Pendugaan Cadangan Karbon Serasah Pada Agroforestri Tanaman Karet (Hevea Brasiliensis) di Desa Marjanji Asih Kabupaten Simalungun

2

TINJAUAN PUSTAKA
Defenisi agroforestri
Agroforestri merupakan salah satu model pertanian berkelanjutan yang
tepat guna, sesuai dengan keadaan petani. Pengembangan pertanian komersial
khususnya tanaman semusim, menurut terjadinya perubahan sistem produksi
secara total menjadi sistem monokultur dengan masukkan energi, modal, dan
tenaga kerja dari luar yang relatif besar yang tidak sesuai untuk kondisi petani.
Selain itu, percobaan-percobaan yang dilakukan untuk meningkatkan produksi
tanaman komersial selalu dilaksanakan dalam kondisi standar yang berbeda dari
keadaan yang lazim di hadapi petani.Tidak mengherankan bila banyak hasil
percobaan mengalami kegagalan pada tingkat petani. Agroforestri mempunyai
fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat (Junaidah, 2014)
Banyak

ahli

mendefenisikan

agroforestri


sebagai

“suatu

sistem

managemen lahan yang berkelanjutan untuk meningkatkan variasi hasil lahan
dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian tanaman hutan dan atau
hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan dengan
aplikasi pengelolaan yang sama dan dengan aplikasi pengelolaan yang sesuai
budaya masyarakat setempat”.Defenisi ini kembali dipertegas oleh Chundawat
dan gautam (1993) yang kemudian mengemukakan alternatif pengertian
agroforestri yaitu “sebagai suatu istilah atau nama kolektif untuk sistem
peengelolaan lahan dengan teknologi yang sepadan, yaitu tanaman pohon (hutan)
dengan sengaja diusahakan dalam unit pengelolaan lahan yang sama dengan
tanaman pertanian dan atau ternak pada saat bersamaan atau berurutan”.Dengan

Universitas Sumatera Utara


3

demikian dalam sistem agroforestri terintegrasi sekaligus aspek ekologis dan
aspek ekonomis (Rauf, 2011).
Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan yang merupakan
kombinasi antara produksi pertanian, termasuk pohon buah-buahan dan atau
peternakan dengan tanaman kehutanan. Hairiah, et al (2004) menjelaskan bahwa
sistem agroforestri merupakan sistem pengelolaan sumber daya alam yang
dinamis dan berbasis ekologi, dengan mamadukan berbagai jenis pohon pada
tingkat lahan (petak) pertanian maupun pada suatu bentang lahan (lansekap).
Pengolahan lahan dengan sistem agroforestri bertujuan untuk mempertahankan
jumlah dan keragaman produksi lahan, sehingga berpotensi memberikan manfaat
sosial, ekonomi dan lingkungan bagi para pengguna lahan (Senoaji, 2012).
Sistem agroforestri yang dimaksudkan disini adalah 1).Agrosilviculture
yakni campuran antara tanaman pertanian dan pepohonan, dimana penggunaan
lahan

sadar

untuk


memproduksi

hasil-hasil

pertanian

dan

kehutanan.

2) Silvopastoral adalah sistem penggunaan lahan yang menggabungkan
penanaman

tanaman

penghasil

makanan


ternak

dan

pepohonan

untuk

memproduksi hasil kayu dan sekaligus memelihara ternak. 3) agrosilvopastoral
yakni sistem penggunaan lahan dengan menggabungkan antara pohon – pohon
hutan, tanaman pertanian dan padang rumput atau pohon – pohon penghasil
makanan ternak untuk memproduksi hasil pertanian dan kehutanan secara
bersamaan dan sekaligus memelihara hewan ternak. Berdasarkan fungsi pohon
maka sistem agroforestri mempunyai fungsi produksi dan konservasi. Fungsi
produktif meliputi : makanan, pakan ternak, bahan bakar, karet, obat dan uang.
Fungsi konservasi meliputi : perbaikan tanah, pelindung dan nilai spiritual.

