Pengaruh Kombinasi NAA dan Kinetin Terhadap Pertumbuhan dan Perubahan Planlet dari Tunas Apikal Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Chapter III V

9

BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2016 sampai dengan Maret
2017di Laboratorium Kultur Jaringan dan Laboratorium Genetika, Departemen
Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera
Utara, Medan.

3.2. Bahan dan Alat
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah pucuk apikal tanaman
kelapa sawit berumur 8-10 bulan yang diperoleh dari Pusat Penelitian Kelapa
Sawit (PPKS) Marihat, Pematang Siantar sebagai sumber eksplan. Bahan kimia
yang digunakan adalah bahan penyusun media Y3 (Eeuwens, 1976) (Lampiran 2
halaman 33.), α-Naphthaleneacetic acid (NAA), kinetin, HCl 0,1 N, NaOH 0,1N,
sukrosa, agar, arang aktif, larutan pemutih (NaOCl 5,25%), deterjen, alkohol 70%,
akuades, spiritus, HgCl2, primer SSR,ddH2O steril, agarosa, loading dye,
Bayclin®, Tween® 80, aluminium foil, kertas saring.
Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah erlenmeyer, gelas ukur,

pipet serologi, propipet, pH meter, autoklaf, Laminar Air Flow Cabinet (LAFC),
rak kultur, plastik, karet, botol kultur, shaker, botol selai, alat diseksi, beaker
glass, neraca digital, mikroskop, bunsen, cawan petri, kain hitam, mancis,
handsprayer, mikropipet, vorteks, alu dan lumpang, freezer, water bath, lemari
pendingin, PCR, elektroforesis, mikropipet, sentrifugasi.

3.3. Cara Kerja
3.3.1. Sterilisasi Eksplan
Eksplan berupa tunas apikal kelapa sawit dipotong (Gambar 3.1b) dan
dicuci dengan air keran mengalir. Tunas apikal dicuci dengan detergen selama ± 5
menit dan dibilas dengan akuades steril hingga bersih. Tunas apikal direndam
dalam larutan Na-hipoklorit 1 % yang ditambah Tween® 80 sebanyak 2 tetes

Universitas Sumatera Utara

10

selama 5 menit dan dibilas dengan akuades steril. Tunas direndam dalam HgCl2
0,1% selama 30 menit dan dibilas dengan akuades steril sebanyak tiga kali.
Eksplan tunas diletakkan dalam cawan petri dan dikeringkan dengan kertas saring

steril. Eksplan diiris ± 0,5 cm secara aseptik dan diinokulasikan ke media kultur.

TA

a

15 cm

b

5 cm

Gambar 3.1. (a) Bibit Kelapa Sawit, (b) Tunas Apikal Kelapa sawit; TA: Tunas
Apikal
3.3.2. Induksi Kalus
Eksplan diinokulasikan ke media Y3 (Euwens, 1976) (Lampiran 2 halaman 33)
dengan penambahan 130 mg/L 2,4-D. Kultur diletakkan pada suhu 27 ± 1ºC
dalam keadaan gelap dan disubkultur satu bulan sekali pada media yang sama
hingga kalus terbentuk (Bayzura, 2014; Astuti, 2014).


3.3.3. Induksi Embrio
Kalus yang telah terbentuk dipindahkan ke media Y3 dengan kombinasi
Kinetin 0,5 mg/L dan NAA 0,1 mg/L. Kultur diletakkan di bawah kondisi
bercahaya selama 16 jam fotoperiodisme pada suhu 27 ± 1ºC dan disubkultur dua
minggu sekali pada media yang sama hingga embrio terbentuk (Thuzar et al.,
2011).

