Karakteristik Pasien Kandidiasis Oral di Rumah Sakit Umum Pemerintah Haji Adam Malik Medan Pada Tahun 2012

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Infeksi Candida sp
Candida sp adalah anggota flora normal pada kulit, membran mukosa,

dan saluran pencernaan. Infeksi yang disebabkan oleh Candida sp disebut
dengan kandidiasis. Kandidiasi dibagi menjadi superficial candidiasis dan
deep candidiasis. Candidiasis superfisial (kutan atau mukosa) adalah infeksi

candida yang terjadi melalui peningkatan jumlah kandida lokal dan kerusakan
pada kulit atau epitel yang memungkinkan invasi lokal oleh ragi atau
pseudohifa di kulit, rambut, kuku dan membran mukosa. Sedangkan deep
candidiasis adalah infeksi candida yang mengenai organ dalam dan aliran
darah, terjadi ketika kandida masuk ke aliran darah dan pertahanan tubuh
yang tidak adekuat untuk menahan pertumbuhan dan penyebaran ragi
sehingga bisa menyebabkan infeksi di berbagai organ (Mitchell, 2007).

2.2 Kandidiasis Oral
Kandidiasis oral atau dikenal juga dengan thrush adalah infeksi
oportunistik umum pada rongga mulut yang disebabkan oleh pertumbuhan

yang berlebihan dari spesies Candida (Tarcin, 2011).

2.3 Etiologi
Kandidiasis oral umumnya disebabkan C. albicans, dapat juga C.
dubliniensis, C. tropicalis, C. glabrata, C. pseudotropicalis,C. guillierimondii, C.
krusei, C. lusitaniae, C. parapsilosis,dan C. stellatoidea,dan C. glabrata

mewakili lebih dari 80% isolat dari infeksi berdasarkan lesi klinis (Akpan, 2002).
Penelitian yang dilakukan di Eduardo de Menez’s Hospital, Brazil bentuk
lesi klinis yang dijumpai: Pseudomembran 23 pasien, Eritematosa 11 pasien dan
Angular seilitis 6 pasien. Untuk spesies candida yang ditemukan Candida
albicans 31 pasien, Candida glabrata 7 pasien, Candida tropicalis 6 pasien,

Candida parapsilosis 3 pasien, Candida krusei 3 pasien, Candida dublinensis 1

pasien dan Candida gulliermondii 1 pasien. Candida albicans adalah penyebab
terbanyak dihubungkan dengan bentuk lesi klinis, diikuti Candida glabrata,
Candida tropicalis dan Candida parapsilosis. Identifikasi yang tepat agen

penyebab bias mengindikasikan pilihan terapi yang baik untuk mengobati pasien

(Gabler, 2008).
Penelitian pada tahun 2007 di Surabaya, kandidiasis oral pada pasien
HIV/AIDS didapat C.albicans 35,29% dan non C.albicans 64,71% (C.tropicalis
29,41%, C.dublininiensis 14,71%, C.glabrata 14,71% dan C.guilliermondii
5,88%) (Suyoso, 2010).
Peningkatan frekuensi kandidiasis oral karena adanya faktor resiko lokal
maupun sistemik.

Tabel 2.1 Faktor Risiko Kandidiasis Oral (Tarcin, 2011)
Faktor Lokal

Faktor Sistemik

1. Xerostomia(hiposalivasi, radioterapi)

1. Umur (neonatal dan umur lanjut)

2. Kanker Oral

2. Kelainan endokrin (DM,hipotiroid)


3. Penggunaan kortikosteroid topikal

3. Nutrisi (kekurangan zat besi, folat,

4. Pemakaian gigi palsu

atau vitamin B12)

5. Diet tinggi karbohidrat

4. Keganasan (agranulositosis)

6. Merokok

5. Penggunaan antibiotik
6. Status imun (AIDS, transplantasi)
7. Anemia, leukemia akut
8. Leukopenia, neutropenia


1. Xerostomia
Saliva

penting

untuk

mempertahankan

mikroflora

normal

dan

membersihkan mukosa di dalam mulut. Xerostomia dapat terjadi karena penuaan,
radioterapi dari kepala dan leher, penggunaan obat-obatan (anti-depressan, antipsikotik, anti-kolinergik, diuretic, anti-hipertensi dan anti-adrenergik), dan

sindrom Sjogren yang merupakan faktor risiko dari kandidiasis oral (Tarcin,
2011).


