Penyelesaian Pembagian Harta Warisan Menurut Hukum Adat Tapanuli Selatan (Studi Kasus Kecamatan Angkola Barat)

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM WARIS BAGI MASYARAKAT
TAPANULI SELATAN

A.

Hukum Waris Islam

A.1.

Pengertian Warisan menurut Hukum Waris Islam
Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris berdasarkan hukum Islam,

satu-satunya sumber tertinggi dalam kaidah ini adalah Al-Qur’an dan sebagai
pelengkap yang menjabarkannya adalah sunnah Rasul beserta hasil-hasil Ijtihad atau
upaya para ahli hukum Islam terkemuka. Berkaitan dengan hal tersebut, dibawah ini
akan diuraikan beberapa ayat suci Al-Qur’an yang merupakan sendi utama
pengaturan warisan dalam Islam.Ayat-ayat tersebut secara langsung menerangkan
perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an, masing-masing tercantum
dalam Surat An-Nisa, Surah Al-Baqarah dan terdapat pula pada Surat Al-Ahzab.
Ayat-ayat suci yang berisi ketentuan hukum waris dalam Al-Qur’an, sebagian

besar terdapat dalam Surah An-Nisa diantaranya sebagai berikut 25 :
a. Ayat 7 : “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta sepeninggalan
Ibu-Bapak, dan kerabatnya dan bagi wanita adapula dari harta peninggalan
Ibu-Bapak, dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang

25

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung
: Refika Aditama, Cet 2, 2007, Hlm. 11

Universitas Sumatera Utara

telah ditetapkan”. Dan dalam ayat ini secara tegas, Allah menyebutkan
bahwa baik laki-laki maupun perempuan merupakan ahli waris.
b. Ayat 11 : “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka
untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anak laki-laki sama dengan
bagian dua anak perempuan 26,dan jika anak itu semuanya perempuan
lebih dari dua 27, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang
ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh
membagi separuh harta. Dan untuk dua orang Ibu-Bapak, bagi masingmasingnya satu per enam dari harta yang ditinggalkan. Jika yang

meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak
mempunyai anak dan ia diwarisi oleh Ibu-Bapaknya atau salah satunya,
maka Ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai
beberapa saudara maka Ibunya mendapat satu per enam. (pembagianpembagian tersebut diatas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau
(dan) sesudah dibayar utangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu,
kamu tidak mengetahui diantara mereka lebih dekat atau banyak
manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana”.
Dari ayat ini, dapat diketahui tentang bagian anak, bagian Ibu
dan Bapak, disamping itu juga diatur tentang wasiat dan hutang pewaris.
26

Bagi laki-laki dua kali bagian perempuan karena kewajiban laki-laki lebih berat dari
perempuan, seperti kewajiban membayar, mas kawin, dan memberi nafkah (Surah An-Nisaa Ayat : 34)
27
Lebih dari dua maksudnya : dua atau lebih sesuai dengan yang diamalkan Nabi.

Universitas Sumatera Utara

c. Ayat 12 : “Dan bagimu (suami-suami) satu per dua dari harta yang

ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika
istri-istrimu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari
harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat
atau dan sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh satu perempat
dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika
kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh satu per delapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau
dan sesudah dibayar hutang-hutangmu . . . .”.
Dalam ayat ini, juga ditentukan secara tegas, mengenai bagian
duda serta bagian janda.

d. Ayat 33 : “bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan
Ibu-Bapak dan keluarga dekat, kami jadikan pewaris-pewarisnya 28”.
Secara rinci dalam ayat 11 dan 12 Surah An-Nisaa di atas, Allah
menentukan ahli waris yang mendapat harta peninggalan dari harta IbuBapaknya, ahli waris yang mendapat peninggalan dari saudara perjanjian.
Selanjutnya Allah memerintahkan agar pembagian itu dilaksanakan.

e. Ayat 176 : “ . . . Katakanlah : Allah memberi Fatwa kepadamu tentang
Kalalah atau yaitu: jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak
28


Lihat orang-orang yang termasuk ahli waris dalam ayat 11 dan 12 Surah An-Nisaa

Universitas Sumatera Utara

mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu satu per dua dari harta yang
ditinggalkannya. Dan saudaranya yang laki-laki mempusakai, (seluruh
harta saudara perempuannya), jika ia tidak mempunyai anak, tetapi jika
saudara perempuan itu dua orang maka bagi keduanya, dua per tiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris
itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan maka bagi
seorang laki-laki sebayak bagian dua orang saudara perempuan. Allah
menerangkan (Hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ayat ini berkaitan dengan masalah pusaka atau harta peninggalan
Kalalah, yaitu seorang yang meninggal dunia yang tanpa meninggalkan
seorang ayah dan juga anak 29.

A.2


Pembagian Harta Warisan dalam Hukum Islam
Dalam Hukum Islam ada suatu ketentuan bahwa pembagian atau pemberian

harta sebelum seorang meninggal atau lebih popular disebut wasiat, tidak boleh
melebihi 1/3 dari harta warisannya.Hal demikian untuk melindungi para ahli waris
lainnya.Di dalam Hukum Kewarisan Bilateral oleh Hazairin dijelaskan timbulnya
ketentuan tersebut.Mengenai hibah wasiat ini setiap orang dapat menikmati

29

Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia, dalam perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung
: Refika Aditama, Cet 2, 2007, Hlm. 11-13.

