Fonologi Bahasa Gayo: Suatu Analisis Fonologi Generatif

BAB II
KAJIAN PUSTAKA,KONSEP, DAN KERANGKA TEORI

2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Penelitian Sebelumnya Terhadap Bahasa Gayo
Penelusuran kepustakaan menunjukkan bahwa bunyi-bunyi dalam bahasa
nusantara (bahasa Gayo termasuk di dalamnya) telah disebut-sebut paling tidak
sejak berkembangnya penelitian kebahasaan dengan teori linguistik bandingan
(Linguistik Komparatif).
Pada zaman linguistik modern ini pun penelitian bahasa Gayo terus
berkembang dan semakin banyak dilakukan. Namun kajian yang mengkhususkan
tentang fonologi bahasa Gayo boleh dikatakan masih langka dilakukan. Akan
tetapi, beberapa kajian sebelumnya yang mengambil topik bahasa tersebut dan
dapat dijadikan referensi perlu diketengahkan di sini. Penelitian yang dilakukan
terhadap bahasa Gayo secara umum dapat dikatakan belum dilakukan secara
mendalam hanya pada aspek-aspek tertentu saja. Tulisan Kridalaksana (1980)
Tentang Tata Fonem Bahasa Gayo Lut mendeskripsikan perbedaan antara subdialek Bukit dan sub-dialek Cik. Perbedaan antara sub-dialek Bukit dan subdialek Cik selanjutnya disebut dialek (B) untuk Bukit dan (C) untuk Cik.
Kridalaksana menekankan perbedaan antara kata, vokal dan konsonan. Beberapa
contoh perbedaan tersebut adalah [kas] (B) –

[kese] (C) ”nanti” [k฀ne] (B)-


[kone] (C) ’kesitu’. Kajian yang dilakukan Kridalaksana (1980) menemukan
vokal adalah /a/, //, /e/, //, /i/, /u/, /o/ dan konsonan adalah /p/, /b/, /t/, d/, /k/,
/g/ ,/c/, /h, /j/, /s/, /l/, /m/, /n/, /ή, //, /ň/, /r/, /w/, /y/.

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan tulisan Kridalaksana (1980) terhadap tata fonem Bahasa
Gayo Lut dialek Bukit dan Cik hanya di bahas secara singkat karena hanya
mendeskripsikan ihwal struktur bunyi dan hanya bersifat menginfentarisasi fonem
vokal dan fonem konsonan.
Penelitian terhadap bahasa Gayo juga dilakukan oleh Baihaki dkk (1981).
Penelitian ini dilakukan untuk melihat fonologi, morfologi, dan sintaksis bahasa
Gayo. Berdasarkan hasil penelitian tersebut dari segi fonologi ditemukan 9 vokal,
1 vokal rangkap, 21 konsonan. Sementara dari sudut morfologi ditemukan 3
macam afiks, yaitu awalan, sisipan, dan akhiran. Dari ketiga macam afiks yang
ditemukan ini terdiri atas 10 awalan, 2 sisipan, dan 12 akhiran. Selain itu
ditemukan awalan akhiran yang merupakan kesatuan yang utuh. Selanjutnya, dari
sudut sintaksis ditemukan pembagian kalimat yaitu lagu kalimat, kalimat hukum
DM, kalimat menurut jabatan, dan kalimat menurut maksudnya.

Penelitian terhadap bahasa Gayo juga dilakukan oleh Idris Ibrahim dkk
(1984) tentang sistem perulangan bahasa Gayo. Perulangan adalah satu proses
morfologi yaitu suatu kata yang diulang seluruhnya atau sebagian. Berdasarkan
penelitian tersebut ditemukan bahwa dalam bahasa Gayo terdapat perulangan kata
dan perulangan frase. Frekuensi perulangan pada kata jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan frekuensi frase. Perulangan terdapat pada berbagai jenis
kata, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata bilangan, kata
ganti orang, dan kata tugas. Sedangkan ciri-ciri perulangan dalam bahasa Gayo
dapat dilihat dari dua segi yakni segi fonologi dan segi semantik. Selanjutnya
bentuk perulangan dapat dibedakan atas: (1) bentuk perulangan sempurna, dan (2)
bentuk perulangan tak sempurna.

Universitas Sumatera Utara

Penelitian tentang bahasa Gayo lainnya adalah Kata Tugas Bahasa Gayo
oleh Ibrahim Makam dkk (1985). Berdasarkan hasil penelitian ini ditemukan
bahwa dalam bahasa Gayo terdapat sembilan kelompok kata tugas dan yang
masing-masing kelompok terdiri dari beberapa jenis dengan ciri semantik dan
fungsinya sendiri pula. Dari sembilan kelompok kata tugas yang ditemukan,
ternyata terdapat enam jenis kata depan, yaitu kata depan yang menyatakan asal,

perbandingan, tempat, tujuan, arah, dan tentang. Terdapat dua jenis kata
keterangan, yaitu kata keterangan waktu dan kata keterangan derjah. Dua belas
jenis kata penghubung, empat jenis kata modal. Kata bilangan terdiri dari tiga
jenis.
Jika ditinjau dari segi semantik, kata tugas tidak dapat berdiri sendiri.
Sementara berdasarkan fungsinya kata tugas bahasa Gayo tidak dapat menduduki
fungsi-fungsi pokok seperti, subjek, predikat, atau objek. Fungsi pokok itu
diduduki oleh kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Kata tugas berfungsi
membantu kata baku dalam memperluas kalimat dasar dan menggabungkan polapola kalimat dalam berbagai cara. Sejalan dengan bahasa Indonesia, kata tugas
bahasa Gayo juga sukar mengalami perubahan bentuk. Ini merupakan ciri dari
kata tugas.
Kajian tentang bahasa Gayo ditemukan dalam bentuk tesis S2 yang pada
umumnya sudah mulai berisi tentang uraian mendalam sesuai dengan tujuan
kajiannya. Zainuddin (2001) membahas aspek Sistem Nominalisasi bahasa Gayo.
Sesuai dengan tujuan tulisannya yang menggambarkan tentang perolehan
nominalisasi melalui proses morfologis. Kajiannya menemukan proses afiksasi

Universitas Sumatera Utara

berdasarkan bentuk dasar kata sifat dan kata kerja. Proses afiksasi terdapat,

prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, dan konfiksasi. Dari keempat afiksasi tersebut jenis
konfiksasi yang paling berperan dalam proses pembentukan nomina bahasa Gayo.
Makna gramatikal yang dihasilkan oleh proses afiksasi dalam pembentukan
nomina bahasa Gayo cenderung bervariasi.
Tulisan lain, oleh Husna (2003) tentang Sistem Morfologi Verba Bahasa
Gayo dialek Gayo Lut. Sesuai dengan tujuannya kajian ini melihat verba bahasa
Gayo dari tiga ciri yaitu: (1) ciri semantik, (2) ciri morfologis, dan (3) ciri
sintaksis. Dari kajian ini ditemukan bahwa ciri semantis verba bahasa Gayo
ditemukan melalui proses penurunan kata, dimana verba tersebut terdeskripsi
melalui perbuatan, proses dan keadaan. Ciri morfologis verba bahasa Gayo
ditemukan pada verba yang muncul akibat proses morfologi. Ciri tersebut
mencakup prefiks, sufiks, dan konfiks. Ciri sintaksis dilihat pada pemakaian
dalam kalimat, klausa, dan frase yaitu berdasarkan fungsi dan posisinya.
Berdasarkan fungsi, verba bahasa Gayo berfungsi sebagai predikat, penanda
imperatif dan penanda interogatif. Berdasarkan posisi verba bahasa Gayo
didahului kata penunjuk aspek, kata negasi dan kata penunjuk modalitas.
Karya selanjutnya oleh Dardanila (2004) tentang Pronomina Bahasa Gayo.
Sesuai dengan tujuannya ditemukan bahwa dalam bahasa Gayo ada tiga bagian
yaitu: (1) pronomina persona, (2) pronomina penunjuk, dan (3) pronomina
penanya. Pronomina persona terbagi dua, yaitu pronomina sebenarnya dan

pronomina tak sebenarnya. Pronomina merupakan alat penaut klausa untuk
membentuk wacana. Pronomina dengan ciri ini diantaranya adalah pronomina
persona.

