Analisis Kemampuan Perawat Dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial di Rumah Sakit Umum Mitra Medika Medan Tahun 2016

9

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Nosokomial
2.1.1

Definisi Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial atau Health Care-Associated Infection (HCAI) adalah

suatu infeksi yang terjadi selama pasien mendapat pelayanan di fasilitas kesehatan,
dimana tidak didapatkan tanda infeksi maupun gejala pasien sedang dalam masa
inkubasi pada saat masuk rumah sakit. (WHO, 2010).
Infeksi nosokomial adalah infeksi yang didapat dari rumah sakit yang terjadi
pada pasien yang dirawat selama 72 jam (Brooker, 2008). Menurut Potter dan Perry
(2005), infeksi nosokomial terjadi di rumah sakit karena mikroorganisme patogen
yang menginfeksi pasien melalui pemberian pelayanan kesehatan.
Darmadi (2008) menyatakan bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi yang
didapat oleh pasien ketika dalam proses asuhan keperawatan atau dirawat di rumah
sakit. Infeksi nosokomial terjadi karena adanya transmisi mikroba patogen yang

bersumber dari lingkungan rumah sakit dan perangkatnya. Berdasarkan beberapa
definisi di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa infeksi nosokomial adalah infeksi
lokal maupun sistemik yang terjadi tidak dalam masa inkubasi melainkan saat klien
dirawat di rumah sakit.

9
Universitas Sumatera Utara

10

2.1.2

Jenis-Jenis Infeksi Nosokomial

Jenis-jenis infeksi nosokomial menurut Gruendemann (2005) adalah :
1. Infeksi Luka Operasi (ILO)
Risiko timbulnya ILO ditentukan oleh 3 faktor yakni jumlah dan jenis
kontaminasi mikroba pada luka, keadaan luka pada akhir operasi (ditentukan
oleh teknik pembedahan dan proses penyakit yang dihadapi selama operasi),
dan kerentanan pejamu.

2. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
Infeksi ini berkaitan dengan prosedur pemakaian kateter indweling dan sistem
drainase kemih atau peralatan urologis lainnya. Kateter indweling membentuk
suatu mekanisme yang memungkinkan bakteri masuk ke dalam kandung
kemih. Lama pemasangan kateter merupakan variabel penting dalam
menentukan apakah seorang pasien terkena infeksi. Sedangkan pada sistem
drainase yang tertutup akan menurunkan risiko ISK.
3. Infeksi Aliran Darah (Bloodstream infections)
Infeksi ini berkaitan dengan pemasangan selang intravaskular (infus). Lama
pemasangan selang intravaskular merupakan penentu utama kolonisasi
bakteri. Semakin lama selang terpasang, semakin tinggi pula risiko infeksi.
4. Dekubitus
Luka dekubitus adalah luka pada kulit dan atau jaringan yang di bawahnya
yang terjadi di rumah sakit karena tekanan yang terus menerus akibat tirah

Universitas Sumatera Utara

11

baring. Luka dekubitus akan terjadi bila penderita tidak dibolak-balik atau

dimiringkan dalam waktu 2 x 24 jam.
5. Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
VAP adalah bentuk infeksi rumah sakit yang paling sering ditemui di Unit
Perawatan Intensif (UPI), khususnya pada pasien yang menggunakan ventilasi
mekanik. Menurut Widyaningsih (2012), VAP adalah pneumonia yang
didapat di rumah sakit yang terjadi selama 48 jam pasien mendapat bantuan
ventilasi mekanik, baik melalui pipa endotrakea maupun pipa trakeostomi.
Klasifikasi lain dari infeksi nosokomial digolongkan berdasarkan tipe
organisme dan tipe/bagian infeksi. Berdasarkan tipe organisme, infeksi nosokomial
terdiri dari infeksi akibat bakteri, virus, jamur, parasite, protozoa, rickettsia, prion
(partikel protein yang terinfeksius), serta infeksi akibat organisme tidak
teridentifikasi. Sedangkan, berdasarkan tipe/bagian infeksi terbagi atas infeksi
bloodstream, infeksi bagian yang dioperasi, abses, pneumonia, infeksi pada kanul IV,

infeksi protesis, infeksi drain/tube urin dan infeksi jaringan lunak (Komite
Keselamatam Pasien Rumah Sakit, 2015).
2.1.3

Gejala Klinis Infeksi Nosokomial
Gejala klinis infeksi nosokomial dapat terjadi secara lokal dan sistemik (Potter


dan Perry, 2005). Gejala klinis lokal akan memberikan gambaran klinik sesuai
dengan organ yang diserang misalnya bila organ paru yang diserang akan
menimbulkan gejala seperti batuk, sesak nafas, nyeri dada, gelisah dan sebagainya.

Universitas Sumatera Utara

12

Bila organ pencernaan yang terkena maka akan menimbulkan gejala klinis seperti
mual, muntah, kembung, kejang perut, dan sebagainya (Darmadi, 2008).
Gejala klinis sistemik menimbulkan gejala yang lebih banyak dari pada gejala
klinis lokal. U mumnya menyebabkan demam, merasa lemas, nafsu makan menurun,
mual, pusing, pembesaran kelenjar limfe dan sebagainya (Potter dan Perry, 2005).
Darmadi (2008) juga menyatakan suatu infeksi didapat dari rumah sakit
apabila memiliki ciri-ciri:
1. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit tidak didapatkan tandatanda klinis dari infeksi tersebut.
2. Pada waktu penderita mulai dirawat di rumah sakit, tidak sedang dalam masa
inkubasi dari infeksi tersebut. Tanda-tanda klinis infeksi tersebut timbul
sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam sejak mulai perawatan.

3. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa (residual) dari infeksi sebelumnya.
4. Bila saat mulai dirawat di rumah sakit sudah tidak ada tanda-tanda infeksi,
dan terbukti infeksi tersebut didapat penderita ketika dirawat di rumah sakit
yang sama, serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.
2.1.4

Indikator Infeksi Nosokomial
Menurut Kemenkes RI (2010), indikator infeksi nosokomial dikumpulkan

melalui proses surveilans yang dilakukan oleh Tim PPI Rumah Sakit. Tim PPI
bertanggung jawab atas pengumpulan data tersebut di atas, karena mereka yang
memiliki keterampilan dalam mengidentifikasi infeksi rumah sakit sesuai dengan
kriteria yang ada. Sedangkan pelaksana pengumpul data adalah Infection Prevention

Universitas Sumatera Utara

13

Control Nurse (IPCN) yang dibantu Infection Prevention Control Link Nurse


(IPCLN). Mekanisme pelaksanaan surveilans dimulai dengan pengisian dan
pegumpulan formulir surveilans setiap pasien berisiko oleh IPCLN di unit rawat
masing-masing setiap hari. Pada a

wal bulan berikutnya, paling lambat tanggal 5

formulir surveilans diserahkan ke Tim PPI dengan diketahui dan ditandatangani
Kepala Ruangan. Apabila ada kecurigaan terjadi infeksi, IPCLN segera melaporkan
ke IPCN untuk ditindaklanjuti (investigasi).
Numerator dari masing-masing indikator infeksi nosokomial adalah angka
kejadian infeksi, sedangkan denominator ditentukan oleh jenis infeksi rumah sakit.
Adapun indikator infeksi nosokimial di rumah sakit menurut Kemenkes (2010),
meliputi :

Universitas Sumatera Utara

14

2.1.5


Faktor-Faktor yang Memengaruhi terjadinya Infeksi Nosokomial
Darmadi (2008) mengemukakan beberapa faktor yang berperan dalam

terjadinya infeksi nosokomial adalah:
1. Faktor-faktor luar (extrinsic factors)
Faktor-faktor luar yang berpengaruh dalam proses terjadinya infeksi
nosokomial seperti:
a. Petugas pelayanan medis (dokter, perawat, bidan, tenaga laboratorium, dan
sebagainya).
b. Peralatan dan dan material medis (jarum, kateter, instrumen, respirator,
kain/doek, kassa, dan lain-lain).
c. Lingkungan terdiri dari lingkungan internal seperti ruangan perawatan, kamar
bersalin, dan kamar bedah, serta lingkungan eksternal seperti halaman rumah
sakit dan tempat pembuangan sampah atau pengelolahan limbah.
d. Makanan dan atau minuman (hidangan yang disajikan setiap saat kepada
penderita).
e. Penderita lain (keberadaan penderita lain dalam satu kamar atau ruangan
perawatan dapat merupakan sumber penularan).
f.


Pengunjung atau keluarga (keberadaan tamu atau keluarga dapat merupakan
sumber penularan).

2. Faktor-faktor yang ada dalam diri penderita (instrinsic factors) seperti: umur,
jenis kelamin, kondisi umum penderita, risiko terapi, atau adanya penyakit lain
yang menyertai (multipatologi) beserta komplikasinya.

Universitas Sumatera Utara

15

3. Faktor keperawatan seperti lamanya hari perawatan (length of stay), menurunnya
standar pelayanan perawatan, serta padatnya penderita dalam satu ruangan.
4. Faktor mikroba seperti tingkat kemampuan invasi serta tingkat kemampuan
merusak jaringan, lamanya paparan (length of exposure) antara sumber penularan
(reservoir) dengan penderita.

2.2 Peran Perawat dalam Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Nosokomial
Perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat berkaitan dengan
terjadinya infeksi nosokomial di rumah sakit karena perawat bertanggung jawab

menyediakan lingkungan yang aman bagi pasien terutama dalam PPI proses
keperawatan. Jadi, perawat merupakan pelaksana terdepan dalam upaya pencegahan
dan pengendalian infeksi nosokomial (Potter dan Perry, 2005).
Faktor standar asuhan keperawatan yang mempengaruhi terjadinya infeksi
nosokomial adalah klasifikasi dan jumlah ketenagaan yang memiliki kemampuan
dalam menjalankan dan mempraktikkan teknik aseptik; peralatan dan obat yang
sesuai, siap pakai dan cukup; ruang perawatan secara fisik dan higienis yang
memadai; aspek beban kerja dalam pembagian jumlah penderita dengan tenaga
keperawatan, dan jumlah pasien yang dirawat (Darmadi, 2008). Selain itu, peran
perawat dalam pengendalian infeksi adalah menyediakan layanan konsultasi
mengenai semua aspek PPI dengan menggunakan metode yang berdasarkan bukti
penelitian, praktisi, dan keefektifan biaya (Brooker, 2008).

Universitas Sumatera Utara

16

WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection
menyatakan bahwa perawat adalah pelaksana pencegahan dan pengendalian infeksi
nosokomial dalam:

2.2.1. Menjaga Kebersihan Rumah Sakit
Semua institusi kesehatan harus memiliki pedoman untuk pembuangan materi
sampah infeksi menurut kebijakan lokal dan negara. Perawat dalam membuang
sampah cair yang terkontaminasi (misalnya darah, urine, tinja, jaringan dan duh
tubuh lainnya) memerlukan penanganan khusus karena resiko infeksi terhadap
petugas kesehatan yang menangani. Perawat memakai sarung tangan, kacamata
pelindung dan celemek, buang sampah cair pada wastafel atau ke dalam toilet
kemudian disiram. Wadah tempat sampah cair didesinfeksi dengan larutan klorin
0,5% selama 10 menit (Depkes, 2008).
Selain itu, spesimen laboratorium dari semua pasien ditangani seolah-olah
spesimen tersebut dapat menyebabkan infeksi. Semua materi sampah yang berasal
dari pasien dibuang pada tempat sampah khusus. Setelah memberikan suntikan,
perawat harus membuang jarum pada tempat yang tahan tusukan. Jangan pernah
melepaskan, membengkokkan atau mematahkan jarum suntik yang telah digunakan
dengan tangan. (Potter dan Perry, 2005).
Menurut WHO (2002), tindakan kebersihan lingkungan rumah sakit adalah
sebagai berikut:
1. Pembersihan rutin diperlukan untuk menjamin lingkungan rumah sakit untuk
tampak bersih, dan bebas dari debu dan tanah. Kebanyakan dari mikroorganisme


Universitas Sumatera Utara

17

terdapat dalam lingkungan atau benda yang kotor, dan tujuan pembersihan rutin
adalah untuk membuang kotoran tersebut. Baik sabun ataupun deterjen memiliki
aktivitas antimikroba, dan proses pembersihan pada dasarnya tergantung pada
tindakan mekaniknya.
2. Seharusnya ada kebijakan yang menetapkan frekuensi pembersihan dan alat
pembersih yang digunakan untuk dinding, lantai, jendela, tempat tidur, tirai, tabir,
perlengkapan, mebel, kamar mandi dan toilet, serta semua peralatan medis yang
dapat digunakan kembali.
3. Metode harus sesuai dengan kemungkinan tingkat kontaminasi dan tingkat
pembersihan yang diperlukan. Hal ini dapat dicapai dengan mengelompokkan
area ke salah satu dari 4 zona rumah sakit, yaitu:
a. Zona A: tidak ada kontak dengan pasien. Pembersihan normal domestik
(misalnya administrasi dan perpustakaan).
b. Zona B: perawatan pasien yang tidak terinfeksi dan tidak rentan dibersihkan
dengan prosedur yang tidak menerbangkan debu. Sapu atau pembersih debu
tidak dianjurkan. Penggunaan larutan deterjen dapat meningkatkan kualitas
pembersihan. Hama di area lain yang tampak kontaminasi dengan darah dan
cairan tubuh terlebih dahulu dibersihkan.
c. Zona C: pasien yang terinfeksi (ruangan yang terpisah). Bersihkan dengan
larutan deterjen atau disinfektan dengan peralatan pembersih yang terpisah
untuk setiap ruangan.