Universitas Sumatera Utara

keuntungan dari suatu syarat bahwa isi dari pada wasiat tidak boleh bertentangan
dengan Undang-Undang 30.
Pembagian harta warisan dalam Hukum Islam ditentukan dalam Al-Qur’an,
sehingga pembagian harta warisan bagi ahli warisnya berbeda-beda.Pembagian harta

waris bagi ahli waris Dzul Faraa’idh tetap tertentu dan tidak beubah-ubah. Berbeda
halnya dengan para ahli waris lainnya yang bukan Dzul Faraa’idh, seperti ahli waris
Ashabah,dan

Dzul

Arhaam.Bagian

mereka

yang

merupakan

sisa

setelah

dikeluarkannya hak para ahli waris Dzul Faraa’idh.
Adapun bagian tetap para ahli waris Dzul Faraa’idh adalah sebagai berikut :

a. Mereka yang mendapat ½ dari harta peninggalan terdapat 5 (lima)
golongan, yaitu :
1) Seorang anak perempuan bila tidak ada anak laki-laki ;
2) Seorang anak perempuan (dari anak laki-laki), bila tidak ada cucu lakilaki, anak perempuan ;
3) Seorang perempuan kandung, bila tidak ada saudara laki-laki ;
4) Seorang saudara perempuan seayah, bila tidak ada saudara laki-laki;
5) Suami bila istri meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu.
b. Mereka yang mendapat bagian 1/4 dari harta peninggalan terdapat dua
golongan, yaitu :
1) Suami, bila istri yang meninggal mempunyai anak atau cucu ;

30

Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam, dan Hukum Adat, Sinar Grafika, Cet. Ketiga, Jakarta, 2010. Hlm. 71-72

Universitas Sumatera Utara

2) Istri, bila suami yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu ;
c. Ahli waris yang mendapat 1/8 bagian dari harta peninggalan, hanya istri31

baik seorang ataupun lebih. Bagian ini akan diperoleh istri apabila
suaminya yang meninggal dunia meninggalkan anak, baik anak laki-laki
maupun anak perempuan. Demikian pula jika suaminya itu meninggalkan
anak dari laki-laki, baik laki-laki maupun perempuan.
d. Ahli waris yang mendapat 1/3 bagian dari harta peninggalan ada dua
golongan, yaitu :
1) Ibu, bila yang meninggal tidak meninggalkan anak atau cucu, atau dua
orang saudara atau lebih ;
2) Dua orang atau lebih saudara seibu baik laki-laki maupun perempuan
dengan pembagian yang sama.
e. Ahli waris yang memperoleh 2/3 bagian dari harta peninggalan terdapat
empat golongan, yaitu :
1) Dua atau lebih anak perempuan, bila tidak ada anak laki-laki ;
2) Dua orang cucu perempuan atau lebih, dari anak laki-laki bila tidak
ada cucu laki-laki, anak perempuan ;
3) Dua orang saudara perempuan kandung atau lebih, bila tidak ada
saudara laki-laki ;

31


HLM. Sulaiman Rasjid. Fiqh Islam, Jakarta, Penerbit Attahiryah, Cetakan Ketujuh Belas,
1976, Hlm. 338

Universitas Sumatera Utara

4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, bila ada saudara lakilaki.
f. Para ahli waris yang meninggal dunia memperoleh 1/6 dari harta
peninggalan, terdapat tujuh golongan, yaitu :
1) Ibu, jika yang meninggal dunia meninggalkan anak, cucu, dua atau
lebih saudara ;
2) Ayah, jika yang meninggal dunia mempunyai anak atau cucu ;
3) Nenek, ibu dari ibu-bapak ;
4) Seorang cucu perempuan, dari anak laki-laki, bersamaan dengan anak
perempuan ;
5) Kakek, bapak dari bapak, bersamaan dengan anak atau cucu, bila ayah
tidak ada ;
6) Seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan ;
7) Saudara perempuan, seorang atau lebih bersamaan dengan saudara
kandung.
Selain itu semua, dikenal pula kelompok keutamaan para ahli waris, yaitu

“ahli waris yang didahulukan untuk mewaris 32” mereka yang menurut Al-Qur’an
termasuk kelompok yang didahulukan untuk mewaris atau disebut dengan “kelompok
keutamaan 33”.

32
33

Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Bina Aksara,Jakarta, 1984, Hlm. 68
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Al-Qur’an, Tintamas, Jakarta, 1959, Hlm.

33

Universitas Sumatera Utara

Kelompok keutamaan tersebut terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu :
a) Keutamaan pertama ;
1) Anak, baik laki-laki maupun perempuan, atau ahli waris pengganti
kedudukan anak yang meninggal dunia ;
2) Ayah, ibu, dan duda atau janda, bila tidak terdapat anak.
b) Keutamaan kedua ;

1) Saudara, baik laki-laki maupun perempuan, ahli waris pengganti
kedudukan saudara ;
2) Ayah, Ibu, dan janda atau dua, bila tidak ada saudara.
c) Keutamaan ketiga ;
1) Ibu dan ayah, bila ada keluarga, ibu dan ayah, bila salah satu, bila
tidak ada anak dan tidak ada saudara ;
2) Janda atau duda.
d) Keutamaan keempat.
1) Janda atau duda ;
2) Ahli waris pengganti kedudukan ibu dan ahli waris pengganti
kedudukan ayah.

