FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTI

MAKALAH SEMINAR MANDIRI
KOASISTENSI REPRODUKSI
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS
LUTEAL POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH
DENGAN PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT
Judul Asli
“Factors affecting the occurrence of postpartum prolonged luteal
activity in clinically healthy high-producing dairy cows”
Mojtaba Kafi, Abdolah Mirzaei, Amin Tamadon, Mehdi Saeb

Oleh
Yekhonya Rehuel Sidjabat
13/358755/KH/7974

Dosen Pembimbing :
Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP

BAGIAN REPRODUKSI DAN KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA

2014

HALAMAN PENGESAHAN
MAKALAH MANDIRI KOASISTENSI REPRODUKSI

Terjemahan
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL
POST PARTUM BERKEPANJANGAN PADA SAPI PERAH DENGAN
PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Disusun oleh:
Yekhonya Rehuel Sidjabat
13/358755/KH/7974

Telah dipertahankan dalam Seminar Koasistensi Reproduksi pada tanggal
dan diterima guna memenuhi sebagian persyaratan
untuk memperoleh derajat

DOKTER HEWAN


Dosen Pembimbing

Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP.

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan YME yang telah melimpahkan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan terjemahan yang berjudul “Faktor yang
mempengaruhi aktivitas luteal post partum berkepanjangan pada sapi perah
dengan produksi tinggi yang secara klinis sehat”. Terjemahan ini disusun sebagai

syarat untuk memperoleh gelar dokter hewan pada Koasistensi Reproduksi dan
Kebidanan di FKH UGM. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Dr. drh. Surya Agus Prihatno, MP. selaku Dosen pembimbing Koasistensi
Reproduksi

dan

Kebidanan


yang

telah

banyak

membantu

dan

membimbing penulis dalam penyelesaian makalah terjemahan ini,
2. drh. Agung Budiyanto, MP., Ph.D selaku koordinator Koasistensi
Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta,
3. Staf laboratorium Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Yogyakarta,
4. Teman-teman kelompok A.13.01 dan semua pihak yang telah banyak
membantu

penulis.

Atas


perhatian

dan

kerja

samanya

penulis

mengucapkan terima kasih.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah terjemahan ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca.
Yogyakarta, April 2014
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL .......................................................................................

i

KATA PENGESAHAN ...................................................................................

ii

KATA PENGANTAR ....................................................................................

iii

DAFTAR ISI ...................................................................................................

iv

DAFTAR GAMBAR ......................................................................................

v


DAFTAR TABEL ...........................................................................................

vi

ABSTRAK ......................................................................................................

vii

PENDAHULUAN ..........................................................................................

1

MATERI DAN METODE ..............................................................................
2.1. Hewan .............................................................................................
2.2. Produksi susu, BCS, dan pemeriksaan reproduksi .........................
2.3. Analisis serum ................................................................................
2.4. Definisi ...........................................................................................
2.5. Parameter reproduksi ......................................................................
2.6. Analisis statistik ..............................................................................


3
3
4
4
5
6
6

HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
3.1. Produksi susu dan fase luteal berkepanjangan ...............................
3.2. Skor kondisi tubuh dan fase luteal berkepanjangan ........................
3.3. Metabolit energi serum, progesteron, dan fase luteal berkepanjangan ...............................................................................................
3.4. Parameter reproduksi dan fase luteal berkepanjangan ....................

9
9
10

UCAPAN TERIMAKASIH ............................................................................


19

DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

20

iv

12
13

DAFTAR GAMBAR

Halaman
Gambar 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP,
mg/mL) pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat
(●) atau pada sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di
berbagai interval waktu (minggu) setelah calving. .......................

10


Gambar 2. Hubungan antara kategori puncak produksi susu (kg) dan
kejadian (%) sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat
dengan fase luteal berkepanjangan (PLP).. ...................................

11

Gambar 3. Mean (± SD) produksi susu (a), skor kondisi tubuh (BCS, b),
dan konsentrasi serum beta-hidroksibutirat (βHB, c) dan nonesterified fatty acid (NEFA, d) sapi perah berproduksi tinggi
yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●) atau
fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval waktu
setelah beranak.. ............................................................................

11

Gambar 4. Mean (± SD) konsentrasi serum progesteron (P4, ng/mL) dari
sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan
aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan
(■) pada interval waktu yang berbeda (d) dari saat beranak.. .......


14

Gambar 5. Kurva survival waktu untuk inseminasi pertama (a) dan waktu
untuk konsepsi (b) pada sapi dengan aktivitas luteal normal (n =
52; garis utuh) atau fase luteal berkepanjangan (n = 36; garis
putus-putus).. .................................................................................

16

v

DAFTAR TABEL

Halaman
Tabel 1. Mean ( SD) parameter hasil susu pada sapi perah produksi tinggi
yang sehat secara klinis dengan aktivitas luteal normal (NLA;
n=50) atau fase luteal diperpanjang (PLP; n=36)........................

12


Tabel 2. Odds ratio dari variabel-variabel termasuk final logistic regression
model untuk sapi perah produksi tinggi dengan fase luteal
diperpanjang .................................................................................

13

vi

ABSTRAK

FAKTOR YANG MEMENGARUHI TERJADINYA AKTIVITAS LUTEAL
BERKEPANJANGAN POST PARTUM PADA SAPI PERAH DENGAN
PRODUKSI TINGGI YANG SECARA KLINIS SEHAT

