Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB I

SATU

DAYAK MEMPERTAHANKAN
IDENTITAS

Latar Belakang
Dampak negatif pelaksanaan pembangunan yang dirasakan pada
era reformasi adalah terjadinya konflik di beberapa daerah serta
menguatnya gejala konflik baru, baik yang bersifat sosial-horisontal
maupun yang bersifat politik-vertikal, termasuk yang terjadi di
Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah. Menguatnya
gejala konflik ini harus dipandang sebagai salah satu implikasi negatif
dari kebijakan pembangunan dan hubungan pusat-daerah yang
tersentralisasi pada era terdahulu (masa pemerintahan Orde Baru).
Salah satu konflik sosial yang mengemuka dan terjadi hampir
diseluruh pelosok republik ini sejak masa pemerintahan Hindia
Belanda dan Indonesia (paska kolonial) terkait dengan konflik tanah
yang terus berlangsung dan semakin ruwet. Bachtiar (2005) dengan
mengutip pendapat Aditjondro (1995) mencatat secara garis besar, ada
lima jenis konflik yang memberikan „kekuatan bertahan‟ kepada
konflik-konflik tanah di Indonesia, yakni; (a) konflik-konflik

„mayoritas-minoritas‟ yang umum berlaku di Indonesia; (b) konflikkonflik antara warganegara (citizen) versus negara (state) yang umum
terjadi di negara-negara di mana kedudukan negara sangat kuat vis-âvis warganya; (c) konflik-konflik politis-ekologis yang khas di Asia
Tenggara; (d) konflik antara sistem-sistem ekonomi yang berbeda; (e)
1

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

konflik antara ekosistem-ekosistem yang berbeda; dan akhirnya (f)
konflik antara sistem-sistem hukum yang berbeda.
Konflik tanah umumnya terjadi di daerah-daerah yang memiliki
potensi sumber daya alam yang memungkinkan untuk dimanfaatkan
bagi kepentingnya pembangunan. Dari tanah ini muncul persoalan
konflik yang lebih spesifik meliputi; konflik pertambangan, konflik
kehutanan, konflik perkebunan dan konflik diakibatkan datangnya
transmigrasi.
Sejak dikeluarkan kebijakan deregulasi berupa UU tentang
Pemananaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan UU tentang
Pemanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968, maka
pemerintah yang berkuasa pada saat itu (Soerharto) mengundang

seluas-luasnya para investor untuk menanamkan modalnya ke
Indonesia mengeksplotasi potensi sumber daya alam. Caranya adalah
dengan memberikan berbagai konsesi atau perijinan, seperti Hak
Penguasaan Hutan (HPH); Hutan Tanaman Industri (HTI); Kuasa
Pertambangan (KP); Kontrak Karya (KK); dan Hak Guna Usaha (HGU).
Bagi industri pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) diberi izin
untuk mengeksploitasi pohon-pohon yang bernilai ekonomis dalam
areal tertentu yang diberikan. Dampaknya tentu saja sangat mudah
ditebak: perusakan hutan massif yang sistematis, tanah longsor, banjir
sampai kebakaran hutan. Namun, hal yang paling buruk adalah
penyingkiran “komunitas adat” dari rumahnya dan hilangnya akses
mereka atas hutan. Pemberian HPH tidak pernah berhenti dan terus
berlangsung hingga saat ini.
Hal yang sama juga terkait dengan pemberian Kuasa
Pertambangan (KP) dan atau Kontrak Karya (KK) kepada perusahaan
pertambangan. Argumentasi yang selalu digunakan pemerintah untuk
memberi KP atau KK kepada perusahaan pertambangan, klaimnya
selalu tentang upaya menghadirkan kesejahteraan. Logikanya adalah
investasi pertambangan skala besar yang masuk suatu daerah tentunya
akan mendapat penghasilan yang besar pula yang selanjutnya

digunakan untuk membiayai dan mendukung proyek-proyek
pembangunan. Selain itu, kehadiran perusahaan besar juga memberi
2

