gambaran hipoekhoik (low level echogenic), meskipun terdapat sedikit perbedaan
antara zona sentral dan periferal. Pada pertengahan uretra dengan ekhogenik yang
rendah menghubungkan antara internal spichter, jaringan kelenjar periurethral,
dan zona transisi. Pada usia lanjut biasanya pembesaran kelenjar terlihat pada
duktus ejakulatorius hingga uretra prostatik pada potongan sagital dari kelenjar.
Pada potongan longitudinal gambaran vesika seminalis terlihat hipoekhoik
dibandingkan dengan prostat (Butler et al. 2006).

18

Gambar 2.11
Sonoanatomi Prostat
(Sumber: Paul Butler, 2006)

7. Pengaturan Gambar USG
a. Brightness Mode (B-Mode)
Mode dimana gelombang ekho dan amplitudo sebagai warna. Warna
menyesuaikan dari amplitudo sebagai warna hitam, putih, dan abu-abu. Mode ini
dipergunakan di sonografi. Dalam ultrasound B-mode, satu array linier dari
transduser secara simultan skening satu benda melalui tubuh yang dapat
dipandang sebagai suatu gambar dua dimensi pada layar (Imardi & Ramli 2007).
b. Kaliper
Kaliper adalah jarak antara kedua titik sumbu berdasarkan sumbu
terpanjang. Biasanya digunakan untuk pengukuran suatu jenis organ atau objek
(Ayu 2013).
c. Time Gain Compensator (TGC) dan Gain
TGC adalah kontrol untuk mengatur gain dengan kedalaman yang
berbeda, ekho dikembalikan dari struktur etanuasi yang lebih dalam, tanpa TGC
bagian yang jauh (bawah layar, jaringan yang dalam) akan selalu tampak lebih
gelap daripada bagian yang dekat. Sedangkan gain adalah parameter tambahan
untuk mengatur intensitas sinyal yang dikembalikan dari gelombang suara
kemudian diperkuat. Sedangkan perbedaan TGC dengan gain adalah TGC dapat

19

disesuaikan tingkat penguat sinyalnya berdasarkan wilayah lapangan yang
dipindai (Noble & Nelson 2011).

Gambar 2.12
Time Gain Compensator (TGC) dan Gain
(Sumber: Vicki E. Noble, 2011)
d.

Focus Zone
Organ atau bagian tubuh yang akan diperiksa memiliki kedalaman yang

berbeda-beda. Fokus transduser idealnya harus diatur. Penyesuaian fokus yaitu
dengan mempersempit bagian gelombang suara dari transduser kebagian organ
yang akan dituju, sehingga menghasilkan detail anatomi yang diinginkan. Fokus
dapat diatur dengan tombol bulat atau tombol naik turun pada kontrol panel
(Noble & Nelson 2011).

Gambar 2.13
Fokus zone

20

e.

(Sumber: Vicki E. Noble, 2011)
Depth/size
Depth adalah parameter tambahan yang memungkinkan operator untuk

memilih sebagian dari lapangan skening yang akan ditampilkan pada layar
monitor. Dengan menyesuaikan kedalaman lapangan yang diperiksa (Noble &
Nelson 2011).

Gambar 2.14
Penambahan depth dari kiri ke kanan
(Sumber: Vicki E. Noble, 2011)
f.

Frekuensi
Frekuensi menentukan resolusi aksial. Resolusi aksial adalah kemampuan

untuk mengidentifikasi secara terpisah, dua objek yang pergi kearah gelombang
suara. Semakin tinggi frekuensi maka semakin baik resolusi aksialnya (Noble &
Nelson 2011).
8.

Artefak gambaran USG

a.

Enhancement
Enhancement (posterior acoustic enhancement) adalah peningkatan

ekhogenitas (terangnya gelombang ekho) untuk struktur yang bersifat anekhoik,
umumnya struktur kistik atau pembuluh darah. Hal ini terjadi karena gelombang
suara melintasi area dengan atenuasi sinyal yang rendah sehingga dibawah cairan
akan terlihat lebih terang. Ekhogenitas posterior bertambah untuk struktur
atenuasi yang rendah karena gelombang suara dikembalikan ke transduser dengan
intensitas yang tinggi pada area yang berdekatan. Di bawah ini merupakan
gambaran posterior acoustic enhancement yang menunjukan atenuasi yang
signifikan pada bagian kiri sedangkan pada kandung kemih tidak ada atenuasi

21

yang dapat digambarkan pada sisi bagian kanan. Pada kandung kemih bagian
bawah terlihat gambaran yang lebih terang (Noble & Nelson 2011).

