Hubungan Status Fungsional dengan Kualitas Hidup Pasien Stroke Iskemik di Rumah Sakit Kota Medan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke Iskemik
2.1.1 Definisi
Stroke iskemik adalah kerusakan permanen dan kematian jaringan yang
berlangsung secara tiba-tiba yang disebabkan oleh oklusi pembuluh darah fokal
yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan glukosa ke otak dan
kegagalan proses metabolisme di daerah yang terlibat (Hacke et al, 2003;
Roberthus, 2008; Woodward, S., & Mestecky, A.M , 2011).
2.1.2 Angka Kejadian
Insiden penyakit stroke iskemik meningkat setiap tahun. Peningkatan
jumlah pasien stroke iskemik menyebabkan kenaikan jumlah kematian. Stroke
merupakan penyebab
kematian terbanyak ketiga di Amerika Serikat setelah
penyakit jantung dan kanker (International Pharmaceutical Manufacturers
Group, 2014). Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000
merupakan serangan ulang. Rata-rata pasien, setiap 45 detik di Amerika Serikat
akan mengalami stroke (Roberthus, 2008).
Rata-rata insidensi kejadian stroke di 52 negara yang memiliki studi
kejadian yang dilakukan di lebih dari satu daerah. Data diperoleh dari 123 negara
yang mengalami kematian pada pasien stroke terjadi lebih besar di Negara
Kazakstan pada tahun 2003. Insidensi kejadian stroke menurut badan kesehatan
dunia (WHO) berkisar 41 per 100.000 penduduk per tahun di dunia. Angka
kejadian stroke iskemik di Indonesia mencapai 8.3 per 1000 penduduk dan daerah
8
Universitas Sumatera Utara
9
yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam
(16.6 per 1000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3.8 per 1000
penduduk).Insidensi kejadian stroke yang tertingg i berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar, 2013 adalah kota Sulawesi Utara (10.8 persen), Yogyakarta (10.3 persen),
Bangka Belitung dan DKI Jakarta (9.7 persen). Penyebab kematian dan kecacatan
utama di hampir seluruh rumah sakit di Indonesia adalah penyakit stroke sejak
tahun 1991 hingga 2013 (Rikesdas, 2013).
2.1.3 Penyebab dan Faktor Risiko
Stroke iskemik dapat menyebabkan banyak masalah pada pembuluh darah,
jantung dan darah. Hudak, et al (1996) menyatakan bahwa stroke disebabkan oleh
salah satu dari empat kejadian di bawah, yaitu: (1) Trombosis merupakan bekuan
darah di dalam pembuluh darah otak atau leher yang menyumbat aliran darah ke
otak. Trombosis bersama emboli hampir menjadi penyebab dari tiga perempat
kasus stroke. (2) Emboli serebral merupakan bekuan darah seperti lemak yang
mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan menyumbat aliran darah ke
bagian otak tertentu. (3) Spasme pembuluh darah serebral merupakan penurunan
aliran darah ke area otak tertentu yang bersifat sementara. Umumnya merupakan
akibat dari spasme pembuluh darah otak. (4) Hemoragik serebral atau perdarahan
serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh darah serebral
dengan perdarahan dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak sehingga
menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu pertiga dari
seluruh kejadian stroke dan presentasi penyebab kematian lebih besar dari stroke
iskemik atau stroke non hemoragik.
Universitas Sumatera Utara
10
Faktor risiko yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor
yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor yang dapat diubah, terdiri dari
usia, jenis kelamin, faktor genetik atau keturunan, dan ras atau etnik sedangkan
faktor yang dapat dimodifikasi merupakan faktor yang dapat dieliminasi
sehingga risiko stroke menjadi lebih rendah bahkan dapat ditiadakan (Lingga,
2013). Faktor yang dapat dimodifikasi ini meliputi: hipertensi, Diabetes mellitus,
dislipidemia, alkohol, kelainan anatomis, penyakit jantung, Transient ischemic
attack (TIA), merokok, kurangnya aktivitas fisik, pola diit, kontrasepsi oral,
obesitas, stress fisik, mental dan fibrinogen. Beberapa faktor risiko tambahan
meliputi lipoprotein (a)/Lp (a), LDL yang teroksidasi, inflamasi dan infeksi serta
hiperhomosisteinemi.
Stroke iskemik akan berisiko terjadi stroke ulang bila faktor risikonya tidak
dikendalikan, misalnya pada dislipidemia, hasil penelitian yang dilakukan The
Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Colesterol Levels (SPARCL)
tahun 2006, pada orang pasca stroke iskemik atau TIA dengan dislipidemia
sekitar 13.1% mengalami kejadian stroke ulang. Autoregulasi serebral tidak
efektif bila tekanan darah sistemik di bawah 50 mmHg dan di atas 160 mmHg
(LeMone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekuat dapat
menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love, 2000, dalam Black &
Hawks, 2005). Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius
& Workman, 2006).
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.4. Tanda dan Gejala
Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang
terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manisfestasi klinik yang sering
terjadi diantaranya adalah kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan gangguan
keseimbangan. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan
mengenai satu sisi bagian tubuh (LeMone & Burke, 2008).
Geoffrey, et al (2008) menemukan bahwa sebagian besar pasien paska
serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penglihatan, gangguan
bicara dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien
paska serangan stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas,
ketakutan dan menarik diri dari kehidupan sosial.
Stroke dapat menyebabkan berbagai gangguan neurologi, tergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
kurang dan jumlah aliran darah kolateral. Gambaran klinik utama dikaitkan
dengan insufisiensi aliran darah ke otak dapat dihubungkan dengan tanda-tanda
dan gejala-gejala di bawah ini, (Black & Hawks, 2005):
a. Vertebro basilaris (sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral);
Kelemahan salah satu dari empat anggota tubuh, peningkatan reflex
tendon, ataksia, tanda babinski bilateral, tanda-tanda sereblar, disfagia,
disartria, sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan, gangguan
penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis gerakan satu mata),
muka terasa baal.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gejala-gejalanya biasanya
unilateral). Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri
karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna.
Berbagai sindroma, polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral;
kebutaan monocular, disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke
retina, terasa baal pada ekstremitas atas, dan mungkin juga menyerang
wajah. Jika terjadi pada hemisfer yang dominan maka akan timbul gejalagejala afasia ekspresif.
c. Arteri serebri anterior, gejala yang paling primer adalah kebingungan; rasa
kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal mungkin
ikut terserang. Timbul gerakan volunteer pada tungkai yang terganggu,
gangguan sensori kontra lateral, dimensia, reflek mencekram dan reflex
patologis (disfungsi lobus frontalis), arteri serebri posterior (dalam lobus
otak tengah atau talamus); (koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual
atau buta kata (aleksia), kelumpuhan saraf kranial ketiga –hemianopia,
koreo-athetosis, arteri serebri media; mono paresis atau hemiparesis
kontralateral (biasanya mengenai lengan), kadang-kadang heminopia
kontralateral (kebutaan), afasia global (jika hemisfer dominan yang
terkena) gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan
percakapan dan komunikasi, disfagia.
Universitas Sumatera Utara
13
2.2 Status Fungsional
2.2.1 Definisi
Status fungsional merupakan kesehatan sebagai keadaan fisik, mental, dan
kesejahteraan yang lengkap, bukan hanya tidak ada penyakit dan kelumpuhan.
Secara umum, status fungsional merupakan keadaan dari fungsi anggota tubuh
(WHO, 2002). Status fungsional memiliki beberapa istilah yang berbeda dengan
beragam definisi dan alat ukur dari yang terbatas sampai luas. Status fungsional
mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi dimana karakteristik
kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan
dasar, berperan secara penuh, memelihara kesehatan, serta kesejahteraan (Ledi,
1994; dikutip dari Ridge & Goodson, 2000). Status fungsional individu
mencerminkan reaksinya terhadap kondisi biologis, dan interaksi individu dengan
lingkungan dalam menilai fungsi, perhatian untuk individu, bukan hanya patologis
keadaan organisme. Individu adalah unit analisis dalam penilaian fungsional
bukan bagian tubuh atau sistem organ. Dengan demikian dapat didefinisikan,
status fungsional merupakan salah satu aspek atau dimensi kesehatan yang terdiri
dari manifestasi fisik, tanda gejala dan status fungsional. Fungsi fisik adalah
dimensi dari status fungsional yang diterima dari terapis. Status fungsional dilihat
dari aktivitas sehari-hari pasien (Donna, 2012).
Status fungsional adalah suatu konsep mengenai kemampuan melakukan
self-care, self-maintenance, dan aktivitas fisik (Wilkinson, 2011). Status
fungsional juga merupakan konsep multidimensi karakteristik kemampuan
individu untuk menunjang kebutuhan hidup, dimana sebagai jalan untuk normal
Universitas Sumatera Utara
14
dengan memenuhi kebutuhan dasar hidup (Dahlan et al., 2006). Perry dan Potter
(2005) memberikan definisi status fungsional sebagai kapasitas fungsional dan
penurunannya dilihat dari kapasitas fungsi residual dengan defisit residual. Defisit
residual adalah perbedaan fungsi original dengan fungsi residual. Perubahan
status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari penyakit atau
kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011). Menurut Saltzman (2011), status
fungsional dilihat dari dua aspek yaitu tujuan dari pengkajian fungsional dan
komponen pengkajian fungsional. Tujuan pengkajian fungsional adalah sebagai
gambaran indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kebutuhan individu akan
perawatan, memonitor perubahan sepanjang waktu, serta mengoptimalisasikan
cost effectiveness operasi klinik.
Dari perspektif lain, kemampuan fungsional dapat terganggu akibat dari
kesehatan yang buruk, penyakit, kelemahan, dan penyakit yang mengganggu
kemampuan seseorang dalam beraktivitas sehari-hari untuk melakukan peran
sosial yang diharapkan. Dimana menuntut para professional kesehatan berusaha
untuk meningkatkan kemampuan fungsional (Donna, 2012). Hasil penelitian
Rachmawati, (2013) tentang gambaran status fungsional pasien stroke saat masuk
ruang rawat inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru menemukan bahwa status
fungsional pasien stroke terbanyak adalah dependent total (0-20) berjumlah 39
orang (78.0 %). Keseluruhan sampel pasien stroke saat awal masuk ruang rawat
inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru melakukan aktivitas perawatan diri dan
mobilisasi. Aktivitas perawatan diri yang dilakukan penilaian terkait kemampuan
makan, mandi, kebersihan diri, berpakaian, defekasi, miksi, penggunaan toilet.
Universitas Sumatera Utara
15
Dimana aktivitas mobilisasi yang terdiri dari transfer (berpindah dari tempat tidur
ke kursi dan kembali ke tempat tidur), mobilitas dan kemampuan naik tangga.
Ketidak mampuan ini dikarenakan penyakit stroke yang dialami dapat
menyebabkan kelumpuhan motorik, karena kendali otak tubuh bagian kiri telah
mengalami iskemik. Keadaan ini menyebabkan pasien stroke sulit untuk
melakukan gerakan tangan dan kaki dibagian otak yang terserang stroke, sehingga
pasien membutuhkan bantuan orang lain. Hal inilah menunjukkan jika pasien
terserang stroke secara langsung dalam waktu serangan stroke terjadi maka pasien
akan mengalami ketidakberfungsian bagian otak tertentu sehingga akan
mempengaruhi aktivitas gerak tubuh dan kehidupan sehari-hari (Rachmawati,
2013).
Selain itu penurunan kemampuan dapat terjadi dikarenakan penurunan
kesadaran serta daerah otak tertentu tidak berfungsi dengan baik yang
menyebabkan terganggunya aliran darah atau pecahnya pembuluh darah dan
mengganggu kemampuan fungsional pasien (Suryati, 2007). Keadaan jaringan
otak yang mengalami gangguan akan dimonitor secara ketat agar dapat
mengantisipasi keadaan buruk yang akan terjadi pada pasien dalam beberapa jam
setelah serangan stroke. Pemeriksaan awal yang harus dilakukan di ruang rawat
darurat adalah pemeriksaan fungsi pernafasan, tekanan darah, fungsi jantung, dan
pemeriksaan analisa gas darah. Secara simultan dilakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah rutin, kimia darah, pemeriksaan koagulasi darah serta
pemeriksaan fungsi hematologi yang lain, dan bersamaan dengan tindakan
tersebut pasien dipasang cairan infus intravena serta pemeriksaan EKG. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
16
dilakukan pemeriksaan Scan kepala atau MRI untuk mendapatkan kepastian
diagnosis berdasarkan jenis patologisnya (Perdossi, 2007).
2.2.2 Domain dari Fungsi
Aktivitas fungsional dengan hasil yang sama dapat dikelompokkan
bersama kedalam kategori atau domain. Domain dari fungsi ini terdiri dari domain
biofisik, domain psikologi, dan domain sosiokultural. Domain biofisik termasuk
kemampuan sensorimotorik yang memerlukan tindakan sehari-hari, misalnya
berpakaian, ambulasi, mempertahankan personal hygiene, dan memasak.
Domain psikologikal dipengaruhi oleh aktivitas intelektual. Motivasi,
konsentrasi, penyelesaian masalah, dan keadilan merupakan faktor-faktor yang
berkontribusi dalam fungsi psikological sebagai fungsi yang baik dimana
seseorang mengatasi stress yang dialaminya setiap hari. Domain psikological juga
mempengaruhi bagaimana menerima kemampuan untuk berfungsi, misalnya
ansietas, depresi, emosional, kesadaran diri, dan harga diri mempengaruhi fungsi
afektif (Guccione, 2000; Donna, 2012). Domain sosial budaya berhubungan
dengan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan berhasil dalam
aturan sosial dan kewajiban-kewajiban. Domain sosiocultural (sosial budaya)
merupakan aturan sosial dan aturan budaya yang berada pada masyarakat (terlihat
pada gambar 1).
