Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung

Editorial

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung
dalam Sistem Pelayanan Kesehatan*

Firman Lubis
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas

Pendahuluan
Sebagai insan pendidikan kedokteran, sudah sepatutnya terus menerus mengacu pada pertanyaan mendasar
yaitu: “Untuk apa kita mendidik dokter? Apa sesungguhnya
tujuan menghasilkan dokter?”
Untuk menjawab pertanyaan mendasar tadi sebenarnya
tidaklah sulit; yang diperlukan hanyalah kemauan dan
keberanian untuk berpikir lebih luas dan menanggalkan
atribut atau kepentingan kelompok yang lebih sempit. Hal
itu perlu ditekankan, karena dari pengalaman selama ini,
berbagai masalah yang dihadapi terutama disebabkan masih
banyaknya di antara kita yang lebih mementingkan
kelompok dan dirinya sendiri ketimbang kemajuan bangsa.
Oleh sebab itu tidaklah heran kalau bangsa kita terus terpuruk

selama ini.
Salah satu acuan yang dapat digunakan untuk
menjawab pertanyaan di atas adalah sejarah pendidikan
kedokteran di Indonesia. Untuk itu, mari kita tengok cikal
bakal pendidikan kedokteran yaitu Sekolah Dokter Jawa
*

Disampaikan pada Upacara Pengukuhan Sebagai Guru Besar Tetap
pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada tanggal 29
Desember 2007

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

yang didirikan pada tahun 1851. Satu-satunya alasan
pendirian pendidikan dokter Jawa adalah kebutuhan tenaga
untuk menanggulangi wabah penyakit yang banyak meminta
korban jiwa pada waktu itu yaitu cacar, pes dan malaria.
Dengan demikian, pendidikan dokter Jawa awalnya adalah
mendidik tenaga pencacar atau vaccinateur untuk
menghindari penyakit yang sangat menakutkan itu. Hal

tersebut berarti, latar belakang pendidikan dokter di Indonesia berbeda dengan sejarah pendidikan dokter atau “tenaga
penyembuh” di negara barat maupun di negara lainnya. Di
negara barat maupun di Cina dan India, pendidikan dokter
bermula dari kebutuhan untuk meningkatkan kemampuan
tenaga healer yang sudah ada, agar lebih “ilmiah” dalam
mengobati penyakit yang diderita orang perorangan.
Pendidikan dokter di Indonesia bukan merupakan upgrading atau evolusi peningkatan tenaga “penyembuh” atau
dukun yang sudah ada, tetapi untuk menghasilkan tenaga
kesehatan baru guna mengatasi masalah kesehatan
masyarakat khususnya wabah penyakit infeksi menular. Oleh
sebab itu, pendidikan dokter Jawa tidak merekrut tenaga
dukun atau penyembuh dan mendidik mereka dengan ilmu
yang lebih modern, tetapi merekrut anak-anak muda dan
mendidiknya menjadi profesional baru yang waktu itu disebut

27

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
sebagai Dokter Jawa.
Karena pendidikan Dokter Jawa didirikan untuk

kepentingan rakyat maka pendidikan dibiayai sepenuhnya
oleh anggaran negara. Para siswa tidak membayar uang
sekolah, ditempatkan di asrama yang ditanggung
sepenuhnya, malah diberikan uang saku yang lumayan
jumlahnya. Setelah tamat, mereka dipekerjakan di dinas
kesehatan sebagai pegawai pemerintah. Umumnya, mereka
ditempatkan di berbagai daerah, termasuk daerah terpencil,
namun dengan gaji yang cukup untuk hidup yang layak.
Sistem pendidikan itu berlangsung terus hingga pendidikan
STOVIA (School tot Opleiding voor Inlandsche Artsen)
pada permulaan abad ke-20.1
Sistem pendidikan dokter yang berorientasi kepentingan
“publik” itu mulai bergeser setelah STOVIA ditingkatkan
menjadi pendidikan tinggi yang dikenal sebagai
Geneeskundige Hoge School (GHS) pada tahun 1927.
Pendidikan dokter GHS berubah menjadi lebih “swasta” atau
“semi swasta” karena masih mendapat subsidi negara.
Pendidikan yang tadinya gratis, sekarang harus membayar
uang kuliah. Mahasiswa tidak lagi diasramakan tetapi boleh
tinggal di mana saja dan sesudah lulus tidak usah bekerja di

pemerintah tetapi boleh membuka praktik swasta. Perubahan
tersebut membawa konsekuensi dalam sistem pendidikannya. Pendidikan yang terstruktur secara ketat berubah
menjadi “liberal” atau studi bebas (vrije studie) mengikuti
sistem di Belanda sehingga jumlah lulusannya setiap tahun
tidak banyak.
Pada akhir tahun 1950-an, sistem pendidikan dokter di
FKUI dikembalikan lagi seperti STOVIA dan dokter Jawa.
Mahasiswa tidak usah membayar bahkan menerima beasiswa
dalam bentuk ikatan dinas setiap bulannya. Sistem itu
diberlakukan karena kebutuhan mendesak tenaga dokter
untuk ditempatkan di berbagai daerah. Kemudian, sistem
berubah lagi menjelang pertengahan tahun 1960-an, ketika
keuangan negara menjadi buruk dan kebutuhan dokter tidak
darurat seperti sebelumnya. Mahasiswa diharuskan
membayar uang kuliah lagi, keharusan ikatan dinas dihapus,
namun masih diberikan subsidi oleh pemerintah. Pendidikan
tetap terstruktur ketat. Sistem tersebut masih terus berlaku
di fakultas kedokteran negeri hingga sekarang tetapi tidak
demikian untuk fakultas kedokteran swasta karena seluruh
biaya pendidikan ditanggung oleh mahasiswa.2

