Analisis Persiapan Kebijakan “Paten” (Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan) Di Kota Padangsidimpuan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Dilihat dari perjalanan sejarah otonomi di Indonesia, pemberian hak

otonom terhadap daerah bukan merupakan hal yang baru. Otonomi daerah
sebenarnya telah di terapkan di Indonesia sejak awal kemerdekaan. Setidaknya
ada beberapa UU yang mengatur terkait dengan pemberian hak otonom terhadap
pemerintahan daerah. Penjelasan UU No 1 Tahun 1945 tanggal 23 Nopember
1945 butir 4e tertulis “mengatur rumah tangga”, ini agak sulit, sebab dalam
Undang-Undang ini tidak diterangkan “werkkring” (lingkungan bekerja) dari
badan-badan tersebut, sebagaimana lazimnya perkataan “mengurus rumah
tangga”,

diterjemahkan

dengan

perkataan


“otonomi”(Syafrudin,2006:1).

Selanjutnya terdapat juga UU dan peraturan lainnya yang terkait dengan otonomi
daerah, mulai dari UU No 22 Tahun 1948 tanggal 10 Juli 1948, UU No 1 Tahun
1957 tanggal 15 januari 1957, Penetapan Presiden No 6 Tahun 1959 tanggal 7
November 1959 dan Penetapan Presiden No 5 tahun 1960 tanggal 10 Februari
1961, Ketetapan MPR No IV/MPR/1973, sampai dengan UU No 5 Tahun 1974
tanggal 23 Juli 1974 (Syafrudin,2006:2-11).
Pengertian otonomi daerah yang melekat dalam keberadaan pemerintah
daerah, sangat berkaitan dengan desentralisasi. Baik pemerintahan daerah,
desentralisasi maupun otonomi daerah, adalah bagian dari suatu kebijakan dan
praktek penyelenggaraan pemerintahan, tujuannya adalah demi terwujudnya
kehidupan masyarakat yang tertib, maju dan sejahtera, setiap orang bisa hidup
tenang, nyaman, wajar oleh karena memperoleh kemudahan dalam segala hal di
12

bidang pelayanan masyarakat (Parjoko,2002:1). Oleh karena itu keperluan
otonomi di tingkat lokal pada hakekatnya adalah untuk memperkecil intevensi
pemerintah pusat kepada daerah. Dalam Negara Kesatuan (unitarisme) otonomi

daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat (central government), sedangkan
pemerintah daerah hanya menerima penyerahan dari pemerintah pusat
(Sarundajang,1999:32).

Berbeda halnya dengan otonomi daerah di Negara

federal, dimana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian.
Secara normatif, penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pihak
lain (pemerintah daerah) untuk dilaksanakan disebut dengan desentralisasi.
Desentralisasi sebagai suatu sistem yang dipakai dalam sistem pemerintahan
merupakan kebalikan sentralisasi. Dalam sistem sentralisasi, kewenangan
pemerintah baik di pusat maupun di daerah, dipusatkan dalam tangan
pemerintahan

pusat

(Soetijo,1990:15).

Dalam


sistem

penyelenggaraan

pemerintahan negara yang menganut prinsip pemencaran kekuasaan secara
vertikal, membagi kewenangan kepada pemerintah daerah bawahan dalam bentuk
penyerahan kewenangan. Penerapan prinsip ini melahirkan model pemerintahan
daerah yang menghendaki adanya otonomi dalam penyelenggaraannya. Dalam
sistem ini, kekuasaan negara terbagi antara pemerintah pusat di satu pihak dan
pemerintah daerah di lain pihak. Penerapan pembagian kekuasaan dalam rangka
penyerahan kewenangan otonomi daerah, antara negara yang satu dengan negara
yang lain tidak sama, termasuk Indonesia yang menganut negara kesatuan
(Bambang,2000;6).
Meskipun Pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut
“faham negara integralistik”, namun penyelenggaraan Pemerintahan negara di

bawah rezim Demokrasi Terpimpin dan rezim Orde Baru pada masa yang lalu,
demikian pula pada masa-masa pemerintahan selanjutnya, menunjukkan betapa
kuatnya “faham negara integralistik” yang mempengaruhi penyelenggaraan
sistem pemerintahan negara, dimana negara memiliki kemauan dan kepentingan

yang sering berbeda dengan kepentingan warganya, yang dapat melakukan
intervensi kedalam kehidupan masyarakat, sekalipun hal itu didedikasikan untuk
kesejahteraan dan kemajuan masyarakat itu sendiri (Stepan,1978;26-27). Kondisi
seperti ini dimungkinkan terjadi, karena setiap kebijakan yang ditetapkan sebagai
kebijakan publik, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh sikap, perilaku, dan
value judgement dari para penyelenggara negara (human behaviour and value
judgement), yang pada gilirannya dipandang sebagai “pembenaran hukum” dan
sebagai alat pemaksa yang harus ditaati oleh rakyat.
Mawhood menyatakan desentralisasi adalah pembagian dari sebagian
kekuasaan pemerintah oleh kelompok yang berkuasa di pusat terhadap kelompokkelompok lain yang masing-masing memiliki otorisasi dalam wilayah tertentu
suatu negara (Sunarno,2006;43). Sementara itu, B.C. Smith mendefenisikan
desentralisasi sebagai proses melakukan pendekatan kepada pemerintah daerah
yang mensyaratkan terdapatnya pendelagasian kekuasaan (power) kepada
pemerintah bawahan dan pembagian kekuasaan kepada daerah. Pemerintah pusat
diisyaratkan untuk menyerahkan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah sebagai
wujud pelaksanaan desentralisasi (Sunarno,2006;43).
Tujuan desentralisasi secara umum oleh Smith dibedakan atas 2 (dua)
tujuan utama, yakni tujuan politik dan ekonomis. Secara politis, tujuan
desentralisasi antara lain untuk memperkuat pemerintah daerah, untuk