Dayak Mempertahankan Identitas

manfaat kesejahteraan bagi kawasan di sekitar pertambangan melalui
serapan tenaga kerja maupun “kesejahteraan yang menetes” berupa
kebangkitan ekonomi kawasan sekitar tambang, seperti pandangan
aliran ekonomi neoklasik yang memahami pertambangan sebagai
fungsi produksi suatu negara untuk menghasilkan ouput berupa tenaga
kerja, modal, energi, dan material (Davis dan Tilton, 2002:5).
Pertambangan juga dianggap mampu memfasilitasi transfer
teknologi dan inovasi yang digunakan oleh perusahaan pertambangan
(Sachs, 1970). Dengan adanya teknologi mutakhir, pengelolaan
pertambangan menjadi lebih baik. Selain ada transfer teknologi,
pemerintah dan masyarakat lokal dinilai juga akan memperoleh
banyak manfaat, seperti lapangan pekerjaan, pembelian lahan, proyek
infrastruktur, investasi komunitas, kompensasi, dan ragam instrumen
CSR (Corporate Social Responsibility). Dengan kata lain, masuknya

perusahaan tambang terutama yang skala besar tidak hanya
memberikan dampak positif bagi pemerintah nasional, tapi jugà
terhadap masyarakat lokal sekitar tambang. Argumentasi inilah yang
selalu digunakan pemerintah untuk membenarkan pemberian KP dan
KK bagi usaha pertambangan.
Namun di balik argumentasi tersebut, sebuah laporan Oxfam
berjudul Digging to Development? A Historical Look at Mining and
Economic Development menunjukkan bahwa pertambangan tidak
banyak memberi efek positif bagi sebuah negara. Dalam laporan
tersebut, ditunjukkan bahwa pertambangan memiliki kontribusi yang
sangat kecil bagi pendapatan suatu daerah, terutama di Amerika
Serikat, Kanada, dan Australia. Selain itu, perkembangan ekonomi
lokal di kawasan pertambangan ternyata juga bukan lantaran dampak
dari sektor pertambangan itu sendiri (Power, 2002). Negara atau
daerah yang mengeksploitasi sumberdaya alam secara besar-besaran
tidak selalu memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bahkan
beberapa variabel menunjukkan pertumbuhan ekonomi berjalan lebih
lambat dibanding dengan Negara atau daerah yang tidak bergerak di
sektor pertambangan (Sachs dan Warner, 1997;2001). Dengan kata
lain, argumentasi pendapatan daerah maupun pertumbuhan ekonomi

3

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

yang diklaim oleh negara terkait dengan manfaat adanya
pertambangan tidak selalu relevan dan kurang meyakinkan (Yuwono,
dll, 2012).
Kehadiran pertambangan skala besar bahkan dituduh sebagai
biang keladi konflik yang ada di masyarakat. Oleh karena itu, ketika
muncul perusahaan tambang besar, kebanyakan akan diikuti dengan
berbagai konflik, baik horizontal maupun vertikal. Kasus conflict
diamonds di Angola, Sierra Leone, dan Kongo mengonfirmasi argumen
tersebut. Di tiga negara ini, conflict diamonds telah menciptakan
konflik sosial yang masif, bahkan tingkat kemiskinan yang ekstrem
(Goreux, 2001). Parahnya, pejabat-pejabat negara yang korup
memelihara conflict diamonds itu untuk memperoleh keuntungan
pribadi. Kasus serupa juga banyak terjadi di Indonesia, seperti yang
ditunjukkan oleh Ngadisah (2003) terkait dengan hadirnya PT Freeport
Indonesia di Papua. Konflik-konflik demikian selalu mengorbankan

warga sekitar pertambangan dan menguntungkan elite-elite lokal
setempat (Jatam 2005, 2006; Maimunah, 2012).
Kehadiran pertambangan, khususnya di Indonesia, telah
memberikan dampak buruk terhadap kerusakan lingkungan. Jutaan
hektar hutan yang digunduli, gunung-gunung yang dikeruk, dan
sungai-sungai yang tercemar, tidak lain adalah ulah perusahanperusahaan pertambangan besar yang tidak bertanggung jawab
(Aditjondro, 2003a, dan 2003b). Dari kerusakan itu, lagi-lagi
masyarakat kecil yang menjadi korban (bahkan dikorbankan).
Kemudian, dampak yang tidak kalah mengerikan dari keberadaan
pertambangan adalah terjadinya bencana. Publik telah mengenal luas
bagaimana kasus Lumpur Lapindo telah menghabisi kehidupan dan
penghidupan warga Sidoarjo di puluhan desa. Juga pencemaran Teluk
Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, yang menjadi bukti tentang
begitu berbahayanya dampak pertambangan serta bencana lainnya.
Bencana yang diakibatkan oleh tangan manusia atau man-made
disaster semacam inilah yang perlu diwaspadai (Batubara, 2010).
Jika demikian adanya, kehadiran perusahaan pertambangan
adalah demi kesejahteraan sebenarnya hanyalah mitos-mitos
4


