Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Angkola Di Kabupaten Tapanuli Selatan

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia memiliki keragaman suku dan budaya ini terlihat dari
letak geografis Indonesia yang berbentuk kepulauan. Perbedaan tidak dapat
dipungkiri lagi, mulai dari kebudayaan yang mempengaruhi pola hidup serta
tingkah laku masyarakatnya. Keanekaragaman bangsa Indonesia di tandai dengan
adat istiadatnya masing-masing dan sesuai dengan kebudayaan yang dipatuhi dan
dilaksanankan warganya.
Dapat dilihat pada suku-suku yang ada di Indonesia, yakni contohnya
Suku Batak. Suku Batak sediri terbagi menjadi beberapa bagian suku antara lain
batak Toba, Batak Simalungun, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Mandailing
dan yang terakhir adalah Batak Angkola. Suku Angkola atau Batak Angkola,
adalah suatu suku yang berdiam tersebar di seluruh wilayah Kabupaten Tapanuli
Selatan terutama di daerah Angkola termasuk Padang Sidimpuan di provinsi
Sumatera Utara.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan menuliskan 1, sebelah
Utara berbatasan dengan Kabupaten Padang Lawas dan Kabupaten Labuhan
Batu. Sedangkan sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Mandailing
Natal. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Madailing Natal dan juga


1

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Katalog BPS: 1102001.1203
Tapanuli Selatan Dalam Angka,. Hal. 74

23
Universitas Sumatera Utara

Samudera Hindia. Terdapat 14 Kecamatan di Tapanuli Selatan, 212 desa dan
kelurahan sebanyak 36 kelurahan.2
Orang Angkola merupakan suatu kelompok masyarakat dari etnis Batak,
yang menurut cerita menduduki wilayah Angkola sejak berabad-abad yang lalu.3
Nama Angkola diyakini berasal dari nama sebuah sungai yakni “batang
Angkola” yang berada di daerah Angkola. Dari cerita rakyat Angkola, bahwa
sungai ini diberi nama oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola
(1014 – 1044M ) yang berasal dari India Selatan, yang memasuki Angkola
melalui daerah Padang Lawas. 4
Daerah Angkola terdiri dari 2 wilayah, yaitu sebelah selatan Batang
Angkola diberi nama Angkola Jae (hilir) dan sebelah Utara diberi nama Angkola
Julu (hulu).5 Setelah sekian lama masyarakat Angkola tumbuh dan berkembang

di daerah Angkola, maka kemudian orang-orang dari suku-suku lain masuk dari
segala penjuru hidup berbaur dan turut dalam adat istiadat suku Angkola, tetapi
ada juga kelompok yang tetap mempertahankan adat nya sendiri.
Sistem kekerabatan batak Angkola adalah Patrilineal, yakni menurut garis
keturunan ayah. Garis keturunan laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki, dan
menjadi punah kalau tidak ada laki-laki yang dilahirkannya. Sistem kekerabatan
Patrilineal itulah yang menjadi tulang punggung masayarakat batak yang terdiri

2

Badan Pusat Statistik Kabupaten tapanuli Selatan,Op. Cit, Hal. 74
Harrist St, http://planetbatak.blogspot.co.id/2013/08/suku-batak-angkola.html?m=1
4
ibid
5
ibid
3

24
Universitas Sumatera Utara


dari turunan-turunan, marga, dan kelompok-kelompok suku, semuanya saling
dihubungkan menurut garis laki-laki.6 Seluruh kehidupan orang Batak diatur oleh
struktur patrilineal masyarakatnya. Struktur tersebut tidak berbatas pada lingkup
hukum waris saja, tetapi menyangkut pemerintahan dan pemilikan tanah,
perkawinan

dan

pemujaan

arwah,

penyelenggaraan

peradilan,

tempat

permukiman, dan penggarapan tanah semua langsung berkaitan.

Seperti etnis Batak pada umumnya, tradisi marga juga berkembang dalam
masyarakat suku Batak Angkola. Marga-marga yang terdapat pada masyarakat
Angkola pada umumnya adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Nasution,
Ritonga, Daulay, Pane.7 Beberapa marga pada masyarakat Angkola terlihat
masih memiliki kekerabatan dengan marga-marga yang ada di suku Batak Toba
dan Batak Mandailing. Orang batak Angkola sebagian besar memeluk agama
Islam yang pada sekitar tahun 1821 mendapat serbuan dari pasukan Padri dari
minangkabau yang menyebarkan Islam dibawah pimpinan Tuanku Lelo.
Sebagian besar orang Angkola yang takluk dari pasukan Padri memeluk Islam,
sedangkan

yang

menghindar

masuk

ke

pedalaman


hutan

dan

tetap

mempertahankan agama adat mereka.8 Setelah beberapa tahun berlangsung
kekuasaan Padri di tanah Angkola di taklukkan oleh Belanda. Masukkanya
Belanda ke wilayah Angkola mempengaruhi masyarakat untuk memeluk Kristen

6. Vergouwen J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Yogyakarta :LkiS
Yogyakarta,2004), Hal. 1
7
Wendy Hutahean, http://Batak-people.blogspot.co.id/2013//01/lagu-batak-angkola.html
8
ibid

25
Universitas Sumatera Utara


yang dibawa oleh misionaris Belanda. Walaupun dalam masyarakat Angkola
terdapat 2 (dua) Agama yang berbeda tapi kerukunan beragama sangat terjaga
dengan baik dari dahulu hingga sekarang.
Dalam pembagian warisan Orang Tua, biasanya yang mendapat warisan
adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan mendapat bagian dari orang tua
suaminya atau denga kata lain pihak perempuan mendapat warisan dengan cara
hibah.9 Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan,
karena pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang
paling kecil atau dalam bahasa bataknya disebut siapudan.10
Di Angkola terdapat Indahan Arian atau Holong ate, ini adalah istilah di
Batak Angkola sebagai istilah untuk menjelaskan pemberian harta kepada anak
perempuan biasanya sebidang tanah atau dengan bangunan kepada anak Putri
atau Perempuannya.11 Pemberian ini tentu selagi masih hidup Indahan Arian atau
holong ate biasanya berbentuk pemberian yang cukup hanya disetujui oleh
Istrinya tanpa persetujuan seluruh anak atau ahliwaris lainnya. Besarannya tentu
sudah diperhitungkan dengan cermat, tanpa melebihi legitimasi porsi, atau
besaran hak kewarisan lainnya secara seimbang. Indahan Arian atau Holong ate,
tentu tindakan Arif dan Bijaksana bagi seorang orang tua, sebab, menurut adat


9

Rudini Silaban, http://rudini76ban.wordpress.com/2009/06/07/pembagian -warisandalam-adat-batak-toba/html, diakses pada tanggal 19 November 2015 pada pukul 21.30 WIB.
10
Ibid
11
Heryadik Simatupang, http://tapanuli6.blogspot.co.id/2015/06/ndahan-arianbatak-angkola.html, diakses pada tanggal 19 November 2015 pada pukul 22.00 WIB.