meningkatkan keterampilan dan kemampuan politik para penyelenggara
pemerintah dan masyarakat, dan untuk mempertahankan integritas nasional.
Sedangkan secara ekonomi, tujuan desentralisasi, antara lain adalah untuk
meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam menyediakan public good
and service, serta untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas pembangunan
ekonomi di daerah (Hidayat,2004:22).
Sedangkan D. Juliantara, dkk (2006;12) memberikan pengertian
desentralisasi dengan merujuk pada asal katanya, bahwa istilah desentralisasi
berasal dari bahasa latin, de artinya lepas dan centrum artinya pusat. Lebih jauh ia
menyebutkan desentralisasi yang dimaknai dalam konteks yang lebih luas, bahwa
konstek negara-negara demokrasi modern, kekuasaan politik diperoleh melalui
pemilihan umum yang diselenggarakan secara regular dan serentak di setiap
daerah untuk memberikan legitimasi terhadap tugas dan wewenang lembagalembaga politik di tingkat nasional dan juga di tingkat local sendiri. Dengan kata
lain, kekuasaan pemerintah daerah-lah yang meminta dan menarik kembali
sebagian kewenangan yang telah diberikan kepada pemerintah pusat, bukan
karena kebaikan hati pemerintah pusat (Juliantara, dkk,2006;13).
Oleh karena itu, keperluan otonomi di tingkat lokal pada hakikatnya
adalah untuk memperkecil intervensi pemerintah pusat kepada daerah. Dalam
negara kesatuan (unitarisme) otonomi daerah itu diberikan oleh pemerintah pusat
(central government), sedangkan pemerintah daerah hanya menerima penyerahan

dari pemerintah pusat. Berbeda halnya dengan otonomi daerah di negara federal,
di mana otonomi daerah sudah melekat pada negara-negara bagian. Reuter,
mengemukakan, desentralisasi adalah sebagian pengakuan atas penyerahan

wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum
yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan
kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan dalam pemerintahan, serta
struktur wewenang yang terjadi. Dalam hal itu Rondineli, mengatakan bahwa
desentralisasi dari arti luas mencakup setiap penyerahan kewenangan dari
pemerintah pusat baik kepada daerah maupun kepada pejabat pemerintah pusat
yang ditugaskan di daerah (oentara Sm,dkk,2004:27-28).
Koeswara, mengemukakan, bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya
mempunyai

makna

bahwa

melalui


proses

desentralisasi

urusan-urusan

pemerintahan yang semua termasuk wewenang dan tanggung jawab pemerintah
pusat, sebagian diserahkan kepada badan/lembaga pemerintahan di daerah
(Koeswara,1996;10). Prakarsa untuk menemukan prioritas, memilih alternatif dan
mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan daerahnya, baik dalam hal
menentukan kebijaksanaan, perencanaan, maupun pelaksanaan sepenuhnya
diserahkan kepada daerah. Lebih dalam lagi, bila kita cermati prinsip-prinsip
hukum dalam pengelolaan masalah-masalah bangsa (nation affairs) ke depan
governance dikatakan baik (good atau sound) apabila sumber daya dan masalahmasalah publik dikelola secara efektif dan efisien serta aspiratif yang didasarkan
kepada transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat serta rule of law.
Oleh karena itu pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administrasi dalam
mengelola masalah-masalah layanan tersebut perlu memperhatikan prinsip-prinsip
hukum pengelolaan sumber daya yang dimiliki, seperti prinsip good governance,
subsidiarity, equity, privaty use, prier appropriation (first in time, first in right),


sustainable

development,

good

sustainable

development

govermance

danparticipatory development.
Menurut peneliti, prinsip Subsidiarity dalam pelaksanaan otonomi daerah
dalam koridor Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat relevan dan tepat
dipedomani dan diterapkan dalam pengelolaan sumber daya pendapatan daerah,
karena menurut teori subsidiarity secara lugas dan tegas dikatakan bahwa
kewenangan yang telah diberikan oleh pemerintah tingkat lebih atas (pusat)
kepada pemerintah tingkat lebih rendah (seperti provinsi dan atau kabupaten/kota)
akan dapat ditarik kembali oleh tingkat lebih atas bila ternyata tingkat lebih

rendah

yang

menerimanya

tidak

dapat

melaksanakan

kewenangan

(urusan/administrasi)-nya sebagai mana mestinya.

2.2.

Analisis Kebijakan Publik
Banyak sekali definisi yang menjelaskan apa arti kebijakan yang dapat


membantu memahami dalam menyoroti masalah yang berkaitan dengan
kebijakan. Dari segi bahasa kebijakan berasal dari bahasa Yunani dan Sansekerta
“Polis” (negara kota) dan Pur (kota), masuk kedalam bahasa Latin menjadi
Politea (negara) dan lahirnya kedalam bahasa Inggris pertengahan Policie, yang
berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah politik atau administrasi
pemrintahan. Asal kata policy sama dengan kata lain policy an politics(Dunn, terj.
Muhadjir

Darwin,2000:10).