A.3

Terhalangnya Seseorang Mendapat Warisan menurut Hukum Islam
Dalam Hukum Islam, baik ahli waris dari pihak laki-laki maupun dari pihak

perempuan, dapat terhalang menjadi ahli waris dengan salah satu sebab berikut ini :

Universitas Sumatera Utara

1) Perbedaan Agama ;
Orang Islam tidak mendapat pusaka dari orang yang tidak
beragama Islam dan demikian juga sebaliknya 34. Sabda Rasulullah SAW
yang artinya : “Dari Usamah bin Zaid ra, bahwasanya Rasulullah SAW
bersabda: Tidaklah orang Islam mewarisi orang kafir dan tidaklah orang
kafir mewarisi orang Islam”, (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila dalam sekeluarga yang beragama Islam seorang menjadi
murtad, yang artinya meninggalkan agama Islamnya maka gugurlah
haknya untuk menjadi ahli waris dari keluarga yang beragama Islam 35.
Hak untuk mewaris hilang, maksudnya adalah ahli waris tidak patut untuk
mewaris, kalau di dalam keluarga tadi akan di terapkan Hukum Islam
pembagian harta warisan.
Oleh

karena

penetapan

fatwa

waris

bagi

mereka

yang

menundukkan diri, pada Hukum Islam dengan sendirinya kalau mereka
atau salah satu keluarga tadi tidak beragama Islam, tentunya Hukum Islam
tidak bisa di terapkan baginya.Dengan demikian, hak untuk mewaris
menjadi penghalang baginya 36.

34

S.A. Hakim, Hukum Adat Perorangan, Perkawinan, dan Pewarisan, Hlm. 56
Ibid, Hlm. 56
36
Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga Perspektif Hukum Perdata Barat/BW,
Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, Hlm. 80-81
35

Universitas Sumatera Utara

2) Membunuh ;
Orang yang membunuh keluarganya tidak berhak mendapat
pusaka dari keluarganya yang dibunuhnya itu. Rasulullah SAW bersabda:
“Yang membunuh tidak mewarisi sesuatupun dari yang dibunuhnya”(HR.
Nasai).

3) Perhambatan atau menjadi budak orang lain.
Orang yang menjadi budak tidak berhak mendapat pusaka dari
orang yang merdeka. Allah SWT berfirman : “Allah SWT telah
mengadakan perumpamaan yaitu seorang hamba yang dimilikinya, yang
tidak berkuasa atas sesuatu” (QS. An-Nahl : 75) 37.
Seorang hamba selama belum merdeka tidak dapat menjadi ahli
waris maupun menjadi pewaris bagi harta peninggalannya untuk
diwarisi.Jelasnya, seorang hamba menjadi milik Tuannya bersama seluruh
hak miliknya.Keadaan ini terus berlangsung selama hamba tersebut belum
merdeka.

4) Tidak tentu kematiannya.
Apabila ada dua orang yang memiliki hubungan mewaris, padahal
mereka berdua ditimpa musibah seperti mengalami kecelakan mobil, atau

37

Mukhlis Lubis, dan Mahmun Zulkifli, “Ilmu Pembagian Waris”, Citapustaka Media,
Bandung, 2014, Hlm. 14-15

Universitas Sumatera Utara

tenggelam bersama, sehingga keduanya meninggal bersama. Jika dalam
keadaan tersebut tidak dapat diketahui siapa yang mati terlebih dahulu,
maka keadaan yang demikian tidak dapat salah seorang menjadi ahli waris
dari yang lain. Selanjutnya harta masing-masing dari keduanya dibagikan
kepada ahli waris masing-masing 38.

A.4

Pembagian Warisan terhadap Ahli Waris Tertentu Menurut Hukum
Islam

1.

Warisan Anak dalam Kandungan
Pada dasarnya, anak baru berhak mendapat warisan apabila dia lahir dalam

keadaan hidup yang ditandai dengan suara tangisan atau suara lain, ini sesuai dengan
hadis Rasulullah Saw yang artinya :
“ Tidak dapat warisan seorang anak kecil, kecuali ia lahir dengan bersuara.
(HR.Ahmad).”
“Apabila bersuara (nyawa) anak yang lahir, maka di sembayangkan dia dan
diberi warisan.(HR. Tirmidzi dan Nasai).”
Berdasarkan hadis-hadis ini rata-rata ulama berpendapat bahwa seorang anak
kecil mendapat warisan apabila ia lahir dalam keadaan hidup atau pernah hidup di
luar kandungan ibunya.
Meskipun demikian, apabila waktu kelahiran masih lama setelah kematian
yang mewariskan, harta warisan sudah dapat dibagikan kepada ahli waris yang ada,
38

Sudarsono, Hukum Waris dan Sistem Bilateral, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1991, Hlm.111