26
Universitas Sumatera Utara

Batak, yang menganut turunan laki-laki/partianial, hanya laki-lakilah yang
mendapatkan warisan, sedangkan perempuan tidak mendapatkan oleh karena
sudah

masuk

pada

clan


suami

dengan

menerima

sejumlah

uang

Mahar/boli/jujur.12
Disebut Arif, mengingat rasa keadilan itu pasti muncul bagi si Bapak
karena biar bagaimanapun seorang anak perempuan, pasti ada jasa baiknya untuk
orang tua selama hidupnya sejak kecil sampai menikah bahkan diharapkan juga
setelah menikah, anak perempuan tempat sandaran hidup ketika mereka masuk
usia renta. Selain kepentingan orang tua, juga dikandung maksud, supaya anak
putri itu memiliki modal untuk masuk kepada keluarga baru, untuk menjamin
hidupnya tanpa menghitung apakah suaminya ada atau tidak adamateri yang
cukup dalam perkawinannya. Untuk menjamin kemurnian harta ini secara

hukum.
Harta ini tidak melebur dalam harta gono gini, harta bersama dengan sang
suami tetap menjadi kewenangan penuh bagi si Istrinya, sekalipun penggunaan
pemanfaatannya oleh keluarganya secara penuh. Dikatan di dalam blog ini juga,
“Tidak jarang sebuah keluarga sepeninggal orang tua baik laki-laki dan
perempuan, pembagian harta warisan ini menjadi sumber sengketa bahkan lebih
parah bisa jadi tidak saling sapa sampai kapanpun, diantara bersaudara hanya
karena tidak adil dalam pembagian waris”.13

12
13

ibid
ibid

27
Universitas Sumatera Utara

Pihak Wanitapun bisa salah menerima jika anak laki menerapkan penuh
hukum adat batak dalam pembagian waris ini. Jika diterapkan murni tentu tidak

salah, maka yang salah pemahaman bersama terhadap hukum adat batak. Betapa
seriusnya, ternyata hukum pembagian waris sesuai adat batak ini, jika tidak
semua memiliki kesamaan pandangan.
Kehidupan masyarakat Angkola khususnya di Tapanuli Selatan secara
fungsional ditata dengan sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, yaitu tiga unsur
yang disebut Kahanggi (teman semarga), Anak Boru (pihak pengambilan isteri),
dan Mora (pihak pemberi isteri). Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan
sebagai tungku penyangganya terdiri dari tiga agar tunggu tersebut dapat
seimbang.14 Secara etimologi berarti merupakan suatu tumpuan yang komponen
(unsur)nya terdiri dari 3 (tiga).15 Sebagai suatu sistem, dalam Dalihan Na tolu
terdapat sejumlah Hirarki pengelompokan kekerabatan (mora,kahanggi dan anak
boru) yang saling berkaitan dan berbagai fungsional yang harus dipenuhi dalam
melakukan tujuan bersama, memelihara pola dan mempertahankan kesatuan.
Semua kaitan fungsional ini harus dipenuhi demi tercapainya keseimbangan dan
keharmonisan.
Keseimbangan dan keharmonisan masing-masing unsur terlihat pada
ungkapan kata tradisional oraang Tapanuli Selatan, “manat sanga pe jamot
marharanggi, elek marboru, hormat marmora” yang artinya kita harus berhati14

Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman,

2005,(Sumatera Utara: Forkala Prov. Sum. Utara), Hal. 80
15
ibid

28
Universitas Sumatera Utara

hati kepada kahanggi, berlaku sayang kepada anak boru, dan selalu hormat
kepada mora.16 Dalam upacara-upacara adat lemabaga Dalihan Na Tolu ini
memegang peranan penting dalam menetapkan keputusan-keputusan. Kahanggi,
Anak Boru dan Mora mempunyai fungsi dan kedudukan yang berbeda-beda satu
sama lain. Perbedaan kedudukannya, apakah pada saat itu yang bersangkutan
berkedudukan sebagai kahanggi, anak boru atau mora.17
Jika pada suatu saat tertentu seseorang berkedudukan sebagai kahanggi,
mora dan anak boru maka pada saat lain dapat berubah-ubah sesuai dengan
kondisi dan tempat. Setiap orang secara pribadi memiliki 3 (tiga) unsur dalihan
na tolu ataupun sebagai masyarakat. Oleh sebab itulah orang Angkola selalu
dapat menyesuaikan diri jika dibutuhkan.18
Berbicara mengenai adat maka tidak terlepas dengan waris. Berbicara
tentang waris akan sampai ke angka statistik yang menunjukkan sengketa yang
bersumber dari perebutan harta waris di masyarakat. Sulitnya bergulat dengan
perhitungan-perhitungan pembagian waris dan penentuan ahli waris sebenarnya
yang berhak melakukan pengalihan atas suatu objek yang diperjualbelikan.19
Jumlah penduduk Kabupaten Tapanuli Selatan jika dikelompokkan
berdasarkan agama yang dianut pada tahun 2012 adalah sekitar 82,79%
Abbas Pulungan, Disertasi: “Peranan Dalihan Na Tolu Dalam Proses Interaksi
Antara Nilai-Nilai Adat Dengan Islam Pada Masyarakat Mandailing Dan Angkola Tapanuli
Selatan”, IAIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA, Yogyakarta, 2003, Hal. 37
17
Pandapotan Nasution, Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman, Op. Cit.
Hal. 80
18
ibid
19
ibid
16

29
Universitas Sumatera Utara

beragama Islam, agama Katholik 1,44%, agama Kristen mencapai 15,76% dan
0,01% beragama Budha, Hindu dan lainnya.20
Akibat adanya berbagai sistem hukum waris yang berlaku, sering terjadi
perbedaan sangat mencolok antara siapa yang berhak mewarisi. Akibatnya akan
menimbulkan sengketa dalam pembagian waris tersebut. Setiap sengketa yang
timbul dalam masyarakat dapat mengganggu keseimbangan tatanan masyarakat.
Oleh karena itu, perlu diupayakan agar setiap sengketa dapat diselesaikan agar
keseimbangan tatanan masyarakat dapat dipilhkan.
Pada dasarnya, keberadaan cara penyelesaian sengketa sama tuanya
dengan keberadaan manusia itu sendiri. Dalam setiap masyarakat telah
berkembang berbagai tradisi mengenai bagaimana sengketa ditangani. Sengketa
dapat diselesaikan melalui berbagai cara, baik melalui forum formal yang
disediakan oleh Negara, maupun melalui forum-forum lain yang tidak resmi
disediakan oleh Negara.21
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan sebagaimana yang diatur oleh
pasal 10 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dapat dilakukan
dalam empat lingkungan Peradilan, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama,
Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lingkungan peradilan
menyelesaiakan sengketa sesuai yuridiksinya masing-masing. Keberadaan