Universitas Sumatera Utara

Tulisan lainnya oleh Yusradi (2010) tentang Penyusutan Tutur dalam
Masyarakat Gayo: Pendekatan Ekolinguistik. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan ditemukan bahwa masyarakat Gayo memiliki konsep, bentuk, dan
muatan tutur tersendiri. Dalam perkembangannya, tutur tersebut kurang dipakai,
bahkan cenderung mulai ditinggalkan. Hal tersebut dilatari oleh dua faktor, yaitu
faktor internal yang bersumber dari orang Gayo sebagai pengguna tutur. Tutur
tidak diajarkan, tidak dipakai, dan tidak dipelajari. Faktor eksternal yang berasal
dari luar yaitu, adanya pengaruh pemakaian bahasa Indonesia, perkawinan silang,
interaksi budaya, pengaruh media, pendidikan dan pengaruh perkembangan
informasi dan teknologi.
Tulisan lain bahasa Gayo oleh Eades (2005) tentang Grammatical of
Gayo: Language of Aceh, Sumatera. Sesuai dengan tujuannya melihat bahasa
Gayo dari segi (1) fonologi, (2) morfologi dan (3) sintaksis bahasa Gayo.
Berdasarkan kajiannya dalam bidang fonologi di gambarkan bahwa terdapat 18

konsonan secara fonologis dalam bahasa Gayo yaitu /p, b, t, d, s, k, g, h, c, j, ny,
ng, m, n, r, l, w, y/ dan 18 konsonan secara fonetis, yaitu [ p, b, t, d, s, k, h, t,
d, , , m, n, r, l, w, y]. Sementara itu ditemukan 6 vokal yaitu /i, e, u, o, , a/.
Dari segi morfologi ditemukan kelas kata, dan segi sintaksis menemukan tentang
frasa preposisi dalam bahasa Gayo.
Berdasarkan pengamatan penulis khususnya terhadap kajian fonologi yang
dilakukan oleh Kridalaksana, Baihaqi dkk tidak sama dengan kajian yang akan
dilakukan ini. Pada kajian sebelumnya hanya menginfentarisasi dan memaparkan

Universitas Sumatera Utara

segmen vokal dan konsonan secara fonemis saja belum sampai tingkat fonetis,
kemudian belum memaparkan fitur-fitur distingtif serta belum menentukan
proses-proses dan kaidah-kaidah fonologis yang terjadi dalam bahasa Gayo.
Dalam deskripsi fonetis realisasi asal fonem belum dilakukan secara
komprehensif. Maka dapat dipastikan kajian yang akan dilakukan ini lebih
mendalam dari kajian sebelumnya. Tetapi kajian yang telah dilakukan sebelumnya
akan tetap menjadi acuan terhadap kajian ini.
2.1.2 Penelitian Fonologi Generatif Terhadap Bahasa-Bahasa Lain di
Indonesia

Kepustakaan yang terkait dengan penelitian Fonologi Generatif (teori yang
diterapkan pada kajian fonologi bahasa Gayo ini) dimulai sekitar tahun 70-an.
Penelitian tersebut dipelopori oleh Chomsky dan Halle (1968) terhadap bahasa
Inggris dengan judul The Sound Pattern of English. Dalam buku tersebut
dijelaskan bahwa keanekaragaman lahiriah bentuk fonologis memiliki bentuk
dasar (underlying form). Misalnya, kata bahasa Inggris absorb dan absorption
memiliki bentuk dasar yang “disimpan” dalam leksikon sebagai /bz:b+n/,
tetapi dilafalkan sebagai /bz+pn/ sehingga diperlukan kaidah fonologis
(phonological rule) untuk mengubah /b/ menjadi /p/ dalam lingkungan tersebut.
Dengan demikian, pada prinsipnya fonologi itu berisi tiga bagian utama, yaitu
bentuk dasar, kaidah fonologis, dan bentuk turunan (realisasi fonetis). Bentuk
dasar atau segmen fonologis (underlying form) adalah satuan dasar hipotesis yang
dianggap merupakan titik landasan untuk menguraikan atau menurunkan

Universitas Sumatera Utara

seperangkat satuan atau seperangkat varian dari sebuah satuan (Schane,1973),
kaidah fonologis merupakan penetapan secara tepat persyaratan terjadinya proses
fonologis (Schane,1992:62), sementara bentuk turunan (derived form) adalah
bentuk yang berasal dari bentuk dasar setelah mengalami pelbagai proses. Bentuk

turunan baru terbentuk dari bentuk dasar setelah melewati satu atau lebih proses,
seperti proses perubahan, penambahan, pelesapan, atau proses penggantian
(Schane, 1973).
Lapoliwa (1991) merupakan perintis penelitian bahasa Indonesia dalam
bidang kajian Fonologi Generatif. Lapoliwa (1981) penelitiannya yang berjudul
Fonologi Bahasa Indonesia: Suatu Pendekatan Generatif.

Lapoliwa (1981)

menemukan dalam bahasa Indonesia mempunyai 23 bunyi konsonan dan 6 vokal.
Ada 12 ciri pembeda untuk membedakan 29 segmen itu, yaitu [konsonantal],
[silabis], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal],
[kontinuan], dan, [tekanan]. Ada 27 kaidah fonologis, yaitu kaidah degiminasi,
pelesapan trill, penyisipan glottal stop, realisasi glottal stop dari /k/, pelesapan /h/,
despirantisasi (naturalisasi) /f/, naturalisasi /h/, pengedepanan (naturalisasi) /s/,
naturalisasi /x/, penyisipan schwa, pelesapan nasal dan asimilasi, penyatuan
konsonan, pelesapan dua segmen pertama dari /mn/, pelemahan vokal,
penarikan kembali vokal, pelesapan schwa, nasalisasi vokal, perendahan vokal,
penyatuan vokal, penyisipan luncuran, desilabitasi, desimilasi vokal, akhir kata
pinjaman, dan penempatan tekanan. Dalam penelitian itu ditemukan adanya


Universitas Sumatera Utara

rangkaian konsonan s-t, s-l, k-t, k-s, k-d, k-n, k-l, k-r, k-z, p-t, h-t, h-k, h-s, h-b, hl, h-y, h-w, s-h, m-r, m-l, l-m, dan b-r dan rangkaian vokal i-a, i-u, i-o, u-a, u-e, uu, a-, a-u, a-e, a-a, o-a.
Selanjutnya Pastika (1990) melakukan penelitian tentang Fonologi
Generatif Bahasa Bali. Penelitian ini terdiri ruas asal (konsonan dan vokal),
karakterisasi ruas asal dalam ciri pembeda, syarat struktur morfem, kaidah-kaidah
fonologi, dan kaidah-kaidah berurutan. Hasil temuannya menunjukkan bahwa
bahasa Bali memiliki 24 ruas asal (konsonan dan vokal). Kedua puluh empat ruas
asal itu memerlukan 15 ciri pembeda dalam penggambaran karakteristiknya.
Selain itu, ditemukan pula 23 rangkaian dua konsonan dan 17 rangkaian dua
vokal. Dalam hal kaidah fonologi ditemukan 17 kaidah yang sebagian merupakan
kaidah beurutan.
Kulla Lagousi meneliti bahasa Bugis (1992) berjudul Pola Bunyi Bahasa
Bugis Ditinjau dari Pendekatan Fonologi Transformasi Generatif. Dalam
penelitian ini Kulla menemukan hal-hal sebagai berikut, pertama, ruas-ruas asal
bahasa Bugis yang membentuk syarat stuktur morfem terdiri atas /p, t, k, b, d, g, c,
j, m,n, , ŋ ,l,r,s,h,  , w, y, i, e,  , u, o, a/. Ruas  dan ŋ terletak pada posisi akhir
kata fonologis, dan sebaliknya hanya vokal y tidak dapat menduduki posisi akhir
kata fonologis dengan rangkaian ruas yang tidak melebihi dari dua ruas. Kedua,

ada 15 fitur pembeda untuk menjelaskan sistem bunyi bahasa Bugis secara tepat
dan sederhana. Sebagai fitur golongan utama ditemukan [silabis], [konsonantal],