Yekhonya Rehuel Sidjabat

Tujuannya adalah mengetahui faktor risiko yang memengaruhi terjadinya
fase luteal berkepanjangan (PLP) saat postpartum, dengan kondisi sehat secara
klinis, pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Pemeriksaan USG transrektal dari
saluran reproduksi dilakukan dua kali seminggu, dari minggu ke-1 sampai ke-8
setelah melahirkan pada 151 sapi Holstein multipara laktasi yang sehat secara
SD puncak produksi susu = 56.7
7.4 kg). Sampel serum
klinis (mean
dikumpulkan dua kali seminggu untuk mengukur progesteron dan setiap 2 minggu
untuk mendeteksi ß-hydroxybutyrate (ßHB), dan α1-acid glikoprotein (AGP).
Body Condition Score (BCS) tercatat mingguan setelah kelahiran. Berdasarkan
profil serum progesteron, 52 (34,4%) sapi memiliki aktivitas ovarium normal
(NLA), sedangkan 36 (23,8%) sapi memiliki fase luteal berkepanjangan (PLP),
jenis yang paling umum dari pola abnormal aktivitas luteal. Selain itu, 63 ekor
sapi dengan aktivitas luteal pendek, ovulasi pertama tertunda, atau sista ovarium
diabaikan dari penelitian ini. Konsentrasi AGP serum, sebagai indikasi
endometritis kronis postpartum, tidak berbeda (P > 0,05) antara sapi dengan NLA
dan PLP. Kategori puncak produksi susu (kg) berkorelasi positif dengan kejadian
(%) sapi dengan PLP (r = 0,87, P = 0,02). Selain itu, puncak produksi susu, hari
puncak produksi susu, mean produksi susu (8 minggu dalam susu), dan produksi
susu pada hari yang diharapkan terjadi luteolisis lebih tinggi (P < 0,05) pada sapi
dengan PLP daripada NLA, dan sapi dengan PLP mengalami penurunan BCS (P =
0,007) dibandingkan dengan NLA. Kemungkinan sapi dengan PLP mengalami
penurunan sebesar 0,9 kali lipat untuk setiap 1 hari keterlambatan dimulainya
aktivitas luteal (C-LA). Selain itu, kemungkinan sapi dengan PLP mengalami
peningkatan 1,8 kali lipat untuk setiap kenaikan 1 mmol/L dalam 1 minggu
pertama konsentrasi serum ßHB. Kesimpulannya, rata-rata produksi susu yang
lebih tinggi, penurunan BCS yang lebih besar, C-LA dini, dan kemudian puncak
produksi susu adalah faktor risiko utama yang memengaruhi terjadinya PLP
postpartum pada sapi perah yang secara klinis sehat dan berproduksi tinggi.
©2012 Elsevier Inc. All rights reserved.
Kata Kunci : Fase luteal berkepanjangan; Faktor risiko; Sapi perah produksi
tinggi; Periode post-partum; Siklus estrus

vii

PENDAHULUAN

Sapi perah yang berproduksi tinggi telah dipilih untuk menghasilkan lebih
banyak susu, sebagian besar melalui kemampuan mereka untuk memobilisasi
lemak dan otot untuk mendukung produksi susu di awal laktasi. Hal ini
menyebabkan menurunnya Body Condition Score (BCS) dan berhubungan dengan
perubahan dalam metabolit dan profil hormon darah, yang pada gilirannya
memengaruhi kesuburan [1,2]. Meskipun kembalinya aktivitas siklik ovarium
yang normal merupakan hal yang sangat penting, hal itu mungkin terkait dengan
aktivitas luteal abnormal. Dalam studi sebelumnya, berdasarkan air susu yang
dihasilkan atau konsentrasi serum progesteron (P4), negative energy balance
(NEB) dikaitkan dengan kejadian yang lebih besar dari pola aktivitas luteal
postpartum yang tidak teratur [3-7]. Penyimpangan ini terdiri dari ovulasi pertama
yang tertunda [8], fase luteal berkepanjangan (PLP), fase luteal pendek [8,9], dan
sista ovarium [10].
Faktor predisposisi seperti NEB yang lebih besar, infeksi uterus, heat stress,
nutrisi, dan latar belakang genetik dapat meningkatkan terjadinya pola aktivitas
luteal abnormal pada sapi postpartum [4,7,11,12]. Faktor yang berkontribusi
mungkin kurangnya estrogenik folikel dominan pada waktu yang diharapkan
terjadinya regresi luteal [13]. Estradiol dari folikel dominan diyakini akan
menginduksi pembentukan reseptor oksitosin uterus, menyebabkan pelepasan
bertahap prostaglandin F2α (PGF2α) [14 -16]. Banyak faktor yang telah diusulkan
yang memengaruhi peningkatan risiko PLP, termasuk paritas, distokia, masalah

1

2

kesehatan selama bulan pertama laktasi, heat stress, dan mungkin ovulasi dini
setelah melahirkan [9].
Terjadinya PLP dikaitkan dengan gangguan puerperal uterus seperti
metritis, pyometra, dan endometritis klinis [9,17-19]. Selain itu, Horadagoda et al
[20] melaporkan bahwa dapat juga berhubungan dengan fase akut protein dalam
sapi dengan peradangan, serum amiloid A, dan kenaikan haptoglobin dalam
kasus-kasus akut. Sebaliknya, dalam kasus kronis, α1 acid glikoprotein (AGP)
lebih mungkin meningkat. Pada kelahiran dan selama periode segera setelah itu,
ketika involusi uterus terjadi dan eliminasi kontaminan bakteri, AGP darah
meningkat [21].
Oleh karena itu, kami sengaja memilih sapi perah post-partum yang secara
klinis sehat di sebuah peternakan yang dikelola dengan baik untuk menghindari
efek buruk dari penyakit uterus klinis saat kembalinya aktivitas ovarium. Ini
memberikan kita kemungkinan untuk mempelajari faktor-faktor lain yang
memengaruhi terjadinya PLP pada sapi perah yang berproduksi tinggi. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi faktor risiko yang memengaruhi
terjadinya fase luteal berkepanjangan dalam periode postpartum pada sapi perah
produksi tinggi yang secara klinis sehat.

MATERI DAN METODE

The Committee for Animal Experiments of Shiraz University menyetujui

metode eksperimental.
2.1.

Hewan
Penelitian ini dilakukan dari Juli hingga September 2005 dan Februari

2008 sampai Mei 2009 pada 151 sapi Holstein yang terdaftar di peternakan
Nemoneh dari Astan e Ghods di Mashad (lintang 36°20’ N dan bujur 59°35’ E,
980 m di atas permukaan laut), di timur laut Iran. Sepanjang tahun, sapi berada di
bawah struktur beratap (free-stall barns) dengan sisi terbuka (zero-grazzing
system), dengan washed sand untuk bedding, dan diberi total ransum campuran),

disusun sesuai dengan NRC 2001. Ransum yang diberikan terutama alfalfa, silase
jagung, beet pulp, biji kapas, kedelai, jagung, dan barley. Sapi yang diteliti adalah
non-musiman, dengan sepanjang tahun dapat beranak. Sapi-sapi diperah dengan
mesin tiga kali sehari. Hanya sapi yang sehat, bebas dari deteksi gangguan
reproduksi dan penyakit klinis selama interval dari minggu ke-1 hingga ke-9
setelah melahirkan, yang digunakan. Pengecualian kriteria adalah gangguan
termasuk distokia, retensi plasenta (selaput janin ditahan lebih dari 24 jam setelah
melahirkan), endometritis dengan jelas terdeteksi, metritis, mastitis, leleran
abnormal dari organ genital, dan penyakit metabolik (misalnya, hipokalsemia
klinis atau ketosis).

