Pengakuan Dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Batam NO. 79 PDT.P 2014 PN.BTM) Chapter III V

45

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI
YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN

A. Pengertian Perkawinan Campuran
R. Subekti menegaskan: “perkawinan adalah pertalian yang sah antara
seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”. 89 Perkawinan
merupakan salah satu bentuk “perikatan” antara seorang pria dengan seorang
wanita.90 Perikatan tersebut diatur dalam suatu hukum yang berlaku dalam
masyarakat, yang dikenal dengan istilah “hukum perkawinan”, yakni sebuah
himpunan peraturan-peraturan yang mengatur dan memberi sanksi terhadap tingkah
laku masyarakat dalam perkawinan.91
Keadaan hukum perkawinan di Indonesia beragam coraknya. Bagi setiap
golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan golongan
penduduk yang lainnya. Keadaan ini telah menimbulkan permasalahan hukum antar
golongan di bidang perkawinan, salah satunya yaitu peraturan hukum manakah yang
akan diberlakukan terhadap perkawinan antara 2 (dua) orang yang berbeda
kewarganegaraan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Pemerintah Hindia Belanda
mengeluarkan peraturan tentang perkawinan campuran, yakni Regeling op de

Gemengde Huwelijken (Stb. No. 158 Tahun 1898), yang disingkat GHR.
89

Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 2003), hlm. 23.
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat,
Hukum Agama, cet. 3, (Jakarta: Mandar Maju, 2007), hlm. 6
91
Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi Mereka yang Beragama Islam, Suatu Tinjauan
dan Ulasan Secara Sosiologi Hukum, cet. 1, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1986), hlm. 18.
90

45

Universitas Sumatera Utara

46

Peraturan mengenai perkawinan campuran pertama kali diatur dalam GHR.
Artikel 1 dari Staatblaad ini memberikan pengertian mengenai perkawinan
campuran. Pengertian tersebut diterjemahkan oleh Sudargo Gautama sebagai

“perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda
dinamakan perkawinan campuran.”92 Pengertian yang demikian mengandung arti
yang sangat luas, apabila ternyata hukum yang berlaku untuk orang-orang
bersangkutan yang hendak menikah di Indonesia, maka mereka dianggap telah
melakukan perkawinan campuran, berarti termasuk juga orang-orang yang berbeda
kewarganegaraannya.93
Pasal 1 GHR menjelaskan arti perkawinan campuran adalah: “perkawinan
antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum-hukum yang
berlainan”.94 Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan
campuran pada perkawinan-perkawinan antar WNI atau antar penduduk Indonesia
dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihak-pihak yang melaksanakan perkawinan
di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan adalah perkawinan campuran.
Perkawinan antara 2 (dua) orang yang berkewarganegaraan asing dan bukan
penduduk Indonesia yang dilaksanakan di luar Indonesia, misalnya orang Prancis dan
orang Arab. Perkawinan campuran dalam GHR termasuk pula perkawinan-

92

Sudargo Gautama, Himpunan Perundang-undangan Hukum Perdata Internasional Sedunia,
(Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 10 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 1).

93
Sudargo Gautama, Aneka Masalah dalam Praktek Pembaruan Hukum di Indonesia, cet. 1,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1990), hlm. 226 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 2).
94
Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan Perkawinan Campuran (Staatsblaad 1898
No. 158), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996), hlm. 60 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo
Gautama 3).

Universitas Sumatera Utara

47

perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri antara 2 (dua) orang WNI yang di
Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan atau antara seorang WNI dan seorang
asing. Akan tetapi, bila pihak atau pihak-pihak yang dahulu tunduk pada seluruh atau
sebagian dari hukum perkawinan KUHPerdata, maka perkawinan tersebut berlakulah
ketentuan KUHPerdata.95
Pasal 2 GHR adalah pasal yang terpenting dari seluruh GHR dan bahkan juga
dalam lapangan Hukum Antar Golongan di Indonesia karena Pasal 2 ini dengan tegas
menjunjung tinggi asas persamarataan pengharapan terhadap stelsel-stelsel hukum

yang berlaku di Indonesia. Karena sebelum berlakunya ketentuan Pasal 2 GHR
tersebut, sikap pemerintah Hindia Belanda terhadap stelsel-stelsel hukum yang
berlaku di Indonesia tidaklah demikian, penguasa waktu itu menyatakan bahwa
stelsel hukum Eropa mempunyai kedudukan lebih tinggi. Hal ini terbukti ketika di
Indonesia hendak dimulai dengan perundang-undangan yang baru pada tahun 1848,
dengan mencantumkannya ketentuan yang menyatakan bahwa seorang bukan Eropa
yang hendak menikah dengan seorang Eropa harus tunduk terlebih dahulu pada
Hukum Perdata Eropa.96
Terkait mengenai asas persamarataan seperti dimuat dalam Pasal 2 GHR,
walaupun menurut Wertheim hanya sama sekali benar bila sesuatu dipandang secara
strict juridisch, asas ini adalah perlu untuk mencapai suatu kesatuan hukum dalam
keluarga.97

95

Ibid., hlm. 61.
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan, (Jakarta: Ichtiar Baru-Vanhoeve, 1980), hlm.
128 (selanjutnya disebut sebagai Sudargo Gautama 4).
97
Ibid.

96

Universitas Sumatera Utara

48

Perkawinan campuran apabila dilihat dari pandangan agama Kristen Katolik,
Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonic) Buku VI Kanonik 1124 menyatakan
bahwa “perkawinan campuran, yaitu perkawinan antara 2 (dua) orang yang dibaptis,
yang antara 1 (satu) dipermandikan dalam gereja Katolik atau diterima di dalamnya
setelah dibaptis dan tidak meninggalkannya secara resmi, sedangkan pihak yang lain
tercatat pada gereja atau persekutuan gerejani yang tidak mempunyai persatuan penuh
dengan gereja Katolik, tanpa izin tegas dari kuasa berwenang dilarang”.98
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pengertian perkawinan
campuran dalam agama Katolik adalah lebih sempit dari pengertian Pasal 1 GHR,
perkawinan campuran hanyalah perbedaan antara orang yang beragama Kristen
Katolik dengan orang yang beragama Kristen tetapi bukan Katolik.
Ketentuan dalam Kanonik 1124, seorang pemeluk agama Katolik hanya boleh
melakukan perkawinan campuran, bilamana telah memperoleh izin tegas dari kuasa
yang mempunyai wewenang (pastor/paroki/uskup) dengan memenuhi persyaratan

sebagai berikut:

1. Pihak yang beragama Katolik menyatakan bersedia menjauhkan bahaya
meninggalkan iman serta memberikan janji dengan jujur, bahwa ia akan
berbuat segala sesuatu dengan sekuat tenaga, agar semua anaknya dibaptis dan
dididik dalam gereja Katolik (Kanonik 1125 angka 1).
2. Mengenai janji-janji yang harus dibuat pihak Katolik, hendaknya pihak yang
lain diberitahukan pada waktunya sehingga jelas bahwa ia sungguh sadar akan
janji dan kewajiban pihak Katolik (Kanonik 1125 angka 2).

