Pembuatan Dan Karakterisasi Edible Film Dari Variasi Pati Sukun (Artocarpus Altilis) Dan Kitosan Menggunakan Plastisizer Gliserol

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Edible Film

Edible film merupakan istilah ilmiah bagi kemasan yang bisa dimakan. Saat ini

gencar dikembangkan bersamaan dengan kemasan yang gampang terurai atau yang
diberi nama biodegradable film. Edible film sudah sudah pasti tergolong
biodegradable film, namun tidak sebaliknya. Batasan makna kemasan bisa dimakan

bergantung pada proses peracikan, proses pengemasan dan segala modifikasi
perlakuan yang terkait. Jika bahan baku dan bahan racikannya adalah bahan yang bisa
dimakan dan hanya perubahan struktur bahan baku yang terjadi selama proses
pemasakan, perubahan pH atau modifikasi enzimatis, maka kemasan tersebut
digolongkan kemasan bisa dimakan (Bardant dan Dewi, 2007).

Baldwin (1994) dan Wong et al. (1994) mengatakan bahwa secara teoritis
bahan edible film harus memiliki sifat-sifat seperti:
1. Menahan kehilangan air bahan pangan.

2. Memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu.
3. Mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan kualitas
bahan pangan.
4. Menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet, dan penambah aroma
yang dapat memperbaiki mutu bahan pangan.

Film sebagai pengemasan (edible packaging) pada dasarnya dibagi atas tiga

bentuk pengemasan yaitu:
1. Edible film merupakan bahan pengemas yang telah dibentuk terlebih dahulu
berupa lapisan tipis (film) sebelum digunakan untuk mengemas produk pangan.

Universitas Sumatera Utara

7

2. Edible coating berupa pengemas yang dibentuk langsung pada produk dan bahan
pangan.
3. Enkapsulasi yaitu suatu aplikasi yang ditujukan untuk membawa komponenkomponen bahan tambahan makanan tertentu untuk meningkatkan penanganan
terhadap suatu produk pangan sesuai dengan yang diinginkan.


2.1.1. Pembentukan edible film

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pembentukan edible film antara lain:
a. Suhu
Perlakuan panas diperlukan untuk membentuk pati tergelatinasi sehingga
terbentuk pasta pati yang merupakan bentuk awal edible film. Suhu pemanasan pati
akan menentukan sifat mekanik edible film yang terbentuk. Suhu pemanasan akan
menentukan tingkat gelatinisasi yang terjadi yang pada akhirnya menentukan sifat
fisik dari pasta yang terbentuk.
b. Konsentrasi pati
Konsentrasi pati memberikan kontribusi terhadap kadar amilosa dalam larutan
pati sehingga berpengaruh terhadap sifat pasta yang dihasilkan.
c. Plastisizer dan bahan aditif lain
Konsentrasi plastisizer dan bahan aditif lain yang ditambahkan ke dalam
formula film akan berpengaruh terhadap sifat film yang terbentuk

bahan-bahan

tersebut akan berinteraksi dengan pati.


2.1.2 Sifat fisiko-kimia-biologi edible film

a. Ketebalan film

Menurut McHugh dan Krochta (1994) ketebalan juga sangat mempengaruhi sifat
fisik dan mekanik edible film, seperti tensile strength, elongation, dan water vapor
transmission rate (WVTR). Faktor yang dapat mempengaruhi ketebalan edible film

Universitas Sumatera Utara

8

adalah konsentrasi padatan terlarut pada larutan pembentuk film dan ukuran pelat
pencetak. Semakin tinggi konsentrasi padatan terlarut, maka ketebalan film akan
meningkat. Sebagai kemasan, semakin tebal edible film maka kemampuan
penahanannya semakin besar, sehingga umur simpan produk akan semakin panjang.

b. Tensile strength (MPa) / kekuatan renggang putus (%)


Tensile Strength adalah ukuran untuk kekuatan film secara spesifik, merupakan

tarikan maksimum yang dapat dicapai sampai film tetap bertahan sebelum
putus/sobek

(Krochta and Mulder-johnston, 1997).