Istilah

policy

(kebijaksanaan)

seringkali

penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan

(goals), program, keputusan, udang-undang, ketentuan-ketentuan.

Para

ahli

kebijakan

banyak

mengungkapkan

definisi

kebijakan

berdasarkan sudut pandang dan pendapatnya yang berbeda, seperti menurut
Thomas R. Dye(2012:1) menyatakan “what ever government choose to do or not
to do”, artinya apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan. Pemerintah memegang peranan penting bukannya melakukan tindakan
tertentu juga untuk berbuat sesuatu atau menetapkan kebijakan untuk
melaksanakan program sesuatu dalam mengatasi permasalahan, akan tetapi
pemerintah hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan kegiatan apa-apa, itupun
dapat dikatakan kebijakan pemerintah yang demikian bentuknya.
Menurut Frederock kebijakan diartikan sebagai suatu tindakan yang
mengarah kepada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatanhambatan tertentu, seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau
mewujudkan sasaran yang diinginkan (Frederock dalam Wahab,2011;13). Definisi
ini berarti pemerintah harus mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan
apapun bentuknya untuk merespon dan menanggulangi permasalahan yang
dihadapi, dengan memperhatikan sumber daya yang dimiliki serta menerima
masukan atau usulan dari seseorang/ kelompok, sehingga ada jalan keluar yang
terbaik, dihasilkan melalui proses yang fair.
Pendapat Richard Rose (Dalam buku Darwin,2005;109) pengertian
kebijakan publik adalah rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan
(termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak ) yang dibuat oleh badan
dan pejabat Pemerintah, diformulasikan di dalam bidang-bidang itu sejak
pertahanan, energi dan kesehatan sampai pendidikan, kesejahteraan dan

kegagalan. Sementara menurut William Dunn (dalam buku Darwin,2005;139)
Kebijakan Publik (Public Policy) : pola ketergantungan yang kompleks dari
pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan
untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor Pemerintah. Dari
berbagai definisi-definisi yang disampaikan para ahli, dapat ditarik kesimpulan
sebagaimana pendapat Sofian Effendi (2009) bahwa ciri kebijakan publik adalah:
1. Memecahkan masalah yang dihadapi publik yang tidak dapat diatasi oleh
publik sendiri. Bila dapat dipecahkan publik sendiri, kebutuhan dasar oleh
pasar, maka tak usah ada kebijakan publik.
2. Tindakan otoirtasi dari pemerintah (hanya dapat dilakukan pemerintah
yang dapat memaksa agar kebijakan dilakukan).
3. Melaksanakan tugas dan fungsi dari pemerintah.
Dalam mengambil sebuah kebijakan maka diperlukan tahap-tahap
pengambilan kebijakan tersebut. Tahap-tahap pengambilan kebijakan ini
merupakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengambilan kebijakan.
Prinsip-prinsip dasar dari permasalahan kebijakan ini merupakan sebuah proses
analisa kebijakan yang akan diterapkan. Analisa kebijakan ini pada dasarnya
merupakan proses kognitif, sementara pembuatan kebijaksanaan bersifat politis
(Dunn,1999;72).

2.2.1. Prinsip-prinsip Kebijakan
Dalam membuat dan menerapkan kebijakan ada beberapa prinsip yang
harus diperhatikan yakni :

1. Adanya tujuan, yakni adanya sebuah tujuan yang ingin di capai, melalui
usaha-usaha yang telah di sepakati dengan bantuan faktor pendukung yang
ada atau yang diperlukan.
2. Adanya rencana yang merupakan alat atau cara tertentu untuk
mencapainya.
3. Adanya program, yaitu cara yang telah disepakati dan mendapat
persetujuan serta pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud.
4. Adanya keputusan,

yaitu tindakan tertentu yang diambil untuk

menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan
dan mengevaluasi program yang sudah ada.
5. Dampak, yakni pengaruh yang terjadi atau timbul dari suatu program
dalam masyarakat (Subarsono,2003).

2.2.2. Langkah – langkah Pengambilan Kebijakan
1. Identifikasi Masalah
Identifikasi masalah adalah mencari masalah yang dihadapi, kemudian
digolongkan menurut jenisnya.Proses pengidentifikasian masalah ini merupakan
langkah awal yang sangat penting, yang akan menentukan langkah-langkah
berikutnya. Kemudian masalah diklasifikasikan menurut sebab, sumber, jenis, dan
bidang. Dalam identifikasi masalah harus dilengkapi dengan data dan fakta yang
ada dilapangan.
2. Penentuan Alternatif
Penentuan alternatif adalah membuat beberapa pilihan penyelesaian
masalah yang dihadapi. Penentuan alternatif merupakan kelanjutan dari