Universitas Sumatera Utara

tetapi untuk anak dalam kandungan harus ditentukan bagiannya.Besar kecil
ditentukan mana yang lebih menguntungkan atau antara diperkirakan laki-lakiatau
perempuan.Kepastiannya baru diketahui setelah perhitungan keduanya dilakukan 39.
Contohnya seorang perempuan meninggal dunia.Setelah utang piutang, hak
hartanya dan wasiatnya diselesaikan tinggallah harta warisannya sejumlah Rp. 150
Juta. Ahli waris yang di tinggalkan tidak terdinding ayah, ibu, suami, satu orang anak
perempuan, satu otang cuci dalam kandungan ( janda anak laki-laki) yang sedang
hamil.
Pemecahannya :
a. Cucu dalam kandungan (sebagai anak perempuan)
1) Ayah adalah dzu Fardhin, mendapat bagian 1/6(QS. An-Nisa ayat 11) .
Jadi Ayah mendapat bagian = 1/6 X Rp. 150 Juta = Rp 25 Juta.
2) Ibu adalah dzu fardhin, mendapat bagian 1/6 (QS. An-Nisa Ayat 11).
Jadi ibu mendapat bagian 1/6 X Rp. 150 Juta = Rp. 25 Juta.
3) Suami adalah dzu fardhin mendapat bagian ¼ (QS. An-Nisa ayat 12).
Jadi suami mendapat bagian ¼ X Rp. 150 Juta = Rp. 37, 5 Juta.
4) 1 (satu) orang anak perempuan mendapat bagian ½ (QS. An-Nisa ayat
11) dan (HR Jama’ah kecuali Muslim dan Tarmidzi). Jadi cucu dalam
kandungan (perempuan mendapat bagain = 1/6 X Rp 150 Juta = 25 Juta.
Jumlah bagia para ahli waris itu :

39

Ibid, Hlm. 67

Universitas Sumatera Utara

Rp. 25 Juta + Rp. 25 Juta + Rp. 37, 5 Juta + Rp. 75 Juta + Rp. 25 Juta =
Rp. 187,5
Hal ini melebihi harta warisan, sebab jumlah pendapatan mereka
= 1/6+1/6+1/4+1/2+1/6=2/12+2/12+3/12+6/12+2/12= 15/12
Ini mestinya di ‘aulkan masalah dinaikkan dari 12 ke 15 jadi jumlah
berubah menjadi :
2/15+2/15+3/15+6/15+2/15 =15/15
Maka bagian :
1) Ayah = 2/15 X Rp. 150 Juta = 20 Juta
2) Ibu = 2/15 X Rp. 150 Juta = 20 Juta
3) Suami = 3/15 X Rp. 150 Juta = 30 Juta
4) 1 (satu) orang saudara perempuan 6/15 X Rp. 150 Juta = 60 Juta
5) Cucu dalam kandungan (Perempuan) = 2/15 Rp. 150 Juta = Rp. 20
Juta

b.

Cucu dalam kandungan ( sebagai anak laki-laki) atau ‘ashabah
Jumlah pendapatan mereka sesuai ketentuan (Para ahli waris dzu
fardhin) adalah : 1/6 +1/6+1/4+1/2 = 2/12+2/12+3/12+6/12 = 13/12.Ini
artinya tidak ada sisa. Kalau cucu dalam kandungan sebagai laki-laki, maka
ia adalah ashabah ( mengambil sisa). Karena sisa tidak ada maka kalau dia
laki-laki tidak mendapat apa-apa, sedangkan kalau dia perempuan dia
mendapat Rp. 20 Juta.

Universitas Sumatera Utara

Jadi lebih menguntungkan kalau dia anak perempuan dan inilah
yang dilaksanakan.
Catatan : Ada ahli hadis yang berpendapat ketiga hadis itu lemah,
sedangkan dalam Al-qur’an dan sunnah menetapkan secara umum anak
adalah ahli waris. Oleh karena itu anak dalam kandungan yang pernah
hidup di dalam perut (kandungan) ibunya pun adalah sebagai ahli waris.

2.

Warisan anak zina dan anak Li’an
Anak zina adalah anak yang lahir dari hubungan zina, dimana salah satu dari

orang tua si anak telah menikah sebelumnya dengan orang lain tapi melakukan
hubungan suami istri dengan yang bukan makhrom atau mukhrimnya. Sedangkan
anak li’an adalah anak yang dilahirkan ibunya dalam keadaan hubungan perkawinan
yang sah, tetapi suami tidak mengakuinya dan menuduh istrinya berbuat zina tanpa
bukti dan saksi yang cukup 40.
Untuk mengelakkan hukuman menuduh zina, suami harus bersumpah li’an
seperti yang di atur dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 6-9. Sesuai dengan sunnah
Rasulullah Saw, sumpah li’an itu harus dilakukan di hadapan hakim. Suami
bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa ia benar pada tuduhannya terhadap
istrinya. Ucapan lengkap sumpah itu adalah : “Aku bersaksi dengan nama Allah

40

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012,

Hlm. 260

Universitas Sumatera Utara

bahwa aku seorang yang benar tentang tuduhanku terhadap istriku si (nama istri)
berzina.
Sumpah yang ke lima ia mesti berkata : “sesungguhnya la’nat Allah tertimpa
atas ku, jika aku berdusta tentang tuduhan terhadap istriku (ini) berzina”. Pernyataan
suami dilanjutkan dengan ucapan “ Dan sesungguhnya anak ini dari pada zina, tidak
dari padaku”. Istri agar bebas dari hukuman zina mesti juga menyatakan sumpah
li’an, bersumpah empat kali dengan nama Allah bahwa suaminya berdusta. Ucapan
lengkap sumpahnya adalah : “Aku bersaksi dengan nama Allah bahwa si (nama
suami bin nama ayahnya) ini sesungguhnya berdusta mengenai tuduhannya terhadap
diriku berzina. Pada sumpah yang kelima ia mesti berkata : “Dan kemurkaan Allah
tertimpa atasku jika ia seorang yang benar mengenai tuduhannya terhadap diriku
berzina”.