Pengukuran ini untuk

mengetahui besarnya gaya yang diperlukan untuk mencapai tarikan maksimum pada
setiap luas area film. Sifat tensile strength tergantung pada konsentrasi dan jenis
bahan penyusun edible film terutama sifat kohesi struktural.

c. Elongasi / Kemuluran

Xu et al. (2005) menyatakan bahwa film dengan bahan dasar pati bersifat rapuh
karena adanya amilosa, sehingga makin tinggi konsentrasi pati akan menurunkan
fleksibilitas film yang dihasilkan. Menurut Chick dan Hernandez (2002) bahwa
meningkatnya kadar air akan menurunkan tensile strength film yang tidak
menggunakan wax, tetapi dengan adanya wax akan meningkatkan tensile strength

dan menurunkan elongation. Sedangkan menurut Cheng et. al. (2006) bahwa
peningkatan konsentrasi gliserol dan sorbitol tidak memberi pengaruh secara
signifikan terhadap tensile strength konjac glucomannan film, tetapi meningkatkan
flexibilitas dan ekstensibilitas film.

d. Laju Transmisi Uap Air (WVTR)

Laju transmisi uap air (WVTR) adalah jumlah uap air yang melalui suatu permukaan
persatuan luas atau slope jumlah uap air dibagi luas area. Edible film dengan bahan

Universitas Sumatera Utara

9

dasar polisakarida umumnya sifat barrier terhadap uap airnya rendah. Film hidrofilik
seringkali memperlihatkan hubungan-hubungan positif antara ketebalan dan
permeabilitas uap air. Studi-studi sebelumnya sudah menandai hubungan-hubungan
yang serupa antara ketebalan film dan sifat permeabilitas didalam sistem film yang
hidrofilik (Liu dan Han, 2005). Nilai laju transmisi uap air suatu bahan dipengaruhi
oleh struktur bahan pembentuk dan konsentrasi plasticizer . Penambahan plasticizer

seperti gliserol akan meningkatkan permeabilitas film terhadap uap air karena gliserol
bersifat hidrofilik (Gontard et al, 1993).

d. Daya larut (%)

Daya larut merupakan salah satu sifat fisik edible film yang menunjukkan persentase
berat kering terlarut setelah dicelupkan dalam air selama 24 jam (Gontard et al,
1993). Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber bahan dasar pembuatan film.
Edible film berbahan dasar pati tingkat kelarutannya dipengaruhi oleh ikatan gugus

hidroksi pati. Makin lemah ikatan gugus hidroksil pati, makin tinggi kelarutan film.
Edible film dengan daya larut yang tinggi menunjukkan film tersebut mudah

dikonsumsi.

e. Anti bakteri

Edible film dapat berfungsi sebagai agen pembawa antimikroba dan antioksidan.

Dalam aplikasi yang sama edible film juga dapat digunakan di permukaan makanan

untuk mengontrol laju difusi zat pengawet dari permukaan ke bagian dalam makanan
(Hui,2006).

Universitas Sumatera Utara

10

2.2. Sukun (Artocarpus altilis)

Taksonomi tanaman Sukun (Artocarpus altilis), gambar 2.1., diklasifikasikan sebagai
berikut :
Divisi

: Spermatophyta

Sub divisi

: Magnoliophyta

Kelas


: Magnoliopsida

Bangsa

: Urticales

Suku

: Moraceae

Marga

: Artocarpus

Jenis

: Artocarpus altilis

Gambar 2.1 Buah Sukun (Artocarpus altilis)


Menurut hasil penelitian tentang komposisi zat gizi dari buah sukun
(Artocarpus altilis), yang tertera pada food composition table for Use in East Asia
(FAO 1972) diterangkan pada tabel 2.1

Universitas Sumatera Utara

11

Tabel 2.1. Komposisi gizi buah sukun (Artocarpus altilis)
Zat gizi per 100 gram

Buah sukun muda

Buah sukun tua

46

108


Air (g)

87,1

69,3

Protein

2,0

1,3

Lemak (g)

0,7

0,3

Karbohidrat (g)


9,2

28,2

Serat (g)

2,2

-

Abu (g)

1,0

0,9

Kalsium (mg)

