Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN) Chapter III V

39

BAB III
HUBUNGAN VISUM ET REPERTUM DENGAN PROSES PEYIDIKAN
TINDAK PIDANA
3.1. Kedokteran Forensik dalam Penyidikan Tindak Pidana
Ilmu pengetahuan antara yang satu dengan yang lainnya selalu
memiliki keterkaitan satu sama lain. Ilmu pengetahuan tidak dapat
menyelesaikan suatu objek permasalahannya tanpa bantuan dari ilmu
pengetahuan lainnya. Banyak kasus yang tidak dapat diselesaikan dengan
menggunakan ilmu hukum pidananya saja. Hukum pidana membutuhkan
bantuan dari ilmu lain pada kasus-kasus tertentu, bahkan ada kalanya ilmu lain
menjadi kebutuhan hukum pidana untuk menyelesaikan suatu kasus.
Berlakunya KUHAP menjadikan bukti formal berupa pengakuan atau
kesaksian tidak lagi materi utama penyidikan suatu tindak pidana, karena
kedua macam alat bukti ini masih dapat disangkal terdakwa dalam sidang
pengadilan, sehingga penyidik dituntut mengutamakan bukti materiel melalui
penyidikan secara ilmiah dengan cara memanfaatkan ilmu forensik dalam
semua tahap-tahap penyidikan.33
Pembuktian tindak pidana yang berhubungan dengan tubuh manusia,
dimana luka maupun jenazah bukan menjadi kajian ilmu hukum, sangat

dibutuhkan bantuan ilmu lain, yakni ilmu Kedokteran Forensik untuk

33

Andi Sofyan, Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Grup,
2014, Jakarta, hlm. 252.

Universitas Sumatera Utara

40

membuat jelas apakah luka atau kematian seseorang tersebut merupakan hasil
dari tindak pidana atau tidak. Proses pembuktian untuk mengetahui dan dapat
membantu dalam proses penyidikan, dalam perkara pidana yang menyangkut
tubuh, kesehatan dan nyawa manusia diperlukan pengetahuan khusus, yaitu
ilmu kedokteran kehakiman.34 Kedokteran forensik inilah yang akan
membantu penyidik untuk mengumpulkan alat bukti terkait kasus tersebut.
Definisi (Sir Sydney Smith): Ilmu kedokteran forensik merupakan
kumpulan ilmu pengetahuan medis dan paramedic yang menunjang
pelaksanaan penegakan hukum. Sinonimnya : Ilmu Kedokteran Kehakiman,

Patologi Forensik, Patologi Kehakiman, Forensik Medicine, dan lain-lain.35
Sebagai ilmu pengetahuan penunjang dengan fungsi membuktikan “benda
bukti” lewat “saksi diam” pada pokoknya maupun akhirnya mesti bersandar
pada hukum (positif) yang berlaku di Indonesia. Rangkaian proses peradilan
merupakan ruang lingkup dan gerak kerja dari ilmu Kedokteran Forensik ini.
Menurut Susetyo Pramusinto, ilmu forensik adalah ilmu pengetahuan yang
menggunakan multidisiplin ilmu dengan menerapkan ilmu pengetahuan alam
seperti kimia, fisika, biologi, psikologi, kedokteran, dan kriminologi dengan
tujuan untuk membuat terangnya suatu perkara pidana dan membuktikan ada
tidaknya suatu kejahatan atau pelanggaran dengan memeriksa alat bukti

34

Abdul Mun’im Idries,Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman dalam Proses Penyidikan, PT Karya Unipress,, 1982, Jakarta, hlm. 1.
35
Agus Purwadianto, dkk, Kristal-Kristal Ilmu Kedokteran Forensik, Jakarta, Bagian Ilmu
Kedoktera Forensik Fakultas Kedokterann Uiversitas Indonesia/Lembaga Kriminologi Universitas
Indonesia, 1982, Jakarta, hlm. 1.


Universitas Sumatera Utara

41

(Psysical evidences) dalam perkara tersebut dan orang yang paham betul
tentang ilmu forensik disebut ahli forensik.
Pendapat Sutomo Tjokronegoro ilmu kedoketan kehakiman adalah
penggunaan ilmu kedokteran untuk kepentingan pengadilan, artinya bahwa
ilmu pengetahuan kedokteran kehakiman sangat berperan dalam membantu
kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman, dalam segala soal yang hanyalah dapat
dipecahkan oleh ilmu kedokteran kehakiman.36
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya (pasal 1 butir 2
KUHAP). Membuat terang suatu tindak pidana inilah yang menjadi titik
tombak

penyidikan


sehingga

mengupayakan

segala

cara

untuk

mewujudkannya sesuai dengan ketentuan undang-undang, artinya penyidikan
itupun harus dilakukan secara legal, tanpa melanggar ketentuan yang ada.
Ilmu kedokteran forensik memiliki peranan penting dalam upaya
penegakan hukum pidana. Peranan para ahli atau dokter ahli kedokteran
kehakiman ataupun para dokter (ahli) lainnya yang turut terlibat guna
membantu mengungkapkan, menjelaskan ataupun menjernihkan (membuat
jelas) suatu kasus perkara pidana maka kepada para penegak hukum (POLRI),
jaksa, hakim dan penasihat hukum dituntut untuk lebih meningkatkan
36


Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum
Praktik Kedokteran, Djambatan, 2007, Jakarta, hlm. 1.