3.3.4. Induksi Planlet
Planlet diinduksikan pada media Y3 dengan kombinasi Kinetin sebesar 0;
0,01; dan 0,2 mg/L dan NAA sebesar 0; 0,05; dan 0,1 mg/L. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 2 faktorial, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

11

Faktor 1 (K) : Perlakuan media Y3 dengan penambahan ZPT Kinetin dengan
konsentrasi
K0 : 0 mg/L
K1: 0,1 mg/L

K2 : 0,2 mg/L
Faktor 2 (N) : Perlakuan media Y3 dengan penambahan ZPT NAA dengan
konsentrasi
N0 : 0 mg/L
N1 : 0,05 mg/L
N2 : 0,1 mg/L
Sehingga diperoleh kombinasi 9 perlakuan untuk masing-masing kelompok
percobaan dengan masing-masing ulangan sebanyak 5 kali. Rincian kombinasi
perlakuan sebagai berikut:
K0N0

K1N0

K2N0

K0N1

K1N1

K2N1


K0N2

K1N2

K2N2

Kultur diletakkan dibawah kondisi bercahaya selama 16 jam fotoperiodisme pada
suhu 27 ± 1ºC dan disubkultur 2 minggu sekali pada media yang sama (Eeuwens
et al, 2002).

3.3.5. Parameter Pengamatan
Perubah yang diamati pada penelitian ini adalah:
1.

Waktu Inisiasi Organ
Waktu induksi organ dihitung secara manual mulai dari hari setelah tanam
(HST) hingga terbentuknya planlet.

2. Persentase Jumlah Akar


3.

Jumlah botol yang tumbuh akar
suatu perlakuan
Persentase Jumlah Akar =
x 100%
Jumlahtotal botol percobaan
Persentase Jumlah Tunas
Jumlah botol yang tumbuh tunas
suatu perlakuan
Persentase Jumlah Tunas =
x 100%
Jumlah total botol percobaan

Universitas Sumatera Utara

12

3.3.6. VerifikasiVariasi Somaklonal

3.3.6.1. Isolasi DNA
Planlet yang tumbuh dan telah diamati diisolasi DNAnya. Isolasi DNA
berdasarkan metode Cetyltrimethylamonium bromida (CTAB) (Doyle & Doyle,
1990) yang dimodifikasi. Planlet 0,4 g digerus dalam lumpang porselen dengan
bantuan nitrogen cair. Planlet yang telah halus seperti tepung berwarna putih
dimasukkan ke dalam tabung mikro ukuran 2 mL yang berisi 1 mL buffer
ekstraksi (100 mM Tris-HCl pH 8, 1,4 M NaCl, 20 mM EDTA, 2% CTAB, 3%
PVP dan 0,2% β-mercaptoetanol) yang telah dipanaskan pada suhu 65ºC. Larutan
bolak-balik sampai terbentuk suspensi dan dipanaskan di dalam water bath suhu
65ºC selama 30 menit dengan catatan setiap 10 menit sampel dikeluarkan dan
dikocok manual.
Sampel dibiarkan dingin pada suhu ruang dan dilanjutkan dengan proses
pemurnian. Proses pemurnian diawali dengan penambahan Tris-Phenol :
Kloroform : Isoamilalkohol (25:24:1) dengan volume yang sama dan disentrifus
dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu 4ºC. Supernatan
dipindahkan ke tabung mikro baru dan dimurnikan lagi dengan larutan kloroform
: isoamilalkohol (24:1) dengan volume yang sama dan dibiarkan selama 45 menit
serta dibolak-balik secara teratur. Larutan disentrifus dengan kecepatan 10.000
rpm selama 15 menit pada suhu 4ºC. Supernatan diambil dengan pipet dan
dipindahkan ke tabung mikro yang baru. DNA diendapkan dengan penambahan

1/10 kali volume sodium asetat (pH 5,2) dan 3 kali volume etanol absolut dingin,
dibolak-balik beberapa kali. DNA tersebut diinkubasi pada suhu -20ºC selama 3
jam dan disentrifugasi dengan kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit pada suhu
4ºC. Supernatan dibuang sedangkan pelet diambil dan dibersihkan dengan 500 µL
alkohol 70%. Tahap selanjutnya DNA dikeringanginkan atau divakum pada suhu
37ºC selama 10 menit. DNA yang telah kering dilarutkan dengan 50 µL akuabides
(ddH2O) steril.
Tahap selanjutnya menghilangkan kontaminan RNA dari DNA dengan
cara menambahkan 5 µL RNA-se (20 mg/mL) dan diinkubasi selama 90 menit
pada suhu 37ºC . RNA-se dinonaktifkan dengan cara diinkubasi pada suhu 70ºC
selama 3 menit. DNA disimpan pada suhu -20ºC untuk digunakan selanjutnya.