59

21

Fosfor (mg)

46

59

-

0,4

Vitamin B1 (mg)

0,12

0,12

Vitamin B 2 (mg)

0,06

0,06

21

17

Energy (kalori)

Besi (mg)

Vitamin C (mg)

(Pijoto,1992)

2.3. Pati

Pati merupakan sumber pangan dan mengandung karbohidrat yang terdapat pada
tumbuh-tumbuhan. Pati memiliki rumus umum (C6H10O5)n, dimana n lebih dari 1000
(Egan,1981). Pati terdiri atas dua macam polisakarida yang kedua-duanya adalah
polimer dari glukosa, yaitu amilosa (kira-kira 20-28 %) dan amilopektin (kira-kira
80-72%). Amilosa terdiri atas 250-300 unit D-glukosa yang terikat dengan ikatan α
1,4-glikosidik. Amilopektin juga terdiri atas molekul D-glukosa yang mempunyai
ikatan 1,4-glikosidik,dan percabangannya pada ikatan 1,6-glikosidik. Molekul
amilopektin lebih besar daripada molekul amilosa karena terdiri atas lebih dari 1000
unit glukosa. Butir-butir pati tidak larut dalam air dingin tetapi apabila air
dipanaskan, akan membentuk gel (gelatinisasi). Larutan pati apabila diberi larutan

Universitas Sumatera Utara

12

iodium akan berwarna biru. Amilopektin dengan iodium akan memberikan warna
ungu atau merah lembayung (Poedjiadi,1994). Struktur amilosa dan amilopektin
dapat dilihat pada gambar 2.2.

Gambar 2.2 Struktur dari amilosa dan amilopektin
(http://kimiamanten.blogspot.com/2012/01/karbohidrat.html)

Bila pati mentah dimasukkan kedalam air dingin, granula patinya akan
menyerap air dan membengkak. Namun demikian jumlah air yang terserap dan
pembengkakannya terbatas. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar
30 % . Peningkatan volume granula pati yang terjadi didalam air pada suhu antara
550C sampai 65 0C merupakan pembengkakan pati yang sesungguhnya, dan setelah
pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan
tersebut disebut gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu
gelatinasi yang dapat dilakukan dengan penambahan air panas.

Pati yang telah mengalami gelatinasi dapat dikeringkan, tetapi molekul molekul
tersebut tidak dpat kembali lagi ke sifat-sifatnya sebelum gelatinasi. Bahan yang
telah kering tersebut masih mampu menyerap air dalam jumlah yang besar. Suhu
gelatinasi tergantung juga pada konsentrasi pati. Makin kental larutan, suhu tersebut

Universitas Sumatera Utara

13

makin lambat tercapai, sampai suhu tertentu kekentalan tidak bertambah, bahkan
kadang-kadang turun. Suhu gelatinasi berbeda-beda bagi tiap jenis pati dan
merupakan suatu kisaran. Dengan viskosimeter suhu gelatinasi dapat ditentukan ,
misalnya pada jagung 62-70 0C, beras 68-78 0C, gandum 54,5- 64 0C (Winarno,
1992).

2.4

Kitosan

Kitosan adalah polisakarida alami hasil dari proses deasetilasi (penghilangan gugusCOCH3) kitin. Kitin merupakan penyusun utama eksoskeleton dari hewan air
golongan crustacea seperti kepiting dan udang. Kitin tersusun dari unit-unit N-asetilD-glukosamin (2-acetamido-2-deoxy-Dglucopyranose) yang dihubungkan secara
linier melalui ikatan β-(1→ 4). Kitin berwarna putih, keras, tidak elastis, merupakan
polisakarida yang mengandung banyak nitrogen, sumber polusi utama di daerah
pantai (Goosen, 1997). Proses deasetilasi (penghilangan gugus asetil) kitin menjadi
kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun enzimatis. Secara kimiawi,
deasetilasi kitin dilakukan dengan penambahan NaOH (Kolodziesjska et al., 2000
dan Chang et al., 1997), sedangkan secara enzimatis digunakan enzim kitin
deasetilase (CDA) (Hekmat et al., 2003). Proses deasetilasi secara termokimiawi,
yang saat ini secara komersial banyak dilakukan, dalam banyak hal tidak
menguntungkan

