Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB VI

ENAM

TRANSFORMASI IDENTITAS GERAKAN
DARI “PENAMBANG” MENJADI
MASYARAKAT ADAT

Pengantar
Konflik yang dialami masyarakat adat Dayak Siang Murung,
paling tidak membawa pemahaman bahwa aksi-aksi perlawanan
dikarenakan berbagai dampak negatif baik pada aspek lingkungan
hidup, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi terkait dengan hadirnya
PT IMK mengacu pada pemikiran Sachs (2015). Dampak-dampak ini
kemudian menjadi daya gerak utama aksi-aksi perlawanan atau yang
juga disebut dengan gerakan sosial menentang masuknya kapitalisme
(Fauji, 2005).
Dimulai dengan melakukan mobilisasi sumberdaya (the resource
mobilization) hingga membingkai (framing) berorientasi pada identitas
(the social identity) dengan memanfaatkan peluang-peluang atau
kesempatan politik (political oppurtunity) yang sedang terjadi
khususnya di Indonesia, seperti yang diungkapkan Sukmana (2016),
McAdam, McCarthy dan Zald (2004) dan Singh (2007). Awalnya

melakukan gerakan reformasi (reformative movement) yang dilakukan
para penambang rakyat untuk mengubah masyarakat namun dengan
ruang lingkup terbatas kemudian berkembang menjadi gerakan
transformasi (transformative movement) dengan mencoba mengubah
masyarakat secara menyeluruh, seperti menegaskan kembali
167

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

identitasnya dengan mentransformasikan identitas gerakan penambang
menjadi gerakan masyarakat adat ketika berhadapan dengan PT IMK.
Transformasi identitas gerakan dimungkinkan karena munculnya
kesadaran dari para aktor yang berjuang secara sosial dengan
membangun identitas gerakan agar mampu menciptakan ruang
demokratis bagi aksi sosial otonomnya (Manan, 2005). Bagaimana
proses untuk membangun identitas (baru) tersebut akan dijelaskan
dengan mendeskripsikan kondisi, faktor dan kekuatan pendukung yang
digunakan para aktor untuk menciptakan identitas, solidaritas dan
mempertahankannya. Hal lain adalah mendeskripsikan keterkaitan

antara PT IMK dengan isu-isu dalam konflik, serta mendeskripsikan
latar sosial dan budaya aksi kolektif sebagaimana kondisi dan kekuatan
pendukung ini membentuk dan mencetak perenungan dan kesadaran
para aktor dalam situasi konkrit aksi kolektif dan gerakan sosial.

Membangun Ideologi Gerakan
Melemahnya otoritas tradisional yang diharapkan mampu
menjembatani persoalan struktural yang dihadapi penambang
memaksa mereka melakukan transformasi identitas perjuangan dari
penambang menjadi masyarakat adat, seperti yang diungkapkan salah
seorang tokoh tambang rakyat.43 Secara umum tujuan utama
penambang ikut dalam sebuah gerakan sosial lebih bersifat pragmatif
dan berorientasi material, yakni hanya terpaku pada motif ekonomi
yaitu penguasaan kembali lobang-lobang tambang emas yang selama
ini sudah diusahakan mereka sendiri. Tindakannya cenderung pada
upaya secara paksa agar dapat mengambil-alih kembali lobang tambang
tersebut sebagaimana yang juga dilakukan oleh para penguasa (negara)
dan pengusaha terhadap mereka. Wujud nyata aksinya dilakukan
melalui unjuk rasa, maupun aksi-aksi protes lainnya baik secara damai
maupun dengan cara kekerasan agar dapat mengambil alih kembali

(reklaming) lobang tambang tersebut. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.
Wawancara dilakukan dengan Bapak Murin dan Bapak Arsad pada tanggal 10 Juli
2016 di Desa Oreng Kambang.

43

168

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

Dalam kasus PT IMK, faktor utama penyebab terjadinya aksi-aksi
perlawanan para penambang dan masyarakat pada umumnya terhadap
PT IMK dikarenakan multiinterpretasi dan ketiadaan pegangan
bersama dari berbagai pihak tentang siapa yang berhak menguasai
tambang, siapa yang berhak memanfaatkan, dan siapa pula yang berhak
dalam pengambilan keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan
tambang. Akibat dari ketidakjelasan tersebut, maka masing-masing
pihak (pemerintah, perusahaan, dan masyarakat) saling mengklaim
bahwa merekalah yang lebih berhak dari pihak lainnya. Misalnya
ketika PT IMK memperoleh Kontrak Karya dari Presiden langsung

melakukan “penggusuran” terhadap seluruh aktifitas tambang rakyat.
Didukung oleh aparat Satuan Tugas dari Pemerintah Daerah Tingkat II
Barito Utara, PT IMK menggusur tambang rakyat kerikil I, Kerikil II,
dan Kerikil III di wilayah Kecamatan Siang. Bahkan penambang yang
digusur tidak memperoleh ganti rugi dengan jalan apapun sesuai
dengan perintah Bupati, dengan alasan mereka “menggusur” karena
harus menertibkan Tambang Rakyat Tanpa Ijin (PETI). Dipihak lain,
para penambang merasa bahwa mereka pemilik yang “sah” karena
usaha pertambangan awalnya dilakukan oleh mereka.

Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013

Gambar 6.1.
Lobang Tambang Emas Yang Diperebutkan

169

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual


Berbagai perlawanan terhadap PT IMK baru dimulai pada tahun
1993 melalui aksi demonstrasi baik di lingkungan Kecamatan Siang
Selatan, Kabupaten Murung Raya, Provinsi Kalimantan Tengah, hingga
ke Jakarta dan sampai di kantor pusat PT Indo Muro Kencana di
Australia. Para penambang menuntut ganti rugi lahan karena tanah
dan usaha tambangnya diambil alih dan dikelola oleh PT IMK. Namun
usaha ini tidak memperoleh hasil karena PT IMK sudah mengantongi
ijin dari pemerintah seperti yang dijelaskan mantan pegawai PT IMK. 44
Ketidakjelasan peroleh ganti rugi, seolah-olah dapat memberikan
penjelasan secara aktual perlunya melakukan transformasi struktur dan
bentuk gerakan sosial yang lebih humanis dan emansipatoris.
Berbagai simbol perjuangan kemudian diproduksi berbasis pada
rasa ketidakadilan, sebagai bentuk reaksi terhadap stigma-stigma
politik, tekanan fisik dan sosial-psikologis yang dialami oleh para
penambang dan keluarganya serta berbagai bentuk praktek-praktek
yang merugikan mereka. Puncaknya terjadi pada tahun 1999 ketika
para penambang mengusir sejumlah karyawan PT IMK dari areal
tambang Batu Tambang (Betmen), Lungkuh Jua dan Bakit Kaya dengan
mengusung mandau. Lihat gambar 6.1. di bawah ini.


Sumber : Dokumen LMMDDKT, 2013

Gambar 6.2.
Aksi Pengusiran Staf Pengemboran di Lapangan
Wawancara dilakukan dengan Mantan Pegawai PT IMK Bapak Ayin pada tanggal 11
Juli 2016 di Desa Oreng Kambang.