98

Piet Go dan O. Carm, Hukum Perkawinan Gereja Katolik Teks dan Komentar, (Malang:
Dioma, 2006), hlm. 126.

Universitas Sumatera Utara

49

3. Kedua pihak hendaknya diberi penjelasan mengenai tujuan-tujuan dan sifatsifat hakiki perkawinan yang tidak boleh dikesampingkan oleh seorang pun

dari keduanya (Kanonik 1125 angka 3).99
Perkawinan campuran yang dilakukan di luar wilayah Indonesia:
1. Perkawinan di luar wilayah Indonesia antara 2 (dua) orang WNI atau seorang
WNI dengan WNA adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang
berlaku di negara mana perkawinan tersebut dilangsungkan dan bagi WNI
tidak melanggar ketentuan ini (Pasal 56 ayat (1)).
2. Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri tersebut kembali ke wilayah
Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor
pencatat perkawinan tempat tinggal mereka (Pasal 56 ayat (2)).100
Purnadi

Purbacaraka

dan

Agus

Brotosusilo

memberikan


pengertian

perkawinan internasional sebagai berikut:
“Perkawinan internasional adalah suatu perkawinan yang mengandung unsur
asing. Unsur asing tersebut bisa berupa seorang mempelai mempunyai
kewarganegaraan yang berbeda dengan mempelai lainnya, atau kedua
mempelai sama kewarganegaraannya tetapi perkawinannya dilangsungkan di
negara lain atau gabungan kedua-duanya.”
B. Dasar Hukum Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran telah terjadi jauh sebelum lahirnya Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Adapun dasar hukum perkawinan
campuran adalah sebagai berikut:
1.

Menurut Asas-Asas Umum Hukum Perdata Internasional di Indonesia
Sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan nasional Indonesia

yang secara khusus menghimpun dan mengatur asas dan kaidah HPI secara lengkap,
99


Ibid., hlm. 128-129.
Soeprijatna Anwar, “Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian”, Bahan Seminar, Diselenggarakan di Batam oleh Kantor Imigrasi Kelas I
Khusus Batam, pada tanggal 22 Mei 2014, hlm. 2.
100

Universitas Sumatera Utara

50

komprehensif dan terintergrasi. Asas dan kaidah HPI tersebar diberbagai aturan yang
terpisah-pisah. Kaidah-kaidah HPI umum yang ada dan melupakan peninggalan
sistem hukum Hindia Belanda, termuat di dalam Pasal 16, 17 dan 18 AB. Peraturan
tersebut isinya adalah sebagai berikut:101
a. Pasal 16 AB
“Ketentuan-ketentuan dalam undang-undang mengenai status dan wewenang
seseorang tetap berlaku bagi kawula Negara Belanda (para warga di wilayah
terjajah), apabila ia berada di luar negeri. Akan tetapi, apabila ia menetap di

Negara Belanda atau di salah satu daerah koloni Belanda, selama ia
mempunyai tempat tinggal disitu, berlakulah mengenai bagian tersebut dan
hukum perdata yang berlaku disana”.
Pasal ini mengatur tentang status dan kewenangan personal dari seseorang.
Asas yang digunakan dalam pasal ini adalah asas domicile of origins. Artinya, untuk
menentukan seseorang cakap atau berwenang untuk melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu ukuran yang digunakan adalah ukuran yang berlaku di dalam hukum
tempat orang tersebut berasal.
b. Pasal 17 AB
“Terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlaku undang-undang dari
negara atau tempat dimana barang-barang tersebut berada”.
Pasal ini mengatur tentang status kebendaan dari benda tetap. Asas yang
digunakan di dalam pasal ini adalah asas selexitus atau lex rei sitae. Artinya, ukuranukuran untuk menentukan apa saja yang dapat dikategorikan sebagai benda tetap, hak

101

Bayu Seto Hardjowahono, Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional, Buku Kesatu,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 73.

Universitas Sumatera Utara


51

kebendaan atas benda tetap, serta akibat hukumnya harus ditetapkan berdasarkan
sistem hukum dari benda tetap berada atau terletak.
c. Pasal 18 AB
“Bentuk setiap tindakan hukum akan diputus oleh pengadilan menurut
perundang-undangan dari negeri atau tempat, dimana tindakan hukum
dilakukan”.
Pasal ini mengatur tentang hukum yang seharusnya diberlakukan dalam
penetapan status dan keabsahan dari perbuatan-perbuatan atau hubungan-hubungan
hukum (yang mengandung unsur asing). Asas HPI yang digunakan di dalam pasal ini
adalah asas lex loci actus, artinya bentuk dari perbuatan hukum serta keabsahannya
akan ditentukan dimana hukum dibuat. Asas ini menjadi sangat penting untuk
menentukan kualifikasi hukum dari suatu perbuatan hukum.102
Mengingat hingga saat ini Indonesia belum memiliki peraturan yang berisi
asas HPI yang menggantikan ketiga pasal AB tersebut, maka AB hingga saat ini
masih berlaku dan menjadi acuan penting untuk menentukan hukum yang berlaku
untuk menyelesaikan perkara HPI. Penjabaran lebih jauh ketiga asas tersebut akan
dibahas sebagai berikut:103
1) Status personal dan kecakapan hukum: hukum dari tempat kewarganegaraan.
Pasal 16 AB diatur dalam konteks penjajahan Belanda karena peraturan ini
ditujukan untuk menentukan status personal dari kawula Negara Belanda yang tetap

102
103

Ibid., hlm. 75.
Ibid., hlm. 77.

