BOOK Mediamorfosa Aceng A, Rangga SMP Peliputan Korupsi

Peliputan Korupsi pada Media Massa
Aceng Abdullah, Rangga Saptya Mohamad Permana
Prodi Televisi dan Film, Fikom Universitas Padjadjaran

Pendahuluan
Tindak pidana korupsi di Indonesia kondisinya semakin
mengkhawatirkan. Aktivitas korupsi berlangsung di semua lini,
dari mulai korupsi recehan di jalan raya sampai trilyunan rupiah di
gedung-gedung pemerintahan yang megah. Korupsi dengan cara
menyalahgunakan wewenang juga berlangsung di lembaga-lembaga
yang seharusnya memberikan teladan, seperti di sekolah atau di
kampus. Begitu pun di lembaga yang mengurus umat untuk beribadah
berlangsung aktivitas korupsi ini. Karena kondisi seperti ini, maka
Indonesia pun sejak lama oleh banyak lembaga riset internasional
selalu dinobatkan sebagai salah satu negara paling korup di dunia.
Karena makin parahnya perilaku pejabat dan masyarakat Indonesia
dalam aktivitas korupsi, maka Dewan Perwakilan Rakyat hasil reformasi
1998 merancang sejumlah undang-undang yang berkaitan dengan
pemberantasan korupsi yang pada akhirnya menelurkan lembaga anti
korupsi bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pembentukan lembaga KPK ini berangkat dari penilaian lembaga

hukum yang ada, seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman sudah
tidak mampu lagi memberantas dan menindak para koruptor di
Indonesia padahal hampir setiap saat terjadi tindak pidana korupsi.
Selain itu, lembaga hukum ini oleh DPR-RI periode 1999 – 2014 justru
dinilai sebagai lembaga-lembaga penegak hukum yang korup juga
karena begitu gampangnya disuap oleh siapa pun termasuk oleh para
tersangka atau terdakwa kasus korupsi.

215

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Tindak pidana korupsi yang mengakar dalam tatanan masyarakat
Indonesia pun dalam Penjelasan atas UU no 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibahas dalam bagian
awal penjelasan UU tersebut dan disitu ditulis bahwa tindak pidana
korupsi perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik
dari jumlah kasus yang terjadi maupun dari segi kualitas tindak pidana
yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki

berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian
nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara
pada umumnya. Tindak pidana yang meluas dan sistematis juga
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi masyarakat, dan karena itu semua maka tindak pidana
korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa
melainkan telah menjadi kejahatan luar biasa. Begitu pun dalam
upaya pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa,
tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. (Penjelasan atas UU No
32/2002).
Semenjak KPK berdiri maka hampir setiap saat ada pelaku korupsi
yang ditangkap. Proses hukum pun berlangsung cepat sehingga dalam
waktu yang relatif cepat seorang tersangka kasus korupsi sudah duduk
sebagai terdakwa di bangku Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pengadilan ini pun dibuat khusus karena pengadilan negeri yang
selama ini mengadili perkara korupsi tidak dipercayai lagi mampu
menangani proses hukum para terdakwa kasus korupsi.
Karena makin banyaknya pihak-pihak yang ditangkap KPK

termasuk para pejabat tinggi, baik di Pusat maupun di daerah, media
massa pun melakukan peliputan korupsi lebih bergairah. Kasus korupsi
pun acapkali menghiasi halaman surat kabar, majalah dan media online atau tayangan televisi dan siaran radio.
Sebetulnya, media massa sejak lama juga melakukan pemberitaan
tentang korupsi ini, tetapi frekuensinya tidak setinggi setelah berdirinya
KPK. Sebelumnya berita yang muncul di media hanya dua atau tiga
kasus korupsi pertahun yang bersumber dari Kejaksaan Negeri, hal
ini disebabkan oleh jarangnya dilansir kasus-kasus korupsi baik oleh
kepolisian maupun kejaksaan.
216

Aceng Abdullah & Rangga Saptya Mohamad Permana, Peliputan Korupsi pada...