pengidentifikasian masalah dimana dibuat beberapa pilihan dalam pemecahan
masalah sesuai dengan jenis, sumber, bidang alternatif yang ditetapkan, harus
berdasarkan data dan fakta yang ada hingga penyelesaian yang dihasilkan valid
dan dapat dipertanggung jawabkan.
3. Pemilihan Alternatif
Pemilihan alternatif adalah menetapkan pilihan yang terbaik dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan,
setelah dianalisa berdasarkan fakta dan data maka harus ditetapkan pilihan yang
terbaik yang akan dilaksanakan dan menjadi pedoman dalam melakukan tindakan
berikutnya. Oleh karena itu dalam menetapkan alternatif harus berdasarkan
pertimbangan yang matang dengan memperhitungkan akibat dan dampak dari
alternatif yang dipilih. Dan yang terpenting alternatif yang dipilih harus sesuai
dengan sasaran yang ingin dicapai dalam penyelesaian masalah.
4. Penerapan Alternatif
Langkah selanjutnya dalam pengambilan keputusan adalah penerapan
alternatif. Penerapan alternatif adalah melaksanakan alternative terbaik yang telah
ditetapkan untuk menyelesaikan masalah. Penerapan alternative harus sesuai
dengan pilihan yang dianggap paling baik hingga masalah yang ada dapat
diselesaikan secara efektif dan efisien serta tepat pada sasaran.
5. Evaluasi Kebijakan
Langkah akhir yang harus ditempuh dalam membuat keputusan adalah
evaluasi terhadap keputusan yang telah diambil. Evaluasi keputusan adalah
melakukan penilaian terhadap hasil yang dicapai dari penerapan alternative dalam

menyelesaiakan masalah serta akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut
(Subarsono,2003;13).
Menurut Finsterbuch dan Motz dalam Subarsono (2005 : 128) menyatakan
bahwa “ada empat jenis evaluasi” yaitu :
1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan
pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti
setiap variabel yang dijadikan kriteria program. Sehingga analis tidak
mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran terhadap program.
2. Single program before-after, merupakan penyempurnaan dari jenis
pertama yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum
dan setelah program berlangsung.
3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi
tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi keadaan sasaran
bukan sasarannya.
4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain sehingga
informasi yang diperoleh adalah efek program terhadap kelompok sasaran.
Dari empat macam evalusi ini peneliti menggunakan evaluasi single
program before-after. Evaluasi single program before-after digunakan untuk
mengukur bagaimana sebuah kebijakan atau program telah memberikan dampak
terhadap masalah yang terjadi setelah dan sebelum kebijakan atau program
dilaksanakan. Evaluasi single program before-after, yakni dilakukan dengan
membandingkan kebijakan program sebelum dan sesudah kebijakan program
dilaksanakan. dan dengan menggunakan data periode tertentu dalam kebijakan
program untuk mengukur/melihat dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan

kebijakan atau program tertentu. Tipe evaluasi single program before-after ini
akan diturunkan peneliti dengan menggunakan beberapa indikator yang akan
dibahas pada penelitian ini.
Pentahapan proses pembuatan kebijakan merupakan kegiatan yang
tersususun, sebagaimana menurut William Dunn sebagai berikut :
1. Tahapan penyusunan agenda digunakan untuk merumuskan masalah,
mendefinisakan masalah dan memulai proses pembuatan kebijakan
melalui penyusunan agenda.
2. Tahapan formulasi kebijakan, merupakan tahapan yang dilakukan oleh
para pejabat instansi Pemerintah untuk merumuskan alternatif kebijakan
dalam mengatasi masalah. Dalam tahap ini tekhnik peramalan dapapt
dipergunakan untuk menyajikan pengetahuan mengenai timbulnya
kemungkinan masalah ataupun kendalan yang akan terjadi dalam
pencapaian di masa mendatang akibat diambilnya suatu alternatif
kebijakan.
3. Tahapan

adopsi

kebijakan,

merupakan

tahapan

dalam

menginplementasikan suatu kebijakan. Dalam tahap ini suatu rekomendasi
diperlukan sebagai upaya untuk memahami biaya manfaat dari berbagai
alternatif kebijakan dan segala kemungkinan akibatnya dimasa mendatang.
4. Tahapan

implementasi

kebijakan,

merupakan

tahapan

dalam

merealisasikan alternatif kebijakan yang telah dipilih.
5. Tahapan penilaian (evaluasi) kebijakan, dengan melakukan suatu evaluasi
guna mendapatkan pengetahuan yang relevan mengenai hasil kerja
kebijakan (Dunn,1999;72).

2.2.3. Macam-macam Kebijakan
Menurut Wayne (2005) Kebijakan atau keputusan dapat dilihat menurut
bidang tertentu dimana kebijakan itu di keluarkan, antara lain adalah:
1. Kebijakan Publik : Suatu ruang dalam kehidupan yang bukan privat atau
murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum, dan
dibutuhkannya sebuah aturan atau intervensi oleh pemerintahaatau aturan
sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama dalam mengatur dan menata
kehidupan masyarakatnya. Atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah
bagi masyarakat yang memiliki kewenangan yang dapat memaksa
masyarakat untuk mematuhinya.
2. Kebijakan Ekonomi : Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk
mengatasi

permasalahan

ekonomi

yang

terjadi

di

tengah-tengah

masyarakat.
3. Kebijakan Pertahanan dan Keamanan : Kebijakan dari pemerintah untuk
menjaga dan melindungi bangsa dan negara dari ganguan baik itu dari
dalam negeri maupun dari luar negeri.
4. Kebijakan Politik : Keputusan yang dikeluarkan untuk mengatur dan
menjalankan

tiap-tiap

bentuk

dan

pembagian

kekuasaan

dalam

masyarakat.
Dengan dasar ini berarti kebijakan mengenai pelaksanaan program
“PATEN” termasuk kebijakan publik yang merupakan pedoman bagi pelaksanaan
tugas dan fungsi dari pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan terpadu
kepada masyarakat di setiap kecamatan.Dalam realisasinya kebijakan publik perlu