karena

tidak

ramah

lingkungan,

prosesnya

tidak

mudah

dikendalikan, dan kitosan yang dihasilkan memiliki berat molekul dan derajat
deasetilasi yang tidak seragam (Chang et al., 1997 dan Tsigos et al., 2000). Proses
deasetilasi menggunakan kombinasi perlakuan secara kimiawi dan enzimatis seperti
yang telah dilaporkan oleh Emmawati, 2004, dan Rochima, 2005, merupakan
alternatif proses yang lebih baik. Deasetilasi kitin akan menghilangkan gugus asetil
dan menyisakan gugus amino yang bermuatan positif, sehingga kitosan bersifat
polikationik. Adanya gugus reaktif amino pada C-2 dan gugus hidroksil pada C-3 dan
C-6 pada kitosan tersebut sangat berperan dalam aplikasinya, antara lain sebagai
pengawet dan penstabil warna, sebagai floculant dan membantu proses reserve

Universitas Sumatera Utara

14

osmosis dalam penjernihan air, sebagai aditif untuk produk agrokimia dan pengawet
benih (Shahidi et al., 1999).
Struktur kitin dan kitosan dapat dilihat pada gambar 2.3.

Gambar 2.3. Struktur kimia kitin dan kitosan

Pelarut terbaik yang digunakan dalam proses pembuatan membran polimer
berbahan dasar kitosan adalah pelarut asam asetat (Aryanto, 2002). Pelarut yang
umum digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam asetat dengan konsentrasi
1 – 2 % (Knorr, 1982).
Molekul kitosan di dalam larutan asam encer berkekuatan ion rendah bersifat
lebih kompak bila dibandingkan dengan larutan polisakarida lainnya. Hal ini
disebabkan densitas muatan yang tinggi. Namun, dalam larutan berkekuatan ionik
tinggi, ikatan hidrogen, dan gaya elektrostatik pada molekul kitosan terganggu
sehingga konformitas menjadi bentuk acak (random coil). Sifat fleksibel molekul ini
yang akan menjadikan kitosan dapat membentuk baik konformitas kompak maupun

Universitas Sumatera Utara

15

memanjang (polisakarida lainnya umumnya berbentuk memanjang). Sifat fleksibel
kitosan membantu daya gunanya di dalam berbagai produk (Angka, 2000). Selain itu,
Lap. Protan (1987) menyatakan bahwa kitosan merupakan poliglukosamin yang dapat
larut dalam kebanyakan asam seperti asam asetat, asam laktat atau asam-asam
organik (adipat, malat), asam mineral seperti HCl, HNO3 pada konsentrasi 1 % dan
mempunyai daya larut terbatas dalam asam fosfat dan tidak larut dalam asam sulfat.
Kitosan telah dimanfaatkan dalam berbagai keperluan industri salah satunya
adalah Industri Makanan, Seperti tertera pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Aplikasi Kitosan dan turunannya dalam industri makanan
Aplikasi

Contoh

Anti Mikroba

Bakterial, Fungsidal, dan menghambat kontaminasi
jamur pada komoditi pertanian

Industri Edible film

Mengatur perpindahan uap air antara makanan dan
lingkungan sekitar; flavor ; mereduksi tekanan parsial
oksigen; pengatur suhu; menahan browning enzimatis
pada buah; dan mengembalikan tekanan osmosis
membrane

Bahan Aditif

Mempertahankan flavor alami; bahan pengontrol tekstur;
bahan pengemulsi; bahan pengental dan stabiliser;
dan penstabil warna

Sifat Nutrisi

Sebagai serat diet; penurun kolesterol; persediaan dan
tambahan makanan ikan;

mereduksi

penyerapan

lemak; memproduksi protein sel tunggal; bahan
antigastritis (radang lambung); dan sebagai bahan
makanan bayi
Pengolah limbah makanan Flokulan dan Pemecah agar
padat
Pemurnian Air

Memisahkan ion-ion logam, pestisida, dan penjernih
(Shahidi et al., 1999)