Dayak Mempertahankan Identitas

pembangunan (Burger, 2002:8-34) dengan mantranya there is no
alternative.1 Pemerintahan masa Soeharto (orde baru) hingga masa
pemerintahan SBY terus menekankan mitos ini kepada publik dan
mencoba menutup mata terhadap suara-suara efek buruk dari
pertambangan dan lebih percaya pada pentingnya pertumbuhan
ekonomi, terbukanya lapangan pekerjaan, dan kebangkitan ekonomi
dengan hadirnya perusahaan tambang besar.
Di sisi lain ketidak-siapan masyarakat disekitar tambang menjadi
masalah besar ditunjukkan hanya sebagian kecil warga yang mampu
melihat dan memanfaatkan peluang untuk mengejar keberhasilan
tanpa kendala sosial, sementara sebagian terbesar warga semakin
terpuruk dalam persaingan yang tidak seimbang (unfair competition)
(Ngadisah, 2003:7). Dampaknya adalah masyarakat sekitar tambang
pada akhirnya hanya menjadi tenaga kasar yang penghasilannya
bahkan lebih rendah bila dibandingkan dengan kehidupannya sebelum
masuknya perusahaan tambang.
Dengan memaksakan adanya industri pertambangan di tengahtengah kehidupan masyarakat, hal ini bisa dibaca sebagai upaya
penyingkiran tradisi dan identitas masyarakat. Alasan inilah yang

menjadi dasar mengapa sering terjadi perlawanan bahkan penolakan
hadirnya perusahaan tambang di berbagai daerah di Indonesia. Sebab,
ancamannya memang begitu serius, yakni menyangkut keberlanjutan
kehidupan mereka.
Terkait dengan perlawanan hadirnya perusahaan tambang
bukanlah hal baru. Dewi (2005) meneliti kehadiran PT Newmont
Minahasa Raya di Teluk Buyat ternyata memicu munculnya konflik.
Dari hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa banyaknya pihak
yang berkepentingan dalam pelaksanaan kebijakan investasi dan
pertambangan menyebabkan orientasinya lebih bersifat ekonomi.
Kebijakan di sektor lingkungan hidup juga mendukung kebijakan di
Matra there is no alternative mempercayai hanya perusahaan-perusahaan
mutltinasional sajalah yang mendatangkan kemakmuran bagi semua. Peran negara
sebagai pelindung rakyat dibatasi karena dipercaya akan memperlancar terciptanya
pertumbuhan ekonomi (Sutopo, 2012).

1

5


ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

atas, dapat dilihat dengan mudahnya mengeluarkan ijin pembuangan
limbah ke laut membawa dampak hancurnya kehidupan masyarakat.
Di Kalimantan Tengah, suku Dayak, Kutai, Banjar dan Bugis
melakukan perlawanan terhadap PT KEM atas dampak negatif yang
telah ditimbulkannya. Dari menggelar demonstrasi di lapangan, kantor
pemerintah dan parlemen di setiap level meminta pemerintah dan
parlemen sampai memobilisasi dukungan internasional menentang PT
KEM (Situmorang, 2007).
Perusahaan terbesar nikel dunia, Inco mendapatkan perlawanan
dari masyarakat lokal, ornop lokal, nasional dan internasional. Strategi
gerakan yang dilakukan adalah mendatangi anggota parlemen untuk
menekan mereka mendukung perjuangan; mendatangi Komisi
Nasional atas Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jakarta untuk
menyampaikan pelanggran HAM yang dilakukan oleh Inco; dan yang
terakhir memobilisasi dukungan internasional menekan Inco untuk
menghormati dan bertanggungjawab terhadap kerusakan lingkungan
hidup dan rakyat Onopute dan Bohumatefe Sulawesi Tengah (Jatam,

2003). Di Sumbawa, masyarakat lokal didukung Jatam dan Yayasan
Olah Hidup menentang aktivitas Newmont Nusa Tenggara karena
membawa dampak serius terhadap kehidupan rakyat dan lingkungan
hidup. Mereka melakukan aksi demonstrasi dan petisi ke media agar
Newmont Sumbawa mengembalikan tanah dan memberikan
kompensasi atas tanah yang telah dirampas serta oleh Newmont serta
transparan atas dampak negatif membuang limbah tailing ke dasar laut
melalui pipa-pipa raksasa
Terkait dengan konflik seperti yang dijelaskan di atas, banyak
pihak terutama yang terlibat dalam pertambangan, menurut Amnah
(2006) terdapat 6 (enam) jenis tema substansi konflik, yaitu: konflik
lokasi, konflik ekonomis barang tambang, konflik penggunaan lahan,
konflik pemahaman, konflik perijinan, dan konflik pengelolaan
kegiatan penambangan. Akar permasalahan konflik adalah perbedaan
nilai, dan perbedaan kepentingan terkait dengan kegiatan
penambangan.