Universitas Sumatera Utara

18

d. Zona D: pasien yang sangat rentan (pemisahan yang terlindung) atau kawasan
yang terlindung seperti ruangan operasi, ruang pengiriman, unit perawatan
intensif, unit bayi prematur, dan unit hemodialisa. Bersihkan menggunakan
larutan deterjen atau disinfektan dan peralatan kebersihan yang terpisah.
Semua permukaan di zona B, C, D, dan semua kawasan toilet harus dibersihkan
setiap hari.
4. Pengujian bakteriologi pada lingkungan tidak dianjurkan kecuali dalam keadaan
tertentu seperti penyelidikan epidemi dimana ada dugaan sumber infeksi dari
lingkungan. Pemantauan dialisis air sesuai standar untuk jumlah bakteri. Kualitas
pengendalian saat praktek pembersihan.
2.2.2. Pelaksanaan Cuci Tangan
Tangan dapat menularkan infeksi di rumah sakit dan dapat diminimalkan
dengan kebersihan tangan yang sesuai. Dalam mencuci tangan sering dilakukan tidak
optimal. Hal ini dikarenakan berbagai alasan, misalnya kurangnya peralatan yang
sesuai, tingginya perbandingan jumlah perawat dengan pasien, alergi terhadap produk
pencuci tangan, kurangnya pengetahuan perawat tentang risiko dan cara mencuci
tangan yang baik dan benar, serta terlalu lama waktu yang direkomendasikan untuk
mencuci tangan (WHO, 2002).
1. Syarat-syarat mencuci tangan:
a. Penggerak air: wastafel besar yang membutuhkan sedikit perawatan, dengan
perangkat antisplash dan pengendali tanpa menggunakan tangan.

Universitas Sumatera Utara

19

b. Produk: sabun atau antiseptik tergantung pada prosedur. Disinfektan tangan
dengan

cairan

pencuci

beralkohol

dengan

teknik

antiseptik

untuk

membersihkan tangan secara fisik.
c. Fasilitas

pengering

tanpa

kontaminasi

(handuk

sekali

pakai

jika

memungkinkan).
2. Prosedur mencuci tangan:
Seharusnya ada kebijakan tertulis dan prosedur untuk mencuci tangan.
Perhiasan, jam tangan dan kuku palsu harus dilepaskan sebelum mencuci tangan.
Prosedur kebersihan tangan minimal dapat dibatasi untuk tangan dan pergelangan
tangan sedangkan untuk prosedur pembedahan mencakup tangan dan lengan bawah.
Prosedur akan berbeda dengan perkiraan risiko terjadinya infeksi kepada pasien:
a. Perawatan rutin (minimal) :
Menurut Depkes (2008), cuci tangan secara rutin wajib dilakukan oleh setiap
perawat pada saat melakukan 5 momen, yaitu: sebelum kontak dengan pasien;
sebelum melakukan tindakan/prosedur terhadap pasien; setelah tindakan atau
prosedur atau berisiko terpapar cairan tubuh pasien; setelah kontak dengan
pasien; dan setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien.
1) Teknik mencuci tangan dengan sabun air mengalir
a) Buka kran dan basahi tangan dengan air.
b) Tuangkan sabun cair secukupnya.
c) Gosok kedua telapak tangan hingga merata.

Universitas Sumatera Utara

20

d) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan
dan sebaliknya.
e) Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari.
f) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci dan saling
digosokkan.
g) Gosok ibu jari kiri berputar kearah bawah dalam genggaman tangan
kanan dan sebaliknya.
h) Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak
tangan kiri dan sebaliknya.
i) Bilas tangan dengan air bersih.
j) Keringkan tangan dengan menggunakan handuk kertas.
k) Gunakan handuk kertas tersebut untuk memutar kran sewaktu
mematikan air.
l) Setiap gerakan dilakukan sebanyak 7 kali. Lamanya seluruh prosedur
sebaiknya selama 40-60 detik.
2) Teknik mencuci tangan dengan antiseptik berbasis alkohol.
a) Tuangkan segenggam penuh bahan antiseptik berbasis alkohol ke
dalam tangan.
b) Gosok kedua telapak tangan hingga merata.
c) Gosok punggung dan sela-sela jari tangan kiri dengan tangan kanan
dan sebaliknya.
d) Gosok kedua telapak tangan dan sela-sela jari.

Universitas Sumatera Utara

21

e) Jari-jari sisi dalam dari kedua tangan saling mengunci dan saling
digosokkan.
f) Gosok ibu jari kiri berputar kearah bawah dalam genggaman tangan
kanan dan sebaliknya.
g) Gosokkan dengan memutar ujung jari-jari tangan kanan di telapak
tangan kiri dan sebaliknya.
h) Biarkan tangan mongering.
i) Setiap gerakan dilakukan sebanyak 4 kali. Lamanya seluruh prosedur
sebaiknya selama 20-30 detik.
b. Tindakan pembedahan:
Pada tindakan pembedahan cuci tangan meliputi tangan dan lengan bawah, cuci
dengan sabun antiseptik dan waktu berkisar 3-5 menit. Pembersihan tangan dan
lengan bawah: mencuci tangan biasa, kemudian cuci tangan dengan
menggunakan desinfektan, lalu menggosok tangan, bilas dan ulangi sekali lagi
dengan menggunakan desinfektan lalu keringkan.