Universitas Sumatera Utara
17
BIOPHYSICAL
DOMAIN
PSYCHOLOGICAL
DOMAIN
SOCIOCULTURAL
DOMAIN
Sensorimotor Tasks
Affect
Social roles
Motivation
Cultural roles
Cognitive ability
STATUS
FUNCTIONAL
Kebutuhan Perawatan diri
(Self Requisites)
Gambar 2.1. Tiga domain dari status fungsional (Donna, 2011).
2.2.3 Instrumen Status Fungsional
Komponen pengkajian fungsional meliputi penglihatan dan pendengaran,
mobilitas, kontinensia, nutrisi, status mental (kognisi dan afektif), lingkungan
rumah, dukungan sosial, serta ADL (Activities Daily Living) dan IADL
(Instrumental ADL). ADL dilihat dari aktivitas dasar seperti berpindah, ambulasi,
mandi, toileting, nutrisi, dll. IADL merupakan kebutuhan lebih komplek yang
merupakan kombinasi fungsi mental dan fisik seperti penggunaan telepon,
mempersiapkan makan, mengatur transportasi, serta mengatur pengeluaran.
Instrumen pengukuran status fungsional sangat beragam antara lain: Index of
Independent in Activities of Daily Livings (ADL), The Barthel Index, The Physical
Self-Maintenance Scale, A Rapid Disability Rating Scale, Stanford Health
Universitas Sumatera Utara
18
Assessment Questionairre, dan FIM Instruement (Wilkinson, 2011 & Loretz,
2005).
The Index of Independence in Activities of Daily Livings didesain untuk
mengkaji fungsi fisik pada lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Instrumen
ini digunakan sebagai indikator penyakit kronik berat dan evaluasi dari tindakan.
Rating dikotomi pada enam fungsi ADL yang meliputi: mandi, berpakaian, pergi
ke toilet, berpindah dari tempat tidur ke kursi, kontinensia, dan makan, serta
memiliki tiga kategori skala independen.
Barthel Index digunakan untuk mengkaji kemandirian fungsional pada
domain perawatan personal dan mobilitas. Instrumen didesain untuk memonitor
penampilan pada pasien kronis atau fase rehabilitasi. Instrumen juga digunakan
untuk memprediksi lama waktu hari rawat dan indikasi sejumlah kebutuhan
perawatan.
The Physical Self-Maintenance Scale (PSMS) terdiri dari enam item dari
self-care yang didesain untuk mengukur yang digunakan dalam perencanaan dan
evaluasi tindakan pada lansia yang tinggal di komunitas atau institusi. Skala
berdasarkan teori perilaku manusia dimana hirarki yang komplek, seperti
pendekatan Katz Index. Hirarki berasal dari kesehatan fisik yang terdiri dari selfmaintenance ADL dan IADL, kognisi, penggunaan waktu, dan interaksi sosial.
The Rapid Disability Rating Scale (RDRS) mengandung 16 item
berdasarkan penilaian tenaga medis dengan tiga skala yaitu: tidak mengalami
kerusakan atau tidak membutuhkan pertolongan khusus; kerusakan moderat atau
membutuhkan asisten; serta substansial atau kerusakan lengkap atau asisten
Universitas Sumatera Utara
19
pengganti.
Skala
dikembangkan
sebagai
instrumen
penelitian
untuk
menyimpulkan kapasitas fungsional dan status mental pada pasien lansia di rumah
sakit dan komunitas.
The Stanford Health Assessment Questionarre mengukur tingkat kesulitan
dalam melakukan ADL. Instrumen didesain untuk pengkajian klinik pada arthritis
tetapi dapat digunakan pada penelitian untuk evaluasi perawatan. Kuisioner
berdasarkan model hirarki dengan mempertimbangkan efek dari penyakit seperti
kematian, ketidak mampuan, efek samping terapi, dan biaya kesehatan. Dimensi
kematian tergantung dari dua sub-dimensi: masalah atas/bawah anggota badan
untuk dimensi ketidakmampuan serta masalah fisik dan psikologis sebagai
dimensi ketidaknyamanan. Skala pengukuran terdiri dari 20 item pada fungsi
sehari-hari sampai minggu terakhir yaitu: berpakaian dan merawat diri, naik
tangga, makan, jalan, kebersihan, jangkauan, pegangan, dan aktivitas luar
ruangan.
Functional Independent Measure mengkaji ketidak mampuan fisik dan
kognitif dalam keperawatan. Instrumen digunakan untuk memonitor kemajuan
pasien dan mengkaji hasil akhir pada rehabilitasi. FIM terdiri dari 18 item
pertanyaan meliputi kemandirian dalam self-care, kontrol sphincter, mobilitas,
daya gerak, komunikasi, dan kognisi sosial. FIM bukan instrumen komprehensif
tetapi sebagai indikator dasar yang berfokus level ketidakmampuan sebagai
indikasi kebutuhan akan asisten untuk melakukan ADL.
Universitas Sumatera Utara
20
2.2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Fungsional
Faktor-faktor yang berhubungan dengan status fungsional terdiri dari dari
delapan faktor antara lain adalah (1) Usia berkaitan dengan kondisi fisiologis dan
kemampuan melakukan pemulihan setelah kondisi paska stroke terutama dalam
melakukan aktivitas fisik. Aspek demografi usia berkaitan dengan perkembangan
yang memiliki perbedaan dalam perkembangan dan kepadatan tulang serta massa
otot pada usia remaja, dewasa awal, menengah, dan akhir (Perry & Potter, 2005).
(2) Lama hari rawat berkaitan dengan proses perkembangan masa penyembuhan
tulang serta didukung program terapi dan rehabilitasi yang menentukan
perkembangan kondisi secara keseluruhan. (3) Jenis kelumpuhan yang menurut
hasil penelitian Astrid (2008), menunjukkan bahwa peningkatan Range of Motion
dan kekuatan otot meningkatkan status fungsional. Peningkatan level aktivitas
berdasarkan efisiensi perbaikan tubuh, terutama sistem muskuloskletal (Ditmyer
et al., 2002). (4) Nyeri merupakan pengalaman universal individu, yang
didefinisikan sebagai pengalaman individu dan melaporkan adanya sensasi rasa
nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif tergantung persepsi individu
(DeLaune & Ladner, 2002). Persepsi individu menentukan kemampuan
mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional. (5)
Kelelahan bersifat subjektif sebagai gejala yang tidak menyenangkan dimana
merupakan gabungan keseluruhan perasaan tubuh berkisar pada keletihan menuju
kepenatan dan mengganggu kemampuan fungsi atau kapasitas normal (Theander
& Unossean, 2004; dikutip dari Rean & Richardson, 1996).
Universitas Sumatera Utara
21
Kelelahan
menyebabkan
aktivitas
fisik
berkurang
sehingga
mengakibatkan penurunan fungsi fisik (Woung et al., 2010). Kelelahan
mengakibatkan
kesulitan
dalam
konsentrasi
dan
tidur,
kecemasan,
ketidakseimbangan, motivasi, dan interaksi sosial (Sung et al., 2009; dikutip dari
Olson, 2007). (6) Motivasi secara keseluruhan didefinisikan sebagai karakteristik
keadaan yang memiliki kecenderungan untuk fokus dalam kesiapan untuk
berperilaku (Carter & Kulbok, 2002). Banyak hal yang berkaitan dengan motivasi
seperti motivasi kesehatan, motivasi intrinsik, dan motivasi ekstrinsik dimana
motivasi intrinsik merupakan prekursor terhadap motivasi kesehatan. Motivasi
merupakan fokus sentral dalam berperilaku berdasarkan Health Believe Model
(Nunnery, 2008). Menurut Health Believe Model motivasi ditinjau dari perhatian
terhadap pola kesehatan secara keseluruhan, kesediaan untuk mencari dan
menerima arahan medis, bermaksud untuk patuh, aktivitas kesehatan positif
(Nunnery, 2008; dikutip dari Becker et al., 1977). Motivasi merupakan konsep
yang sangat bermanfaat pada fase rehabilitasi sebagai prediktor yang baik untuk
hasil rehabilitasi (Siegert & Taylor, 2004).
Perilaku pasien yang berkaitan dengan status fungsional merupakan bagian
dari self-care. Self-care terdiri dari sikap, norma subjektif, dan persepsi terhadap
kontrol lingkungan dimana motivasi merupakan pembentuknya (Peters &
Templin, 2010). Aktivitas fisik merupakan komponen status fungsional atau
kapasitas fungsional. Motivasi termasuk aspek psikososial yang mempengaruhi
toleransi melakukan aktivitas fisik (Perry & Potter, 2005). Motivasi self-care
status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan aktivitas
Universitas Sumatera Utara
22
fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas kesehatan yang positif merupakan
dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal melakukan aktivitas fisik.
(7) Fall-Efficacy didasari dari teori Bandura mengenai self-efficacy yang
didefinisikan
sebagai
kepercayaan
individu
mengenai
kemampuan
dan
keterampilan untuk berhasil melakukan tugas dan menghindari kegagalan (Arnold
& Faulkner, 2009). Fall-efficacy didefinisikan sebagai persepsi keyakinan diri
dalam menghindari kegagalan saat melakukan aktivitas dasar dalam aktivitas
sehari-hari, dikenali sebagai faktor resiko kemandirian serta penting sebagai
intervensi (Peterson et al., 2005; dikutip dari Tinetti et al.,1990). (8) Dukungan
keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang
sakit. Keluarga berfungsi sebagai system pendukung bagi anggotanya dimana
anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Keluarga dapat diartikan
sebagai dukungan dari orang-orang yang berarti saat melewati masa transisi.
Level ketidakmampuan merupakan dasar perkembangan suatu penyakit
yang berkaitan dengan kelelahan, nyeri sendi, kekakuan yang mempunyai efek
terhadap aktivitas sehari-hari yang mempunyai hubungan dengan keluarga (Coty
& Wallston, 2010). Dukungan dari orang dekat merupakan bentuk dukungan
sosial yang dapat digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan aktivitas fisik
(Perry & Potter, 2005). Status fungsional menuju transisi kehidupan normal pada
penyakit serius memiliki hubungan dengan penampilan kemampuan berperan dan
beraktivitas yang dipengaruhi keluarga (Newman, 2005; dikutip dari Tulman &
Universitas Sumatera Utara
23
Fawcett, 1996). Dukungan keluarga merupakan fungsi keluarga dengan integritas
komponen meliputi adaptasi, partnership, perkembangan, afeksi dan resolve
(Loretz, 2005; dikutip dari Smilkstein, 1978).
Bentuk dukungan keluarga berupa dukungan emosional, penilaian
instrumental dan informative. Kehadiran keluarga selama berada di RS membantu
untuk memenuhi ADL. Bantuan yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan
klien untuk mandiri sehingga berpengaruh terhadap status fungsional. Bantuan
yang diberikan akan mengurangi kesempatan dalam melakukan aktivitas secara
berulang-ulang. Latihan terbaik untuk memperbaiki kinerja adalah melakukannya
secara berulang-ulang aktivitas (Hoppenfeld & Murthy, 2011).
2.2.5 Peran Perawat berkaitan dengan Status Fungsional
Perawat berdasarkan teori Orem menentukan kondisi pasien tipe sistem
keperawatan berupa: sistem keperawatan penyeimbang menyeluruh, sebagian,
atau mendukung/mendidik, semua tergantung pada siapa yang dapat atau harus
menjalankan aksi-aksi self-care tersebut. Wholly/ totally compesantory nursing
system adalah sistem penyeimbang keperawatan meyeluruh dibutuhkan ketika
perawat harus meringankan ketidakmampuan total seorang pasien yang
hubungannya
dengan
kegiatan
merawat
yang
membutuhkan
tindakan
penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan
self-care secara menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu melakukan
aktifitas. Partially/ Partly compensatory nursing system dimana perawat
mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam
Universitas Sumatera Utara
24
memenuhi kebutuhan selfcare-nya, dijalankan saat perawat dan pasien
menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas
manipulatif atau penyembuhan. Supportif/ Edukatif nursing system dimana
perawat memberikan pendidikan kesehatan untuk memotivasi melakukan self
care, tetapi yang melakukan self care adalah pasien sendiri. Pasien perlu
dikondisikan untuk belajar menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara
eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak
dapat melakukan tanpa bantuan.
Perawat sebagai agen keperawatan (Nursing agency) melakukan asuhan
keperawatan meliputi berbagai karakteristik intervensi keperawatan sebagai
selfcare agency. Sementara itu Orem (2007) menyebutkan juga bahwa self care
agency adalah individu yang dapat memberikan bantuan dalam kegiatan
perawatan diri. Optimalisasi status fungsional oleh perawat dapat dilakukan
dengan metode bantuan diantaranya: guidance, teaching, support, directing,
providing the developmental environment.
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Kualitas hidup
2.3.1 Definisi
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa kualitas hidup merupakan tingkat dimana seseorang menikamti hal-hal
penting yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Masing-masing orang memiliki
kesempatan dan keterbatasan dalam hidupnya yang mereflesikan interaksi dan
lingkungan. Definisi lain dari kualitas hidup adalah komponen kebahagian dan
kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi kualitas hidup seringkali bermakna
berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak sekali faktor yang
mempengaruhi seperti sosiologi, ilmu kedokteran, keperawatan dan psikologi.