6

Dayak Mempertahankan Identitas


Konflik kepentingan juga terjadi antara antara PT Timah Tbk
dengan pemerintah Kabupaten Bangka disebabkan isu tata niaga timah,
isu peningkatan PAD yang membebani PT Timah tbk, isu tambang
inkonvensional yang dilindungi oleh Peraturan Daerah (Perda)
Kabupaten Bangka, isu legalitas pertambangan rakyat serta isu
penggunaan alat berat yang mengancam cadangan timah milik PT
Timah tbk. Konflik kepentingan lainnya juga terjadi antara PT Timah
tbk dengan smelter milik AITI disebabkan inkonsistensi implementasi
kebijakan royalti. Pada akhirnya hasil penelitian Sahani (2006)
memperlihatkan bahwa interaksi konflik diwarnai dengan upaya
masing-masing pihak mendayagunakan koneksi politik yang dimiliki
guna mempengaruhi kebijakan pertambangan timah. Dengan kata lain
keterlibatan aktor penting terutama aktor politik seperti yang
diungkapkan oleh McCarthy (2007).
Bagi orang Dayak usaha pertambangan bukanlah hal baru, seperti
yang ditunjukkan dari hasil penelitian Heidhues (2008) yang
menyatakan bahwa pertama kali ditemukan di Borneo Barat
(Kalimantan Barat) sekurang-kurangnya sejak tahun 1808 oleh seorang
kapten kapal atau pedagang Inggris bernama J. Burn. Setelah adanya
penemuan ini sewaktu masa pemerintahan Hindia Belanda terutama
masa pemerintahan Raffles melalui “Vereenigde Oostindische
Compagnie” (VOC) dengan menggandeng kelompok masyarakat
Tionghoa yang tinggal di Distrik Tionghoa Kalimantan Barat
mengembangkan usaha pertambangan. Selanjutnya menurut Heidhues
koloni besar orang Tionghoa di Kalimantan Barat setiap tahunnya
selalu mengekspor emas, karena emas ditemukan luas di Borneo
meskipun jumlahnya kecil. Beberapa sungai membawa pasir
bercampur emas, sehingga memungkinkan mendulangnya untuk
mendapatkan bijih emas. Emas merupakan salah satu barang dagangan
yang diperdagangkan oleh penduduk daerah hulu kepada para
pemegang hak upeti mereka dan kepada para penguasa pesisir. Para
penguasa menaburi diri dengan perhiasan emas, cangkir, mangkuk dan
barang-barang lainnya termasuk pakaian yang ditenun dengan benang
emas.
7

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Semua penduduk Borneo pada dasarnya melakukan kegiatan
penambangan emas, namun kegiatan ini biasanya dianggap sebagai
pekerjaan sederhana dan mudah. Dipihak lain usaha penambangan
tidaklah demikian kenyataannya karena membutuhkan modal dan
teknologi yang tinggi. Usaha yang sama juga dilakukan oleh
masyarakat adat Dayak Siang, Dayak Murung dan Dayak Bakumpai
yang kemudiaan disebut sebagai Dayak Siang Murung2 dengan cara
mendulang dan atau melunas dalam bahasa Dayak yang tinggal di
wilayah Kecamatan Permata Intan; Kecamatan Tanah Siang;
Kecamatan Murung; Kecamatan Laung Tuhup; serta wilayah
Kecamatan Murung, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah
(Haridison, 2006).
Meskipun tidak ada refrensi tertulis, tetapi menurut masyarakat
Dayak Siang Murung, menemukan emas adalah berawal dari seorang
leluhur Dayak, warga Desa Tomolum bernama Engoh yang sedang
berburu babi. Engoh mengejar buruannya hingga berada di tepian
Sungai Ocin (anak Sungai Bantian, Kecamatan Permata Intan). Babi
yang dikejar tersebut lari dan bertahan di sebuah gua. Pada akhirnya
babi tersebut berhasil ditangkap dan dibunuh. Pada tubuh babi secara
tidak sengaja ditemukan butiran-butiran emas bercampur tanah pasir
yang menempel di bulu-bulu babi buruannya dan butiran-butiran
emas tersebut dikumpulkannya. Sebagai tradisi, daging babi tadi
dibagikan kepada semua warga sekitarnya. Sejak saat itu masyarakat
mengetahui bahwa Sungai Ocin mengandung bijih emas. Kemudian
disusul dengan penemuan di sungai lain, yaitu Sungai: Tingon, Luit,
Talaon, Muro, Malau, Ontu, Talui Murung, Ucang, Lomi, Ma‟an,
Kunyi, Sebunut, Mandaun, Sopan, Tojang. Sungai-sungai ini sekarang
berada di empat kecamatan di Kabupaten Murung Raya (YBSD, 1996).
Bagi orang Dayak Siang Murung, emas digunakan sebagai benda
adat atau budaya dalam beberapa acara ritual termasuk saat persiapan
perkawinan maupun kematian karena emas melambangkan
2 Bagi kami orang Dayak di Oreng Kambang, kumpulan Dayak Siang, Dayak Murung
dan Dayak Bakumpai kali namakan “Dayak Siang Murung” (Wawancara tanggal 11 Juli
2016, di Desa Oreng Kambang.