3

4

2.2.

Produksi susu, BCS, dan pemeriksaan reproduksi
Produksi susu tercatat mingguan sampai minggu ke-9 postpartum. BCS

(skala 1-5 dengan kenaikan 0,25) tercatat mingguan sampai minggu ke-8
postpartum [22]. Transrektal ultrasound scanning dari saluran reproduksi
dilakukan dua kali seminggu (3 hari terpisah) dari 1 sampai 8 minggu postpartum
untuk menentukan kondisi ovarium. A real-time B-mode ultrasound scanner
(Ultra Scan 900, Ami, Medical Alliance Inc, Montreal, QC, Canada) dilengkapi
dengan 5 MHz, linear-array transducer digunakan. Semua struktur yang terlihat
pada ovarium dicatat. CL dewasa mudah dideteksi karena perbatasanya terlihat
dengan jelas dan memiliki echotexture khas [23]. Palpasi transrektal uterus dan
pemeriksaan visual vagina dilakukan untuk mendeteksi leleran yang abnormal.
2.3.

Analisis serum
Sampel darah diambil dari semua sapi, dua kali seminggu dari 1 sampai 8

minggu postpartum, untuk menentukan konsentrasi serum P4, β-hidroksibutirat
(βHB), non-esterified fatty acid (NEFA), dan α1-asam glikoprotein (AGP). Serum
dipisahkan dengan sentrifugasi (10 menit pada 3.000 X g) dan disimpan pada 22°C sampai diuji.
Konsentrasi serum P4 ditentukan dua kali seminggu menggunakan
radioimmunoassay kit komersial yang tervalidasi (Immunotech kit, Marseille
France). Koefisien intra dan variasi inter-assay (CV) dari tes adalah 5,8 dan 9,0

%, masing-masing. Sensitivitas tes adalah 0,05 ng/mL dan tingkat pemulihan
assay berkisar 85-110%. Serum βHB dan konsentrasi NEFA ditentukan setiap 2
minggu oleh kit D-3-hidroksibutirat dan kit NEFA (Randox Laboratories Ltd,

5

Crumlin, Antrim, UK), masing-masing. Konsentrasi serum AGP diukur setiap 2
minggu oleh imunodifusi radial tunggal, menggunakan kit komersial yang tersedia
(TRIDELTA Development Ltd, Maynooth, County Kildare, Irlandia). Menurut
petunjuk, standar yang tinggi (A: 1.000 µg/mL) dan rendah (B : 250 µg/mL)
terdapat pada setiap gel. Pelat diinkubasi selama 24 jam, dimana diameter cincin
precipitin diukur dengan menggunakan skala pengukuran cincin precipitin.
Diameter dari dua standar digunakan untuk membuat referensi kurva. Interassay
CV standar pada 14 gel < 1 % untuk A (9,0 mm) dan B (5,6 mm). Dari kurva
referensi, konsentrasi AGP masing-masing sampel uji murni dihitung. Ukuran
dari sampel serum presipitasi cincin adalah antara dua standar.
2.4.

Definisi
Sapi dengan konsentrasi serum P4 ≥ 1 ng / mL pada pada setidaknya dua

sampling darah berturut-turut yang dianggap memiliki aktivitas luteal [24]. Hari
pertama kenaikan progesteron didefinisikan sebagai hari dimulainya aktivitas
luteal (C-LA). Sapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, berdasarkan
karakteristik profil P4 mereka:
1) Kembalinya aktivitas luteal normal (NLA): ovulasi terjadi ≤ 45 hari
setelah beranak, diikuti oleh aktivitas luteal yang berlangsung 10 sampai 19 hari
[5,25].
2) fase luteal berkepanjangan (PLP): jika ovulasi terjadi kurang dari 45
hari setelah melahirkan, dengan satu atau lebih siklus ovarium saat aktivitas luteal
masih berlangsung ≥ 19 hari [26].

6

Sapi yang menunjukkan pola-pola aktivitas luteal postpartum abnormal,
termasuk aktivitas luteal pendek, ovulasi pertama tertunda, dan sista ovarium
[4,7,8] tidak digunakan dari penelitian ini.
2.5.

Parameter reproduksi
Performa

reproduksi

sapi

di

masa

sekarang

dievaluasi

dengan

menggunakan parameter berikut; interval waktu beranak sampai inseminasi
pertama (hari dari melahirkan hingga inseminasi pertama), interval waktu
melahirkan sampai konsepsi (hari dari melahirkan sampai konsepsi seperti yang
didefinisikan oleh deteksi kebuntingan berdasarkan USG transrektal pada 40 hari
setelah inseminasi), dan inseminasi per konsepsi (jumlah inseminasi yang
diperlukan untuk mencapai satu kali kebuntingan).
2.6.

Analisis Statistik
Korelasi kategori puncak produksi susu dengan kejadian sapi perah yang

berproduksi tinggi dengan PLP dianalisis dengan korelasi Pearson. Selain itu,
regresi linier dilakukan untuk menghitung efek kategori puncak produksi susu
pada sapi dengan kejadian PLP.
Dengan rata-rata yang diamati, perubahan produksi susu, BCS, metabolit
energi serum (ßHB dan NEFA), P4, dan konsentrasi AGP di sapi dengan dua pola
aktivitas luteal ditentukan, interaksi yang lebih tinggi dianalisis dengan ANOVA
untuk kemudian diulang menggunakan prosedur GLM dari SPSS (SPSS for
Windows, Version 11.5, SPSS Inc, Chicago, IL, USA). Perbedaan antara rata-rata
susu yang dihasilkan dari minggu ke-2 sampai ke-7 postpartum, BCS dari minggu
ke-2 sampai ke-8 postpartum, konsentrasi serum AGP dari minggu ke-1 sampai