dianalisa secara cermat agar diketahui sampai berapa jauh memberikan mudharat
bagi publik.
Proses analisis kebijakan menurut William Dunn (1999;12) yang berfokus
pada masalah terdiri dari 2 komponen:
1. Komponen informasi yang paling relevan (Policy Relevan Information),
terdapat 5 informasi :
a) Masalah yang harus diatasi
b) Masa depan kebijakan
c) Tindakan kebijakan terbaik
d) Hasil kebijakan
e) Kinerja kebijakan
2. Komponen analisis kebijakan, teknik-teknik untuk menghasilkan informasi
Perumusan masalah, prakiraan masa depan yang hendak diciptakan,
rekomedasi kebijakan, monitoring dan Evaluasi kebijakan.
Untuk memperjelas terlihat pada gambar tersebut :
Kinerja
K bij k
Evaluas

Peramalan
Perumusan
l h

Hasil-Hasil

Masalah

Kebijakan

Masa
D

Perumusan
Pemantauan

l h

Aksi
K bij k

Rekomendas

Gambar 2.1. (Analisis) kebijakan yang berorientasi pada masalah
Kebijakan yang diperoleh selanjutnya diimplementasikan dengan berbagai
kegiatan yang diarahkan pada realisasi program.. Menurut Grindle proses
implementasi kebijaksanaan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan
sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah diperinci, program-program aksi
telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan
tugas-tugas dan sasaran tersebut(Yeremias,1994).
Untuk lebih jelasnya implementasi kebijaksanaan terungkap pada gambar
dibawah ini :
Tujuan-tujuan
Hasil akhir

kebijaksanaan
Tujuan

Kegiatan-kegiatan
dipengaruhi oleh :

Tercapai?

Programprogram aksi
dan

proyek-

proyek
tertentu
dirancang dan

Programprogram
disampaikan
sesuai dengan

implementasi

a. Konten kebijasanaan
yang
1. pihak
kepentingannya
dipengaruhi
2. jenis manfaat yang bisa
diperoleh
3. jangkauan perubahan
pengambilan
4. letak
keputusan
5. pelaksanaan program
6. sumber-sumber
yang
dapat disediakan
b. Konten Implementasi
1. Kekuasaan, kepentingan,
dan strategi-strategi dari
para aktor yang terlibat.
2. Ciri-ciri kelembagaan
3. Konsistensi dan daya
tanggap

PENGUKURAN KEBERHASILAN

Sumber Grindle (dalam Abdul Wahab 1990; 126)
Gambar 2.2. Implementasi Kebijakan

a. Dampaknya
terhadap
masyarakat,
perseorangan
dan kelompok.
b. Tingkat
perubahan dan
penerimaanny
a.

Pada dasarnya kebijakan yang akan diambil dari beberapa alternatif
kebijakan dalam berbagai segi diperhitungkan, kebijakan yang lebih banyak
manfaatnya dibanding kerugiannya itulah biasanya menjadi pilihan kebijakan
yang diambil. Pertimbangan Pemerintahan dalam kebijakan menurut Patton dan
Sakuicki terhadap suatu kebijakan meliputi sebagai berikut(1994):
1. Technical Feasibility, mengukur apakah keluaran (outcome) dari kebijakan
atau program dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan kata lain,
apakah alternative

yang dipilih akan jalan dalam konteks? Misalnya,

apakah program pembangunan jembatan disuatu tempat kian dapat
memecahkan kesulitan trafik ditempat itu? Dalam kaitan dengan kriteria
teknis ini, ada dua sub kriteria pokok yang perlu dibahas yaitu efectiveness
dan adequacy.
a) Effectiveness menyangkut sampai seberapa jauh suatu kebijakan
atau program akan mencapai apayang diinginkan. Kriterium ini
dapat diukur dalam jangka panjang atau pendek, langsung atau
tidak langsung, secara kuantiatif atau tidak, dan pantas atau tidak
(adequate or inadequate).
b) Kriterium adequacy mempersoalkan sampai
kebijakan

atau

program

yang

disarankan

seberapa jauh
akan

mampu

memecahkan persoalan, apakah memecahkan persoalan secara
keseluruhan atau hanya sebagian.
2. Economik and Financial Possibility. Kriteria ini menyangkut evaluasi
ekonomis dari policy atau program yang ada, dan meliputi aspek change in
net work, economic affeciency, profitability, dan cost-effectiveness.

a) Kriterium “change in net worrth” (perubahan dalam nilai)
mempersoalkan apakah satu program dapat merubah kemampuan
ekonomis khususnya dalam assets dan liabilities seperti perubahan
dalam GDP (gros regional product), human capital (tingkat
pendidikan penduduk secara keseluruhan), dan non human
resources (hasil hutan, tambang, dsb).
b) Kriterium “economic efficiency” mempersoalkan apakah dengan
menggunakan sumberdaya yang ada telah diperoleh manfaat yang
lebih tinggi.
c) Profatibility,
pengeluaran

mempertanyakan
proyek

dan

apakah

pemasukan

perbandingan
dari

proyek

antara
tersebut

menguntungkan atau tudak, khususnya dalam konteks keuangan
(misalnya, cost-revenue analysis).
d) Cost-effectiveness adalah kriterium yang menyangkut apakah
tujuan yang dicapai dengan cost yang minim.
3.