44

170

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

Mereka juga melakukan aksi pengambil-alihan atau reklaiming
wilayah Halubai, Permata, Elpi dan Batu Badinding yang sedang
ditambang dan berproduksi. Tindakan ini dilakukan karena PT IMK
menguasai, memanfaatkan, dan mendistribusi hasil-hasil tambang yang
menjadi pendukung kehidupan mereka termasuk melakukan ekspansi
batas wilayah kehidupan mereka. Namun aksi pengambil-alihan
tambang tidak bertahan lama, karena pihak PT IMK kemudian

menimbun tambang dan mengisi air sehingga masyarakat tidak bisa
memperoleh apapun dari hasil tambangnya, seperti pada gambar 6.3. di
bawah ini.

Tambang sebelum dialiri air

Tambang sesudah dialiri air

Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)

Gambar 6.3.
Lokasi Tambang Sebelum dan Sesudah Dialiri Air

Di pihak lain komitmen dan solidaritas para penambang untuk
terus memperjuangan hak-hak mereka ternodai karena ada anggota
aksi “membelot dan membela” PT IMK. Dengan kata lain, para
penambang tidak pernah mampu membangun identitas secara kolektif
guna membangun solidaritas dan komitmen ketika berhadapan dengan
PT IMK. Akibatnya aksi-aksi yang mereka lakukan selalu “gagal”.
Belajar dari kegagalan aksi, ada sejumlah aktor yang terlibat dalam

aksi membangun jaringan dan mengembangkan partisipasi aktor
lainnya di luar wilayah tambang. Aktor yang dimaksud adalah
sejumlah Organisasi Non Pemerintah (Ornop) atau yang biasa disebut
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti; JATAM, WALHI,
171

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

ALPERUDI, ELSAM, YLBHI, Tapal dan Kantor Hukum Ahmad Yani.
Selain itu, tujuan mengembangkan jaringan adalah agar mereka dapat
mengembangkan sumberdaya serta meningkatkan mobilisasi kekuatan
aksi perlawanan. Pada akhirnya dengan memperluas jaringan dan
partisipasi aktor, para penambang dapat memperluas medan atau area
perlawanan ke tingkat nasional maupun internasional serta
memberikan peluang dan kapasitas para penambang untuk terus
meningkatkan aksi-aksi perlawanan terhadap PT IMK.
Dengan runtuhnya kekuasaan Orde Baru, sebenarnya para
penambang memiliki peluang untuk memperoleh ijin penambangan
secara legal melalui pendirian koperasi. Karenanya pada tahun 2004,

para penambang khususnya di Desa Marindu bersepakat mendirikan
Koperasi diberi nama dengan Koperasi “Harapan Bersama” dengan ijin
No. 412.32/BH/178/2004 tanggal 5 Januari 2004. Dengan berdirinya
koperasi, harapan para penambang memperoleh legitimasi atau ijin dari
negara. Namun kenyataannya semangat masyarakat mendirikan
koperasi ini tidak dibarengi dengan komitmen dan keseriusan para
pengurusnya untuk mengelolanya. Koperasi kemudian tidak berjalan
lagi dan Surat Izin Pertambangan Rakyat Daerah (SIPRD) dengan
sendirinya dicabut oleh pemerintah.
Perasaan pengabaian yang dilakukan PT IMK kepada para
penambang yang juga sebagian besar adalah masyarakat adat Dayak
Siang Murung kembali muncul karena institusi adat dan nilai-nilai
budaya mereka (Dayak) mulai dihancurkan. Hal ini terjadi karena PT
IMK terus memperluas wilayah eksploitasinya sampai ke puncak
Gunung Puruk Kambang yang bagi orang Dayak adalah wilayah
keramat. Selama ini wilayah kramat puncak Gunung Puruk
keberadaannya dipelihara dan dijaga, karena bagi mereka sebagai
tempat turunnya nenek moyang suku Dayak Siang Murung. Karenanya
wilayah ini tidak saja bernilai ekonomis semata melainkan juga
mempunyai nilai sosial dan spiritual, seperti pada gambar 6.4. di bawah

ini.

172

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

Sumber : Hasil Survey Lapangan (2013 dan 2016)

Gambar 6.4.
Lokasi Bukit Puruk Kambang Yang Sebagian Sudah Dieksploitasi

Terbuka struktur peluang politik baik di tingkat nasional maupun
di tingkat lokal, sebenarnya memberi ruang bagi munculnya
perubahan identitas gerakan “penambang” menjadi gerakan masyarakat
adat dengan menegaskan kembali keberadaan lembaga adat yang
sampai saat ini keberadaannya masih diakui oleh masyarakat, dalam
hal ini keberadaan Damang Kepala Adat atau Kepala Adat. Selain
adanya kelembagaan adat, kehadiran organisasi masyarakat adat
lainnya, seperti; Perhimpunan Masyarakat Pulou Basan yang terdiri
dari para Damang Ketua Adat, Kelompok-kelompok Masyarakat Adat

di masing-masing Wilayah Desa Oreng Kambang, turut memperkuat
perubahan identitas pergerakan tersebut. Terlebih keberadaan
Kelembagaan Adat diakui keberadaanya melalui Peraturan Daerah
(Perda) No. 16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di
Kalimantan Tengah juga dapat mengukuhkan perubahan identitas
gerakan tersebut. Perda No. 16 Tahun 2008 pasal 9, ayat (1) fungsi
Damang Kepala Adat adalah mengurus, melestarikan, memberdayakan
dan mengembangkan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan, hukum adat
dan lembaga kedamangan yang dipimpinnya; menegakkan hukum adat
dengan menangani kasus dan atau sengketa berdasarkan hukum adat
dan merupakan peradilan adat tingkat terakhir, dan sebagai penengah
dan pendamai atas sengketa yang timbul dalam masyarakat
173

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

berdasarkan hukum adat. Selanjutnya dalam pasal (2) selain fungsi
sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) Damang Kepala Adat juga
mempunyai fungsi selaku inisiator untuk membawa penyelesaian
terakhir sengketa antara para Damang terkait tugas dan fungsinya
kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten/Kota.
Munculnya gerakan reformasi juga merupakan pintu pembuka
berkembangnya gerakan sosio-politik dari para penambang menjadi
gerakan sosial-politik masyarakat adat. Negara juga dihadapkan pada
posisi kontrol politik yang lemah terhadap setiap aksi, terlebih ketika
aksi kekerasan menjadi salah satu bentuk bagian. Peluang politik ini
dengan cepat direspon para penambang, karena mereka sudah
memiliki rasa kepekaan konfliktual sekaligus berperan sebagai oposisi
untuk melawan kebijakan pembangunan yang dilakukan oleh negara.
Seiring bergulirnya reformasi hingga pemberlakuan otonomi
daerah pada tahun 1999 sebagai era perubahan sosial-politik penuh
keterbukaan dari masa sebelumnya yang bercorak otoriter ke
demokrasi, ternyata tidak membawa dampak berarti bagi gerakan para
penambang untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Baik
para elit politik, elit agama, kalangan intelektual dan berbagai
organisasi rakyat ternyata cenderung membiarkan para penambang
bergerak dengan semangatnya sendiri dalam menuntut hak yang
selama ini diabaikan. Meskipun demikian ada banyak organisasi non
pemerintah (ornop) yang peduli untuk memberikan advokasi dan
pendampingan bagi para penambang dalam melakukan perjuangan.
Penelitian menemukan bahwa ketika sistem politik yang ada tidak
terbuka terhadap tuntutan-tuntutan rakyat, maka aktivitas gerakan
sosial mungkin agak kecil skalanya. Hal ini terlihat dari kronologis aksi
demonstasi yang mereka lakukan seringkali juga menggunakan
kekerasan menghancurkan fasilitas milik perusahaan serta melakukan
pembakaran. Ketika struktur politik membuka peluang bagi gerakan
sosial mereka, aktivitas gerakan cenderung menjadi semakin radikal.
Meskipun masa pemeritahan Orde Baru terkenal represif dengan
melakukan tekanan secara politik sangat kuat sehingga penambang
yang berani melawan adalah mereka yang benar-benar militan.
174