20

Badan Pusat Satistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Katalog, BPS: 1102001.1203
Tapanuli Selatan Dalam Angka, 2014. Hal. 74
21
Eman Suparman, Pilihan forum Arbitrase dalam sengketa Komersial untuk
Penegakan Keadilan,2004 (jakarta: Tata nusa,), Hal. 18

30
Universitas Sumatera Utara

pengadilan sebagai forum formal penyelesaian sengketa merupakan aplikasi dari
ajaran Trias Politica, dimana badan-badan peradilan diberi wewenang dan
otoritas untuk mengadili suatu perkara. Melalui lembaga peradilan, setiap
sengketa harus diselesaikan menurut tata cara formal yang diatur dalam hukum
acara serta memberi hak kepada para pihak untuk mempergunakan upaya hukum.
Dalam beberapa masyarakat ada kecenderungan untuk menyelesaikan
sengketa melalui peradilan, namun adapula masyarakat yang lebuh suka
menyelesaikan sengketa melalui forum-forum lain diluar pengadilan. Alasanalasan

kebudayaan

menyebabkan

beberapa

masyarakat

cenderung

mengeyampingkan pengadilan sebagai tempat penyelesaian sengketa yang timbul
diantara mereka.
Pada awalnya pengadilan dijadikan sebagai pilihan pertama dan terakhir
dalam penyelesaian sengketa. Selama beberapa dekade masyarakat di berbagai
negara memberikan kepercayaan kepada lembaga peradilan untuk mengelola
sengketa yang mereka hadapi, dengan harapan akan memperoleh keadilan
sebagaimana secara normatif dan eksplisit disebutkan dalam ketentuan perundangundangan. Akan tetapi faktanya lembaga peradilan telah terbukti tidak mampu
memenuhi harapan masyarakat pencari keadilan. Banyak keluhan yang timbul
terhadap kinerja pengadilan yang dinilai formalistic, teknis dan biaya mahal.
Dengan munculnya penyelesaian sengketa alternatif ini, pengadilan hanya
dijadikan sebagai pilihan terakhir oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa.
Para pihak yang bersengketa baru akan mengajukan sengketanya ke pengadilan

31
Universitas Sumatera Utara

apabila mekanisme penyelesaian sengketa alternatif tidak mampu menyelesaikan. Di
Indonesia sendiri, disamping pengadilan sebagai forum penyelesaian sengketa yang
keberadaanya diakomodir oleh Negara Melalui UU No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakimann, terdapat juga forum penyelesaian sengketa lain yang
mengacu pada pranata adat dan agama. Hal tersebut dilatarbelakangi karena adanya
pluralisme hukum yang berlaku di Indonesia, dimana hukum yang berlaku bukan
hanya hukum yang berasal dari pemerintah atau negara (Hukum Negara), tetapi juga
hukum yang berasal dari adat kebiasaan masyarakat (Hukun Adat) serta hukum yang
berasal dari ajaran-ajaran agam (Hukum Agama).
Mari kita berbicara tentang penyelesaian sengketa secara adat. Apabila
seseorang wafat maka sebagian besar lingkungan masyarakat di Indonesia menjadi
masalah bagaimana harta warisan akan dibagi kepada para waris. Jika harta warisan
itu akan dibagi makan kapankah waktu pembagian dan bagaimana cara pembagian
itu akan dilaksanakan.22 Pada umumnya hukum adat tidak menentukan kapan waktu
harta warisan itu akan dibagi atau kapan sebaiknya diadakan pembagian, begitu pula
siapa yang menjadi juru bagi tidak ada ketentuan.23 Menurut adat kebiasaan waktu
pembagian setelah wafat pewaris dapat dilaksanakan setelah upacara sedekah
atau selamatan yang disebut waktu nujuh hari, waktu empat puluh hari, nyeratus
hari atau seribu hari setelah pewaris wafat.24

22

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat,1980 (Bandung: Alumni), Hal. 114
ibid
24
ibid
23

32
Universitas Sumatera Utara

Menurut Hilman Hadikusma,

25

Apabila harta warisan akan dibagi maka

yang akan menjadi juru bagi dapat ditentukan antara lain adalah:
a. Orang Tua yang masih hidup (Janda atau Duda dari pewaris), atau
b. Anak Tertua lelaki atau perempuan, atau
c. Anggota keluarga tertua yang dipandang jujur adil dan bijaksana, atau
d. Anggota kerabat tetangga, pemuka masyarakat adat atau pemuka agama yang
diminta, ditunjuk atau dipilih para waris untuk bertindak sebagai juru-bagi.
Hukum adat tidak mengenal cara pembagian dengan perhitungan
matematika, tetapi selalu didasarkan atas pertimbangan mengingat wujud benda
dan kebutuhan waris bersangkutan.26 Jadi walaupun hukum waris adat mengenal
asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian
warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut
banyaknya bagian yang sudah ditentukan.27 Pada dasarnya persoalan warismewarisi selalu identik dengan perpindahan kepemilikan sebuah benda, hak dan
tanggung jawab dari pewaris kepada ahli warisnya.
Persoalan perpindahan waris inilah yang sering menimbulkan konflik yang
terkadang tidak dapat menemui titik penyelesaiannya. Di Tapanuli Selatan banyak
terdapat sengketa waris yang terjadi, walau terkadang penyelesaian sengketa tersebut
berujung pada lembaga pengadilan. Pada sengketa yang terjadi pada keluaga T
Harahap. Yang menjadi permsalahanya disini ialah pembagian warisan yang
25

ibid
ibid
27
ibid
26

33
Universitas Sumatera Utara

menurut salah satu keturunanya tidak adil. Ibu T Siregar (52 tahun) mendapatkan
kabar dari keluarga mantan suaminya bahwa P Harahap (58 Tahun)

mantan

suaminya meninggal karena serangan Jantung. Keluarga mantan suaminya
memberitahukan : bahwa sebelum meninggal P Harahap pernah berpesan secara
lisan kepada kakaknya D Harahap bahwa salah satu rumah miliknya diberikan
kepada A boru Harahap, yaitu anak kandung P Harahap yang berusia 26 tahun.
Walaupun keluarganya mengakui wasiat yang diberikan P Harahap secara lisan
melalui kakaknya, T Siregar merasa ragu karena tidak ada bukti tertulis bahwa P
Harahap memang pernah mewasiatkan rumah tersebut untuk anak mereka. Yang
menjadi masalah disini putra dari P Harahap anak dari perkawinan ke duanya
dengan M boru Samosir yaitu F Harahap (24 Tahun) tidak menyetujui hal ini.
Padahal dia juga sudah mempunyai hak waris yang sudah ditentukan oleh P harahap.
Dari persoalan ini timbul sengketa karena merasa dia anak lelaki seharusnya dia
berhak atas semua harta dari ayahnya.
Dari kasus diatas adalah mengenai tentang wasiat yang menjadi sengketa.
disini yang dimaksud dengan wasiat menurut penjelasan pasal 49 ayat (c) UU
No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama, ialah perbuatan seseorang memberikan suatu benda atau manfaat kepada
orang lain atau lembaga/badan hukum yang berlaku setelah yang memberi
tersebut meninggal dunia.