Universitas Sumatera Utara

13

3.3.6.2. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA
DNA

hasil


ekstraksi

kemudian

diukur

konsentrasinya

dengan

menggunakan alat Nanophotometer (IMPLEN P-360 NanoPhotometer P-Class).
Larutan blanko yang digunakan adalah ddH2O. Pengukuran konsentrasi DNA
pada panjang gelombang 260 nm. Konsentrasi DNA dihitung dengan rumus A260
x 50 x faktor pengenceran. Pengukuran kemurnian DNA dilakukan dengan
membandingkan absorben 260/280 (A260/280). DNA yang murni mempunyai
A260/280 = 1,8 hingga 2. Uji kualitas dan kuantitas juga dilakukan dengan
elektroforesis pada 1% gel Agarosa.

3.3.6.3. Amplifikasi DNA dengan Teknik SSR

Amplifikasi pita DNA menggunakan GoTaq® Green Master Mix
(Promega, USA) dan mengikuti protokol yang disarankan oleh perusahaan
tersebut (Lampiran 3 Halaman 34) serta menggunakan 3 primer SSR yang
terdapat pada Tabel 3.1 (Singh et al., 2007). Hasil PCR dielektroforesis pada
1,8% gel agarosa, tegangan listrik 70 V, kuat arus 500 mA selama 90 menit. Hasil
elektroforesis diwarnai dengan ethidium bromida (1 µg/mL) dan divisualisasikan
dengan Gel Documentation (UVItec, Cambridge).
Tabel 3.1. Nama Lokus, Motif Ulangan, Urutan Primer dan Suhu Annealing
Nama
Lokus

Motif
Ulangan

P1T6

(CT)8..(CT)5

P1A0


(GA)6

P4T12a

(GA)8

Urutan Primer
F: 5’---3’
R: 5’---3’
F: GGAGGCCGCCTAATGAAAGAAATC
R: AGAGAGAGAAGGGGAGGGAAGGAG
F: TGAGAGAGAGAGAGAGAGAGAG
R: AGCGAGGTTGTTGCTCCTAAA
F: GTTATTTGAGAGAGAGAGAGAG
R: TGCCACTACGTGAAGAAGATAAAG

Suhu
Annealing
50°C
52°C
52°C

3.4. Analisis Data
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan uji F pada taraf 5%.
Jika perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan dengan
bantuan software SPSS versi 22.Data biner pita DNA diproses dengan bantuan
software NTSYS (Rohlf, 2000) sehingga dihasilkan pohon dendogram kesamaan
genetik.

Universitas Sumatera Utara

14

BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini menggunakan parameter pengamatan waktu inisiasi planlet, rata-rata
jumlah akar dan rata-rata jumlah tunas dan dilanjutkan dengan melihat perubahan
genetik planlet dengan teknik SSR.

4.1. Induksi Kalus dari Eksplan Tunas Apikal Kelapa Sawit (Tahap 1)
Eksplan tunas apikal kelapa sawit yang ditanam pada media Y3 dengan
penambahan 2,4-D 130 mg/L dapat menginduksi pertumbuhan kalus selama 90
HST (Gambar 4.1.). Hal ini menunjukkan bahwa 2,4-Dmampu menginduksi
pertumbuhan kalus pada kelapa sawit (Eeuwens et al., 2002; Abdullah et al.,
2005).Feher et al., (2003) menambahkan bahwa 2,4-D memiliki dua faktor yang
bekerja langsung sebagai auksin dan pada jenis tanamandalam konsentrasi
tertentu dapat menyebabkan stres. Menurut Gaj (2004) dibandingkan dengan jenis
auksin lainnya, 2,4-D paling banyak digunakan pada induksi embrio somatik. Hal
ini disebabkan 2,4-D memiliki daya aktivitas kuat dan dalam konsentrasi rendah
mampu menginduksi kalus endosperm (Thomas & Chaturvedi, 2008).