3. Ketersediaan sumber daya
Peralatan dan produk yang ada di seluruh rumah sakit atau fasilitas perawatan
kesehatan tidaklah sama. Produk yang digunakan dan tata cara mencuci tangan juga
akan berbeda tergantung pada ketersediaan alat dan fasilitas mencuci tangan.
2.2.3. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)

Universitas Sumatera Utara

22

Perlindungan barrier harus sudah tersedia bagi perawat seperti gaun, masker,
sarung tangan, dan kacamata pelindung (Depkes, 2008).
1. Gaun Pelindung
Gaun pelindung melindungi perawat dan pengunjung dari kontak dengan
bahan dan darah atau cairan tubuh yang terinfeksi. Gaun diwajibkan bila masuk ke
ruang isolasi. Melepaskan gaun sebelum keluar dari ruangan isolasi pasien, setelah
gaun dilepaskan, pastikan bahwa pakaian tidak kontak dengan lingkungan lain.
Adapun teknik pemakaian gaun pelindung adalah sebagai berikut:
a. Cara memasang gaun pelindung :
1) Tutupi badan sepenuhnya dari leher hingga lutut, lengan hingga bagian
pergelangan tangan dan selubungkan ke balakang punggung.
2) Ikat di bagian belakang leher dan pinggang.
b. Cara melepas gaun pelindung :
1) Ingatlah bahwa bagian depan gaun dan lengan gaun pelindung telah
terkontaminasi.
2) Lepas tali.
3) Tarik dari leher dan bahu dengan memegang bagian dalam gaun pelindung
4) Balik gaun pelindung.
5) Lipat atau gulung menjadi gulungan dan letakkan di wadah yang telah
disediakan untuk diproses ulang atau buang di tempat sampah infeksius.
2. Masker

Universitas Sumatera Utara

23

Masker yang terbuat dari kapas, kasa, atau kertas kurang efektif. Masker
kertas dengan bahan sintetis untuk penyaring adalah penghalang yang efektif
melawan mikroorganisme. Masker digunakan dalam berbagai situasi. Menurut WHO
(2002), persyaratan mengenakan masker berbeda untuk tujuan yang berbeda.
a. Pelindung dari pasien:
Perawat mengenakan masker untuk bekerja di ruangan operasi, merawat pasien
yang terganggu kekebalannya, atau pasien dengan rongga tubuh yang terpapar
dengan lingkungan luar.
b. Pelindung bagi perawat:
Perawat harus mengenakan masker ketika merawat pasien dengan infeksi
pernafasan, atau saat melakukan bronchoscopy atau pemeriksaan serupa. Pasien
dengan infeksi yang dapat ditularkan melalui sirkulasi udara harus mengenakan
masker bedah saat berada diluar ruang isolasi/ ruang perawatan mereka.
Teknik menggunakan masker menurut Depkes (2008) adalah:
a. Cara memasang masker
1) Eratkan tali atau karet elastis pada bagian tengah kepala dan leher.
2) Paskan klip hidung dari logam fleksibel pada batang hidung.
3) Paskan dengan erat pada wajah dan dibawah dagu sehingga melekat
dengan baik.
4) Periksa ulang pengepasan masker.
b. Cara melepas masker
Ingatlah bahwa bagian depan masker telah terkontaminasi. Jangan disentuh.

Universitas Sumatera Utara

24

3. Sarung Tangan
Sarung tangan digunakan untuk:
a. Pelindung dari pasien: perawat mengenakan sarung tangan untuk prosedur
pembedahan, perawatan pasien dengan sistem kekebalan tubuhnya terganggu,
prosedur invasif.
b. Sarung tangan yang tidak steril dapat dipakai untuk kontak dengan selaput
lendir pasien dimana tangan akan mudah terkontaminasi.
c. Pelindung bagi perawat: perawat menggunakan sarung tangan yang tidak
steril untuk merawat pasien dengan penyakit menular yang ditularkan melalui
sentuhan, atau melakukan bronchoscopies atau pemeriksaan yang serupa.
d. Tangan harus dicuci saat sarung tangan dibuka atau diganti.
e. Sarung tangan sekali pakai tidak dapat dipakai kembali.
f. Lateks atau polivinil klorida adalah bahan yang paling sering digunakan untuk
sarung tangan. Kualitas sarung tangan yang baik yakni tidak adanya pori-pori
atau lubang dan durasi penggunaan sangat bervariasi dari satu jenis sarung
tangan ke sarung tangan yang lain. Alergi terhadap lateks dapat terjadi, dan
pekerjaan program kesehatan harus memiliki kebijakan untuk mengevaluasi
dan mengelola masalah ini.
Teknik penggunaan sarung tangan adalah sebagai berikut:
a. Cara memasang sarung tangan:
Tarik hingga menutupi bagian pergelangan tangan gaun isolasi.
b. Cara melepas sarung tangan:

Universitas Sumatera Utara

25

1) Ingatlah bahwa bagian luar sarung tangan telah terkontaminasi.
2) Pegang bagian luar sarung tangan dengan sarung tangan lainnya, lepaskan.
3) Pegang sarung tangan yang telah dilepas dengan menggunakan tangan
yang masih memakai sarung tangan.
4) Selipkan jari tangan yang sudah tidak memakai sarung tangan di bawah
sarung tangan yang belum dilepas di pergelangan tangan.
5) Lepaskan sarung tangan di atas sarung tangan pertama.
6) Buang sarung tangan di tempat sampah infeksius.
4. Kacamata Pelindung
Bila melakukan prosedur invasif yang dapat menimbulkan droplet atau percikan dari
darah atau cairan tubuh lainnya, perawat harus menggunakan kacamata pelindung.
Kacamata pelindung dapat tersedia dalam bentuk kacamata plastik. Kacamata harus
terpasang pas sekeliling wajah sehinnga cairan tidak dapat masuk antara wajah dan
kacamata (Garner dalam Potter dan Perry, 2005).
5. Topi
Topi digunakan untuk menutup rambut dan kulit kepala sehingga serpihan kulit dan
rambut tidak masuk ke dalam luka selama pembedahan.
6. Pelindung kaki
Pelindung kaki digunakan untuk melindungi kaki dari cedera akibat benda tajam atau
benda berat yang mungkin jatuh secara tidak sengaja ke atas kaki.
2.2.4. Melakukan Teknik Aseptik