8

Dayak Mempertahankan Identitas

kemurnian, kemuliaan, keluhuran dan kesucian. Pada saat perkawinan
emas dijadikan sebagai emas kawin (bulou singah siru) dan pada saat
kematian dijadikan sebagai bekal untuk di akhirat (ponguma) yang
dikenakan atau diberikan untuk orang mati. Lazimnya ponguma juga
diberikan kepada orang yang semasa hidupnya merupakan tokoh
terpandang, kaya, terhormat, berjasa, serta yang berperan dalam adat.
Emas juga bisa dijadikan tolak ukur kekayaan seseorang dalam
masyarakat Dayak Siang Murung selain dari pada kepemilikkan atas
barang-barang lainnya, seperti guci, piring antik, senjata pusaka, dan
sebagainya (YBSD, 1998).
Awalnya masyarakat Dayak Siang Murung menambang di sungaisungai secara tradisional dengan peralatan sederhana, menggunakan
dulang kecil, angkatan, dan linggis untuk membongkar batu-batu
besar. Dalam perkembangannya para penambang kemudiaan
menggunakan mesin pompa air serta mesin penumbuk batu yang
selanjutnya didulang (dicuci) atau dengan menggunakan zat asam
tambang (sianida dan mercury) untuk mendapatkan emasnya.3
Meskipun sudah ada usaha penambangan rakyat, tetapi pemerintah
tetap mengeluarkan ijin pertambangan.
Kehadiran PT IMK dimulai dengan survey di sekitar kawasan
Gunung Moro pada tahun 1983 dan hasilnya kawasan ini dinilai
mempunyai potensi emas yang “layak secara ekonomis” untuk
dieksploitasi. PT IMK kemudian mengajukan ijin KK kepada
pemerintah Indonesia dan resmi memperoleh ijin Kontrak Karya (KK)
Generasi III untuk Bahan Galian Emas dan Mineral Pengikut dari
Presiden RI pada tahun 1985. Meskipun memperoleh ijin
penambangan tahun 1985, tetapi pengoperasian PT IMK dimulai pada
tahun 1993 dengan tahapan konstruksi dan awal tahun 1994 mulai
berproduksi.
Persoalan kemudiaan muncul ketika PT IMK harus beroperasi,
lokasi penambangan harus “dibersihkan” dengan cara “menggusur dan
mengusir” para penambang rakyat yang umumnya adalah masyarakat
Hasil wawancara dengan para penambang tanggal 14 Mei 2013 di Oreng Kambang
dan hasil observasi tahun 2013.