2. Pengunaan kortikosteroid
Pengunaan kortikosteroid meningkatkan risiko kandidiasis oral dengan
mengubah glikogen menjadi glukosa dan mensupresi imunitas sellular sehingga
meningkatkan pertumbuhan kandida (Akpan, 2002).

3. Diet tinggi karbohidrat
Asupan tinggi karbohidrat diasumsikan dapat menyebabkan kandidiasis
oral. Hal ini didukung oleh penelitian yang menunjukkan bahwa glukosa
meningkatkan pertumbuhan Candida dalam saliva (Tarcin,2011).

4. Penggunaan gigi palsu
Penggunaan gigi palsu pada umur lanjut lebih dari 65% terinfeksi kandida
(Akpan, 2002). Penggunaan gigi palsu mengurangi resistensi jaringan,
peningkatan permeabilitas epitel dan keadaan mulut relatif asam sehingga
meningkatnya pertumbuhan kandida (Tarcin, 2011).

5. Merokok
Merokok dapat menyebabkan perubahan lokal pada epitel dan
pertumbuhan kolonisasi Candida (Tarcin, 2011).


6. Kelainan endokrin
Diabetes mellitus (DM) dapat meningkatkan infeksi kandida karena
penyimpangan sistem imun. Pasien dengan DM tidak terkontrol menunjukkan
gejala seperti hiposalivasi, penurunan pH saliva, peningkatan kadar glukosa dalam
saliva yang diketahui sebagai faktor penyebab pertumbuhan dan kolonisasi
kandida oral (Tarcin, 2011).

7. Faktor nutrisi
Kekurangan nutrisi menyebabkan penurunan daya tahan tubuh dan
kehilangan integritas epitel sehingga mendukung invasi dan infeksi jamur.
Anemia defisiensi besi menyebabkan penurunan respon limfosit terhadap antigen
kandida dan penurunan imunitas sellular sehingga terjadi peningkatan frekuensi
Candida albicans di dalam mulut (Tarcin, 2011).

8. Immunosuppresi
Kandidiasis oral kebanyakan terjadi pada pasien HIV/AIDS (Akpan,
2002). Pada infeksi HIV, terjadi defisiensi imun yang melibatkan limfosit Thelper sehingga pasien HIV/AIDS lebih cenderung pada infeksi sekunder
oportunistik kandida (Tarcin, 2011).


2.4 Epidemiologi
Dilaporkan 40% sampai 60% dari populasi mempunyai spesies Candida
di dalam mulut dalam jumlah kecil sebagai bagian yang normal dari mikroflora
oral (Epstein, 2001). Dari populasi umum didapatkan 20-75% tanpa gejala.
Insiden Candida albicans yang diisolasi dari rongga mulut 45% pada neonatus,
45% - 65% dari anak yang sehat, 30% - 45% dari orang dewasa yang sehat, 50%
- 65% dari orang yang mengguna gigi palsu, 65% -88% pada pasien rawat inap,
90% pada pasien yang menjalani kemoterapi leukemia akut, dan 95% dari pasien
dengan HIV (Akpan, 2002).
Penelitian di salah satu Rumah Sakit di Belo Horizonte, Brazil bahwa
infeksi oportunistik yang paling banyak dijumpai yaitu kandidiasis oral dengan
prevalensi 50,7% (Gabler, 2008).
Menurut laporan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional sampai bulan
Maret 2008 dilaporkan beberapa infeksi oportunistik antara lain kandidiasis oral
sebanyak 24,3%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa infeksi oportunistik yang
tersering di RS. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah kandidiasis mulut-esofagus
80,8%. Sedangkan di Klinik Teratai RS. Dr. Hasan Sadikin Bandung infeksi
kandidiasis oral 27% (Sudjana, 2008). Di RSUP. H. Adam Malik Medan jumlah

kasus kandidiasis oral dari tahun 2008 sampai tahun 2009 terdapat 28.7% (VCT

Pusyansus RSUP. HAM).

2.5 Klasifikasi Kandidiasis Oral berdasarkan bentuk lesi klinis
2.5.1 Kandidiasis Pseudomembran Akut
Disebut juga Oral thrush, kandidiasis pseudomembran akut. Tampak plak
pseudomembran, putih seperti sari susu, mengenai mukosa bukal, lidah dan
permukaan oral lainnya. Pseudomembran tersebut terdiri atas kumpulan hifa dan
sel ragi, sel radang, bakteri, sel epitel, debris makanan dan jaringan nekrotik. Bila
plak diangkat tampak dasar mukosa eritematosa atau mungkin berdarah dan terasa
nyeri sekali (Akpan, 2002).