7

minggu ke-5 postpartum dan konsentrasi metabolit energi serum (ßHB dan
NEFA) minggu ke-1 sampai minggu ke-7 postpartum pada NLA dan PLP
dianalisis dengan ANOVA satu arah.
Efek yang mungkin dari faktor risiko pada PLP dieksplorasi menggunakan
analisis regresi logistik. Data dari sapi dengan NLA digunakan sebagai referensi.
Data dari masing-masing kelompok aktivitas luteal dibandingkan dengan analisis
regresi logistik, menggunakan aktivitas luteal sebagai variable dependen (0
menunjukkan NLA dan 1 menunjukkan PLP) dan rata-rata dari puncak produksi
susu dan minggu dari puncak produksi susu, mean dari produksi susu (2 hingga 8
minggu postpartum), BCS (2 dan 3 minggu postpartum), konsentrasi serum ßHB
(1 dan 3 minggu postpartum), paritas, periode eksperimental, hari C-LA, dan
produksi susu pada hari yang diharapkan terjadinya luteolisis (hari C-LA+16 hari)
sebagai faktor independen. Mean untuk puncak produksi susu, puncak minggu
produksi susu, dan produksi susu menyatakan variabel kelas. Empat kelas puncak
produksi susu didefinisikan (< 40, 40-50, 50-60, dan > 60 kg) dan 4 minggu kelas
puncak produksi susu didefinisikan (1, 2, 3, dan 4 minggu postpartum). Akhirnya,
tiga kelas produksi susu rata-rata didefinisikan (< 40, 40-50, dan > 50 kg).
Analisis regresi dilakukan sesuai dengan metode Hosmer dan Lemeshow
[27]. Faktor risiko potensial yang terpilih yang kemudian mengalami stepwise
logistic regression dengan pendekatan swapping dan backward elimination yang
hirarkis. Nilai P untuk data inklusi dan eksklusi yang ditetapkan sebesar 0,05 dan
0,10, masing-masing. Semua variabel yang telah dipilih atau dipertahankan dalam

8

pendekatan memasuki akhir rasio yang dimungkinkan (LR), di mana odds ratio
akhir diperkirakan dengan interval kepercayaan 95%.
Perbandingan untuk dimulainya kegiatan luteal, panjang siklus estrus
pertama, dan inseminasi per konsepsi dilakukan antara sapi dengan NLA dan PLP
menggunakan uji Mann-Whitney. Uji Tabel Kehidupan digunakan untuk
membandingkan calving interval pada inseminasi pertama dan membandingkan
calving interval antara sapi dengan NLA vs PLP. Semua sapi diinseminasi oleh

160 DIM. Sapi yang tidak bunting oleh 300 DIM atau dimusnahkan, disensor
dalam analisis waktu untuk konsepsi. Hari median untuk inseminasi pertama atau
konsepsi

diperoleh dengan uji

Kaplan-Meier. Survival

plot

dihasilkan

menggunakan pilihan survival option dari GraphPad Prism version 5.01 for
Windows (GraphPad software Inc, San Diego, CA, USA). Semua data yang
ditampilkan sebagai mean ( SD) atau median (range), dan nilai probabilitas P
0,05 dianggap signifikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mean

(SD) puncak produksi susu (9 minggu postpartum) adalah 56,7

7,4 kg. Lima puluh dua dari 151 (34,4%) sapi memiliki pola NLA postpartum,
sedangkan 36 dari 151 (23,8 %) memiliki pola PLP postpartum abnormal, yang
merupakan tipe paling umum dari pola aktivitas luteal abnormal. Enam puluh tiga
ekor sapi dengan pola aktivitas luteal postpartum lainnya diabaikan pada
penelitian ini. Median dan jangkauan paritas sapi dengan PLP mirip dengan sapi
dengan NLA (2 dan 2 sampai 6 vs 3 dan 2 sampai 8 tahun; P = 0.134, masingmasing). Panjang siklus pertama sapi dengan NLA kurang dari sapi dengan PLP
(median dan kisaran 15 dan 11-22 vs 28 dan 21-38 hari, masing-masing, P =
0,001). Konsentrasi serum AGP tidak berbeda antara sapi perah yang berproduksi
tinggi dengan NLA dan PLP selama 1 sampai 5 minggu postpartum (P > 0,05, Gb.
1).
3.1.

Produksi susu dan fase luteal berkepanjangan
Puncak pada kategori produksi susu (kg) berkorelasi positif dengan

kejadian (%) sapi perah berproduksi tinggi dengan PLP (r = 0,87, P = 0,02;
Gambar 2). Selain itu, peningkatan produksi susu pada sapi dengan PLP lebih
tinggi dibandingkan dengan NLA (P = 0,01; Gb. 3a). Hasil rata-rata susu sapi
dengan PLP lebih tinggi dari sapi dengan NLA pada 4 (P = 0,04), 6 (P = 0,004),
dan 8 (P = 0,001) minggu postpartum. Rata-rata dari puncak produksi susu (kg; P
= 0,003), hari puncak produksi susu (P = 0,02), rata-rata produksi susu (8 minggu
dalam susu; kg; P = 0,004 ), dan produksi susu pada hari yang diperkirakan

9

10

luteolysis (kg; P = 0,007) pada sapi dengan PLP lebih tinggi daripada sapi dengan
NLA (Tabel 1).
Analisis regresi logistik menunjukkan efek signifikan pada parameter
produksi susu pada kemungkinan sapi dengan PLP. Sapi dengan produksi susu
rata-rata 40-50 kg memiliki kemungkinan PLP lebih rendah ( OR = 0.085, P <
0,01) dibandingkan dengan referensi (> 50 kg) kategori (Tabel 2).

Gambar. 1. Mean (±SD) konsentrasi serum α-1 Glikoprotein asam (AGP, mg/mL)
pada sapi perah produksi tinggi yang secara klinis sehat (●) atau pada
sapi dengan fase luteal yang berkepanjangan (■) di berbagai interval
waktu (minggu) setelah calving.

3.2.

Skor kondisi tubuh dan fase luteal berkepanjangan
Penurunan BCS pada sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi

dengan NLA (P = 0,007; Gb. 3b). BCS rata-rata pada sapi dengan PLP lebih
tinggi dibandingkan sapi dengan NLA dalam 2 (P = 0,01) dan 3 (P = 0,04)
minggu postpartum.

11

Gb. 2. Hubungan antara kategori puncak produksi susu (kg) dan kejadian (%) sapi
perah produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan fase luteal
berkepanjangan (PLP).

Gb. 3. Mean (± SD) produksi susu (a), skor kondisi tubuh (BCS, b), dan
konsentrasi serum beta-hidroksibutirat (βHB, c) dan non-esterified fatty
acid (NEFA, d) sapi perah berproduksi tinggi yang secara klinis sehat
dengan aktivitas luteal normal (●) atau fase luteal yang berkepanjangan
(■) di berbagai interval waktu setelah beranak.
*Perbedaan (P < 0,05) antara aktivitas luteal normal dan berkepanjangan
selama seminggu ditunjukkan.