Universitas Sumatera Utara

52

tunduk pada sistem hukum dari wilayah hukum berasal, kecuali jika ia tinggal di
Belanda atau di salah satu wilayah koloni Belanda (pada saat itu beberapa negara
jajahan Belanda lainnya adalah Suriname, Netherlands Antilles dan Curacao).
Kawula Negara Belanda akan tunduk pada hukum Belanda atau hukum negara
terjajah lainnya dimana kawula negara tersebut berada. Jika, seorang Bumi Putera
pada tahun 1921 tinggal di Amerika Serikat, penentuan status personalnya akan
tunduk pada hukum adatnya sendiri. Status hukumnya akan diatur dengan hukum
Curacao apabila seorang Bumi Putera tinggal di Curacao.
Terkait mengenai Negara Indonesia yang telah merdeka, asas yang dapat
disimpulkan dari Pasal 16 AB adalah status personal dan kecakapan bertindak dari
seorang WNI yang tunduk pada hukum Indonesia, status personal dan kecakapan
bertindak dari setiap WNA akan tunduk pada hukum dari tempat mereka berasal (asas
country of origin atau domicile of origin). Mengadopsi dari sistem yang berlaku di
Belanda, di Indonesia domicile of origin ini diterapkan dengan menggunakan patokan
hukum dari tempat seseorang berkewarganegaraan (national principle).
2) Benda tetap: asas lex situs
Pasal 17 AB Indonesia menetukan status benda tetap diatur dengan
menggunakan asas lex situs atau lex rei sitae yang artinya hukum dari tempat
tersebut berada yang akan digunakan untuk menentukan status benda tetap.
Asas ini adalah asas yang sangat tepat, mengingat dengan ditundukkannya
status benda pada hukum dari benda tersebut akan membuat eksekusi atau

Universitas Sumatera Utara

53

penegakan atas hak benda menjadi lebih mudah dilaksanakan karena telah
sesuai dengan hukum yang berlaku di wilayah tersebut.104
Pasal 17 ini harus ditegaskan kembali bahwa hanya diberlakukan untuk
menentukan status benda tetap. Akibatnya, sampai saat ini Indonesia tidak
memiliki kaidah HPI yang mengatur tentang hukum yang seharusnya berlaku
terhadap status benda bergerak. Secara doktrinal dan juga dalam praktik, asas
yang digunakan untuk menentukan status hukum dari benda bergerak adalah
asas mobilia sequuntur personam, yang menentukan keberlakuan hukum
personal pemilik/penguasa benda bergerak untuk mengatur status hukum dari
benda bergerak. Penerapan asas mobilia sequuntur personam dalam
menentukan status benda bergerak dapat lebih memberikan kepastian hukum
penerapan asas lex situs yang justru dapat menimbulkan ketidakpastian
hukum.105
3) Perbuatan hukum atau hubungan hukum: asas lex loci actus
Bentuk, formalitas dan keabsahan dari sebuah perbuatan hukum ditentukan
berdasarkan hukum dari tempat terlaksana/dilaksanakannya perbuatan hukum
(asas lex loci actus). Asas ini diturunkan dari asas locus regit actum, yang
memberi kualifikasi atas bentuk perbuatan hukum atau masalah hukum

104
105

Ibid., hlm. 77.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

54

tertentu berdasarkan sistem hukum dimana perbuatan hukum atau masalah
hukum terjadi.106
2.

Menurut Staatsblad 1896 No. 158
Pengertian perkawinan campuran masa Pemerintahan Kolonial Besluit

Kerajaan 29 Desember 1896/158 (Regeling op de Gemengde Huwelijken, selanjutnya
disingkat GHR) memberi definisi sebagai berikut: “Perkawinan dari orang-orang
yang di Indonesia berada di bawah hukum yang berlainan (Pasal 1)”. Menurut Pasal 1
GHR tersebut maka yang masuk dalam lingkup perkawinan campuran, yaitu:
a. Perkawinan campuran internasional
Perkawinan campuran internasional selalu merupakan perkawinan campuran.
Perkawinan antara warga negara dan orang asing jelas merupakan perkawinan
yang berada di bawah hukum yang berlainan. Berdasarkan sebuah Keputusan
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta tanggal 1 September 1954, ternyata
perkawinan yang dilangsungkan di Kairo antara seorang laki-laki WNI dengan
seorang perempuan warga negara Mesir berdasarkan Pasal 2 dan 10 GHR
merupakan perkawinan campuran.
b. Perkawinan campuran antar regio.
Perkawinan antar regio adalah perkawinan campuran sebelum tanggal 27
Desember 1949 hukum interregional ini masih mempunyai arti, tetapi
sekarang hanya merupakan sejarah. Dasar dari hubungan hukum interregional
itu adalah Pasal 16 Algemene Bepalingen van Wetgeving selanjutnya disebut
AB. Bagi kaula Belanda yang berasal dari Hindia Belanda dan berada di
Negeri Belanda atau lain jajahan dari kerajaan Belanda, tetap berlaku hukum
yang dikenal staat en bevoegheid, yang tengah berlaku di Belanda, kecuali
bila mana ia bertempat tinggal dan menetap di negeri lain, dimana berlaku
hukum setempat karena terjadi perkawinan campuran.
c. Perkawinan campuran antar tempat.
Perkawinan campuran antar tempat adalah perkawinan antara kaula negara
dan kaula daerah yang memiliki pemerintahan sendiri.
d. Perkawinan campuran antar agama, adalah:
1) Antara Indonesia Nasrani dan Indonesia bukan Nasrani;
2) Antara Indonesia Islam dan bukan Islam;
3) Antara Arab Nasrani dan Arab bukan Nasrani;
106

Ibid.

Universitas Sumatera Utara

55

e.

3.