Gambar 2.1. Kandidiasis Pseudomembranous Akut

2.5.2. Kandidiasis atrofi akut
Disebut juga antibiotic sore mouth, kandidiasis eritematosa akut mungkin
merupakan kelanjutan kandidiasis pseudomembran akut akibat menumpuknya
pseudomembran. Daerah yang terkena tampak khas sebagai lesi eritematosa,
simetris, tepi berbatas tidak teratur pada permukaan dorsal tengah lidah, sering
hilangnya papilla lidah dengan pembentukan pseudomembran minimal dan ada
rasa nyeri. Sering berhubungan dengan pemberian antibiotik spektrum luas,

kortikosteroid sistemik, inhalasi maupun topikal (Tarcin, 2011).

Gambar 2.2 Kandidiasis Atrofi Akut

2.5.3. Kandidiasis hiperplastik kronis
Disebut juga leukoplakia kandida. Gejala bervariasi dan bercak putih,
yang hampir tidak teraba sampai plak kasar yang melekat erat pada lidah, palatum
atau mukosa bukal. Keluhan umumnya rasa kasar atau pedih di daerah yang
terkena. Tidak seperti kandidiasis pseudomembran, plak disini tidak dapat
dikerok. Harus dibedakan dengan leukoplakia oral oleh sebab lain yang sering
dihubungkan dengan rokok dan keganasan. Terbanyak pada pria, umumnya diatas
30 tahun dan perokok (Akpan, 2002).

Gambar 2.3.Kandidiasis Hiperplastik Kronis

2.5.4. Kandidiasis atrofi kronis
Disebut juga denture stomatitis. Bentuk tersering pada pemakai gigi palsu
(1 diantara 4 pemakai) dan 60% diatas umur 65 tahun, wanita lebih sering terkena.
Gambaran khas berupa eritema kronis dan edema disebagian palatum di bawah


prostesis maksilaris. Ada tiga stadium yang berawal dari lesi bintik-bintik
(pinpoint) yang hiperemia, terbatas pada asal duktus kelenjar mukosa palatum.
Kemudian dapat meluas sampai hiperemia generalisata dan peradangan seluruh
area yang menggunakan protese. Bila tidak diobati pada tahap selanjutnya terjadi
hiperplasia papilar granularis (Akpan, 2002).
Pada kandidiasis atrofi kronis sering disertai kheilitis angularis, tidak
menunjukkan gejala atau hanya gejala ringan. Candida albicans lebih sering
ditemukan pada permukaan gigi palsu daripada di permukaan mukosa. Bila ada
gejala umumnya pada pasien dengan peradangan granular atau generalisata,
keluhan dapat berupa rasa terbakar, pruritus dan nyeri ringan sampai berat
(Tarcin, 2011).

Gambar 2.4.Kandidiasis Atrofi Kronis

2.5.5. Glositis rhomboid median
Merupakan bentuk lanjutan atau varian kandidiasis hiperplastik kronis.
Pada bagian tengah permukaan dorsal lidah terjadi atrofi papilla (Tarcin, 2011).

Gambar 2.5.Glositis Rhomboid Median


2.5.6. Kheilosis kandida
Sinonim perleche, angular cheilitis, angular stomatitis. Khas ditandai
eritema, fisura, maserasi dan pedih pada sudut mulut. Biasanya pada mereka yang
mempunyai kebiasaan menjilat bibir atau pada pasien umur lanjut dengan kulit
yang kendur pada komisura mulut. Juga karena hilangnya dimensi vertical pada
1/3 bawah muka karena hilangnya susunan gigi atau pemasangan gigi palsu yang
jelek dan oklusi yang salah. Biasanya dihubungkan dengan kandidiasis atrofi
kronis karena pemakaian protese (Tarcin, 2011).

Gambar 2.6.Kheiliosis Angular

2.6 Patogenesis
Candida sp merupakan flora normal pada kulit dan mukosa manumur.
Candida sp merupakan oportunistik patogen karena pada manumur sehat Candida

tidak berbahaya, tetapi pada orang yang memiliki petahanan tubuh yang rendah
dan terjadi ketidak seimbangan flora normal dalam tubuhnya maka Candida akan
membahayakan dan menyebabkan berbagai gejala penyakit. Faktor virulensi dari
Candida yaitu berasal dari dinding sel dan sifat dimorfik dari Candida . Dinding

sel mempunyai peranan penting dalam virulensi karena memiliki bagian yang
berinteraksi dengan sel penjamu secara langsung(Mitchell, 2007).
Pada dinding sel Candida mengandung zat turunan mannoprotein yang
mempunyai sifat imunosupresif yang menyebabkan pertahanan Candida terhadap
imunitas penjamu menjadi lebih tinggi, selain itu juga mengandung enzim
proteinase aspartil yang membantu menembus lapisan mukokutan yang berkeratin