12

3.3.

Metabolit energi serum, progesteron, dan fase luteal berkepanjangan
Penurunan konsentrasi serum βHB pada sapi dengan PLP lebih tinggi dari

NLA (P = 0,01; Gb. 3c). Rata-rata konsentrasi serum βHB pada sapi dengan PLP
lebih tinggi dari pada sapi dengan NLA dalam 1 (P = 0,003), 3 (P = 0,002), dan 5
(P = 0,003) minggu postpartum. Kemungkinan sapi dengan PLP meningkat
sebesar 1,8 kali lipat untuk setiap kenaikan 1 mmol / L dalam konsentrasi serum
βHB di 1 minggu postpartum (P = 0,03; Tabel 2).
Tabel 1
Mean ( SD) parameter hasil susu pada sapi perah produksi tinggi yang sehat
secara klinis dengan aktivitas luteal normal (NLA; n=50) atau fase luteal
diperpanjang (PLP; n=36).
Parameter
Aktivitas luteal post partum
Nilai-P
NLA
Produksi susu saat hari yang

PLP

45.2

9.5

50.6

7.3

0.007

Puncak produksi susu (kg)

48.4

7.8

53.6

7.2

0.003

Hari saat puncak produksi susu

19.0

6.9

22.6

6.8

0.02

Mean produksi susu (8 minggu dalam

44.1

8.1

49.0

6.6

0.004

diharapkan terjadinya luteolisis (kg)*

susu; kg)
*Hari yang diharapkan terjadinya luteolisis dihitung sebagai 16 hari setelah
dimulainya aktivitas luteal

Tidak ada perbedaan dalam konsentrasi serum dari NEFA antara NLA dan
PLP selama 1 sampai 7 minggu postpartum (P > 0,05; Gb. 3d). Mean serum
konsentrasi NEFA di sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan
NLA pada 5 minggu postpartum (P = 0,03).
Peningkatan konsentrasi serum P4 pada sapi dengan PLP lebih tinggi
daripada NLA (P = 0,001; Gb. 4). Rata-rata konsentrasi serum P4 pada sapi

13

dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan NLA 38-52 hari postpartum (P
< 0,05). Selain itu, sapi dengan PLP memiliki kegiatan luteal lebih awal
dibandingkan dengan sapi dengan NLA (median dan kisaran 29,5 dan 10-56 vs 24
dan 10-38 hari, masing-masing, P = 0,047). Lebih jauh lagi, kemungkinan sapi
dengan PLP menurun sebesar 0,9 kali lipat untuk setiap 1 hari penundaan C-LA
(P = 0,02; Tabel 2).
Tabel 2
Odds ratio dari variabel-variabel termasuk final logistic regression model untuk
sapi perah produksi tinggi dengan fase luteal diperpanjang
Variabel
Kelas
Odds
Interval
Nilairatio
kepercayaan 95%
P
Mean dari produksi
< 40
0.083
0.00–3.45
0.19
susu (kg; 8 minggu
40-50
0.085
0.02–0.45
0.004
dalam susu)
> 50
Referensi
Puncak produksi
< 40
0.276
0.00–34.67
0.60
susu (kg)
40-50
1.141
0.06–20.55
0.93
50-60
0.182
0.02–2.22
0.18
> 60
Referensi
Puncak produksi
Minggu ke-1
1.026
0.98–1.08
0.31
susu (kg) x minggu
Minggu ke-2
0.978
0.95–1.01
0.19
saat puncak produksi Minggu ke-3
1.030
0.99–1.06
0.06
susu
Minggu ke-4 Referensi
Hari dimulainya
Lanjutan
0.896
0.82–0.98
0.02
aktivitas luteal
Minggu pertama
Lanjutan
1.803
1.07–3.03
0.03
konsentrasi serum
ßHB (mmol/L)
Paritas
Lanjutan
1.620
0.90–2.91
0.11
Backward likelihood ratio test = 40.74, 9 df, P = 0.0001; Hosmer dan Lemeshow
goodness-of-fit test = 5.64, 8 df, P = 0.68; the model fits.
3.4.

Parameter reproduksi dan fase luteal berkepanjangan
Sapi dengan PLP memiliki hari median yang lebih besar sampai interval

inseminasi (60,5 vs 52,5 hari, masing masing; P = 0,05; Gb. 5a) dan hari-hari ratarata konsepsi (137,5 vs 94,5 hari, masing-masing; P = 0,01; Gb. 5b) dibandingkan
dengan sapi dengan NLA. Median dan jangkauan dari inseminasi per konsepsi

14

sapi dengan PLP mirip dengan sapi dengan NLA (2 dan 1 sampai 5 vs 2 dan 1
sampai 7; P = 0.33, masing-masing).

Gb. 4. Mean (± SD) konsentrasi serum progesteron (P4, ng/mL) dari sapi perah
produksi tinggi yang secara klinis sehat dengan aktivitas luteal normal (●)
atau fase luteal yang berkepanjangan (■) pada interval waktu yang berbeda
(d) dari saat beranak.
*Perbedaan (P < 0,05) antara aktivitas luteal normal dan berkepanjangan
selama seminggu ditunjukkan
Insiden PLP (23,8 %) adalah pola aktivitas luteal abnormal yang paling
umum pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis. Konsisten
dengan temuan kami, kejadian PLP pada sapi perah pada studi sebelumnya adalah
28,3% [28] dan 20% [8]. Yimer et al [29] melaporkan bahwa kejadian PLP lebih
tinggi pada sapi perah dibandingkan sapi potong (26,7 vs 0 %). Dalam penelitian
lain, kejadian PLP pada sapi silangan potong dan perah adalah 11% [30], dan pada
sapi potong yang sedang laktasi 3% [31]. Selain itu, kejadian PLP menjadi lebih
tinggi pada produksi susu yang meningkat pada sapi perah berproduksi tinggi
yang sehat secara klinis. Hommeida et al [28] melaporkan produksi susu yang
lebih besar pada sapi dengan PLP. Selain itu, puncak produksi susu, hari puncak
produksi susu, rata-rata hasil susu, dan produksi susu pada hari yang diharapkan