Universitas Sumatera Utara

26

Tindakan pencegahan infeksi nosokomial dengan menggunakan teknik aseptik dapat
terlihat pada infeksi nosokomial yang sering terjadi berikut ini :
1. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
ISK adalah infeksi nosokomial yang lebih sering ditemukan; 80% dari infeksi ini
berkaitan dengan pemasangan kateter. Intervensi efektif dalam pencegahan
infeksi karena pemasangan keteter menurut WHO (2002) meliputi:
a. Menghindari kateterisasi bila tidak diperlukan.
b. Bila kateterisasi diperlukan, batasi waktu pemasangan.
c. Mempertahankan praktek aseptik yang sesuai selama memasukkan kateter
urine dan juga prosedur urologi invasif lainnya (seperti cystoscopy,
urodynamic testing dan cystografy).

d. Mencuci tangan secara higenis sebelum memasukkan kateter menggunakan
sarung tangan steril untuk memasukkan dan menyambungkannya dengan
urine bag.

e. Pembersihan perineal dengan larutan antiseptik sebelum memasukkan kateter.
f. Memasang kateter dengan sebelumnya menggunakan pelumas atau pelican.
Praktek lain yang dianjurkan dan terbukti mengurangi infeksi meliputi:
a. Mempertahankan aliran kateter dengan baik.
b. Membersihkan daerah perineal untuk pasien yang terpasang kateter.
c. Pelatihan perawat dalam memasang kateter dan perawatan.
d. Mempertahankan kelancaran aliran urine dari kandung kemih dalam urine
bag dengan meletakkan urine bag lebih rendah dari kandung kemih. Kateter

Universitas Sumatera Utara

27

yang digunakan adalah kateter yang berdiameter terkecil. Bahan kateter (latex,
silicone ) tidak mempengaruhi tingkat kejadian infeksi.

Tindakan bagi pasien dengan gangguan perkemihan :
a. Menghindari pemasangan kateter yang menetap sedapat mungkin.
b. Bila bantuan pengosongan kandung kemih diperlukan, maka ganti kateter
sesering mungkin.
Menurut Tietjen (2004), bahwa prosedur dalam pemasangan kateter antara lain:
a. Persiapan alat yang yang terdiri dari kateter steril, urine bag, spuit untuk
membuat balon pada kateter, sarung tangan steril, larutan antiseptik, kain
kassa, pelumas, kantong plastik tempat sampah.
b. Sebelum memulai prosedur, bersihkan tangan dengan sabun dan air bersih
kemudian keringkan dengan handuk bersih.
c. Kenakan sarung tangan steril atau yang telah didesinfeksi pada kedua tangan.
d. Gunakan kateter kecil sesuaikan dengan system drainase yang baik. Untuk
pasien perempuan, pegang bagian labia dengan tangan yang tidak dominan.
Tangan yang lainnya membersihkan uretra dengan kapas steril yang telah
diberi larutan desinfektan. Sedangkan untuk pasien laki-laki, tarik kulit pada
ujung penis ke bawah dengan tangan yang tidak dominan. Tangan yang lain
membersihkan kepala penis dan saluran uretra dengan kapas steril yang telah
diberi larutan desinfektan.
e. Letakkan benda-benda kotor pada kantung plastik yang tidak bocor, lepaskan
sarung tangan dengan cara membalikkannya tidak memegang daerah yang

Universitas Sumatera Utara

28

kotor dan letakkan pada kantung plastik. Buang pada tempat sampah medis
kemudian cuci tangan dengan sabun dan air atau gunakan larutan desinfektan.
f. Titik temu antara selang kateter dan urine bag harus tetap tertutup dan
tersambung. Selama tertutup, isinya masih dianggap steril. Aliran keluar klep
pada urine bag harus tetap tertutup dan dibersihkan untuk mencegah
masuknya bakteri.
g. Pergerakan kateter di uretra harus diminimalkan untuk mengurangi
kemungkinan mikroorganisme mencapai uretra kemudian masuk ke dalam
kandung kemih.
h. Kateter dan urine bag harus diganti bila waktu pemasangan sudah beberapa
hari atau minggu.
Selain pemasangan keteter, pencabutan kateter juga dapat menyebabkan
terjadinya infeksi. Prosedur pencabutan kateter sama dengan pemasangan kateter.
Perawat harus menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan sebelum dan sesudah
prosedur.
2. Infeksi Aliran Darah
Infeksi lokal dan infeksi sistemik dapat terjadi sehingga memerlukan
perawatan yang lebih intensif. Praktek memasang kateter intravaskuler menurut
WHO (2002), meliputi :
a. Menghindari pemasangan kateter intravaskuler bila tidak ada indikasi medis.
b. Mempertahankan teknik asepsis dalam memasang kateter intravaskuler dan
perawatannya.

Universitas Sumatera Utara

29

c. Penggunaan kateter intravaskuler dengan waktu sesingkat mungkin.
d. Mempersiapkan cairan infus secara aseptik sebelum digunakan.
e. Melatih perawat dalam memasang dan merawat kateter intravaskuler.
Saat melakukan pemasangan infus perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Tangan harus dicuci sebelum memasang infus dengan teknik aseptik.
b. Cuci dan desinfeksi kulit di tempat memasukkan infus dengan larutan antiseptik.
c. Penggantian infuset tidak terlalu sering dibandingkan dengan penggantian jarum
infus, kecuali setelah transfusi darah yang meninggalkan bekuan darah yang dapat
membuat aliran tidak lancar.
d. Bila infeksi lokal plebitis terjadi, maka infus harus segera dilepas.
Menurut Tietjen (2004), prosedur pemasangan infus dilakukan dengan
tindakan, yaitu:
a. Mencuci tangan dengan sabun kemudian keringkan dengan handuk.
b. Menyambungkan infus set dan botol cairan infus dengan teknik aseptik (jangan
menyentuh daerah tusukan pada botol infus).
c. Memakai sarung tangan sebelum prosedur pemasangan infus, mendesinfeksi
daerah vena yang akan dipasang infus dengan gerakan memutar ke arah luar dari
tempat pemasangan.
d. Perhatikan daerah pemasangan infus terhadap tanda flebitis. Fiksasi daerah luka
pada pemasangan infus dengan kasa steril kemudian plester.