a

0,7 cm

b

0,3 cm

Gambar 4.1. Kultur tunas apikal kelapa sawit (a) Eksplan tunas apikal pada media
Y3 + 2,4-D 130 ppm (b) Kalus embrionik tunas.
Kalus yang tumbuh berwarnaputih kekuningan, bentuk nodular dan
memiliki struktur kompak. Kalus yang memiliki ciri-ciri seperti ini merupakan
kalus embrionik.Menurut Peterson & Smith (1991), Thuzar et al., (2012) dan

Universitas Sumatera Utara

15

Pereira et al., (2013) kalus embrionik yang berasal dari meristem apikal kelapa
sawit berwarna putih kekuningan dan mengkilat. Kasi & Sumaryono (2006) dan
Bayzura (2014) mendapatkan warna kalus embrionik dari famili Arecaceae pada
umumnya berwarna kekuningan.

4.2. Induksi Embrio dari Eksplan Tunas Apikal Kelapa Sawit (Tahap 2)
Kalus embrionik yang diperoleh dilakukan induksi embrio somatik pada media
Y3 dengan penambahan kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,05 mg/L. Embrio somatik
terbentuk 90 HST(Gambar 4.2.). Hal ini menunjukkan bahwa kombinasitersebut
mampu merangsang pertumbuhan kalus embrionik. Menurut Sahrawat dan Chand
(2009) perubahan keseimbangan hormon dalam sel terhadap zat pengatur tumbuh
(ZPT) auksin dan sitokinin menentukan proses diferensiasi. Kombinasi perlakuan
perbandingan antara auksin dan sitokinin sangat mempengaruhi dalam
menentukan tipe morfogenesis (Decruse et al., 2003).

a

0,4 cm

b

0,6 cm

Gambar 4.2. Morfologi embrio somatik (a) kalus dan embrio somatik selama 90
hari setelah tanam (b) embrio somatik fase globular selama 90 hari
setelah tanam.
Karunaratne & Periyapperuma (1990) mendapatkan embrio somatik pada
kultur dalam media yang mengandung auksin rendah (2,4-D 0,001 mg/L) dan
sitokinin yang tinggi (kinetin 0,002 mg/L) yang berbentukglobular, bertekstur
kompak, bulat, bipolar, permukaan rata dan berwarnah putih. Gaj (2001)
melaporkan bahwa embrio somatik yang dapat dicirikan dengan struktur bipolar,
yaitu mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas.
Struktur tersebut lebih menguntungkan dari pada pembentukan tunas adventif.

Universitas Sumatera Utara

16

4.3. Waktu Organogenesis dari Eksplan Tunas Apikal Kelapa Sawit (Tahap
Perlakuan)
Waktu organogenesis dihitung secara manual dari awal penanaman embrio
somatik pada media Y3 dengan penambahan kombinasi NAA dan kinetin yang
berbeda pada tiap perlakuan hingga mulai terbentuk organ selama 100 hari
pengamatan (Gambar 4.3.). Organ mulai terbentuk pada 12–86 hari setelah tanam
(Tabel 4.1.).

S
R

a

0,4 cm

b

0,5 cm

Gambar 4.3. Respon in vitro dari tunas apikal kelapa sawit (a) akar dari eksplan
tunas apikal kelapa sawit (b) tunas dari eksplan tunas apikal kelapa
sawit; R=Akar, S=tunas.
Tabel 4.1 Rata-rata tumbuh planlet dari eksplan tunas apikal kelapa sawit dengan
konsentrasi NAA dan kinetin yang berbeda.
Waktu Terbentuk Organ (HST)
Konsentrasi
Konsentrasi Kinetin (mg/L)
Rata-Rata
NAA (mg/L)
0
0,1
0,2
0
0
23,00b
12,67a
17,83a
d
c
0,05
86,67
0
36,00
61,33c
0,1
0
32,67bc
24,00b
28,33b
b
a
a
Rata-Rata
86,67
27,83
24,22
F (A: NAA)
14,92*
F (B: Kinetin)
64,39*
0,06*
F (A x B)
Keterangan: Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak
berbeda nyata pada uji Duncan.
Perlakuan dengan konsentrasi kinetin 0,2 mg/L tanpa NAA dapat
menginduksi pertumbuhan planlet tercepat yaitu 12,67 HST. Hal ini menunjukkan
bahwa NAA memperlambat pertumbuhan planlet. Demikian pula pada perlakuan
NAA 0,05 mg/L tanpa kinetin dapat menginduksi pertumbuhan planlet. Namun