3.

Perempuan yang Diceraikan (Al-Muthallaqah)
Kedudukan istri yang di tinggal mati oleh suaminya patut mendapat perhatian

serta diperlakukan secara hukum di dalam ke tiga lingkungan hukum, yaitu : hukum
adat dan hukum agama islam 41. Perempuan yang diceraikan oleh suaminya yang
sedang sakit (hampir mati) oleh Umar dan Usman diberi pusaka. Hal ini susuai
dengan yang disampaikan oleh kedua khalifah tersebut, yang artinya sebagai berikut :

41

Oemar Salim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2012, Hlm.

30

Universitas Sumatera Utara

“Dari Rabi’ah bin Abi Abdir Rahman, ia berkata : seorang istri bagi
Abdurrahman bin ‘Auf minta talaq. Maka ia berkata : kalau engkau sudah
bersuci

(dari

haidh),

kabarkanlah

kepadaku.

Setelah

itu

istrinya

mengabarkan kepadanya hal faedah bersihnya, lalu ia thalaq putus atau ia
berikan thalaq yang ketinggalan, padalah ia dalam sakit waktu itu, maka
Usman jadikan perempuan itu mendapat warisan (padahal sesudah habis
masa iddahnya)”.
“Dari Abdirahman bin Hurmuz Al’Araj, bahwasanya Usman bin Affan memberi
warisan kepada istri-istri Ibnu Mikmal, padahal ia telah menceraikan mereka di dalam
masa sakitnya”.
“Seorang laki-laki pernah menceraikan istri-istrinya, dan hartanya dibagikan
diantara anak-anaknya. Tatkala sampai kabar kepada Umar, ia berkata :
hendaklah engkau tarik kembali istri-istrimu dan hartamu, atau aku jadikan
mereka ahli warismu (subulussalam)”.
Catatan : Tidak diketahui berdasarkan dalil mana kedua khalifah tersebut
memberikan warisan kepada istri yang telah ia ceraikan.

4.

Anak Pungut
Anak pungut yang dimaksudkan disini adalah anak yang di dapat dari jalan

raya atau sebagainya sedang ibu atau bapak atau keluarga si anak tidak
diketahui.Anak pungut atau yang disebut juga anak angkat adalah seorang anak
bukan hasil dari keturunan kedua orang suami istri yang di pungut, dirawat serta di

Universitas Sumatera Utara

anggap oleh kedua orang tuanya sebagai anak keturunannya sendiri 42.Menurut
pandangan Umar kalau dia mati meninggalkan pusaka, pusaka itu dimasukkan ke
Baitul Maal. Sesuai dengan yang di sampaikan Umar yang di dengar oleh Razein,
yang artinya :
“Telah berkata Umar : Anak pungut itu hukumnya merdeka, dan hartanya
untuk Baitul-Maal dan begitu juga binatang yang tak bertuan (razein)”.

B.

Hukum Waris Adat Tapanuli Selatan

B.1

Pengertian Warisan Hukum Waris Adat
Hukum Waris Adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan tentang

sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan, pewaris dan ahli waris serta
bagaiamana cara harta warisan tersebut dialihkan penguasaan dan pemilikannya dari
pewaris kepada ahli waris 43.
Hukum waris adat juga merupakan peraturan-peraturan yang mengatur proses
meneruskan serta mengalihkan barang-barang harta benda dan dan barang-barang
yang tidak berwujud benda dari suatu generasi manusia kepada keturunannya 44.
Dalam hukum adat waris ini, ada hukum kewarisan yang merupakan bagian
dari hukum kelurga yang memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan
mencerminkan sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini di sebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup
42

Ibid, Hlm. 28
Ibid, Hlm. 7
44
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1987, Hlm. 79

43

Universitas Sumatera Utara

kehidupan manusia, sebab setiap manusia pasti akan mengalami persitiwa hukum
yaitu kematian. Karena kematian merupan sebuah peristiwa yang tidak bisa di hindari
oleh siapa pun.Akibat yang selanjutnya timbul dengan terjadinya peristiwa hukum
kematian seseorang adalah masalah bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak
dan kewajiban-kwajiban seseorag yang meninggal dunia 45.
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut di atur oleh hukum.
Jadi, warisan itu dalam di katakan ketentuan yang mengatur cara penerusan dan
peralihan harta kekayaan (berwujud/tidak berwujud) dari pewaris pada ahli
warisnya 46.Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan sifat
masyarakat dan sistem kekeluargaan. Bangsa Indonesia adalah salah satu negara yang
salah satu penduduknya sangat pluralis yang disebabkan karena Indonesia memiliki
keragaman suku dan budaya.Letak geografis Indonesia yang terdiri dari beberapa
pulau atau kepulauan menyebabkan perbedaan budaya yang mempengaruhi pola
hidup dan tingkah laku masyarakat.
Salah satu aspek yang menjadi perbedaannya ialah kebudayaan baik rohani
maupun kebudayaan

jasmani yang membedakan hukum kewarisan tersebut.