Selain itu, adanya perbedaan etnik, budaya, dan agama yang mempengaruhi
kualitas dan juga perbedaan disiplin ilmu dan perspektif yang berbeda maka
kualitas hidup sulit didefinisikan secara pasif (Fayers & Machin, 2007). Menurut
Fayers & Machin (2000), kualitas hidup merupakan sehat fisik, mental dan sosial
dan terlepas dari penyakit. Kualitas hidup berarti hidup yang baik, hidup yang
baik sama seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi (Ventegodt,
Merrick, Andersen, 2003).
The Centre for health Promotion (2007), menyatakan bahwa kualitas
hidup sebagai tingkat kesenangan dan ketidak senangan seseorang terhadap hal
yang penting dalam hidupnya, misalnya kelebihan dan keterbatasan seseorang
dalam hidup dan refleksi interaksi personal dengan lingkungan. Kesenangan
meliputi dua komponen yaitu pengalaman yang menyenangkan dan sikap serta
karakteristik orang terhadap kesenangan. The Centre for health Promotion,
Universitas Sumatera Utara
26
mengemukakan ada tiga domain dari kualitas hidup yaitu personal (being).
Kepemilikan (belonging) dan tujuan hidup (becoming). Sejalan dengan Hampton
dan Qin-Hilliard (2004) yang menemukan bahwa dimensi kualitas hidup pada
pasien injuri pada tulang belakang adalah meliputi masalah hubungan dengan
keluarga besar, tetangga, dukungan pemerintah dan hidup damai.
Definisi kualitas hidup dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup
merupakan sebuah fenomena abstrak dan pengalaman individu yang sangat
subjektif. Setiap orang mempersepsikan dan mengekspresikan pengalaman hidup
sesuai dengan tingkat kehidupan dan kapasitas individu tersebut. Orang dengan
kesenangan dan pencapaian hidup yang lebih baik sesuai dengan setting yang
mereka buat akan menyatakan kualitas hidupnya baik sementara orang dengan
kualitas hidup kurang baik bilamana apa yang mereka telah tentukan dalam
hidupnya tidak tercapai atau kurang dapat memenuhi keinginan subjektifnya.
2.3.2 Komponen Kualitas Hidup
Beberapa literatur menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi dalam tiga
bagian yaitu (1) Internal individu dalam kualitas hidup dibagi tiga yaitu secara
fisik, psikologis, dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik,
personal higienis, nutrisi, olahraga, pakaian, dan penampilan fisik secara umum.
Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologis,
kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri, dan kontrol diri. Secara spiritual
terdiri dari nilai-nilai pribadi dan kepercayaan spiritual. (2) Kepemilikan
Universitas Sumatera Utara
27
(hubungan individu dengan lingkungan) dalam kualitas hidup dibagi dua yaitu
secara fisik dan sosial. Secara fisik yang terdiri dari rumah, tempat kerja/sekolah,
secara sosial terdiri dari tetangga/lingkungan dan masyarakat, keluarga,
teman/rekan kerja, lingkungan dan masyarakat. (3) Harapan (prestasi dan aspirasi
individu) dalam kualitas dapat dibagi dua yaitu secara praktis dan pekerjaan.
Secara praktis yaitu rumah tangga, pekerjaan, aktivitas sekolah atau sukarela dan
pencapaian kebutuhan atau sosial. Secara pekerjaan yaitu aktivitas peningkatan
pengetahuan dan kemampuan serta adaptasi terhadap perubahan dan penggunaan
waktu santai, aktivitas relaksasi dan reduksi stress.
World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL) membagi kualitas
hidup dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan
sosial, lingkungan, spiritual, agama atau kepercayaan seseorang (WHO, 1998).
Domain fisik WHOQOL membagi domain fisik pada tiga bagian, yaitu: (1) Nyeri
dan ketidak nyamanan, aspek ini mengeksplor sensasi fisik yang tidak
menyenangkan yang dialami individu, dan berubah menjadi sensasi yang
menyedihkan dan mempengaruhi hidup individu tersebut. Sensasi yang tidak
menyenangkan meliputi kekakuan, sakit, nyeri dengan durasi lama atau pendek,
bahkan penyakit gatal. Diputuskan nyeri bila individu mengatakan nyeri,
walaupun tidak ada alasan medis yang membuktikan(WHO, 1998). (2) Tenaga
dan lelah, aspek mengeksplor tenaga, antusiasme dan keinginan individu untuk
selalu dapat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti rekreasi. Kelelahan membuat
individu tidak mampu mencapai kekuatan yang cukup untuk merasakan hidup
yang sebenarnya. Kelelahan merupakan akibat dari beberapa hal seperti sakit,
Universitas Sumatera Utara
28
depresi, atau pekerjaan yang terlalu berat (WHO, 1998). (3) Tidur dan istirahat,
aspek yang berfokus pada tidur dan istirahat. Masalah tidur termasuk kesulitan
untuk pergi tidur, bangun tengah malam, bangun di pagi hari dan tidak dapat
kembali tidur dan kurang segar saat bangun di pagi hari (WHO, 1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa Physical being sebagai aspek dari kesehatan fisik, kebersihan diri, nutrisi,
olahraga, perawatan, berpakaian, dan penampilan fisik. WHOQOL membagi
domain psikologis pada lima bagian, yaitu: (1) perasaan positif, aspek ini menguji
pengalaman perasaan positif individu dari kesukaan, keseimbangan, kedamaian,
kegembiraan, harapan, kesenangan dan kenikmatan dari hal yang baik dalam
hidup. Pandangan individu, dan perasaan pada masa depan merupakan bagian
penting dari segi ini (WHO, 1998). (2) berfikir, belajar, ingatan dan konsentrasi,
aspek ini mengeksplor pandangan individu terhadap pemikiran, pembelajaran,
ingatan, konsentrasi dan kemampuan dalam membuat keputusan. Keadaan ini juga
termasuk kecepatan dan kejelasan individu memberikan gagasan (WHO, 1998).
(3) Harga diri, aspek ini menguji apa yang individu rasakan yang memiliki jarak
dari perasaan positif sampai perasaan yang ekstrim negatif tentang diri mereka
sendiri. Perasaan seseorang dari harga sebagai individu dieksplor. Aspek dari
harga diri berfokus dengan perasaan individu dari kekuatan diri, kepuasan dengan
diri dan kendali diri (WHO, 1998). (4) Gambaran diri dan penampilan, aspek ini
menguji pandangan individu dengan tubuhnya. Apakah penampilan tubuh
kelihatan positif atau negatif. Fokus pada kepuasan individu dengan penampilan
yang dimilikinya pada konsep diri. Keadaan ini termasuk perluasan dimana
Universitas Sumatera Utara
29
apabila ada bagian tubuh yang cacat akan bisa dikoreksi misalnya, berdandan,
berpakaian, menggunakan organ buatan dan sebagainya (WHO, 1998). (5)
perasaan negatif, aspek ini berfokus pada pengalaman perasaan negatif individu,
termasuk putus asa, perasaan berdosa, kesedihan, tidak bersemangat, kegelisahan,
kecemasan, dan kurang bahagia dalam hidup. Segi ini termasuk pertimbangan dari
perasaan negatif yang menyedihkan yang berakibat pada fungsi keseharian
individu (WHO, 1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa psychological being sebagai aspek dari kesehatan psikologis dan
penyesuaian seseorang, pengertian, perasaan, dan perhatian pada evaluasi diri, dan
kontrol diri. WHOQOL membagi domain tingkat kebebasan pada empat bagian,
yaitu: (1) pergerakan merupakan aspek yang menguji pandangan individu
terhadap kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bergerak di
sekitar rumah, bergerak di sekitar tempat kerja, atau ke dan dari pelayanan
transportasi (WHO, 1998). (2) aktivitas hidup sehari-hari yaitu aspek yang
mengeksplor kemampuan individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari,
misalnya perawatan diri dan perhatian yang tepat pada kepemilikan. Tingkatan
dimana individu tergantung pada yang lain untuk membantunya dalam aktivitas
keseharian juga
berakibat
pada kualitas hidupnya (WHO, 1998). (3)
Ketergantungan pada pengobatan atau perlakuan yakni aspek yang menguji
ketergantungan individu pada medis atau pengobatan alternatif (seperti akupuntur
dan obat herbal) untuk mendukung fisik dan kesejahteraan psikologis. Pengobatan
pada beberapa kasus dapat berakibat negatif pada kualitas hidup individu (seperti
Universitas Sumatera Utara
30
efek samping dari kemoterapi) di saat yang sama pada kasus lain menambah
kualitas hidup individu (seperti pasien kanker yang menggunakan penghilang
nyeri) (WHO, 1998). (4) Kapasitas pekerjaan yaitu aspek yang menguji
penggunaan energi individu untuk bekerja. Bekerja didefenisikan sebagai aktivitas
besar dimana individu disibukkan. Aktivitas besar termasuk pekerjaan dengan
upah, pekerjaan tanpa upah, pekerjaan sukarela untuk masyarakat, belajar dengan
waktu penuh, merawat anak dan tugas rumah tangga (WHO, 1998).
Domain hubungan sosial , WHOQOL membagi domain hubungan sosial
pada tiga bagian, yaitu: (1) Hubungan perorangan merupakan aspek yang menguji
tingkatan perasaan individu pada persahabatan, cinta, dan dukungan dari
hubungan yang dekat dalam kehidupan. Aspek ini termasuk pada kemampuan dan
kesempatan untuk mencintai, dicintai dan lebih dekat dengan orang lain secara
emosi dan fisik. Tingkatan dimana individu merasa mereka bisa berbagi
pengalaman baik senang maupun sedih dengan orang yang dicintai. (WHO, 1998).
(2) Dukungan sosial merupakan aspek yang menguji apa yang individu rasakan
pada tanggung jawab, dukungan, dan bantuan dari keluarga dan teman. Aspek ini
berfokus pada banyak yang individu rasakan pada dukungan keluarga dan teman,
faktanya pada tingkatan mana individu tergantung pada dukungan di saat sulit
(WHO, 1998). (3) aktivitas seksual merupakan aspek yang berfokus pada
dorongan, dan hasrat pada seks, serta tingkatan dimana individu dapat
mengekspresikan dan senang dengan hasrat seksual yang tepat (WHO, 1998).
Universitas Sumatera Utara
31
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa social belonging sebagai hubungan dengan lingkungan sosial dan termasuk
perasaan dari penerimaan yang keluarga, teman, rekan kerja, dan tetangga serta
masyarakat. WHOQOL membagi domain lingkungan pada delapan bagian, yaitu:
(1) keamanan fisik dan keamanan, aspek ini menguji perasaan individu pada
keamanan dari kejahatan fisik. Ancaman pada keamanan bisa timbul dari
beberapa sumber seperti tekanan orang lain atau politik. Aspek ini berhubungan
langsung dengan perasaan kebebasan individu (WHO, 1998). (2) lingkungan
rumah, aspek ini menguji tempat yang terpenting dimana individu tinggal (tempat
berlindung dan menjaga barang-barang). Kualitas sebuah rumah dapat dinilai pada
kenyamanan, tempat teraman individu untuk tinggal (WHO, 1998). (3) sumber
penghasilan, aspek ini mengeksplor pandangan individu pada sumber penghasilan
(dan sumber penghasilan dari tempat lain). Fokusnya pada apakah individu dapat
mengahasilkan atau tidak dimana berakibat pada kualitas hidup (WHO, 1998). (4)
kesehatan dan perhatian sosial: ketersediaan dan kualitas, aspek ini menguji
pandangan individu pada kesehatan dan perhatian sosial di sekitar (WHO, 1998).
(5) kesempatan untuk memperoleh informasi baru dan keterampilan, aspek ini
menguji kesempatan individu dan keinginan untuk mempelajari keterampilan
baru, mendapatkan pengetahuan baru, dan peka pada apa yang terjadi, misalnya
program pendidikan formal, atau pembelajaran orang dewasa atau aktivitas di
waktu luang, baik dalam kelompok atau sendiri (WHO, 1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa Growth becoming sebagai kegiatan perbaikan atau pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
32
pengetahuan dan keterampilan yaitu partisipasi dalam kesempatan berekreasi dan
waktu luang, aspek ini mengeksplor kemampuan individu, kesempatan dan
keinginan untuk berpartisipasi dalam waktu luang, hiburan dan relaksasi (WHO,
1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa leisure becoming sebagai aktivitas yang menimbulkan relaksasi dan
penurunan stress misalnya, permainan kartu, pembicaraan dengan tetangga, dan
kunjungan keluarga, atau aktivitas dengan durasi yang lama seperti liburan.
Leisure becoming ini terdiri dari (1) Lingkungan fisik (polusi/ keributan/
kemacetan/ iklim), aspek ini menguji pandangan individu pada lingkungannya.
Hal ini mencakup kebisingan, polusi, iklim dan estetika lingkungan dimana
pelayanan ini dapat meningkatkan atau memperburuk kualitas hidup (WHO,
1998). (2) Transportasi, aspek ini menguji pandangan individu pada seberapa
mudah untuk menemukan dan menggunakan pelayanan transportasi (WHO,
1998).
Domain Spiritual/ agama/ kepercayaan seseorang, aspek ini menguji
kepercayaan individu dan bagaimana dampaknya pada kualitas hidup yang dapat
membantu individu untuk mengkoping kesulitan hidup, memberi kekuatan pada
pengalaman, aspek ini ditujukan pada individu dengan perbedaan agama (Buddha,
Kristen, Hindu, dan Islam), sebaik individu dengan kepercayaan individu dan
kepercayaan spiritual yang tidak sesuai dengan orientasi agama (WHO, 1998).