Political Viability. Kriteria politik menyangkut lima sub
kriteria yang perlu dipertimbangkanb, yaitu acceptability, appropriateness,
responsiaveness, legal dan equity.
a) Acceptability menyangkut pertumbuhan apakah suatu alternatif
kebijakan dapat diterima oleh aktor-aktor politik dan para klien dan
aktor-aktor lainnya dalam masyarakat.
b) Appropriateness berkenaan denga suatu alternatif kebijaksanaan
tidak merusak atau bertentangan dengan nilai-nilai yang sudah ada
dalam masyarakat.

c) Responsiveness

berkenaan

dengan

apakah

suatu

alternatif

kebijaksanaan, akan memenuhi kebutuhan masyarakat yang ada.
(mungkin suatu policy yang dipilih bersifat efficient dan effective,
tetapi dilihat persepsi masyarakat, tidak memenuhi kebutuhan
mereka)
d) Legal artinya apakah suatu alternatif kebijaksanaan tidak
bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
e) Equity

yaitu

apakah

suatu

alternatif

kebijaksanaan

akan

mempromosi pemerataan dan keadilan dalam masyarakat (mungkin
suatu policy dapat meredistribusikan income, memberikan hak
untuk

memperoleh

pelayanan

minimum,

atau

membayarsuatupelayanan sesuai dengan kemampuan). Kriterium
ini dapat diterapkan antar lokasi pemukiman, kelas income, suku
dan etnik, umur, seks, status keluarga, status pemilikan rumah, dan
antar generasi.
4.

Administrative

Operability.

Kriteria

spesifik

dalam

administrative operability adalah autority, institutional comitment,
capability dan organitazional suppart.
a) Autority berkenaan dengan kewenangan mengimplementasi suatu
policy atau program. Dengan kata lain, apakah organisasi yang
diserahi tugas mengimplementasi program memiliki otoritas yang
jelas untuk melakukan kerja sama dengan unit organisasi yang lain
dalam menentukan prioritas.

b) Institutional

commitment

menyangkut

komitment

dari

administratorlevel atas dan bawah, kantor dan pekerja lapangan.
Kriterium ini penting untuk menilai apakah suatu alternatif
kebijakan bersifat realistis atau tidak.
c) Capability berkenaan dengan apakah organisasi yang akan
mengimplementasikannya dinilai mampu dalam konteks skills dari
staf dan konteks financial.
d) Organizational support berkaitan dengan tersedia tidaknya
dukungan-dukungan peralatan, fasilitas pisik dan pelayananpelayanan lainnya. Apakah dapat dukungan-dukungan tersebut
tersedia apabila dibutuhkan?
Berhasil tidaknya suatu kebijakan dapat diketahui melalui evaluasi
kebijakan dengan yang memiliki fungsi menurut sebagai berikut(Dunn,1999):
1. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja
kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat
dicapai melalui tindakan publik.
2. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang
mendasari pemikiran tujuan dan target.
3. Memberi sumbangan pada aplikasi dan metode analisis kebijakan lainnya,
temasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

2.3. Pendelegasian Wewenang
2.3.1. Pengertian Pendelegasian Wewenang

Organisasi dasar maupun kecil, swata maupun pemerintah, tidak mungkin
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan tanpa adanya sistem wewenang.
Mengenai pengertian wewenang itu sendiri banyak sekali pendapat para ahli
manajemen yang saling berbeda namun pengertiannya secara garis besar tetap
sama.
Menurut Hasibuan (2007:64) wewenang adalah kekuasaan yang sah dan
legal yang dimiliki seseorang untuk memerintah orang lain, berbuat atau tidak
berbuat atau tidak berbuat sesuatu, kekuasaan merupakan dasar hukum yag sah
dan legal untuk dapat mengerjakan sesuatu pekerjaan.
Sutarto (2001:141) berpendapat wewenang adalah hak seseorang untuk
mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas serta tanggung jawabnya dapat
dilaksanakan dengan baik.Berdasarkan defenisi di atas dapat dinyatakan bahwa
wewenang merupakan kemampuan untuk mengambil tindakan yang diperlukan
agar tugas-tugas yang berhubungan dengan pencapaian tujuan dapat dilaksanakan
dengan baik.
Wewenang (Authority) merupakan syaraf yang berfungsi sebagai
penggerak dari pada kegiatan-kegiatan.Wewenang yang bersifat informal, untuk
mendapatkan kerjasama yang baik dengan bawahan.Disamping itu wewenang
juga tergantung pada kemampuan ilmu pengetahuan, pengalaman dan
kepemimpinan.Wewenang berfungsi untuk menjalankan kegiatan yang ada dalam
organisasi. Wewenang dapat diartikan sebagai hak untuk memerintah orang lain
untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu agar tujuan dapat tercapai.

T. Hani Handoko (1999:20) membagi dua pandangan yang saling
berlawanan mengenai sumber wewenang, yaitu :

a.

Teori Formal (Pandangan klasik)
Menurut teori ini, wewenang ada karena seseorang diberikan
atau di limpahkan hal tersebut.Pandangan mengangap bahwa
wewenang berasal dari tingkat masyarakat yang sangat tinggi dan
kemudian secara hukum diturunkan dari tingkat ketingkat.

b.

Teori Penerimaan (acceptance theory of authority)
Teori ini berpendapat bahwa wewenang seseorang timbul hanya
bila hal itu diterima oleh kelompok atau individu kepada siapa
wewenang tersebut dijalankan dan ini tidak tergantung pada penerima
( reciver).