Universitas Sumatera Utara

[sonoran], sedangkan untuk fitur golongan cara

ditemukan yaitu, [malar],

[pelepasan tak segera], [kasar], [nasal], [lateral], dan untuk fitur golongan
pengucapan ditemukan yaitu, [anterior], [koronal], untuk fitur tubuh lidah dan
bentuk bibir ditemukan [bulat], [belakang], dan sebagai fitur tambahan ditemukan
[bersuara]. Ketiga, bahasa bugis mengenal empat jenis proses fonologis, yaitu
asimilasi, struktur suku kata, pelemahan dan penguatan dan, netralisasi. Keempat,
varian

morfem

imbuhan


dalam

bahasa

Bugis

yang

beraneka

ragam

dikelompokkan ke dalam berbagai bentuk asal, seperti /maŋ-/, /paŋ-/, /taŋ-/, /tŋ/, /siŋ-/, dan /-ŋ/. Kelima, tekanan utama bahasa Bugis lebih lazim terletak pada
peultimat daripada posisi lainnya dalam kata. Jika ada peredaran tekanan utama,
karena pengaruh morfem yang mengikutinya, maka tekanan utama itu selalu
bergeser ke belakang.
Adnyana (1995) meneliti Kaidah-kaidah Fonologi Bahasa Bajo: Sebuah
Kajian Transformasi Generatif di Lombok Timur. Dalam penelitian ini ditemukan
secara fonemis ada 24 segmen (vokal dan konsonan) dan secara fonetis ada 27
segmen. Diperlukan 15 ciri pembeda dan 18 kaidah dalam pembentukan bentuk
turunan. Diantara kaidah tersebut ditemukan pula 3 macam kaidah yang
berurutan.
Penelitian Berkanis (1996) berjudul Fonologi Bahasa Tetum Dili
menemukan bahwa dalam bahasa Tetum Dili menghasilkan 22 segmen konsonan
dan 6 segmen vokal, baik secara fonemis maupun fonetis. Diperlukan 15 ciri

Universitas Sumatera Utara

pembeda untuk membedakan 28 segmen fonologis, yaitu [konsonantal], [silabis],
[sonoran], [koronal], [anterior], [tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal],
[lateral], [malar], [pelepasan tak segera], [bersuara], dan, [tegang]. Ada 5 kaidah
fonologi yang ditemukan, yaitu kaidah pelesapan /e/, penyuaraan /h/, pengenduran
vokal, penambahan semi vokal, dan penempatan tekanan. Dalan penelitian ini
juga ditemukan sejumlah rangkaian vokal dan konsonan yaitu, a-u, a-i, a-e, a-o, ia, i-u, i-o, i-i, u-a, u-i, e-a, e-i, e-u, e-e, o-a, o-i, o-u, o-e, sebagai rangkaian vokal.
m-p, m-b, n-t, n-d, ŋ-g, n-t, r-d, r-m, r-t, r-k, s-t, k-s, k-l, k-r, k-f, p-r, m-r, b-r, dan
f-r.
Penerapan teori Fonologi Generatif juga dilakukan oleh Sudana (1997)
pada penelitiannya yang berjudul Fonologi Bahasa Bima: Sebuah Kajian
Transformasi Generatif. Berdasarkan kajiannya tersebut dihasilkan antara lain
bahwa bahasa Bima secara fonemis memiliki 26 segmen dan secara fonetis ada 31
segmen. Dari ciri-ciri distingtif diperlukan 16 ciri pembeda untuk membedakan 26
segmen fonologis, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [malar], [pelepasan tak
segera], [nasal], [lateral], [anterior], [koronal], [tinggi], [rendah], [belakang],
[bulat], [bersuara], [teganga], dan [tekanan]. Selanjutnya untuk kaidah fonologi
ada 12 kaidah, yaitu kaidah pengenduran vokal, penurunan ketinggian vokal,
kaidah kecil perubahan vokal /o/ dan /e/, perubahan vokal /u/, penyisipan semi
vokal /y/ dan /w/, pelesapan /h/, pelesapan suku kata, penambahan /m/,
penambahan //, perubahan konsonan /r/, perubahan konsonan /n/, dan kaidah

Universitas Sumatera Utara

penempatan tekanan. Dalam penelitia Sudana ditemukan rangkaian vokal i-a, a-i,
a-e, a-u, a-o, e-a, e-o, e-i, u-a, u-i, u-e, o-a, o-u, o-e, o-i, dan rangkaian kosonan mb, m-p, n-c, n-d, n-j, n-t, ŋ-g, ŋ-k.
Mulyani (1998) dalam penelitian yang berjudul Ayat Fasif Bahasa Melayu
Dialek Deli Medan: Suatu Tinjauan Transformasi Generatif. Penelitian ini hanya
mengkaji aspek sintaksis transformasi generatifnya. Penelitian ini menemukan
ayat (kalimat) pasif, (1) yaitu ayat pasif dengan imbuhan kata kerja pasif di-, (2)
ayat pasif dengan kata kerja pasif ber-, ‘ber’, dan ayat pasif dengan imbuhan kata
kerja pasif ke-…-an. (3) Ayat pasif dengan perkataan kene ‘kena’ (4) ayat pasif
dengan kata ganti diri. Sedangkan frase ditemukan dua jenis, yaitu (1) Frase kerja
(FK) transitif dan frase kerja (FK) inti.
Marthini (1999) melakukan penelitian terhadap Fonologi Bahasa Osing di
Melaya Jembrana: Sebuah Kajian Transformasi Generatif. Dari penelitian tersebut
ditemukan bahwa secara fonemis mempunyai 27 segmen vokal dan konsonan,
secara fonetis 31 segmen vokal dan konsonan karena segmen /i, u, e, o/ dapat
mengalami proses pengenduran. Ditemukan 15 ciri pembeda untuk membedakan
27 segmen fonologis, yaitu [consonantal], [silabis], [sonoran], [koronal],
[anterior], [tinggi], [rendah],[belakang], [bulat], [nasal], [lateral], [malar],
[pelepasan tak segera], [bersuara], dan [tegang]. Ditemukan juga 10 kaidah
fonologi, yaitu kaidah pengenduran vokal, perendahan vokal, pelesapan obsrtuen,
penyisipan /k/, penyisipan /ŋ/, penyisipan vokal /a/, penguatan /o/, pelemahan
vokal /a/, asimilasi nasal /ŋ-/, dan asimilasi regresif. Dalam penelitian ini