Pembangunan Kesehatan Nasional
Walaupun awalnya pendidikan dokter diarahkan untuk
menghasilkan tenaga medis guna meningkatkan kesehatan
rakyatnya, namun di jaman itu belum digunakan istilah
kesehatan masyarakat. Juga belum dikenal program
pembangunan kesehatan nasional tetapi lebih dikenal
sebagai program higiene atau preventif, kemudian sebagai
upaya kesehatan rakyat yang dijalankan oleh Dinas
Kesehatan Rakyat (Dienst der Volksgezondheids atau DVG).
Upaya kesehatan rakyat dan kesehatan masyarakat pada
28

prinsipnya sebenarnya sama saja. Tujuannya sama, yaitu
bagaimana agar masyarakat menjadi lebih sehat.
Pembangunan kesehatan dijalankan karena pembangunan bangsa dan negara menetapkan untuk bertumpu dan
berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia
(SDM) atau human resources development (HRD). Karena
pembangunan bangsa akan jauh lebih berhasil bila lebih
mengandalkan SDM ketimbang sumber daya alam.
Pembangunan HRD juga sangat dianjurkan oleh Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) sehingga mereka menerbitkan daftar
human development index (HDI) dan Indonesia selalu
menempati peringkat bawah sekitar urutan 110-120 dari sekitar
180 negara, di atas Kamboja, Laos dan negara-negara Afrika.
Pentingnya SDM untuk kemajuan bangsa sudah terbukti
misalnya dari Belanda dan Jepang. Mereka menjadi bangsa
yang kuat karena SDM yang lebih baik. Belanda tidak punya
sumber daya alam yang berarti kecuali rumput, tetapi karena
pandai berdagang dan berlayar ke berbagai benua, mereka
maju dan menjajah kita yang luas wilayahnya serta jumlah
penduduknya jauh lebih besar. Jepang juga begitu. Tidak
mempunyai sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi
atau sumber mineral seperti besi. Tanahnyapun hanya
seperlima saja yang dapat digunakan untuk pertanian karena
kebanyakan adalah bebatuan vulkanik akibat letusan gunung
berapi tetapi dapat menjadi bangsa kedua terkaya di dunia.
Kualitas SDM ditentukan sekali oleh dua faktor utama
yaitu, taraf kesehatan dan pendidikan. Oleh sebab itu, sektor
pendidikan dan kesehatan harus benar-benar diperbaiki dan
ditingkatkan. Sayangnya, kedua sektor tersebut masih belum

mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh dari para
penentu kebijakan. Sektor kesehatan misalnya, hanya
memperoleh anggaran tidak lebih dari 2,8% dari seluruh
anggaran negara. Padahal WHO menganjurkan minimal
sebesar 5%.3 Dengan desentralisasi, anggaran kesehatan di
daerah juga berkisar 4-6 % saja sedangkan negara tetangga
kita mencapai 7-9 %.
Sistem Pelayanan Kesehatan
Unsur terpenting dalam pembangunan kesehatan adalah
tersedianya sistem pelayanan kesehatan (SPK) yang efektif
dan berkualitas. SPK di Indonesia masih perlu terus
diperbaiki dan ditingkatkan. Cukup banyak keluhan yang
disampaikan masyarakat mengenai kurang baiknya pelayanan
kesehatan baik dari segi ketersediannya, kemudahannya,
keterjangkauannya maupun mutunya. Tidak heran, kalau ada
sebagian masyarakat yang lebih memilih berobat ke luar negeri
sedangkan orang luar negeri yang berobat ke Indonesia boleh
dibilang hampir tidak ada.
Masih lemahnya SPK juga terbukti dari belum baiknya
taraf kesehatan masyarakat yang tercermin dari masih

terbelakangnya berbagai indikator kesehatan seperti angka
kematian bayi, anak dan ibu serta angka kesakitan (morbidity rates) khususnya penyakit infeksi menular dan angka
harapan hidup rata-rata. Keadaan tersebut harus menjadi
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

Pengaruh Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
kepedulian kita sebagai tenaga pendidik kedokteran maupun
profesi dokter.
Tersedianya SPK yang berfungsi baik merupakan
prasyarat mutlak atau conditio sine quanon untuk menjaga
dan meningkatkan taraf kesehatan. SPK yang baik harus
mencakup berbagai bentuk pelayanan yang dibutuhkan
masyarakat secara sustainable. Secara sederhana, hal
tersebut mencakup pelayanan horizontal yang dijalankan
baik oleh pemerintah, swasta dan masyarakat, maupun
pelayanan secara vertikal pada strata primer, sekunder dan
tersier secara utuh sebagai suatu kesatuan sistem. Secara
ringkas, sistem pelayanan horizontal dan vertikal itu dapat
dilihat pada Gambar 1.


yang menggambarkan proporsi masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesehatan di Amerika Serikat.
1000 Orang
800 Ada Gejala

327 Mempertimbangkan Mencari
Pertolongan Medis
217 Ke Dokter
Pelayanan Primer
65 Pergi ke CAM
21 Ke Outpatient RS
14 Home Health
13 Ke Emergency Dept

Tersier

8 Masuk RS
< 1 Ke Academic
Health

Sekunder


Primer

Masyarakat
Swasta
Pemerintah

Gambar 1. Dimensi Sistem Pelayanan Kesehatan

SPK yang baik harus lebih memperhatikan pelayanan
kesehatan pada strata primer guna mengurangi beban sosial
dan biaya ekonomi yang jauh lebih besar untuk pelayanan
strata sekunder dan tersier. Hal tersebut disebabkan ± 80%
dari semua masalah kesehatan sebenarnya cukup ditangani
di strata primer. Dengan demikian segmen pelayanan strata
primer jauh lebih besar dari segmen pelayanan strata
sekunder, apalagi tersier (Gambar 1).
Pelayanan strata primer juga harus lebih mengutamakan
upaya promotif-preventif seperti menanamkan perilaku hidup
bersih dan sehat, medical check-ups, early diagnosis and

prompt treatment. Upaya tersebut bertujuan untuk efisiensi
guna mengurangi kerugian akibat beban dan biaya yang jauh
lebih besar untuk pengobatan dan tindakan pada stadium
lanjut, kecacatan maupun kematian yang diakibatkannya.
Pentingnya menekankan upaya pelayanan kesehatan
pada strata pelayanan primer dapat dilihat pada Gambar 2.