Universitas Sumatera Utara

42

pengetahuannya selain di bidang Hukum Acara Pidana dan Hukum Pidana
juga ilmu pengetahan lainnya, antara kriminolog, psikologi forensik, psikiatri
forensik, kedokteran forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensok dan lainlain.
Ilmu kedokteran kehakiman berperan dalam hal menentukan hubungan
kausalitas antara sesuatu perbuatan dengan akibat yang akan ditimblkannya
dari perbuatan tersebut, baik yang menimbulkan akibat luka pada tubuh atau
yang menimbulkan gangguan kesehatan, atau yang menimbulkan matinya
seseoran, dimana terdapat akibat-akibat tersebut patut diduga telah terjadi
tindak pidana. Hasil pemeriksaan ilmu forensik ini dapat diketahui apakah
lukanya seseorang atau matinya seseorang berkaitan dengan tindak pidana
atau tidak. Produk hasil pemeriksaan ahli forensik ini merupakan bukti
materiel yang objektif dan ilmiah serta merupakan salah satu alat bukti yang
sulit untuk disangkal oleh terdakwa dalam sidang pengadilan.

Dokter

ahli

forensik

dapat

memberikan

bantuannya

dalam

hubungannya dengan proses peradilan dalam hal:
1) Pemeriksaan di tempat kejadian perkara ini, biasanya dimintakan oleh
pihak yang berwajib dalam hal dijumpai seseorang yang dalam keadaan
meninggal dunia. Pemeriksaan oleh dokter ahli forensik ini akan sangat
pening dalam hal menentukan jenis kematian dan sekaligus untuk
mengetahui sebab-sebab dari kematian itu, yang dengan demikian akan

sangat berguna bagi pihak yang berwajib untuk memproses atau tidaknya

Universitas Sumatera Utara

43

menurut hukum. Dalam kaitan ini dokter akan membuat Visum et
Repertum sebelum dikuburkan.37
2) Pemeriksaan terhadap korban yang luka oleh ahli forensik dimaksudkan
untuk mengetahui:
(a) Ada atau tidaknya pnganiayaan;
(b) Ada atau tidaknya kejahatan atau pelanggaran kesusilaan;
(c) Untuk mengetahui umur seseorang
(d) Untuk mengetahui kepastian seorang bayi yang meninggal dunia di
dalam kandungan seorang ibu.
3) Pemeriksaan mayat, dalam hal ini pemeriksaan oleh ahli forensik
dimaksudkan apakah seseorang yang telah menjadi mayat tersebut mati
secara wajar atau sebaliknya. Atau juga terdapat kemungkinan
sebelumnya telah terjadinya penganiayaan yang mengakibatkan matinya
seseorang tersebut. Untuk menentukan sebab-sebab tentang kematian,

maka dokter ahli forensik harus mengotopsi (membedah) mayat tersebut.
4) Pemeriksaan korban yang telah dikubur, bukan hanya dimungkinkan
terhadap korban kejahatan yang untuk menghilangkan jejaknya pelaku
menguburkan secara diam-diam, akan tetapi mencakup seseorang yang
dikibur secara biasa, sementara untuk kepentingan pemeriksaan pada
sidang pengadilan hakim meminta Visum et Repertum pada mayat
tersebut.

37

Ibid, hlm. 4.

Universitas Sumatera Utara

44

5) Pemeriksaan barang bukti, dalam kaitan ini barang bukti yang dimaksud
adalah barang bukti yang apabila dilihat dengan mata telanjang sulit untuk
membuktikan siapakah yang sesungguhnya yang mempunyai barangbarang tersebut. Seperti contoh: sperma, rambut, darah. Kesemuanya itu
merupakan barang bukti yang mesti diteliti oleh ahli forensik untuk

kepentingan pembuktian.
6) Memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan, dalam kaitan ini, apa
yang diucapkan olehnya (ahli forensik) akan dikategorikan sebagai
keterangan ahli. 38
Ketentuan pasal 222 dan 216 KUHPidana mengenai tugas seorang dokter
untuk membantu memberikan data keterangan untuk kepentingan proses peradilan
memang sudah menjadi kewajiban, sehingga yang meminta keterangan tersebut
untuk kepentingan yang sama adalah merupakan sebuah kewenangan. Pihak yang
berwenang meminta bantuan ahli kedokteran kehakiman adalah:
1) Hakim pidana melalui jaksa dan dilaksanakan oleh penyidik;
2) Hakim perdata, meminta langsung kepada ahli kedokteran kehakiman;
3) Hakim pada Pengadilan Agama;
4) Jaksa Penuntut Umum;
5) Penyidik.39

38

Waluyadi, Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum
Praktik Kedokteran, Djambatan, 2007, Jakarta, hlm. 9.
39