Universitas Sumatera Utara

ditemukan juga rangkaian segmen vokal, a-i, a-a, a-u, a-o, i-a, u-a, o-i dan
rangkaian konsonan b-l, b-r, m-p, n-d, n-t, n-c, n-j, ŋ-k, ŋ-g, ŋ-s, r-l, r-k, s-r, s-k,
k-l, k-r, k-s, g-l, dan g-r.
Hendrina (2001) melakukan penelitian terhadap bahasa Sumba dengan
judul Representasi Fonologis dan Fonetis Bahasa Sumba: Sebuah Analisis
Fungsional. Berdasarkan penelitiannya Hendrina menemukan 24 segmen asal
(vokal dan konsonan) secara fonemis dan 29 segmen secara fonetis. Sebagai ciri
pembeda ada 14, yaitu [consonantal], [silabis], [sonorann], [koronal], [anterior],
[tinggi], [rendah], [belakang], [bulat], [nasal], [malar], [pelepasan tek segera],
[bersuara]. Dalam penelitian ini hanya ditemukan rangkaian segmen vokal saja,
yaitu i-u, i-a, u-a, u-i, e-u, e-i, o-i, a-i, a-u. selain itu ditemukan juga 5 kaidah
fonologi, yaitu kaidah penyisipan semi vokal, pengulangan suku kata,
pengenduran vokal, perubahan vokal, dan penempatan tekanan.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Suparwa (2007) dengan judul Pola
Bunyi Bahasa Melayu Loloan Bali: Kajian Fonologi Leksikal dan Posleksikal.
Dalam penelitian ini menemukan bahasa Melayu Loloan Bali memiliki sistem 6
segmen vokal fonemis yang terdistribusi secara simetris; dua vokal depan tinggi
dan sedang, dua vokal tengah sedang bawah, serta dua vokal belakang tinggi dan
sedang. Keenam vokal itu dapat terealisasi ke dalam 10 segmen fonetik. Keenam
vokal tersebut adalah /i, u, e, , o, a/ dan memiliki realisasi fonetik [i, u, e, , o,
a, , , , ], dalam hal ini, masing-masing vokal tegang /i, u, e, o/ memiliki
alofon kendur [, , , ] yang muncul hanya dalam suku tertutup. Masih
berkaitan dengan segmen vokal, penelitian ini juga menemukan fenomena

Universitas Sumatera Utara

fonologis yang berupa variasi bebas antar alofon. Vokal sedang-depan dan
belakang (/e/, /o/) bervariasi bebas dalam lafal dengan alofonnya ([], [฀]) pada
posisi suku terbuka, seperti pada kata reken [rekn] [rkn] ‘hitung’ atau ‘toko
[toko] [t฀k฀] ‘toko’. Dalam gambaran fitur distingtif diperlukan 15 fitur tergolong
ke dalam lima golongan utama, fitur cara artikulasi, fitur tempat artikulasi, fitur
batang lidah dan bentuk bibir, serta fitur tambahan. Segmen yang digambarkan
sebanyak 24 buah, sehingga keseluruhan segman tersebut memakai 360 fitur.
Tetapi dalam realisasinya tidak ke-15 fitur itu digunakan karena ada fitur yang
redundan. Sedangkan kaidah ditemukan 136 kaidah redundan jika digabungkan
menjadi 38 kaidah. Analisis pola kanonik bahasa Melayu Loloan Bali memiliki
pola suku kata margin tuggal, yaitu, V, KV, VK dan KVK. Temuan kaidah
fonologi leksikal meliputi kaidah fonologi intraleksikal dalam lingkup
morfofonemik, kaidah fonologi dalam realisasi fonetik, kaidah fonologi dalam
semepadan silabel dan morfem, dan kaidah penempatan tekanan. Selanjutnya
kajian fonologi posleksikal merumuskan 14 kaidah fonologi. 7 kaidah merupakan
rumusan kajian perubahan bunyi antarkata. 4 kaidah merupakan kaidah sempadan
kata dan realisasi fonetis dalam satu kelompok kata, dan sebanyak 3 kaidah
merupakan kaidah intonasi, yaitu intonasi pada kalimat berita, intonasi kalimat
tanya, dan intonasi kalimat suruh. Kaidah fonologi posleksikal, umumnya
ditemukan berupa perubahan bunyi pada kata yang termasuk kelompok kata
tugas, seperti kata demonstratif, kata depan, partikel wacana, dan perubahan bunyi
dalam kata yang digunakan konteks kalimat.

Universitas Sumatera Utara

Kajian fonologi yang telah dilakukan itu dapat memperkaya khazanah
penerapan teori Fonologi Generatif, khususnya pada bahasa-bahasa Nusantara.
Hal itu menjadi penting karena teori Fonologi Generatif tersebut lahir dari kajian
pada bahasa Inggris saja. Kajian tersebut akan dapat merumuskan, antara lain,
bunyi-bunyi yang khas pada bahasa tertentu; jumlah fitur yang diperlukan dalam
penggambaran bunyi-bunyi bahasa Nusantara; dan kaidah-kaidah yang diperlukan
dalam penggambaran realisasi bentuk asal dan turunannya.

Demikian juga

dengan kajian fonologi terhadap bahasa Gayo sangat penting dilakukan mengingat
fenomena bahasa Gayo yang belum memiliki sistem tulisan tersendiri.

2.2 Konsep
Konsep-konsep yang digunakan dalam kajian ini berkisar pada konsep
yang berhubungan dengan teori Fonologi Struktural dan Fonologi Generatif.
Berikut ini adalah uraian yang berisi tentang konsep-konsep yang digunakan
dalam penerapan teori tersebut.

2.2.1 Fonologi Struktural
Di antara abad ke-17, 18 dan awal abad ke-19 kajian bahasa terus
berkembang dari zaman ke zaman. Pandangan ahli bahasa Ferdinand de Saussure
(1857-1913) yang dimuat dalam bukunya Course de Linguistique Genarale
mengenai konsep: (1) telaah sinkronik, (2) perbedaan langue dan parole, (3)
perbedaan signifiant dan signifie, (4) hubungan sintagmatik dan paradigmatik
banyak berpengaruh dalam perkembangan linguistik di kemudian hari.

Universitas Sumatera Utara

2.2.2 Aliran Praha
Aliran Praha terbentuk pada tahun 1926 atas prakarsa salah seorang
tokohnya, yaitu Vilem Mathesius (1882-1945). Tokoh-tokohnya adalah Nikolai S.
Trubetskoy, Roman Jakobson, dan Morris Halle. Pengaruh mereka sangat besar di
sekitar tahun tiga puluhan, terutama bidang fonologi.
Dalam bidang

fonologi

aliran Praha

inilah

yang

pertama-tama

membedakan dengan tegas akan fonetik dan fonologi. Fonetik mempelajari bunyibunyi itu sendiri, sedangkan fonologi mempelajari bunyi tersebut dalam suatu
sistem (Chaer, 1994 : 351).
Struktur bunyi dijelaskan dengan memakai kontras atau oposisi. Ukuran
untuk menentukan apakah bunyi-bunyi ujaran itu beroposisi atau tidak adalah
makna. Perbedaan bunyi yang tidak menimbulkan perbedaan makna adalah tidak
distingtif. Artinya, bunyi-bunyi tersebut tidak fonemis. Sedangkan yang
menimbulkan perbedaan makna adalah distingtif; jadi bunyi-bunyi tersebut
bersifat fonemis. Dalam bahasa Indonesia bunyi /l/ dan /r/ adalah dua fonem yang
berbeda, sebab terdapat oposisi di antara keduanya seperti tampak pada pasangan
kata lupa dan rupa.
Dari sejumlah tokoh aliran Praha di atas kajian Trubetzkoy memberikan
pandangan terhadap teori fonologi struktural seperti berikut ini:
1. Kajian fonologi dan kajian fonetik dapat dipisahkan.

Universitas Sumatera Utara

2. Pandangan terhadap unsur bunyi atau fonem. Pandangan ini beranggapan
bahwa fonem adalah unsur bahasa yang paling kecil dan memiliki sifat
yang konkret.
3. Sebagian dari bunyi bahasa tidak semestinya dapat disamakan denga
fonem.
4. Nilai yang berbeda dari fonetik bagi suatu bahasa dianggap sebagai nadi
bagi teori fonologi aliran Praha.