Universitas Sumatera Utara

30

e. Sebelum melepas sarung tangan, buang kapas/kasa yang terkontaminasi darah ke
dalam kantong plastik, lepaskan sarung tangan dan buang ke tempat sampah
medis.
f. Kemudian cuci tangan dengan menggunakan larutan antiseptik
g. Pada saat perawat menusukkan jarum ke ujung selang intravena untuk memberi
obat (injeksi bolus), perawat harus mendesinfeksi dengan menyeka bagian luar
selang infus dengan menggunakan alkohol.
h. Pemeliharaan infus juga harus dilakukan pada pasien yang meliputi : jumlah
tetesan, apakah infus terbuka atau lepas, mengecek setiap 8 jam apakah terjadi
tanda-tanda infeksi. Pindahkan pemasangan infus setiap 72-96 jam untuk
mengurangi infeksi. Infus set juga harus diganti jika rusak atau secara rutin setiap
72 jam. Pada saat mengganti cairan infus jangan menyentuh daerah tusukan jarum
atau mendesinfeksi terlebih dahulu daerah tusukan jarum tersebut dengan alkohol
60-90%.
3. Infeksi Luka
Cara lain untuk mengurangi masuknya mikroorganisme adalah perawatan
luka dengan prinsip steril. Untuk mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam
luka, perawat harus membersihkan bagian sekitar luka. Perawat menyeka bagian
dalam luka kemudian bagian luarnya dengan menggunakan kasa steril. Perawatan
luka dilakukan kurang dari 72 jam. Untuk luka tertentu dilakukan setiap hari
misalnya luka karena penyakit diabetes mellitus (Tietjen, 2004).

Universitas Sumatera Utara

31

Satu peralatan luka digunakan untuk satu pasien, namun jika penggunaan
peralatan luka secara bergantian tidak dapat dihindari, alat-alat tersebut harus secara
adekuat dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang lainnya.
Selain itu, dalam merawat luka operasi dengan sistem drainase (drainase luka, cairan
empedu dan cairan tubuh lainnya) perawat juga harus tetap menjaga selang drainase
bagian luar tetap bersih. Semua selang harus tetap tersambung selama penggunaan.
Wadah drainase hanya boleh dibuka pada saat membuang atau mengeluarkan cairan
drainase. Kadang-kadang perawat mengambil specimen dari selang drainase dengan
menusukkan jarum ke ujung selang. Dalam hal ini perawat harus mendesinfeksi
dengan menggunakan alkohol dan larutan yodium sebelum menusuk selang drainase
kemudian meletakkan kasa steril di sekeliling ujung selang drainase yang terbuka,
sehingga terhindar dari kontaminasi bakteri dari luar kateter. Kemudian setelah
mengambil spesimen, tutup dan kunci kembali selang drainase (Potter dan Perry,
2005).
2.2.5. Melapor Kepada Dokter Jika Ada Tanda dan Gejala Infeksi
Infeksi nosokomial dapat terjadi secara sistemik dan lokal. Tanda dan gejala
infeksi dapat berupa adanya merah dan bengkak pada daerah yang terinfeksi, nyeri
dan ada drainase atau lesi. Pada saat mengkaji perawat menggunakan sarung tangan.
Infeksi sistemik terjadi setelah pengobatan infeksi lokal gagal. Infeksi sistemik
menimbulkan gejala yang lebih besar lagi misalnya pembengkakan kelenjar limfe,
hilangnya nafsu makan. mual dan muntah. Perawat melakukan pengkajian terhadap
tanda dan gejala infeksi nosokomial yang terjadi pada pasien. Bila ditemukan tanda

Universitas Sumatera Utara

32

dan gejala infeksi atau masalah-masalah lain yang berkaitan dengan status kesehatan
pasien, perawat melaporkan hal–hal tersebut kepada dokter (Potter dan Perry, 2005).
Bila proses penyakit atau organisme penyebab penyakit sudah teridentifikasi,
dokter dapat lebih efektif meresepkan pengobatan terhadap situasi tersebut, misalnya
dengan pemberian antibiotik yang spesifik untuk mikroorganisme penyebab infeksi.
Sehingga masalah atau tanda dan gejala infeksi pasien dapat teratasi atau
diminimalkan (Guendemann, 2005).
2.2.6. Melakukan Isolasi terhadap Pasien dengan Penyakit Menular
Pasien tertentu mungkin memerlukan tindakan pencegahan khusus untuk
membatasi penularan organisme yang berpotensi menginfeksi kepada pasien lain.
Kewaspadaan isolasi direkomendasikan tergantung pada cara penularannya.
Penularan infeksi menurut WHO (2002), dapat melalui:
1. Airborne infeksi: infeksi biasanya terjadi melalui saluran pernapasan, dengan
agen ini dalam aerosol (ukuran partikel 5 μm).
3. Infeksi melalui kontak langsung atau tidak langsung: infeksi terjadi melalui
kontak langsung antara sumber infeksi dan kontak tidak langsung melalui
terkontaminasi benda.
Menurut WHO (2002), isolasi dan pencegahan penularan infeksi berdasarkan
pada standar yang ada, meliputi:
1. Standar rutin tindakan pencegahan yang harus diikuti perawat untuk merawat
semua pasien.

Universitas Sumatera Utara

33

2. Standar (rutin) tindakan pencegahan diterapkan untuk perawatan semua pasien.
ini termasuk membatasi perawat kontak dengan sekret atau cairan biologis, lesi
kulit, mukosa membran, dan darah atau cairan tubuh. Perawat harus memakai
sarung tangan, masker, dan gaun setiap kontak yang dapat menyebabkan
kontaminasi.
3. Standar tindakan pencegahan terhadap semua pasien:
a. Cuci tangan sebelum dan setelah kontak dengan materi infeksi.
b. Teknik meminimalkan sentuhan dengan materi infeksi.
c. Pakailah sarung tangan ketika kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi,
ekskresi, membran mukosa dan barang-barang yang terkontaminasi.
d. Cuci tangan segera setelah melepas sarung tangan.
e. Semua benda tajam harus ditangani dengan sangat hati-hati.
f. Bersihkan segera tumpahan bahan infeksi. Pastikan bahwa peralatan
perawatan pasien, perlengkapan dan linen yang terkontaminasi dengan bahan
infektif dibuang, atau didesinfeksi atau disterilisasi pada setiap penggunaan
kepada pasien.
g. Pastikan penanganan limbah yang baik.
h. Jika tidak ada mesin cuci yang tersedia untuk linen kotor dengan materi
infektif, linen dapat direbus.
Pertimbangan untuk pakaian pelindung meliputi:
a. Gaun: harus dari bahan yang bisa dicuci, dapat dikancing atau diikat di
belakang, jika perlu dengan celemek plastik.