Media massa yang dijuluki sebagai kekuatan ke-empat setelah
eksekutif, legsilatif dan yudikatif sejak lama diyakini memiliki
pengaruh yang kuat dalam menggalang opini khalayak. Media massa
merupakan salah satu senjata dan memiliki kemampuan kritik sosial
yang besar sehingga keberadaan media massa dalam pemberantasan
korupsi banyak diharapkan oleh masyarakat.
Namun dalam kenyataan, kebanyakan media massa Indonesia tidak

mampu melakukan aneka peliputan yang mampu membongkar kasuskasus korupsi. Media massa Indonesia seringkali dikritik tidak mampu
membuat berita-berita tentang korupsi padahal negeri ini oleh banyak
pengamat khususnya dari luar negeri dijuluki sebagai salah satu negara
paling korup di dunia karena di semua lini selalu ada aroma korupsi.
Peranan pers dalam penumpasan korupsi di Indonesia ini selama
ini dinilai belum berperan secara signiikan. Menurut Dharmasaputra
dalam Wijayanto dan Zachrie (2009 : 694) pers Indonesia cenderung
terlalu bias dalam perang melawan korupsi. Pers di Indonesia lanjut
Dharmasaputra lebih cenderung memprioriaskan pemberitaan dari
aspek penindakan ketimbang aspek pencegahan dan perbaikan sistem.
Liputan media kita lebih suka memperdengarkan nada negatif,
ketimbang positif dalam merekam upaya pemberantasan korupsi
di Tanah Air dan berpotensi memengaruhi persepsi publik
yang pada gilirannya –ini yang paling berbahaya- menurunkan
sokongan masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi yang
sedang dilangsungkan. Padahal kita semua tahu dukungan publik
adalah salah satu faktor kunci bagi keberhasilan pemberantasan
korupsi. (Dharmasaputra dalam Wijayanto & Zachrie (2009 : 694).
Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk meneliti perihal
peliputan media massa tentang kasus korupsi mengingat peranan

media massa cukup strategis dalam berbagai bidang kehidupan.
Namun, berdasarkan pengamatan penulis, dalam peliputan kasus
korupsi ini hamppir semua media massa di Indonesia bersifat pasif.
Media massa Indonesia lebih banyak memberitakan kasus korupsi
yang berasal dari sumber ketiga, yakni dari lembaga penegak hukum,
bukan hasil penelesikan sendiri.
Untuk membuktikan pendapat itu, maka perlu dilakukan penelitian
tentang pemberitaan media tentang korupsi. Apa yang dimuat oleh

217

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

media massa khususnya media cetak yang berkaitan dengan kasuskasus korupsi ? Benarkah media massa kita kepeduliaannya rendah
terhadap upaya pencegahan korupsi? benarkah Pers Indonesia hanya
memproduksi berita berdasarkan siaran pers atau sidang pengadilan?
Benarkah pers Indonesia malas melakukan investigasi ntuk
membongkar kasus-kasus korupsi di Indonesia?
Berdasarkan aneka pertanyaan tersebut dilakukan sebuah

penelitian terhadap kecenderungan pemberitaan media massa tentang
permasalahan korupsi di harian Umum Kompas dan Harian Umum
Pikiran Rakyat. Alasan pemilihan dua media ini, pertama Kompas
merupakan suratkabar terbitan Ibukota yang paling terkemuka, dan
Suratkabar Pikiran Rakyat merupakan media terbesar di Jawa Barat.
Harian Umum Kompas saat ini merupakan suratkabar nasional
terbesar baik dari segi oplah maupun pendapatan iklannya. Setiap hari
Kompas terbit minimal 32 tahun. Sebagai pembanding, dipilih pula HU
Pikiran Rakyat Bandung karena koran ini saat ini masih menjadi koran
terbesar dan paling dipercaya oleh masyarakat Jabar. Sama seperti
Kompas, HU Pikiran Rakyat pun setiap hari terbit dengan 32 halaman.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan teknik
analisis isi. Dengan sampel penelitian diambil dari berita tentang
korupsi yang dimuat pada Harian Umum Kompas dan HU Pikiran
Rakyat selama bulan Juni 2017.
Kekuatan Media Massa
Media massa mempunyai kekuatan dalam mempengaruhi
khalayaknya. Para pakar ilmu komunikasi massa acapkali mengungkapkan

perihal kekuatan media massa ini. Media massa selalu dinilai sebagai
pendorong terwujudnya good governance (pemerintahan yang baik). Media
sebagai salah satu sumber informasi publik diharapkan bisa menjadi alat
untuk mendorong berjalannya ketiga prinsip good governance (prinsipprinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi). Harus diakui, melalui
medialah , serangkaian peristiwa, opini, dan realitas dapat disajikan dalam
bentuk informasi kepada masyarakat.
Karena itulah media memiliki kontribusi yang esensial dalam
mendukung proses demokrasi dan demokratisasi, juga dalam
218