Universitas Sumatera Utara
33
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwam Spiritual being sebagai refleksi nilai diri, standar diri dari tingkah laku,
dan kepercayaan spiritual dimana terhubung atau tidak dengan pengaturan
kepercayaan World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF
membagi kualitas hidup dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, hubungan
sosial, dan lingkungan.
2.3.3 Masalah Stroke yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Beberapa masalah yang dialami pasien stroke dapat sangat mempengaruhi
kualitas hidupnya, antara lain adalah (1) Nyeri merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan oleh pasien stroke. Berbagai penyebab nyeri yang timbul
antara lain; nyeri bahu, nyeri akibat spastisitas. Nyeri bahu merupakan masalah
yang sering terjadi pada pasien stroke. Komplikasi ini disebabkan oleh
peregangan dan peradangan sendi bahu yang melemah, dan sangat sering pada
pasien dengan tungkai atas atau bawah yang lemah, atau mereka yang memiliki
riwayat gangguan tungkai atas, diabetes melitus, dan tinggal sendiri di rumah.
Seperti pada banyak komplikasi stroke lain, nyeri bahu jauh lebih mudah dicegah
daripada diobati. Pada kenyataannya, sekali terbentuk, nyeri ini cenderung
menetap, sering kali semakin buruk, terutama jika tidak terapi dengan benar, dan
dapat menyebabkan cacat yang signifikan.
Tindakan pencegahan terbaik adalah penempatan posisi dan reposisi di
tempat tidur menopang lengan yang lemah (lumpuh) dengan bantal atau sandaran
Universitas Sumatera Utara
34
tangan jika mungkin; menghindari peregangan sendi bahu, terutama oleh tarikan
pada lengan lemah; dan menopang lengan yang lemah dengan lengan yang normal
atau dengan menggunakan perban saat berjalan sehingga lengan tersebut tidak
terkulai ke bawah (Smeltzer & Bare, 2008). (2) Mobilitas merupakan tujuan
utama perawatan penderita stroke karena kelumpuhan membuat mereka tidak
berdaya. Kasus paralisis ekstremitas patut mendapatkan perhatian khusus.
Perawatan harus ditekankan untuk melihat pasien tidak berada diatas kaki dengan
terlalu lama dan adanya sirkulasi pada bagian tertentu yang terhambat. Untuk
mencegah kontraktur perawat yakin bahwa pasien dalam posisi yang benar dan
sendi-sendi digerakkan dengan sakit atau pasif melalui latihan rentang gerakan
beberapa kali setiap hari. Pasien dengan gangguan neurologis mempunyai resiko
kontraktur: berbaring ditempat tidur menyebabkan kaki dalam keadaan jatuh
dengan plantar dalam keadaan fleksi dan pinggul serta lutut menjadi fleksi.
Jaringan fibrosa menjadi kaku didalam otot dan spastisitas yang nyeri
memperberat masalah. Kunci dalam mencegah nyeri tipe ini yaitu dengan posisi
pasien yang benar dengan menggunakan latihan rentang gerak dalam satu hari dan
mendukung pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri. Kelemahan otot
merupakan akibat dari lesi korteks, batang otak, medulla spinalis, ujung sel
anterior, saraf perifer, penghubung saraf otonom yang bertujuan untuk
peningkatan kekuatan otot (Smeltzer & Bare, 2008). (3) Perawatan diri dengan
gangguan fungsi neuromuskular dapat mempengaruhi aktivitas perawatan diri.
Pasien yang mengalami stroke akan mengalami gangguan dalam aktivitas hidup
sehari-hari. Perawat bekerjasama dengan anggota tim rehabilitasi lainnya,
Universitas Sumatera Utara
35
mengevaluasi rentang gerak pasien, sensasi, kekuatan otot, ketahanan, dan
koordinasi dan juga kemampuan belajar. Pasien diajarkan agar terampil dalam
merawat diri (Smeltzer & Bare, 2008). (4) Fungsi Sosial merupakan hasil yang
penting pada pasien stroke adalah berinteraksi dengan sosial/ masyarakat dengan
kembali beraktivitas. Aktivitas dalam mengisi waktu luang lebih penting dari
bekerja. Pembatasan aktivitas mengisi waktu luang mungkin akibat adanya
kegagalan fisik atau gangguan kognitif tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor
psikologis, atau bahkan karena ketakutan bahwa aktivitas akan memicu stroke
ulang. Berkurangnya aktivitas waktu luang akan menyebabkan isolasi sosial,
perubahan afek/mood, dan berpengaruh buruk terhadap hubungan antar pasien
dengan keluarga atau perawatnya. Oleh karena itu perlunya konseling yang baik
antara pasien dan keluarga untuk tetap dapat mengisi waktu luang dengan
aktivitas dan kontak sosial. (4) Masalah Psikologis: Kecemasan/ depresi pada
pasien stroke sering mengalami gangguan psikologis non spesifik, depresi,
kecemasan. Depresi mempunyai dimensi perubahan pada mood, afektif, kognitif,
behavioral, neurovegetatif dan endokrin. Perubahan mood pada depresi berupa
kesedihan dan kehilangan kemampuan untuk bergembira. Kecemasan sering
didapatkan pada orang depresi. Kelainan afektif dapat terlihat dari muka dan sikap
yang sedih dan sering menangis. Perubahan kognitif yang terjadi adalah
kehilangan motivasi, inisiatif dan menjadi apatis. Penderita menjadi merasa tidak
berdaya, tidak berguna, tidak dapat konsentrasi dan merasa tidak dapat menolong
dirinya sendiri, bahkan terkadang disertai juga perasaan gangguan organik.
Beberapa diantaranya ada yang menarik diri dari pergaulan/kegiatan sosial,
Universitas Sumatera Utara
36
disertai halusinasi dan delusi. (5) Masalah kognitif pada pasien stroke mengalami
masalah kognitif, perilaku dan penurunan emosi akibat kerusakan otak. Derajat
fungsi dapat kembali pulih karena tidak semua daerah otak rusak bersama-sama;
beberapa yang tersisa lebih utuh dan berfungsi dari pada yang lain.
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan pengalaman subjektif akan dipengaruhi oleh
kemampuan individu dalam memahami hidupnya. Banyak faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien paska serangan stroke. Faktor fisik, dan
fungsional sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien stroke. Ahlsio, et al
(2008) menemukan bahwa pada pasien pasca serangan stroke dengan keterbatasan
gerak mempunyai kualitas hidup lebih rendah dari pada tanpa keterbatasan gerak.
Ditemukan pula bahwa pasien dengan keterbatasan fisik paska serangan stroke
mengalami gangguan psikologis diantaranya depresi dan stres.
Universitas Sumatera Utara
37
Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup sangat banyak, seperti
keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan dan lain-lain. Faktor-faktor
tersebut saling terkait satu sama lain. Walaupun seseorang mempunyai keuangan
yang cukup belum tentu mempunyai kualitas hidup yang baik, jika orang tersebut
menderita penyakit kronik begitu juga sebaliknya. Banyak faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup, sehingga dalam bidang kesehatan yang dibicarakan
adalah kualitas hidup yang terkait kesehatan (Guyat et al, 1993). Konsep kualitas
hidup baru mulai berkembang pesat dimana adanya peningkatan penelitian
kualitas hidup dari tahun 1980-1997 dari 0.6% menjadi 4.2% dari seluruh
penelitian (Garrat et al, 2002).
Faktor lain yang menjadi alas an pentingnya kualitas hidup adalah adanya
perbedaan kemampuan adaptasi seseorang terhadap penyakit. Misalnya pada
kasus seseorang dengan penyakit sendi yang sama, dapat memberikan status
fungsional fungsional dan status emosional yang berbeda. Sehingga pada kasus
seperti ini, seorang pasien masih dapat bekerja sedangkan pasien lain sudah
berhenti bekerja (Guyatt et al., 1993).
Marcel, et al (2008) menemukan bahwa masalah psikologis sangat
mempengaruhi kualitas hidup pasien pasca serangan stroke. Masalah psikologis
yang dirasakan oleh kebanyakan pasien pasien serangan stroke adalah depresi,
kecemasan dan kelelahan psikologis atau ketidakberdayaan. Dalam hal ini
ditemukan pula bahwa ada perbedaan kualitas hidup pasien laki-laki dengan
wanita.
Universitas Sumatera Utara
38
Bays dan Cathy (2001), menemukan bahwa kualitas hidup pasien paska
serangan stroke dipengaruhi oleh gangguan psikologis, parahnya kerusakan fisik,
tingkat keparahan afasia yang dialami pasien, reaksi yang tidak adekuat terhadap
penyakitnya, pesimis dan ketidakmampuan untuk kembali bekerja. Dua puluh
persen sampai tujuh puluh persen dari kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh
adanya depresi (gangguan psikologis), Kemampuan fungsional dan hubungan
sosial dengan sekitarnya.
Kualitas hidup terkait kesehatan dapat diukur dengan menggunakan
instrumen yang berisikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seperti
yang sudah disebutkan diatas, yaitu mobilitas, rasa nyeri, gangguan depresi/
cemas dan ungkapan/ persepsi seseorang tentang kualitas hidupnya dalam suatu
angka/skala. Untuk menetapkan kualitas pasien stroke kita harus memilih
instrumen yang sesuai usulan yang dikemukakan oleh De Haan & Farransen
(2002) diantaranya harus jelas konsep kualitas hidup dalam hubungannya dengan
International classification of impairment, disabilities, and handicaps (ICIDH)
dari WHO.
Mengukur kualitas hidup digunakan untuk mengevaluasi intervensi
keperawatan terapeutik. Instrumen kualitas hidup dapat dibagi ke dalam skala
umum dan penyakit-spesifik. Tidak ada instrumen khusus pada pasien stroke
untuk mengevaluasi kualitas hidup saat ini (Williams, 1998). Walaupun stroke
merupakan masalah utama, metode terbaik untuk mengukur hasil stroke tidak
jelas, sebagian disebabkan oleh heterogenitas tanda-tanda dan gejala stroke
Universitas Sumatera Utara
39
(Williams, 1998). Kualitas hidup sebagian besar dinilai oleh instrumen tergantung
pada laporan diri. Metode pengumpulan data sangat tidak cocok untuk pasien
dengan kognitif atau komunikatif (De Haan & Faranson, 2002; Sneeuw et al,
1997). Pemilihan ukuran kualitas hidup harus didasarkan pada atribut psikometri
yang termasuk kelayakan, validitas, reliabilitas, dan kepekaan terhadap perubahan
(Norman et al, 1998). Penelitian outcome pasien stroke memerlukan skala kualitas
hidup yang spesifik yang memfokuskan pada masalah spesifik pasien stroke.
Instrumen harus dapat membedakan efek akibat stroke dengan akibat
bertambahnya usia.
2.3.5 Domain Kualitas Hidup
Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur
kualitas hidup berdasarkan kuesioner oleh WHO (World Health Organization),
bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan
aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang
yang termasuk kualitas hidup adalah kesehatan fisik (physical health), kesehatan
umum, nyeri, energy dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat, Kesehatan
psikologis (physichological health), cara berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi, tingkat aktivitas (level of independence), mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja, hubungan sosial (sosial relationship),
hubungan sosial, dukungan sosial, lingkungan (environment), keamanan,
lingkungan rumah, kepuasan kerja (Herman, 1993).
Menurut Ware dan Sherbourne (1992), kualitas hidup dapat diukur dengan
menggunakan instrumen pengukuran kuali
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Stroke Iskemik
2.1.1 Definisi
Stroke iskemik adalah kerusakan permanen dan kematian jaringan yang
berlangsung secara tiba-tiba yang disebabkan oleh oklusi pembuluh darah fokal
yang menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan glukosa ke otak dan
kegagalan proses metabolisme di daerah yang terlibat (Hacke et al, 2003;
Roberthus, 2008; Woodward, S., & Mestecky, A.M , 2011).
2.1.2 Angka Kejadian
Insiden penyakit stroke iskemik meningkat setiap tahun. Peningkatan
jumlah pasien stroke iskemik menyebabkan kenaikan jumlah kematian. Stroke
merupakan penyebab
kematian terbanyak ketiga di Amerika Serikat setelah
penyakit jantung dan kanker (International Pharmaceutical Manufacturers
Group, 2014). Kira-kira 500.000 merupakan serangan pertama dan 200.000
merupakan serangan ulang. Rata-rata pasien, setiap 45 detik di Amerika Serikat
akan mengalami stroke (Roberthus, 2008).
Rata-rata insidensi kejadian stroke di 52 negara yang memiliki studi
kejadian yang dilakukan di lebih dari satu daerah. Data diperoleh dari 123 negara
yang mengalami kematian pada pasien stroke terjadi lebih besar di Negara
Kazakstan pada tahun 2003. Insidensi kejadian stroke menurut badan kesehatan
dunia (WHO) berkisar 41 per 100.000 penduduk per tahun di dunia. Angka
kejadian stroke iskemik di Indonesia mencapai 8.3 per 1000 penduduk dan daerah
8
Universitas Sumatera Utara
9
yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam
(16.6 per 1000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3.8 per 1000
penduduk).Insidensi kejadian stroke yang tertingg i berdasarkan Riset Kesehatan
Dasar, 2013 adalah kota Sulawesi Utara (10.8 persen), Yogyakarta (10.3 persen),
Bangka Belitung dan DKI Jakarta (9.7 persen). Penyebab kematian dan kecacatan
utama di hampir seluruh rumah sakit di Indonesia adalah penyakit stroke sejak
tahun 1991 hingga 2013 (Rikesdas, 2013).