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

Gambar 2. Kebutuhan akan Pelayanan Kesehatan

Dari Gambar 2. terlihat bahwa bagian terbesar atau
21,7% penduduk memerlukan pelayanan kesehatan primer
setiap bulannya sedangkan yang memerlukan pelayanan
kesehatan sekunder dan tersier atau pelayanan rumah sakit
(RS) hanya 3-4% saja.4
Peran Profesi Dokter dalam SPK
Tenaga pelayanan kesehatan yang paling utama adalah
profesi dokter. Dokter dianggap sebagai “pusat” konstelasi
tenaga profesi kesehatan. Itulah sebabnya mengapa tenaga
kesehatan seperti para perawat dan bidan sering disebut
sebagai tenaga “paramedik”.
Dalam SPK di negara manapun, tenaga pelayanan
kesehatan yang utama adalah dokter. Oleh sebab itu, salah
satu indikator utama dalam menilai baik buruknya SPK di
suatu komunitas atau negara adalah rasio jumlah dokter dan
jumlah penduduk.
Di negara maju, dengan SPK yang lebih teratur dan
berjalan baik, tenaga utama pemberi pelayanan kesehatan
adalah dokter, baik di tingkat primer apalagi di tingkat sekunder
dan tersier. Oleh sebab itu, pendidikan dokter harus selalu
mengacu pada upaya bagaimana agar lulusan dokter dapat
turut memperkuat SPK.
Di Indonesia, salah satu bentuk pelayanan kesehatan
ialah pelayanan oleh dokter praktik umum. Pelayanan itu telah
lama dikenal dan digunakan masyarakat terutama di daerah
perkotaan. Hanya saja, jumlah dan cakupannya masih terbatas
karena jumlah dokter belum cukup khususnya di pedesaan.
Meskipun demikian, peran dokter praktik umum akan terus
meningkat sejalan dengan bertambahnya lulusan dokter dan
pertumbuhan sosial-ekonomi masyarakat. Apalagi kalau

29

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
sistem pendanaan kesehatan seperti asuransi dan Jaminan
Pemeliharaan Kesehatan (JPK) atau managed care benarbenar berjalan.5
Pada saat ini terdapat lebih dari 60 000 dokter. Mayoritasnya yaitu sekitar 75% adalah dokter praktik umum. Setiap
tahun dihasilkan sekitar 2 500 dokter baru. Kebanyakan dari
mereka tidak akan dan tidak mungkin untuk bekerja di sektor
pemerintah nantinya. Sekarang saja terdapat sekitar 2 000
tenaga dokter pasca PTT setiap tahunnya yang harus mencari
pekerjaan sehingga bekerja di sektor swasta terutama secara
mandiri. Pekerjaan dokter secara mandiri memang
merupakan ciri utama profesi dokter.
Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan
pelayanan kesehatan yang efektif dan berkualitas, perlu
dipikirkan dan dikembangkan SPK yang dapat memanfaatkan
tenaga dokter yang terus bertambah sekaligus memenuhi
kebutuhan masyarakat tersebut
Pelayanan Dokter Praktik Swasta
Sejauh ini, kebanyakan dokter menjalankan praktik
swasta sebagai praktik dokter secara solo (sendirian). Praktik
yang terbanyak adalah dokter praktik umum. Dari berbagai
penelitian dan laporan terdapat kelemahan pelayanan dokter
praktik umum swasta yaitu:
1. Tempat praktik dan perlengkapan kurang memadai
Tempat praktik biasanya hanya terdiri atas satu kamar
pemeriksaan dan ruang tunggu saja. Luasnyapun
terbatas sekali, bahkan tidak jarang hanya berupa
ruangan 3x2 meter persegi. Perlengkapanpun minimal,
seringkali hanya meja kerja, tempat tidur periksa
sederhana, stetoskop, tensimeter dan buku resep. Jarang
yang mempunyai tempat tidur periksa ginekologi,
otoskop, oftalmoskop apalagi alat seperti USG, EKG dan
perlengkapan bedah minor.
2.

3.

30

Jenis pelayanan kesehatan terbatas
Pelayanan yang diberikan seringkali terbatas pada
pelayanan pengobatan “khas dokter umum” yang sering
secara berkelakar disebut sebagai “dokter batuk pilek”
karena terbatasnya penyakit dan masalah kesehatan
yang ditanganinya. Padahal, selama pendidikan mereka
mempelajari ilmu penyakit dalam, kebidanan dan
kandungan, bedah, pediatri, neurologi, psikiatri, THT
dan lain-lain. Setelah lulus, jarang sekali mereka menangani penyakit kardiovaskuler, diabetes melitus, pemeriksaan antenatal, pertolongan partus, masalah kejiwaan,
masalah anak, penyakit saraf, dan lain-lain yang
mestinya sebagian besar dapat ditangani dengan baik.
Sekitar 80% penyakit sebenarnya dapat ditangani oleh
dokter praktik umum.
Biaya pelayanan yang mahal
Hingga saat ini SPK lebih banyak menganut sistem
pembayaran langsung atau fee for service atau out of

pocket. Masih sedikit yang membayar melalui sistem
asuransi atau JPK. Karena sistem pembayaran yang
bebas tersebut maka biaya pelayanan dokter praktik
cenderung “mahal”. Selain itu juga terjadi “komersialisasi” karena ketidaktahuan pasien akan penyakit dan
pengobatannya.
4.