4)
Antara Indonesia Hindu dan bukan Hindu.
Perkawinan campuran antar golongan
Berlaku untuk perkawinan antar golongan rakyat dari Pasal 163 IS.107

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
Perkawinan campuran merupakan perkawinan antara 2 (dua) orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Hal ini disebabkan adanya perbedaan
kewarganegaraan, yang mana salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan yang
lainnya berkewarganegaraan Indonesia.108 Konsep perkawinan campuran UndangUndang Perkawinan berlainan dengan konsep perkawinan campuran dalam Pasal 1
Staatsblad 1898 Nomor 158, perkawinan campuran adalah perkawinan antara orangorang Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan.109
Faktor

penyebab

hukum

yang

berlainan,

yaitu

adanya

perbedaan

kewarganegaraan, tempat, golongan dan agama, sedangkan perkawinan campuran
dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 hanya menekankan pada
perbedaan kewarganegaraan dan salah satunya harus kewarganegaraan Indonesia.110
Aturan pelaksananya dari Undang-Undang Perkawinan juncto Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam rangka pelaksanaan undang-undang
tersebut ditetapkan pula Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Kewajiban Pegawai Pencatat Nikah dan Tata Kerja Peradilan Agama dan Petunjuk
Mahkamah Agung Nomor: MA/ Pemb/ 0807/ 75. Sementara itu, sebagai pedoman di
107

Sudargo Gautama 3, Op. Cit., hlm. 8.
Pasal 57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
109
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993),
hlm. 104.
110
Ibid.
108

Universitas Sumatera Utara

56

dalam pelaksanaannya maka digunakan Regeling op de Gemengde Huwelijken
(Staatsblad 1898 No. 158), dengan ketentuan tidak bertentangan pada Pasal 2 angka
(1) Undang-Undang Perkawinan.
Undang-Undang Perkawinan menganut beberapa asas dalam pelaksanaan
perkawinan. Asas-asas tersebut juga berlaku bagi perkawinan campuran karena
adanya perbedaan kewarganegaraan. Adapun asas-asas yang tertuang dalam UndangUndang Perkawinan adalah sebagai berikut:111
a. Asas perkawinan terdaftar
Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama yang sah menurut hukum
positif,
apabila
didaftarkan
pada
lembaga
pencatatan
perkawinan. Perkawinan yang tidak terdaftar tidak akan diakui sah menurut
undang-undang yang berlaku.
b. Asas membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
Sekali kawin dilakukan, berlangsunglah ia seumur hidup, tidak boleh
diputuskan begitu saja. Perkawinan kekal tidak mengenal jangka waktu, tidak
mengenal batas waktu. Sehingga perkawinan yang bersifat sementara
bertentangan dengan asas ini, apabila dilakukan juga maka perkawinan batal.
c. Asas kebebasan berkehendak
Perkawinan harus berdasarkan persetujuan bebas antara seorang pria dan
seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan. Persetujuan bebas
artinya suka sama suka, tidak ada paksaan dari pihak lain.
d. Asas monogami terbuka
Perkawinan hanya boleh dilakukan antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan, yang berarti bahwa dalam waktu yang sama seorang suami dilarang
untuk kawin lagi dengan perempuan lain.
e. Asas kematangan jiwa
Perkawinan dapat dilakukan oleh mereka yang sudah dewasa yaitu sudah genap
21 (dua puluh satu) tahun, tetapi apabila sebelum 21 (dua puluh satu) tahun
mereka akan melangsungkan perkawinan, batas umur minimal bagi wanita 16
(enam belas) tahun, bagi pria 19 (sembilan belas) tahun.
f. Asas mempersulit perceraian
Asas ini ada hubungannya dengan tujuan perkawinan kekal dan kebebasan
untuk kawin. Asas ini menuntut kesadaran pihak-pihak untuk berpikir dan
bertindak secara matang dan dewasa sebelum melangsungkan perkawinan.
111

Ibid., hlm. 70-73.

Universitas Sumatera Utara

57

Sekali perkawinan dilangsungkan, sulit untuk dilakukan perceraian, karena
perkawinan itu kekal.
g. Asas keseimbangan
Suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bermasyarakat. Masing-masing pihak berhak
melakukan perbuatan hukum. Suami sebagai kepala keluarga, istri sebagai ibu
rumah tangga, diantara keduanya suami istri tidak ada yang satu mempunyai
kedudukan di atas di bawah yang lainnya.
Adapun pengertian perkawinan campuran yang diatur dalam Pasal 57
Undang-Undang Perkawinan, yaitu sebagai berikut:112
“Perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berwarga negara Indonesia. Bagi orang-orang yang berlainan
kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat memperoleh
kewarganegaraan dari suami atau istrinya dan dapat pula kehilangan
kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UndangUndang Kewarganegaraan Republik Indonesia”.
Dari definisi Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan ini dapat diuraikan unsurunsur perkawinan campuran, sebagai berikut:
a.

Perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita;

b.

Di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan;

c.

Karena perbedaan kewarganegaraan; dan

d.

Salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Unsur pertama menunjuk kepada asas monogami dalam perkawinan. Unsur

kedua menunjuk kepada perbedaan hukum yang berlaku bagi pria dan wanita yang
melangsungkan perkawinan. Perbedaan hukum tersebut bukan karena perbedaan
agama, suku bangsa dan golongan di Indonesia melainkan karena unsur ketiga, yaitu

112

Pasal 58 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

58

adanya perbedaan kewarganegaraan. Perbedaan kewarganegaraan ini bukan
kewarganegaraan asing semuanya, melainkan unsur keempat menyatakan bahwa
salah satu kewarganegaraan tersebut adalah kewarganegaraan Indonesia.113 Tegasnya,
perkawinan campuran menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,
yaitu:114
a. Seorang pria WNI kawin dengan seorang wanita WNA.
b. Seorang wanita WNI kawin dengan seorang pria WNA.
Selanjutnya dalam Pasal 59 Undang-Undang Perkawinan juga menentukan
bahwa:115
a. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat putusnya perkawinan
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun
mengenai hukum perdata.
b. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut
Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 60 Undang-Undang Perkawinan, menegaskan sebagai berikut:116
Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing telah dipenuhi.
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena
itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka
oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing
berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syaratsyarat telah terpenuhi.
Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan,
maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan memberikan
keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi

113

Muhammad Abdulkadir, Op. Cit., hlm. 103.

114

K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), hlm. 46.

115

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 60 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

116

Universitas Sumatera Utara

59

tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau
tidak.
Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka
keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut di atas.
Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai
kekuatan lagi jika perkawinan tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam)
bulan sesudah keterangan tersebut diberikan.
Selanjutnya, dalam Pasal 61 Undang-Undang Perkawinan, menyebutkan
sebagai berikut:
a. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang;
b. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan
surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam
Pasal 60 ayat (4) undang-undang ini dihukum kurungan selama-lamanya 1
(satu) bulan.
c. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia
mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak
ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan
dan dihukum jabatan.