Aceng Abdullah & Rangga Saptya Mohamad Permana, Peliputan Korupsi pada...

pemberantasan korupsi yang saat ini gencar dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, saat ini kita sedang berada dalam masa transisi demokrasi
yang salah satu jalannya melalui pembaruan tata pemerintahan.
Karenanya, inilah saat yang tepat bagi media massa untuk mendukung
proses pembaruan tata pemerintahan yang baik melalui berita-berita
informatif, cerdas, kritis, dan bertanggung jawab.
Pendapat yang mengatakan bahwa peran media massa kurang
efektif dalam memberantas korupsi, menurut Wijayanto (2009 : 604)

karena media di Indonesia, masih bersifat masih sebagai pemandu sorak
(cheerleaders) atau corong pengeras suara (megaphones) dari kelompok
anti-korupsi atau aparat yang menangani kasus korupsi. Media belum
bisa menjadi sopir yang berada di depan dan mengendalikan agenda,
melainkan baru sebagai penumpang yang duduk di belakang aksi anti
korupsi. Artinya, wartawan tidak menggali dan menyelidiki kasus
korupsi sendiri, melainkan menunggu hasil laporan para penyelidik
resmi atau partikelir. Ketimbang memburu dan mengungkap koruptor,
wartawan Indonesia hanya mengikuti mereka yang membongkar dan
menyelidiki kasus-kasus korupsi.
Media di Indonesia, menurut Wijayanto (2009) umumnya belum
melakukan investigative reporting terhadap kasus-kasus korupsi,
melainkan baru pada tahap reporting on investigation. Media-media
di Indonesia masih sedikit sekali menyediakan laporan mengenai
korupsi, kolusi dan penyimpangan lain, yang betul-betul merupakan
hasil penyelidikannya sendiri.
Selain pendapat di atas, para ilmuwan komunikasi dari dulu sampai
sekarang masih selalu berbeda pendapat mengenai kekuatan media
massa dalam memengaruhi pendapat dan sepak terjang khalayak.
Sebagian mengatakan sesungguhnya media itu sangat  powerfull. Media

tidak hanya sanggup memengaruhi opini publik, tapi juga tindakan
publik. Di sisi lain, pengaruh media dikatakan terbatas, tergantung
pada konteks ruang dan waktu, dan di mana media itu bekerja. Bagi
mereka yang menganggap the media is powerfull, kemudian melahirkan
beberapa teori komunikasi massa yang memiliki pengaruh besar
terhadap masyarakat dan budaya, yakni teori Agenda Setting, teori
Dependensi, Spiral of Silence, dan Information Gaps.

219

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Media massa menuryut Nurudin (2017) adalah alat dalam
berkomunikasi yang bisa menyebarkan pesan secara serempak, cepat
kepada audience yang luas dan heterogen. Kelebihan media massa
dibanding dengan jenis komunikasi lain adalah ia bisa mengatasi
hambatan ruang dan waktu. Bahkan media massa mampu menyebarkan
pesan hampir seketika pada waktu yang tak terbatas.
Di tengah harapan khalayak terhadap media massa yang harus tetap

mempertahankan idealismenya, sebagian besar media jutsru telah terjebak
ke komersialisasi media. Hal ini disebabkan media telah secara global
telah menjadi sebuah industri yang juga harus memperhitungkan untung
rugi. Menurut Ibrahim dan Akhmad (2014 : 191) media massa memiliki
kepentingan yang minim terhadap jurnalisme atau persoalan publik
kecuali untuk melayani kepentingan kelas bisnis dan kelas menengah-atas.
Media pun hanya mengutamakan aneka genre seperti olahraga, dan aneka
hiburan. Sistem ini disarati dengan hyper-commercialism. Komodiikasi
pun berlangsung terhadap semua ranah kehidupan.
Menurut Garnham (2000 : 39), media masa kini telah menjadi sebuah
institusi industri budaya, media telah menjadi sistem produksi, distribusi
dan konsumsi aneka bentuk simbolik yang makin membutuhkan
mobilisasi sumber daya sosial baik secara material maupun kultural. Istilah
komodiikasi (commodiication) pun menjadi istilah yang sering disebut
sebagai salah bagian industrialisasi dan komersialisasi media massa.
Vincent Mosco (2009) menyatakan komodiikasi merupakan proses
produksi barang dan jasa termasuk di dalamnya komunikasi yang telah
menjadi komoditas yang akan dilempar dan bersaing di pasar.
Karena kecenderungan seperti itu, media massa selalu
memperhitungkan untung rugi secara politik ekonomi, apakah sebuah