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

Perilaku militansi penambang dan kontrol politik negara masih ada
hingga saat ini terutama yang dilakukan pihak pasukan keamaman
(Brimob) membuat reaksi penambang justru cenderung terbuka dan
lebih berani dibanding pada waktu-waktu sebelumnya. Hal ini
mungkin berbeda dengan komunitas penambang di berbagai wilayah
konflik lainnya yang beragam dalam merespon peluang-peluang politik
yang ada termasuk situasi yang ada, kemungkinan resiko yang akan
mereka tanggung dan kemungkinan hasil yang akan mereka capai.
Melalui proses pendampingan dan penyadaran bersama dengan
lembaga-lembaga non pemerintah di atas, kesadaran politik
penambang dapat dibangun. Kerja bersama ini merupakan proses
dimana para penambang dapat melakukan penilaian kembali atas
dirinya sendiri, pengalaman subyektif, peluang-peluang, dan
kepentingan bersama di antara mereka. Kesadaran politik penambang
tidak hanya memahami posisi marginal mereka secara sosial maupun
politik sehingga memberi peluang untuk mencari alternatif strategi
gerakan lain guna mencapai tujuan mereka. Termasuk dengan
mengubah identitas gerakan itu sendiri dari penambang menjadi
masyarakat adat.
Agenda gerakan reformasi pasca jatuhnya presiden Soeharto
merupakan momentum bagi mereka juga untuk mendorong agenda
reformasi melalui penguatan kesadaran sosial-konfliktual ke dalam
kesadaran politik, karena pelaku ini yang paling berpengaruh terhadap
kemungkinan dilakukan mobilisasi tindakan. Setelah presiden Soeharto
lengser dan rezim Orde Baru dapat dijatuhkan, kemudian para aktivis
gerakan masyarakat mulai beralih pada pentingnya membantu
masyarakat adat melalui gerakan-gerakan sosial masyarakat adat.
Seperti yang dilakukan oleh LMMDD-KT yang sejak awal tahun
2005 sudah melakukan pendampingan masyarakat adat yang tersingkir
akibat masuknya investor di Kalimantan Tengah melalui berbagai aksi,
seperti melakukan pendampingan dan penyadaran secara langsung
turun ke tengah-tengah kehidupan para penambang rakyat. Hasil
pendampingan dan penyadaran kemudian direspon dan ditindaklanjuti
dengan merancang berbagai aksi demontrasi yang lebih luas.
175

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Beragam upaya dilakukan oleh LMMDD-KT, baik pada konstruksi
gerakan dari bawah maupun dari atas, di wilayah komunitas para
penambang rakyat dilakukan diskusi identifikasi dan analisis kasus,
perumusan tuntutan, penyadaran sosial-politik melalui kegiatan
pendampingan bagi para penambang yang menjadi korban dengan
hadirnya PT IMK. Selain itu juga dilakukan aktivitas “diskusi
kampung” pada beberapa desa lainnya untuk mengidentifikasi dan
merumuskan strategi bersama (dokumen LMMDDKT, 2013).
Di sini para penambang yang juga sebagian besar adalah warga
masyarakat adat Siang Murung, mendiskusikan berbagai hal yang
mengakibatkan penderitaan mereka dan tidak terselesaikannya konflik
yang dialami terutama keberadaan pertambangan rakyat yang diambil
alih oleh PT IMK. Kemudian mereka melakukan artikulasi pemecahan
masalah hasil identifikasi, paling tidak berupa rencana dan strategi
tindakan kolektif yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan
konflik yang tentunya dapat menguntungkan para penambang rakyat.
Disinilah kemudian muncul penguatan dan bahkan perubahan
rumusan tuntutan-tuntutan penambang rakyat atas persoalan
penguasaan terhadap lobang-lobang tambang yang dihadapi dan caracara yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan tersebut yaitu dengan
merubah identitas gerakan dari “penambang rakyat” menjadi
“masyarakat adat”.
Oleh karena itu, peran aktor dalam meningkatkan kesadaran
politik dan mobilisasi sumberdaya penambang menjadi sangat
menentukan. Ketika identitas kolektif penambang tersebut sudah
masuk pada ranah gerakan sosio-politik dan mengalami perubahan
identitas gerakan dari “penambang” menjadi “masyarakat adat” maka
akan menjadi politik identitas yang memungkinkan para penambang
untuk masuk dalam aktivitas sosial-politik. Akibatnya kesadaran
politik penambang dapat berkembang dalam kerangka identitas
kolektif, karena dikonstruksi dan dipelihara melalui interaksi dalam
komunitas para penambang itu sendiri yang juga masyarakat adat
Dayak kemudian berubah sesuai peluang politik dan kemampuan

176

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

mobilisasi sumber daya yang tersedia dan peluang bagi perubahan
identitas sebuah gerakan sosial.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa gerakan penambang
rakyat dengan strategi utama melakukan pendudukan kembali lobanglobang tambang dikuasakan kepada PT IMK oleh negara dilakukan
pada tahun 1993 telah menunjukkan keberhasilan untuk membangun
kekuatan sebuah gerakan sosial baru yang sekaligus memperlihatkan
kekuatan politik tertentu. Hal ini mendorong untuk mengembangkan
strategi berikutnya yang mereka sebut dengan merubah strategi dan isu
gerakan dari penambang menjadi masyarakat adat, yakni strategi untuk
memobilisasi opini publik karena mereka mayoritas masyarakat adat.
Untuk tahap pertama, kelompok gerakan ini mengajak Kepala
Adat Dayak Oreng Kambang untuk terlibat dan menjadi bagian dari
gerakan guna menegaskan identitas dengan menempatkan kembali
peran lembaga adat yang sudah ada di masyarakat. Selain itu juga
dilakukan pemetaan geokultural untuk menegaskan adat wilayah
trasidional.45 Dengan strategi ini tentunya dapat menarik simpati
khalayak dalam memperjuangkan isu hak-hak atas potensi tambang
sebagai bentuk lain dari tuntutan ganti rugi atas lobang tambang rakyat
yang telah diambil alih PT IMK. Perubahan strategi perjuangan dari
penambang menjadi masyarakat adat ditargetkan dapat memberikan
perubahan arah gerakan, dan lebih jauh lagi dalam rangka
mempertahankan kembali identitas ke-dayak-an.
Diasumsikan bahwa pemimpin informal, seperti Kepala Adat
Dayak dapat memberikan arahan atau dianggap lebih memiliki
kapasitas dalam memobilisasi opini publik terkait dengan nilai dari
perjuangan mereka. Dipihak lain bahwa dengan keterlibatan Kepala
Adat perjuangan mereka tidak semata-mata hanya untuk
memperjuangkan
tuntutan
ganti
rugi
melainkan
upaya
memperjuangkan nilai kultural dan spritual dari tanah tersebut yang
dikuasai mereka selama ini. Ini sama halnya dengan orang Papua yang