3

9

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

adat Dayak Siang Murung yang sudah beroperasi sejak tahun 1979.
Dibantu aparat keamanan negara, PT IMK menggusur dan mengusir
para penambang dari sisa-sisa lobang mesin tumbuk batu, rumahrumah penduduk dengan menggunakan traktor dan gergaji listrik.
Penggusuran dan pengusiran ternyata tanpa ganti rugi dimulai tahun
1987 karena dikategorikan sebagai penambang ilegal atau disingkat
PETI.
Penggusuran dan pengusiran tentunya mendapat perlawanan dari
para penambang dan masyarakat adat Dayak Siang Murung. Puncak
perlawanan terjadi ketika PT IMK pada tahun 2005 hendak
memperluas wilayah eksploitasi tambangnya dibawah kaki Gunung
Puruk Kambang. Hal ini terjadi karena bagi masyarakat adat Dayak
Siang Murung terutama penganut agama asli Dayak (Kaharingan)
Gunung Kambang merupakan kawasan suci yang perlu dijaga
keberadaannya. Walaupun mendapatkan perlawanan dari masyarakat
dan juga belum memperoleh Ijin Pelepasan Kawasan Hutan (IPPKH)
dari Menteri Kehutanan, PT IMK tetap melakukan penambangan
karena kawasan ini termasuk wilayah eksploitasi sesuai dengan ijin
yang diberikan negara. Dengan pengawalan ketat dari aparat keamanan
PT IMK terus melakukan penambangan di kaki Gunung Puruk
Kambang.4
Selain mengalami penggusuran dan pengusiran, perlawanan
masyarakat di berbagai desa di sekitar pertambangan PT IMK juga
merasakan dampak negatif terkait rusaknya kondisi lingkungan hidup
seperti yang dilaporkan Ekspedisi Khatulistiwa (2012). Dampak negatif
yang dimaksud antara lain; pencemaran sungai akibat pembuangan
limbah dari bahan bakar pembangkit listrik (batu bara dan oli) maupun
dari limbah pencucian emas dengan menggunakan zat asam tambang
(sianida dan mercury), hilangnya anak sungai, serta perubahan bentang
lahan yang diakibatkan pola penambangan open pit area dan gejolak
sosial terkait dengan permasalahan kemiskinan.

4

Hasil wawancara dengan Kaji pada tanggal 14 Mei 2015, di Palangkaraya

10

Dayak Mempertahankan Identitas

Berdasarkan hal di atas, mudah dipahami mengapa orang Dayak
Siang Murung melakukan perlawanan terhadap PT IMK bermunculan
satu demi satu. Meskipun pihak PT IMK sudah melakukan pendekatan
dengan masyarakat secara langsung maupun melalui pemerintah
daerah (provinsi dan kabupaten) dan juga lembaga adat Dayak
bentukan pemerintah, seperti Majelis Adat Dayak (MAD) dan Dewan
Adat Dayak (DAD), sampai menempuh jalur hukum apabila ada
permasalahan dengan masyarakat. Namun perlawanan menentang
kehadiran PT IMK terus bertumbuh dan berkembang.
Bagi orang Dayak Siang Murung, kehadiran PT IMK lebih banyak
membawa kerugian dari pada manfaat sehingga tidak dapat dicegah
tumbuhnya reaksi perlawanan dari mereka, utamanya para penambang
dan masyarakat adat Dayak Siang Murung yang bermukim di sekitar
lokasi penambangan PT IMK, tepatnya di desa Oreng Kambang.
Gerakan perlawanan ini bahkan memakan korban ketika mereka
melakukan aksi turun ke jalan memblokir kegiatan penambangan
terutama pada pabrik pengolahan dan jalan-jalan yang menuju lokasi
tambang PT IMK pada akhir bulan Juni 2000. Mereka harus
berhadapan dengan aparat keamanan dengan senjata lengkap dan
melakukan penembakan kepada masyarakat yang melakukan aksi
demonstrasi.
Sementara konflik terus berlangsung, muncullah sejumlah
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang hadir untuk membela
kepentingan para penambang, seperti Yayasan Bina Sumber Daya
(YBSD), Walhi, Jatam, Alperudi, YLBHI, PBHI, Elsam, dan LBH
Jakarta yang kemudiaan bergabung menjadi Tim Advokasi Tambang
Rakyat (TATR).5 Berbagai upaya yang dilakukan oleh TATR,
diantaranya melakukan gugatan ke pengadilan hingga melakukan
dialog dengan komisi VIII dan Menteri Pertambangan dan Energi
tahun 2013.

5 Kumpulan dokumen dari kelompok perlawanan masyarakat Adat Siang Murung
khususnya di Desa Oreng Kambang, Kecamatan Siang Selatan, Kabupaten Murung
Raya.