2.1.3 Penyebab dan Faktor Risiko
Stroke iskemik dapat menyebabkan banyak masalah pada pembuluh darah,
jantung dan darah. Hudak, et al (1996) menyatakan bahwa stroke disebabkan oleh
salah satu dari empat kejadian di bawah, yaitu: (1) Trombosis merupakan bekuan
darah di dalam pembuluh darah otak atau leher yang menyumbat aliran darah ke
otak. Trombosis bersama emboli hampir menjadi penyebab dari tiga perempat
kasus stroke. (2) Emboli serebral merupakan bekuan darah seperti lemak yang
mengalir melalui pembuluh darah dibawa ke otak, dan menyumbat aliran darah ke
bagian otak tertentu. (3) Spasme pembuluh darah serebral merupakan penurunan
aliran darah ke area otak tertentu yang bersifat sementara. Umumnya merupakan
akibat dari spasme pembuluh darah otak. (4) Hemoragik serebral atau perdarahan
serebral yang terjadi dalam ruang otak yaitu pecahnya pembuluh darah serebral
dengan perdarahan dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak sehingga
menimbulkan stroke hemoragik. Stroke jenis ini terjadi sekitar satu pertiga dari
seluruh kejadian stroke dan presentasi penyebab kematian lebih besar dari stroke
iskemik atau stroke non hemoragik.
Universitas Sumatera Utara
10
Faktor risiko yang dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor risiko
yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor risiko yang dapat dimodifikasi. Faktor
yang tidak dapat dimodifikasi merupakan faktor yang dapat diubah, terdiri dari
usia, jenis kelamin, faktor genetik atau keturunan, dan ras atau etnik sedangkan
faktor yang dapat dimodifikasi merupakan faktor yang dapat dieliminasi
sehingga risiko stroke menjadi lebih rendah bahkan dapat ditiadakan (Lingga,
2013). Faktor yang dapat dimodifikasi ini meliputi: hipertensi, Diabetes mellitus,
dislipidemia, alkohol, kelainan anatomis, penyakit jantung, Transient ischemic
attack (TIA), merokok, kurangnya aktivitas fisik, pola diit, kontrasepsi oral,
obesitas, stress fisik, mental dan fibrinogen. Beberapa faktor risiko tambahan
meliputi lipoprotein (a)/Lp (a), LDL yang teroksidasi, inflamasi dan infeksi serta
hiperhomosisteinemi.
Stroke iskemik akan berisiko terjadi stroke ulang bila faktor risikonya tidak
dikendalikan, misalnya pada dislipidemia, hasil penelitian yang dilakukan The
Stroke Prevention by Aggressive Reduction in Colesterol Levels (SPARCL)
tahun 2006, pada orang pasca stroke iskemik atau TIA dengan dislipidemia
sekitar 13.1% mengalami kejadian stroke ulang. Autoregulasi serebral tidak
efektif bila tekanan darah sistemik di bawah 50 mmHg dan di atas 160 mmHg
(LeMone & Burke, 2008). Pengontrolan tekanan darah yang adekuat dapat
menurunkan serangan stroke sebesar 38% (Biller & Love, 2000, dalam Black &
Hawks, 2005). Diabetes mellitus (DM) merupakan faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian stroke dan kematian setelah serangan stroke (Ignativius
& Workman, 2006).
Universitas Sumatera Utara
11
2.1.4. Tanda dan Gejala
Manifestasi stroke sangat beragam, tergantung dari arteri serebral yang
terkena dan luasnya kerusakan jaringan serebral. Manisfestasi klinik yang sering
terjadi diantaranya adalah kelemahan pada alat gerak, penurunan kesadaran,
gangguan penglihatan, gangguan komunikasi, sakit kepala dan gangguan
keseimbangan. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi secara mendadak, fokal dan
mengenai satu sisi bagian tubuh (LeMone & Burke, 2008).
Geoffrey, et al (2008) menemukan bahwa sebagian besar pasien paska
serangan stroke memiliki keterbatasan gerak, gangguan penglihatan, gangguan
bicara dan gangguan kognitif. Selain aspek fisik ditemukan pula bahwa pasien
paska serangan stroke mengalami gangguan psikologis seperti depresi, cemas,
ketakutan dan menarik diri dari kehidupan sosial.
Stroke dapat menyebabkan berbagai gangguan neurologi, tergantung pada
lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya
kurang dan jumlah aliran darah kolateral. Gambaran klinik utama dikaitkan
dengan insufisiensi aliran darah ke otak dapat dihubungkan dengan tanda-tanda
dan gejala-gejala di bawah ini, (Black & Hawks, 2005):
a. Vertebro basilaris (sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral);
Kelemahan salah satu dari empat anggota tubuh, peningkatan reflex
tendon, ataksia, tanda babinski bilateral, tanda-tanda sereblar, disfagia,
disartria, sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan, gangguan
penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralisis gerakan satu mata),
muka terasa baal.
Universitas Sumatera Utara
12
b. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior, gejala-gejalanya biasanya
unilateral). Lokasi lesi yang paling sering biasanya pada bifurkasio arteri
karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan karotis eksterna.
Berbagai sindroma, polanya tergantung dari jumlah sirkulasi kolateral;
kebutaan monocular, disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke
retina, terasa baal pada ekstremitas atas, dan mungkin juga menyerang
wajah. Jika terjadi pada hemisfer yang dominan maka akan timbul gejalagejala afasia ekspresif.
c. Arteri serebri anterior, gejala yang paling primer adalah kebingungan; rasa
kontralateral lebih besar pada tungkai. Lengan bagian proksimal mungkin
ikut terserang. Timbul gerakan volunteer pada tungkai yang terganggu,
gangguan sensori kontra lateral, dimensia, reflek mencekram dan reflex
patologis (disfungsi lobus frontalis), arteri serebri posterior (dalam lobus
otak tengah atau talamus); (koma, hemiparesis kontralateral, afasia visual
atau buta kata (aleksia), kelumpuhan saraf kranial ketiga –hemianopia,
koreo-athetosis, arteri serebri media; mono paresis atau hemiparesis
kontralateral (biasanya mengenai lengan), kadang-kadang heminopia
kontralateral (kebutaan), afasia global (jika hemisfer dominan yang
terkena) gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan
percakapan dan komunikasi, disfagia.
Universitas Sumatera Utara
13
2.2 Status Fungsional
2.2.1 Definisi
Status fungsional merupakan kesehatan sebagai keadaan fisik, mental, dan
kesejahteraan yang lengkap, bukan hanya tidak ada penyakit dan kelumpuhan.
Secara umum, status fungsional merupakan keadaan dari fungsi anggota tubuh
(WHO, 2002). Status fungsional memiliki beberapa istilah yang berbeda dengan
beragam definisi dan alat ukur dari yang terbatas sampai luas. Status fungsional
mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi dimana karakteristik
kemampuan individu untuk memenuhi kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan
dasar, berperan secara penuh, memelihara kesehatan, serta kesejahteraan (Ledi,
1994; dikutip dari Ridge & Goodson, 2000). Status fungsional individu
mencerminkan reaksinya terhadap kondisi biologis, dan interaksi individu dengan
lingkungan dalam menilai fungsi, perhatian untuk individu, bukan hanya patologis
keadaan organisme. Individu adalah unit analisis dalam penilaian fungsional
bukan bagian tubuh atau sistem organ. Dengan demikian dapat didefinisikan,
status fungsional merupakan salah satu aspek atau dimensi kesehatan yang terdiri
dari manifestasi fisik, tanda gejala dan status fungsional. Fungsi fisik adalah
dimensi dari status fungsional yang diterima dari terapis. Status fungsional dilihat
dari aktivitas sehari-hari pasien (Donna, 2012).
Status fungsional adalah suatu konsep mengenai kemampuan melakukan
self-care, self-maintenance, dan aktivitas fisik (Wilkinson, 2011). Status
fungsional juga merupakan konsep multidimensi karakteristik kemampuan
individu untuk menunjang kebutuhan hidup, dimana sebagai jalan untuk normal
Universitas Sumatera Utara
14
dengan memenuhi kebutuhan dasar hidup (Dahlan et al., 2006). Perry dan Potter
(2005) memberikan definisi status fungsional sebagai kapasitas fungsional dan
penurunannya dilihat dari kapasitas fungsi residual dengan defisit residual. Defisit
residual adalah perbedaan fungsi original dengan fungsi residual. Perubahan
status fungsional selalu terjadi sebagai tanda pertama dari penyakit atau
kelanjutan dari kondisi kronis (Saltzman, 2011). Menurut Saltzman (2011), status
fungsional dilihat dari dua aspek yaitu tujuan dari pengkajian fungsional dan
komponen pengkajian fungsional. Tujuan pengkajian fungsional adalah sebagai
gambaran indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kebutuhan individu akan
perawatan, memonitor perubahan sepanjang waktu, serta mengoptimalisasikan
cost effectiveness operasi klinik.
Dari perspektif lain, kemampuan fungsional dapat terganggu akibat dari
kesehatan yang buruk, penyakit, kelemahan, dan penyakit yang mengganggu
kemampuan seseorang dalam beraktivitas sehari-hari untuk melakukan peran
sosial yang diharapkan. Dimana menuntut para professional kesehatan berusaha
untuk meningkatkan kemampuan fungsional (Donna, 2012). Hasil penelitian
Rachmawati, (2013) tentang gambaran status fungsional pasien stroke saat masuk
ruang rawat inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru menemukan bahwa status
fungsional pasien stroke terbanyak adalah dependent total (0-20) berjumlah 39
orang (78.0 %). Keseluruhan sampel pasien stroke saat awal masuk ruang rawat
inap RSUD Arifin Achmad Pekanbaru melakukan aktivitas perawatan diri dan
mobilisasi. Aktivitas perawatan diri yang dilakukan penilaian terkait kemampuan
makan, mandi, kebersihan diri, berpakaian, defekasi, miksi, penggunaan toilet.
Universitas Sumatera Utara
15
Dimana aktivitas mobilisasi yang terdiri dari transfer (berpindah dari tempat tidur
ke kursi dan kembali ke tempat tidur), mobilitas dan kemampuan naik tangga.
Ketidak mampuan ini dikarenakan penyakit stroke yang dialami dapat
menyebabkan kelumpuhan motorik, karena kendali otak tubuh bagian kiri telah
mengalami iskemik. Keadaan ini menyebabkan pasien stroke sulit untuk
melakukan gerakan tangan dan kaki dibagian otak yang terserang stroke, sehingga
pasien membutuhkan bantuan orang lain. Hal inilah menunjukkan jika pasien
terserang stroke secara langsung dalam waktu serangan stroke terjadi maka pasien
akan mengalami ketidakberfungsian bagian otak tertentu sehingga akan
mempengaruhi aktivitas gerak tubuh dan kehidupan sehari-hari (Rachmawati,
2013).
Selain itu penurunan kemampuan dapat terjadi dikarenakan penurunan
kesadaran serta daerah otak tertentu tidak berfungsi dengan baik yang
menyebabkan terganggunya aliran darah atau pecahnya pembuluh darah dan
mengganggu kemampuan fungsional pasien (Suryati, 2007). Keadaan jaringan
otak yang mengalami gangguan akan dimonitor secara ketat agar dapat
mengantisipasi keadaan buruk yang akan terjadi pada pasien dalam beberapa jam
setelah serangan stroke. Pemeriksaan awal yang harus dilakukan di ruang rawat
darurat adalah pemeriksaan fungsi pernafasan, tekanan darah, fungsi jantung, dan
pemeriksaan analisa gas darah. Secara simultan dilakukan pengambilan darah
untuk pemeriksaan darah rutin, kimia darah, pemeriksaan koagulasi darah serta
pemeriksaan fungsi hematologi yang lain, dan bersamaan dengan tindakan
tersebut pasien dipasang cairan infus intravena serta pemeriksaan EKG. Selain itu
Universitas Sumatera Utara
16
dilakukan pemeriksaan Scan kepala atau MRI untuk mendapatkan kepastian
diagnosis berdasarkan jenis patologisnya (Perdossi, 2007).
2.2.2 Domain dari Fungsi
Aktivitas fungsional dengan hasil yang sama dapat dikelompokkan
bersama kedalam kategori atau domain. Domain dari fungsi ini terdiri dari domain
biofisik, domain psikologi, dan domain sosiokultural. Domain biofisik termasuk
kemampuan sensorimotorik yang memerlukan tindakan sehari-hari, misalnya
berpakaian, ambulasi, mempertahankan personal hygiene, dan memasak.
Domain psikologikal dipengaruhi oleh aktivitas intelektual. Motivasi,
konsentrasi, penyelesaian masalah, dan keadilan merupakan faktor-faktor yang
berkontribusi dalam fungsi psikological sebagai fungsi yang baik dimana
seseorang mengatasi stress yang dialaminya setiap hari. Domain psikological juga
mempengaruhi bagaimana menerima kemampuan untuk berfungsi, misalnya
ansietas, depresi, emosional, kesadaran diri, dan harga diri mempengaruhi fungsi
afektif (Guccione, 2000; Donna, 2012). Domain sosial budaya berhubungan
dengan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain dan berhasil dalam
aturan sosial dan kewajiban-kewajiban. Domain sosiocultural (sosial budaya)
merupakan aturan sosial dan aturan budaya yang berada pada masyarakat (terlihat
pada gambar 1).