Universitas Sumatera Utara

34

b. Sarung tangan: sarung tangan plastik yang tersedia dan biasanya cukup.
c. Masker: masker bedah yang terbuat dari kain atau kertas dapat digunakan
untuk melindungi dari percikan.
4. Standar tindakan pencegahan untuk pasien tertentu.
a. Tindakan pencegahan melalui udara (ukuran partikel 5 pm) misalnya
bakteri meningitis, difteri, virus saluran pernafasan. Prosedur berikut
diperlukan:
1) Ruangan perawatan sendiri untuk pasien, jika tersedia.
2) Masker bagi pekerja perawatan kesehatan.
3) Sirkulasi terbatas bagi pasien, pasien memakai masker bedah jika
meninggalkan ruangan.
5. Tindakan pencegahan untuk pasien dengan infeksi enterik dan diare yang tidak
dapat dikendalikan, atau lesi kulit yang tidak dapat diatasi, antara lain:
a. Pasien ditempatkan pada ruang perawatan sendiri jika tersedia; penggabungan
pasien jika memungkinkan.
b. Perawat memakai sarung tangan saat memasuki ruangan.

Universitas Sumatera Utara

35

c. Mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, dan
meninggalkan ruangan.
d. Membatasi gerakan pasien di luar ruangan.
e. Pembersihan lingkungan dan peralatan, disinfeksi, dan sterilisasi.
Isolasi dibutuhkan untuk merawat pasien dengan risiko infeksi yang sangat berbahaya
dimana dapat menularkan melalui berbagai cara, antara lain (WHO, 2002):
1. Pasien ditempatkan ruang isolasi jika memungkinkan.
2. Masker, sarung tangan, gaun pelindung, topi, mata perlindungan bagi semua
memasuki ruangan.
3. Cuci tangan saat masuk dan keluar dari ruangan.
4. Desinfeksi instrumen medis.
5. Pembersihan kotoran, cairan tubuh, sekresi cairan tubuh.
6. Desinfeksi linen.
7. Membatasi pengunjung dan staf.
8. Desinfeksi harian dan desinfeksi terminal.
9. Menggunakan peralatan sekali pakai.
10. Pengambilan spesimen pasien dan pengiriman ke laboratorium.
Menurut Potter dan Perry (2005), bila ruangan isolasi tidak tersedia tempatkan
pasien dalam satu kamar dengan pasien yang menderita infeksi dengan
mikroorganisme yang sama. Bila ruangan tidak tersedia dan pengelompokkan tidak
mungkin, pertahankan pemisahan minimal dengan jarak 1 meter antara pasien yang

Universitas Sumatera Utara

36

terinfeksi dan pasien-pasien lain dan juga dengan pengunjung. Jika pasien yang
diketahui dan diduga terkena infeksi saluran pernafasan harus menggunakan masker
pada saat keluar dari kamar.

2.2.7. Membatasi Paparan Pasien terhadap Infeksi yang Berasal dari
Pengunjung
Sumber infeksi nosokomial mungkin berasal dari pasien, petugas rumah sakit,
atau bisa juga pengunjung. Mereka mungkin sudah terkena penyakit, berada dalam
masa inkubasi (tidak ada gejala), atau dapat juga berupa karier kronis. Daya tahan
tubuh masing-masing berbeda, ada yang kebal, ada yang menjadi karier tanpa gejala,
ada yang langsung terkena infeksi dan sakit (Tietjen, 2004).
Pengunjung harus menggunakan alat pelindung ketika memasuki ruang
perawatan khusus seperti masker, gaun pelindung, sarung tangan untuk mencegah
penularan infeksi. Salah satu cara lain adalah dengan membatasi jumlah pengunjung.
Dengan membatasi jumlah pengunjung berarti mengurangi resiko terjadinya
penularan infeksi (WHO, 2002).
2.2.8. Mempertahankan Keamanan Peralatan dan Perlengkapan Perawatan
dari Penularan Infeksi Nosokomial
Pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi yang tepat terhadap alat-alat yang
terkontaminasi dapat mengurangi bahkan memusnahkan mikroorganisme. Di sentral
perawatan kesehatan dilakukan desinfeksi dan mensterilkan barang-barang yang
dapat digunakan kembali.

Universitas Sumatera Utara

37

a. Pembersihan
Menurut Rutala, pembersihan dilakukan untuk membuang semua material
asing seperti kotoran dan materi organik dari suatu objek. Objek menjadi
terkontaminasi bila kontak dengan sumber infeksi. Biasanya pembersihan dilakukan
dengan menggunakan air dan cara mekanis dengan atau tanpa deterjen (Potter dan
Perry, 2005).
Bila membersihkan darah, materi fekal, mucus atau pus, perawat
menggunakan masker, kacamata pelindung dan sarung tangan sebagai pelindung
terhadap organisme infeksi. Sikat berbulu padat dan deterjen atau sabun dibutuhkan
untuk pembersihan (WHO, 2002). Langkah berikut ini menjamin bahwa suatu objek
disebut bersih:
1) Cuci objek atau benda yang terkontaminasi dengan air dingin yang mengalir
untuk membuang materi organik. Jangan menggunakan air panas karena dapat
menyebabkan materi organik berkoagulasi dan menempel pada objek,
sehingga sulit untuk dibuang.
2) Setelah dibilas, cuci objek dengan sabun dan air hangat. Sabun dan deterjen
memiliki kandungan desinfektan yang dapat membunuh kuman patogen pada
objek. Gunakan sikat untuk membuang kotoran atau materi pada objek yang
susah dibersihkan sehingga kotoran mudah dibuang.
3) Bilas objek dengan air hangat.
4) Keringkan objek kemudian lakukan desinfeksi dan sterilisasi.

Universitas Sumatera Utara

38

5) Bersihkan sarung tangan dan bak tempat objek diletakkan untuk desinfeksi
dan sterilisasi.

b. Desinfeksi
Menurut Rutala, desinfeksi merupakan proses yang digunakan untuk
memusnahkan semua mikroorganisme pada suatu objek/benda, tanpa membunuh
spora bakteri. Desinfeksi biasanya dilakukan dengan mengguanakan desinfeksi kimia
atau pasteurisasi basah (digunakan untuk peralatan terapi pernafasan). Contoh
desinfektan adalah alkohol, klorin, glutaraldehid, dan fenol. Desinfeksi biasanya
dilakukan pada pakaian, linen, tempat tidur, pispot, benda yang tidak dapat disterilkan
dengan menggunakan campuran zat kimia cair atau pasteurisasi basah. Untuk objek
yang dapat digunakan kembali harus dibersihkan, didesinfeksi atau disterilisasi
sebelum digunakan kembali. Penggunaan peralatan dan perlengkapan perawatan
pasien seperti stetoskop, spigmomanometer, termometer yang dipakai bersama oleh
pasien harus dibersihkan dan didesinfeksi sebelum digunakan oleh pasien yang
lainnya. (Potter dan Perry, 2005).
c. Sterilisasi
Sterilisasi merupakan proses yang dipakai untuk memusnahkan seluruh
mikroorganisme beserta sporanya. Sterilisasi dapat dilakukan dengan cara fisika
ataupun kimia dengan cara pemanasan, pemberian zat kimia, radiasi atau filtrasi
(penyaringan). Di rumah sakit alat dan bahan yang sering digunakan adalah autoklaf