15

terjadi luteolysis pada sapi dengan PLP lebih tinggi dibandingkan sapi dengan
NLA. Sejauh mana efek ini memiliki dasar genetik masih belum jelas. Royal et al
[32] melaporkan bahwa PLP yang terjadi pada siklus pertama adalah mungkin
diturunkan (0,13), namun disimpulkan bahwa ada efek fenotipik dari produksi
susu pada kejadian PLP.
Kemungkinan sapi dengan PLP menurun sebesar 0,9 kali lipat untuk
setiap 1 hari penundaan C-LA selama 45 hari postpartum pada sapi perah
berproduksi tinggi yang sehat secara klinis. Umumnya C-LA terjadi lebih awal
pada sapi perah dibandingkan sapi potong [33]. Friggens et al [34] melaporkan
bahwa lebih dari 25% dari sapi memiliki PLP, yang konsisten dengan insiden
yang lebih tinggi dari C-LA dini. Sapi mengalami interval yang lebih pendek
untuk C-LA lebih mungkin untuk mengalami fase luteal pertama yang
diperpanjang [32,35-37]. Selain itu, C-LA adalah faktor risiko untuk PLP pada
sapi perah [9,30,38,39]. Kafi dan Mirzaei [5] menyarankan bahwa ovulasi dini
(dan merupakan awal C-LA) di samping produksi susu tinggi, dapat
meningkatkan terjadinya PLP sapi perah yang sehat secara klinis.

16

Gb. 5. Kurva survival waktu untuk inseminasi pertama (a) dan waktu untuk
konsepsi (b) pada sapi dengan aktivitas luteal normal (n = 52; garis utuh)
atau fase luteal berkepanjangan (n = 36; garis putus-putus).

Ketika ovulasi terjadi sebelum uterus mengeluarkan semua eksudat dan
debris, pertumbuhan tinggi bakteri seperti Arcanobacterium pyogenes terjadi, dan
CL dipertahankan untuk interval yang lama [40,41]. Sebuah respon purulen
eksudatif dihasilkan dalam endometrium, dan kemampuan uterus untuk
memproduksi atau melepaskan PGF2 cukup dikompromikan [40,42]. Meskipun
abnormalitas uterus dapat menyebabkan PLP [9,17], sapi perah berproduksi tinggi
yang sehat secara klinis pada penelitian ini, konsentrasi serum AGP sebagai
indikasi peradangan kronis postpartum seperti endometritis [21] tidak berbeda
antara sapi dengan NLA dan sapi dengan PLP selama 1 sampai 5 minggu
postpartum.
Ada indikasi peningkatan kejadian PLP pada sapi perah dalam penelitian
ini, juga seperti penelitian lain [25,39]. Mekanisme fisiologis tertentu yang
mungkin memengaruhi produksi susu yang lebih tinggi untuk insiden yang lebih
tinggi dari PLP masih belum jelas. Namun, konsentrasi estradiol plasma yang

17

tidak memadai dilaporkan untuk dihubungkan dengan PLP [43]. Selain itu,
peningkatan konsumsi bahan kering yang terkait dengan produksi susu tinggi dan
peningkatan resultan pada waktu pengeluaran volume cairan biologis yang secara
total dari metabolisme mengurangi konsentrasi estradiol plasma [44-46], sehingga
menunda luteolysis [47]. Peningkatan produksi susu telah dikaitkan dengan
peningkatan aliran darah di hati dan pembersihan metabolisme hormon steroid
[44].
Sebaliknya, infeksi uterus postpartum mungkin berkontribusi untuk
kematian awal CL [48]. Selain itu, CL pertama pada sapi dengan penyakit uterus
mengeluarkan lebih sedikit P4 dibandingkan pada hewan normal [49]. Kaneko
dan Kawakami [50] melaporkan bahwa infusi A. pyogenes ke dalam uterus
menyebabkan regresi luteal; akibatnya, gelombang folikel dominan pertama, yang
biasanyamenjadi atresia, berovulasi pada setengah dari sapi yang terkena infusi A.
pyogenes. Namun, CL tidak regresi pada sapi sisanya, dan mekanisme penentuan

nasib CL masih belum jelas. Umur dari CL diatur oleh sekresi PGF2 dan
prostaglandin E2 (PGE2) dari endometrium, dengan yang terakhir terdapat peran
luteotrophik [51]. Kaneko dan Kawakami [52] menunjukkan bahwa A. pyogenes
dalam uterus memiliki potensi untuk merangsang pelepasan PGs dan menginduksi
ovulasi. Sehubungan dengan peristiwa itu, PGF2 memainkan peran lebih penting
daripada PGE2, dan peningkatan rasio PGF2 , daripada jumlah absolut, dapat
memutuskan nasib CL [52]. Dalam penelitian ini, konsentrasi serum P4 pada sapi
dengan PLP lebih tinggi daripada sapi dengan NLA, menunjukkan bahwa

18

terjadinya PLP pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis tidak
terkait dengan infeksi uterus.
Meskipun strategi pemberian pakan tidak berpengaruh pada kejadian
PLP [53], dalam penelitian ini, penurunan BCS pada sapi yang secara klinis sehat
dengan PLP lebih tinggi daripada NLA. Konsisten dengan temuan kami,
Hommeida et al [28] melaporkan penurunan yang lebih besar dari BCS pada sapi
dengan PLP. Selain itu, kemungkinan sapi yang secara klinis sehat dengan PLP
meningkat 1,8 kali lipat untuk setiap 1 mmol/L peningkatan konsentrasi serum
ßHB pada minggu pertama. Folikel pada sapi juga dipengaruhi NEB dan
dilaporkan berukuran lebih kecil dan menghasilkan lebih sedikit estrogen [54].
Namun, beberapa studi telah menunjukkan bahwa PLP tidak terkait dengan
gangguan reproduksi klinis yang jelas [8,42].
Sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis dengan PLP
memiliki interval antara beranak sampai inseminasi pertama lebih besar
dibandingkan dengan NLA. Namun, pada sapi dengan NLA mengalami sedikit
penundaan ovulasi, mereka adalah sapi yang berproduksi tinggi. Selain itu,
interval waktu beranak sampai konsepsi diperpanjang pada sapi dengan PLP.
Martin et al [30] melaporkan bahwa PLP berhubungan positif dengan peningkatan
waktu days open. Selain itu, tingkat permintaan inseminasi buatan yang tinggi,
tingkat konsepsi, dan angka kebuntingan antara 44 dan 100 hari postpartum
dilaporkan pada sapi perah dengan siklus ovarium yang normal dalam 44 hari
pertama postpartum dibandingkan dengan PLP [7,25]. Oleh karena itu, penundaan

19

waktu ovulasi pertama pada sapi perah berproduksi tinggi yang sehat secara klinis
dengan NLA mengurangi interval untuk inseminasi pertama dan konsepsi.
Sebagai kesimpulan, rata-rata produksi susu yang lebih tinggi, penurunan
BCS yang lebih besar, aktivitas luteal postpartum yang lebih awal, dan kemudian
puncak produksi susu adalah faktor risiko utama yang memengaruhi terjadinya
aktivitas luteal postpartum berkepanjangan pada sapi perah berproduksi tinggi
yang sehat secara klinis.