Universitas Sumatera Utara
17
BIOPHYSICAL
DOMAIN
PSYCHOLOGICAL
DOMAIN
SOCIOCULTURAL
DOMAIN
Sensorimotor Tasks
Affect
Social roles
Motivation
Cultural roles
Cognitive ability
STATUS
FUNCTIONAL
Kebutuhan Perawatan diri
(Self Requisites)
Gambar 2.1. Tiga domain dari status fungsional (Donna, 2011).
2.2.3 Instrumen Status Fungsional
Komponen pengkajian fungsional meliputi penglihatan dan pendengaran,
mobilitas, kontinensia, nutrisi, status mental (kognisi dan afektif), lingkungan
rumah, dukungan sosial, serta ADL (Activities Daily Living) dan IADL
(Instrumental ADL). ADL dilihat dari aktivitas dasar seperti berpindah, ambulasi,
mandi, toileting, nutrisi, dll. IADL merupakan kebutuhan lebih komplek yang
merupakan kombinasi fungsi mental dan fisik seperti penggunaan telepon,
mempersiapkan makan, mengatur transportasi, serta mengatur pengeluaran.
Instrumen pengukuran status fungsional sangat beragam antara lain: Index of
Independent in Activities of Daily Livings (ADL), The Barthel Index, The Physical
Self-Maintenance Scale, A Rapid Disability Rating Scale, Stanford Health
Universitas Sumatera Utara
18
Assessment Questionairre, dan FIM Instruement (Wilkinson, 2011 & Loretz,
2005).
The Index of Independence in Activities of Daily Livings didesain untuk
mengkaji fungsi fisik pada lansia dan pasien dengan penyakit kronis. Instrumen
ini digunakan sebagai indikator penyakit kronik berat dan evaluasi dari tindakan.
Rating dikotomi pada enam fungsi ADL yang meliputi: mandi, berpakaian, pergi
ke toilet, berpindah dari tempat tidur ke kursi, kontinensia, dan makan, serta
memiliki tiga kategori skala independen.
Barthel Index digunakan untuk mengkaji kemandirian fungsional pada
domain perawatan personal dan mobilitas. Instrumen didesain untuk memonitor
penampilan pada pasien kronis atau fase rehabilitasi. Instrumen juga digunakan
untuk memprediksi lama waktu hari rawat dan indikasi sejumlah kebutuhan
perawatan.
The Physical Self-Maintenance Scale (PSMS) terdiri dari enam item dari
self-care yang didesain untuk mengukur yang digunakan dalam perencanaan dan
evaluasi tindakan pada lansia yang tinggal di komunitas atau institusi. Skala
berdasarkan teori perilaku manusia dimana hirarki yang komplek, seperti
pendekatan Katz Index. Hirarki berasal dari kesehatan fisik yang terdiri dari selfmaintenance ADL dan IADL, kognisi, penggunaan waktu, dan interaksi sosial.
The Rapid Disability Rating Scale (RDRS) mengandung 16 item
berdasarkan penilaian tenaga medis dengan tiga skala yaitu: tidak mengalami
kerusakan atau tidak membutuhkan pertolongan khusus; kerusakan moderat atau
membutuhkan asisten; serta substansial atau kerusakan lengkap atau asisten
Universitas Sumatera Utara
19
pengganti.
Skala
dikembangkan
sebagai
instrumen
penelitian
untuk
menyimpulkan kapasitas fungsional dan status mental pada pasien lansia di rumah
sakit dan komunitas.
The Stanford Health Assessment Questionarre mengukur tingkat kesulitan
dalam melakukan ADL. Instrumen didesain untuk pengkajian klinik pada arthritis
tetapi dapat digunakan pada penelitian untuk evaluasi perawatan. Kuisioner
berdasarkan model hirarki dengan mempertimbangkan efek dari penyakit seperti
kematian, ketidak mampuan, efek samping terapi, dan biaya kesehatan. Dimensi
kematian tergantung dari dua sub-dimensi: masalah atas/bawah anggota badan
untuk dimensi ketidakmampuan serta masalah fisik dan psikologis sebagai
dimensi ketidaknyamanan. Skala pengukuran terdiri dari 20 item pada fungsi
sehari-hari sampai minggu terakhir yaitu: berpakaian dan merawat diri, naik
tangga, makan, jalan, kebersihan, jangkauan, pegangan, dan aktivitas luar
ruangan.
Functional Independent Measure mengkaji ketidak mampuan fisik dan
kognitif dalam keperawatan. Instrumen digunakan untuk memonitor kemajuan
pasien dan mengkaji hasil akhir pada rehabilitasi. FIM terdiri dari 18 item
pertanyaan meliputi kemandirian dalam self-care, kontrol sphincter, mobilitas,
daya gerak, komunikasi, dan kognisi sosial. FIM bukan instrumen komprehensif
tetapi sebagai indikator dasar yang berfokus level ketidakmampuan sebagai
indikasi kebutuhan akan asisten untuk melakukan ADL.
Universitas Sumatera Utara
20
2.2.4 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Status Fungsional
Faktor-faktor yang berhubungan dengan status fungsional terdiri dari dari
delapan faktor antara lain adalah (1) Usia berkaitan dengan kondisi fisiologis dan
kemampuan melakukan pemulihan setelah kondisi paska stroke terutama dalam
melakukan aktivitas fisik. Aspek demografi usia berkaitan dengan perkembangan
yang memiliki perbedaan dalam perkembangan dan kepadatan tulang serta massa
otot pada usia remaja, dewasa awal, menengah, dan akhir (Perry & Potter, 2005).
(2) Lama hari rawat berkaitan dengan proses perkembangan masa penyembuhan
tulang serta didukung program terapi dan rehabilitasi yang menentukan
perkembangan kondisi secara keseluruhan. (3) Jenis kelumpuhan yang menurut
hasil penelitian Astrid (2008), menunjukkan bahwa peningkatan Range of Motion
dan kekuatan otot meningkatkan status fungsional. Peningkatan level aktivitas
berdasarkan efisiensi perbaikan tubuh, terutama sistem muskuloskletal (Ditmyer
et al., 2002). (4) Nyeri merupakan pengalaman universal individu, yang
didefinisikan sebagai pengalaman individu dan melaporkan adanya sensasi rasa
nyaman dan tidak nyaman yang bersifat subjektif tergantung persepsi individu
(DeLaune & Ladner, 2002). Persepsi individu menentukan kemampuan
mengontrol nyeri berdasarkan komponen kognitif, sensori, dan emosional. (5)
Kelelahan bersifat subjektif sebagai gejala yang tidak menyenangkan dimana
merupakan gabungan keseluruhan perasaan tubuh berkisar pada keletihan menuju
kepenatan dan mengganggu kemampuan fungsi atau kapasitas normal (Theander
& Unossean, 2004; dikutip dari Rean & Richardson, 1996).
Universitas Sumatera Utara
21
Kelelahan
menyebabkan
aktivitas
fisik
berkurang
sehingga
mengakibatkan penurunan fungsi fisik (Woung et al., 2010). Kelelahan
mengakibatkan
kesulitan
dalam
konsentrasi
dan
tidur,
kecemasan,
ketidakseimbangan, motivasi, dan interaksi sosial (Sung et al., 2009; dikutip dari
Olson, 2007). (6) Motivasi secara keseluruhan didefinisikan sebagai karakteristik
keadaan yang memiliki kecenderungan untuk fokus dalam kesiapan untuk
berperilaku (Carter & Kulbok, 2002). Banyak hal yang berkaitan dengan motivasi
seperti motivasi kesehatan, motivasi intrinsik, dan motivasi ekstrinsik dimana
motivasi intrinsik merupakan prekursor terhadap motivasi kesehatan. Motivasi
merupakan fokus sentral dalam berperilaku berdasarkan Health Believe Model
(Nunnery, 2008). Menurut Health Believe Model motivasi ditinjau dari perhatian
terhadap pola kesehatan secara keseluruhan, kesediaan untuk mencari dan
menerima arahan medis, bermaksud untuk patuh, aktivitas kesehatan positif
(Nunnery, 2008; dikutip dari Becker et al., 1977). Motivasi merupakan konsep
yang sangat bermanfaat pada fase rehabilitasi sebagai prediktor yang baik untuk
hasil rehabilitasi (Siegert & Taylor, 2004).
Perilaku pasien yang berkaitan dengan status fungsional merupakan bagian
dari self-care. Self-care terdiri dari sikap, norma subjektif, dan persepsi terhadap
kontrol lingkungan dimana motivasi merupakan pembentuknya (Peters &
Templin, 2010). Aktivitas fisik merupakan komponen status fungsional atau
kapasitas fungsional. Motivasi termasuk aspek psikososial yang mempengaruhi
toleransi melakukan aktivitas fisik (Perry & Potter, 2005). Motivasi self-care
status fungsional pada pola kesehatan dilihat dari perhatian melakukan aktivitas
Universitas Sumatera Utara
22
fisik. Kesediaan mencari dan menerima arahan berkaitan dengan kesediaan pasien
dalam melakukan aktivitas fisik. Aktivitas kesehatan yang positif merupakan
dilihat dari kemampuan klien untuk mandiri dalam hal melakukan aktivitas fisik.
(7) Fall-Efficacy didasari dari teori Bandura mengenai self-efficacy yang
didefinisikan
sebagai
kepercayaan
individu
mengenai
kemampuan
dan
keterampilan untuk berhasil melakukan tugas dan menghindari kegagalan (Arnold
& Faulkner, 2009). Fall-efficacy didefinisikan sebagai persepsi keyakinan diri
dalam menghindari kegagalan saat melakukan aktivitas dasar dalam aktivitas
sehari-hari, dikenali sebagai faktor resiko kemandirian serta penting sebagai
intervensi (Peterson et al., 2005; dikutip dari Tinetti et al.,1990). (8) Dukungan
keluarga adalah sikap, tindakan, dan penerimaan keluarga terhadap penderita yang
sakit. Keluarga berfungsi sebagai system pendukung bagi anggotanya dimana
anggota keluarga memandang bahwa orang yang bersifat mendukung, selalu siap
memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. Keluarga dapat diartikan
sebagai dukungan dari orang-orang yang berarti saat melewati masa transisi.
Level ketidakmampuan merupakan dasar perkembangan suatu penyakit
yang berkaitan dengan kelelahan, nyeri sendi, kekakuan yang mempunyai efek
terhadap aktivitas sehari-hari yang mempunyai hubungan dengan keluarga (Coty
& Wallston, 2010). Dukungan dari orang dekat merupakan bentuk dukungan
sosial yang dapat digunakan sebagai motivasi untuk meningkatkan aktivitas fisik
(Perry & Potter, 2005). Status fungsional menuju transisi kehidupan normal pada
penyakit serius memiliki hubungan dengan penampilan kemampuan berperan dan
beraktivitas yang dipengaruhi keluarga (Newman, 2005; dikutip dari Tulman &
Universitas Sumatera Utara
23
Fawcett, 1996). Dukungan keluarga merupakan fungsi keluarga dengan integritas
komponen meliputi adaptasi, partnership, perkembangan, afeksi dan resolve
(Loretz, 2005; dikutip dari Smilkstein, 1978).
Bentuk dukungan keluarga berupa dukungan emosional, penilaian
instrumental dan informative. Kehadiran keluarga selama berada di RS membantu
untuk memenuhi ADL. Bantuan yang berlebihan dapat mengurangi kemampuan
klien untuk mandiri sehingga berpengaruh terhadap status fungsional. Bantuan
yang diberikan akan mengurangi kesempatan dalam melakukan aktivitas secara
berulang-ulang. Latihan terbaik untuk memperbaiki kinerja adalah melakukannya
secara berulang-ulang aktivitas (Hoppenfeld & Murthy, 2011).
2.2.5 Peran Perawat berkaitan dengan Status Fungsional
Perawat berdasarkan teori Orem menentukan kondisi pasien tipe sistem
keperawatan berupa: sistem keperawatan penyeimbang menyeluruh, sebagian,
atau mendukung/mendidik, semua tergantung pada siapa yang dapat atau harus
menjalankan aksi-aksi self-care tersebut. Wholly/ totally compesantory nursing
system adalah sistem penyeimbang keperawatan meyeluruh dibutuhkan ketika
perawat harus meringankan ketidakmampuan total seorang pasien yang
hubungannya
dengan
kegiatan
merawat
yang
membutuhkan
tindakan
penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan
self-care secara menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu melakukan
aktifitas. Partially/ Partly compensatory nursing system dimana perawat
mengambil alih beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam
Universitas Sumatera Utara
24
memenuhi kebutuhan selfcare-nya, dijalankan saat perawat dan pasien
menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas
manipulatif atau penyembuhan. Supportif/ Edukatif nursing system dimana
perawat memberikan pendidikan kesehatan untuk memotivasi melakukan self
care, tetapi yang melakukan self care adalah pasien sendiri. Pasien perlu
dikondisikan untuk belajar menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara
eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak
dapat melakukan tanpa bantuan.
Perawat sebagai agen keperawatan (Nursing agency) melakukan asuhan
keperawatan meliputi berbagai karakteristik intervensi keperawatan sebagai
selfcare agency. Sementara itu Orem (2007) menyebutkan juga bahwa self care
agency adalah individu yang dapat memberikan bantuan dalam kegiatan
perawatan diri. Optimalisasi status fungsional oleh perawat dapat dilakukan
dengan metode bantuan diantaranya: guidance, teaching, support, directing,
providing the developmental environment.