Ibid hlm. 13

Universitas Sumatera Utara

45

Tugas dari ilmu kedokteran kehakiman dapat disimpulkan adalah untuk
membantu para aparat hukum (baik itu kepolisian, kejaksaan, maupun kehakiman)
dalam mengungapkan suatu perkara yang berkaitan (berhubungan) dengan
pengrusakan tubuh, kesehata, dan nyawa seseorang. Bantuan ilmu kedokteran
kehakiman tersebut, diharapkan keputusan yang hendak diambil oleh badan
peradilan menjadi lebih objektif berdasarkan apa yang sesungguhnya terjadi. Ahli
kedokteran kehakiman dapat memberikan bantuannya berupa:
a. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara;
b. Pemeriksaan korban yang luka;
c. Pemeriksaan mayat;
d. Pemeriksaan korban yang sudah dikubir dan digali kembali;
e. Pemeriksaan barang bukti;
f. Memberikan kesaksian dalam sidang pengadilan.40
Pada dasarnya dikenal 3 macam pelayanan pemeriksaan kedokteran

kehakiman:
1. Sistem Coroner
Sistem ini perlu tidaknya pemeriksaan bedah mayat pada orang-orang yang
mati mencurigakan atau sebab kekerasan adalah ditentukan oleh seorang
coroner. Tugas coroner adalah meneliti setiap kematian yang mencurigakan

40

Ibid, hlm 27.

Universitas Sumatera Utara

46

atau karena kekerasan di daerahnya. Kesimpulan tidak ada hal-hal yang
mencurigakan menunjuk seorang dokter untuk mengeluarkan surat keterangan
kematian dan menyerahkan jenazah untuk dikubur kepada keluarganya, tetapi
jika dirasanya perlu, coroner mempunyai wewenang untuk memerintahkan
seorang dokter untuk melakukan pemeriksaan bedah mayat, atau coroner
sendiri yang melakukan bila ia seorang dokter.41
2. Sistem Medical Examiner
Sistem ini yang menentukan perlu tidaknya dilakukan bedah mayat adalah
seorang medical examiner atau deputinya. Medical examiner adalah seorang
ahli kedokteran kehakiman. Peristiwa kematian seseorang, seorang medical
examiner akan diminta datang ke tempat kejadian, sementara tempat kejadian
perkara tersebut diamankan oleh polisi dengan demikian penentuan sebab
kematian akan lebih mudah ditentukan karena Medical Examinernya
memeriksa situasi dan keadaan tempat kejadian, menyelamatkan barang atau
benda yang mungkin ada sangkut pautnya dengan sebab kematian (situasi,
tempat, bercak darah/obat-obatan, dan lain-lain) dan melakukan sendiri
pemeriksaan bedah mayat.
3. Sistem Continental
Sistem ini yang menentukan perlu tidaknya dilakukan bedah mayat adalah
polisi. Mayat orang yang mati karena kekerasan atau matinya mencurigakan
dikirim oleh yang berwenang kerumah sakit setempat, sedangkan dokter
hanya menunggu di tempat. Dokter bila diperlukan diajak ke tempat kejadian
41

Amri Amir, Memasyarakatkan Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bagian Kedokteran
Kehakiman Fakultas Kedokteran USU, 1979, Medan, hlm. 6

Universitas Sumatera Utara

47

maka situasi tempat sudah berobah dan biasanya mayat sudah dibawa
kerumah sakit.
Ruang lingkup ilmu kedokteran kehakiman adalah luas, yaitu:42
a. Memeriksa korban yang hidup dan yang sudah meniggal.
b. Sebagai saksi ahli di sidang pengadilan.
c. Pemeriksaan terhadap bahan yang berasal dari manusia/trace evidence yaitu
berupa rambut, kuku, tulang, sperma, darah, dan lain-lain.
d. Penggalian kuburan.
e. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara.
f. Toksikologi dimana kasus-kasus keracunan akhirnya akan berhubungan juga
dengan perkara pengadilan.
Fungsi utama ilmu-ilmu forensik tersebut, termasuk ilmu kedokteran
forensik ialah:
1. Membantu penegak hukum menentukan apakah suatu peristiwa yang
diselidiki merupakan peristiwa pidana atau bukan.
2. Membantu penegak hukum mengetahui bagaimana proses tindak pidana
tersebut, meliputi:
a. Kapan dilakukan.
b. Bagaimana dilakukan.
c. Dengan apa dilakukan.

42

Nurbama Syarief, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Ilmu Kedokteran Kehakiman Fakultas
Hukum USU, 1985, Medan, hlm.24.