Universitas Sumatera Utara

17

pertumbuhan pada perlakuan NAA tanpa kinetin terjadi begitu lambat yaitu 86.67
HST. Hasil yang sama dilaporkan oleh Karjadi dan Buchory (2007) bahwa
induksi planlet dengan zat pengatur tumbuh BAP 2,5 dan 7,5 mg/L tanpa
penambahan NAA mengalami pertumbuhan tinggi dibandingkan dengan
penambahan NAA tinggi planlet cenderung menurun. Kumari et al., (2013)
menambahkan bahwa konsentrasi kinetin 2,0 mg/L dan NAA 0,1 mg/L mampu
menginduksi pertumbuhan planlet tercepat pada tanaman Dendrobium sonia.
Hal serupa juga terjadi pada perlakuan kombinasi antara NAA dan kinetin.
Interaksi antara NAA dan kinetin juga berpengaruh nyata terhadap waktu tumbuh
planlet selama 24,00 HST, namun masih lebih rendah dibandingkan dengan
perlakuan yang diperkaya kinetin. Hal ini menunjukkan bahwa zat pengatur
tumbuh kinetin berperan dalam proses morfogenesis planlet dari tunas apikal
kelapa sawit. Sitokinin berfungsi untukmerangsang pembelahan sel tanaman dan
berinteraksi dengan auksin dalam menentukan arah diferensiasi sel. Selain itu,
sitokinin berperan dalam induksi dan perkembangan dari jaringan meristematik
yang membantu formasi organ dan berperan dalam mengatur dan berhubungan
luas dengan aktivitas-aktivitas dan pola morfogenesis (Wareing & Phillips, 1970;
Gardner et al., 2008; Zulkarnain, 2009 dan Seyyedyousefi et al., 2013)

4.4. Rata-rata Jumlah Akar
Rata-rata jumlah akardiamati selama 100 HST. Akar yang terbentuk dari embrio
somatik asal tunas apikal kelapa sawit tumbuh pada beberapa perlakuan saja. Pada
perlakuan kinetin tunggal dan kombinasinya dengan NAA terbentuk akar paling
banyak dibandingkan dengan perlakuan NAA tunggal yang tidak ada
pertumbuhan akar (Tabel 4.2.).

Tabel 4.2 Rata-rata jumlah akar yang muncul pada tingkat konsentrasi NAA dan
kinetin yang berbeda.
Jumlah Akar
Konsentrasi
Konsentrasi Kinetin (mg/L)
Rata-Rata
NAA (mg/L)
0
0,1
0,2
0
0
3,33
4,00
3,67
0,05
2,33
0
2,33
2,33
0,1
0
3,67
2,67
3,17
Rata-Rata
2,33
3,50
3,00