Universitas Sumatera Utara
25
2.3 Kualitas hidup
2.3.1 Definisi
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa kualitas hidup merupakan tingkat dimana seseorang menikamti hal-hal
penting yang mungkin terjadi dalam hidupnya. Masing-masing orang memiliki
kesempatan dan keterbatasan dalam hidupnya yang mereflesikan interaksi dan
lingkungan. Definisi lain dari kualitas hidup adalah komponen kebahagian dan
kepuasan terhadap kehidupan. Akan tetapi kualitas hidup seringkali bermakna
berbeda pada setiap orang karena mempunyai banyak sekali faktor yang
mempengaruhi seperti sosiologi, ilmu kedokteran, keperawatan dan psikologi.
Selain itu, adanya perbedaan etnik, budaya, dan agama yang mempengaruhi
kualitas dan juga perbedaan disiplin ilmu dan perspektif yang berbeda maka
kualitas hidup sulit didefinisikan secara pasif (Fayers & Machin, 2007). Menurut
Fayers & Machin (2000), kualitas hidup merupakan sehat fisik, mental dan sosial
dan terlepas dari penyakit. Kualitas hidup berarti hidup yang baik, hidup yang
baik sama seperti hidup dengan kehidupan yang berkualitas tinggi (Ventegodt,
Merrick, Andersen, 2003).
The Centre for health Promotion (2007), menyatakan bahwa kualitas
hidup sebagai tingkat kesenangan dan ketidak senangan seseorang terhadap hal
yang penting dalam hidupnya, misalnya kelebihan dan keterbatasan seseorang
dalam hidup dan refleksi interaksi personal dengan lingkungan. Kesenangan
meliputi dua komponen yaitu pengalaman yang menyenangkan dan sikap serta
karakteristik orang terhadap kesenangan. The Centre for health Promotion,
Universitas Sumatera Utara
26
mengemukakan ada tiga domain dari kualitas hidup yaitu personal (being).
Kepemilikan (belonging) dan tujuan hidup (becoming). Sejalan dengan Hampton
dan Qin-Hilliard (2004) yang menemukan bahwa dimensi kualitas hidup pada
pasien injuri pada tulang belakang adalah meliputi masalah hubungan dengan
keluarga besar, tetangga, dukungan pemerintah dan hidup damai.
Definisi kualitas hidup dapat disimpulkan bahwa kualitas hidup
merupakan sebuah fenomena abstrak dan pengalaman individu yang sangat
subjektif. Setiap orang mempersepsikan dan mengekspresikan pengalaman hidup
sesuai dengan tingkat kehidupan dan kapasitas individu tersebut. Orang dengan
kesenangan dan pencapaian hidup yang lebih baik sesuai dengan setting yang
mereka buat akan menyatakan kualitas hidupnya baik sementara orang dengan
kualitas hidup kurang baik bilamana apa yang mereka telah tentukan dalam
hidupnya tidak tercapai atau kurang dapat memenuhi keinginan subjektifnya.
2.3.2 Komponen Kualitas Hidup
Beberapa literatur menyebutkan kualitas hidup dapat dibagi dalam tiga
bagian yaitu (1) Internal individu dalam kualitas hidup dibagi tiga yaitu secara
fisik, psikologis, dan spiritual. Secara fisik yang terdiri dari kesehatan fisik,
personal higienis, nutrisi, olahraga, pakaian, dan penampilan fisik secara umum.
Secara psikologis yang terdiri dari kesehatan dan penyesuaian psikologis,
kesadaran, perasaan, harga diri, konsep diri, dan kontrol diri. Secara spiritual
terdiri dari nilai-nilai pribadi dan kepercayaan spiritual. (2) Kepemilikan
Universitas Sumatera Utara
27
(hubungan individu dengan lingkungan) dalam kualitas hidup dibagi dua yaitu
secara fisik dan sosial. Secara fisik yang terdiri dari rumah, tempat kerja/sekolah,
secara sosial terdiri dari tetangga/lingkungan dan masyarakat, keluarga,
teman/rekan kerja, lingkungan dan masyarakat. (3) Harapan (prestasi dan aspirasi
individu) dalam kualitas dapat dibagi dua yaitu secara praktis dan pekerjaan.
Secara praktis yaitu rumah tangga, pekerjaan, aktivitas sekolah atau sukarela dan
pencapaian kebutuhan atau sosial. Secara pekerjaan yaitu aktivitas peningkatan
pengetahuan dan kemampuan serta adaptasi terhadap perubahan dan penggunaan
waktu santai, aktivitas relaksasi dan reduksi stress.
World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL) membagi kualitas
hidup dalam enam domain yaitu fisik, psikologis, tingkat kebebasan, hubungan
sosial, lingkungan, spiritual, agama atau kepercayaan seseorang (WHO, 1998).
Domain fisik WHOQOL membagi domain fisik pada tiga bagian, yaitu: (1) Nyeri
dan ketidak nyamanan, aspek ini mengeksplor sensasi fisik yang tidak
menyenangkan yang dialami individu, dan berubah menjadi sensasi yang
menyedihkan dan mempengaruhi hidup individu tersebut. Sensasi yang tidak
menyenangkan meliputi kekakuan, sakit, nyeri dengan durasi lama atau pendek,
bahkan penyakit gatal. Diputuskan nyeri bila individu mengatakan nyeri,
walaupun tidak ada alasan medis yang membuktikan(WHO, 1998). (2) Tenaga
dan lelah, aspek mengeksplor tenaga, antusiasme dan keinginan individu untuk
selalu dapat melakukan aktivitas sehari-hari, seperti rekreasi. Kelelahan membuat
individu tidak mampu mencapai kekuatan yang cukup untuk merasakan hidup
yang sebenarnya. Kelelahan merupakan akibat dari beberapa hal seperti sakit,
Universitas Sumatera Utara
28
depresi, atau pekerjaan yang terlalu berat (WHO, 1998). (3) Tidur dan istirahat,
aspek yang berfokus pada tidur dan istirahat. Masalah tidur termasuk kesulitan
untuk pergi tidur, bangun tengah malam, bangun di pagi hari dan tidak dapat
kembali tidur dan kurang segar saat bangun di pagi hari (WHO, 1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa Physical being sebagai aspek dari kesehatan fisik, kebersihan diri, nutrisi,
olahraga, perawatan, berpakaian, dan penampilan fisik. WHOQOL membagi
domain psikologis pada lima bagian, yaitu: (1) perasaan positif, aspek ini menguji
pengalaman perasaan positif individu dari kesukaan, keseimbangan, kedamaian,
kegembiraan, harapan, kesenangan dan kenikmatan dari hal yang baik dalam
hidup. Pandangan individu, dan perasaan pada masa depan merupakan bagian
penting dari segi ini (WHO, 1998). (2) berfikir, belajar, ingatan dan konsentrasi,
aspek ini mengeksplor pandangan individu terhadap pemikiran, pembelajaran,
ingatan, konsentrasi dan kemampuan dalam membuat keputusan. Keadaan ini juga
termasuk kecepatan dan kejelasan individu memberikan gagasan (WHO, 1998).
(3) Harga diri, aspek ini menguji apa yang individu rasakan yang memiliki jarak
dari perasaan positif sampai perasaan yang ekstrim negatif tentang diri mereka
sendiri. Perasaan seseorang dari harga sebagai individu dieksplor. Aspek dari
harga diri berfokus dengan perasaan individu dari kekuatan diri, kepuasan dengan
diri dan kendali diri (WHO, 1998). (4) Gambaran diri dan penampilan, aspek ini
menguji pandangan individu dengan tubuhnya. Apakah penampilan tubuh
kelihatan positif atau negatif. Fokus pada kepuasan individu dengan penampilan
yang dimilikinya pada konsep diri. Keadaan ini termasuk perluasan dimana
Universitas Sumatera Utara
29
apabila ada bagian tubuh yang cacat akan bisa dikoreksi misalnya, berdandan,
berpakaian, menggunakan organ buatan dan sebagainya (WHO, 1998). (5)
perasaan negatif, aspek ini berfokus pada pengalaman perasaan negatif individu,
termasuk putus asa, perasaan berdosa, kesedihan, tidak bersemangat, kegelisahan,
kecemasan, dan kurang bahagia dalam hidup. Segi ini termasuk pertimbangan dari
perasaan negatif yang menyedihkan yang berakibat pada fungsi keseharian
individu (WHO, 1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa psychological being sebagai aspek dari kesehatan psikologis dan
penyesuaian seseorang, pengertian, perasaan, dan perhatian pada evaluasi diri, dan
kontrol diri. WHOQOL membagi domain tingkat kebebasan pada empat bagian,
yaitu: (1) pergerakan merupakan aspek yang menguji pandangan individu
terhadap kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bergerak di
sekitar rumah, bergerak di sekitar tempat kerja, atau ke dan dari pelayanan
transportasi (WHO, 1998). (2) aktivitas hidup sehari-hari yaitu aspek yang
mengeksplor kemampuan individu untuk melakukan aktivitas sehari-hari,
misalnya perawatan diri dan perhatian yang tepat pada kepemilikan. Tingkatan
dimana individu tergantung pada yang lain untuk membantunya dalam aktivitas
keseharian juga
berakibat
pada kualitas hidupnya (WHO, 1998). (3)
Ketergantungan pada pengobatan atau perlakuan yakni aspek yang menguji
ketergantungan individu pada medis atau pengobatan alternatif (seperti akupuntur
dan obat herbal) untuk mendukung fisik dan kesejahteraan psikologis. Pengobatan
pada beberapa kasus dapat berakibat negatif pada kualitas hidup individu (seperti
Universitas Sumatera Utara
30
efek samping dari kemoterapi) di saat yang sama pada kasus lain menambah
kualitas hidup individu (seperti pasien kanker yang menggunakan penghilang
nyeri) (WHO, 1998). (4) Kapasitas pekerjaan yaitu aspek yang menguji
penggunaan energi individu untuk bekerja. Bekerja didefenisikan sebagai aktivitas
besar dimana individu disibukkan. Aktivitas besar termasuk pekerjaan dengan
upah, pekerjaan tanpa upah, pekerjaan sukarela untuk masyarakat, belajar dengan
waktu penuh, merawat anak dan tugas rumah tangga (WHO, 1998).
Domain hubungan sosial , WHOQOL membagi domain hubungan sosial
pada tiga bagian, yaitu: (1) Hubungan perorangan merupakan aspek yang menguji
tingkatan perasaan individu pada persahabatan, cinta, dan dukungan dari
hubungan yang dekat dalam kehidupan. Aspek ini termasuk pada kemampuan dan
kesempatan untuk mencintai, dicintai dan lebih dekat dengan orang lain secara
emosi dan fisik. Tingkatan dimana individu merasa mereka bisa berbagi
pengalaman baik senang maupun sedih dengan orang yang dicintai. (WHO, 1998).
(2) Dukungan sosial merupakan aspek yang menguji apa yang individu rasakan
pada tanggung jawab, dukungan, dan bantuan dari keluarga dan teman. Aspek ini
berfokus pada banyak yang individu rasakan pada dukungan keluarga dan teman,
faktanya pada tingkatan mana individu tergantung pada dukungan di saat sulit
(WHO, 1998). (3) aktivitas seksual merupakan aspek yang berfokus pada
dorongan, dan hasrat pada seks, serta tingkatan dimana individu dapat
mengekspresikan dan senang dengan hasrat seksual yang tepat (WHO, 1998).
Universitas Sumatera Utara
31
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa social belonging sebagai hubungan dengan lingkungan sosial dan termasuk
perasaan dari penerimaan yang keluarga, teman, rekan kerja, dan tetangga serta
masyarakat. WHOQOL membagi domain lingkungan pada delapan bagian, yaitu:
(1) keamanan fisik dan keamanan, aspek ini menguji perasaan individu pada
keamanan dari kejahatan fisik. Ancaman pada keamanan bisa timbul dari
beberapa sumber seperti tekanan orang lain atau politik. Aspek ini berhubungan
langsung dengan perasaan kebebasan individu (WHO, 1998). (2) lingkungan
rumah, aspek ini menguji tempat yang terpenting dimana individu tinggal (tempat
berlindung dan menjaga barang-barang). Kualitas sebuah rumah dapat dinilai pada
kenyamanan, tempat teraman individu untuk tinggal (WHO, 1998). (3) sumber
penghasilan, aspek ini mengeksplor pandangan individu pada sumber penghasilan
(dan sumber penghasilan dari tempat lain). Fokusnya pada apakah individu dapat
mengahasilkan atau tidak dimana berakibat pada kualitas hidup (WHO, 1998). (4)
kesehatan dan perhatian sosial: ketersediaan dan kualitas, aspek ini menguji
pandangan individu pada kesehatan dan perhatian sosial di sekitar (WHO, 1998).
(5) kesempatan untuk memperoleh informasi baru dan keterampilan, aspek ini
menguji kesempatan individu dan keinginan untuk mempelajari keterampilan
baru, mendapatkan pengetahuan baru, dan peka pada apa yang terjadi, misalnya
program pendidikan formal, atau pembelajaran orang dewasa atau aktivitas di
waktu luang, baik dalam kelompok atau sendiri (WHO, 1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa Growth becoming sebagai kegiatan perbaikan atau pemeliharaan
Universitas Sumatera Utara
32
pengetahuan dan keterampilan yaitu partisipasi dalam kesempatan berekreasi dan
waktu luang, aspek ini mengeksplor kemampuan individu, kesempatan dan
keinginan untuk berpartisipasi dalam waktu luang, hiburan dan relaksasi (WHO,
1998).