2.2.3 Konsep Generatif
Konsep merupakan gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang
ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal-hal
yang ada diluar bahasa tersebut. Konsep yang dimaksud juga berhubungan dengan
konsep generatif Chomsky yang di gagas pertama sekali tahun 1957 dalam buku
Syntactic Structures, merupakan istilah generative dalam pendekatan linguistik
yang memiliki pengertian sebagai berikut (a) dengan sejumlah kaidah dan dengan
satuan-satuan yang terbatas mampu dihasilkan unsur-unsur secara tidak terbatas,
dan (b) bersifat eksplisit karena dirumuskan dengan kaidah-kaidah (Chomsky,
1971 : 85). Pandangan Chomsky tentang konsep generatif dalam pendekatan
linguistik berbeda dari pendekatan struktural. Pandangan itu memastikan bahwa
ada sejumlah kaidah-kaidah tersebut diperoleh oleh penutur bahasa selama kurun
waktu yang terbatas. Akan tetapi, kaidah yang terbatas dengan cara yang terbatas
itu dapat menghasilkan dan memproduksi satuan ujaran yang mungkin terjadi
secara tidak terbatas. Ide tersebutlah yang membedakan linguistik generatif
dengan aliran-aliran pemikiran lainya dalam linguistik (Cairn dan Cairns, 1976 :
11).

Universitas Sumatera Utara

Konsep Chomsky berdasarkan pendekatan linguistik generatif tersebut
memberi tempat pada pemahaman tentang bahasa yang kreatif. Kreativitas atau
produktivitas merupakan ciri bahasa yang universal. Keuniversalan linguistik itu
dapat dikeluarkan dari tata bahasa suatu bahasa tertentu karena dapat dikenali dari
teori umum tata bahasa (Chomsky, 1965; Silitonga, 1976 : 121).
Sifat analisis generatif tersebut akan memberikan warna analisis bahasa
(khususnya fonologi) yang dinamis, tidak statis. Analisis fonologi tidak hanya
mendeskripsikan polanya, tetapi juga proses-proses perubahan segmen akibat dari
interaksi segmen dengan lingkunganya, baik lingkungan fonologis maupun non
fonologisnya. Kedua perubahan bunyi tersebut (lingkungan fonologis dan non
fonologis) sering tidak dijelaskan secara eksplisit dalam analisis fonologi, tetapi
kadang-kadang informasi seperti itu diperlukan.

2.2.4 Kompetensi dan Performansi
Sejalan dengan konsep dalam kajian struktural maka, Chomsky
membedakan

adanya

kemampuan

(competence)

dan

perbuatan

bahasa

(performance). Pemilahan dua tingkatan bahasa oleh Fonologi Generatif adalah
pandangan

tentang

konsep

kompetensi

(competence)

dan

performansi

(performance). Kompetensi adalah pengetahuan yang dimiliki oleh pendengarpendengar asli tentang bahasanya secara tidak sadar atau secara diam-diam.
Kompetensi ini merupakan pengetahuan yang dipunyai pemakai bahasa dan
merupakan objek tata bahasa generatif. Cairns dan Cairns (1976 : 19)
menyebutnya “linguistic competence refers only to the native speaker’s
knowledge of his language i.e his grammar. Selanjutnya tata bahasa haruslah
mampu menggambarkan kemampuan si pemakai bahasa yang dihasilkan dan
mengerti kalimat yang tidak terbatas jumlahnya, yang sebagian besar, belum
pernah dilihatnya atau didengarnya (Silitonga, 1976 : 120). Performansi adalah

Universitas Sumatera Utara

ujaran sesungguhnya sebagai lawan bahasa. dalam hal ini performansi merupakan
cara kompetensi linguistik dipergunakan di dalam pembentukan dan pemahaman
ujaran, di dalam produksi dan komprehensi ujaran atau speech (Palmatier, 1972 :
121). Dalam tata bahasa generatif ini, maka yang menjadi objeknya adalah
kemampuan.
Konsep pemilahan dua tingkatan bahasa oleh Chomsky tersebut, secara
operasional, di dalam Fonologi Generatif terlihat dalam pembedaan antara
representasi dasar dan representasi turunan. Fonologi Generatif membedakan dua
tingkat representasi struktur fonologi, baik morfem, kata, frasa, maupun kalimat,
yaitu representasi dasar dan representasi fonetik (Kenstowichz, 1979 : 32). Maka
adalah tugas kaidah-kaidah fonologis yang kemudian membangun komponen
fonologi dari tata bahasa bertugas untuk mengubah representasi dasar dari suatu
uaraian dan menghubungkannya dengan representasi fonetik. Dengan demikian,
representasi fonetik suatu kalimat dari struktur permukaan ditarik dari representasi
dasarnya dengan memakai rumus-rumus atau kaidah-kaidah fonologis.
Pemilahan dua tingkatan representasi dasar dan representasi turunan,
bertujuan untuk dapat membedakan bentuk-bentuk yang benar-benar distingtif
dengan ciri-ciri berlimpahnya. Di samping itu, juga dapat membantu membuat
generalisasi menjadi lebih sederhana yang tidak bisa dilakukan hanya dengan satu
tingkat

representasi

(Kentsowicz,

1994

:

70).

Misalnya

untuk

dapat

menyimpulkan bahwa alofon-alofon [t], [th], [฀], [D], [N], [t], [], [] dalam
bahasa Inggris berasal dari satu bentuk abstrak /t/, harus benar-benar dilihat
lingkungannya sebagai berikut (Kenstowicz, 1994 : 66).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.1 Alofon /t/ dalam Bahasa Inggris
Alofon
[t] biasa
[th] beraspirasi
[] retrofleks
[D] sentuhan (flap)
[N] flap nasal
[t] glotalisasi
[] glotal stop
[] zero

Contoh
Stem
ten
strip
atom
panty
hit

bottle
pants
Ket: Simbol fonetis [D] dan [N] masing-masing untuk [t] yang ter-flap dan [t]
yang ter-flap nasal merupakan lambang dari Kenstowicz (1994 : 66).
Untuk dapat menjelaskan bentuk-bentuk alofon tersebut di atas, diperlukan
kaidah-kaidah sistematis sebagai mediator antara bentuk abstrak /t/ dengan
alofon-alofonnya.

2.2.5 Bentuk Dasar dan Bentuk Turunan
Bentuk dasar merupakan bentuk dari sebuah morfem yang dianggap paling
umum dan paling tidak terbatas. Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang
fungsional atau dapat membedakan makna kata (Chaer, 1994 : 137). Dalam studi
fonologi,

alofon-alofon

yang

merealisasikan

sebuah

fonem

itu,

dapat

dilambangkan secara akurat dalam wujud tulisan atau transkripsi fonetik.
Sementara Hyman memberikan pendapat tentang fonem (1) fonem sebagai
realitas fonetis; (2) fonem sebagai realitas fonologis; dan (3) fonem sebagai
realitas psikologis (Hyman, 1975 : 60). Dari ketiga pendapat itu, para pakar
fonologi generatif lebih suka menggunakan istilah segmen fonologis daripada

Universitas Sumatera Utara

fonem (Chomsky dan Halle, 1968 : 11; Lapoliwa, 1981 : 11). Segmen fonologis
sering diistilahkan dengan bentuk dasar atau bentuk asal.
Bentuk dasar ( underlying form) disingkat Bd, tidak merupakan satuan dasar
dalam fonologi generatif karena satuan dasar yang sesungguhnya adalah ciri
pembeda (Harms, 1968 : 1; Chomsky dan Halle, 1968 : 64; Schane, 1973 : 24;
Hyman, 1975 : 24 - 25).
Bentuk Dasar adalah satuan dasar hipotesis yang dianggap merupakan titik
landasan untuk menguraikan atau menurunkan seperangkat satuan atau
seperangkat varian dari sebuah satuan (Schane, 1973). Bentuk turunan (derived
form) disingkat Bt, bentuk turunan adalah bentuk yang berasal dari Bd setelah
mengalami pelbagai proses. Bentuk turunan baru terbentuk dari bentuk dasar
setelah melewati satu atau lebih proses, seperti proses perubahan, penambahan,
pelesapan, atau proses penggantian (Shcane, 1973).
Di dalam fonologi generatif digunakan Bd yang abstrak berdasarkan
beberapa pertimbangan, (1) suatu morfem yang bervariasi digambarkan dengan
satu Bd, peneliti telah memberikan suatu bentuk yang khas kepada suatu morfem
yang khas pula, (2) kaidah-kaidah yang mengubah Bd menjadi Bt, yang menandai
dengan tegas proses-proses suatu bahasa, dan (3) Bt yang langsung
mengemukakan beberapa perwujudan morfem yang fonetis (Schane, 1973 : 74 75).
Di dalam hubungannya dengan penentuan Bd, simbol-simbol ortografis bagi
morfem pada realisasi fonologis harus didasarkan pada kriteria-kriteria yang dapat

Universitas Sumatera Utara

diramalkan, hemat, memiliki keteraturan pola, masuk akal, dan wajar (Hyman,
1975 : 91 - 97, 142 - 171).