Universitas Sumatera Utara

48

d. Bagaimana cara melakukannya.
e. Apa akibatnya.
3. Membantu penegak hukum mengetahui identitas korban.
4. Membantu penegak hukum mengetahui identitas pelaku tindak pidana.
Dokter yang bekerja di Indonesia tentunya perlu memahami ilmu
kedokteran forensik lebih dahulu, supaya tidak mengalami kesulitan di dalam
menerapkan ilmu kedokteran yang dimilikinya untuk kepentingan peradilan.
Hukum acara pidana yang berlaku memungkinkan setiap dokter sewaktu-waktu
dapat dimintai bantuannya oleh penegak hukum untuk membuat terang perkaraperkara pidana. Tugas keforensikan yang melekat bagi diri setiap dokter itu harus
dilaksanakan dengan sungguh-sungguh dan benar, sebab nasib orang sangat
bergantung padanya. Proses peradilan yang akan menyengsarakan orang-orang
yang bersalah tidak boleh terjadi. Pemahaman yang memadai akan ilmu
kedokteran forensik antara dokter sebagai pemberi bantuan dan penegak hukum
sebagai penerima bantuan maka diharapkan proses peradilan pidana yang
mendasar pada kebenaran materil akan dapat terlaksana sesuai harapan semua
pihak.
Keterangan ahli sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 28 KUHAP
disebutkan yakni keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan. Berlakunya KUHAP, maka bukti formal berupa
pengakuan atau kesaksian tidak lagi menjadi materi utama penyidikan suatu
tindak pidana, karena kedua macam alat bukti ini masih dapat disangkal terdakwa

Universitas Sumatera Utara

49

dalam sidang pengadilan, sehingga penyidik dituntut mengutamakan bukti
materiel melalui penyidikan secara ilmiah dengan cara memanfaatkan ilmu
forensik dalam semua tahap-tahap penyidikan.43
Dasar-dasar hukum tentang peranan keterangan ahli (pakar) itu bagi
kelengkapan alat bukti dalam berkas perkara Pro Yustitia dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, amat membantu dalam usaha untuk menambah keyakinan
hakim dalam hal pengambilan putusan.44 Ditinjau dari Hukum Acara Pidana
sekarang, maka peranan keterangan ahli diperlukan di dalam setiap tahap proses
pemeriksaan, hal itu tergantung pada perlu tidaknya mereka dilibatkan guna
membantu tugas-tugas baik dari penyidik, jaksa, maupun hakim terhadap suatu
perkara pidana, seperti yang banyak terjadi dalam perkara tindak pidana
pembunuhan, penganiayaan, tindak pidana kesusilaan, dan tindak pidana kealpaan
dan lain-lain.
Para ahli di dalam membantu turut serta daam penanganan penyidikan
suatu tindak kejahatan guna memecahkan masalah itu agar lebih tuntas dan akurat
hasilnya, maka ilmu kedokteran kehakiman modern dengan ditunjang oleh sarana
teknis laboratorium kriminalistik/laboratorium forensik yang canggih akan sangat
berguna bagi tugas-tugas penyidik, jaksa, dan hakim dalam menangani kejahatan
itu.

43

Andi Sofyan, Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, Prenadamedia Grup,
2014, Jakarta, hlm. 252.
44
Soeparmono, Keterangan Ahli & Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, CV Mandar Maju, 2016, Bnandung, hlm.1.

Universitas Sumatera Utara

50

Keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh ahli
kedokteran kehakiman atau dokter bukan ahli kedokteran kehakiman, tentang
seorang korban bail luka, keracunan, maupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana.. Tugas dokter selain sebagai tenaga medis, juga
dituntut kewajibannya untuk membantu aparat penegak hukum, pekerjaan yang
harus dilakukan adalah memeriksa dan bila perlu merawat orang yang telah
mengalami kekerasan, memeriksa mayat dan melakukan otopsi.45 Dokter yang
dimaksud disini adalah dokter spesialis Forensik yang akan memberikan
keterangan medis mengenai perkiraan akibat kematian serta waktu kematian, ini
merupakan upaya mendapatkan bukti atau tanda bagi diri korban yang akan
menunjukkan apakah benar terjadi kematian yang tidak wajar. Pengupayaan
keadilan, penegak hukum sangat membutuhkan ahli dalam membuat visum
ataupun autopsi, sehingga dalam hal ini peran dokter sangat berpegaruh dalam
menemukan kebenaran materil berhubung pengetahuan hakim adalah terbatas,
terlebih dalam bidang medis.
3.2. Hubungan Visum et Repertum dengan Penyidikan
Visum dapat dikatakan merupakan sarana utama dalam penyidikan perkara
tindak pidana yang menyebabkan korban manusia baik hidup atau mati. Visum Et
Repertum adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan
tertulis yang dibuat oleh pihak yang berwenang, yang dibuat dengan mengingat

45

Djoko Prakoso dan I Ketut Muryika, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, 1987,
Jakarta : Bina Aksara, Hlm. 115

Universitas Sumatera Utara

51

sumpah jabatannya. Esensi dari Visum Et Repertum adalah laporan tertulis dari
apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang
hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan
atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari
sudut pandang kedokteran forensik.
KUHAP telah memberikan wewenang kepada penyidik untuk meminta
bantuan ahli sebagaimana diatur dalam pasal 133 KUHAP ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani
seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yag diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang megajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahlinya”. Pasal ini
disebutkan demi kepentingan peradilan menangani korban, penyidik berwenang
meminta keterangan ahli. Permintaan tersebut bisa secara tertulis dan
menyebutkan pemeriksaan luka/mayat/bedah mayat. Pasal 134 KUHAP
dijelaskan apabila sangat diperlukan untuk bedah mayat tidak mungkin lagi
dihindari, penyidik memberitahukan kepada keluarga, keluarga keberatan, maka
penyidik menerangkan tentang maksud dan tujuan pembedahan, dan apabila
dalam dua hari tidak ada tanggapan, penyidik melaksanakan paal 133 ayat (3)
KUHAP. Tata cara penyidik mengajukan perintaan keterangan ahli kepada
kedokteran kehakiman adalah sebagai berikut:
a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada dokter, dokter ahli kedokteran
kehakiman, atau dokter dan/atau dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis

Universitas Sumatera Utara

52

dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani
oleh penyidik yang berwenang.
b. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat berupa:46
1. Korban Mati
Visum et Repertum jenazah

adalah hasil pemeriksaan korban mati.