C. Prosedur Dan Pencatatan Perkawinan Campuran
1.

Pencatatan Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan Di Indonesia
Perkawinan yang dilangsungkan oleh pasangan berbeda kewarganegaraan

dalam Undang-Undang Perkawinan disebut juga sebagai Perkawinan Campuran.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, berbunyi:
”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-Undang ini
ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia.”

Universitas Sumatera Utara

60

Perkawinan campuran dapat dilaksanakan di Indonesia ataupun di luar
Indonesia (luar negeri). Apabila dilangsungkan di luar negeri maka perkawinan sah
bilamana perkawinan dilaksanakan menurut hukum negara yang berlaku, menurut di
negara mana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi WNI tidak melanggar ketentuan
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.117 Sementara itu, apabila
dilangsungkan di Indonesia, perkawinan campuran harus dilaksanakan menurut
Undang-Undang Perkawinan.118
Pasal 60 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Perkawinan berbunyi:
“Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa
syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi
pihak masing-masing telah dipenuhi.”119
“Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah
dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan
campuran maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak
masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan
bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.”120
Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, “apabila
pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan bahwa
syarat-syarat untuk perkawinan campuran telah terpenuhi maka atas permintaan yang
berkepentingan, pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak
boleh dimintakan banding lagi mengenai persoalan apakah penolakan pemberian
surat keterangan itu beralasan atau tidak.”121
117

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
119
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
120
Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
121
Subekti dan R. Tjitro Sudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2003), hlm. 555.
118

Universitas Sumatera Utara

61

Pengadilan ini adalah pengadilan menurut Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang
Perkawinan, yaitu pengadilan agama bagi masyarakat muslim dan pengadilan umum
bagi masyarakat non muslim. Terhadap hal ini, pengadilan akan memeriksa dan
memberikan keputusan tentang penolakan tersebut apakah beralasan atau tidak,
pemeriksaannya akan menghasilkan suatu keputusan yang merupakan keputusan
pertama dan terakhir, artinya terhadap keputusan pengadilan tersebut tidak dapat
dimintakan banding berdasarkan Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan.
Perkawinan dapat segera dilangsungkan setelah surat keterangan atau putusan
pengadilan diperoleh. Pelangsungan perkawinan dilakukan menurut hukum masingmasing agama. Berlangsungnya perkawinan dilakukan di hadapan pegawai pencatat.
Apabila perkawinan dilangsungkan di Indonesia, tata caranya dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Sementara itu, jika
perkawinan dilangsungkan di negara pihak lainnya maka berlakulah ketentuan tata
cara menurut hukum di negara yang bersangkutan.122
Setelah surat keterangan atau putusan pengadilan diperoleh para pihak, ada
kemungkinan perkawinan tidak segera dilaksanakan. Apabila perkawinan tidak
dilaksanakan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sesudah keterangan atau putusan itu
diberikan, maka surat keterangan atau putusan pengadilan tersebut tidak mempunyai
kekuatan lagi.123

122
123

Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 60 ayat (5) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Universitas Sumatera Utara

62

Terkait mengenai pencatatan perkawinan, perkawinan campuran dicatat oleh
pegawai pencatat yang berwenang.124 Pegawai pencatat yang berwenang bagi
masyarakat yang beragama Islam ialah Pegawai Pencatat Nikah (PPN) atau Pembantu
Pegawai Pencatat Nikah Talak Cerai Rujuk (P3NTCR), sedangkan bagi masyarakat
yang bukan beragama Islam ialah Pegawai Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil.
Perkawinan campuran yang dilangsungkan tanpa memperlihatkan terlebih
dahulu surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan kepada pegawai
pencatat, maka yang melangsungkan perkawinan campuran tersebut dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.125 Pegawai pencatat perkawinan
yang mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada,
dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum
jabatan.126
Adapun surat keterangan atau dokumen yang harus dipersiapkan sebelum
dilangsungkan perkawinan campuran yaitu:127
Calon mempelai yang berkewarganegaraan asing (WNA) harus memiliki surat
keterangan dari negara asalnya untuk dapat melangsungkan perkawinan di Indonesia
dan surat keterangan yang menyatakan bahwa ia dapat kawin dan akan kawin dengan

124

Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
126
Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
127
Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan
Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada tanggal 11
November 2016.
125

Universitas Sumatera Utara

63

orang berkewarganegaraan Indonesia. Surat keterangan tersebut dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang di negara asalnya. Selain itu harus pula melampirkan:
a.
b.
c.
d.
e.

Fotokopi Surat Tanda Melapor Diri dari Kepolisian;
Fotokopi Paspor;
Fotokopi Id Card;
Fotokopi Akta Kelahiran; dan
Surat Keterangan Belum Pernah Menikah yang dikeluarkan oleh negara
atau perwakilan negara atau Akta Cerai bila sudah pernah kawin atau Akta
Kematian istri/suami bila istri/suami meninggal.

Surat-surat tersebut diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
penerjemah yang disumpah, kemudian harus dilegalisasi oleh Kedutaan Negara WNA
tersebut yang berada di Indonesia.
Mekanisme pelayanan pernikahan yang harus dipenuhi calon mempelai WNI
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, yaitu:
a. Calon mempelai datang ke kantor kepala desa atau kelurahan untuk
mendapatkan:
1) Surat keterangan untuk menikah (N1);
2) Surat keterangan asal usul (N2);
3) Surat persetujuan mempelai (N3);
4) Surat keterangan tentang orang tua (N4);
5) Surat pemberitahuan kehendak menikah (N7).
b. Calon mempelai datang ke puskesmas untuk mendapatkan:
1) Imunisasi Tetanus Toxoid I bagi calon mempelai pengantin wanita;
2) Imunisasi Tetanus Toxoid II;
3) Kartu imunisasi.
Setelah proses pada poin (a) dan (b) selesai, calon mempelai datang ke Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil setempat, untuk:
c. Mengajukan pemberitahuan kehendak nikah secara tertulis (menurut model
N7). Apabila calon mempelai berhalangan, pemberitahuan nikah dapat
dilakukan oleh wali atau wakilnya.
d. Membayar biaya pencatatan nikah dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Pernikahan dilaksanakan di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;
2) Pernikahan yang dilaksanakan di luar Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil, ditambah biaya panggilan untuk menikahkan calon