Mutu pelayanan yang kurang
Berbagai keluhan banyak disampaikan mengenai mutu
pelayanan dokter praktik umum seperti kurang
komunikatif, kurang informasi, kurang ramah, cepat-cepat,
kurang nyaman dan sebagainya. Mutu itu terkait dengan
fasilitas dan perlengkapan yang kurang, keterampilan dan
kompetensi dokter yang terbatas, pembayaran yang
“bebas” dan praktik doctors shopping yang masih
banyak terjadi.

5.

Pelanggaran etik dan standar profesi medik
Masih banyak terjadi pelanggaran terhadap etik dan
standar pelayanan medik seperti pemberian obat yang
tidak rasional, kolusi dengan perusahaan farmasi/apotik,
pemeriksaan penunjang yang tidak perlu, tidak melakukan
informed consent dan lain-lain. Hal itu terutama karena
masih lemahnya pengawasan praktik dokter.

6.

Penapisan dan sistem rujukan yang kurang berjalan
SPK yang efektif dan berkualitas harus terstruktur rapi,
mempunyai sistem penapisan dan rujukan yang berjalan
baik. Seyogyanya, pasien tidak langsung ke spesialis
kecuali dalam keadaan darurat. Pasien sebaiknya selalu
ke dokter praktik umum langganannya terlebih dulu
(dokter keluarga) dan jika ada indikasi untuk dirujuk,
akan dilakukan oleh dokter umum tersebut. Hal itu
diperlukan untuk pelayanan holistik, komprehensif dan
efisien. Sayangnya, sistem penapisan dan rujukan yang
terstruktur dengan baik tidak berjalan sehingga
menyebabkan SPK menjadi terkotak-kotak, spesialistik
dan kurang manusiawi. Pasien sering lebih dilihat pada
organnya yang sakit saja.

Sebetulnya, praktik dokter umum di tengah pemukiman
masyarakat merupakan bentuk pelayanan kesehatan yang
sangat strategis sehingga menjadi tulang punggung SPK di
banyak negara. Sayangnya, dengan perkembangan
pelayanan dokter spesialis, praktik dokter umum menjadi
terbelakang. Pelayanan yang mereka berikan secara bertahap
menjadi berkurang karena kalah “pamor” dan “bersaing”
dengan dokter spesialis serta faktor ketidaktahuan
masyarakat. Hal itu juga karena belum berjalannya sistem
pendanaan kesehatan oleh pihak ketiga seperti asuransi dan
JPK sehingga terjadi no-system atau free fight liberalism
yang kalau dibiarkan akan menghasilkan “sistem” pelayanan
kesehatan yang lebih tidak efektif dan efisien lagi dan
merugikan masyarakat.

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
Pengembangan Dokter keluarga
Mengingat keadaan di atas, sejak 2-3 dasawarsa yang
lalu muncullah konsep dokter keluarga untuk meningkatkan
dan menggantikan dokter praktik umum. Konsep tersebut
diilhami oleh pengalaman dokter praktik umum sebelum tahun
60-an di banyak negara yang lebih menjalankan praktiknya
sebagai dokter keluarga. Di Indonesia pada tahun 50-an juga
dikenal huisarts yaitu dokter praktik umum yang menjadi
langganan keluarga.
Banyak negara, terutama negara maju, telah menjadikan
dokter praktik umum sebagai pemberi pelayanan lini terdepan.
Misalnya huisarts di Belanda, hausartz di Jerman, GPs (general practitioners) di negara Commonwealth seperti Inggris,
Singapura dan Australia serta family physician di Amerika.
Beberapa dasawarsa yang lalu terbentuk WONCA, yaitu
organisasi federasi perkumpulan dokter keluarga sedunia
yang didukung WHO. WHO menganjurkan agar dokter
keluarga merupakan pemberi pelayanan kesehatan utama di
tingkat pelayanan kesehatan strata primer.6 WHO juga
mencanangkan konsep Five Star Doctor sesuai konsep
dokter keluarga yang mencakup kompetensi dokter untuk
mampu bertindak sebagai:
1. Care provider
2. Decision maker
3. Communicator/educator
4. Community leader
5. Manager
Sejauh ini, berbagai kebijakan dalam bidang kesehatan
di Indonesia seperti SKN telah menetapkan dokter keluarga
sebagai pemberi pelayanan dokter strata pertama karena
pembangunan kesehatan dikaitkan dengan pembangunan
keluarga. Juga karena keluarga merupakan unit terkecil
masyarakat yang sangat penting fungsinya dan strategis
sekali dalam pembangunan sosial. Dalam SKN tahun 2004
disebutkan penyelenggaraan pelayanan kesehatan individu
menerapkan konsep dokter keluarga kecuali di daerah yang
sangat terpencil yang masih dipadukan dengan pelayanan
puskesmas. Hal itu juga sudah dituangkan dalam Peraturan
Presiden No 27/2005 (Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional 2004-2009) Bab 28, D point 4: Program
upaya kesehatan perorangan (individu) yang harus dilakukan
ialah pengembangan pelayanan dokter keluarga. Selain itu,
terdapat pula perubahan “konotasi” sesuai UU 40/2004/UU
SJSN: Sejalan dengan pengembangan Sistem Jaminan Sosial
Nasional Bidang Kesehatan, pemerintah tidak lagi menyelenggarakan pelayanan kesehatan individu melalui
puskesmas.
Paradigma baru pembangunan kesehatan yaitu
paradigma sehat sangat membutuhkan model pendekatan
pelayanan dokter keluarga. Hal itu karena paradigma sehat
menekankan upaya pemeliharaan kesehatan yang mengutamakan pelayanan kesehatan promotif dan preventif agar