UCAPAN TERIMAKASIH

Para penulis berterima kasih kepada staf pertanian di Nemoneh farm e
Ghods Astan untuk kerjasama yang baik. Penelitian ini didukung secara finansial

oleh hibah no. 8611834 dari Iran National Science Foundation and the Center of
Excellence for Research on High-Producing Dairy Cows.

20

DAFTAR PUSTAKA

[1] Pryce JE, Coffey MP, Simm G. The relationship between body condition
score and reproductive performance. J Dairy Sci 2001;84:1508 –15.
[2] Wathes DC, Fenwick M, Cheng Z, Bourne N, Llewellyn S, Morris DG,
Kenny D, Murphy J, Fitzpatrick R. Influence of negative energy balance on
cyclicity and fertility in the high producing dairy cow. Theriogenology
2007;68:S232– 41.
[3] Tamadon A, Kafi M, Saeb M, Mirzaei A, Saeb S. Relationships between
insulin-like growth factor-I, milk yield, body condition score, and
postpartum luteal activity in high-producing dairy cows. Trop Anim Health
Prod 2010;43:29 –34.
[4] Mirzaei A, Kafi M, Ghavami M, Mohri M, Gheisari HR. Ovarian activity in
high and average producing Holstein cows under heat stress conditions.
Comp Clin Path 2007;16:235– 41.
[5] Kafi M, Mirzaei A. Effects of first postpartum progesterone rise,
metabolites, milk yield and body condition score on the subsequent ovarian
activity and fertility in lactating Holstein dairy cows. Trop Anim Health
Prod 2010;42:761–7.
[6] Gautam G, Nakao T, Yamada K, Yoshida C. Defining delayed resumption
of ovarian activity postpartum and its impact on subsequent reproductive
performance in Holstein cows. Theriogenology 2010;73:180 –9.
[7] Shrestha HK, Nakao T, Higaki T, Suzuki T, Akita M. Resumption of
postpartum ovarian cyclicity in high-producing Holstein cows.
Theriogenology 2004;61:637– 49.
[8] Opsomer G, Coyyn M, Deluyker H, de Kruif A. An analysis of ovarian
dysfunction in high yielding dairy cows after calving based on progesterone
profiles. Reprod Domest Anim 1998;33: 193–204.
[9] Opsomer G, Gröhn YT, Hertl J, Coryn M, Deluyker H, de Kruif A. Risk
factors for post partum ovarian dysfunction in high producing dairy cows in
Belgium: A field study. Theriogenology 2000;53:841–57.
[10] Bosu WTK, Peter AT. Evidence for a role of intrauterine infections in the
pathogenesis of cystic ovaries in postpartum dairy cows. Theriogenology
1987;28:725–36.

37

38

[11] McCoya MA, Lennoxa SD, Maynea CS, McCaugheya WJ, Edgara HWJ,
Catneya DC, Vernera M, Mackeya DR, Gordona AW. Milk progesterone
profiles and their relationship with fertility, production and disease in dairy
cows in Northern Ireland. Anim Sci 2006;82:213–22.
[12] Weigel KA. Prospects for improving reproductive performance through
genetic selection. Anim Reprod Sci 2006;96:323–30.
[13] Wiltbank MC, Gümen A, Sartori R. Physiological classification of
anovulatory conditions in cattle. Theriogenology 2002;57: 21–52.
[14] Knickerbocker JJ, Thatcher WW, Foster DB, Wolfenson D, Bartol FF,
Caton D. Uterine prostaglandin and blood flow responses to estradiol17[beta] in cyclic cattle. Prostaglandins 1986;31:757–76.
[15] Thatcher WW, Macmillan KL, Hansen PJ, Drost M. Concepts for regulation
of corpus luteum function by the conceptus and ovarian follicles to improve
fertility. Theriogenology 1989;31: 149–64.
[16] McCracken JA, Custer EE, Lamsa JC. Luteolysis: A neuroendocrinemediated event. Physiol Rev 1999;79:263–323.
[17] Mateus L, Costa LL, Bernardo F, Silva JR. Influence of puerperal uterine
infection on uterine involution and postpartum ovarian activity in dairy
cows. Reprod Domest Anim 2002;37: 31–5.
[18] Shrestha HK, Nakao T, Suzuki T, Akita M, Higaki T. Relationships
between body condition score, body weight, and some nutritional
parameters in plasma and resumption of ovarian cyclicity postpartum during
pre-service period in high-producing dairy cows in a subtropical region in
Japan. Theriogenology 2005;64:855– 66.
[19] Sheldon IM, Wathes DC, Dobson H. The management of bovine
reproduction in elite herds. Vet J 2006;171:70–8.
[20] Horadagoda NU, Knox KMG, Gibbs HA, Reid SWJ, Horadagoda A,
Edwards SER, Eckersall PD. Acute phase proteins in cattle: discrimination
between acute and chronic inflammation. Vet J 1999;144:437– 41.
[21] Sheldon M, Noakes DE, Rycroft A, Dobson H. Acute phase protein
responses to uterine bacterial contamination in cattle after calving. Vet Rec
2001;148:172–5.
[22] Ferguson JD, Galligan DT, Thomsen N. Principal descriptors of body
condition score in Holstein cows. J Dairy Sci 1994;77:2695–703.