Visum et Repertum untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan
mayat dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas
mayat, dilakukan dengan memberi cap jabatan, diletakkan pada ibu jari
atau bagian lain badan mayat.
Mayat dikirim dikirim kerumah sakit (kamar jenazah) bersama surat
permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas penyidik yang
melakukan pemeriksaan tempat kejadian perkara (TKP).

Petugas

penyidik selanjutnya memberi informasi yang doperlukan dokter dan
mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk memperoleh barang-barang
bukti lain yang ada pada korban serta keterangan segera tentang sebab dan
cara kematiannya.
2. Korban Hidup
Korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi sakit,
memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidk perlu memintakan Visum
et Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban
ini dapat digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya
tersangka ditahan. Korban memerlukan atau meminta pindah perawatan

46

Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit, hlm. 255.

Universitas Sumatera Utara

53

ke rumah sakit lain, permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu
dimintakan lagi. Perawatan ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban
menjadi sembuh atau meninggal dunia.
Korban sembuh, Visum et Repertum definitive perlu diminta lagi karena
Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir
keadaan korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et
Repertum ini akan berguna bagi santunan kecelakaan.
Kemungkinan yang laina dalah korban meninggal dunia, untuk itu
permintaan Visum et Repertum jenazah diperlukan guna mengetahui
secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban merupakan
penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian lainnya.
c. Surat permintaan Visum et Repertum, kelengkapan data-data jalannya
peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi
selengkapnya, karena data-data itu dapat membantu dokter mengarahkan
pemerikaan mayat yang sedang diperiksa. Contoh:
1. Kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan
kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak.
Gambaran luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambrkan
bagaimana posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.
2. Kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal kerena
pembunuhan atau penganiayaan saja, menyebutkan keterangan tentang
jenis senjata yang diduga digunakan pelaku, senjata tajam, senjata api,
racun. Sebaiknya jenis senjata yang diduga digunakan pelaku diikut

Universitas Sumatera Utara

54

sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah
senjata/alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada
tubuh korban.
3. Kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan
keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi
serta perkiraan racun yang digunakan), bersama dengan korban perlu
dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab.
4. Kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang
digunakan korban agar diisi selengkapnya, apabila korban dirawat,
sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan.
d. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan pada kepada dokter ahli
kedokteran kehakiman atau dokter dan/atau ahli lainnya.
Catatan:
Dokter ahli kedokteran kehakiman biasanya hanya ada di ibukota provinsi
yang terdapat Fakultas Kedokterannya. Tempat-tempat di mana tidak ada
dokter ahli kedokteran kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et
Repertum ini ditujukan kepada dokter.
e. Sebaiknya petugas yang meminta Visum et Repertum, petugas penyidik hadir
di tempat autopsi dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada dokter
yang membedah mayat tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan
ditemukan, keadaan korban di TKP hal-hal lain yang ditemukan, agar
memudahkan dokter mencari sebab dan cara kematian korban.

Universitas Sumatera Utara

55

f. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu
tentang korban, seperti:
1. Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.
2. Sejauh mana korban masih dapat berlari/berjalan.
3. Apakah korban dipindah.
4. Senjata/alat jenis apa yang melukai korban.
5. Apakah jenis alat/senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk
luka yang ada pada tubuh korban.
6. Bagaimana caranya alat/senjata tersebut mengenai tubuh korban.
7. Apakah ada tanda-tanda perlawanan.
8. Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau
sesudah kematian.
9. Kapan kira-kira korban meninggal.
10. Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum
meninggal.
3.3. Penyebab Kematian dan Kaitannya dengan Tindak Pidana
Kematian tidak wajar merupakan salah satu alasan dibutuhkannya ilmu
kedokteran forensik dalam proses penegakan hukum oleh penyidik. Berdasarkan
prinsip ilmu kedokteran forensik, bedah mayat (autopsi), mutlak dilakukan
apabila ingin mengetahui penyebab kematian seseorang.47 Kasus-kasus tertentu,
bedah mayat harus disertai dengan pemeriksaan pelengkap (laboratorium

47

Abdul Mun’im Indries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi
Hukum, Sagung Seto, 2009, Jakarta, hlm.15.