34
Universitas Sumatera Utara

Wasiat memiliki dasar-dasar hukum yang jelas. Di dalam hukum Islam,
sumber hukum yang mengatur tentang wasiat adalah Al-Quran Surah Al-Baqarah
(2) ayat 180, yang artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila maut hendak menjemput seseorang
diantara kamu, jika dia meninggalkan harta, berwasiat untuk kedua orangtua dan
karib kerabat dengan cara yang baik, (sebagai) kewajiban bagi orang-orang yang
bertakwa.”
Sementara pasal 195 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan, bahwa
wasiat kepada ahli waris masih memungkinkan, dengan syarat telah mendapat
persetujuan ahli waris lainnya. Selain itu terdapat pula syarat-syarat lain.28
Di dalam kompilasi Hukum Islam pasal 195 disebutkan bahwa:
1. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis
dihadapan 2 (dua) orang saksi atau notaris
2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanya-banyaknya (maksimum) 1/3 (sepertiga)
dari seluruh harta warisan; kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.
3. Wasiat kepada ahli waris berlaku apabila disetujui oleh semua ahli waris.
4. Pernyataan persetujuan pada Ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di
hadapan 2 (dua) orang saksi; atau tertulis dihadapan 2(dua) orang saksi dan
notaris.
Mengacu pada pasal 195 ayat 1 KHI, pada dasarnya wasiat yang pernah
dilakukan P Harahap kepada kakaknya adalah sah, asalkan saat pemberian wasiat
minimal 2 (dua) orang saksi yang mendengarnya dan saksi-saksi tersebut, berikut
seluruh ahli waris lain menerima wasiat lisam yang dilakukan P Harahap. Lalu
dengan iktikad baik bersedia melaksanakan wasiat tersebut.29

28

Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-kiat
Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Op Cit, Hal. 49
29
Irma Devita Purnamasari, Panduan Lengkap Hukum Praktis Populer Kiat-kiat
Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris, Op Cit, Hal. 52

35
Universitas Sumatera Utara

Dikarenakan kajian orang Tapanuli Selatan atau suku Batak bagian
Selatan (Mandailing dan Angkola) jumlahnya terlalu minim

30

kalau

dibandingkan dengan kajian suku Batak di Bagian Utara. Bahkan lebih
disayangkan lagi bahwa penelitian penelitian tentang Tapanuli Selatan dilakukan
oleh orang luar Tapanuli. Perhatian peneliti tentang Batak Selatan baru muncul
setelah tahun 1970-an. Alasannya di antaranya adalah karena beberapa peneliti
yang melihat bahwa orang Tapanuli Selatan (Mandailing dan Angkola) di
perantauan memiliki peradaban yang berbeda dengan orang Batak lainnya, atau
setidaknya berbeda apa yang dipahami dari keputusan dengan kenyataan, seperti
karakteristik, kondisi sosial dan keagamaan masyarakat.31
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dirimuskan beberapa masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan pembagian waris secara adat pada masyarakat
angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan?
2. Bagaimana Peran lembaga adat jika terjadi sengketa dalam pembagian waris
pada masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan?

30

Hal ini juga diakuai J.Keuning, khususnya di daerah Angkola, Sipirok, Padang lawas
dan Mandailing. Lihat J.Keuning, Batak Toba dan Mandailing” dalam Taufik Abdullah, (ed.),
sejarah lokal di Indonesia ( Yogyakarta: Gadjah Mada Universitas Press, 1990), Hal. 283
31
Orang mandailing yang lebih dahulu menganut agama islam dari pada orang Batak
Toba menganut kristen menjadi identitas yang mendasar bagi kedua etnis ini. Kedua etnis ini
mulai saling mengenal setelah Padri memasuki Tapanuli Selatan dan terus dipertajam setelah
masa Kolonial Belanda yang berdiri di belakang Missionaris. Dari identitas keagamaan ini orang
Mandailing merasa lebih dekat dengan etnis Minangkabau dari pada orang Batak Toba. Pelly,
Urbanisasi dan Adaptasi, Hal. 44-46

36
Universitas Sumatera Utara

3. Bagaimana Kekuatan hukum dari hasil penyelesaian sengketa waris menurut
lembaga penyelesaian sengketa waris adat pada masyarakat Angkola di
Kabupaten Tapanuli Selatan?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan permasalahan yang teridentifikasi diatas, maka
yang menjadi tujuan peneliti adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui dan menganilisis pelaksanaan hukum waris adat pada
masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan.
2. Untuk mengetahui dan menganisilis Bagaimana Peran lembaga adat jika
terjadi sengketa dalam pembagian waris pada masyarakat Angkola di
Kabupaten Tapanuli Selatan
3. Untuk mengetahui dan menganalisis Bagaimana kekuatan hukum dari hasil
penyelesaian sengketa waris menurut lembaga penyelesaian sengketa waris
adat pada masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat secara Teoritis
Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan
referensi lebih lanjut untuk melahirkan berbagai konsep keilmuan yang pada
gilirannya dapat memberikan andil bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum
kewarisan, khususnya pada masyarakat batak Angkola di Kabupaten Tapanuli
Selatan.
2. Manfaat Secara Praktis

37
Universitas Sumatera Utara

Secara Praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan
memberikan pemahaman kepada masyarakat dalam pembagian harta warisan
yang menjadi sengketa khususnya di Tapanuli Selatan.
3. Keaslian Penelitian
Berdasarkan pendataan kepustakaan, dimana dari hasil penelitian yang
pernah dilakukan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara,
penelitian mengenai Analisis Yuridis Penyelesaian Sengketa Waris Berdasarkan
Huku Adat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan sama sekali belum pernah
dilakukan. Tetapi sebelumnya sudah ada penelitian tentang :
1. Pembagian Harta Warisan Pada Suku Melayu (studi di Kecamatan Medan
Maimoon Kelurahan Aur) : Marsella (027011078), permasalahan yang di
teliti adalah:
a. Bagaimanakah porsi masing-masing ahli waris menurut hukum waris
yang berlaku pada suku Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun
Kelurahan Aur.?
b. Bila momentum Pembagian Harta warisan diberlakukan pada suku
Melayu Deli di Kecamatan Medan Maimun Kelurahan Aur?
c. Bagaimanakah cara penyelesaian Sengketa harta warisan yang terjadi
pada suku Melayu Deli di Kecamatan Maimun Kelurahan Aur?