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Januari 2008

keluarga dan anggotanya dapat terus terjaga kesehatannya
serta mengurangi beban sosial-ekonomi yang dikeluarkan
untuk berobat.
Secara ringkas, yang dimaksud dengan dokter keluarga
ialah dokter yang memberikan pelayanan kesehatan dengan
ciri-ciri utama sebagai berikut:7
1. Pelayanan kesehatan lini pertama
Artinya memberikan pelayanan pada strata primer, yaitu
ditengah-tengah pemukiman masyarakat sehingga
mudah dicapai. Setiap keluarga sebaiknya mempunyai
dokter keluarga yang dapat mereka hubungi bila
memerlukan pertolongan kesehatan.
2.

Pelayanan kesehatan/medis yang bersifat umum
Artinya memberikan pelayanan untuk masalah kesehatan
atau penyakit yang tergolong umum dan bukan
spesialistik. Pelayanan dokter yang bersifat umum juga
dikenal dengan istilah berobat jalan walaupun kadangkadang dapat pula diberikan di rumah untuk kasus
tertentu misalnya pasien yang sulit berjalan.

3.

Bersifat holistik dan komprehensif
Holistik artinya tidak dibatasi pada masalah biomedis
pasien saja, tetapi juga dengan melihat latar belakang
sosial-budaya pasien yang mungkin berkaitan dengan
penyakitnya. Misalnya, banyak penyakit didapat dari
pekerjaannya seperti nyeri otot dan tulang, radang
saluran napas, radang kulit atau kelelahan. Jika penyakit
tersebut tidak ditangani secara holistik dan hanya terfokus
pada gejala atau penyakitnya saja, maka tidak akan benarbenar berhasil disembuhkan.
Komprehensif artinya tidak hanya terbatas pada
pelayanan pengobatan atau kuratif saja, tetapi meliputi
aspek lainnya mulai dari promotif-preventif hingga
rehabilitatif. Misalnya, konseling, edukasi kesehatan,
imunisasi, KB, medical check-up, perawatan pasca RS
dan rehabilitasi medik.

4.

Pemeliharaan kesehatan yang berkesinambungan
Artinya, pelayanan kesehatan dilakukan terus menerus
kepada pasien maupun keluarganya guna memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka. Dengan kata lain,
hubungan dokter-pasien yang lebih kontinu atau
sebagai dokter langganan. Hubungan yang berkesinambungan itu menguntungkan karena menjadi lebih
saling kenal dan lebih akrab sehingga memudahkan dalam
mengatasi berbagai masalah kesehatan pasien/keluarga
tersebut.

5.

Pendekatan Keluarga
Artinya, lebih menekankan keluarga sebagai unit sasaran
pelayanan kesehatan daripada perorangan. Pasien
umumnya merupakan anggota sebuah keluarga yaitu
sebagai suami, isteri atau anak. Pendekatan keluarga

31

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
mempunyai berbagai keuntungan terutama untuk
dukungan yang diperlukan guna mengatasi masalah
kesehatan. Misalnya seorang anak akan banyak
memerlukan pengertian dan dukungan orang tuanya.
Suami yang menderita hipertensi perlu dukungan isteri
dan anaknya. Isteri yang sedang hamil, perlu dukungan
suaminya dan banyak lagi contoh lain.
Pelayanan dokter keluarga sudah dikembangkan dan
diterapkan di banyak negara terutama negara maju sebagai
tulang punggung dalam SPK mereka. Oleh sebab itu, konsep
pelayanan dokter keluarga sudah menjadi kebijakan
pemerintah cq. Departemen Kesehatan RI untuk diterapkan.
Kebijakan itu didukung Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan
Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI).
Dalam muktamar IDI tahun 2003 dicanangkan Visi IDI
“Dokter keluarga 2010”. Berbagai seminar, lokakarya,
pelatihan dan penataran, buku pedoman dan sebagainya telah
dibuat untuk mendorong terlaksananya pelayanan dokter
keluarga. Sayangnya, pelayanan dokter keluarga dengan
ciri-ciri di atas masih belum banyak berjalan walaupun sudah
dicoba lebih dari 20 tahun yang lalu. Mengapa? Apa yang
menjadi hambatan selama ini? Bagaimana memperbaikinya
dan mempercepat terlaksananya pelayanan dokter keluarga?”
Hambatan Utama
Hambatan utama mengapa pelayanan dokter keluarga
kurang berjalan adalah:
1. Kurangnya pemahaman pemangku kepentingan
Secara umum, berbagai pemangku kepentingan (stake
holders) seperti DepKes, KKI, IDI, Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi, dan AIPKI telah membuat kebijakan dan
mendukung pengembangan pelayanan dokter keluarga,
namun dalam aplikasinya masih banyak ditemui mispersepsi
dan perbedaan. Misalnya, apakah dokter keluarga merupakan
ilmu tersendiri atau bukan? Apakah sama seperti dokter umum
yang selama ini dikenal, tetapi hanya namanya saja yang
berubah sehingga setiap dokter umum secara otomatis dapat
menyebut dirinya sebagai dokter keluarga?
Ternyata, persepsi pemangku kepentingan terhadap
pertanyaan itu belum sama. Perbedaan persepsi itu mempunyai konsekuensi dalam pengembangannya. Sebagai
contoh, kalau merupakan ilmu atau disiplin tersendiri, harus
ada unit atau bagian tersendiri dan para ahlinya di fakultas
kedokteran sebagai institusi pendidikan dan keilmuan. Di
banyak negara, khususnya negara maju, dokter keluarga
merupakan ilmu atau disiplin kedokteran yang berdiri sendiri
dan merupakan spesialisasi bidang kedokteran tersendiri.
Ada program pendidikan profesinya yang dikelola oleh unit
tersendiri di fakultas kedokteran dan ada perkumpulan
profesinya.