39

[23] Hanzen CH, Pieterse M, Scenczi O, Drost M. Relative accuracy of the
identification of ovarian structures in the cow by ultrasonography and
palpation per rectum. Vet J 2000;159:161–70.
[24] Stevenson JS. Clinical reproductive physiology of the cow. In: Younquist
RS (ed), Current Therapy in Large Animal Theriogenology. Philadelphia:
WB Saunders, 1997;257– 67.
[25] Shrestha HK, Nakao T, Suzuki T, Higaki T, Akita M. Effects of abnormal
ovarian cycles during pre-service period postpartum on subsequent
reproductive performance of high-producing Holstein cows. Theriogenology
2004;61:1559 –71.
[26] Lamming GE, Darwash AO. The use of milk progesterone profiles to
characterise components of subfertility in milked dairy cows. Anim Reprod
Sci 1998;52:175–90.
[27] Hosmer DW, Lemeshow S. Applied logistic regression. NewYork, USA:
Wiley, 1989.
[28] Hommeida A, Nakao T, Kubota H. Onset and duration of luteal activity
postpartum and their effect on first insemination conception rate in lactating
dairy cows. J Vet Med Sci 2005;67: 1031–5.
[29] Yimer N, Rosnina Y, Wahid H, Saharee A, Yap K, Ganesamurthi P.
Ovarian activity in beef and dairy cows with prolonged postpartum period
and heifers that fail to conceive. Trop Anim Health Prod 2010;42:607–15.
[30] Martin A, Lystad M, Reksen O, Ropstad E, Waldmann A, Nafstad O,
Karlberg K. Assessment of progesterone profiles and postpartum onset of
luteal activity in spring calving Hereford beef suckler cattle. Acta Vet Scand
2010;52:42–50.
[31] Mann GE, Keatinge R, Hunter M, Hedley BA, Lamming GE. The use of
milk progesterone to monitor reproductive function in beef suckler cows.
Anim Reprod Sci 2005;88:169 –77.
[32] Royal MD, Pryce JE, Woolliams JA, Flint APF. The genetic relationship
between commencement of luteal activity and calving interval, body
condition score, production, and linear type traits in Holstein-Friesian dairy
cattle. J Dairy Sci 2002;85: 3071–80.
[33] Yavas Y, Walton JS. Postpartum acyclicity in suckled beef cows: a review.
Theriogenology 2000;54:25–55.

40

[34] Friggens NC, Disenhaus C, Petit HV. Nutritional sub-fertility in the dairy
cow: towards improved reproductive management through a better
biological understanding. Animal 2010;4: 1197–213.
[35] Petersson KJ, Berglund B, Strandberg E, Gustafsson H, Flint APF,
Woolliams JA, Royal MD. Genetic analysis of postpartum measures of
luteal activity in dairy cows. J Dairy Sci 2007;90: 427–34.
[36] Horan B, Mee JF, O’Connor P, Rath M, Dillon P. The effect of strain of
Holstein-Friesian cow and feeding system on postpartum ovarian function,
animal production and conception rate to first service. Theriogenology
2005;63:950 –71.
[37] Pollott GE, Coffey MP. The effect of genetic merit and production system
on dairy cow fertility, measured using progesterone profiles and on-farm
recording. J Dairy Sci 2008;91:3649–60.
[38] Garmo RT, Martin AD, Thuen E, Havrevoll O, Steinshamn H, Prestlokken
E, Randby A, Eknaes M, Waldmann A, Reksen O. Characterization of
progesterone profiles in fall-calving Norwegian Red cows. J Dairy Sci
2009;92:4919 –28.
[39] Royal MD, Darwash AO, Flint APE, Webb R, Woolliams JA, Lamming
GE. Declining fertility in dairy cattle: changes in traditional and endocrine
parameters of fertility. Anim Sci 2000;70:487–501.
[40] Farin PW, Ball L, Olson JD, Mortimer RG, Jones RL, Adney WS,
McChesney AE. Effect of Actinomyces pyogenes and gram-negative
anaerobic bacteria on the development of bovine pyometra. Theriogenology
1989;31:979–89.
[41] Opsomer G, Mijten P, Coryn M, de Kruif A. Post-partum anoestrus in dairy
cows: a review. Vet Q 1996;18:68 –75.
[42] Bulman DC, Lamming GE. Cases of prolonged luteal activity in the nonpregnant dairy cow. Vet Rec 1977;100:550 –2.
[43] Wilson SJ, Kirby CJ, Koenigsfeld AT, Keisler DH, Lucy MC. Effects of
controlled heat stress on ovarian function of dairy cattle. 2. Heifers. J Dairy
Sci 1998;81:2132– 8.
[44] Sangsritavong S, Combs DK, Sartori R, Armentano LE, Wiltbank MC. High
feed intake increases liver blood flow and metabolism of progesterone and
estradiol-17_ in dairy cattle. J Dairy Sci 2002;85:2831– 42.

41

[45] Roche JF. The effect of nutritional management of the dairy cow on
reproductive efficiency. Anim Reprod Sci 2006;96: 282–96.
[46] Sartori R, Haughian JM, Shaver RD, Rosa GJM, Wiltbank MC. Comparison
of ovarian function and circulating steroids in estrous cycles of Holstein
heifers and lactating cows. J Dairy Sci 2004;87:905–20.
[47] Wiltbank M, Lopez H, Sartori R, Sangsritavong S, Gümen A. Changes in
reproductive physiology of lactating dairy cows due to elevated steroid
metabolism. Theriogenology 2006;6517–29.
[48] Peter AT, Bosu WTK. Effects of intrauterine infection on the function of the
corpora lutea formed after first postpartum ovulations in dairy cows.
Theriogenology 1987;27:593– 609.
[49] Williams EJ, Fischer DP, Noakes DE, England GCW, Rycroft A, Dobson
H, Sheldon IM. The relationship between uterine pathogen growth density
and ovarian function in the postpartum dairy cow. Theriogenology
2007;68:549 –59.
[50] Kaneko K, Kawakami S. Influence of experimental intrauterine infusion of
Arcanobacterium pyogenes solution on ovarian activity in cycling cows. J
Vet Med Sci 2008;70:77– 83.
[51] Poyser NL. The control of prostaglandin production by the endometrium in
relation to luteolysis and menstruation. Prostaglandins Leukot Essent Fatty
Acids 1995;53:147–95.
[52] Kaneko K, Kawakami S. The roles of PGF2_ and PGE2 in regression of the
corpus luteum after intrauterine infusion of Arcanobacterium pyogenes in
cows. Theriogenology 2009;71: 858–63
[53] Cutullic E, Delaby L, Michel G, Disenhaus C. Consequence on reproduction
of two feeding levels with opposite effects on milk yield and body condition
loss in Holstein and Normande cows. J Dairy Sci 2009;92:355.
[54] Beam SW, Butler WR. Effects of energy balance on follicular development
and first ovulation in postpartum dairy cows. J Reprod Fertil Suppl
1999;54:411-24