38
Universitas Sumatera Utara

2. Sengketa warisan dan upaya penyelesaiannya pada masyarakat Adat
Minangkabau (studi Kasus di Kabupaten Solok) : YUNASRIL (017011067),
permasalahan yang di teliti adalah:
a. Bagaimana prinsip pewarisan pada masyarakat adat Minangkabau?
b. Faktor-faktor apa yang menyebabkan timbulnya sengketa waris dalam
masyarakat adat di kabupaten solok?
c. Kaidah hukum apa yang dipakai untuk menyelesaikan sengketa
warisan pada masyarakat adat kabupaten solok?
Mengingat topik dan permasalahan yang diteliti berbeda maka oleh
karena itu penelitian ini dapat dikatakan asli. Sehingga dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.
4. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Menurut Fred N. Kerlinger, suatu teori adalah seperangkat konsep,
batasan dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentan
fenomena dengan merinci hubungan antar variabel dengan tujuan menjelaskan
dan meprediksi gejala tersebut.32 Dimana proposisi merupakan pernyataanpernyataan yang dapat dinilai benar atau salah, sedangkan yang menjadi
variabelnya merupakan segala sesuatu yang akan menjadi pengamatan penelitian.

32

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, 2010, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), Hal. 133-134

39
Universitas Sumatera Utara

Teori yang digunakan nanti akan dijadikan sebagai pisau analisis dalam
menguraikan permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini.
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan atau petunjuk
dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati.33
Teori adalah yang bertujuan menerangkan atau menjelaskan mengapa
gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan
menghadapkannya

pada

fakta-fakta

yang

dapat

menunjukkan

ketidak

benarannya. Menetapkan landasan teori pada waktu diadakan penelitian ini agar
tidak salah arah.34 Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa “kontinuitas
perkembangan ilmu hukum, selain beraturan pada metodelogi, aktivitas
penelitian dan imajinasi sosial sangat ditentukan oleh teori.35
Menurut J.J.H. Bruggink “ Teori Hukum adalah suatu keseluruhan
pernyataan yang saling berkaitan dengan sistem konseptual, aturan-aturan hukum
dan peraturan-peraturan hukum dan sistem tersebut untuk sebagian yang penting
dipositifkan.36 Teori hukum bertujuan menjelaskan postulat-postulatnya hingga
dasar filsafat yang paling dalam. Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang
abstrak, namun dalam manifestasinya dapat berwujud konkrit. Suatu ketentuan
hukum dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya
33

Lexy J. Moloeng, Metodelogi Penelitian Kualitatif, 1993,( Bandung : Remaja Rosdakarya),

Hal. 35
34

J.J.J.M. Wuisman, Penyunting M. Hisyam, Penelitian ilmu-ilmu Sosial, Asas Asas,( Jakarta,
Penerbit :FE UI 1996), Hal. 203
35
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta, Penerbit: UI Press),1996, Hal. 6
36
B. Arief Sidharta, Reflexsi Tentang Hukum Pengertian-pengertian Dasar Dalam Teori
Hukum, 2011,(Bandung, Penerbit: PT. Citra Aditya Bakti), Hal. 159-160

40
Universitas Sumatera Utara

adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya
penderitaan.37
Teori-teori yang digunakan penulis dalam penelitian ini yaitu antar lain
Teori hukum Living Law. teori ini didasarkan pada kerangka teori hukum sebagai
proyek adalah suatu penggambaran bahwa hukum harus dinamis. Hukum yang
demikian merupakan suatu yang harus diwujudkan untuk mencapai keadilan dan
legitimitas menuju ke hukum optimal, yang berorientasi pada nilai-nilai dan asasasas hukum sebagai ukuran untuk praktik hukum.38
Berkenaan dengan penelitian hukum adat, dapat digabungkan fungsi
hukum yang dinamis, aspirasi, optimalisasi denga legitimasi yang berorientasi
pada nilai-nilai dan asas-asas hukum serta teori living law sebagaimana dikatakan
oleh Eugen Erlich. Eugen Erlich mengemukakan bahwa “Hukum itu adalah
hukum yang hidup (living law) yaitu; hukum yang nyata hidup dalam
masyarakat, terus berevolusi selalu melebihi hukum negara yang kaku dan tidak
bergerak”. Dalam studi Eugen Erlich tentang sosiologi hukum mempunyai ciri
yang berbeda. Tidak seperti studi Webber, dimana ia bermaksud untuk
membuktikan teori yaitu bahwa “titik berat perkembangan hukum tidak terletak
pada perundang-undangan juga tidak dalam masyarakat itu sendiri”.39

37

Lili Rasjidi & I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem,1993( Bandung,
Penerbit: Remaja Rosdakarya), Hal. 79
38
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Huum, (Sinar Grafika), Hal. 86-87
39
W. Friedman, Teori dan Filsafat Hukum, Ed. 1, cet.2,1994( Jakarta, Penerbit: Raja
Grafindi Persada), Hal. 104

41
Universitas Sumatera Utara

Untuk memperkuat kerangka teori, penulis dalam penelitian ini juga
menggunakan teori Penyelesaian Sengketa. Teori penyelesaian sengketa
merupakan teori yang mengkaji dan menganalisis tentang:“kategori atau
penggolongan sengketa atau pertentangan yang timbul dalam masyarakat, faktor
penyebab terjadinya sengketa dan cara-cara atau stategi yang digunakan untuk
mengakhiri sengketa tersebut.40
Laura Nader adalah seorang yang mengkonsentrasikan kajiannya
terhadap sengketa namun yang diperhatikan adalah pemrosesan sengketa atau
apa yang dia namakan disputing proces.41 Dalam teorinya, Laura Nader
memandang hukum sebagai suatu proses. Nader fan Todd42 menyebutkan ada
tiga fase dalam sengketa, yaitu:
1. Tahap pra Konflik (grievance/preconflict) mengacu kepada keadaan atau
kondisi dimana seseorang atau kelompok merasa adanya ketidakadilan dan
mengadakan keluhan.
2. Tahap Konflik (conflict), dimana pihak yang merasa dirugikan tersebut
memberitahukan keluhannya kepada pihak yang dianggap melanggar haknya.
3. Tahap sengketa (dispute) merupakan akibat dari adanya eskalasi tahap konflik
yang diumumkan kepada publik.