Masyarakat Indonesia yang berbeda suku dan budaya yang disebut sebagai
masyarakat adat tersebut membentuk suatu hukum dari kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku bagi masyarakat itu sendiri.Oleh karena itu, dalam hukum adat suatu

45
46

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Waris di Inonesia, Bandung, Sumur, 1983, Hlm. 11
Hilman Hadikusma, Hukum Waris Adat, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2003 Hlm. 8

Universitas Sumatera Utara

pemilikan harta warisan masih sangat dipengaruhi oleh rasa persatuan keluarga dan
rasa keutuhan tali persaudaraan.
Hukum waris adat di Indonesia bersifat pluralistik menurut suatu bangsa dan
kelompok etnis yang ada.Hal itu disebabkan oleh sistem garis keturunan yang
berbeda-beda yang menjadi dasar dari suatu sistem suku-suku bangsa atau kelompok
etnis 47. Dalam Negara Republik Indonesia yang bersifat pluralistik, berlaku berbagai
hukum waris yaitu 48 :
1. Hukum Waris Adat, untuk warga negara Indonesia asli ;
2. Hukum waris islam, untuk warga negara asli di berbagai daerah dan
kalangan tertentu yang terdapat pengaruh hukum agama islam ;
3. Hukum waris Barat, untuk warga negara Indonesia keturunan Eropa dan
Cina, yang berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Pemberian suatu harta dari pewaris kepada ahli waris sesudah meninggal
dunianya merupakan proses yang sangat universal dalam setiap hukum adat yang ada
di dalam masyarakat adat di Indonesia. Akan tetapi, pemberian harta warisan sebelum
si pewaris meninggal dunia (semasa hidupnya) merupakan suatu hal yang tidak biasa
dalam hukum waris pada umumnya, namun hal tersebut dalam hukum adat
merupakan penerapan dari suatu asas atau prinsip pewarisan, yaitu : “Menurut
Hukum Adat, harta warisan itu meliputi semua harta benda yang pernah dimiliki oleh

47

Soerjono Soekanto, Kedudukan Janda menurut Hukum Waris Adat, Jakarta, Ghalia
Indonesia, 1966, Hlm. 7
48
Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, Jakarta,
Ghalia Indonesia, 1981, Hlm. 108

Universitas Sumatera Utara

si peninggal harta atau pewaris semasa hidupnya. Jadi, dalam hal ini tidaklah hanya
terbatas pada harta yang dimiliki pada saat si pewaris meninggal 49”.

B.2

Sifat Hukum Waris Adat Tapanuli Selatan
Hukum Waris yang ada dan berlaku di Indonesia sampai saat ini masih belum

merupakan unifikasi hukum.Atas dasar peta hukum waris yang masih demikian
pluralistiknya, akibatnya sampai sekarang ini pengaturan masalah warisan di
Indonesia masih belum terdapat keseragaman.
Bentuk dan sistem hukum waris sangat erat kaitannya dengan bentuk
masyarakat dan sifat kekeluargaan.Sedangkan sistem kekeluargaan pada masyarakat
Indonesia, berpokok pangkal pada sistem menarik garis keturunan.Berkaitan dengan
sistem penarikan garis keturunan, seperti telah diketahui di Indonesia secara umum
setidak-tidaknya dikenal tiga macam sistem keturunan 50. Ketiga macam sistem
keturunan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sistem Patrilineal/ Sifat Kebapaan ;
Sistem ini pada prinsipnya adalah sistem yang menarik garis keturunan
ayah atau garis keturunan nenek moyangnya yang laki-laki.Dalam sistem
ini kedudukan dan pengaruh pihak laki-laki dalam hukum waris sangat
menonjol. Ahli waris dalam sistem ini adalah hanya anak laki-laki, sebab

49

Datuk Usman, Diktat Hukum Adat, Bina Sarana Balai Penmas SU, Medan, 1988, Hlm. 145
M. Idris Ramulyo, “Suatu Perbandingan antara Ajaran Sjafi’I dan Wasiat Wajib di Mesir,
tentang Pembagian Harta Warisan untuk Cucu menurut Islam”, Majalah Hukum dan Pembangunan
No. 2 Thn. XII Maret 1982, Jakarta : FHUI, 1982, Hlm. 155
50

Universitas Sumatera Utara

anak perempuan telah meikah atau kawin dengan cara “Kawin Jujur” yang
kemudian masuk menjadi anggota keluarga pihak suami, selanjutnya ia
tidak medapat ahli waris orang tuanya yang telah meninggal dunia.
Sistem ini di Indonesia antara lain terdapat pada masyarakat-masyarakat di
Tanah Gayo, Alas, Batak, Ambon, Irian Jaya, Timor dan Bali 51.