Gambar 2.15
Posterior acoustic enhancement pada kandung kemih
(Sumber: Vicki E. Noble, 2011)
b. Refraksi
Refraksi terjadi oleh karena adanya reflektor yang kuat dan bertindak
sebagai batas pembiasan dari gelombang suara yang datang sehingga suatu benda
tidak pada tempat yang sebenarnya. Contoh gambaran refraksi adalah double
image (Noble & Nelson 2011).

Gambar 2.16
Refraksi artefak
(Sumber: Vicki E. Noble, 2011)

22

c.

Reverberasi
Reverberasi adalah gambaran gema yang tersusun berlapis-lapis sejajar.

Hal ini disebabkan oleh gema suara utra yang terpantul berulang-ulang antara
transduser dan suatu reflektor yang kuat (Noble & Nelson 2011).

Gambar 2.17
Reverberasi artefak
(Sumber: Vicki E. Noble, 2011)

a.

9. Sonopatologi Prostat
Menurut Griffith (2010)
Menurut Griffith pada nodul hiperplastik tampak pembesaran kelenjar

dengan nodul yang hiperekhoik, sedangkan pada degenerasi kistik tampak
gambaran dengan hipoekhoik (Griffith et al. 2010).

Gambar 2.18
Skening koronal ultrasonografi transrektal (TRUS) dengan kistik tinggi
(Sumber: Griffith, 2010)

23

Gambar 2.19
Skening koronal ultrasonografi transrektal dengan kistik rendah
(Sumber: Griffith, 2010)
b.

Menurut Carrol M. Rumack, MD, FACR (2011)
Menurut Carrol M. Rumack tampilan sonografi BPH bervariasi dan

tergantung pada perubahan histopatologisnya. Fitur sonografi yang khas dari BPH
adalah pembesaran kelenjar zona transisi yang menekan zona periferal. Pada BPH
zona transisi yang membesar dapat menunjukan pembesaran dengan nodul yang
hipoekhoik, isoekhoik, atau hiperekhoik. Nodul BPH biasanya hipoekhoik dengan
penonjolan ke dalam kandung kemih (Rumack et al. 2011).

Gambar 2. 20
Skening aksial ultrasonografi transrektal
(Sumber: Carrol M. Rumack, MD, FACR, 2011)
Keterangan gambar:
TZ. Zona transisi

*. Batasan kapsul

24

PZ. Zona periferal
B. Kerangka Konsep

Evaluasi Pemeriksaan USG Protrusi
Intravesika Prostat Pada Klinis BPH

Evaluasi Hasil Gambaran
Evaluasi Teknik Skening
Evaluasi Prosedur
USG Protrusi Intravesika
USG Protrusi Intravesika
Pemeriksaan USG Protrusi
Prostat
Prostat
Intravesika Prostat
Untuk mempermudah dalam melakukan proses penelitian, maka peneliti membuat
suatu kerangka konsep sebagai berikut:
1. Evaluasi pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat yaitu mengevaluasi
prosedur, teknik dan hasil gambaran dengan adanya penonjolan prostat ke
2.

dalam kandung kemih yang disebabkan oleh adanya pembesaran prostat.
Evaluasi prosedur pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat yaitu
menentukan sejumlah sampel pasien USG Ginjal dan Buli-buli dengan klinis

3.

BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng.
Evaluasi teknik skening USG protrusi intravesika prostat yaitu melakukan
skening USG Ginjal dan Buli-buli terhadap sejumlah pasien dengan klinis

4.

BPH.
Evaluasi hasil gambaran USG protrusi intravesika prostat dengan klinis BPH
yaitu hasil skening yang telah dilakukan dilengkapi dengan hasil ekspertise
dari dokter spesialis radiologi dan hasil gambaran USG protrusi intravesika
prostat pada klinis BPH sehingga diperoleh suatu kesimpulan

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah survey penatalaksanaan terhadap tindakan
pemeriksaan “evaluasi pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat dengan
klinis BPH di Rumah Sakit Umum Daerah Cengkareng Jakarta” yang merupakan
salah satu jenis pemeriksaan imejing. Adapun metode penelitian yang digunakan
adalah metode penelitian kualitatif.

B. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Bagian Radiologi Rumah Sakit Umum Daerah
Cengkareng Jakarta. Penelitian ini dilakukan pada selama bulan desember 2016
sampai dengan bulan januari 2017.