11

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Selain PT IMK, kelompok masyarakat desa Oreng Kambang juga
membangun jaringan dengan Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak
Daerah Kalimantan Tengah atau disingkat LMMDDKT, seperti yang
diberitakan harian Megapos (kamis, 31 Januari 2013) dan surat tanpa
nomer yang dikirimkan oleh masyarakat wilayah Desa Oreng Kambang
tertanggal 29 Januari 2013 kepada LMMDDKT. Dalam pernyataannya,
Diter Dua, perwakilan tokoh dan adat bahwa; “kami masyarakat Desa
Oreng Kambang memohon LMMDDKT untuk mendampingi kami
dalam menghadapi PT IMK yang telah melakukan pelanggaran”,
karena sudah mengancam kelestarian situs budaya Puruk Kambang.
Dihadirkannya perusahaan tambang di pedalaman Kalimantan
Tengah khususnya disekitar wilayah Dayak Siang Murung,
diasumsikan dalam jangka panjang dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat setempat, ternyata tidak selamanya disambut dengan
kegembiraan dan sikap-sikap positif lainnya. Dalam kasus PT IMK,
bahkan warga masyarakat di desa Oreng Kambang sudah sejak awal
telah menunjukkan reaksi protes. Seiring dengan berjalannya waktu,
reaksi protes ini berkembang menjadi gerakan perlawanan untuk
mengambil-alih kembali lobang-lobang tambang yang mereka miliki
dan tetap mempertahankan keberadaan situs Gunung Puruk Kambang
sebagai wilayah tempat suci bagi orang Dayak.
Fakta-fakta di atas kemudiaan diangkat untuk menjadi topik
diskusi dan perdebatan di berbagai media sosial karena gencarnya para
pengusaha tambang untuk masuk ke Kalimantan Tengah menggali dan
mengeksploitasi barang tambang. Berkembangnya diskusi dan
perdebatan di berbagai media sosial kemudiaan mampu menciptakan
ruang publik baru yang kemudiaan dinamakan sebagai ruang publik
virtual (Sari dan Royke, 2015). Ruang publik virtual ini menarik karena
merupakan “ruang imajiner” atau “maya” yang bersifat artifisial
(buatan) dan setiap orang termasuk orang Dayak Siang Murung dapat
melakukan apa saja termasuk melakukan gerakan perlawanan dengan
cara “baru” tanpa dibatasi (bounderies) oleh berbagai kepentingan
termasuk kepentingan negara. Disisi yang lain, PT IMK bukanlah
perusahaan tambang nasional yang dibatasi oleh batas kekuasaan
12

Dayak Mempertahankan Identitas

negara, tetapi perusahaan multinasional yang hanya bisa didekati
dengan membangun jaringan komunikasi menggunakan internet
melalui ruang publik virtual agar dapat membingkai isu-isu terkait
pelanggaran yang dilakukan khususnya terhadap hak-hak masyarakat
adat Dayak Siang Murung.
Kasus yang menarik diungkapkan Mama Jawa atau Mama Mira
yang mengatakan : “Mereka merayu, tetapi tidak masuk akal. Kami
disuruh membuat anyaman bambu, sementara kami bisa mencari 1
(satu) gram emas sehari. Jadi memang persepsi orang seperti ini
(perusahaan tambang) tidak sesuai dengan apa yang kami hadapi.
Sebelum ada perusahaan, masyarakat kan sudah terbiasa dengan alam,
misalnya dapat emas, dapat babi yang nilainya sudah di atas rata-rata
gaji perusahaan. Masyarakat lokal berburu dapat babi, dijual dapat Rp.
1.000.000,-, lalu ditambah dapat emas 1 gram dapat Rp. 500.000,-.
Dengan kata lain, alam pada dasarnya sudah menyediakan yang lebih
dari yang ditawarkan dari nilai pekerjaan dia. Lalu tiba-tiba perusahaan
datang dan disuruh pelihara ikan, disuruh ini itu yang nilainya tidak
sepadan”. 6 Pernyatan ini mengungkapkan bahwa hadirnya perusahan
tambang bukan untuk mensejahterakan tetapi membuat masyarakat
menjadi miskin ditengah emas yang berlimpah.
Muncul sejumlah pertanyaan yang kemudiaan merangsang
keingintahuan peneliti. Pertama, bagaimanakah gerakan melawan
tambang dapat berkembang? Kedua, faktor-faktor seperti apakah yang
mendukung keberhasilan gerakan melawan tambang? Ketiga,
sejauhmanakah peran ruang publik virtual dalam mendukung gerakan
perlawanan tambang?
Ketiga pertanyaan tersebut, merupakan panduan untuk
menggambarkan apakah gerakan perlawanan tambang dinilai berhasil
atau gagal “menghentikan” operasi perusahaan tambang untuk
kemudiaan mengambil-alih kembali hak-hak masyarakat (adat).
Faktor-faktor gerakan seperti apakah yang mendukung keberhasilan
gerakan perlawanan termasuk menggunakan media dalam membangun
6 Hasil wawancara dengan Ibu Mira pada tanggal 10 Juli 2016, di Desa Oreng Kambang,
Murung Raya.