32

WHO menganjurkan agar ilmu kedokteran keluarga
digabungkan ke dalam ilmu kedokteran komunitas karena
banyak persamaannya.8 Di National University of Singapore
nama departemen yang menangani ilmu kedokteran keluarga
adalah Department of Community, Family and Occupational
Medicine.
Di FKUI, sejak hampir 20 tahun yang lalu telah dibentuk
subbagian tersendiri untuk ilmu kedokteran keluarga di
bawah Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas. Beberapa
staf muda telah dikirim untuk memperdalam ilnu kedokteran
keluarga di Universitas Singapura dan Filipina. Subbagian
ilmu kedokteran keluarga juga telah mengembangkan klinik
dokter keluarga (KDK) di Kiara dan Kayu Putih sebagai
model percontohan dan untuk mendidik mahasiswa dalam
pelayanan dokter keluarga.9
2. Pengembangannya kurang terencana, terpadu, terstruktur dan terkoordinasi dengan baik
Karena terdapatnya perbedaan persepsi ketika konsep
dokter keluarga mulai muncul, pengembangan dan
penerapannya tidak berjalan secara utuh, terencana,
terstruktur dan terkoordinasi dengan baik. Selama ini,
pengembangan dan penerapan dokter keluarga dijalankan
secara parsial oleh berbagai pihak sesuai persepsi dan
kepentingan masing-masing. Sebagai contoh, karena dokter
keluarga dikaitkan dengan kepentingan pengembangan
sistem pendanaan JPKM, maka Depkes menjalankan berbagai
kegiatan pelatihan dokter keluarga berdasarkan kepentingan
mereka melalui anggaran proyek Depkes. Mereka lebih melihat
dokter keluarga sebagai “dokter umum” biasa ditambah
dengan sekedar pengetahuan mengenai aspek JPKM untuk
menjadi Penyedia Pelayanan Kesehatan dalam sistem JPKM
yang ingin dikembangkan. Maka dijalankanlah berbagai
pelatihan singkat terhadap dokter-dokter termasuk dokter
puskesmas yang dikaitkan dengan proyek percontohan
JPKM. Selain Depkes, kegiatan kursus dan pelatihan serupa
juga dijalankan oleh PT Asuransi Kesehatan (Askes) dalam
kaitannya dengan pengembangan sistem JPK dan
menamakan dokter yang telah direkrutnya sebagai dokter
keluarga PT Askes. Hal itu mencerminkan persepsi bahwa
dokter keluarga sama saja dengan dokter umum biasa bukan
keahlian atau spesialisasi tertentu sebagaimana yang berlaku
di negara maju.
Karena dijalankan secara parsial, berorientasi proyek
dan kepentingan jangka pendek, maka semua upaya untuk
mengembangkan profesi dokter keluarga boleh dikatakan
gagal. Selama ini, banyak dilakukan trial and error
berdasarkan persepsi beberapa orang pengurusnya saja.
Mulanya, dianggap di bawah 4 bidang spesialis yaitu ilmu
penyakit dalam, bedah, kebidanan dan ilmu kesehatan anak,
karena dokter keluarga dipersepsikan sebagai dokter umum
yang perlu diberikan kursus tambahan dari ke-4 bidang
tersebut. Maka dilakukanlah penataran singkat dengan
dukungan proyek dan pengajarnya terutama dari ke-4 bidang

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
tersebut. Beberapa tahun kemudian, untuk menambah
legitimasi upaya pengembangan dokter keluarga yang
dijalankan IDI tersebut, beberapa orang yang dianggap
“memahaminya” atau diharapkan terlibat, diberikan “gelar”
PKK, singkatan Pakar Kedokteran Keluarga.
Hambatan dari beberapa dokter spesialis terjadi karena
kurang pahamnya akan pelayanan dokter keluarga dalam
konteks SPK yang efektif, efisien dan berkualitas. Mereka
merasa seolah-olah dokter keluarga akan menjadi pesaing
yang “merebut” dan mengurangi pasien yang datang ke
praktik mereka nantinya. Padahal, pembagian kerja antara
berbagai profesi dokter yang menjalankan praktiknya, baik
dokter praktik umum dan spesialis maupun di antara berbagai
spesialis sudah diatur dan berlaku dengan baik. Juga, dari
pengalaman di negara maju yang telah menerapkan pelayanan
dokter keluarga, persaingan tidaklah terjadi. Bahkan, yang
terjadi adalah sebaliknya yaitu kerjasama yang lebih harmonis
dan saling menguntungkan untuk kedua belah pihak terutama
dalam memenuhi kepuasan pasien, sehingga meningkatkan
citra profesi dokter.
3. Pendidikan kedokteran yang belum berorientasi pada
dokter keluarga
Pendidikan dokter pada dasarnya adalah menghasilkan
lulusan dokter dengan kompetensi mampu bekerja di strata
pelayanan kesehatan primer. Sejauh ini, pendidikan
kedokteran yang berorientasi dokter keluarga di banyak
fakultas kedokteran belum mendapatkan perhatian yang
cukup. Pemahaman dan dukungan pimpinan fakultas, unit
pendidikan kedokteran serta staf pengajarnya juga masih
belum baik. Belum semua fakultas kedokteran mempunyai
unit atau bagian dokter keluarga yang mengurus ilmu
kedokteran keluarga serta menerapkan pendidikan dokter
keluarga dalam kurikulumnya. Pendidikan kedokteran lebih
bertumpu pada pendidikan di RS dengan kasus spesialistik
dan terkotak-kotak (fragmentalism). Di banyak negara,
paradigma pendidikan kedokteran seperti itu sudah lama
ditinggalkan.10
KKI pada tahun 2006 memberlakukan Standar
Pendidikan Profesi Dokter yang bertujuan menghasilkan
dokter layanan primer dengan pendekatan kedokteran
keluarga walaupun kesiapan masing-masing fakultas
kedokteran untuk menjalankannya masih dipertanyakan.
Pengembangan Dokter keluarga sebagai Tulang Punggung
SPK
Dalam perkembangan pembangunan kesehatan
sekarang ini, sudah waktunya peran dan arti dokter keluarga
dibenahi dan dibuat jelas untuk menghindari kerancuan dan
tersendatnya pengembangan SPK yang efektif, efisien dan
bermutu tinggi. Untuk itu, ada beberapa hal pokok yang harus
dijalankan serius yaitu:

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

1. Dibentuknya unit kerja atau task force dokter keluarga nasional
Pembentukan unit kerja diperlukan untuk merumuskan
pengembangan dan penerapan dokter keluarga secara utuh,
terpadu, terencana dan terstruktur. Unit ini terdiri atas berbagai
unsur terkait seperti KKI, DepKes, IDI, AIPKI dan asuransi
kesehatan. Orang-orang yang duduk disini harus mempunyai
pemahaman yang luas mengenai SPK. Inisiatif pembentukan
dapat diprakarsai KKI atau Depkes sebagai institusi
pemerintah dengan mengajak unsur-unsur terkait.
2.

Mempelajari konsep pelayanan dokter keluarga yang
telah berjalan baik
Kita tidap perlu mulai dari scratch, melakukan trial and
error atau reinventing the wheel. Kita dapat belajar dari
pengalaman berbagai negara yang SPK-nya telah berjalan
baik. Prinsipnya, dokter keluarga adalah sebuah spesialisasi
atau keahlian dari profesi dokter sebagai pemberi pelayanan
medis lini terdepan di tingkat primer. Setelah lulus dokter,
mereka harus menjalani pendidikan spesialisasi yang
terstruktur selama 2-3 tahun untuk menjadi dokter keluarga.
Pendidikan profesi dilakukan di pelayanan strata primer yang
terakreditasi baik.
3.

Mengaitkan pengembangan dokter keluarga dengan
kepentingan yang lebih besar
Pengembangan pelayanan dokter keluarga harus
dikaitkan dengan konteks kepentingan yang lebih besar dan
strategis yaitu dalam konteks upaya mengembangkan SPK
nasional yang efektif dan bermutu tinggi guna meningkatkan
taraf kesehatan rakyat. Jangan lagi dikembangkan secara
parsial, proyek jangka pendek dan kepentingan sektoral atau
sepihak saja.
Dalam SPK yang efektif dan bermutu, pelayanan dokter
keluarga merupakan pelayanan utama strata primer dan
merupakan tulang punggung SPK tersebut. Nantinya, semua
keluarga di Indonesia diharapkan akan mempunyai dokter
keluarga masing-masing yang akan menjaga dan membantu
meningkatkan kesehatan keluarga tersebut. Dokter keluarga
akan bekerja penuh sebagai dokter praktik swasta di tengahtengah pemukiman penduduk yang diatur dengan baik. Tidak
lagi seperti sekarang yang kebanyakan berpraktik sambilan
di sore hari untuk mencari pemasukan tambahan. Tempat
dan syarat praktikpun akan diatur oleh KKI, IDI dan Depkes
melalui UU Praktik Kedokteran dan regulasi yang berlaku.
4.

Menjalankan pendidikan kedokteran yang berorientasi
dokter keluarga
Untuk menjalankan pendidikan kedokteran yang
berorientasi dokter keluarga metode pembelajaran mutakhir
seperti SPICES (terutama problem based learning, integrated dan community oriented) harus benar-benar
diterapkan. RS (RS) pendidikan juga harus disesuaikan dan

33

Dokter Keluarga Sebagai Tulang Punggung dalam Sistem Pelayanan Kesehatan
dapat menjadi model dalam SPK yang efektif dan bermutu
tinggi. Misalnya, harus membina jaringan/rujukan dengan
penyedia pelayanan strata primer di sekitar RS. Bukan sebagai
RS yang berdiri sendiri atau terisolasi. Dalam merawat pasien,
jangan lagi terkotak-kotak tetapi terintegrasi. Pelayanan
terdepan di RS pendidikan harus diberikan oleh dokter
keluarga dengan sistem rujukan yang berjalan dengan baik.
Bimbingan mahasiswa di RS pendidikan harus diberikan oleh
dokter senior dan guru besar. Etika pelayanan dokter harus
benar-benar diterapkan dengan ketat dengan contoh panutan
yang diberikan staf pengajar.
Selain RS Pendidikan, perlu dibuat satelit Klinik Dokter
keluarga (KDK) pendidikan yang merupakan bagian (network) RS pendidikan sebagai suatu kesatuan. Klinik KDK
pendidikan merupakan tempat mahasiswa menjalankan clerkship atau magang untuk melatih mereka dalam memberikan
pelayanan pada strata primer yang berorientasi komunitas.
KDK juga harus menjadi model dari sebuah KDK di strata
pelayanan kesehatan primer yang lengkap serta menjadi
tempat rujukan bagi dokter keluarga yang berpraktik solo
disekitarnya.11