Tanggung jawab (responsibility) akan menyertai wewenang (authority).
Dengan kata lain, bila mana seseorang diberikan wewenang untuk melaksanakan
pekerjaan

tertentu

maka

orang

tersebut

mempunyai

kewajiban

untuk

melaksanakan pekerjaannya. Penerimaan pekerjaan tersebut dikenal dengan
tanggungjawab.Menurut Hasibuan (2007:70) tanggung jawab adalah keharusan
untuk melakukan semua tugas-tugas yang dibebankan kepadanya sebagai akibat
dari wewenang yang diterima atau dimilikinya.Tanggung jawab ini timbul karena
adanya hubungan antara atasan (delegator) dan bawahan (delegate), dimana

atasan

mendelegasikan

sebagian

wewenangnya

kepada

bawahan

untuk

dikerjakan.Bawahan harus benar-benar mempertanggungjawabkan wewenang
yang diterimanya kepada atasan.Jika tidak sewaktu-waktu wewenang itu dapat
ditarik kembali oleh atasan dari bawahannya.
Setelah adanya tugas, wewenang dan tanggung jawab pada tiap-tiap
individu maka selayaknya individu-individu tersebut setuju untuk memberikan
pertanggungjawabannya atas tugas-tugas yang disreahkan kepadanya. Hal ini
berkenaan dengan kenyataan bahwa akan selalu diminta pertanggungjawabannya
atas pemenuhan tugas dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Semua
hal ini yaitu tugas, wewenang, tanggungjawab dan pertanggungjawaban
merupakan unsur-unsur dari pendelegasian wewenang.
Menurut Stoner (2000:434) pendelegasian wewenang adalah pelimpahan
wewenang formal dan tanggung jawab kepada seorang bawahan untuk
menyelesaikan aktivitas tertentu.Pendelegasian wewenang oleh atasan kepada
bawahan adalah perlu demi tercapainya efesiensi dari fungsi-fungsi dalam
organisasi, karena tidak ada seorang atasan manapun yang dapat secara pribadi
merampungkan atau secara penuh melaksanakan dan mengawasi semua tugas
organisasi.
2.3.2. Prinsip Pendelegasian Wewenang
Menurut Koontz et al. (1998:379) ada beberapa prinsip dalam
pendelegasian wewenang, yaitu :
a. Prinsip pendelegasian berdasarkan hasil-hasil yang di harapkan

Wewenang dimaksudkan untuk memberikan kepada manajer sarana
mengelola begitu rupa, sehingga mendekatkan kontribusi kepada tujuantujuan perusahaan, maka wewenang yang didelegasiakn kepada seorang
manajer harus sepadan untuk menjamin kemampuan mencapai hasil-hasil
yang diharapkan.

b. Prinsip defenisi fungsional
Pengembangan departemen mengharuskan aktifitas dikelompokkan
untuk memudahkan pencapaian tujuan dan manajer dari setiap sub divisi
harus mempunyai wewenang untuk mengkoordinasikan aktivitasnya dengan
organisasi sebagai keseluruhan. Semakin jelas defenisihasil-hasil yang
diharapkan suatu posisi atau departemen, aktivitas-aktivitas yang harus
dilakukan, wewenang organisasi yang didelegasikan dan hubunganhubungan wewenang serta informasi dengan posisi lain yang dipahami,
maka semakin sepadanlah tanggung jawab individual dapat memberi
sumbangannya kepada pencapaian tujuan organisasi.

c. Prinsip skalar

Prinsip skalar mengacu pada rantai hubungan wewenang langsung
dari atasan kepada bawahan di seluruh organisasi.Wewenang organisasi
yang pokok harus terletak di suatu tempat.Semakin jelas garis wewenang
dari manajer atas dalam sebuah perusahaan kepada setiap kedudukan
bawahan, semakin efektiflah tanggung jawab pembuat keputusan dan
komunikasi dalam organisasi.

d. Prinsip tingkat wewenang
Defenisi

fungsional

ditambah

dengan

prinsip

skalar

akan

menimbulkan prinsip tingkat wewenang. Prinsip tingkat wewenang akan
menjadi pemeliharaan terhadap pendelegasian yang disengaja menuntut
bahwa keputusan-keputusan di dalam kompetensi wewenang perorangan
harus mereka ambil dan tidak boleh diteruskan ke atas dalam struktur
organisasi. Dengan kata lain, para manajer pada setiap tingkatan harus
mengambil keputusan manapun yang dapat mereka lakukan dipandang dari
sudut wewenang yang didelegasikan kepada mereka dan hanya masalahmasalah yang tidak mereka putuskan karena batas-batas wewenang yang
harus diteruskan kepada atasan.

e. Prinsip kesatuan komando
Prinsip ini menjelaskan bahwa semakin sempurna seseorang
mempunyai hubungan laporan kepada atasan tunggal, semakin berkurang

masalah konflik dalam instruksi-instruksi dan semakin besar rasa tanggung
jawab pribadi terhadap hasil-hasil.

f. Prinsip kemutlakan tanggung jawab
Prinsip kemutlakan tanggung jawab menyatakan bahwa tanggung
jawab atasan terhadap pelaksanaan aktivitas bawahannya dan tanggung
jawab bawahan kepada atasannya mengenai pelaksanaan tugas yang
dilimpahkan kepadanya adalah mutlak.Hal ini dikarenakan tanggung jawab
yang merupakan kewajiban terhadap seseorang tidak dapat didelegasikan.

g. Prinsip keseimbangan wewenang dan tanggung jawab
Prinsip ini menyatakan bahwa karena wewenang adalah hak yang
boleh dipergunakan menurut kebijakan sendiri untuk menjalankan tugastugas dan karena tanggung jawab adalah kewajiban untuk menyelesaikan
maka secara logis wewenang harus seimbang dengan tanggung jawab.