Universitas Sumatera Utara

18

Perlakuan dengan konsentrasi kinetin0,2 mg/L tunggal menginduksi
pembentukan akar paling banyak dibandingkan dengan perlakuan lainnya dengan
rata-rata jumlah akar sebanyak 4,00.Widiastoety (2014) menyatakan bahwa
pembentukan akar berhubungan dengan kandungan auksin dan sitokinin endogen
dalam jaringan tanaman yang diikuti dengan pemanjangan dan perbesaran sel.
Pembentukan akar juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya. Intensitas cahaya
rendah dapat merangsang zat pengatur tumbuh endogen untuk bekerja lebih aktif
dalam merangsang pertumbuhan dan perkembangan akar. Kondisi terang
berpengaruh nyata terhadap perbaikan kemampuan regenerasi planlet. Auksin
dalam jaringan tanaman dapat bekerja aktif walaupun dalam keadaan gelap, tetapi
sintesis auksin berlangsung dalam keadaan terang (Urdiroz et al., 2004).
Namun hasil dari perlakuan kinetin lebih banyak mengalami pertumbuhan
akar dibandingkan pada konsentrasi auksin. Hal ini dapat disebabkan oleh zat
pengatur tumbuh eksogen yang terdapat pada embrio somatik asal tunas apikal
kelapa sawit. Menurut Hartati (2010) bahwa setiap tanaman mempunyai
kemampuan yang berbeda-beda dalam menyerap zat pengatur tumbuh untuk
merangsang pertumbuhannya. Akar tanaman tumbuh dan berkembang mengikuti
respon dan ketersediaan unsur hara dan status zat pengatur tumbuh khususnya
auksin (Angestiwi, 2007).

4.5. Rata-rata Jumlah Tunas
Rata-ratajumlah tunasdiamati selama 100 HST. Tunas yang terbentuk dari embrio
somatik asal tunas apikal kelapa sawit tumbuh pada beberapa perlakuan saja. Pada
perlakuan kinetin tunggal tidak terjadi pertumbuhan tunas. Begitu pula pada
perlakuan NAA tunggal. Perlakuan kombinasi NAA dan kinetin dengan
konsentrasi kinetin lebih tinggi mengalami pertumbuhan yang baik dibandingkan
dengan konsentrasi NAA yang lebih tinggi. Konsentrasi kinetin 0,2 mg/L dan
NAA 0,05 mg/L mampu menginduksipertumbuhan tunas paling banyak
dibandingkan perlakuan lainnya dengan rata-rata jumlah tunas 1,67 (Tabel 4.3).

Universitas Sumatera Utara

19

Tabel 4.3 Rata-rata jumlah tunas yang muncul pada beberapa tingkat konsentrasi
NAA dan kinetin
Jumlah Tunas
Konsentrasi
Konsentrasi Kinetin (mg/L)
Rata-Rata
NAA (mg/L)
0
0,1
0,2
0
0
1,00
0
1,00
0,05
0
0
1,67
1,67
0,1
0
1,00
0
1,00
Rata-Rata
0
1,00
1,67
Huetterman dan Prece (1993) melaporkan bahwa sitokinin berpotensi
dalam memacu frekuensi regenerasi dan memacu pembentukkan tunas adventif
pada beberapa jenis tumbuhan. Selain itu, mampu menginduksi proses
pembelahan sel secara cepat pada kumpulan sel meristem sehingga terbentuk
primordia tunas (George & Sherington, 1984). Fereol et al., (2002) menambahkan
bahwa auksin umumnya menghambat pertumbuhan tunas, sedangkan kombinasi
konsentrasi sitokinin tinggi dengan auksin rendah penting dalam pembentukan
tunasdan daun. Dalam kultur jaringan kedua zat pengatur tumbuh ini terbukti
berperan dalam menunjang pertumbuhan jaringan apabila digunakan dengan
konsentrasi yang tepat.
Konsentrasi antara sitokinin dan auksin yang berbeda akan mengakibatkan
modus pertumbuhan yang berbeda, meskipun memiliki rasio yang sama
(Zulkarnain, 2007). Khalegi et al., (2008) menambahkan bahwa konsentrasi
sitokinin yang semakin tinggi mengakibatkan penurunan jumlah tunas yang
berdampak pada dominansi apikal, serta penambahan NAA dalam konsentrasi
rendah diperlukan untuk primordia tunas.

4.6. Analisis Perubahan Genetik Planlet dari Eksplan Tunas Apikal Kelapa
Sawit
Analisis perubahan genetik dilakukan pada setiap perlakuan dengan kombinasi
NAA dan kinetin pada media Y3 yang membentuk planlet maupun yang tidak
membentuk planlet sampai akhir pengamatan. Analisis perubahan genetik
dilakukan pada tingkat DNA (Lampiran 8 Halaman 41). Amplifikasi DNA
menggunakan 3 primer simple sequence repeat (SSR) (Gambar. 4.6.).