Wilayah adat atau wilayah tradisional dimaknai sebagai wilayah total meliputi;
tanah, teritori, dan sumber daya alam sampai ranah kebudayaan (Usop, 1996).
45

177

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

menyebut tanah mereka seperti susu ibu yang memiliki kedalaman dan
hubungan batiniah (Fauzi, 2006).
Sebagai simbol perlawanan masyarakat adat Dayak, mereka
kemudian melakukan upacara adat memasang Hinting Pali atau
Maniring Hinting. Hal ini dilakukan karena orang Dayak mempunyai
hubungan yang sangat erat dan dekat dengan lingkungan hidupnya.
Mereka sering dipengaruhi oleh alam pikiran religio magis. Kenyataan
ini tidak mudah untuk dipahami dan dimengerti atau dipercayai oleh
orang lain. Sebaliknya, masyarakat Dayak menganggap pengetahuan
akan simbol-simbol tertentu adalah hal yang wajar, walaupun
sebenarnya tidak setiap orang memiliki kepandaian untuk memahami
dan menginterpretasi simbol-simbol tersebut.
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, nilai-nilai budaya orang
Dayak, bersumber dari kepercayaan Kaharingan (berasal dari kata
“Haring” yang artinya kehidupan ada dengan sendirinya). Pada intinya
kepercayaan Kaharingan ini percaya pada segala benda dan makhluk
yang memiliki Gana (Roh), dan hanya ada satu Tuhan, yaitu Ranying
Hatala Langit yang menciptakan segala isi alam semesta seperti
tercantum dalam tutur Balian : Inyaho hai mamparuguh tungkupah,
kilat panjang mampa rinjet ruang (Guntur/suara agung membuka
kuasanya, kilat panjang menggerakkan ruang/membelah-belah
angkasa).
Asal usul penciptaan manusia dan alam semesta ini digambarkan
dengan simbol Batang Garing/Haring (Pohon Kehidupan) yang di
dalamnya terdapat burung Tingang (Enggang) sebagai simbol penguasa
dunia atas dan Tambun (Naga) sebagai simbol penguasa dunia bawah.
Dalam konteks gerakan perlawanan, simbol Batang Garing dipahami
oleh masyarakat Dayak sebagai keseimbangan hubungan manusia
dengan alam dan keseimbangan hubungan antar manusia yang
seharusnya didukung oleh negara dalam rangka mengimplementasikan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan atau oleh Usop, Sidik
(2012) dikonsepkan dengan pembangunan berbasis pada masyarakat
adat dimana secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis lestari
dan secara budaya tidak merusak.
178

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

Dalam kehidupan sehari-hari, umat Kaharingan percaya kepada
mahluk-mahluk Ilahi yang berkuasa dan bertugas membantu
keselamatan manusia, memberi rezeki dan menyebarkan penyakit, dan
lain-lain yang tersebar di air (sungai, danau, dan laut), gunung, hutan,
tanaman, dan tempat-tempat tertentu. Bagi pemeluk Kaharingan,
makhluk-makhluk Ilahi itu sangat berpengaruh dalam menentukan
kehidupan manusia. Keberuntungan dan kemalangan hidup, bencana
alam, kecelakaan terjadi karena tindakan mereka, walaupun penyebab
munculnya tindakan itu akibat perbuatan manusia itu sendiri. Oleh
karena itu, wujud tertinggi dalam praktek kepercayaan Kaharingan
adalah mematuhi adat, yaitu tidak melanggar Pali (pantangan) dan
melaksanakan upacara ritual yang meliputi gawi belom (upacara
kehidupan) seperti mamapas lewu, manyanggar, pakanan batu dan
manajah antang dan gawi matei (upacara kematian) seperti upacara
tiwah.
Orang Dayak pada masa keemasan sebelum membuka lahan baik
untuk pertanian dan berladang terlebih dahulu membuat tanda supaya
orang lain tidak merampas atau menyerobot serta menggarap ladang di
tempat yang diberi tanda (simbol adat berupa Tarinting atau Hinting)
atau memberi patok pada kayu dari setiap sudut rintisan areal dari
tanah kosong yang akan digarapnya (Salilah, 1977:1).

Hinting atau Tarinting dapat diartikan sebagai suatu tanda
larangan atau simbol lokal masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah
untuk menandai suatu areal pertanian/ladang dan areal ritual
keagamaan dalam Kaharingan. Tanda atau simbol maniring hinting
tersebut jika berada di ladang atau tanah garapan seseorang berarti
menandakan kepemilikan dan hak bagi si pemilik atas lahan/areal. Jika
maniring hinting didapati dalam upacara atau di depan rumah orang
yang sedang melaksanakan Balian. Balian adalah nyanyian disertai
tetabuhan musik tradisional Dayak dalam upacara Tiwah. Tiwah
adalah upacara ritual penting kematian kedua (second burial) dalam
agama Kaharingan yang bertujuan untuk menghantarkan roh ke langit
ke tujuh atau surga. Dalam upacara keagamaan Kaharingan artinya
dilarang melakukan tindakan atau perbuatan tidak senonoh di dalam
179

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

garis batas/portal adat seperti berkelahi, berjudi dan perbuatan yang
tidak senonoh apabila sampai ada yang meninggal dan berdarah dapat
dikenakan singer atau membayar denda adat sesuai dengan hukum adat
yang berlaku di daerah itu.
Tradisi maniring hinting dalam konteks perlawanan dan
perjuangan hak-hak atas penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat
adat Dayak dari para pengusaha atau investor, dalam praktiknya
melakukan hal yang melanggar adat tidak mentaati adat atau
melanggar kesepakatan atau pali. Orang yang melanggar pali disebut
orang yang belom dia bahadat (hidup tidak beradat). Karena itu,
maniring hinting menjadi salah satu cara penanaman nilai-nilai dan
norma-norma yang berfungsi memelihara tertib sosial dalam
kehidupan masyarakat adat Dayak.