Universitas Sumatera Utara

39

(uap dibawah tekanan), gas etilon oksida (EO), dan cairan kimia. Autoklaf adalah
salah satu alat yang dipakai dalam sterilisasi panas. Sterilisasi dengan menggunakan
air panas dengan cara merebus alat-alat operasi dapat dilakukan bila otoklaf tidak ada
(Potter dan Perry, 2005).
Acuan dasar metode sterilisasi menurut WHO (2002) meliputi :
a. Sterilisasi dengan pemanasan
1) Sterilisasi basah: rebus dengan air pada suhu 121 0 C selama 30 menit, atau
suhu 1340 C selama 13 menit dalam autoklaf; (suhu 132 0 C selama 18 menit
untuk prion).
2) Sterilisasi kering: panaskan di suhu 1600 C selama 120 menit, atau di suhu
1700 C selama 60 menit; proses sterilisasi ini sering dianggap kurang dapat
diandalkan dibandingkan dengan sterilisasi basah, khususnya untuk perangkat
medis yang berongga.
3) Sterilisasi dengan bahan kimia
Sterilisasi dengan asam perasetik banyak digunakan di Amerika Serikat dan negaranegara lain dalam sistem pengendalian otomatis.
2.3.

Kemampuan

2.3.1. Definisi Kemampuan
Kemampuan berasal dari kata dasar “mampu” yang dalam hubungan dengan
pekerjaan berarti dapat (kata sifat atau keadaan) melakukan pekerjaan sehingga
menghasilkan barang atau jasa sesuai dengan yang diharapkan (Moenir, 2014).
Sedangkan menurut Keith Davis (Mangkunegara, 2013), terdapat 2 faktor yang

Universitas Sumatera Utara

40

mempengaruhi pencapaian kinerja yaitu faktor kemampuan ( ability) dan faktor
motivasi (motivation). Lebih lanjut dikatakan bahwa faktor kemampuan reality terdiri
dari knowledge dan skill.
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini
terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu melalui
pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan
raba. Sedangkan keterampilan (skill) adalah kemampuan melaksanakan pekerjaan
dengan menggunakan anggota badan dan peralatan kerja yang tersedia (Moenir,
2014). Sehingga, dapat dijelaskan bahwa keterampilan lebih banyak menggunakan
unsur anggota badan daripada unsur lain.
2.3.2. Kemampuan Kerja Perawat
Kemampuan kerja perawat dapat ditinjau dari kompetensi perawat yang dapat
terobsevasi dari pengetahuan, keterampilan dan sikap dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan atau tugas dengan standar kerja yang ditetapkan. Kemampuan kerja
dipengaruhi oleh karakteristik individu. Karakteristik individu yang dimaksud antara
lain : usia, jenis kelamin, pendidikan, pelatihan dan pengalaman (masa kerja). Selain
itu, Keith Davis juga menyatakan bahwa kemampuan seseorang dipengaruhi oleh
pendidikan yang memadai untuk jabatannya, pelatihan serta pengalamannya
(Mangkunegara, 2013). Disamping faktor individu, kemampuan kerja perawat juga
dipengaruhi oleh kejelasan tugas pokok dan perannya di tempat tugas ( Elhinne, 2010).
Lebih lanjut Penoyer (2010) menyatakan bahwa nurse staffing (pengaturan jam kerja,

Universitas Sumatera Utara

41

perbandingan perawat dengan pasien, dan beban kerja) juga mempengaruhi
kemampuan perawat.
2.4.

Landasan Teori
WHO (2002) dalam jurnal Prevention of Hospital-Acquired Infection

menyatakan bahwa perawat adalah pelaksana dalam pengendalian infeksi nosokomial
dalam hal:
1. Menjaga kebersihan rumah sakit
2. Pemantauan cuci tangan
3. Menggunakan alat pelindung.
4. Melakukan teknik aseptik
5. Melapor kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi.
6. Melakukan isolasi terhadap pasien dengan penyakit menular.
7. Membatasi paparan pasien terhadap infeksi yang berasal dari pengunjung dan
peralatan diagnosis.
8. Mempertahankan keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan
infeksi nosokomial.

Universitas Sumatera Utara

42

2.5. Fokus Penelitian
Berdasarkan landasan teori maka fokus dalam penelitian ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Melakukan cuci
tangan
Menjaga Kebersihan
Rumah Sakit

Mempertahankan
keamanan peralatan
dan perlengkapan
perawatan dari
penularan infeksi
nosokomial

Membatasi paparan
pasien terhadap infeksi
yang berasal dari
pengunjung

Menggunakan
Alat Pelindung
Diri (APD)
Kemampuan Perawat
dalam Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi
 Pendidikan
 Lama Bekerja
 Tempat tugas
 Jumlah kebutuhan

Melakukan
teknik aseptik

Melapor kepada
dokter jika ada
tanda dan gejala
infeksi
Melakukan isolasi
terhadap pasien
dengan penyakit
menular

Gambar 2.1 Fokus Penelitian
Keterangan gambar:
= Variabel
= Indikator
Kemampuan perawat dilatarbelakangi oleh pendidikan, lama bekerja, tempat
tugas dan jumlah kebutuhan. Adapun pencapaian kemampuan perawat dalam
pencegahan dan pengendalian infeksi terlihat dari kemampuan menjaga kebersihan

Universitas Sumatera Utara

43

rumah sakit, pemantauan cuci tangan, menggunakan alat pelindung, melakukan
teknik aseptik, melapor kepada dokter jika ada tanda dan gejala infeksi, melakukan
isolasi terhadap pasien dengan penyakit menular, membatasi paparan pasien terhadap
infeksi yang berasal dari pengunjung dan peralatan diagnosis, serta mempertahankan
keamanan peralatan dan perlengkapan perawatan dari penularan infeksi nosokomial.

Universitas Sumatera Utara