C. Populasi dan Sampel
1.

Populasi
Populasi pada penelitian ini seluruh pasien yang berkunjung di bagian

Radiologi RSUD Cengkareng untuk pemeriksaan Ultrasonografi Ginjal dan Bulibuli pada bulan Desember 2016 sampai dengan 7 januari 2017 hingga sebanyak
87 pasien.
2. Sampel
Sampel pada penelitian ini diambil dari pasien yang dilakukan
pemeriksaan USG Ginjal dan buli-buli dengan klinis BPH pada bulan Desember
2016 hingga 7 Januari 2017 sebanyak 5 sampel. Sampel diambil dengan teknik
purposive random sampling yaitu sampel yang ditemui dan dapat diambil datanya
secara lengkap yang ditetapkan oleh peneliti sesuai kriteria sampel.

25

D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penatalaksanaan pemeriksaan “evaluasi
pemeriksaan USG protrusi intravesika prostat dengan klinis BPH di Rumah Sakit
Umum Daerah Cengkareng Jakarta” menggunakan metode kualitatif dilakukan
sebagai berikut:
1. Studi kepustakaan
Mengumpulkan semua data yang berhubungan dengan pemeriksaan USG
ginjal dan buli-buli pada klinis BPH. Data- data tersebut berupa literatur, artikel,
brosur, internet, dan media cetak lainnya yang berkaitan dengan penelitian baik
berupa SOP, teknik pemeriksaan, dan hasil gambaran USG serta hal-hal yang
berkaitan dengan protrusi prostat yang bertujuan untuk memperkuat kajian teori
yang mendukung proposal ini.
2. Observasi Parsipatoris
Observasi Parsipatoris yaitu dengan melakukan penelitian langsung
terhadap obyek penelitian (pasien) yang melibatkan semua indera secara langsung
dan mencatat hasil pengamatan pada lembar kerja serta keterlibatan penulis secara
langsung dalam melakukan prosedur pemeriksaan USG protrusi intravesika
prostat pada pasien dengan klinis BPH untuk memperoleh data yang berhubungan
dengan penelitian dan mengetahui lebih lanjut mengenai permasalahan yang akan
diteliti.
3. Wawancara
Pengumpulan data dimana peneliti mendapatkan keterangan atau informasi
langsung dari pihak-pihak yang berkompeten di bidang USG serta dokter spesialis
urologi yang diberikan sejumlah pertanyaan terbuka berdasarkan pedoman
wawancara.
E. Instrumen Penelitian
Dalam penulisan instrumen penelitian yang digunakan antara lain:
1. Alat Tulis
Alat tulis digunakan untuk menulis data yang diperoleh.
2. Lembar kerja
Lembar kerja untuk mencatat hasil penelitian terdiri dari data pasien dan hasil
laboratorium salah satunya adalah PSA.

3. Dokumentasi
Gambaran USG protrusi intravesika prostat dengan klinis BPH yang diperoleh
pada bagian RSUD Cengkareng Jakarta.
F.

Pengolahan dan Analisis Data
Untuk pengolahan dan analisa data, penulis melakukan dengan cara

skening prostat dengan menggunakan USG untuk mendapatkan sonografi protrusi
intravesika prostat dengan klinis BPH pada prostat. Kemudian setelah sonografi
diperoleh, hasilnya dicatat pada lembar kerja sesuai dengan hasil yang didapatkan.
Data dan hasil pemeriksaan yang telah didapat berupa catatan hasil dari observasi,
evaluasi dan diperkuat dengan hasil ekspertise dari dokter spesialis radiologi, yang
kemudian akan dilakukan evaluasi terhadap prosedur, teknik skening dan hasil
gambaran dengan melakukan wawancara kepada sonografer, dokter radiologi dan
dokter urologi. Semua data kemudian dianalisa secara narasi dan deskriptif
sehingga memperoleh kesimpulan.