Maniring artinya membentangkan/mengencang tali, hinting
artinya larangan dalam bahasa Dayak menjadi maniring hinting
membentangkan tali larangan bertujuan untuk mempertahankan hakhak seseorang atau kelompok dengan cara membuat tanda atau simbol
dengan membentangkan tali larangan dari rotan atau tali dari akar
kayu dan digantung pada tali rotan tersebut daun lenjuang atau sawang
disertai cacah pada permukaan depan daun dengan kapur sirih
berwarna putih yang dalam konteks ini menandakan bahwa areal
tanah yang ditandai dengan maniring hinting. Simbol tali rotan dalam
maniring hinting berarti masih dimungkinkan adanya negosiasi dalam
musyawarah atau kesepakatan dalam menyelesaikan masalah sengketa
tanah. Sesuai dengan tujuan maniring hinting yang memanggil gana
atau roh-roh tanah dan tanaman yang sengaja dilakukan guna menjadi
saksi sumpah mereka atau seperti peradilan roh bahwa yang
bersangkutan melaksanakan upacara/tradisi maniring hinting adalah
menyatakan benar-benar sang pemilik lahan atau areal tanah tersebut.
Jikalau ada yang berbohong maka salah satu dari pihak yang
bersengketa akan mengalami kematian dan malapetaka yang akan
dilakukan oleh roh-roh (spiritual violence) tersebut kepada pihak yang

180

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

memang sengaja melanggar, memutus, membongkar, melanggar serta
menyerobot tanah tersebut. 46
Dalam konteks seperti ini, masyarakat adat Dayak mempunyai
kekuasaan dan kekayaan sendiri. Wujud kekuasaan dan kekayaan
menurut Liqua (2016) lain berbentuk “hak atas wilayahnya”:
1. Apabila melebihi kehidupan keseharian harus dengan
ijin/kesepakatan masyarakat (usaha yang umum dilakukan
masyarakat dalam satu wilayah tertentu) secara spontanitas.
Contoh: menangkap ikan di luhak (sungai kecil) atau ayap pada
musim kemarau hendaklah secukupnya/tidak berkelebihan.
2. Warga masyarakat bertanggung jawab atas segala hal yang
terjadi di wilayahnya.
3. Orang luar yang akan memanfaatkanya harus dengan ijin dan
membayar uang pengakuan (mesi recognitie retribusi) kepada
masyarakat adat; kontribusi ini untuk pembangunan daerah
tersebut. (tidak boleh diatur oleh Peraturan Pemeritah seperti
ketentuan pokok kewajiban investor dalam membayar
pajak/kontribusi kepada daerah dan pusat, tapi harus berpijak
pada kesepakatan dengan daerah penghasil atauotonomi khusus
desa).
4. Hak ulayat meliputi pula tanah yang sudah digarap (secara
perorangan) oleh warga.
5. Hak ulayat tidak boleh dijualbelikan kepada pihak asing (pihak
asing walau dalam arti pemeliharaan atau dalam bentuk
apapun).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dikatakan orang Dayak
sudah memiliki ideologi yang kuat dan berakar yang biasanya
dikonsepkan dengan religi orang Dayak. 47 Ideologi atau religi ini pula
Kasus meninggalnya salah satu Damang Kepala Adat dikarenakan membuka tali atau
patok agar perusahaan dapat masuk dan melakukan aktifitas (Hasil wawancara dengan
Kepala Adat Oreng Kambang, 11 Juli 2016 di Oreng Kambang).
47 Radam (1987:17) dan Miden (1999:65) menyatakan religi orang Dayak dipahami
sebagai konsepsi manusia tentang semua hal yang terkandung dalam kosmologi dan

46

181

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

yang kemudian menjadi pendukung utama terjadinya transformasi
identitas gerakan dari penambang menjadi gerakan masyarakat adat. 48
Dengan ideologi atau religi ini, orang Dayak mampu merespon
hadirnya dan menguatnya dua institusi yang menerobos masuk ke
hampir semua relung kehidupan orang Dayak, yaitu negara (state) dan
pasar (the market). Tindakan yang mereka lakukan adalah
melaksanakan ritual-ritual sebagai sistem simbol yang teratur dalam
suasana hati (sentimen) tertentu dan sebagai sarana untuk
berkomunikasi dengan jaga rayanya agar dapat menjembatani berbagai
kebutuhan yang saling bertentangan sebagai pernyataan diri dengan
penguasaan diri. Di dalam ritual-ritual tersebut juga terkandung segala
aturan, norma dan etika untuk mengatur hubungan manusia dengan
manusia, manusia dengan unsur-unsur yang non-manusia (nature and
supranature).

Isu Penting Melandasi Munculnya Gerakan Masyarakat Adat
Munculnya tindakan kolektif yang dilakukan masyarakat adat
Oreng Kambang merupakan tindakan yang diorientasikan pada
seperangkat kepercayaan, nilai-nilai, dan makna-makna kultural yang
mendukung berkembangnya kesadaran politik, dan yang mengilhami
sekaligus meligitimasi gerakan perlawanan yang dilakukan. Dalam
kerangka ini pula, maka isu terkait hak-hak adat atas penguasaan
sumberdaya alam menjadi sprit perjuangan orang Dayak melawan PT
IMK.
Orang Dayak percaya bahwa tanah dan alam sekitar mempunyai
pola hubungan religius sehingga dalam memanfaatkan, dan
menentukan sistem pemilikan, dan melakukan ekstraksi sumber daya
eskatologis serta aktifitas-aktifitas berkenaan dengannya yang berfungsi memantapkan
kehidupan pribadi dan mengenal ikatan sosial.
48 Religi bagi orang Dayak dapat dipahami sebagai konsepsi manusia tentang semua hal
yang terkandung dalam kosmologi, dan eskatologi serta aktivitas-aktivitas berkenaan
dengannya yang berfungsi memantapkan kehidupan pribadi dan mengenalkan ikatan
sosial. Karena religi atau satu unsur yang membentuk religi juga dapat dikatakan
sebagai keyakinan (belief) dari sistem ideologi yang menjadi inti dari kebudayaan
orang Dayak.