liputan yang akan digarap itu menguntungkan secara ekonomi atau
tidak. Jika tidak bahkan merugikan maka hal itu harus dihindarkan.
Pemilik media pun selalu menekankan agar awak medianya membuat
konten media media yang menarik tetapi dengan biaya yang serendah
mungkin, bahkan dari konten itu harus menghasilkan secara
material, misalnya berupa penjualan produk media maupun untuk
mendatangkan sponsor atau iklan. Begitu pun dalam pemberitaan
korupsi, media harus berhitung, buatlah sebuah peliputan korupsi
yang murah, mudah tetapi tetap menarik bagi khalayak.

220

Aceng Abdullah & Rangga Saptya Mohamad Permana, Peliputan Korupsi pada...

Peliputan Kasus Korupsi
Kualitas produk jurnalistik diawali oleh kualitas peliputan atau
reportase yang dilakukan oleh wartawannya. Semakin berkualitas
peliputannya semakin baik kualitas sebuah karya jurnalistik. Sebaliknya,
reportase yang kurang baik jangan harap bisa menghasilkan sebuah
karya jurnalistik yang berkualitas.
Berdasarkan hasil pengamatan selama bulan Mei 2017 terhadap
HU Kompas dan HU Pikiran Rakyat, menunjukan kecenderungan
sebagai berikut :
Lebih dari 70 % pemberitaan korupsi di HU Kompas didapatkan
dari hasil wawancara dengan para narasumber, sedangkan pada HU
Pikiran Rakyat mayoritas (54%) berasal dari rilis dan jumpa pers.
Berita HU PR berdasarkan wawancara hanya sekitar sepertiganya
(32%), hampir sama dengan berita Kompas yang berasal dari rilis atau
jumpa pers, yakni 30%.
Wawancara yang dilakukan kebanyakan berupa konirmasi, atau
pertanyaan sesudah acara jumpa pers atau gelar perkara, baik itu
dilakukan di kantor Kejaksaan Agung, KPK, atau di arena seminar.
Kecilnya persentasi wawancara yang dilakukan PR berkaitan dengan
minimnya personal wartawan yang menggarap isyu korupsi, ini bisa
terlihat dari jumlah personal yang biasa diturunkan dalam meliput
kasus korupsi, akibatnya, PR lebih suka menggarap berita dari hasil
jumpa pers atau gelar perkara yang dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum seperti kepolisian, kejaksaan, KPK, ICW dan lain-lain.
Wawancara yang dilakukan pun biasanya berupa konirmasi atau
wawancara setelah acara selesai (Abdullah dan Zainun, 2012).
Berdasarkan data hasil penelitian tahun 2012 terhadap media yang
sama, Abdullah dan Zainun menemukan, observasi di lapangan masih
sebatas peliputan di pengadilan atau mencegat tersangka atau saksi yang
tengah atau sesudah diperiksa di kejaksaan. Gedung pengadilan negeri
maupun Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) merupakan salah
satu sumber berita yang tiada hentinya memasok bahan-bahan berita
untuk wartawan. Kendati demikian liputan wartawan di lapangan
dengan teknik observasi ini, Kompas jumlahnya hampir tiga kali lebih
banyak ketimbang PR. Sebanyak 36,2% pemberitaan Kompas di dapat
dari pengamatan lapangan ini, sedangkan PR hanya 16,1% .