Universitas Sumatera Utara

4


Berdasarkan kesesuaian waktu, sistem agroforestri dapat dikerjakan secara
temporal (Ladang berpindah) dan ladang menetap dengan pola teratur dan yang
tidak teratur (Latumahina, 2006).
Agroforestri Karet
World Agroforestry Centre mengklasifikasikan sistem berbasis karet di
Indonesia berdasarkan intensitas pengelolaan.Perkebunan karet monokultur yang
dikelola secara intensif memiliki kurang dari 1% pohon non-karet yang tumbuh
secara alami di lahan. Pada agroforestri karet sederhana, pohon non karet yang
sengaja ditanam atau hasil regenerasi alami yang dipertahankan menempati
sepertiga dari luas lahan, terdiri dari 5 - 20 spesies non-karet dengan tinggi lebih
dari 2 meter, dan terdiri dari 5 – 20 spesies pohon non-karet yang memiliki tinggi
sama dengan pohon karet atau lebih tinggi dari pohon karet yang ada.
Agroforestri karet kompleks memiliki minimal sepertiga dari total luas lahan
ditempati oleh spesies pohon selain karet. Sistem ini memiliki lebih dari 20
spesies non-karet dengan tinggi lebih dari 2 meter dan lebih dari 20 spesies pohon
non-karet setinggi atau lebih tinggi dari pohon karet. Sistem agroforestri karet
yang sangat kompleks di daerah Jambi disebut sebagai kebun karet tua dan di
Kalimantan Barat dikenal dengan nama tembawang. Pada sistem ini, minimal dua
pertiga dari total luas lahan ditempati oleh spesies pohon non-karet yang

menghasilkan produk-produk lain seperti buah-buahan, resin, kayu, obat-obatan
yang mungkin memiliki nilai lebih penting bagi para petani daripada getah karet.
Kebun karet tua merupakan tahap terakhir dari siklus kebun karet sebelum
ditebang dan ditanami ulang dengan karet atau tanaman pertanian lainnya
(ICRAF, 2013).

Universitas Sumatera Utara

5

Banyak diantara petani yang hanya melakukan peremajaan kebun karet
tuanya bila produktivitasnya sudah sangat rendah (perlu dicatat bahwa petani
lebih senang menyebut 'kebun karet' daripada 'hutan karet’, terminologi hutan
memberikan asosiasi terjadinya konflik penguasaan lahan dengan pemerintah).
Kegiatan ini dimulai dengan proses tebas dan bakar untuk memulai siklus kebun
karet yang baru, siklus ini selanjutnya dapat disebut sebagai siklus wanatani karet.
Untuk keperluan peremajaan tersebut, petani dapat menggunakan bibit karet yang
berasal dari anakan pohon karet (praktek tradisional) atau bibit yang berasal dari
hasil pemuliaan (klon) sebagaimana dilakukan pada proyek SRAP (Smallholder
Rubber Agroforestry Project). Pada dua tahun pertama, petani biasanya dapat

melakukan tumpangsari dengan padi gogo, jagung, kedelai, nenas atau pisang;
sedangkan di perkebunan besar dipakai tanaman kacang-kacangan penutup tanah,
selama tanaman belum menghasilkan (Joshi et al, 2001).
Oke dan Olatiilu (2011) dalam penelitiannya membandingkan jumlah
serapan karbon yang dapat disimpan oleh beberapa tipe tutupan lahan dalam pola
agroforestri, dan hasilnya mengungkapkan bahwa lahan dengan pola agroforestri
coklat yang rapat mampu menyerap karbon lebih tinggi dibandingkan dengan pola
agroforestri coklat yang kurang rapat. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
tanaman kehutanan yang dicampur dengan tanaman perkebunan seperti coklat
atau kopi akan meningkatkan kapasitas serapan karbon dari atmosfer. Hal ini
diperkuat dengan hasil penelitian Budiadi dan Ishii (2010) yang menjelaskan
bahwa pola agroforestri yang intensif dengan beberapa jenis tanaman pertanian
mampu menyerap karbon lebih banyak dibandingkan dengan pola agroforestri
hanya dengan satu jenis tanaman pertanian. Hasil penelitian ini juga membuktikan