Dalam Bahasa Gayo berdasarkan pengamatan

sementara yang dilakukan ditemukan delapan bunyi vokal, yaitu [i], [e], [], [],
[a], [u], [o], dan [฀], dan 17 bunyi konsonan, yaitu [p], [b], [t], [d], [k], [g], [c], [j],
[s], [h], [m], [n], [ή], [], [l], [w], [y]. Berikut contoh pemakaian segmen –segmen
tersebut.
a. Vokal
/a/  /awal/
/i/  /ila/
/e/  /eleh/
//  /rah/
//  /gr/
/u/  /umah/
/o/  /opoh/
/฀/  / ฀g฀h/

’pisang’’
’merah’
’ludah’
’lihat’
’tidak’
’rumah’
’kain’
’bodoh’

b. Konsonan
/p/  /pumu/
/b/  /bluh/
/t/  /tulu/
/d/  /dle/
/c/  /crak/
/j/  /juwah/
/k/ /kn/
/g/  /sgr/
/s/  /sara/
/h/  /hana/
/m/ /mra/
/n/  /nan/
//  /ura/
/l/  /lmm/
/r/  /r฀฀/

’tangan’
’pergi’
’tiga’
’banyak’
’bicara’
’liar’
’katanya’
’sekali’
’satu’
’apa’
’mau’
’tambah’
’orang’
’lama’
’leher’

Universitas Sumatera Utara

/w/  /was/
/y/  /iyo/

’dalam’
’sore’

2.2.6 Fitur Pembeda (Distingtive Features)
Setiap benda mempunyai ciri-ciri yang membuat benda itu dapat dikenal.
Ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh benda X yang membedakannya dari semua
benda-benda lain sejenisnya. Kita misalnya dapat mengenal bunyi-bunyi bahasa
berdasarkan ciri-cirinya. Ciri-ciri yang khusus dalam sebuah bahasa yang dapat
membedakannya dengan bahasa lain itu disebut fitur-fitur distingtif dalam kajian
fonologi. Konsep fitur sangat penting dalam kajian Fonologi Generatif karena
fitur merupakan unit dasar analisisnya. Fitur-fitur pembentuk segmen fonetik
mencerminkan instruksi-instruksi mental yang menunjukkan kerja alat-alat ucap
dalam memproduksi bunyi (Postal, 1968 : 273).
Pengertian fitur sebagai suatu konsep adalah characteristix or striking part
atau characteristic property dalam bahasa Indonesia bermakna menjadi ciri atau
milik atau sifat yang khusus (Simanjuntak, 1990 : 11). Konsep fitur distingtif ini
berlaku untuk semua benda yang ada di dunia ini, termasuk bunyi bahasa manusia
di dunia ini. Khusus dalam kajian fonologi, fitur distingtif diartikan sebagai milik
fonem terkecil yang dipakai untuk membedakan arti (Simanjuntak, 1990 : 14).
Dalam Fonologi Generatif segmen dipandang sebagai kesatuan yang terbentuk
dari seperngkat sifat. Untuk itu, setiap segmen dapat dilihat hubungannya dengan
segmen lain. Hubungan tersebut secara eksplisit terlihat dengan mendaftar sifat

Universitas Sumatera Utara

atau fitur tiap segmen. Misalnya, hubungan segmen p,b,d dan n dapat dilihat
dalam daftar berikut ini

p
labial
hambat
tak bersuara

b
labial
hambat
bersuara

(Schane, 1992 : 3).

d
dental
hambat
bersuara

n
dental
nasal
bersuara

Gambar di atas mempelihatkan bahwa p dan b berhubungan dalam labial,
sementara d dan n berhubungan dalam dental. Selanjutnya, p,b,dan d berhubungan
dengan hambat, sedangkan b,d dan n berhubungan dalam bersuara. Secara ideal,
fitur-fitur yang sesuai harus memenuhi tiga fungsi, yaitu (1) fungsi fonetis, (fitur
itu mampu memerikan fonetik sistematis) (2) fungsi fonemis, (fitur itu berguna
untuk membedakan unsur leksikal, dan (3) fitur itu mampu menetapkan kelas
wajar (segmen sebagai kelompok yang mengalami proses fonologis yang sama
(Schane, 1992 : 27). Selanjutnya, fitur tersebut dibedakan atas dua macam, yaitu
fitur yang berpasangan (biner) dan fitur yang mewakili nilai pada skala. Misalnya,
fitur untuk kelas vokal adalah [+ silabis], [+ sonoran], dan [- konsonantal].
Berkaitan dengan jumlah fitur yang diperlukan dalam penggambaran fonologi
bahasa Melayu (Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam) sebanyak tiga belas
buah (Simanjuntak, 1990 : 96).
Representasi fonologis –realisasi – fonologis- suatu morfem dapat
dipandang sebagai matriks yang berdimensi dua, yaitu pertama, kolom-kolomnya
yang berisi segmen-segmen suatu morfem; kedua, baris-barisnya yang

Universitas Sumatera Utara

mendaftarkan ciri-ciri (Schane, 1973 : 41; Chomsky dan Halle, 1968 : 165).
Suatu rincian dalam posisi tertentu pada matriks di atas ini menunjukkan
apakah segmen itu memiliki ciri tersebut (+) atau tidak (-). Suatu posisi yang
kosong berarti ciri itu tidak berkaitan dengan segmen itu. Perbedaan utama dalam
representasi fonologis dan representasi fonetis dengan menggunakan sistem ciri
distingtif adalah representasi fonologis tidak perlu semua ciri dispesifikasikan
untuk semua segmen, sedangkan untuk representasi fonetis harus lengkap. Pada
tataran fonetis kosong artinya ciri itu tidak relevan. Pada tataran fonologis kosong
bisa berarti terduga (rendundan) +, - atau tidak relevan. Pada tataran representasi
fonologis ciri-ciri berlimpah (dapat diduga) tidak perlu dispesifikasi (ini
ditampung pada kaidah ciri-ciri berlimpah segmen)
Tabel 2.2 Matriks Ciri Pembeda Kata aka dan aku
Ciri
/a k a/
’kakak’
/a k u/
’saya’
Konsonan
-+-+Silabik
+-+
+-+
Sonoran
+-+
+-+
Anterior
Koronal
Tinggi
----Rendah
+-+
+-Belakang
----Bulat
----+
Nasal
----Malaran
----Bersuara
+-+
+-+
Lateral
----Penggunaan ciri-ciri pembeda sebagai unsur terkecil dari bunyi lebih tepat
daripada penggunaan simbol-simbol alfabetis, karena penggunaan ciri-ciri
pembeda memungkinkan pembedaan antara golongan seciri dengan golongan

Universitas Sumatera Utara

yang pengelompokkannya secara sewenang-wenang (Kenstowich dan Kisserbert,
1979 : 240). Selain itu, penggunaan ciri-ciri pembeda menungkinkan pula adanya
penjelasan tentang perubahan-perubahan yang terjadi pada Bd menjadi Bt.
Ciri pembeda yang dikemukakan oleh Schane ada enam. Pertama, ciri-ciri
golongan utama yang meliputi silabis, sonoran, dan konsonan. Kedua, ciri-ciri
cara artikulasi yang meliputi malar (kontinuan), pelepasan tertunda (pelepasan
tidak segera), kasar (strident), nasal, dan lateral. Ketiga, ciri-ciri tempat artikulasi
yang meliputi anterior dan koronal. Keempat, ciri-ciri punggung lidah yang
meliputi tinggi, rendah, belakang, dan ciri bentuk bibir yang meliputi bulat dan
tidak bulat. Kelima, ciri-ciri tambahan yang meliputi tegang, bersuara, beraspirasi,
dan hambat. Keenam ciri-ciri prosodi. Dari keenam ciri-ciri yang disebutkan di
atas hanya lima ciri yang akan menjadi fokus kajian ini.