182

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

alam harus diatur (King, 1978; dan Ukur, 1992). Karenanya bagi orang
Dayak, tanah dan alam sekitar menghubungkan generasi masa lalu,
sekarang dan yang akan datang (Djuweng, 1992). Salah satunya terkait
dengan keberadaan Gunung Puruk Kambang yang kemudian dijadikan
sebagai wilayah suci dan sakral bagi orang Dayak dan oleh pemerintah
dijadikan sebagai Situs Budaya untuk dilestarikan.
Selanjutnya mengacu pada Odop dan Lakon (2009:23-25) alamnya
orang Dayak memiliki 3 (tiga) unsur penting membentuk jati diri atau
identitas orang Dayak, yaitu: hutan, tanah, dan air. Ekosistem hutan
dan orang Dayak tidak dapat dipisahkan satu sama lain sebagai satu
kesatuan utuh kehidupan orang Dayak sejak awal keberadaannya di
muka bumi hingga kematiannya. Hal ini terlihat jelas dalam wujud
persekutuan hidup dan kemandirian orang Dayak sebagai suatu
“masyarakat kecil” hutan yang berkelanjutan. Hutan bagi orang Dayak
merupakan dunia, sumber kehidupan, darah dan jiwa (Pilin dan
Petebang, 1999). Mereka percaya bahwa hutan, tanah, dan sungai itu
dihuni oleh roh-roh dan makluk-makluk halus yang dibedakannya dari
roh yang ada di dalam diri manusia. Roh di dalam diri manusia
hidupnya berkreasi karena terkait dengan roh di luar manusia. Roh di
luar diri manusia ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat tidak
baik. Mereka percaya, roh penghuni alam sekitar yang bersifat baik
selalu akan melindungi manusia, sedangkan roh yang bersifat tidak
baik selalu akan mengganggu hidup manusia. Kepercayaan ini
kemudian mereka ungkapkan melalui berbagai ritual sewaktu memulai
aktivitas perladangan.
Orang Dayak sebelum membuka hutan untuk aktivitas
perladangannya dilakukan sesuai aturan adat dan ritual-tirual yang
harus dijalaninya sebagai mekanisme mengatur hubungan antara
manusia, tanah dan hutan (Ukur, 1985). Institut Dayakologi menolak
anggapan bahwa aktivitas ladang berpindah sama dengan kegiatan
merusak hutan. Pasalnya orang Dayak sudah mempunyai sistem
pertanian asli terpadu (integrated indigenous farming system) (Pilin
dan Petebang, 1999:13) dimana tanah, sungai dan hutan adalah tiga
elemen terpenting yang memungkinkan seseorang hidup sebagai orang
183

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

Dayak sejati. Untuk mempertahankan eksistensi dan cara hidup
mereka yang khas orang Dayak menerapkan tujuh prinsip dalam
menejemen pemanfaatan sumber daya alam, yaitu : (1)
kesinambungan; (2) kolektivitas; (3) keanekaragaman; (4) subsistensi;
(5) organik; (6) ritualitas; dan (7) hukum adat.
Hasil analisis di lapangan menunjukkan telah terjadi pergeseran
pola usaha yang berpengaruh pada cara masyarakat memanfaatkan
lahan dari tahun ke tahun. Pada awal tahun 1970-an dan 1980-an,
masyarakat Dayak masih banyak yang mencari kayu ulin, kayu gaharu,
pantung, berburu hewan liar, dan mendulang emas secara tradisional.
Pada tahun 1990-an, usaha-usaha tersebut mulai sulit dilakukan karena
kelangkaan sumberdaya, akibat semakin intensifnya eksploitasi
terhadap sumberdaya hutan. Pada tahun 2000-an pola usaha dan
pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat Dayak masih menunjukkan
ketergantungan yang tinggi usaha penambangan emas, karet dan padi
ladang dengan sistem berpindah-pindah.
Selain ritual, orang Dayak juga memiliki mitos-mitos sebagai
sistem simbol menyerupai sesuatu yang tidak dapat dilukiskan dengan
kata-kata lisan secara langsung tetapi lebih sebagai teguran
seperti“pandehen utus” (pengokoh ketahanan suku dan bangsa). Mitos
ini dikembangkan untuk mengisi ruang yang diperlukan dalam
pemikiran orang Dayak. Karena mitos bagi orang Dayak adalah juga
sebuah religi yang juga berfungsi sebagai perisai yang melindungi atau
menghalangi seseorang dari kecenderungannya berlebihan untuk
memberlakukan alam. Selain itu, mitos bagi orang Dayak berfungsi
sosial guna mengatur, mempertahankan, dan memindahkan sentimensentimen sebagai landasan kelangsungan dan ketergantungan sekalian
orang dalam masyarakat yang bersangkutan, dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Mitos bagi orang Dayak kemudian dapat dipahami
sebagai rasionalisasi dari berbagai pengalaman-pengalaman dan
pengetahuan-pengetahuan yang baru sebagai penunjang guna
memelihara eksistensi atau identitas ke Dayak-annya.
Proses munculnya pemilikan tanah secara tradisional didahului
oleh adanya hubungan antara tanah dengan orang atau orang-orang
184

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

yang menggarapnya. Tahap berikutnya muncul hak (yakni sesuatu
yang merupakan pilihan bagi si penyandang hak). Namun bagi
masyarakat adat Dayak “hak” tersebut tepatnya berupa “kewajiban”
karena bila hubungan antara tanah dan yang bersangkutan misalnya
pemeliharan sempat terhenti dalam satuan waktu tertentu, maka
aksesnya terhadap tanah menjadi hilang, meski seringkali bersifat
sementara. Sebaliknya, di dunia modern yang muncul lebih dahulu
adalah “hak” (misalnya diberi hak untuk mengelola HPH selama 25
tahun), baru kemudian muncul hubungan dengan tanahnya.
Hubungan yang terjadi pada visi tradisional, seperti telah disebutkan,
lebih berupa “kewajiban”, namun pada dunia modern justru
dibelokkan menjadi “hak” (Atmajaya, 1998).
Cara pemindah-tanganan hak atas tanah di dalam masyarakat
Dayak adalah melalui : (1) jual-beli (hajual hapili), (2) perwarisan, (3)
pemberian (panenga), (4) tukar-menukar (tangkiri ramu), (5) gadai
(sanda, hasanda) dan (6) perkawinan (petak palaku). Pemindahan hak
atas tanah terjadi bilamana seorang keluarga tertentu sangat
membutuhkan uang untuk keperluan yang mendesak, seperti biaya
sekolah anak di kota, biaya pengobatan, perkawinan, pesta upacara
Tiwah, dan lain-lain.
Menurut UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) No. 5 Tahun
1960, pemanfaatan lahan yang tidak permanen, seperti pola ladang
berpindah (shifting cultivation) yang dilakukan warga desa di sebagian
wilayah Kalimantan Tengah, relatif sulit untuk mendapat pengakuan
formal. Hal ini menyebabkan jaminan hukum bagi masyarakat lokal
cenderung lemah dibandingkan perusahaan atau pihak swasta. Tanpa
kejelasan status hak, masyarakat adat tidak mempunyai kekuatan
untuk mempertahankan tanah yang telah mereka manfaatkan secara
turun temurun. Pada kasus pengambilalihan lahan untuk proyekproyek swasta yang didukung oleh kebijakan pemerintah, ganti rugi
untuk lahan yang diambil alih kemungkinan tidak dibayar.
Perusahaan-perusahaan pertambangan menguasai dan memanfaatkan
lahan dan hutan dengan membawa ijin formal dari pemerintah