Universitas Sumatera Utara

16

Akhir-akhir ini, aplikasi kitosan dan turunannya sebagai antimikroba (bahan
pengawet) makanan telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Roller et al. (2002)
menunjukkan bahwa kitosan bekerja sinergis dengan pengawet seperti asam benzoat,
asam asetat, dan sulfit. Penambahan kitosan 0,6 % dalam penggunaan sulfit pada
konsentrasi yang rendah (170 ppm) mampu menghambat mikroorganisme perusak
lebih efektif (3-4 log CFU/g) dibandingkan penggunaan sulfit secara tunggal dengan
konsentrasi yang tinggi (340 ppm).

Kombinasi penggunaan sulfit dan kitosan

tersebut mampu memperpanjang umur simpan sosis daging babi. Perendaman sosis
daging babi dalam larutan kitosan 1 % mampu menurunkan jumlah mikroba
sebanyak 1-3 log CFU/g selama 18 hari pada suhu 370C. Kitosan juga dapat
mengawetkan ikan hering dan kod, yaitu dengan berfungsi sebagai edible film
sehingga mampu meningkatkan kualitas produk perikanan selama penyimpanan.
Kitosan memiliki reaktivitas kimia tinggi yang menyebabkan kitosan mampu
mengikat air dan minyak. Oleh karena itu kitosan dapat digunakan sebagai bahan
makro molekul emulsifikasi. Zivanovic et al. (2004) memanfaatkan kitosan dalam
produk emulsi. Penambahan 0,1 % kitosan polisakarida dapat menjamin keamanan
dari produk emulsi oil-in water . Model emulsi yang digunakan terdiri dari campuran
20 % minyak jagung, 1 % Tween 20, 1,5 % Tripticase soy broth, 0,58 % asam asetat,
dan kitosan polisakarida.

2.4.1. Kitosan Sebagai Bahan Edible Film

Kekurangan terbesar dari edible film kitosan adalah kurang mampu menahan
uap air karena sifat hidrofilik yang dimilikinya. Menurut Dominic et al. (1994) secara
teoritis bahan edible film diharapkan dapat :
a). Menjadi penahan kehilangan air yang efisien,
b). Mempunyai sifat permeabel terhadap keluar masuknya gas,
c). Mengendalikan perpindahan dari air ke larutan untuk mempertahankan warna
pigmen alami dan nutrisi serta,
d). Membawa zat tambahan yang diperlukan.

Universitas Sumatera Utara

17

Film dengan bahan kitosan mempunyai sifat yang kuat, elastis, fleksibel, dan

sulit untuk dirobek. Kebanyakan dari sifat mekanik sebanding dengan polimer
komersial dengan kekuatan sedang (Butler et al., 1996). Hoagland dan Parris (1996)
mengemukakan alasan dalam membuat film dengan bahan dasar kitosan :
1. Kitosan merupakan turunan kitin, polisakarida paling banyak di bumi setelah
selulosa
2. Kitosan dapat membentuk film dan membran dengan baik
3. Sifat kationik selama pembentukan film merupakan interaksi elektrostatik dengan
anionik.
Untuk edible film berbasis kitosan, proses produksinya dimulai dengan
membuat suspensi kitosan lalu ditambahkan asam laktat atau asetat dan diaduk secara
konstan dengan stirrer selama 3 jam pada suhu kamar. Selanjutnya ke dalam larutan
ditambahkan surfaktan. Untuk membuat film kombinasi pati-kitosan, pati
didispersikan kemudian dipanaskan sampai tergelatinisasi sempurna lalu didinginkan
sampai suhu kamar dan dicampurkan pada larutan kitosan dengan pengadukan selama
beberapa jam. Rasio antara pati dan kitosan berkisar antara 1:1 dan 1:3 (Stanescu et
al. 2011).