pada tahap awal invasi jaringan. Faktor virulensi yang lain adalah sifat dimorfik
dari Candida . Pada keadaan patogen, Candida lebih banyak ditemukan dalam
bentuk pseudohifa. Sifat morfologis yang dinamis tersebut merupakan cara untuk
dapat beradaptasi dengan keadaan sekitarnya. Kemampuan Candida berubah
bentuk menjadi pseudohifa menjadi salah satu faktor virulensi karena bentuk
pseudohifa yang besar menyebabkan makrofag sulit untuk memfagositosis
(Ghannoum,2000).
Faktor-faktor predesposisi yang dihubungkan dengan meningkatnya
insidensi kolonisasi dan infeksi kandida yaitu:
1. Faktor mekanis : trauma, kelembaban atau maserasi (gigi palsu, pakaian
ketat atau balut tertutup, kegemukan)
2. Faktor nutrisi : avitaminosis, defesisensi besi
3. Perubahan fisiologi : bayi atau umur lanjut, kehamilan, menstruasi
4. Penyakit sistemik : diabetes mellitus dan endrokinopati tertentu, lainnya
uremia, malignansi, dan keadaan imunodefesiensi instrinsik (missal infeksi
HIVAIDS)
5. Penyebab iatrogenik : faktor barier lemah (pemasangan kateter,
penyalahgunaan obat iv),radiasi sinar x, obat obatan oral, parenteral,
topical dan aerosol (kortikosteroid dan imunosupresi lainnya, antibiotic
spectrum luas,metronidazole,transquilizer,kontrasepsi oral/estrogen)
6. Idiopatik (Evans EGV, 2002)

2.7

Diagnosis
Diagnosa untuk pertumbuhan Candida yang berlebih (kandidiasis) sering

diduga atas dasar kecurigaan klinis yaitu perubahan mukosa yang khas berwarna
putih sampai merah (Epstein, 2001).
Pada rongga mulut (oral) tampak infeksi yaitu sariawan, terutama terjadi
pada selaput mukosa pipi dan tampak sebagai bercak-bercak putih yang
sebahagian besar terdiri atas pseudomeselium dan epitel yang terkelupas dan
hanya terdapat erosi minimal pada selaput (Mitchell, 2007).

Untuk menegakkan diagnosa secara pasti dilakukan uji laboratorium
diagnostik berupa apusan/swab dan kerokan dari permukaan lesi.
1. Pemeriksaan Mikroskopik : usapan mukokutan diperiksaan dengan
sediaan apus yang menggunakan pewarnaan gram dan Periodic Acid
Schiff (PAS), untuk mencari pseudohifa dan sel-sel bertunas (Tarcin,
2011)
2. Pemeriksaan Biakan : spesimen yang akan diperiksa ditanam dalam
Sabaroud’s Dextrose Agar (SDA) pada suhu ruangan atau 370 dalam
incubator selama 24-48jam. Koloni tumbuh berupa Yeast Like Form
(Mitchell, 2007).
3. Uji Biokimia : digunakan untuk mengklasifikasikan dan mengidentifikasi
berbagai kelompok jamur, uji biokimia terdiri dari :
1. Metode manual yaitu liquid auxanographic method, pour plate
auxanographic, utilization of carbon and nitrogen sources,and
carbohydrate fermentation

2. Metode otomatis yaitu API 20C yeast identification system,
biomerieux vitek yeast biochemical card, and abbott yeast
identification system (Gupta, 2013)

2.8 Pengobatan
Pengobatan umum yang penting adalah mengurangi dan mengobati faktor
predisposisi, bila karena pemakaian protese perlu melepas protese setiap hari,
terutama pada malam hari saat tidur dan mencuci dengan antiseptik seperti
khlorheksidin. Selama pengobatan tidak dianjurkan merokok, karena akan
menghambat reaksi adekuat terhadap pengobatan (Akpan, 2002).