Universitas Sumatera Utara

64

pengantin di rumah (di luar kantor) sesuai ketentuan yang ditetapkan kepala

kanwil masing-masing daerah;
e. Dilakukan pemeriksaan kelengkapan syarat-syarat pernikahan oleh PPN:
1) Surat keterangan untuk nikah (Model N1);
2) Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal
usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa/pejabat setingkat
(Model N2);
3) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP);
4) Fotokopi Kartu Keluarga;
5) Data orang tua : KTP ayah dan ibu;
6) Persetujuan kedua calon mempelai (Model N3);
7) Surat keterangan tentang orang tua (ibu bapak) dari kepala desa/pejabat
setingkat (Model N4);
8) Izin tertulis dari orang tua bagi calon mempelai yang belum mencapai usia
21 (dua puluh satu) tahun (Model N5);
9) Dalam hal tidak ada izin dari kedua orang tua atau walinya sebagaimana
dimaksud huruf e di atas diperlukan izin dari pengadilan;
10) Pasfoto gandeng ukuran 4x6 sebanyak 4 lembar;
11) 2 (dua) orang saksi yang memenuhi syarat dengan melampirkan fotokopi
KTP.
12) Dispensasi dari pengadilan bagi calon suami yang belum mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun dan bagi calon istri yang belum mencapai umur
16 (enam belas) tahun;
13) Jika calon mempelai anggota TNI/Polri diperlukan surat izin dari
atasannya atau kesatuannya;
14) Izin pengadilan bagi suami yang hendak beristri lebih dari seorang;
15) Akta cerai atau kutipan buku pendaftaran talak/cerai bagi mereka yang
perceraiannya terjadi sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
16) Akta kematian atau surat keterangan kematian suami/istri dibuat oleh
kepala desa/lurah atau pejabat yang berwenang yang menjadi dasar
pengisian Model N6 bagi janda/duda yang akan menikah;
17) Surat ganti nama bagi WNI keturunan.
f. Petugas pencatatan sipil memasang pengumuman kehendak nikah (menurut
model NC) selama 10 (sepuluh) hari sejak saat pendaftaran.
g. Pendeta/pastor segera menyerahkan Surat Pemberkatan Nikah kepada kedua
mempelai setelah pelaksanaan pemberkatan nikah.
h. Pendaftaran kehendak nikah diajukan pada Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil setempat minimal 10 (sepuluh) hari kerja sebelum
pelaksanaan pernikahan.

Universitas Sumatera Utara

65

Kutipan Akta Perkawinan yang diperoleh dari Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil setempat perlu dilegalisasi di Kementerian Hukum dan HAM
(Kemenkum HAM) dan Kementerian Luar Negeri (Kemlu), serta didaftarkan di
kedutaan negara asal pasangan yang WNA. Dengan adanya legalisasi, perkawinan
sudah sah dan diterima secara internasional, baik bagi hukum negara asal pasangan
yang berkewarganegaraaan asing maupun menurut hukum Indonesia.128
2.

Pelaporan Perkawinan Campuran Yang Dilaksanakan Di Luar Wilayah
Indonesia
Perkawinan WNI di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI) wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan
dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia (Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). WNI yang mempunyai
Akta Pencatatan Sipil yang diterbitkan oleh negara lain, setelah kembali ke Indonesia
yang bersangkutan melaporkan perkawinannya ke Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil di tempat domisilinya (Pasal 14 ayat (1) Permendagri Nomor 12
Tahun 2010 tentang Pedoman Pencatatan Perkawinan dan Pelaporan Akta Yang
Diterbitkan Oleh Negara Lain).129
Berkas yang diperlukan untuk mendaftarkan perkawinan WNI di luar negeri
pada Kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil di wilayah Indonesia, yaitu:
128

Wawancara dengan Rahmat Ali, Kepala Seksi Perkawinan, Perceraian, Pengesahan dan
Pengangkatan Anak, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Batam pada tanggal 11
November 2016.
129
Soeprijatna Anwar, “Perkawinan Campuran dalam Kaitannya dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011
tentang Keimigrasian”, Bahan Seminar, Diselenggarakan di Batam oleh Kantor Imigrasi Kelas I
Khusus Batam, pada tanggal 22 Mei 2014, hlm. 3.

Universitas Sumatera Utara

66

a. Akta Perkawinan dari negara asal yang sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa
Indonesia dan telah dilegalisasi oleh Perwakilan RI setempat;
b. Surat Keterangan Menikah dari Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI)
setempat;
c. Salinan Akta Kelahiran suami dan istri;
d. Salinan KTP dan Kartu Keluarga;
e. Salinan paspor suami/istri yang WNA;
f. Pasfoto gandeng ukuran 4x6 dengan latar belakang merah sebanyak 3 lembar;
Akta Perkawinan dari negara asal harus dilegalisasi oleh KBRI setempat agar
dapat digunakan di Indonesia. Sebelumnya, Akta Perkawinan harus dilegalisasi
secara berurutan oleh, sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Kantor yang mengeluarkan Akta Perkawinan;
Regional Register Office;
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) setempat;
Akta Perkawinan selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh
penerjemah resmi;
e. Legalisasi130 oleh KBRI setempat yang mana prosesnya adalah 3 (tiga) hari
kerja.
Surat pengantar dari RT/RW, Lurah atau Camat tidak diperlukan untuk

mendaftarkan Akta Perkawinan Campuran ke Kantor Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil. Para pihak langsung saja mendatangi Kantor Dinas Kependudukan
dan Pencatatan Sipil di wilayah tempat tinggal. Pendaftaran perkawinan luar negeri di
Indonesia dilakukan selambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah yang bersangkutan tiba
di Indonesia (dapat ditunjukkan dengan cap Imigrasi pada paspor).131
D. Akibat Hukum Perkawinan Campuran
Secara umum ada 3 (tiga) akibat dari suatu perkawinan, yaitu:
1. Terhadap hubungan suami istri
131

Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan.

Universitas Sumatera Utara

67

Suami istri harus setia, tolong-menolong dan saling membantu, Pasal 105
KUHPerdata menyatakan bahwa:
a.
b.
c.
d.
e.

Suami adalah kepala dan persatuan suami istri.
Suami harus memberikan bantuan kepada istrinya.
Suami harus mengemudikan urusan harta kekayaan milik pribadi istrinya.
Suami harus mengurus harta kekayaan itu sebagai bapak rumah tangga
yang baik.
Suami tidak diperkenankan memindahtangankan atau membebani harta
kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istrinya.