2.4.2. Aktivitas Antimikroba Kitosan

Mekanisme aktivitas penghambatan antimikroba menurut Branen dan Davidson
(1993) dapat melalui beberapa faktor, antara lain.
1. Mengganggu komponen penyusun dinding sel,
2. Bereaksi dengan membran sel sehingga mengakibatkan peningkatan permeabilitas
dan menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel,
3. Menginaktifkan enzim esensial yang berakibatkan terhambatnya sintesis protein
dan destruksi atau kerusakan fungsi metarial genetic.
Menurut Thatte (2004), aktivitas antibakteri kitosan dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu: sumber kitosan, unit monomer yang menyusun kitosan,
mikroba yang diuji, derajat deasetilasi (DD) kitosan, pH media tumbuh, keberadaan

Universitas Sumatera Utara

18

ion logam bebas, dan kondisi lingkungan (kadar air, nutrisi yang tersedia bagi
mikroba). Unit monomer kitosan tidak menghambat bakteri E. Coli dan S. Aureus
(Tanigawa et al. 1992). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri kitosan
merupakan kerja dari oligomer kitosan. Derajat Deasetilasi Kitosan (DD)
menunjukkan keberadaan atau jumlah sisi kationik potensial yang ada di sepanjang
rantai polimer, sehingga semakin besar DD semakin banyak pula jumlah sisi
kationiknya. Tsai et al, (2004) menunjukkan bahwa kitosan dengan berat molekul
(BM) rendah (12 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang lebih baik dibanding
bentuk oligomernya. Menurut Thatte (2004), kitosan dengan berat molekul yang
sangat besar (lebih besar dari 500 kDa) memiliki aktivitas antibakteri yang kurang
efektif dibandingkan kitosan dengan BM yang lebih rendah. Hal ini terkait dengan
viskositasnya yang besar pada kitosan ber-BM tinggi sehingga sulit bagi kitosan
untuk berdifusi. No et al. (2002) menguji 6 kitosan dan 6 oligomer kitosan dengan
berbagai BM terhadap 4 bakteri Gram negatif dan 7 bakteri Gram positif. Berbagai
studi telah membuktikan kemampuan kitosan sebagai antimikroba (Tsai et al., 2004).
Tsai dan Su (1999) menguji aktivitas penghambatan kitosan udang (DD 98) terhadap
E.coli. Kitosan menyebabkan kebocoran glukosa dan laktat dehidrogenase dari sel E.
coli.

2.5

Plastisizer

Plastisizer adalah salah satu komponen bahan dasar pembuatan edible film yang

berfungsi untuk mengatasi sifat rapuh lapisan film. Menurut Gulbert dan Biquet
(1996) ada beberapa jenis plastisizer yang sering digunakan dalam pembuatan edible
film yaitu:

a) Mono, di-, dan oligosakarida;
b) Poliol (seperti gliserol dan turunannya, polyetilen glikol, sorbitol), dan
c) Lipid dan turunannya (asam lemak, monogliserida dan esternya, asetogliserida,
pospholipida dan emulsifier lain).

Universitas Sumatera Utara

19

Edible film membutuhkan plastisizer dengan berat molekul rendah untuk

meningkatkan fleksibilitas dan ketahanannya, dengan cara menginterupsi interaksi
rantai polimer dan menurunkan suhu Transition Glass (Brody, 2005).

2.5.1

Gliserol

Menurut Winarno (1992), Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat (polyol)
dengan 3 buah gugus hidroksil dalam satu molekul atau disebut alkohol trivalent.
Strukturnya dapat dilihat pada gambar 2.4.

OH

HO

OH

Glycerol
Gambar 2.4 Gliserol

Rumus kimia gliserol adalah C3H8O 3, Berat molekul gliserol 92,10 massa
jenisnya 1,23 g/cm3 dan titik didihnya 2040 C. Gliserol mempunyai sifat mudah larut
air, meningkatkan viskositas larutan, mengikat air dan menurunkan Aw (Lindsay,
1985). Gliserol merupakan salah satu plastisizer yang banyak digunakan karena
cukup efektif mengurangi ikatan hidrogen internal sehingga akan meningkatkan jarak
intermolekuler. Secara teoritis plastisizer dapat menurunkan gaya internal diantara
rantai polimer, sehingga akan menurunkan tingkat kegetasan dan meningkatkan
permeabilitas terhadap uap air (Gontard et al. 1993).