2.2.6.1. Ciri-ciri Kelas Utama
Ciri-ciri kelas utama ditentukan oleh tiga hal: (1) kemampuan menjadi
puncak kenyaringan, (2) kenyaringan segmen yang bersangkutan, dan (3) jenis
penyempitan yang terjadi di dalam rongga mulut. Ketiga hal di atas berkaitan
dengan ciri silabis, sonoran, dan konsonantal.
Ciri-ciri silabis menggambarkan suatu segmen dalam struktur suku kata.
Pada umumnya, vokal-vokal bersifat [+silabis] dan konsonan [-silabis]. Di
samping itu, ciri ini juga digunakan untuk membedakan bunyi-bunyi nasal dan alir
yang silabis dan tidak silabis (Schane, 1973 : 26)
Ciri-ciri sonoran menggambarkan sifat-sifat kenyaringan suatu bunyi.
Vokal, nasal, alir dan semivokal adalah [+sonoran], sedangkan obstruen yang

Universitas Sumatera Utara

meliputi hentian, frikatif, luncuran laringal adalah [-sonoran] (Schane, 1973 : 26;
Hyman, 1975 : 42; Lass, 1984 : 83).
Ciri-ciri konsonantal menggambarkan penyempitn yang terjadi di dalam
rongga mulut, baik penyempitan total maupun pergeseran. Bunyi-bunyi hentian,
frikatof, afrikat, nasal dan alir bersifat [+konsonantal], sedangkan luncuran
laringal [-konsonantal] karena pada saat mengucapkan bunyi ini tidak adanya
penyempitan dalam rongga mulut (Schane, 1973 : 26 - 27; Hyman, 1975 : 42-43;
Lass, 1984 : 83).

2.2.6.2 Ciri-ciri Cara Artikulasi
Ciri-ciri cara artikulasi meliputi malar (continuant), pengelepasan tertunda
(delayed realease), kasar, nasal, dan lateral. Bunyi [+malar] merupakan bunyi
yang udaranya ke luar terus-menerus. Obstruen yang bersifat [+malar] adalah
frikatif, sedangkan, hentian, dan afrikat bersifat [-malar]
Afrikat bersifat pelepasan tertunda [+pelepasan tertunda], sedangkan
hentian bersifat [-pelepasan tertunda]. Bunyi afrikat yang bergeser dan beberapa
frikatif dapat digolongkan bersifat [+kasar] karena udara yang keluar menyentuh
gigi atau uvula sehingga bunyinya lebih kasar. Jadi, f,v,s,z bersifat [+kasar],
sedangkan  dan  bersifat [-kasar]. Bunyi nasal bertentangan dengan bunyi alir,
yaitu sebagai [+nasal] bertentangan dengan [-nasal]. Bunyi alir dan lateral saling
bertentangan sebagai [+lateral] dan [-lateral].
2.2.6.3 Ciri-ciri Tempat Artkulasi

Universitas Sumatera Utara

Ciri-ciri tempat artikulasi ini digolongkan atas empat tempat yang
mendasar, yaitu labial, dental, palatoalveolar, dan velar. Namun, keempat tempat
artikulasi ini tercakup ke dalam dua ciri pembeda yaitu, anterioar dan koronal
yang didasarkan apakah penyempitan dari alveolum ke depan (konsonan anterior)
atau terletak di belakang alveolum (konsonan tidak anterior). Disamping itu,
apakah artikulator berupa daun lidah (koronal) atau tidak (tidak koronal) (Schane,
1973 : 29; hyman, 1975 : 47-48).

2.2.6.4 Ciri-ciri Batang Lidah
Dalam penggolongan vokal digunakan sifat depan-belakang dan sifat
bulat-hampar (Schane, 1973 : 30) sehingga vokal mempunyai ciri pembeda
[tinggi], [belakang], dan [bulat] (Lass, 1984 : 80). Semivokal mirip dengan vokal
tinggi, kecuali pada nilai ciri silabis. Oleh karena itu, ciri tinggi, belakang, dan
bulat dapat membedakan berbagai semivokal. Disamping itu, ciri-ciri pembeda
tinggi belakang dapat dipakai untuk membedakan konsonan, misalnya konsonankonsonan yang [-anterior] dan [-koronal].

2.2.6.5 Ciri-ciri Tambahan
Ciri-ciri ini terdiri atas [tegang], [bersuara], dan [hambat]. Ciri-ciri tegang
terjadi, baik pada vokal maupun pada konsonan. Bunyi tegang ditandai oleh
ketegangan otot secara relatif terdengar lebih panjang dan alat-alat pembentuk
suaranya digerakkan lebih jauh dari posisi letaknya (Schane, 1973 : 13).

Universitas Sumatera Utara

2.2.7 Persyaratan Struktur Morfem.
Syarat-syarat struktur morfem pada mulanya disebut kaidah-kaidah
redundansi leksikal yang juga disebut kaidah-kaidah struktur morfem (Harms,
1968 : 88-89). Namun para pakar fonologi generatif mengangap penggunaan
istilah kaidah-kaidah struktur morfem tidak tepat dan sebagai gantinya digunakan
istilah syarat-syarat struktur morfem (Hyman, 1975 : 110). Oleh Schane, syaratsyarat struktur morfem ini disebut sebagai syarat-syarat ciri-ciri berlimpah. Setiap
segmen mempunyai nilai yang dinyatakan untuk setiap cirinya. Beberapa nilainya
dapat diduga berdasarkan nilai atau ciri yang lain. Hal seperti ini disebut sebagai
ciri-ciri berlimpah sehingga matriks dapat mengandung sejumlah ciri-ciri
berlimpah (Schane,1973 : 35-40). Sebuah fitur segmen dikatakan berlimpah
apabila kehadirannya tidak perlu di dalam mengidentifikasikan segmen tersebut
karena fitur tersebut sudah dapat diduga berdasarkan kaidah fitur lainnya. Fitur
berlimpah penting untuk membuat rujukan ke kelas wajar, sedangkan fitur tidak
berlimpah bersifat distingtif.
Stanley membedakan syarat-syarat struktur morfem atas tiga, yaitu (1)
syarat-syarat jika- maka, (2) syarat-syarat positif, dan (3) syarat-syarat negatif.
Syarat-syarat jika-maka dibedakan atas dua, yaitu syarat-syarat jika-maka untuk
segmen, dan syarat-syarat jika-maka untuk rangkaian segmen. Syarat-syarat
positif di bedakan atas dua, yaitu (1) afiks dan (2) morfem pangkal (Hyman, 1975
: 110-112).
Syarat-syarat jika-maka untuk segmen bermanfaat untuk menjaring
keteraturan bentuk-bentuk pada tingkat realisasi asal atau kelimpahan segmen-