13

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ruang publik virtual kemudiaan menjadi fokus dalam pembahasan
disertasi ini. Selanjutnya unhtuk menjawab mendiskusikan dan
menjawab pertanyaan tersebut menggunakan teori gerakan sosial
dengan penekanan pada perspektif ekonomi politik.
Atas dasar pertanyaan penelitian di atas, maka disertasi ini akan
diorganisasikan dalam bentuk buku, di mana di dalam bab dua
dijelaskan tentang berbagai proses dan dinamika pembangunan yang
mendorong munculnya perlawanan. Hal ini terjadi karena proses dan
dinamika pembangunan selama ini lebih mengedepankan
pertumbuhan ekonomi yang tentunya membutuhkan investasi yang
besar dengan “menjual” sumberdaya mineral kepada para investor. Di
lain pihak, masyarakat yang hidupnya tergantung pada sumber
tersebut terpaksa harus disingkirkan, seperti yang dihadapi orang
Dayak Siang Murung. Kondisi ini tentunya berpotensi menciptakan
konflik-konflik sosial melalui berbagai bentuk perlawanan.
Bab ketiga merupakan deskripsi Murung Raya dengan berbagai
potensi yang dimilikinya. Sebagai salah satu Kabupaten terbesar di
Provinsi Kalimantan Tengah, tentunya Murung Raya menyimpan
berbagai potensi sumber daya alam yang besar untuk dimanfaatkan
mendukung pembangunan. Selain potensi sumber daya alam, Murung
Raya juga masih mempertahankan nilai-nilai kultural adat Dayak Siang
Murung dalam mengatur kehidupan masyarakat yang ditunjukkan
dengan masih diakuinya kelembagaan adat.
Bab keempat adalah bab yang menggambarkan perkembangan
usaha pertambangan di Indonesia dan khususnya di Kalimantan
Tengah terkait dengan hadirnya PT Indo Muro Kencana (PT IMK).
Meskipun berbagai kebijakan mendukung masuknya usaha
pertambangan di Indonesia, tetapi dalam prakteknya belum mampu
melakukan usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining
practice). Hal ini dilihat dari rendahnya kontribusi untuk penerimaan
negara maupun untuk kesejahteraan masyarakat serta rusaknya kondisi
lingkungan hidup disekitar wilayah tambang PT IMK.
Bab kelima menjelaskan bentuk-bentuk perlawanan yang
dilakukan orang Dayak Siang Murung terkait dengan masuknya
14

Dayak Mempertahankan Identitas

perusahaan pertambangan PT IMK. Dimulai dengan pemaparan yang
menempatkan PT IMK sebagai sumber konflik dilanjutkan dengan
bagaimana gambaran konflik yang terjadi. Dalam pembahasan ini akan
diperlihatkan bagaimana hubungan yang dibangun antara penguasa
dalam hal ini negara dengan pengusaha pertambangan yang sengaja
diciptakan untuk menggusur hak-hak adat orang Dayak. Praktekpraktek penggusuran seperti apakah yang dilakukan pengusaha
pertambangan didukung dengan aparat negara menjadi satu analisis
dalam pemaparan berikut terkait dengan aktor dan jaringan aktor yang
terbentuk berikut isu-isu yang melandasi perlawanan orang Dayak.
Dalam bab keenam dan bab ketujuh akan memaparkan bentukbentuk perlawanan orang Dayak termasuk menggunakan ruang publik
virtual sebagai saluran perlawanannya. Bentuk-bentuk perlawanan
dilakukan dengan membangun dan mengembangkan ideologi utama
perlawanan berikut aktor-aktor yang dilibatkan di dalamnya. Ideologi
utama perlawanan yang dimaksudkan terkait dengan hak-hak
masyarakat adat. Ideologi ini kemudiaan menjadi isu penting untuk
dibingkat melalui ruang publik virtual. Sejauh mana ruang publik
virtual dapat menjadi saluran perlawanan dan bagaimana ciri-cirinya
akan menjadi pembahasan pada bab ketujuh.
Pada bab kedelapan, atau sebagai bab terakhir dari disertasi yang
berbentuk buku ini, akan diulas apakah perlawanan orang Dayak
terhadap tambang dapat dikatakan berhasil atau tidak disertai sejumlah
temuan teoritik yang diharapkan kontributif bagi pengayaan khasanah
kajian studi pembangunan khususnya terkait dengan gerakan sosial di
Indonesia. Selain itu juga akan diulas implikasi hasil penelitian ini bagi
kebijakan pembangunan khususnya kebijakan pembangunan di sektor
pertambangan.

15

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB VII

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB VI

0 2 36

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB V

0 2 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB IV

0 1 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB III

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB II

0 0 32