2. Sistem Matrilineal/ Sifat Keibuan
Pada dasarnya sistem ini adalah sistem yang menarik garis keturunan ibu
dan seterusnya ke atas mengambil garis keturunan dari nenek moyang
perempuan.Dalam kekeluargaan ini pihak laki-laki tidak menjadi pewaris
untuk anak-anaknya. Anak-anaknya yang menjadi ahli waris dari garis
perempuan atau garis ibu karena anak-anak mereka merupakan bagian dari
keluarga

ibunya,

sedangkan ayahnya

masih

merupakan anggota

keluarganya sendiriKekeluargaan yang bersifat keibuan ini di Indonesia
hanya terdapat di suatu daerah, yaitu Minangkabau 52.Namun demikian,
bagi masyarakat Minangkabau yang sudah merantau keluar tanah aslinya,
kondisi tersebut sudah banyak berubah.

3. Sistem Bilateral atau Parental/ Sifat Kebapak-Ibuan.

51

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung : Vorkink van Hoeve, sGravenhage, Hlm. 10
52
Ibid. Hlm. 10

Universitas Sumatera Utara

Sistem ini, yaitu sistem yang menarik garis keturunan baik melalui garis
bapak maupun garis ibu, sehingga dalam kekeluargaan semacam ini pada
hakikatnya tidak ada perbedaan antara pihak ibu dan pihak ayah.Dalam
sistem ini kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan di dalam ahli
waris sejajar. Artinya, baik anak laki-laki maupun anak perempuan
merupakan ahli waris dari harta peninggalan Orang tua mereka. Sistem ini
di Indonesia terdapat di berbagai daerah, antara lain: di Jawa, Madura,
Riau, Aceh, Sumatera Selatan, seluruh Kalimantan, Sulawesi, Ternate dan
Lombok.
Dari ketiga sistem keturunan di atas, mungkin masih ada variasi lain yang
merupakan perpaduan dari ketiga sistem tersebut, misalnya “ Sistem Patrilineal
beralih-alih (Alternerend) dan sitem Unilateral Berganda (Double Unilateal) 53”.
Namun tentu saja masing-masing sistem memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda
dengan sistem yang lainnya.
Berdasarkan pada bentuk masyarakat dari sistem keturunan di atas, bahwa
hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh garis keturunan yang berlaku
pada masyarakat yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal tersebut, Tjokorda Raka
Dherana, dalam tulisannya “Beberapa segi hukum adat waris Bali” yang dimuat
dalam majalah Hukum No. 2 mengemukakan antara lain:
“ . . . masalah hukum adat waris tidak dapat dipisahkan dengan pembicaraan tentang
hukum adat kekeluargaan, akibat sistem kekelurgaan yang dipergunakan membawa
53

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali 1981 Hlm. 284.

Universitas Sumatera Utara

akibat pada penentuan aturan-aturan tentang warisan. Disamping itu, peran agama
yang dianut tidak kalah pentingnya dalam penentuan aturan-aturan tentang warisan
karena unsur agama adalah salah satu unsur hukum adat. Hal ini mengakibatkan pula
bahwa meskipun hukum adat kekeluargaan di Bali menganut sistem patrilineal, tetapi
pelaksanaannya berbeda dengan daerah-daerah lain yang juga memakai sistem
Patrileal, seperti halnya di masyarakat Batak54”.
Disamping sistem kekeluargaan yang sangat berpengaruh terhadap pengaturan
hukum adat waris terutama terhadap penentuan ahli waris dan bagian harta
peninggalan yang di wariskan, hukum adat waris mengenal ada tiga sistem kewarisan,
yaitu :
1. Sistem Kewarisan Individual, yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa para ahli waris mewarisi secara perorangan, misalnya : Jawa,
Batak, Sulawesi, dan lain-lain.
2. Sistem Kewarisan Kolektif, yaitu sistem yang menentukan bahwa para
ahli waris mewaris harta peninggalan secara bersama-sama (Kolektif)
sebab harta yang diwarisi itu tidak dapat dibagi-bagi kepemilikannya
kepada masing-masing ahli waris. Contohnya “ Harta pusaka” di
Minangkabau, dan “ Tanah Dati” disemenanjung Hitu, Ambon.

54

Tjokorda Raka Dherana, Beberapa Segi Hukum Adat Waris Bali, Majalah Hukum No. 2
Tahun Kedua, Jakarta : Yayasan Penelitian dan Pengembangan Hukum (Law Center), 1975, Hlm. 101