40

Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan
Disertasi, 2013, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada), Hal. 137
41
T.O. Ihromi http://books.google.co.id/books.Antropologi Hukum Sebuah Bunga
Rampai, Hal. 207, diakses tanggal 10 November 2015, pukul 14.30 WIB
42
Edy Ikhsan, Disertasi: Antan Patah Lesungpun Hilang: Kontestasi Normatif dan
Pergeseran Hak Tanah Komunal dalam Perspektif Sosio-Legal (syudi pada Etnis Melayu Deli di
Sumateta Utara), 2012, Medan: Universitas Sumatera Utara, Hal. 36

42
Universitas Sumatera Utara

Menurut Guliver seperti yang dikutip oleh Nader dan Todd, suatu
sengketa (dispute) hanya dapat terjadi bila pihak mempunyai keluhan (klaim)
semula atas seseorang atas namanya, telah “meningkatkan perselisihan” pendapat
yang semula dari perdebatan diadik (dua pihak) menjadi hal yang memasuki
bidang publik.43 Menurut Llewelyn dan Hoebel, hanya melalui sengketa dapat
diketahui apakah hukum yang hidup yang sesungguhnya dianut oleh
manysarakat.44
Ruang lingkup penyelesaian sengketa adalah45:
1.

Jenis-jenis sengketa; kategori sengketa adalah penggolongan jenis-jenis sengketa
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, termasuk di dalamnya adalh sengketa
waris tanah adat.

2.

Faktor penyebab timbulnya sengketa, adalah sebagai upaya mengungkapkan halhak yang menyebabkan suatu hal terjadi atau menjadi lantaran terjadinya
sengketa.

3.

Strategi di dalam penyelesaian sengketa, adalah upaya untuk mencari dan
merumuskan cara-cara mengakhiri sengketa yang timbul di antara para pihak,
seperti melalui pengadilan maupun alternatif penyelesaian sengketa yang tersedia.
Hukum dalam posisi sebagai peredam konflik juga dikemukakan oleh

Vilhem Aubert bahwa “low as a way of resolving conflict” atau sebagaimana

43

T.O Ihromi, Op. Cit, Hal. 210
http://books.google.co.id/books/about.Sulistyowati Irianto, Perempuan di Antara
berbagai pilihan hukum, hal. 7, diakses 10 November 2015, pukul 15.30 WIB
45
Salim Hs dan Erlies Septian Nurbaini, Op. Cit. Hal. 137
44

43
Universitas Sumatera Utara

dikatakan oleh Austin Turk bahwa “law as a weapon in social conflict”,46 jadi
hukum berguna sebagai alat untuk meredakan konflik sosial dan menjadi alat
penyelesaian sengketa yang terjadi di masyarakat.
Di Indonesia, Penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara
yaitu:
1.

Cara penyelesaian sengketa menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara
Perdata

2.

Cara penyelesaian sengketa menurut Undang-undang No. 30 Tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute
Resolution)

3.

Cara penyelesaian sengketa menurut Lembaga Adat 47
Penyelesaian sengketa melalui peradilan dapat berbentuk keputusan dan

akta perdaiaman (acta van dading). Tujuan pengadilan untuk terwujudnya
keadilan, kebenaran, kepastian hukum dan ketertiban dibuktikan dengan setiap
perkara perdata yang diajukan ke pengadilan, maka pengadilan sesuai dengan
tujuan utamanya itu tidak langsung memeriksa dan menerapkan aturan
hukumnya. Melainkan berupaya mengajak pihak-pihak untuk berdamai.
Kemudian, dalam penyelesaian sengketa menurut Undang-undang No. 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dam Alternatif Penyelesaian Sengketa terdapat

46

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Cet. Ke-2,
2013, Bandung: Penerbit Pt. Citra Aditya Bakti, Hal. 2
47
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaini, Op. Cit. Hal. 142

44
Universitas Sumatera Utara

penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase48 dan melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang meliputi: Konsultasi 49, negosiasi50, mediasi51,
kosiliasi52, dan penilaian ahli53. Disamping itu terdapat pula penyelesaian
sengketa melalui lembaga adat. Embaga adat dan nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat di Indonesia bersifat lokal karena masing-masing etnis atau daerah
mempunyai lembaga adat dan nilai-nilai yang berbeda antara satu sama lain54.
1. Konsepsi
Konsepsi adalah bagian yang terpenting dalam teori, yang diterjemahkan
sebagai usaha membawa dari abstrak menjadi suatu yang konkrit disebut juga
dengan operational defenition. Peranan konsepsi dalam penelitian ini
menghubungkan teori dengan observasi antara abstraksi dan kenyataan. Konsep
mengandung arti sebagai kata lain defenisi operational.

48

Berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
asbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
49
Konsultasi adalah perundingan yang dilakukan anatara pihak tanpa melibatkan pihak
ketiga dalam penyelesaian sengketa mereka. Salim Hs dan Erlies Septiana Nurbaini, loc. Cit
50
Negosiasi menurut Gary Goodpaster merupakan proses upaya untuk mencapai
kesepakatan dengan pihak lain, suatu proses interaksi dan komunikasi yang dinamis dan beraneka
ragam, dapat lebut dan bernuansa, sebagaimana manusia itu sendiri (sebagaimana dikutip dalam
Rachmadi Usman, ibid., hal. 66)
51
Mediasi menurut Christopher W. Moore, adalah intervensi dalam sebuah sengketa
atau negosiasi oleh pihak ketiga yang bisa diterima pihak yang bersengketa, bukan merupakan
bagian dari keuda belah pihak dan bersifat netral. (sebagaimana dikutip dalam Rachmadi Usman,
ibid., Hal. 96
52
Konsiliasi merupakan suatu penyelesaian di luar pengadilan melalui pemufakatan atau
musyawarah yang dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh
seorang pihak atau lebih pihak ketiga yang netral dan bersifat aktif sebagai kosiliator. (Ibid., Hal.
128-129)
53
Penilaian ahli adalah suatu cara penyelesaian sengketa dimana para pihak menunkuk
seorang ahli yang netral untuk membuat pengarahan materi tersebut secara mengikat.
54
Salim HS dan Erlies Septiana Nurbaina, Op. Cit. Hal. 143

45
Universitas Sumatera Utara

Pentingnya defenisi operational adalah untuk menghindarkan perbedaan
pengertian atau penafsiran yang mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai,
dan defenisi-defenisi operational menjadi penganut konkret dalam proses
penelitian. Oleh karena itu dalam menjawab permasalahan yang terjadi
dilapangan maka beberapa konsep dasar untuk menyamakan persepsi sebagai
berikut:
1.

Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian suatu bangsa,
merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan
dari abad ke abad.55

2.

Hukum adat adalah suatu kompleks norma-norma yang bersumber pada
perasaan keadilan rakyat yang selalu berkembang serta meliputi peraturanperaturan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari dalam
masyarakat, sebagian besar tidak tertulis, senantiasa ditaati dan dihormati
oleh rakyat, karena mempunyai akibat hukum (sanksi). 56

3.