Universitas Sumatera Utara

segmen. Syarat-syarat jika-maka untuk rangkaian segmen bermanfaat untuk
mendapatkan gambaran mengenai rangkaian atau kombinasi segmen yang
dibolehkan dalam suatu morfem bahasa tertentu.
Syarat-syarat positif bermanfaat untuk mendapatkan pola kanonik suku
kata dari bahasa asal morfem. Pola-pola ini memberi informasi tentang
pembatasan umum dari rangkaian segmen (konsonan dan vokal) dalam gambaran
fonologis kata-kata atau ciri leksikal. Dalam kajian ini, syarat-syarat negatif tidak
akan diterapkan, karena syarat-syarat ini dapat diganti dengan syarat-syarat jikamaka (Schachter dan Fromklin (dalam Hyman, 1975 : 112).
Bahasa Gayo mempunyai empat pola kanonik suku kata. Masing-masing
suku kata disertai sebuah vokal, baik sebagai pembuka atau pengiring konsonan.
Tetapi ada juga sebuah suku kata yang hanya terdiri dari satu vokal saja. Berikut
pola kanonik suku kata tersebut.
a. V

: /a – ra/
/i - la/
/u - rn/

’ada’
’merah’
’hujan’

b. VK

: /am- pa/
/an – tak/
/u - ke/

’padi kosong’
’makan’
’rimbang’

c. KV

: /si/
/ko – nol/
/km - p/

’mana’
’duduk’
’cucu’

d. KVK

: /r฀m/
/tu - ln/
/l฀ - k฀p/

’padi’
’tulang’
’telungkup’

Universitas Sumatera Utara

2.2. 8 Proses-Proses Fonologis
Proses fonologis merupakan morfem-morfem yang bergabung untuk
membentuk kata, segmen-segmen dari morfem-morfem yang berdekatan
berjejeran dan kadang-kadang mengalami perubahan. Perubahan juga terjadi
dalam lingkungan yang bukan berupa pertemuan dua morfem misalnya posisi
awal kata dan akhir kata, atau hubungan antara segmen dengan vokal bertekanan.
Secara garis besar proses fonologis terbagi menjadi empat kategori:
asimilasi, struktur silabel, pelemahan dan penguatan, dan netralisasi (Schane,
1973 : 49-61). Dalam proses asimilasi, sebuah segmen mendapat ciri-ciri dari
segmen yang berdekatan. Konsonan mungkin mengambil ciri-ciri dari vokal dan
sebaliknya, konsonan yang satu bisa mempengaruhi yang lain, atau vokal yang
satu bisa mempengaruhi yang lain. Dalam proses asimilasi sangat penting dan
berpengaruh pada kata. Secara rinci proses asimilasi terbagi empat, yaitu, (1)
konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri vokal, (2) vokal berasimilasi dengan ciriciri konsonan (3) konsonan berasimilasi dengan ciri-ciri konsonan, dan (4) vokal
berasimilasi dengan ciri-ciri vokal (Schane, 1992 : 51).
Proses-proses struktur suku kata mempengaruhi distribusi relatif antara
konsonan dan vokal dalam kata. Proses ini ada sembilan, yaitu (1) pelesapan
konsonan, (2) pelesapan vokal, (3) penyisipan konsonan, (4) penyisipan vokal, (5)
penggabungan vokal, (6) perpaduan konsonan, (7) penggabungan konsonan atau
vokal, (8) perubahan kelas utama, dan (9) metatesis (Schane, 1992 : 54-62).
Pelemahan dan penguatan akan mengakibatkan tidak semuan perubahan
dalam struktur silabel selalu berakibat menjadi lebih sederhana. Struktur silabel
akan menjadi kompleks, misalnya, jika vokal berkonfigurasi KVKV yang asli
dilesapkan, sehingga dua konsonan itu berjejer. Pelesapan yang demikian sering

Universitas Sumatera Utara

disebabkan oleh segmen yang menduduki posisi lemah dalam silabel itu. Dalam
proses pelemahan dan penguatan secara dapat dibedakan atas: (1) sinkop dan
apokop, dan (2) pengurangan vokal yang dialami oleh vokal-vokal lemah.
Penguatan dapat dibedakan atas diftongisasi dan pergeseran vokal yang dialami
oleh vokal-vokal kuat, yakni vokal-vokal tegang atau bertekanan.
Netralisasi adalah proses yang membedakan fonologisnya dihilangkan
dalam lingkungan tertentu. Proses netralisasi terbagi atas netralisasi konsonan dan
netralisasi vokal.

2.2.9 Kaidah-kaidah Fonologis
Kaidah sebenarnya adalah penetapan secara tepat persyaratan terjadinya
proses fonologis (Schane, 1992 : 62). Kaidah tersebut dapat dinyatakan dengan
bahasa sehari-hari atau dapat pula dinyatakan dengan suatu notasi formal. Hal ini
penting karena notasi harus cocok untuk mengungkapkan jenis-jenis proses yang
terjadi dalam fonologi dan untuk mencakup generalisasi yang ditemukan di situ.
Dalam Fonologi Generatif dikenal empat macam kaidah fonologis
(Schane, 1992 : 65). Keempat macam kaidah itu adalah :
(3) kaidah perubahan ciri.
(4) kaidah pelesapan dan penyisipan
(5) kaidah permutasi dan perpaduan, dan
(6) kaidah variabel
Dalam penulisan kaidah fonologis dikembangkan berbagai konvensi yang
merujuk ke segmen dan kelas segmen. Segmen biasanya ditulis dengan notasi
fonemis (misalnya /p/), sedangkan kelas segmen digambarkan dengan spesipikasi
ciri minimum yang diperlukan untuk identifikasinya (misalnya [-malar, +

Universitas Sumatera Utara

penglepasan tidak segera] merujuk ke konsonan afrikat). Kelas konsonan dan
kelas vokal dilambangkan dengan K dan V. Penanda lain + dipakai untuk
menyatakan batas morfem, # dipakai untuk menyatakan batas kata, dan // dipakai
untuk batas frasa. Sementara simbol 0 (nol) sebagai kaidah penyisipan jika simbol
itu muncul di sebelah kiri tanda panah atau untuk pelesapan jika simbol itu
muncul di sebelah kanan tanda panah (Schane, 1992; Hyman, 1975; Kenstowicz,
1994).
Untuk menyatakan jumlah minimum dan maksimum gugus segmen silabel
digunakan angka subskrip dan superskrip. Misalnya K2o berarti nol, satu, dan
maksimum dua konsonan. Pembatasan mengenai batas atas dapat juga
diungkapkan melalui notasi tanda kurung, seperti K1 o = (K), K2 o = (K)(K), dan
K2 1 = K (K). Untuk menggambarkan perubahan-perubahan segmen dalam suatu
bahasa juga bisa digunakan notasi formal, fitur pohon, matriks dan lain-lain
(Schane, 1992; dan Kenstowicz, 1994).
Dalam penetapan sebuah kaidah, ada tiga hal yang perlu diperhatikan.
Ketiga hal tersebut adalah (1) segmen mana yang berubah; (b) bagaimana segmen
itu berubah, dan (3) dalam kondisi apa segmen itu berubah (Schane, 1992 : 65).
Segmen atau kelas segmen yang mengalami perubahan digambarkan dengan
perangkat ciri yang minimal untuk identifikasi yang unik. Perubahan itu juga
diungkapkan dalam notasi ciri. Selanjutnya, segmen yang berubah dan cara
perubahannya dihubungkan dengan tanda panah yang menunjuk kearah perubahan
itu. Dalam penggambarannya, segmen yang berubah muncul di sebelah kiri tanda
panah, perubahan segmen tersebut muncul di sebelah kanan tanda panah, dan
lingkungan perubahan ditulis sesudah garis miring.

Universitas Sumatera Utara

Berikut ini adalah sebuah contoh kaidah fonologis yang berlaku dalam
bahasa Hanunoo di Filipina (data Schane, 1992