2. Terhadap harta kekayaan
Sejak dilangsungkannya perkawinan, demi hukum berlakulah persatuan harta
kekayaan suami istri, sejauh tentang hal ini tidak diadakan ketentuan lain
dalam perjanjian perkawinan.132 Persatuan harta kekayaan terjadi selama
perkawinan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu perjanjian
suami istri. Persatuan bulat meliputi:133
a.

Benda bergerak dan tidak bergerak baik yang dimiliki sekarang maupun
kemudian hari.
b. Penghasilan dan keuntungan yang diperoleh selama perkawinan.
c. Utang-utang suami atau istri sebelum dan sesudah perkawinan.
d. Kerugian-kerugian yang dialami sebelum perkawinan.
Terkait mengenai persatuan harta bersama, para calon suami istri dengan
perjanjian kawin dapat menyimpang dari peraturan perundang-undangan mengenai
harta bersama (persatuan bulat), sepanjang hal tersebut tidak bertentangan dengan
ketertiban umum dan diindahkan pula ketentuan-ketentuan berikut.134 Perjanjian
kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan akan
132

Pasal 119 KUHPerdata.
Pasal 120 jo. Pasal 121 KUHPerdata.
134
Pasal 139 KUHPerdata.
133

Universitas Sumatera Utara

68

menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian. Perjanjian akan mulai berlaku pada
saat perkawinan berlangsung, tidak boleh ditentukan saat lain untuk itu.135
3. Terhadap Kedudukan Anak
Dalam KUHPerdata, ada 3 (tiga) jenis anak, yaitu:
a. Anak sah
Adalah keturunan yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.136 Hal ini
diatur dalam Pasal 250 KUHPerdata yang menyatakan:137 “Tiap-tiap anak
yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si
suami sebagai bapaknya”. Dengan demikian hubungan anak dan bapak
merupakan hubungan yang sah.138
b. Anak luar kawin yang diakui
Adalah anak yang lahir dari ayah dan ibu, tetapi antara mereka tidak
terdapat larangan untuk kawin. Anak ini statusnya sama dengan anak sah,
jika kemudian orang tuanya kawin dan dapat diakui jika tidak kawin.139
c. Anak luar kawin yang tidak diakui
Adalah anak yang dilahirkan dari ibu, tetapi antara mereka terdapat
larangan untuk kawin menurut undang-undang dengan laki-laki yang
membenihkannya.140 Hal ini diatur dalam Pasal 283 KUHPerdata yang
menegaskan bahwa anak yang dibenihkan dalam zinah ataupun sumbang,
sekali-kali tidak boleh diakui, kecuali dengan cara dispensasi oleh Presiden
dengan cara mengakuinya dalam Akta Perkawinan.141
Sementara itu, jika dikaitkan dalam perkawinan campuran, kedudukan anak
akibat perkawinan campuran diatur dalam Pasal 11 GHR yang menegaskan sebagai
berikut:
“Anak-anak yang lahir dari perkawinan campuran yang dilangsungkan
menurut kedudukan hukum-hukum yang dulu mempunyai kedudukan hukum

135

Pasal 147 KUHPerdata.
Ali Afandi, Op. Cit., hlm. 140.
137
Pasal 250 KUHPerdata.
138
Ibid.
139
Pasal 272 KUHPerdata.
140
Pasal 283 KUHPerdata.
141
Pasal 273 KUHPerdata.

136

Universitas Sumatera Utara

69

menurut kedudukan hukum ayah mereka, baik terhadap hukum publik
maupun hukum sipil”.
Perkawinan campuran di Indonesia melibatkan salah satu pihak WNA
sehingga tunduk pada 2 (dua) yurisdiksi hukum yang berbeda, maka disini timbul
permasalahan, bagaimana status kewarganegaraan anak-anak yang lahir dari
perkawinan campuran.
Dari uraian di atas, kedudukan anak di dalam perkawinan campuran sangat
ditentukan oleh kewarganegaraan ayahnya. Dengan ketentuan anak harus dilahirkan
dalam atau akibat perkawinan yang sah. Jika perkawinan tidak dilakukan dalam
perkawinan yang sah, anak hanya mengikuti hubungan keperdataan dengan ibunya.
Aturan hukum tentang kewarganegaraan Indonesia telah mengalami
perubahan yang cukup signifikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2006. Undang-Undang Kewarganegaraan yang baru ini telah diberlakukan
oleh Presiden sejak tanggal 1 Agustus 2006.
Sebelum diberlakukannya Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12
Tahun 2006, Indonesia berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 62 Tahun 1958
yang berlaku sejak tanggal 1 Agustus 1958. Beberapa hal yang diatur dalam UndangUndang Kewarganegaraan yang lama adalah mengenai ketentuan-ketentuan siapa
yang

dinyatakan

berstatus

Warga

Negara

Indonesia

(WNI),

naturalisasi,

pewarganegaraan biasa, akibat kewarganegaraan, kewarganegaraan istimewa,

Universitas Sumatera Utara

70

kehilangan kewarganegaraan Indonesia dan siapa yang dinyatakan berstatus orang
asing.142
Penjelasan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006
disebutkan bahwa, Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 secara
filosofis, yuridis dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.143
Secara filosofis, undang-undang tersebut masih mengandung ketentuanketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain karena bersifat
diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antara warga
negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anakanak.144
Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan undang-undang tersebut
adalah Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (UUDS 1950) yang
sudah tidak berlaku lagi sejak Dekrit Presiden 5 Juli Tahun 1959 yang menyatakan
kembali ke UUD 1945. Dalam perkembangannya, UUD 1945 telah mengalami
perubahan yang lebih menjamin perlindungan terhadap HAM dan hak warga
negara.145
Secara sosiologis, undang-undang tersebut sudah tidak sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
142
Mulyadi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1997), hlm. 7.
143
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 103.
144
Ibid.
145
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