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwa leisure becoming sebagai aktivitas yang menimbulkan relaksasi dan
penurunan stress misalnya, permainan kartu, pembicaraan dengan tetangga, dan
kunjungan keluarga, atau aktivitas dengan durasi yang lama seperti liburan.
Leisure becoming ini terdiri dari (1) Lingkungan fisik (polusi/ keributan/
kemacetan/ iklim), aspek ini menguji pandangan individu pada lingkungannya.
Hal ini mencakup kebisingan, polusi, iklim dan estetika lingkungan dimana
pelayanan ini dapat meningkatkan atau memperburuk kualitas hidup (WHO,
1998). (2) Transportasi, aspek ini menguji pandangan individu pada seberapa
mudah untuk menemukan dan menggunakan pelayanan transportasi (WHO,
1998).
Domain Spiritual/ agama/ kepercayaan seseorang, aspek ini menguji
kepercayaan individu dan bagaimana dampaknya pada kualitas hidup yang dapat
membantu individu untuk mengkoping kesulitan hidup, memberi kekuatan pada
pengalaman, aspek ini ditujukan pada individu dengan perbedaan agama (Buddha,
Kristen, Hindu, dan Islam), sebaik individu dengan kepercayaan individu dan
kepercayaan spiritual yang tidak sesuai dengan orientasi agama (WHO, 1998).
Universitas Sumatera Utara
33
Unit penelitian kualitas hidup Universitas Toronto (2004), menyatakan
bahwam Spiritual being sebagai refleksi nilai diri, standar diri dari tingkah laku,
dan kepercayaan spiritual dimana terhubung atau tidak dengan pengaturan
kepercayaan World Health Organization Quality Of Life (WHOQOL)-BREF
membagi kualitas hidup dalam empat domain yaitu fisik, psikologis, hubungan
sosial, dan lingkungan.
2.3.3 Masalah Stroke yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Beberapa masalah yang dialami pasien stroke dapat sangat mempengaruhi
kualitas hidupnya, antara lain adalah (1) Nyeri merupakan keluhan yang paling
sering dikemukakan oleh pasien stroke. Berbagai penyebab nyeri yang timbul
antara lain; nyeri bahu, nyeri akibat spastisitas. Nyeri bahu merupakan masalah
yang sering terjadi pada pasien stroke. Komplikasi ini disebabkan oleh
peregangan dan peradangan sendi bahu yang melemah, dan sangat sering pada
pasien dengan tungkai atas atau bawah yang lemah, atau mereka yang memiliki
riwayat gangguan tungkai atas, diabetes melitus, dan tinggal sendiri di rumah.
Seperti pada banyak komplikasi stroke lain, nyeri bahu jauh lebih mudah dicegah
daripada diobati. Pada kenyataannya, sekali terbentuk, nyeri ini cenderung
menetap, sering kali semakin buruk, terutama jika tidak terapi dengan benar, dan
dapat menyebabkan cacat yang signifikan.
Tindakan pencegahan terbaik adalah penempatan posisi dan reposisi di
tempat tidur menopang lengan yang lemah (lumpuh) dengan bantal atau sandaran
Universitas Sumatera Utara
34
tangan jika mungkin; menghindari peregangan sendi bahu, terutama oleh tarikan
pada lengan lemah; dan menopang lengan yang lemah dengan lengan yang normal
atau dengan menggunakan perban saat berjalan sehingga lengan tersebut tidak
terkulai ke bawah (Smeltzer & Bare, 2008). (2) Mobilitas merupakan tujuan
utama perawatan penderita stroke karena kelumpuhan membuat mereka tidak
berdaya. Kasus paralisis ekstremitas patut mendapatkan perhatian khusus.
Perawatan harus ditekankan untuk melihat pasien tidak berada diatas kaki dengan
terlalu lama dan adanya sirkulasi pada bagian tertentu yang terhambat. Untuk
mencegah kontraktur perawat yakin bahwa pasien dalam posisi yang benar dan
sendi-sendi digerakkan dengan sakit atau pasif melalui latihan rentang gerakan
beberapa kali setiap hari. Pasien dengan gangguan neurologis mempunyai resiko
kontraktur: berbaring ditempat tidur menyebabkan kaki dalam keadaan jatuh
dengan plantar dalam keadaan fleksi dan pinggul serta lutut menjadi fleksi.
Jaringan fibrosa menjadi kaku didalam otot dan spastisitas yang nyeri
memperberat masalah. Kunci dalam mencegah nyeri tipe ini yaitu dengan posisi
pasien yang benar dengan menggunakan latihan rentang gerak dalam satu hari dan
mendukung pasien untuk berpartisipasi dalam perawatan diri. Kelemahan otot
merupakan akibat dari lesi korteks, batang otak, medulla spinalis, ujung sel
anterior, saraf perifer, penghubung saraf otonom yang bertujuan untuk
peningkatan kekuatan otot (Smeltzer & Bare, 2008). (3) Perawatan diri dengan
gangguan fungsi neuromuskular dapat mempengaruhi aktivitas perawatan diri.
Pasien yang mengalami stroke akan mengalami gangguan dalam aktivitas hidup
sehari-hari. Perawat bekerjasama dengan anggota tim rehabilitasi lainnya,
Universitas Sumatera Utara
35
mengevaluasi rentang gerak pasien, sensasi, kekuatan otot, ketahanan, dan
koordinasi dan juga kemampuan belajar. Pasien diajarkan agar terampil dalam
merawat diri (Smeltzer & Bare, 2008). (4) Fungsi Sosial merupakan hasil yang
penting pada pasien stroke adalah berinteraksi dengan sosial/ masyarakat dengan
kembali beraktivitas. Aktivitas dalam mengisi waktu luang lebih penting dari
bekerja. Pembatasan aktivitas mengisi waktu luang mungkin akibat adanya
kegagalan fisik atau gangguan kognitif tetapi dapat juga disebabkan oleh faktor
psikologis, atau bahkan karena ketakutan bahwa aktivitas akan memicu stroke
ulang. Berkurangnya aktivitas waktu luang akan menyebabkan isolasi sosial,
perubahan afek/mood, dan berpengaruh buruk terhadap hubungan antar pasien
dengan keluarga atau perawatnya. Oleh karena itu perlunya konseling yang baik
antara pasien dan keluarga untuk tetap dapat mengisi waktu luang dengan
aktivitas dan kontak sosial. (4) Masalah Psikologis: Kecemasan/ depresi pada
pasien stroke sering mengalami gangguan psikologis non spesifik, depresi,
kecemasan. Depresi mempunyai dimensi perubahan pada mood, afektif, kognitif,
behavioral, neurovegetatif dan endokrin. Perubahan mood pada depresi berupa
kesedihan dan kehilangan kemampuan untuk bergembira. Kecemasan sering
didapatkan pada orang depresi. Kelainan afektif dapat terlihat dari muka dan sikap
yang sedih dan sering menangis. Perubahan kognitif yang terjadi adalah
kehilangan motivasi, inisiatif dan menjadi apatis. Penderita menjadi merasa tidak
berdaya, tidak berguna, tidak dapat konsentrasi dan merasa tidak dapat menolong
dirinya sendiri, bahkan terkadang disertai juga perasaan gangguan organik.
Beberapa diantaranya ada yang menarik diri dari pergaulan/kegiatan sosial,
Universitas Sumatera Utara
36
disertai halusinasi dan delusi. (5) Masalah kognitif pada pasien stroke mengalami
masalah kognitif, perilaku dan penurunan emosi akibat kerusakan otak. Derajat
fungsi dapat kembali pulih karena tidak semua daerah otak rusak bersama-sama;
beberapa yang tersisa lebih utuh dan berfungsi dari pada yang lain.
2.3.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas Hidup
Kualitas hidup merupakan pengalaman subjektif akan dipengaruhi oleh
kemampuan individu dalam memahami hidupnya. Banyak faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup pasien paska serangan stroke. Faktor fisik, dan
fungsional sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien stroke. Ahlsio, et al
(2008) menemukan bahwa pada pasien pasca serangan stroke dengan keterbatasan
gerak mempunyai kualitas hidup lebih rendah dari pada tanpa keterbatasan gerak.
Ditemukan pula bahwa pasien dengan keterbatasan fisik paska serangan stroke
mengalami gangguan psikologis diantaranya depresi dan stres.
Universitas Sumatera Utara
37
Faktor yang mempengaruhi kualitas hidup sangat banyak, seperti
keuangan, kesehatan, keamanan, keadaan lingkungan dan lain-lain. Faktor-faktor
tersebut saling terkait satu sama lain. Walaupun seseorang mempunyai keuangan
yang cukup belum tentu mempunyai kualitas hidup yang baik, jika orang tersebut
menderita penyakit kronik begitu juga sebaliknya. Banyak faktor yang
mempengaruhi kualitas hidup, sehingga dalam bidang kesehatan yang dibicarakan
adalah kualitas hidup yang terkait kesehatan (Guyat et al, 1993). Konsep kualitas
hidup baru mulai berkembang pesat dimana adanya peningkatan penelitian
kualitas hidup dari tahun 1980-1997 dari 0.6% menjadi 4.2% dari seluruh
penelitian (Garrat et al, 2002).
Faktor lain yang menjadi alas an pentingnya kualitas hidup adalah adanya
perbedaan kemampuan adaptasi seseorang terhadap penyakit. Misalnya pada
kasus seseorang dengan penyakit sendi yang sama, dapat memberikan status
fungsional fungsional dan status emosional yang berbeda. Sehingga pada kasus
seperti ini, seorang pasien masih dapat bekerja sedangkan pasien lain sudah
berhenti bekerja (Guyatt et al., 1993).
Marcel, et al (2008) menemukan bahwa masalah psikologis sangat
mempengaruhi kualitas hidup pasien pasca serangan stroke. Masalah psikologis
yang dirasakan oleh kebanyakan pasien pasien serangan stroke adalah depresi,
kecemasan dan kelelahan psikologis atau ketidakberdayaan. Dalam hal ini
ditemukan pula bahwa ada perbedaan kualitas hidup pasien laki-laki dengan
wanita.
Universitas Sumatera Utara
38
Bays dan Cathy (2001), menemukan bahwa kualitas hidup pasien paska
serangan stroke dipengaruhi oleh gangguan psikologis, parahnya kerusakan fisik,
tingkat keparahan afasia yang dialami pasien, reaksi yang tidak adekuat terhadap
penyakitnya, pesimis dan ketidakmampuan untuk kembali bekerja. Dua puluh
persen sampai tujuh puluh persen dari kualitas hidup pasien dipengaruhi oleh
adanya depresi (gangguan psikologis), Kemampuan fungsional dan hubungan
sosial dengan sekitarnya.
Kualitas hidup terkait kesehatan dapat diukur dengan menggunakan
instrumen yang berisikan faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup seperti
yang sudah disebutkan diatas, yaitu mobilitas, rasa nyeri, gangguan depresi/
cemas dan ungkapan/ persepsi seseorang tentang kualitas hidupnya dalam suatu
angka/skala. Untuk menetapkan kualitas pasien stroke kita harus memilih
instrumen yang sesuai usulan yang dikemukakan oleh De Haan & Farransen
(2002) diantaranya harus jelas konsep kualitas hidup dalam hubungannya dengan
International classification of impairment, disabilities, and handicaps (ICIDH)
dari WHO.
Mengukur kualitas hidup digunakan untuk mengevaluasi intervensi
keperawatan terapeutik. Instrumen kualitas hidup dapat dibagi ke dalam skala
umum dan penyakit-spesifik. Tidak ada instrumen khusus pada pasien stroke
untuk mengevaluasi kualitas hidup saat ini (Williams, 1998). Walaupun stroke
merupakan masalah utama, metode terbaik untuk mengukur hasil stroke tidak
jelas, sebagian disebabkan oleh heterogenitas tanda-tanda dan gejala stroke
Universitas Sumatera Utara
39
(Williams, 1998). Kualitas hidup sebagian besar dinilai oleh instrumen tergantung
pada laporan diri. Metode pengumpulan data sangat tidak cocok untuk pasien
dengan kognitif atau komunikatif (De Haan & Faranson, 2002; Sneeuw et al,
1997). Pemilihan ukuran kualitas hidup harus didasarkan pada atribut psikometri
yang termasuk kelayakan, validitas, reliabilitas, dan kepekaan terhadap perubahan
(Norman et al, 1998). Penelitian outcome pasien stroke memerlukan skala kualitas
hidup yang spesifik yang memfokuskan pada masalah spesifik pasien stroke.
Instrumen harus dapat membedakan efek akibat stroke dengan akibat
bertambahnya usia.
2.3.5 Domain Kualitas Hidup
Secara umum terdapat 5 bidang (domains) yang dipakai untuk mengukur
kualitas hidup berdasarkan kuesioner oleh WHO (World Health Organization),
bidang tersebut adalah kesehatan fisik, kesehatan psikologik, keleluasaan
aktivitas, hubungan sosial dan lingkungan, sedangkan secara rinci bidang-bidang
yang termasuk kualitas hidup adalah kesehatan fisik (physical health), kesehatan
umum, nyeri, energy dan vitalitas, aktivitas seksual, tidur dan istirahat, Kesehatan
psikologis (physichological health), cara berpikir, belajar, memori dan
konsentrasi, tingkat aktivitas (level of independence), mobilitas, aktivitas seharihari, komunikasi, kemampuan kerja, hubungan sosial (sosial relationship),
hubungan sosial, dukungan sosial, lingkungan (environment), keamanan,
lingkungan rumah, kepuasan kerja (Herman, 1993).
Menurut Ware dan Sherbourne (1992), kualitas hidup dapat diukur dengan
menggunakan instrumen pengukuran kuali