Rodriguez et al. (2006)

menambahkan bahwa gliserol merupakan plastisizer yang bersifat hidrofilik,

Universitas Sumatera Utara

20

sehingga cocok untuk bahan pembentuk film yang bersifat hidrofilik seperti pati. Ia
dapat meningkatkan sorpsi molekul polar seperti air. Peran gliserol sebagai
plastscizer dan konsentrasinya meningkatkan fleksibilitas film (Gontard et al, 1993;

Mali et al, 2005; Bertuzi et al, 2007). Molekul plastisizer akan mengganggu
kekompakan pati, menurunkan interaksi intermolekuler dan meningkatkan mobilitas
polimer. Selanjutnya mengakibatkan peningkatan elongation dan penurunan tensile
strength seiring dengan peningkatan konsentrasi gliserol. Penurunan interaksi

intermolekuler dan peningkatan mobilitas molekul akan memfasilitasi migrasi
molekul uap air (Rodriguez et al. 2006).

2.6

Karakterisasi Edible Film

Karakterisasi edible film dapat ditentukan dengan menggunakan instrumentasi
seperti FT-IR; DTA dan TGA.

2.6.1

Fourier Transform Infrared (FTIR)

Spektrofotometer inframerah pada umumnya digunakan untuk menentukan gugus
fungsi suatu senyawa organik dan mengetahui informasi struktur suatu senyawa
organik dengan membandingkan daerah sidik jarinya.

Cahaya tampak terdiri dari beberapa range frekuensi elektromagnetik yang
berbeda. Radiasi inframerah juga mengandung beberapa range frekuensi tetapi tidak
dapat dilihat oleh mata. Pengukuran pada spektrum inframerah dilakukan pada daerah
cahaya inframerah tengah (mid-infrared) yaitu pada panjang gelombang 2.5-50 µm
atau bilangan gelombang 4000 – 200 cm-1. Metoda ini sangat berguna untuk
mengidentifikasi senyawa organik dan organometalik (Sagala,2013).

Universitas Sumatera Utara

21

FTIR telah membawa tingkat keserbagunaan yang lebih besar ke penelitianpenelitian struktur polimer.Karena spektrum-spektrum bisa di-scan, disimpan, dan
ditransformasikan dalam hitungan detik, teknik ini memudahkan penelitian reaksireaksi polimer seperti degradasi atau ikat silang.Persyaratan-persyaratan ukuran
sampel yang sangat kecil mempermudah kopling instrumen FTIR dengan suatu
mikroskop untuk analisis bagian-bagian sampel polimer yang sangat terlokalisasi.Dan
kemampuan untuk substraksi digital memungkinkan seseorang untuk melahirkan
spektrum-spektrum lainnya yang tersembunyi (Steven, 2001).

2.6.2

Scanning Electron Microscopy (SEM)

Mikroskop elektron adalah sebuah mikroskop yang dapat melakukan pembesaran
objek sampai 2 juta kali. Mikroskop ini menggunakan elektrostatik dan
elektromagnetik untuk pembesaran objek serta resolusi yang jauh lebih bagus
daripada mikroskop cahaya (Sagala, 2013).

SEM adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan spesimen
secara makroskopik. Berkas elektron dengan diameter 5-10 nm diarahkan pada
spesimen interaksi berkas elektron dengan spesimen menghasilkan beberapa
fenomena yaitu hamburan balik berkas elektron, sinar x, elektron sekunder, absorbsi
elektron.

Teknik SEM pada hakikatnya merupakan pemeriksaan dan analisa
permukaan. Data atau tampilan yang diperoleh adalah data dari permukaan atau dari
lapisan yang tebalnya sekitar 20 µm dari permukaan yang diperoleh merupakan
gambar tofografi dengan segala tonjolan, lekukan, dan lubang permukaan
(Wirjosentono, 1996).