Universitas Sumatera Utara

56

forensik);

seperti:

pemeriksaan

toksikologi,

pemeriksaan

histopatologi,

pemeriksaan bakteriologi.
Penentuan penyebab kematian secara pasti mutlak harus dilakukan
pembedahan mayat atau otopsi dengan atau tanpa pemeriksaan tambahan seerti
pemeriksaan mikroskopis, pemeriksaan toksikologis, pemeriksaan bakteriologis,
dan sebagainya tergantung kasus yang dihadapi. Tanpa pembedahan mayat, tidak
mungkin dapat ditentukan sebab kematian secara pasti.48
Bedah mayat berarti dokter harus membuka rongga tengkorak, rongga
dada, rongga perut, dan rongga panggul. Melakukan bedah mayat sebagian
(parsial) tidak dibenarkan. Mengetahui (tidak ada fakta), bahwa bagian yang tidak
dibedah itu terdapat kelainan atau tidak. Bedah mayat parsial hanya memberikan
kesimpulan penyebab kematian yang bersifat perkiraan; padahal yang diperlukan
adalah kepastian, sesuai dengan tujuan hukum, yaitu kepastian hukum. Pandangan
dari

sudut

pembelaan,

ketidakpastian

dalam

hal

penyebab

kematian

menguntungkan terdakwa; akan tetapi apabila yang diinginkan adalah suatu
kepastian, maka seyogyanya peluang seperti itu tidak dimanfaatkan.
Tujuan utama dari penentuan penyebab kematian adalah untuk mengetahui
alat (senjata) yang dipakai untuk membunuh, yaitu atas dasar jenis lika dan jenis
kekerasan. Diketahui secara pasti, alat atau senjata yang dipakai untuk membunuh
korban (atas dasar jenis luka dan jenis kekerasan), maka selain pihak penyidik
harus hati-hati di dalam mengupayakan alat bukti, maka penasihat hukum

48

Ibd. hlm. 48.

Universitas Sumatera Utara

57

terdakwa juga harus mengetahui apakah alat atau senjata yang dihadirkan di
pengadilan itu memang sesuai dengan luka pada korban yang menimbulkan
kematian.
Perkiraan sebab kematian dapat dimungkinkan dari pengamatan yang teliti
kelainan-kelainan

yang

dilihat

dan

ditemukan

pada

pemeriksaan

luar.

Pembedahan mayat tidak dilakukan, maka perkiraan sebab kematian dapat
diketahui dengan menilai sifat luka, lokasi serta derajat berat ringannya kerusakan
korban. Ada beberapa sebab kematian:
1. Karena tusukan benda tajam;
2. Karena tembakan senjata api;
3. Karena pencekikan
4. Karena keracunan morfin;
5. Karena tenggelam;
6. Karena terbakar;
7. Karena kekerasan benda tumpul.
Penyebab kematian (cause of death) dengan mekanisme kematian
(mechanism of death) adalah dua hal yang berbeda. Pendarahan, mati lemas, syok,
dan reflex vegal adalah mekanisme kematian. Kekerasan tajam (tusukan),
tembakan, pencekikan, dan keracunan gas CO, merupakan contoh dari penyebab
kematian. Kasus penembakan, Visum et Repertum harus dapat menjelaskan:49

49

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi Hukum,
2009, Sagung Seto, Jakarta, hlm 10.

Universitas Sumatera Utara

58

a. Sebab mati
b. Jarak tembak
c. Arah tembakan (arah datangnya peluru)
d. Diameter peluru
e. Caliber senjata api
f. Berapa kali korban di tembak
g. Perkiraan posisi korban dan penembak
Kasus penusukan atau penikaman, Visum et Repertum harus dapat
menjelasan:
a. Perkiraan jenis senjata yang diginakan
b. Perkiraan lebar maksimal senjata yang masuk ke dalam tubuh korban.
Kasus pengeroyokan, Visum et Repertum harus dapat menjelaskan:
1. Perkiraan senjata (alat) yang digunakan
2. Menentukan (memperkirakan) senjata yang menyebabkan kematian
Kasus kecelakaan lalu lintas, visum et repertum harus dapat menjelaskan:
a. Penyebab terjadinya kecelakaan dari sudut faktor manusia, dalam hal ini dari
korbannya.
b. Perkiraan jangka waktu (interval) antara saat terjadinya kecelakaan dan saat
kematian.
Penggunaan kalimat sebab kematian di dalam Visum et Repertum lebih
tepat, oleh karena kita tidak selalu mengetahui mekanisme apa yang terjadi pada