185

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

mempunyai kekuatan secara hukum, termasuk di daerah-daerah yang
secara de facto telah dimanfaatkan dan dikuasai oleh masyarakat adat.
Hak atas tanah yang disebut beschikkingsrecht oleh van
Vollenhoven, “hak pertuan” oleh Soepomo, “hak pertuan” oleh
Mahadi, “hak wilayah” oleh M. Tauuchid dan “hak ulayat” oleh
Soekanto Ridwan (1982) dalam (Florus, Paulus, 1994: 55). Konsep yang
paling banyak digunakan kemudian adalah “hak ulayat”.
Tanah adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
kehidupan dan kebudayaan orang Dayak. Tanah adat sangat penting
untuk Masyarakat Adat Dayak, karena tanah adat merupakan
penunjang keberlangsungan hidup dan sarana untuk meningkatkan
kesejahteraan, baik yang bersifat sosial maupun ekonomis. Karena itu
tanah adat sebagai bagian dari hak-hak adat masyarakat adat baik
kolektif (ulayat) maupun perorangan di Kalimantan Tengah perlu
diakui, dihormati, dan dihargai keberadaannya. Kebijakan Pemerintah
Provinsi dengan menetapkan Perda Provinsi Kalimantan Tengah No.
16 Tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan
Tengah dan Peraturan Gubernur Kalimantan Tengah No. 13/2009 Jo
Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah No. 4/2012 tentang
Tanah Adat dan Hak-hak Adat di atas Tanah di Provinsi Kalimantan
Tengah harusnya menjadi kekuatan mendukung gerakan perlawanan
masyarakat adat. Tanah adat yang diolah dan dikuasai masyarakat adat
selama ini, secara yuridis sudah diharmoniskan sehingga memiliki
sandaran hukum tertulis atau hukum positif.
Terkait isu penguasahaan sumberdaya alam (tanah) yang
menyangkut kontrol hukum positif atas tanah lokal oleh negara
tampaknya menjadi isu yang paling dibenci oleh masyarakat adat
dikarenakan pengambilan hak-hak lokal secara tidak sah. Perwakilan
masyarakat adat menolak sepenuhnya penyataan tanah adat sebagai
tanah negara ini jelas merupakan pelanggaran terhadap hak-hak
masyarakat adat.
Selanjutnya kaitan antara hukum adat dan tanah adat Dayak dapat
dilihat dalam berbagai dimensi, diantaranya :
186

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

1. Hukum adat adalah hukum yang benar-benar hidup dalam
kesadaran hati nurani masyarakat dan tercermin dalam polapola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan polapola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan
kepentingan nasional.
2. Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah
ke Damangan dan atau di wilayah desa/kelurahan yang
dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun
bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik
perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui
oleh Damang Kepala Adat.
3. Tanah adat milik bersama adalah tanah warisan leluhur turun
temurun yang dikelola dan dimanfaatkan bersama-sama oleh
para ahli waris sebagai sebuah komunitas, dalam hal ini dapat
disejajarkan maknanya dengan hak ulayat.
4. Tanah adat milik perorangan adalah tanah milik pribadi yang
diperoleh dari membuka hutan atau berladang, jual beli, hibah,
warisan, dapat berupa kebun atau tanah yang ada tanam
tumbuhnya maupun tanah kosong belaka.
5. Hak-hak adat di atas tanah adalah hak bersama maupun hak
perorangan untuk mengelola, memungut dan memanfaatkan
sumber daya alam dan atau hasil-hasilnya, di dalam maupun di
atas tanah yang berada di dalam hutan di luar tanah adat.
6. Kerapatan Mantir/Let Perdamaian Adat (semacam majelis)
yang selanjutnya disebut Kerapatan Mantir/Let adalah forum
gabungan para Mantir/Let adat baik yang berada di kecamatan
maupun di desa/kelurahan.
7. Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat dan Ketua
Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang
berwenang menegakkan hukum adat Dayak dalam suatu
wilayah adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil
pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan
Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan,
187

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Kerapatan Mantir
Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah
kedamangan tersebut; Damang Kepala Adat diangkat oleh
Bupati/Walikota.
8. Kedamangan adalah suatu lembaga adat Dayak yang memiliki
wilayah adat, kesatuan masyarakat adat dan hukum adat dalam
wilayah Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari
himpunan beberapa desa/kelurahan/kecamatan/kabupaten dan
tidak dapat dipisah-pisahkan.
9. Kerapatan Mantir Adat atau Kerapatan Let Adat adalah
perangkat adat pembantu Damang atau gelar bagi anggota
Kerapatan Mantir Perdamaian Adat di tingkat Kecamatan dan
anggota Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat
desa/kelurahan, berfungsi sebagai peradilan adat yang
berwenang membantu Damang Kepala Adat dalam
menegakkan hukum adat dayak di wilayahnya; Mantir/Let
kecamatan berjumlah 3 orang; Mantir/Let tiap desa/kelurahan
berjumlah 3 orang; Mantir/Let diangkat dan diberhentikan
oleh keputusan Bupati/Walikota.
10.Wilayah adat adalah wilayah satuan budaya tempat adatistiadat, kebiasaan-kebiasaan dan hukum adat dayak itu
tumbuh, berkembang dan berlaku sehingga menjadi penyangga
untuk memperkokoh keberadaan masyarakat adat Dayak
bersangkutan.
11.Identifikasi dan inventarisasi adalah pendataan dan pencatatan
pemilik tanah adat dan hak-hak adat di atas tanah, serta
penentuan areal tanah adat yang akan didaftarkan untuk
mendapat Surat Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak
Adat di atas Tanah (Buku Panduan Pembuatan Surat
Keterangan Tanah Adat (SKT-A) dan Hak-hak Adat di Atas
Tanah.

188

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

Mengacu Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Kalimantan Tengah
No.16 tahun 2008 tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan
Tengah, Bab XIV Pasal 36 ayat 1, 2, dan 3 menyatakan bahwa :
(1) Hak-hak adat Masyarakat Adat Dayak Kalimantan Tengah
adalah tanah adat, hak-hak adat di atas tanah, kesenian,
kesusasteraan, obat-obatan tradisional, desain/karya cipta,
bahasa, pendidikan, sejarah lokal, peri boga tradisional, tata
ruang, dan ekosistem.
(2) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah mengakui,
menghormati dan menghargai keberadaan hak-hak
masyarakat adat Dayak sebagaimana dimaksud ayat (1)
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang
undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hak-hak adat Dayak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di atur dengan
Peraturan Gubernur.
Atas dasar berbagai isu di atas, maka dapat dikatakan bahwa
bentuk penegasan kembali hukum adat dan tanah adat menjadi isu
utama untuk melakukan transformasi identitas gerakan penambang
menjadi gerakan masyarakat adat. Gerakan yang awalnya adalah
perjuangan para penambang yang terbatas berkembang ke gerakan
trasformasi sosial dan politik yang lebih luas melalui gerakan
mempertahankan hak-hak adat.