Universitas Sumatera Utara

6

bahwa pola agroforestri dapat menyerap karbon lebih tinggi dibandingkan dengan

pola monokultur. Sistem agroforestri yang dikembangkan di wilayah Bukidnon,
Philippines, mampu menyimpan karbon sebanyak 92 MgC per ha sampai dengan
174 MgC per ha (Lestari dan Bambang, 2014).
Tumpang sari antara karet dan tanaman sela, terjadi peningkatan kerapatan
tanaman per hektar apabila dibandingkan dengan monokultur karet.Dengan
meningkatnya kerapatan tanaman per hektar, pengaturan jarak tanam karet dan
tanaman sela menjadi sangat penting. Kerapatan tanaman yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan terjadinya persaingan yang tinggi antar tanaman dalam
mendapatkan air, nutrisi, serta cahaya dari lingkungan (Nur, 2015).
Hasil penelitian ICRAF terdahulu di Jambi dan Kalimantan Barat, terdapat
tiga sistem utama agroforestri berbasis karet klonal (Rubber Agforestry
System/RAS) yang dapat diterapkan pada kondisi petani dan lahan yang berbeda
(Budi et al., 2008), diantaranya :
RAS 1: Sistem Agroforestri Ekstensif. Merupakan sistem agroforestri yang
pengelolaannya setara dengan karet rakyat, dimana bahan tanam karet asal biji
atau cabutan diganti dengan karet klonal yang mampu tumbuh dan beradaptasi
dengan baik pada lingkungan yang menyerupai hutan sekunder seperti sistem
agroforestri.Produksi karet klonal tahun kedua penyadapan pada RAS 1 berkisar
antara 1.200–1.700 kg/ha/tahun.
RAS 2: Sistem Agroforestri Intensif. Merupakan sistem agroforestri kompleks

dengan pengelolaan relatif intensif, dimana karet klonal ditanam secara tumpang
sari dengan tanaman pangan, buah-buahan, dan tanaman penghasil kayu.Produksi

Universitas Sumatera Utara

7

karet klonal tahun kedua dan ketiga penyadapan pada RAS 2 berkisar antara
1.100–1.300 kg/ha/tahun.
RAS 3: Reklamasi Lahan Alang-alang. Merupakan sistem agroforestri
kompleks yang dibangun untuk merehabilitasi lahan alang-alang dengan
mengintegrasikan karet dengan jenis tanaman lain yang cepat tumbuh dan
menutup permukaan tanah di antara barisan tanaman karet, sehingga pertumbuhan
alang-alang terhambat.
(Akiefnawati et al, 2014)
Indonesia memiliki luas lahan perkebunan karet terbesar di dunia, dengan
luas areal mencapai 3,4 juta ha, mengungguli areal karet Thailand (2,67 juta ha)
dan Malaysia (1,02 juta ha). Menurut data Ditjenbun, penerimaan devisa negara
dari perkebunan karet dapat mencapai 5,27 miliar dolar AS. Selain berperan besar
dalam perekonomian, perkebunan karet juga berkontribusi penting dalam

peningkatan cadangan karbon. Jumlah penyerapan karbon di perkebunan karet
dapat mencapai 4,65 ton CO2/ ha tiap tahunnya. Artinya, jumlah karbon yang
diserap dalam areal perkebunan karet selama satu siklus penanaman (± 21 tahun)
dapat mencapai 97,65 ton CO2/ha. Penyerapan tersebut bersumber dari serasah
tanaman karet (64,99 ton CO2/ha) dan biomassa tanaman (32,59 ton CO2/ha)
(Stevanus dan Sahuri, 2014).
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Kusdiana et al. menyatakan bahwa
dalam satu siklus tanaman (± 25 tahun), klon RRIM 600 dapat menyerap CO2
sebesar 1.288 ton per hektare dan klon GT 1 dapat menyerap CO2 sebesar 1.028
ton per hektare. Sementara itu, penyerapan CO2 per tahun pada karet klon RRIM
600 sebesar 39,05 ton dan pada karet klon GT1 sebesar 31,67 ton. Hal tersebut