Universitas Sumatera Utara

59

korban. Pihak penyidik

berkesimpulan dokter di dalam hal sebab kematian

tersebut akan banyak membantu penyidik dalam melaksanakan tugasnya.50
Penyidik dapat mencari dan menyita benda-benda yang diperkirakan dipakai
sebagai alat pembunuhan, penyidik dapat mencari dan mengumpulkan racunracun apa yang diperlukan bagi kelengkapan alat bukti dan lain sebagainya, hal
mana tidak mungkin bila yang dicantumkan dalam kesimpulan Visum et
Repertum adalah mekanismenya, seperti sebab kematian adalah lemas. Mati
lemas dapat disebabkan oleh pelbagai keadaan, dicekik, dijerat, digantung, diberi
morfin, tenggelam semuanya dpaat menimbulkan keadaan yang disebut mati
lemas.
Kematian seseorang selain dapat menentukan langkah dari penyidikan,
yaitu apakah kasusnya terus diselidikan dan diteruskan sampai ke pengadilan, atau
justru malah dihentikan oleh karena tidak ada pihak lain yang dapat dimintai
tanggung jawabnya secara hukum atas kematian seseorang tergantung dari hasil
pemeriksaan dokter (Visum et Repertum). Ditinjau dari proses pradilan pidana,
maka tidaklah berlebihan, apabila penasihat hukum mengerti dan memahami
dengan baik perihal kematian (made of death atau manner of death). Seorang
penasihat hukum akan melakukan tergantung pada seberapa besar penasihat
hukum tersebut mengetahui ha tersebut khususnya bila dikaitkan dengan kasus
yang sedang ditangani.

50

Abdul Mun’im Idries,Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman dalam Proses Penyidikan, Sagung Seto,, 2010, Jakarta, edisi Revisi hlm. 49

Universitas Sumatera Utara

60

Kematian seseorang dikatakan wajar (natural death) apabila kematian
disebabkan oleh hal-hal yang alami, seperti penyakitatau proes degenerative, dan
bukan oleh trauma (redupaksa) yang dating dari luar.kasusnya menjadi kasus
forensik yang melibatkan penyidik, bilamana kematian tersebut terjadi di suatu
tempat yang mendatangkan kecurigaan. Kematian seseorang yang dinyatakan
tidak wajar (un-natural death) adalah kematian yang disebabkan oleh tindak
pidana.
Hasil pemeriksaan tubuh korban, baik yang masih hidup atau terutama
yang sudah mati, ditentukan oleh faktor: saat dilakukannya pemeriksaan; keaslian
benda bukti yang diperiksa; tehnik pemeriksaan serta koordinasi antara penyidik
dengan dokter.51
1. Saat dilakukannya pemeriksaan
Luka pada tubuh seseorang, dapat sembuh sehingga tidak dapat dikenali lagi,
atau malah menjadi lebih berat sehingga tidak sesuai dengan kondisi pada saat
luka itu terjadi. Tubuh seseorang yang meninggal sesuai dengan berjalannya
waktu akan mengalami proses pembusukan, sehingga kelainan atau perlukaan
yang ada tidak terdeteksi. Dokter melakukan pemeriksaan pada tubuh korban
tersebut, yang telah mengalami proses pembusukan lebih lanjut, maka baik
jenis luka, jenis kekerasan, dan penyebab kematian tidak mungkin dapat
ditentukan. Pemeriksaan tubuh korban terlambat dilakukan, maka hasil
pemeriksaan hanya akan menimbulkan ketidakpastian dan kecurigaan,
khususnya bagi pihak keluarga korban. Menghindari kecurigaan dan
51

Abdul Mun’im Indries, Op.cit, hlm.23.

Universitas Sumatera Utara

61

ketidakpastian tersebut, maka pemeriksaan pada tubuh korban tidak ditundatunda tanpa alasan yang jelas, sehingga aparat penegak hukum khususnya
penyidik dapat terhindar dari dampak negative yang mungkin terjadi.
2. Keaslian benda bukti
Keaslian tubuh korban sebagai benda bukti apabila penanganannya tidak
sesuai prosedur, akan merubah keaslian tubuh korban sebagai benda bukti,
sehingga pemeriksaan kedokteran forensik yang kemudian dilakukan tidak
akan memberi hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Keaslian tubuh
korban sebagai barang bukti sangat berperan penting di dalam kasus
kejahatan.
3. Teknik pemeriksaan
Hasil pemeriksaan tubuh korban dipengaruhi oleh mekanisme kematian yang
dialami korban, dengan kata lain, mekanisme kematian yang berbeda pada
kasus yang sama akan memberikan hasil pemeriksaan mayat yang berbeda
pula.
4. Koordinasi antara penyidik dengan dokter
Kunci keberhasilan di dalam pengungkapan kasus criminal adalah penanganan
(olah) TKP. Olah TKP dilaksanakan sesuai dengan prosedur, kemudian atas
tubuh korban dilakukan pemeriksaan kedokteran forensik yang baik, maka
dapat dikatakan bahwa pengngkapan kasus untuk dibawa ke pengadilan
hanyalah masalah waktu. Idealnya dokter forensik diikutsertakan pada setiap
kematian yang diduga ada unsur pidanya, atau yang jelas merupakan kasus
kematian tidak wajar. Melihat keadaan di TKP, dokter memperoleh gambaran