Pengobatan Topikal
1. Nistatin suspensi oral: Dosis: 5 ml (500.000-U), 3 x / hari sesudah makan.
Harus ditahan di mulut kurang lebih 2 menit sebelum ditelan(Epstein,
2001)
2. Amfoterisin B:
Bekerja melalui pengikatan pada sterol dalam membran sel jamur dan
mengubah permeabilitas membran sel, tidak diserap pada saluran
pencernaan sehingga dianjurkan pemberian secara topikal. Sediaan :
Suspensi oral 100 mg / ml, 4x/hari (Akpan, 2002).
3. Mikonazol
Sejenis Imidazole dapat digunakan sebagai aplikasi lokal dalam mulut,
akan tetapi pemakaian dengan cara ini terbatas karena efek samping
seperti muntah dan diare. Obat lain yang termasuk kelompok ini
klotrimazol dan ketokonazol. Sediaan: Gel oral 25mg/ml, krem 2%, tablet
250 mg. Pengobatan diteruskan sampai 2 hari sesudah gejala tidak
tampak(Epstein, 2001)
4. Solusio gentian violet 1 – 2% :
Masih sangat berguna, tetapi memberi warna biru yang tidak menarik.
Dapat dipertimbangkan untuk kasus sulit dan kekambuhan. Dioleskan 2 x /
hari selama 3 hari (Akpan, 2002).

Pengobatan Sistemik
1. Ketokonazol 200mg – 400 mg / hari selama 2 – 4 minggu, untuk infeksi
kronis perlu 3 – 5 minggu (Epstein, 2001)
2. Itrakonazol 100 – 200 mg / hari selama 4 minggu (Akpan, 2002)
3. Flukonazol 50 – 200 mg / hari selama 1- 2 minggu (Tarcin, 2011)
4. Vorikonazol adalah triazol yang memiliki struktur kimia seperti
flukonazol, diberikan apabila mulai resisten terhadap flukonazol dengan
dosis 200mg/2x/hari (Sudjana, 2008)

Indikasi pengobatan sistemik:
1. Risiko tinggi terjadinya diseminasi (kandidiasis sistemik) yaitu pada
pasien granulositopenia/imunokompromais, dan pasien yang mendapat
terapi imunosupresif.
2. Dengan terapi topikal tidak berhasil atau tidak sembuh.
3. Bila terjadi reinfeksi.
4. Pada pasien AIDS : kapsul Flukonazol lebih baik dari pada kapsul
Itrakonazol. Sebaiknya tablet ketokonazol tidak digunakan oleh karena
pasien AIDS kurang sampai aklorhidria sedangkan ketokonazol perlu
hiperkhlorhidria hingga minumnya harus bersama makanan, sehingga
absorbsinya meningkat (Suyoso, 2010).

2.9 Pencegahan
Tindakan pencegahan yang paling penting adalah menghindari gangguan
keseimbangan pada flora mikroba normal dan pertahanan pejamu intak (Mitchell,
2007).
1. Menjaga kebersihan mulut dengan menyikat gigi, lidah dan memakai obat
kumur setiap hari.
2. Jika menggunakan gigi palsu dibersihkan dan dilepas selama 6 jam setiap
hari.
3. Mencegah faktor resiko seperti merokok, diet tinggi karbohidrat dan
penggunaan gigi palsu(Akpan, 2002).

Pencegahan kekambuhan dengan cara :
1. Meminimalisasi atau mengobati faktor predisposisinya
2. Memaksimalkan efektivitas terapi ARV pada pasien HIV sebelum
memulai obat profilaksis.
3. Pengobatan profilaksis dengan Flukonazol 50-l00 mg/hari 1-2 minggu atau
Flukonazol 150 mg /minggu.

4. Pada pasien dengan infeksi HIV tidak dianjurkan untuk pengobatan
profilaksis jangka panjang karena pengobatan fase akut dan obat ARV
lebih efektif.
5. Kontrol ke dokter bagi pasien rawat jalan (Suyoso, 2010). Kandidiasis
tidak menular karena sebenarnya semua orang secara normal sudah
mengandung organisme tersebut (Mitchell, 2007).

2.10 Prognosis
Prognosis untuk kandidiasis oral baik dengan pengobatan yang tepat dan
efektif. Kekambuhan lebih sering terjadi

karena kurangnya kesadaran untuk

menjalankan terapi/pengobatan, kegagalan untuk merawat dan membersihkan
gigi palsu dengan tepat, atau ketidakmampuan untuk mencegah faktor predisposisi
terhadap infeksi. (Akpan, 2002)

2.11 Komplikasi
1. Dehidrasi
2. Disfagia
3. Pada pasien leukoplakia dapat menjadi karsinoma skuamosa (jarang)
4. Pasein dengan AIDS, kandidiasis mukokutan kronis atau neutropenia
dapat menjadi kandidiasis esofagus
5. Kandidiasis oral dengan neutropenia dapat menjadi kandidemia (Suyoso,
2010).