Universitas Sumatera Utara

8

membuktikan bahwa perkebunan karet merupakan tanaman yang ramah
lingkungan karena dapat mengurangi emisi CO2.Kontribusi perkebunan karet
dalam menyerap karbon dapat ditingkatkan. Peningkatan penyerapan karbon di
perkebunan karet akan sangat potensial karena menurut Ditjenbun rata-rata

pertambahan luas areal perkebunan karet sekitar 24.700 ha/tahun. Selain itu,
peningkatan penyerapan karbon dapat dilakukan dengan sistem intercropping
karet dengan tanaman berbiomassa tinggi seperti tanaman kehutanan (jati,
mahoni, dan trembesi) yang telah dilakukan oleh beberapa perkebunan rakyat.
Pola tanam tersebut diprediksi akan meningkatkan penyerapan CO2.
Biomassa
Biomasa tumbuhan merupakan material kering dari suatu organisma hidup
(tumbuhan) pada waktu, tempat dan luasan tertentu, sehingga satuan biomasa
tumbuhan biasanya dinyatakan dalam kg/m2 atau ton/ha.Biomasa pohon dalam
penelitian ini dinyatakan dalam berat kering yang merupakan gabungan dari organ
tanaman hidup yang berada di atas tanah (total aboveground biomass) yang
komponen utamanya terdiri dari organ batang, cabang/ranting dan daun
(Whittaker et al. 1975).
Biomassa merupakan jumlah karbon potensial yang dapat dilepas ke
atmosfer sebagai karbon dioksida ketika hutan ditebang atau dibakar, sebaliknya
dengan pendugaan biomassa dapat dilakukan perhitungan jumlah karbon dioksida
yang dapat dipindahkan dari atmosfer dengan cara melakukan reboisasi atau
dengan penanaman. Pendugaan biomassa hutan merupakan salah satu cara untuk
mengetahui kandungan karbon yang tersimpan dalam hutan. Diperkirakan bahwa
50% dari biomassa hutan mengandung karbon (Roesyane, 2010).

Universitas Sumatera Utara

9

Biomassa merupakan material tanaman, tumbuh-tumbuhan atau sisa hasil
pertanian yang digunakan sebagai bahan bakar atau sumber bahan bakar.
Biomassa adalah total berat atau volume organisme dalam suatu area atau volume
tertentu. Biomassa juga didefenisikan sebagai total jumlah materi hidup di atas
permukaan pada suatu pohon dan dinyatakan dengan satuan ton berat kering per
satuan-luas (Sutaryo, 2009).
Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim.Biomasa hutan
berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus karbon. Brown
(1997) menyatakan biomassa adalah jumlah bahan organik yang diproduksi oleh
organisme (tumbuhan) per satuan unit area pada suatu saat. Biomassa bisa
dinyatakan dalam ukuran berat, seperti berat kering dalam satuan gram, atau
dalam kalori.Oleh karena kandungan air yang berbeda setiap tumbuhan, maka
biomassa diukur berdasarkan berat kering.Unit satuan biomassa adalah gr/ m2 atau
ton/ ha. Biomassa juga didefenisikan sebagai total berat kering dari bahan organik
dinyatakan dalam satuan kilogram atau ton

(Krisnawati et al, 2012).