Universitas Sumatera Utara

20

M

TI TK K E D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9

1100 bp

100 bp

a
M TI TK K E D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9
700 bp

100 bp

b
M TI TK K

E D1 D2 D3 D4 D5 D6 D7 D8 D9

700 bp

100 bp

c
Gambar 4.4. Pola pita polimorfik DNA dari planlet tunas apikal kelapa sawit
dengan primer SSR: (a) Primer P1A0, (b) Primer P4T12a dan (c)
Primer P1T6, (M=Marker 100 bp, (TI)=Tanaman Induk, (TK)=Tanaman
Abnormal hasil Kultur Jaringan, K=Kalus, E=Embrio, D1=K0N0 (Kinetin dan
NAA 0 mg/L), D2=K0N1 (NAA 0,05 mg/L), D3=K0N2 (NAA 0,1 mg/L),
D4=K1N0 (kinetin 0,1 mg/L), D5=K1N1 (kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,05
mg/L), D6=K1N2 (kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0, 1 mg/L), D7=K2N0 (kinetin
0,2 mg/L), D8=K2N1 (kinetin 0,2 mg/L dan NAA 0,05 mg/L), D9=K2N2
(kinetin 0,2 mg/L dan NAA 0,1 mg/L) dan tanda
= perubahan pita DNA)

Universitas Sumatera Utara

21

Hasil amplifikasi menggunakan primer P1A0, P4T12a dan P1T6
menunjukkan bahwa primer dapat mendeteksi perubahan genetik pada tanaman
hasil klon kelapa Sawit. Hal ini ditunjukkan pada primer P1A0 pada perlakuan
K1N1 (kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,05 mg/L) mengalami perubahan pita DNA
pada ukuran 1100 bp, K1N2 (kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,1 mg/L) mengalami
perubahan pita DNA pada ukuran 100 bp, K2N0 (kinetin 0,2 mg/L), K2N1
(kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,05 mg/L), dan K2N2 (kinetin 0,2 mg/L dan NAA
0,1 mg/L) mengalami perubahan pita DNA yaitu muncul pita baru pada ukuran
300 bp. Menurut Singh et al. (2007) bahwa primer P1A0, P4T12a dan P1T6
mampu mendeteksi perubahan genetik antara ortet (tanaman induk yang
digunakan sebagai sumber eksplan untuk perbanyakan tanaman pada teknik kultur
jaringan) dengan organ yang telah terbentuk dari hasil klon tanaman kelapa sawit.
Pada primer P4T12a mengalami perubahan pada perlakuan K1N1 (kinetin
0,1 mg/L dan NAA 0,05 mg/L) tidak terdapat pita, K1N2 (kinetin 0,1 mg/L dan
NAA 0,1 mg/L) dan K2N1 (kinetin 0,2 mg/L dan NAA 0,05 mg/L) mengalami
penambahan pita DNA pada ukuran 200 bp dan pada perlakuan K2N2 (kinetin 0,2
mg/L dan NAA 0,1 mg/L) tidak terdapat pita DNA. sedangkan pada primer P1T6
pada perlakuan K (kalus) mengalami penambahan pita DNA pada ukuran 300 bp.
Perlakuan E (embrio) dan K1N1 (kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,05 mg/L) tidak
terdapat pita DNA. Pada perlakuan K2N1 (kinetin 0,2 mg/L dan NAA 0,05 mg/L)
mengalami penambahan pita pada ukuran 300 bp dan 400 bp dan pada perlakuan
K2N2 (kinetin 0,2 mg/L dan NAA 0,1 mg/L) mengalami perubahan pita DNA
pada ukuran 500 bp.
Berbeda dengan tanaman abnormal hasil kultur jaringan (TK) yang tidak
mengalami perubahan pita pada hasil amplifikasi. Hal ini menujukkan ketiga
primer tersebut tidak efektif dalam melihat perubahan genetik pada tanaman induk
dan tanaman abnormal hasil kultur jaringan. Berbeda dengan hasil perlakuan
dengan kombinasi kinetin dan NAA yang mengalami perubahan genetik dari pola
pita yang terbentuk.
Pola pita yang mengalami perubahan dengan pola pita pada tanaman induk
mengindikasikan terjadinya perubahan genetik. Perubahan pola pita pada klon
dari eksplan tunas apikal kelapa sawit disebabkan karena terjadinya perubahan