DAFTAR PUSTAKA
Abu-yousef, M.M. & Narayana, A.S., 1982. Transabdominal Ultrasound in the
Evaluation of Prostate Size. , 3(August), pp.275–278.
Amalia, R., 2007. Artikel Publikasi Faktor-Faktor Risiko terjadinya Pembesaran
Prostat Jinak (Studi Kasus di RS Dr. Kariadi, RSI Sultan Agung, RS
Roemani Semarang). , pp.1–8. Available at: http://eprints.undip.ac.id/.
Angka, P., Benign, K. & Hyperplasia, P., 2010. Perbedaan Angka Kejadian BPH
pada usia antara 50-59 tahun dengan usia di atas 60 tahun.
Ayu, P. desiana wulaning, 2013. Deteksi kepala janin pada citra usg dengan ruang
warna rgb, ciel*a*b, fuzzy c-means dan iterative randomized hough
transform. , p.16.
Bapat, S.S. et al., 2006. Does estimation of prostate volume by abdominal
ultrasonography vary with bladder volume : A prospective study with
transrectal ultrasonography as a reference. , pp.3–8.
Berthold Block, M.D., 2004. The Practice of Ultrasound, Germany: Thieme.
Boer A, 2005. Radiologi Diagnostik. Edisi 2. Jakarta: Gaya Baru, p: 453-7,
Jakarta: Gaya Baru.
Butler, P., W.M.Mitchell, A. & Elllis, H., 2006. Applied Radiological Anatomy,
USA: Cambridge University Press.
Chia, S.J. et al., 2003. Correlation of intravesical prostatic protrusion with bladder
outlet obstruction. BJU International, 91(4), pp.371–374.
Doyle, D., 1995. Oxford (1994) 180. , (March), p.1995.
Faiz, O. & Moffat, D., 2003. At a Glance Anatomy, Erlangga.
Furqan, 2003. Evaluasi Biakan Urin Pada Penderita BPH Setelah Pemasangan
Kateter Menetap: Pertama Kali Dan Berulang. , pp.1–41.
Griffith et al., 2010. Expertddx Ultrasound first., canada: Amirsys.
Gupta, L., 2007. Diagnostic Ultrasound second., New Delhi: Jaypee Brothers
Medical.
Ilyas, G. & Budyatmoko, B., 2005. Perkembangan Mutakhir Pencitraan
Diagnostik (Diagnostic Imaging) kedua., Jakarta: FKUI-RSCM.
Imardi, S. & Ramli, K., 2007. Pengembangan Dan Pengkayaan Fungsi Antarmuka
Perangkat Lunak Untuk Visualisasi Dan Analisis Citra Ultrasonografi.
Insidens, A., 2016. Pemilihan Modalitas Pemeriksaan Radiologi untuk Diagnosis
Benign Prostatic Hyperplasia. , 43(6), pp.469–472.

Kidingallo, Y. et al., 2011. Kesesuaian ultrasonografi transabdominal dan
transrektal pada penentuan karakteristik pembesaran prostat. Universitas
Stuttgart, 1(2), pp.158–164.
Kumar, V., Abas, A.K. & Aster, J.C., 2005. Robbin’s and Cotran Pathologic Basis
and Disease ninth., Elsevier Saunder’s.
Laauckner, M., 2011. Manual of diagnostic ultrasound second., WHO.
Lajiness, M., 2016. The Nurse Practitioner in Urology S. Quallich, ed., USA:
Springer.
Lauralle, S., 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Ssitem, Jakarta: EGC.
McVary, K.T. & Welliver, C., 2016. Treatment of Lower Urinary Tract Symptoms
and Benign Prostatic Hyperplasia, USA: ELSEVIER.
Noble, vicki E. & Nelson, B., 2011. manual of emergency and critical care
ultrasound, USA: Cambridge University Press.
Nose, H. et al., 2005. Accuracy of two noninvasive methods of diagnosing bladder
outlet obstruction using ultrasonography: Intravesical prostatic protrusion
and velocity-flow video urodynamics. Urology, 65(3), pp.493–497.
Patel, P.R., 2007. Lecture Notes: Radiologi. Edisi kedua., Surabaya.
Pearce, E.C., 2009. Anatomi dan Fisiologis untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia.
Rahardjo, D., 1999. Prostat: Kelainan-kelainan
penanganan., Jakarta: Asian Medical.

jinak,

diagnosis,

dan

Roehrborn, C.G., 2008. Pathology of benign prostatic hyperplasia.
Rumack, C.M. et al., 2011. DIAGNOSTIC ULTRASOUND 4 th., USA:
ELSEVIER.
Sidharta, dr. H., 2006. Atlas Ultrasonografi, Jakarta: Gaya Baru.
Srivastava, P., 2006. An Atlas of Small Parts and Muskculoskeletal Ultrasound
with Color Flow Imaging third., New DelhiI: Jaypee Brothers Medical.
Tan, Y.H. & Foo, K.T., 2003. Intravesical prostatic protrusion predicts the
outcome of a trial without catheter following acute urine retention. The
Journal of urology, 170(6 Pt 1), pp.2339–41. Available at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14634410.
Wibowo, D.. & Paryana, W., 2007. Anatomi tubuh manusia. In Yogyakarta: Graha
Ilmu.
Wilson, L.. & Hillegas, K.., 2005. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-Laki,
Jakarta.
Yuen, J.S.P. et al., 2002. Effects of bladder volume on transabdominal ultrasound
measurements of intravesical prostatic protrusion and volume. International

Journal of Urology, 9(4), pp.225–229.