Biomassa tumbuhan bawah, serasah kasar, dan serasah halus memberikan
sumbangan biomasa yang relative kecil dibandingkan dengan pohon. Secara
umum dapat dikatakan bahwa biomasa tumbuhan bawah di ketiga kondisi hutan
relatif tidak jauh berbeda, sedangkan jumlah biomasa serasah kasar dan serasah
halus terdapat perbedaan yang cukup besar antara hutan primer dan hutan bekas
tebangan. Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya perbedaan perlakuan dan
intensitas tebangan. Kerusakan hutan alam lebih banyak disebabkan oleh
fenomena alam seperti pohon tua mati, pohon tumbang oleh angin dan hujan
lebat, sedangkan kerusakan hutan bekas tebangan tahun 1998 sangat besar akibat

Universitas Sumatera Utara

10

dari intensitas tebangan yang cukup tinggi ditambah oleh kegiatan pencurian dan
perambahan hutan (Hamdan dan Tresnawan, 2002).
Biomassa hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama
dalam siklus karbon (Sutaryo, 2009).Tanaman atau pohon di hutan dianggap
berfungsi sebagai tempat penimbunan atau pengendapan karbon (rosot karbon
atau carbon sink) (CIFOR, 2003).Besarnya kandungan karbon dan biomassa
pohon bervariasi berdasarkan bagian tumbuhan yang diukur, growth stage,
tingkatan tumbuhan dan kondisi lingkungannya.Kandungan karbon dan biomasa
tumbuhan bawah dipengaruhi oleh jenis-jenis tumbuhan penyusun (Asril,
2008).Lapisan serasah atau lantai hutan merupakan seluruh bahan organik mati
yang berada di atas permukaan tanah. Beberapa material organik ini masih dapat
dikenali atau masih sedikit terdekomposisi (Pearson et al.,2005). Mikroorganisme
tanah sangat berperan terhadap dekomposisi bahan organik tanah dan sebagai
produk akhir dari proses ini adalah pelepasan CO2 (Barchia, 2009). Oleh karena
itu mengukur jumlah karbon dalam biomassa pada suatu lahan dapat
menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman, dan
pengukuran karbon dalam bagian tanaman yang telah mati (nekromassa) dapat
menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara melalui pembakaran
(Yuanita et al, 2012).
Pengukuran biomassa total tanaman akan merupakan parameter yang
paling baik digunakan sebagai indikator pertumbuhan tanaman, alasan pokok lain
dalam penggunaan biomassa total tanaman adalah bahwa bahan kering tanaman
dipandang sebagai manifestasi dari semua proses dan peristiwa yang terjadi dalam
pertumbuhan tanaman. Karena itu parameter ini dapat digunakan sebagai ukuran

Universitas Sumatera Utara

11

global pertumbuhan tanaman dengan segala peristiwa yang dialaminya
(Sitompul dan Guritno, 1995).
Cadangan Karbon
Karbon merupakan salah satu unsur alam yang memiliki lambang “C”
dengan nilai atom sebesar 12.Karbon juga merupakan salah satu unsur utama
pembentuk bahan organik termasuk makhluk hidup.Hampir setengah dari
organisme hidup merupakan karbon.Karenanya secara alami karbon banyak
tersimpan di bumi (darat dan laut) dari pada di atmosfir.Karbon tersimpan dalam
daratan bumi dalam bentuk makhluk hidup (tumbuhan dan hewan), bahan organik
mati ataupun sediment seperti fosil tumbuhan dan hewan.Sebagian besar jumlah
karbon yang berasal dari makhluk hidup bersumber dari hutan.Seiring terjadinya
kerusakan hutan, maka pelepasan karbon ke atmosfir juga terjadi sebanyak tingkat
kerusakan hutan yang terjadi (Manuri et al, 2011).
Potensi massa karbon dapat dilihat dari biomassanya tegakan yang ada.
Besarnya massa karbon tiap bagian pohon dipengaruhi oleh massa biomassa
vegetasi. Oleh karena itu setiap peningkatan terhadap biomassa akan diikuti oleh
peningkatan massa karbon. Hal ini menunjukkan besarnya biomassa berpengaruh
terhadap massa karbon. Besarnya potensi massa karbon sangat dipengaruhi
diameter pohon (Hairiah dan Rahayu, 2007).
Cadangan karbon adalah kandungan karbon tersimpan baik itu pada
permukaan tanah sebagai biomasa tanaman, sisa tanaman yang sudah mati
(nekromasa), maupun dalam tanah sebagai bahan organik tanah.Perubahan wujud
karbon ini kemudian menjadi dasar untuk menghitung emisi, dimana sebagian
besar unsur karbon (C) yang terurai ke udara biasanya terikat dengan O2 (oksigen)