Universitas Sumatera Utara

22

sekuens DNA. Menurut Bayzura (2014) perubahan genetik dapat disebabkan
karena penambahan 2,4-D dalam konsentrasi yang tinggi dan juga lamanya
interval subkultur. Euwens et al., (2002) menambahkan bahwa lamanya subkultur
yang dilakukan selama tahap pengkulturan klon kelapa sawit mempunyai
kecenderugan meningkatkan abnormalitas pembungaan kelapa sawit.
Banyak faktor yang mempengaruhi perubahan genetik hasil klon dari
kultur jaringan, yaitu sumber eksplan, pemilihan konsentrasi zat pengatur tumbuh
yang digunakan dan banyaknya dilakukan subkultur selama masa kultur (Karp,
1995). Jones (1991) dan Paranjothy et al., (1993) menyatakan bahwa abnormalitas
yang terjadi pada klon kelapa sawit disebabkan oleh gangguan pada ekspresi gen
yang dipengaruhi fitohormon. Menurut Griffth et al., (1993) dan Kumar (1995)
keragaman genetik pada kultur jaringan disebabkan oleh penggandaan jumlah
kromosom (fusi dan endomitosis), perubahan struktur kromosom, perubahan gen
dan sitoplasma.
Perubahan genetik yang terjadi pada planlet dari eksplan tunas apikal
kelapa sawit juga dapat dilihat dari pohon dendogram (Gambar 4.5.)
p+

TIpe
TK
E1
D1
2
D2
3
D3
4
D4
Kk
6
D6
7
D7
D9
9
D8
8
D5
5

0.00

0.25

0.50

0.75

1.00

Coefficient

Gambar 4.5. Pohon dendogram kemiripan genetik planlet dari tunas apikal kelapa
sawit.
Hasil dari pohon dendogram memperlihatkan seluruh planlet mengelompok pada
nilai koefisien kemiripan 0,39. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh organ hasil
kultur jaringan dari eksplan tunas apikal kelapa sawit mengalami perubahan
genetik sebesar 61%. Sanputawong & Te-Chato (2011) melaporkan bahwa
tanaman hasil klon kelapa sawit mengalami perubahan genetik yang disebabkan
oleh penambahan auksin dicamba sebesar 1 mg/L yang diamplifikasi dengan
delapan primersimple sequence repeat(SSR) yaitu EgCIR008, EgCIR0243,
EgCIR0337, EgCIR0409, EgCIR0446, EgCIR0465, EgCIR0781 dan EgCir00905.

Universitas Sumatera Utara

23

BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
a. Konsentrasi kinetin 0,2 mg/L tunggal mampu menginduksi pertumbuhan
planlet tercepat yaitu 12,67 HST.
b. Semua primer dapat mendeteksi perubahan genetik planlet dari tunas apikal
kelapa sawit. Primer P1A0 paling banyak mendeteksi perubahan genetik
planlet dari eksplan tunas apikal kelapa sawit.
c. Pada perlakuan K1N1 (kinetin 0,1 mg/L dan NAA 0,05 mg/L) mengalami
perubahan genetik yang paling banyak diantara perlakuan yang lain.

5.2 Saran
a. Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai konsentrasi zat pengatur
tumbuh yang lebih bervariasi dan frekuensi subkultur dalam mendeteksi
perubahan genetik planlet dari eksplan tunas apikal kelapa sawit.
b. Sebaiknya dilakukan analisis dengan menggunakan marker yang lainnya agar
penelitian ini dapat menjadi acuan terhadap perubahan genetik yang terjadi
pada tahap reproduksi.

Universitas Sumatera Utara