Universitas Sumatera Utara

22

2.6.3

DTA (Diferential Thermal Analysis ) dan TGA ( Thermal Gravimetry
Analysis)

TGA merupakan teknik mengukur perubahan berat suatu sistem bila temperaturnya
berubah dengan laju tertentu (Khopkar, 2007). Metode TGA yang paling banyak
dipakai didasarkan pada pengukuran berat kontinu terhadap suatu neraca sensitif
ketika suhu sampel dinaikkan dalam udara atau dalam suatu atmosfer yang inert. Data
dicatat sebagai termogram berat versus temperatur. Hilangnya berat bisa timbul dari
evaporasi lembab yang tersisa atau pelarut, tetapi pada suhu-suhu yang lebih tinggi
terjadi dari terurainya polimer (Stevens, 2000).

Metode ini digolongkan kedalam metoda fisika, dimana sampel secara terus
menerus dinyatakan sebagai fungsi temperatur, sampel disubjeksikan kesuatu
pengendalian perubahan suhu, penentuan titik lebur dari sampel ang berbentuk solid
atau padatan. Bahan yang dikarakterisasi biasanya berupa senyawa organik atau suatu
bahan yang murni. Menggunakan proses pemanasan, kemudian sampel akan
mengalamai proses dekomposisi dan secara fisika analisisnya ditinjau dari titik lebur
yang diperoleh dari sampel atau bahan yang telah mengalami proses pemanasan.
Temperatur merupakan kondisi sauatu bahan kepenyaluran panas atau pemanasan
yang berasal dari bahan lai. Pengaruh dari proses pemanasan terjadi banyak
perubahan dari sampel , perubahan berat didasari dari termogravimetri dan ditentukan
perubahan energinya dengan metode Analisis Diferensial Termal (DTA) dan
Kalormeter Scanning Diferensial (DSC). Teknik ini penting dlama analisa termal
(Dodd, 1987)

Beberapa aplikasi termogravimetri merupakan arti yang istimewa penting bagi
si analisis, adalah :
1.

Penetapan Kemurnia dan Kestabilan termal dari standar-standar primer dan
skunder

Universitas Sumatera Utara

23

2.

Penyelidikan terhadap temperatur- temperatur penegringan yang tepat, dan
kesesuaian dari berbagai bentuk untuk ditimbang untuk analisi gravimetric

3.

Aplikasi langsung pada masalah analisis (analisis termogravimetri otomatis)

4.

Penetapan komposisi campuran kompleks (Vogel, 1994).

2.6.4 Kuat Tarik

Uji tarik mungkin adalah cara pengujian bahan yang paling mendasar. Pengujian ini
sangat sederhana, tidak mahal dan sudah mengalami standarisasi di seluruh dunia,
misalnya di Amerika dengan ASTM E8 dan Jepang dengan JIS 2241. Dengan
menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi
terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang.
Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan
kekakuan yang tinggi (highly stiff). Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasil uji
tarik. Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam) sampai putus,
kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti
digambarkan pada Gbr. 2.5

Gambar 2.5 . Gambaran singkat uji tarik dan datanya
Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang.
Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut.. Proses
pengujian tarik mempunyai tujuan utama untuk mengetahui kekuatan tarik bahan uji.
Bahan uji adalah bahan yang akan digunakan sebagaikonstruksi, agar siap menerima

Universitas Sumatera Utara

24

pembebanan dalam bentuk tarikan.Pembebanan tarik adalah pembebanan yang
diberikan pada benda dengan memberikan gaya yang berlawanan pada benda dengan
arah menjauh dari titiktengah atau dengan memberikan gaya tarik pada salah satu
ujung benda danujung benda yang lain diikat.

Gambar 2.6. Pembebanan tarik

Penarikan gaya terhadap bahan akan mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk
(deformasi) bahan tersebut. Hasil yang diperoleh dari proses pengujian tarik adalah
grafik tegangan regangan, parameter kekuatan dan keliatan material pengujian dalam
prosen perpanjangan, kontraksi atau reduksi penampang patah, dan bentuk
permukaan patahannya. Tegangan dapat diperoleh dengan membagi beban dengan
luas. Penampang mula-mula benda uji (George J Dieter, 1993) :

σ=

Dimana : σ = Tegangan nominal (kg/mm2) P = Gaya tarik aksial (kg) A0 = Luas
penampang normal (mm2 ) (Dieter, 2000)

Universitas Sumatera Utara