Universitas Sumatera Utara

12

dan menjadi CO2 (karbon dioksida). Itulah sebabnya ketika satu hektar hutan
menghilang (pohon-pohonnya mati), maka biomasa pohon-pohon tersebut cepat
atau lambat akan terurai dan unsur karbonnya terikat ke udara menjadi emisi. Dan
ketika satu lahan kosong ditanami tumbuhan, maka akan terjadi proses pengikatan
unsur C dari udara kembali menjadi biomasa tanaman secara bertahap ketika
tanaman tersebut tumbuh besar (sekuestrasi). Ukuran volume tanaman penyusun
lahan tersebut kemudian menjadi ukuran jumlah karbon yang tersimpan sebagai
biomasa (cadangan karbon).Sehingga efek rumah kaca karena pengaruh unsur
CO2 dapat dikurangi, karena kandungan CO2 di udara otomatis menjadi
berkurang. Namun sebaliknya, efek rumah kaca akan bertambah jika tanamantanaman tersebut mati (Kauffman dan Donato, 2012).
Hariah et al(2011) menyebutkan bahwa cadangan karbon atau karbon
tersimpan pada ekosistem daratan disimpan dalam 3 komponen pokok, yaitu:
pertama, bagian hidup (biomassa) adalah massa dari bagian vegetasi yang masih
hidup yaitu batang, ranting, dan tajuk pohon (berikut akar atau estimasinya),
tumbuhan bawah atau gulma dan tanaman semusim. Kedua, bagian mati
(nekromassa) adalah massa dari bagian pohon yang telah mati baik yang masih
tegak di lahan (batang atau tunggul pohon), kayu tumbang/tergeletak di
permukaan tanah, tonggak atau ranting dan daun-daun gugur (serasah) yang
belum terlapuk. Ketiga, tanah (bahan organik tanah) adalah bahan organik tanah
adalah sisa makhluk hidup (tanaman, hewan, dan manusia) yang telah mengalami
pelapukan baik sebagian maupun seluruhnya dan telah menjadi bagian dari
tanah.Ukuran partikel biasanya < 2 mm.
Nekromasa dan Serasah

Universitas Sumatera Utara

13

Serasah merupakan salah satu komponen di dalam hutan yang juga dapat
menyimpan karbon. Serasah didefinisikan sebagai bahan organik mati yang
berada di atas tanah mineral.Kualitas serasah ditentukan dengan melihat
morfologinya terutama yang berasal dari daun yang gugur untuk mengasumsikan
kecepatan dekomposisinya.Kecepatan pelapukan daun ditentukan oleh warna,
sifatnya ketika diremas dan kelenturannya.Warna daun kering coklat, daun tetap
lemas bila diremas, bila dikibaskan daun tetap lentur berarti daun tersebut cepat
lapuk.Apabila warna daun kering kehitaman, bila diremas pecah dengan sisi-sisi
yang tajam dan bila dikibaskan kaku maka daun tersebut lambat lapuk. Kualitas
serasah yang beragam akan menentukan tingkat penutupan permukaan tanah oleh
serasah. Kualitas serasah berkaitan dengan kecepatan pelapukan serasah
(dekomposisi).Semakin lambat lapuk maka keberadaan serasah di permukaan
tanah menjadi lebih lama (Zulkifli et al, 2010).
Nekromasa dibagi menjadi nekromasa berkayu dan nekromasa tidak
berkayu. Nekromasa bekayu : pohon mati yang masih berdiri maupun yang
roboh, tunggul-tunggul tanaman, cabang dan ranting yang masih utuh yang
berdiameter >5 cm. Nekromasa tidak berkayu : serasah daun yang masih utuh
(serasah kasar), dan bahan organic lainnya yang telah terdekomposisi sebagian
dan berukuran >2 mm (serasah halus) (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Universitas Sumatera Utara