71

internasional dalam pergaulan global, yang menghendaki adanya persamaan
perlakuan dan kedudukan warga negara di hadapan hukum serta adanya kesetaraan
dan keadilan jender.146
Terkait mengenai perkawinan campuran di Indonesia, masalah yang sering
terjadi di dalamnya adalah mengenai kewarganegaraan anak. Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 62 Tahun 1958 menganut prinsip kewarganegaraan
tunggal, sehingga anak yang lahir dari perkawinan campuran hanya bisa memiliki 1
(satu) kewarganegaraan yang dalam undang-undang tersebut ditentukan bahwa yang
harus diikuti adalah kewarganegaraan ayahnya. Pengaturan ini menimbulkan
persoalan karena untuk tetap tinggal di Indonesia orang tuanya harus terus-menerus
memperpanjang izin tinggalnya. Persoalan lainnya apabila perkawinan orang tua
putus, ibu akan kesulitan mendapatkan pengasuhan anak yang WNA.147
Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 tidak lagi
mengatur demikian. Khusus untuk anak-anak yang lahir dari pasangan yang
melakukan perkawinan campuran, berdasarkan Pasal 6 diberikan kebebasan untuk
berkewarganegaran ganda sampai anak-anak tersebut berusia 18 (delapan belas)
tahun atau sudah menikah. Setelah anak-anak berkewarganegaraan ganda berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah menikah, kewarganegaraannya harus segera dipilih,
apakah mengikuti kewarganegaraan ayahnya atau menjadi Warga Negara Indonesia

146

Ibid.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Status Hukum Kewarganegaraan Anak
Hasil Perkawinan Campuran”, diakses melalui http://www.kpai.go.id/artikel/status-hukumkewarganegaraan-anak-hasil-perkawinan-campuran/, tanggal 14 Desember 2016, pukul 05.20 WIB.
147

Universitas Sumatera Utara

72

(WNI). Pernyataan untuk memilih harus disampaikan paling lambat 3 (tiga) tahun
setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah.148
Undang-Undang Kewarganegaraan ini juga mengatur bahwa anak yang sudah
lahir sebelum undang-undang ini disahkan dan belum berusia 18 (delapan belas)
tahun dan belum menikah adalah termasuk WNI. Caranya yaitu dengan mendaftarkan
diri kepada Menteri melalui pejabat atau Perwakilan Republik Indonesia paling
lambat 4 (empat) tahun setelah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 disahkan. 149
Anak yang memperoleh kewarganegaraan ganda tidak hanya diperoleh oleh
anak yang lahir dari perkawinan yang sah, tetapi kewarganegaraan ganda juga
berlaku untuk anak luar kawin, Hal ini ditegaskan dalam Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.yaitu:150
“Anak WNI yang lahir di luar perkawinan sah, belum berusia 18 (delapan
belas) tahun dan belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI”.
Beberapa aspek hukum terhadap anak luar kawin, yaitu aspek dari ketentuan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata. Pasal
43 Undang-Undang Perkawinan mengatur bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan kerabat ibunya. Jika anak
tersebut mendapat pengakuan dari ayahnya dan dikaitkan dengan ketentuan hukum
148

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), “Status Hukum Kewarganegaraan Anak
Hasil Perkawinan Campuran”, diakses melalui http://www.kpai.go.id/artikel/status-hukumkewarganegaraan-anak-hasil-perkawinan-campuran/, tanggal 14 Desember 2016, pukul 05.20 WIB.
149
Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Hukum Kewarganegaraan, (Bandung: Citra Adytia
Bakti, 2006), hlm. 8.
150
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

Universitas Sumatera Utara

73

perdata maka anak tersebut secara perdata mempunyai hubungan hukum dengan ayah
tetapi tidak dengan keluarga ayahnya.”151
Terkait tentang status kewarganegaraan anak dari perkawinan campuran,
berdasarkan Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006, anak yang
lahir dari perkawinan seorang perempuan WNI dengan laki-laki WNA, maupun anak
yang lahir dari perkawinan seorang laki-laki WNA dengan perempuan WNI, kini
sama-sama telah diakui sebagai WNI. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda
dan setelah anak berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah maka ia harus
menentukan pilihannya dengan membuat pernyataan. Hal ini sebagaimana diatur
dalam Pasal 6 ayat (1), ayat (2), ayat (3) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor
12 Tahun 2006 yang berturut-turut berbunyi sebagai berikut:
“Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada Pejabat dengan
melampirkan dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan
perundang-undangan”.152
“Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disampaikan dalam waktu paling lambat 3 (tiga) tahun setelah anak
berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin”.153
Kewarganegaraan ganda terjadi apabila pasangan suami istri yang berbeda
kewarganegaraan tetap mempertahankan kewarganegaraannya masing-masing, tetapi
status kewarganegaraan anaknya dapat menjadi tunggal dalam hal:
a. Pasangan suami istri berbeda kewarganegaraan menjadi WNI, apabila
suami/istri yang berkewarganegaraan asing memilih untuk menjadi WNI.
Apabila hal ini terjadi maka anak-anak yang lahir sudah tentu
151

Libertus Jehani dan Atanasius Harpen, Op. Cit., hlm. 13.
Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.
153
Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

152

Universitas Sumatera Utara

74

berkewarganegaraan Indonesia. Dari segi hukum, keadaan yang demikian
memberikan dampak positif. Ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang
Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 yang m

Dokumen yang terkait

AKIBAT HUKUM PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN TERHADAP PEWARISAN (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Cilacap No: 29/PDT.P/2011/PN.CLP.)

2 22 69

PENGAKUAN DAN PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN SERTA AKIBAT HUKUMNYA PENGAKUAN DAN PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN SERTA AKIBAT HUKUMNYA.

0 0 11

PENDAHULUAN PENGAKUAN DAN PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN SERTA AKIBAT HUKUMNYA.

0 2 15

TATACARA PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK WNI OLEH ORANGTUA ANGKAT YANG MERUPAKAN PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN DITINJAU DARI PP NO. 54 TAHUN 2007 TENTANG PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANA.

0 0 1

Pengakuan Dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Batam NO. 79 PDT.P 2014 PN.BTM)

0 0 15

Pengakuan Dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Batam NO. 79 PDT.P 2014 PN.BTM)

0 0 2

Pengakuan Dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Batam NO. 79 PDT.P 2014 PN.BTM)

0 0 29

Pengakuan Dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Batam NO. 79 PDT.P 2014 PN.BTM)

0 0 15

Pengakuan Dan Pengesahan Anak Luar Kawin Dari Pasangan Suami Istri Yang Berbeda Kewarganegaraan (Studi Penetapan Pengadilan Negeri Batam NO. 79 PDT.P 2014 PN.BTM)

0 0 6

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN) Chapter III V

0 0 48