Menuju Gerakan Mempertahankan Hak-hak Adat
Sebutan suku Dayak sebagai satu kesatuan dari sub-sub suku
Dayak yang ada di Kalimantan, mulai dikenal pada saat dilakukan rapat
damai yang dihadiri kepala-kepala suku adat Dayak se Kalimantan di
Tumbang Anoi dari tanggal 22 Mei -24 Juli 1894. (Ilon, 1987a; Usop,
1994:v-vii dan Kurniawan, 2007). Rapat ini merupakan peristiwa yang
sangat bersejarah pada abad ke-19 untuk merintis persatuan dan
kesatuan dengan mengokohkan sistem adat-istiadat dan tata krama
maupun sikap moral (Ilona, 1987:7) melalui berbagai penyelesaian
189

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

konflik antar suku Dayak terkait dengan kegiatan ritual adat seperti
saling bunuh (habunu), saling potong kepala (hakayau), dan saling
memperbudak (hajipen) diantara suku-suku Dayak yang kemudian
dikenal dengan rapat damai Tumbang Anoi pada tahun 1894. Semangat
ini yang kemudian disebut dengan “semangat Anoi” mendorong
kesadaran orang Dayak salah satunya adalah pentingnya
mempertahankan hak-hak adat Dayak.
Walaupun umurnya lebih dari seratus tahun lalu terpedam dalam
sejarah, namun “semangat Anoi” masih tetap diakui oleh orang Dayak
sebagai peristiwa bersejarah yang terbesar dan unik karena mampu
menghadirkan tokoh-tokoh adat (informal leader) +1.000 orang
mewakili 400 kelompok Suku Dayak di seluruh Kalimantan. Rapat
akbar ini merupakan persidangan pengadilan adat terbesar untuk
menyelesaikan hampir 300 perkara berkaitan dengan konflik antar
suku Dayak selama dua bulan (60 hari) untuk menghasilkan sejumlah
peraturan adat. Disepakati 96 pasal Hukum Adat untuk menjadi
pedoman bagi para Damang Kepala Adat di seluruh Kalimantan yang
kebanyakan bertugas mengatur tentang sanksi-sanksi adat di dalam
interaksi sesama orang Dayak maupun dalam kehidupan perladangan.
Misalnya tradisi saling potong kepala (hakayau) sudah tidak terjadi lagi
dimana kepala manusia simbol diganti dengan buah kelapa. 49
Rapat damai ini juga mengandung nilai-nilai kemanusiaan
tertinggi yaitu; persaudaraan, perdamaian, dan kesadaran tertib hukum
yang diwujudkan dalam perilaku, sebagai terbitnya cahaya peradaban
untuk menyinari hutan belantara Kalimantan. Manarik dalam rapat
ini, pihak Belanda (Kontrolir Tanah Dayak A.C. da Hee dan Kontrolir
Melawi J.P.J. Barth) yang menginisiasi rapat ini menampilkan diri
lebih sebagai saudara sesama manusia daripada sebagai penguasa. Sikap
ini disambut dengan semangat yang sama dengan bahasa yang berbeda:
Belanda, Melayu, dan Dayak yang kemudian melahirkan Pakat Dayak.
Pakat Dayak berisikan; (1) perang antara Belanda dan pasukan
Barandar dilakukan tanpa penuntutan ganti kerugian masing-masing;
(2) mengakui kewenangan pemerintah untuk memajukan dan
49

Wawancara dengan tokoh Dayak di Palangkaraya pada tangga 13 Nopermber 2011.

190

Tra sfor asi Ide titas Geraka dari Pe a ba g Me jadi Masyarakat Adat

membangun daerah Dayak yang diimbangi dengan pengakuan pada
kedaulatan dan status lembaga adat (Kedamangan); (3) semua pihak
sepakat menghentikan kegiatan asang maasang (perang antar suku); (4)
dihentikannya kegiatan bunu habunu (saling bunuh) yang seringkali
dilakukan dengan latar belakang dendam; (5) menghentikan kegiatan
kayau mengayau (kebiasaan memburu manusia, memotong kepala
untuk koleksi pribadi dan bukti kepahlawanan); (6) menghentikan
kebiasaan jipen manjipen dan hajual hapili jipen (perbudakan dan jual
beli budak); (7) menyempurnakan warisan turun temurun yang
dipangku para Damang disamping ketentuan-ketentuan yang
dijalankan pemerintah; dan (8) memberi kesempatan untuk berbagai
pihak mengemukakan masalah yang dihadapi masing-masing dan
dicarikan penyelesaiannya.
Pakat Dayak juga merupakan bentuk kesepakatan, kerukunan,
persatuan dan kesatuan langkah dan pandangan pada suatu kurun
waktu. Karenanya Pakat Dayak dapat dikatakan sebagai institusi atau
sebagai sekumpulan norma dan perilaku yang tetap sepanjang waktu
dengan cara memberi tujuan yang bernilai kolektif (Uphoof, 1986:119) yang selanjutnya dapat berfungsi sebagai kerangka interaksi dan
integrasi dimana jati diri orang Dayak akan terus berkembang dari
waktu ke waktu dalam mengisi ruang pembangunan atau dalam ruang
membentuk peradapan. Selain itu, Pakat Dayak juga digunakan sebagai
alat perjuangan, karena pengertian pakat mengandung suatu kebulatan
pikiran, pandangan dan langkah ke suatu tujuan atau suatu pencerahan
pikiran atau kebangkitan atau kebangkitan kembali kebudayaan
(cultural revival) (Usop, 1994:v-vii).
Walaupun rapat damai di Tumbang Anoi (1894) merupakan
sejarah besar bagi orang Dayak, tetapi sebagian orang Dayak
menganggap pertemuan tersebut merupakan kekalahan dan
mengembangkan mentalitas budak di kalangan orang Dayak sebagai
politik desivilasi “ragi usang” (Kusni, 2010). Orang Dayak kemudian
memiliki rasa rendah diri sampai-sampai ada yang tidak mengakui
dirinya orang Dayak dan mau berbahasa Dayak. Kesalahan rapat damai
di Tumbang Anoi, dikoreksi setelah 25 tahun kemudian, tepatnya pada
191

ORANG DAYAK MELAWAN TAMBANG
Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

tanggal 18 Juli 1919 dengan didirikannya organisasi oleh beberapa
tokoh Dayak yang diberi nama dengan Pakat Dayak atau Serikat
Dayak. Berdirinya organisasi ini bersamaan dengan berdirinya Boedi
Oetomo (20 Mei 1908) dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya di
berbagai pulau di Indonesia, terutama di Jawa. Apakah berdirinya
organisasi Pakat Dayak tidak terpisahkan dari Gerakan Kebangkitan
Nasional untuk kemerdekaan Indonesia masih perlu dikaji lebih jauh.
Namun demikian, dengan berdirinya organisasi ini diharapkan dapat
melahirkan kesadaran “baru” tentang pentingnya gerakan membela
harkat dan martabat orang Dayak, baik secara politik, ekonomi, budaya
maupun sosial.
Meskipun Pakat Dayak sudah dibentuk, tetapi masih banyak
orang Dayak yang belum sadar pentingnya membangun integritas keDayak-an karena mereka tetap merasa dirinya sebagai Dayak Oot
Danum, Dayak Ngaju, Dayak Siang, Dayak Bakumpai dan Dayak
Maanyan, yang berasal dari daerah utus itu dan utus ini. Hal ini
terlihat dari upaya membentuk Komite Kesa

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 5

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 4

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB VII

0 0 27

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB V

0 2 50

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB IV

0 1 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB III

0 0 33

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB II

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Orang Dayak Melawan Tambang: Studi Gerakan Sosial Baru dalam Ruang Publik Virtual D 902006007 BAB I

0 2 15