Hukum waris adat adalah aturan-aturan hukum yang mengenai cara
bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan dari harta kekayaan
yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi pada generasi.57 Djamanat
Samosir

58

, mengatakan hukum adat waris adalah peraturan-peraturan yang

55

Soerojo Wignjodipoero, S.H. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat,2005,(Jakarta:
CV. Haji Masagung,), hal
56
Soerojo Wignjodipoero, S.H. Op. Cit, hal 16
57
Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat ,1999,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti),
Hal. 7
58
Djamanat Samosir, Hukum Adat Indonesia Eksistensi dalam Dinamika Perkembangan
Hukum Indonesia, 2013.( Bandung: CV. Nuansa Aulia), hal. 306

46
Universitas Sumatera Utara

mengatur proses penerusan dan peralihan (harta atau warisan baik berwujud
maupun tidak berwujud dari si pewaris pada waktu ia masih hidup atau
setelah ia meninggal kepada ahlu waris). Hukum waris adat itu meliputi
aturan-aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan peralihan
kekayaan materiel dan immaterieel dari turunan ke turunan.59
4.

Pewaris adalah orang yang telah meninggal dunia dan meninggalkan sesuatu
yang dapat beralih kepada keluarganya yang masih hidup, baik keluarga melalui
hubungan kekerabatan, perkawinan maupun keluarga melalui persekutuan
hidup dalam rumah tangga. Oleh karena itu, yang tergolong sebagai pewaris
adalah : (a) orang tua (ayah, ibu), (b) saudara-saudara yang belum berkeluarga
atau yang sudah berkeluarga tetapi tidak mempunyai keturunan, dan (c) suami
atau istri yang meninggal dunia.

5.

Harta warisan adalah harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang
meninggal dunia kepada ahli warisnya. Harta warisan itu terdiri atas:
a. Harta bawaan atau harta asal,
b. Harta perkawinan,
c. Harta pusaka biasa,
d. Harta yang menunggu60

6. Pembagian harta adalah merupakan suatu perbuatan daripada ahli waris
bersama-sama, serta pembagian itu diselenggarakan dengan pemufakatan atau
atas kehendak bersama dari pada para ahli waris.61
59

B.Ter Haar Bzn.,Terj: K.Ng. Soebakti Poresponoto, Asas-asas dan Susunan Hukum
Adat, Tanpa tahun, (Jakarta: Pradnya Pramita), hal. 231
60
Op.cit, hal 3

47
Universitas Sumatera Utara

7. Ahli waris adalah orang yang berhak mewarisi harta peninggalan pewaris,
yakni anak kandung, orang tua, saudara, ahli waris pengganti, dan orang
yang mempunyai hubungan perkawinan dengan pewaris (janda atau duda).62
8. Sistem kekerabatan Patrilineal adalah sistem kekerabatan berdasarkan
pertalian keturunan melalui kebapakan yang menarik garis keturunannya
dari pihak laki-laki terus keatas.
9. Sengketa menurut Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin adalah persepsi
mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau
suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang bersengketa tidak
dicapai secara simultan (secara serentak). 63 Sedangkan konflik merupakan
perselisihan yang belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat di
dalam perselisihan yang belum diketahui oleh pihak-pihak yang tidak terlibat
didalam perselisihan tersebut dan mencakup perselisihan yang bersifat laten,
oleh karena itu konflik mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada
sengketa, namun dalam penggunaanya secara ilmiah, khususnya dalam
ruang lingkup penelitian hukum, istilah sengketa (dispute) telah menjadi istilah
baku dalam praktik hukum.64 Sedangkan menurut Takdir Rahmadi65, konflik
mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada sengketa yang termasuk
61

Soerojo wignjodipoero, S.H pengantar dan asas-asah Hukum Adat, 1988,( jakarta: cv
Haji Masagung), hal 181
62
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, 2009, (Jakarta: Sinar Grafika), Hal,6
63
Ibid, Hal. 160
64
Nurmaningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di
Pengadilan, 2011,( Jakarta, PT.Grafindo Press), hal. 12
65
Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat,
(Jakarta: PT.Grafindo Persada), hal.1-2

48
Universitas Sumatera Utara

didalamnya perselisihan-perselisihan yang bersifat laten dan perselisihan yang
mengemukakan yang disebut sengketa. Sengketa atau konflik hakikatnya
merupakan bentuk aktualisasi dari suatu perbedaan dan/atau pertentangan antara
dua pihak atau lebih.66
10. Sengketa Waris, yaitu perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan
mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang berasal dari
warisan.67

2. Metode Penelitian
1. Sifat dan Jenis Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa konstruksi yang dilakukan secara metodelogi, sistematis dan
konsisten.68 Dari segi penelitain hukum, penelitian hukum terbagi menjad
dua yaitu penelitian normatif atau doktrin dan empiris. 69
Penelitian hukum doktrinal, oleh Sutadnyo Wigyosubroto dibagi menjadi
3 bagian, yaitu:70

66

Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian sengketa di Luar Pengadilan. 2013,(
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hal.3
67
http://www/bpn.go.id/program/penanganan-kasus-pertanahan, Penanganan Kasus
Pertanahan diakses tanggal 6 juli 2015, jam: 09.50 WIB.
68
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, 1981, (jakarta:UI-Press), Hal. 42
69
Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Op.cit. Hal. 22
70
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
empiris,2010( Yogyakarta: Pustaka Pelajar),Hal. 46-47

49
Universitas Sumatera Utara

a.

Penelitian doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai asas
hukum alam dalam sistem moral menurut doktrin hukum alam.

b.

Penelitian doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah
perundang-undangan menurut doktrin positivisme.

c.

Penelitian doktrinal yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai
keputusan hakim in concreto menurut doktrin realisme.
Adapun jenis penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif/doktrinal dan yuridis empiris yang didukung studi
lapangan dengan model penelitian yang mengkaji hukum yang dikonsepkan
sebagai keputusan hakim in concreto menurut doktrin realisme. Dalam metode
penelitian ini objek hukum yang dikaji adalah hasil mediasi dari putusan lembaga
adat dan keputusan hakim Pengadilan Negeri Padang Sidempuan dan pengaruh
norma-norma hukum adat dan hukum yang hidup di

masyarakat dilakukan

dengan melakukan studi mengenai norma masyarakat adat Angkola yang
bersengketa secara adat maupun di Pengadilan Negeri Padang Sidempuan.
Penelitian ini nantinya akan dianalisi secara deskriptif dengan
memaparkan dan menjelaskan data yang ditemukan dalam penelitian. Penelitian
ini juga menggunakan pendekatan kualitatif yang mengacu pada norma hukum
yang terdapat dalam perundang-undangan dan putusan pengadilan serta normanorma hidup yang berkembang dalam masyarakat. Metode penelitian yang
dipergunakan dalam penelitian ini bersifat deskriptif analitis.