sehingga tidak menumpuk di satu area saja. Juga kemudahan
memperoleh modal untuk membangun atau menyewa tempat
praktik yang pantas serta membeli perlengkapan dan alat
kedokteran yang mereka butuhkan. Peran KKI, IDI,
Perkumpulan Dokter keluarga Indonesia (PDKI) bekerjasama
dengan Depkes, bank atau lembaga keuangan sangat
diperlukan. Praktik dokter keluarga akan dapat berjalan
dengan baik apabila sistem pendanaan JPK atau managed
care berjalan baik karena keduanya saling mendukung.
Sebagai penutup, saya menghimbau agar KKI bekerjasama dengan Depkes dapat segera mengambil inisiatif
untuk membentuk kelompok kerja atau task force dengan
melibatkan semua instansi terkait sebagai langkah pertama.
Kelompok tersebut harus terdiri atas orang-orang yang
berwawasan luas di bidang SPK/medis dan mempunyai
pemahaman yang baik mengenai dokter keluarga. Tugas
utamanya adalah menyusun rencana penerapan pelayanan
dokter keluarga yang utuh dan terpadu sebagai tulang
punggung SPK.
Daftar Pustaka
1.

5.

Mengembangkan pendidikan spesialisasi dokter keluarga
Secara umum, di banyak negara, dokter keluarga
merupakan spesialisasi tersendiri. Untuk itu telah dikembangkan pendidikan profesi atau spesialisasi dokter keluarga
oleh perkumpulan profesi dokter keluarga bersama fakultas
kedokteran. Untuk mengembangkan Pendidikan Spesialisasi
Dokter Keluarga di Indonesia perlu dipelajari kurikulum
pendidikan spesialisasi dokter keluarga yang telah dikembangkan WONCA dan negara maju lainnya. Di masa yang
akan datang profesi dokter yang menjalankan profesi dalam
SPK kita nantinya juga akan terdiri atas spesialis dokter
keluarga dan spesialis tertentu lainnya seperti bedah,
jantung, paru, kebidanan, anak, saraf, jiwa, radiologi,
dermatologi dll. Pendidikan spesialisasi dokter keluarga ini
dapat dikembangkan oleh task force dokter keluarga nasional
dengan melibatkan PDKI dan AIPK.
6.

Membantu dokter keluarga untuk mengembangkan
praktik swasta
Untuk mengembangkan praktik swastanya, dokter
keluarga membutuhkan tempat praktik dan peralatan yang
memadai. Untuk itu, dokter keluarga perlu diberikan
kemudahan. Misalnya dalam pengaturan lokasi tempat praktik

34

Ontwikkeling van het Geneeskundig Onderwijs te Weltevreden,
1851-1926, STOVIA, G. Kolf and Co, Weltevreden, 1926.
2. 125 Tahun Pendidikan Dokter di Indonesia, 1851-1976. Jakarta:
FKUI; 1976
3. Gottret P, Schieber G. Health financing revisited, a practitioner’s
guide, The World Bank, 2006.
4. Rakel RE. The family physician essentials of family practice.
Philadelphia WB Saunders Co; 1993.
5. Azrul A. Konsep dokter keluarga dalam pelaksanaan jaminan
pemeliharaan kesehatan masyarakat. Majalah Kesehatan
Masyarakat Indonesia 1991;19(12).
6. World Organization of Family Doctors. The role of the general
practitioners/family physicians in health care systems, WONCA,
1991.
7. Azrul A. Pengantar pelayanan dokter keluarga. Jakarta: Yayasan
Penerbit IDI; 1986.
8. WHO-WONCA. Making medical practice and education more
relevant to people’s needs: the contribution of the family doctor, 1998.
9. Panduan Kepaniteraan Kedokteran Keluarga. Jakarta: Departemen
Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI; 2003.
10. Lubis F. Pendidikan kedokteran keluarga di fakultas kedokteran.
Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI; 2006.
11. Lubis F. Mendirikan dan mengelola klinik dokter keluarga dengan
berhasil. Jakarta: Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas FKUI;
2007.

SS

Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2008

Dokumen yang terkait

Analisis Komposisi Struktur Modal Yang Optimal Sebagai Upaya Peningkatan Kinerja Operasional Pada PT Telagamas Pertiwi Di Surabaya

1 65 76

Kajian Karakteristik Fisik, Kimia dan Mikrobiologis Edible Film dari Tiga Jenis Pati (Kimpul, Ubi Jalar Putih dan Singkong) dengan Penambahan Filtrat Kunyit (Curcuma longa Linn.) Sebagai Penghambat Bakteri Salmonella.

16 119 21

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Pengelolaan Publikasi MelaluiMedia Sosial Sebagai sarana Pengenalan Kegiatan Nandur Dulur( Studi deskriptif pada tim publikasi Nandur Dulur)

0 66 19

HUBUNGAN ANTARA KUALITAS PELAYANAN KESEHATAN DENGAN PEMBENTUKAN CITRA POSITIF RUMAH SAKIT Studi pada Keluarga Pasien Rawat Jalan RSUD Dr. Saiful Anwar Malang tentang Pelayanan Poliklinik

2 56 65

Identifikasi Jenis Kayu Yang Dimanfaatkan Untuk Pembuatan Perahu Tradisional Nelayan Muncar Kabupaten Banyuwangi dan Pemanfaatanya Sebagai Buku Nonteks.

26 327 121

Perilaku Kesehatan pada Mahasiswa Program Studi Pendidikan Dokter UIN Syarif Hidayatullah Jakrta Angkatan 2012 pada tahun2015

8 93 81

Analisis Prioritas Program Pengembangan Kawasan "Pulau Penawar Rindu" (Kecamatan Belakang Padang) Sebagai Kecamatan Terdepan di Kota Batam Dengan Menggunakan Metode AHP

10 65 6

Peranan Deposito Sebagai Sumber Dana Pada PT. Bank X,Tbk. Cabang Buah Batu Bandung

3 47 1

Asas Tanggung Jawab Negara Sebagai Dasar Pelaksanaan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

0 19 17