Universitas Sumatera Utara

3. Sistem Kewarisan Mayorat, yaitu sistem kewarisan yang menentukan
bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak.
Sistem mayorat ini ada 2 macam, yaitu :
a. Mayorat Laki-Laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua atau sulung,
atau keturunan laki-laki merupakan ahli waris tunggal dari pewaris,
misalnya di Lampung.
b. Mayorat Perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua merupakan
ahli waris tunggal dari pewaris, misalnya pada masyarakat tanah
Semendo, di Sumatera Selatan.
Hazairin, didalam bukunya sebagaimana di kutip Soerjono Soekanto,
menerangkan tentang sistem kewarisan tersebut diatas bila dihubungkan dengan
prinsip garis keturunan, yaitu :
“Sifat Individual atau Kolektif maupun Mayorat, dalam hukum kewarisan tidak perlu
langsung menunjukkan kepada bentuk masyarakat dimana hukum kewarisan itu
berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual, bukan saja dapat ditemui dalam
masyarakat yang bilateral, tetapi juga dapat dijumpai dalam masyarakat Patrilineal
seperti di Tanah Batak. Malahan di Tanah Batak, disana-sini mungkin juga di jumpai
sitem Mayorat dan Sistem Kolektif yang terbatas. Demikian juga sistem mayorat itu
selain dalam masyarakat Patrilineal yang beralih-alih, di tanah Semendo dijumpai
pula pada masyarakat Bilateral orang Dayak di Kalimantan Barat. Sedangkan sistem

Universitas Sumatera Utara

Kolektif pada batas-batas tertentu malahan dapat dijumpai pula dalam masyarakat
yang bilateral seperti di Minahasa, Sulawesi Utara 55”.
Memperhatikan perbedaan-perbedaan dari ketiga macam sistem keturunan
dengan sifat-sifat kekeluargaan masyarakatnya tersebut di atas, menunjukkan bahwa
sistem hukum warisnya pun sangat pluralistik. Namun demikian, sistem hukum waris
di

Indonesia

tidak

hanya

karena

sistem

kekeluargaan

masyarakat

yang

beranekaragam, melainkan juga disebabkan adat-istiadat masyarakat Indonesia yang
juga dikenal sangat bervariasi.Oleh sebab itu, tidak heran kalau sistem hukum waris
adat yang ada juga beraneka ragam serta memiliki corak dan sifat-sifat tersendiri
sesuai dengan sistem kekeluargaan dari masyarakat adat tersebut 56.
Melengkapi pluralistiknya sistem hukum waris adat yang diakibatkan
beragamnya masyarakat adat di Indoensia, dua sistem hukum lainnya juga cukup
dominan hadir bersama serta berlaku terhadap masyarakat dalam wilayah hukum
Indonesia.Kedua macam waris yang disebut itu memiliki corak dan sifat yang
berbeda dengan corak dan sifat hukum waris adat.Sistem hukum waris yang
dimaksud adalah Hukum Waris Islam berdasar dan bersumber pada Kitab Suci AlQur’an dan Hukum waris Barat peninggalan zaman Hindia Belanda yang bersumber
pada BW 57.Dalam hal ini, masyarakat Adat khususnya Tapanuli Selatan
menggunakan sistem kekeluargaan Parental.

55

Soerjono Soekanto, Hukum Adat Islam, Jakarta: Rajawali, 1981, Hlm. 286
Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Refika
Aditama, Cet. Keempat, Bandung, 2013, Hlm. 6
57
Ibid. Hlm. 7
56

Universitas Sumatera Utara

B.3

Sebab-Sebab Terhalangnya Seseorang Mendapat Warisan menurut
Hukum Adat
Dalam masyarakat Hukum Adat, mengenai ketidakpantasan untuk menjadi

ahli waris ini tidak dikenal hanya ada suatu kemungkinan seseorang itu
dikesampingkan selaku ahli waris, oleh karena alasan-alasan membunuh si peninggal
warisan.Hal ini bahwa hak untuk mewaris itu tidak dapat dikesampingkan yang
berarti bahwa ketidakpantasan untuk menjadi ahli waris itu tidak dikenal dalam
Hukum Adat.
Hak untuk mengisi atau menggantikan kedudukan seseorang ahli waris
terlebih dahulu meninggal dunia dari pada orang yang meninggalkan warisan, ada
pada keturunan dalam garis menurun.Dengan demikian, hak untuk mewarisi dalam
masyarakat Hukum Adat tentang tidak pantas menjadi ahli waris tidak dianut secara
tegas.Perbedaan agama pun tidak menghilangkan hak seseorang untuk menjadi ahli
waris.
Adapun perbuatan salah yang memungkinkan hilangnya hak mewaris
seseorang terhadap harta warisan orang tuanya atau dari pewaris lainnya dapat
disebabkan antara lain :
1) Membunuh atau berusaha menghilangkan nyawa pewaris atau anggota
keluarga pewaris
2) Melakukan penganiayaan atau berbuat merugikan kehidupan pewaris

Universitas Sumatera Utara

3) Melakukan perbuatan tidak baik, menjatuhkan nama baik pewaris, atau
nama kerabat pewaris karena perbuatan tercela 58.
4) Murtad dari agama atau berpindah dari agama dan keceprcayaan dan
sebagainya.
Perbuatan salah yang dimaksud dapat dibatalkan memberi ampunan dengan
nyata dalam perkataaan atau perbuatan sebelum atau ketika warisan dilakukan
pembagian.Pengampunan atas kesalahan ahli waris yang bersalah dapat berlaku atas
semua harta warisan atau hanya untuk pembagian saja.Misalnya waris masih
diperkenankan menerima bagian dari harta pencarian tetapi tidak diperkenankan
mewarisi harta asal atau hanya mendapat bagian harta pencarian yang lebih sedikit
dari bagian waris lainnya 59.

58
59

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, Hlm. 108
Ibid, Hlm. 109

Universitas Sumatera Utara