50
Universitas Sumatera Utara

Deskriptif

analitis

merupakan

metode

yang

dipakai

untuk

menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang terjadi atau sedang
berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin
mengenai objek penelitian. Metode penelitian yang bersifat analisis deskriptif ini
dipilih karena bersifat memberikan gambaran atau pemaparan atas objek
penelitian tanpa melakukan justifikasi terhadap hasil penelitian.
1. Lokasi Penelitian
Lokasi Penelitian dilakukan di Kabupaten Tapanuli Selatan, termasuk
Kota Padang Sidempuan dimana daerah ini adalah mayoritas masyarakat angkola
yang menggunakan hukum adat. Kabupaten Tapanuli Selatan terdiri dari 14
(empat belas) kecamatan, yakni Batang Angkola, Sayur Matinggi, Angkola
Timur, Angkola Selatan, Angkola Barat, Batang Toru, Marancar, Sipirok, Arse,
Saipar Dolok Hole, Aek Bilah, Muara Batang Toru, Tano Tomabangan Angkola
dan Angkola Sanungkur.71
Dengan sedemikian luasnya Kabupaten Tapanuli Selatan yakni empat
belas Kecamatan, maka yang menjadi lokasi Penelitian ini diambil 3 (tiga)
kecamatan yang dipilih dan ditentukan secara purposive sampling.72 3 (tiga)
kecamatan yakni Batang Angkola, Angkola Timur dan Angkola Barat.
71

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Op. Cit. Hal. 47
Tatang M Arimin, Menyusun Rencana Penelitian,2000(jakarta:PT. Raja Grafindo),
Hal. 147, menyatakan bahwa purposive sampling adalah pengambilan sample berdasarkan
penelitian subjektif peneliti, bahwa sampel yang diambil itu mencerminkan (representatif) bagi
populasi.
72

51
Universitas Sumatera Utara

Pengambilan lokasi ini dengan mempertimbangkan bahwa masyarakatnya masih
kental menggunakan adat mereka. Terdapat kasus pembagian warisan adat
sepanjang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku di daerah itu, karena
masyarakat dianggap telah banyak menerima dan menerapkan hukum adat dalam
kehidupan mereka termasuk masalah warisan.
2. Populasi dan Teknik Sampling
Populasi adalah seluruh objek atau seluruh individu atau seluruh gejala atau
seluruh kejadian atau seluruh unit yang akan diteliti.73 populasi biasanya sangat besar
dan sangat luas, maka kerap kali tidak mungkin untuk meneliti seluruh populasi itu.
Dalam suatu penelitian sebenarnya tidak perlu meneliti semua obyek atau semua
individu atau semua kejadian atau semua unit tersebut untuk dapat memberikan
gambaran yang tepat dan benar mengenai keadaan populasi tersebut, maka cukup
diambil sebagian untuk dapat diteliti sebagai sampel.
Tabel 1
Penyebaran Masyarakat Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan
No.

Nama Kecamatan

1.

Batang Angkola

2.

Sayur Matinggi

3.

AngkolaTimur

4.

Angkola Selatan
73

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, 2000(Bandung:Alumni), Hal. 44

52
Universitas Sumatera Utara

5.

Angkola Barat

6.

Batang Toru

7.

Marancar

8.

Sipirok

9.

Arse

10.

Saipar Dolok Hole

11.

Aek Bilah

12.

Muara Batang Toru

13.

Tano tombangan angkola

14

Angkola Sanungkur

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Tahun 201474
Dari 14 kecamatan tersebut akan diambil 3 kecamatan sebagai
sampel, dan dari setiap kecamatan akan diambil 1 sampel desa dengan 10
keluarga sebagai responden.
Tabel 2
Sampel Kecamatan, desa dan Responden
No.

Sampel Kecamatan

Desa

Responden

1.

Angkola Timur

Pargarutan pasar

10 KepalaKeluarga

2.

Angkola Barat

Parsalakan

10 KepalaKeluarga

3.

Batang Angkola

Huta Tonga

10 kepala keluarga

Jumlah

30 Kepala Keluarga

Sumber : Data Rencana wawancara pada Masyarakat Angkola, Tahun 2016

74

Badan Pusat Statistik Kabupaten Tapanuli Selatan, Katalog BPS: 1102001.1203
Tapanuli Selatan Dalam Angka,. Hal. 74

53
Universitas Sumatera Utara

Alasan pemilihan 3 kecamatan sebagai sampel adalah karena sebagian
masyarakat Angkola di desa tersebut masih kental dengan hukum adat.75
Kemudian dari tiap kecamatan diambil masing-masing satu desa dengan 10
(sepuluh) Kepala Keluarga sebagai responden. Masyarakat Angkola penetap
lama, yang masih patuh terhadap hukum adat dan telah menggunakan waris adat
dalam menyelesaikan warisannya.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah Purposive
sampel. Mardalis dalam bukunya mengemukakan bahwa76 “ penggunaan teknik
proposive sampel mempunyai suatu tujuan atau dilakukan dengan sengaja, cara
penggunaan sampel ini diantara populasi sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya”. Penggunaan
teknik ini senantiasa berdasarkan kepada pengetahuan tentang ciri-ciri tertentu
yang telah didapat dari populasi sebelumnya.
Untuk melengkapi data penelitian ini, diperlukan tambahan informasi dari
narasumber lain yang dianggap mengetahui yakni, Pengadila Negeri Padang
Sidempuan, Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan. Serta daerah
Kecamatan-kecamatan yang masih menggunakan hukum adat yang kental.

75

Hasil wawancara dengan Darwin Dalimunte, camat Angkola Timur, tanggal 02 maret

76

Mardalis,Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal,1989, (Jakarta:Bumi Aksara),

2016
Hal.58

54
Universitas Sumatera Utara

3. Teknik Pengumpulan Data
Data primer dan data sekunder dapat diperoleh dengan tata kerja sebagai
berikut:
1. Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara
a.

Mengadakan wawancara terstruktur, kepada para responden khususnya yang
menyangkut tentang hukum waris adat Angkola yang berlaku dahulu, hingga
sampai pada perkembangan di zaman ini, terutama mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan sengketa waris yang dilakukan secara adta yang berlaku
pada masyarakkat Angkola.

b.

Mengadakan Survey kelapangan melalui wawanacara pada objek Penelitian
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang telah penulis siapkan.
Responden, adalah individu atau orang yang diajukan sumber informasi

dalam hal ini pengumpulan data. Responden dalam penelitian ini adalah:
a. Wawancara kepada 30 (tiga puluh) orang warga Kecamatan Batang
Angkola, Angkola Barat dan Angkola Timur.
b. Pengadilan Negeri Kota Padang Sidempuan.
c. Pengadilan Agama Kota Padang Sidempuan.
2. Data Sekunder
Yaitu data yang bersumber dari bahan pustaka yang merupakan alat dasar
digolongkan sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.

55
Universitas Sumatera Utara

a. Bahan Hukum Primer
Bahan Hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat 77 yang
diperoleh melalui studi kepustakaan (librar