2.3.3. Peranan Pendelegasian Wewenang
Pendelegasian wewenang mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam suatu
organisasi. Tanpa adanya pendelegasian wewenang akan mengakibatkan
tersendatnya kegiatan dalam pencapaian tujuan organisasi.

Menurut Stoner (2000:446) beberapa peranan pendelegasian wewenang dalam
organisasi adalah :
a.

Dengan adanya pendelegasian wewenang karyawan dapat melakukan tugastugas yang pokok dan strategis bagi kelangsungan organisasi. Semakin
banyak tugas karyawan yang dapat didelegasikan maka semakin besar
peluangnya untuk mencari dan menerima tanggung jawab dari manajer. Jadi
manajer berusaha mendelegasikan wewenang bukan hanya pada hal-hal yang
rutin saja melainkan juga tugas-tugas yang membutuhkan pikiran dan
prakarsa sehingga karyawan dapat berfungsi maksimal bagi organisasi.

b.

Dengan adanya pendelegasian wewenang manajer akan mendapat hasil
keputusan yang lebih akurat dan lebih baik karena para karyawanlah yang
paling dekat dengan pokok permasalahannya. Meski cenderung memiliki
suatu pandangan yang jelas tentang fakta-fakta yang diperlukan dalam
mengambil keputusan.

c.

Melalui pendelegasian wewenang keputusan dapat lebih cepat diambil karena
tidak harus meminta persetujuan dari atasan. Apabila para bawahan tidak
memiliki wewenang yang cukup untuk mengambil keputusan dalam suatu
persoalan maka ia akan selalu bertanya kepada atasannya. Hal ini tentu saja
akan memakan waktu yang tidak sedikit, oleh karena itu bawahan perlu diberi
wewenang untuk mengambil keputusan.

d.

Pendelegasian wewenang menyebabkan rasa tanggung jawab dan inisiatif
terhadap organisasi menjadi lebih besar. Pejabat yang memiliki wewenang,
tanpa menunggu perintah apabila menemukan masalah yang masih dalam

batas wewenangnya akan berupaya menemukan jalan keluar terhadap
penyelesaian masalah tersebut.
e.

Adanya pendelegasian wewenang merupakan latihan bagi para anggota
organisasi apabila kelak ia menduduki jabatan yang lebih tinggi. Anggota
organisasi yang tidak pernah diberi wewenang yang lebih besar maka apabila
ia menduduki jabatan yang lebih tinggi akan menjadi canggung dan perlu
waktu lama untuk menyesuaikan diri.

f.

Pendelegasian wewenang mengakibatkan komunitas pekerjaan akan dapat
lebih terjamin. Hal ini dapat terlihat jika ada salah satu anggota organisasi
yang berhalangan untuk melaksanakan pekerjaannya, maka dengan adanya
pendelegasian wewenang tugas terrsebut dapat diambil alih sehingga
kontinuitas organisasi tidak akan terganggu.

2.3.4. Pendelegasian Wewenang yang Efektif
Pendelegasian wewenang merupakan penugasan wewenang dan tanggung
jawab kepada bawahan.Dengan adanya pendelegasian wewenang berarti semua
keputusan tidak tersentralisasi pada pimpinan puncak. Komponen yang mendasar
dalam proses pendelegasian wewenang adalah penetapan hasil-hasil yang
diharapkan, penentuan tugas dan tanggung jawab secara jelas untuk mencapai
hasil yang telah diharapkan dan pertanggungjawaban hasil-hasil yang telah
dicapai.
Pendelegasian wewenang tidak dapat dengan pasti diukur keefektifannya,
tetapi ada beberapa prinsip yang dapat dikembangkan agar pelaksanaan

pandelegasian wewenang itu efektif. Fungsi atasan dalam hal ini adalah
menyediakan bimbingan dan informasi sehingga loyalitas bawahan akan semakin
besar dalam pencapaian tujuan.
Suatu pendelegasian wewenang tidak berarti lepas dari pengawasan, hasilhasil yang telah dicapai dapat dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan
sebagai umpan balik dan penentuan prestasi kerja. Beberapa cara untuk membantu
manajer melakukan delegasi yang efektif, yaitu :
1.

Menerangkan dengan jelas rencan-rencana dan kebijakan-kebijakan
artinya seorang bawahan akan menyusun rencana-rencana petunjuk
atasannya. Atasan memberikan penuntun ke arah pemikiran dan
rencana-rencana yang tersedia yang dapat mempengaruhi bidang
pengambilan keputusan.

2.

Rincian tugas-tugas pekerjaan dan wewenang secara jelas.

3.

Memilih orang yang tepat untuk pekerjaa yang ditugaskan.

4.

Peliharalah garis-garis komunikasi yang terbuka.

5.

Tetapkanlah alat-alat pengendalian yang baik.

6.

Berikanlah insentif bagi delegate yang efekti dan sukses.

7.

Adakanlah human relations yang baik, agar jurang sosial budaya
diperkecil.
BAB III
METODE PENELITIAN