221

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Kompas berusaha memperkecil berita yang hanya didapat dari
jumpa pers atau siaran pers, karena itu prosentasena hanya 21,7%,
sedangkan PR justru tiga kali lebih banyak dari Kompas, berita yang
didapat dari jumpa pers atau siaran persnya ini, yakni 63,2%. Kompas,
umumnya selain mendapatkan bahan dari jumpa pers, juga melakukan
pendalaman berita melalui wawancara tambahan.
Ternyata, hasil penelitian 2017 hampir sama dengan penelitian
lima tahun sebelumnya bahwa media massa tidak memiliki inisiatif
untuk melakukan peliputan khusus untuk membongkar kasus korupsi.
Media massa lebih mengutamakan peliputan yang mudah, murah dan
rendah resiko, yakni melakukan dengan metode-metoda seperti yang
dipaparkanb di atas.
Seperti halnya penelitian 2012 lalu, ternyata baik Kompas
maupun Pikiran Rakyat belum memiliki inisiatif untuk membongkar
kasus korupsi baik korupsi di sebuah lembaga maupun korupsi yang
dilakukan oleh individu. Semua bahan berita korupsi didapat dari
sumber berita berdasarkan hasil penindakan lembaga penegak hukum
seperti kepolisian, kejaksaan maupun KPK. Juga, pemberitaan korupsi
didapatkan dari sidang pengadilan, baik dari pengadilan tindak pidana
korupsi maupun pengadilan negeri serta dari Mahkamah Agung
(MA). Selain itu, pemberitaan korupsi berasal dari komentar dari
kepala lembaga di atas, pengamat hukum pidana, serta para aktivis anti
korupsi seperti Transparency International atau Indonesian Corruption
Watch (ICW).
Media yang diteliti pun belum melaksanakan fungsi pengawasan
atau watchdog sekaligus sebagai lembaga sosial kontrol. Mereka baru
memberitakan aktivitas penindakan dari lembaga penegak hukum serta
komentar dari para pegiat anti korupsi. Padahal jika media massa aktif
mengungkap atau membongkar aneka penyelewengan yang terjadi di
aneka lembaga yang merugikan masyarakat, tentu lembaga-lembaga
lainnya akan ketakutan jika masih melakukan tindakan penyelewengan
tersebut.
Rendahnya inisiatif untuk membongkar atau mengungkap kasus
korupsi ini bisa disebabkan oleh beberapa hal diantaranya :
1. Terbatasnya personal liputan.
2. Beban kerja wartawan media harian yang lebih padat.
222

Aceng Abdullah & Rangga Saptya Mohamad Permana, Peliputan Korupsi pada...

3. Kurangnya keberanian media.
4. Kurangnya penguasaan reportase investigasi.
5. Perhitungan komersial karena untuk melakukan investigasi
dibutuhkan dana yang tidak kecil

Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa
peliputan korupsi di media massa Indonesia, khususnya di HU
Kompas dan HU Pikiran Rakyat Bandung bersifat pasif karena masih
mengandalkan berita dari sumber berita formal seperti jumpa pers,
siaran pers dari lembaga hukum seperti Kepolisisan, kejaksaan,
kehakiman, KPK, lembaga anti korupsi dan lain-lain. Juga dari
Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tipikor.
Media Massa masih amat jarang melakukan peliputan perkara
korupsi secara aktif dengan melakukan investigasi untuk membongkar
praktik-praktik korupsi di lembaga tertentu, hal tersebut disebabkan
oleh berbagai kelemahan yang dimiliki media massa kita.

223

Mediamorfosa :
Transformasi Media Komunikasi di Indonesia

Datar Pustaka
Abdullah, Aceng dan Darmawan Zainun, (2012), Pemberitaan Korupsi
pada HU Kompas dan HU Pikiran Rakyat, Penelitian DIPA
Unpad.
Garnham, Nicholas, (2000), Emancipation, he Media and Modernity;
Arguments About the Media and Social herory, Oxford University
Press, New York
Ibrahim, Idi Subandi dan Bachrudin Ali Akhmad, (2014), Komunikasi
& Komodiikasi, mengkaji Media dan Budaya dalam Dinamika
Globalisasi, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta.
Mosco, Vincent, (1996), he Political Economy of Communication,
housand Oaks, SAGE, London
Nurudin, Perkembangan Teknologi Komunikasi, (2017), PT Raja
Graindo Persada, Jakarta.
Wijayanto dan Ridwan Zachrie, (2009), Korupsi Mengkorupsi Indonesia,
Sebab, Akibat dan Prospek Pemberantasan, PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.

224