Universitas Sumatera Utara

62

yang utuh atas suatu kasus yang diperiksanya. Pemeriksaan menjadi lebih
terarah, bukti-bukti fisik apa yang perlu dikumpulkan untuk membuat jelas
dan terang perkara criminal tersebut. Penyidik dapat meminta dokter untuk
melakukan

serangkaian

pemeriksaan

forensik,

termasuk

pemeriksaan

laboratorium sesuai dengan kebutuhan. Dokter dapat menyarankan kepada
pihak penyidik langkah yang harus ditempuh, misalnya senjata alat yang harus
dicari, jenis atau caliber senjata api yang mana yang harus diupayakan oleh
penyidik, apakah kasusnya harus dilanjutkan oleh karena didapat dugaan kuat
kearah suatu tindak pidana. Dokter bahkan dapat menyarankan bahwa
penyidikan tidak perlu dilanjutkan oleh karena temuan dokter bermuara pada
kasus bunuh diri. Koordinasi yang baik antara dokter dengan penyidik,
penyelesaian kasus yang tepat dan cepat dan mempunyai kekuatan ilmiah akan
dapat terwujud.
Tugas dokter sehari-hari didalam rangka membantu aparat penegak
hukum pekerjaan yang terbanyak harus dilakukan ialah memerikan dan bila
perlu merawat orang yang telah mengalami kekerasan, disamping memeriksa
mayat dan melakukan otopsi.52 Barang-barang yang diperika oleh dokter , baik
itu orang hidup, jenazah, organ tubuh atau benda yang didapat dari dalam
tubuh adalah merupakan barang bukti. Kedudukannya tidak berbeda dengan
barang bukti lainnya yang didapat dari tempat kejadian atau tempat lain yang
disita oleh penyidik. Oang yang menderita luka, jenazah, organ tubuh, atau
benda lain yang didapat dari tubuh merupaka barang atau benda yang
52

I Ketut Murtika, Djoko Prakoso, Dasar-dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, Rineka
Cipta, 1992, Jakarta, hlm 115.

Universitas Sumatera Utara

63

membunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Fungsi dari barang
bukti tersebut dapat untuk menambah keyakinan hakim tentang tindak pidana
yang didakwakan terhadap terdakwa.
Tubuh seseorang yang mengalami kekerasan (luka-luka) ataupun
jenazah tidak mungkin dapat dipertahankan seperti semula. Seseorang yang
luka apabila tidak langsung ditangani, akan semakin memperburuk keadaan
korban, atau menyebabkan sipenderita meninggal dunia, kalau dirawat akan
menyembuhkan luka dan hanya meninggalkan bekas luka. Jenazah tidak
mungkin menunggu sampai perkaranya selesai disidangkan. Apabila hakim
sempat melihat korban atau jenazah kemungkinan hakim salah dalam
memperkirakan penyebab kematiannya, apakah mati wajar atau karena tindak
pidana.
Kematian yang diduga tidak wajar haruslah diperiksa sebaik mungkin,
untuk menentukan apakah kematian tersebuh ada hubungannya dengan tindak
pidana atau bukan. Modus pembunuhan kerap terjadi di kehidupan modern ini,
namun dibuat menjadi suatu kematian yang seolah-olah wajar, atau tidak ada
hubungan dengan tindak pidana, misalnya, ditemukan mayat di sungai, jika
tanpa bantuan ilmu forensik, bisa disimpulkan penyebab kematiannya adalah
karena tenggelam. Kenyataannya korban dicekik lalu ditenggelamkan.
Pemeriksaan jenazah untuk mengetahui penyebab kematian, apakah mati
secara wajar atau berkaitan dengan tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

64

Visum selain berguna sebagai barang bukti, lebih jauh berperan
sebagai petunjuk untuk pemeriksaan perkara kematian diduga tidak wajar.
Visum inilah yang akan mempermudah penegak hukum untuk menemukan
fakta tentang kasus kematian, apakah ada kaitannya denga tindak pidana atau
kematiannya wajar.
3.4. Identifikasi Kematian
Identifikasi adalah penentuan atau pemastian identitas orang yang hidup
maupun mati berdasarkan beberapa ciri khas yang terdiri terdapat pada orang
tersebut. Pemeriksaan yang dilakukan untuk memastikan identitas seseorang perlu
dijelaskan kepada orang tersebut bahwa hasilnya nanti bisa saja bertentangan
dengan yang diharapkan orang tersebut. Surat pernyataan persetujuan tidak perlu
dinyatakan didepan petugas polisi. Surat pernyataan persetujuan ini harus
diperoleh sebelum orang tersebut diperiksa. Seseorang berhak untuk boleh
menolak dilakukannya pemeriksaan ini.
Identifikasi pada jenazah dilakukan pada keadaan:
1. Kasus peledakan.
2. Kasus kebakaran.
3. Kecelakaan kereta api atau pesawat terbang.
4. Banjir.
5. Kasus kematian yang dicurigai melanggar hukum.
Beberapa hal yang perlu diidentifikasi pada kematian adalah:

Universitas Sumatera Utara

65

1. Menentukan secara pasti kematian korban.
Menetukan dengan pasti bahwa korban telah mati perlu diketahui
perihal tanda-tanda kehidupan dan tentunya perihal tanda-tanda kematian serta
perubahan lanjut yang terjadi pada mayat jika pada korban terdapat tandatanda kehidupan maka tindakan yang harus dilaksanakan dengan segera adalah
memberikan pertolongan pertama pada korban, serta dengan segera
mengirimkannya ke rumah sakit terdekat agar dapat tertolong jiwanya, dengan
mengambil tidakan demikian dapat dihindarinya terjadinya kematian korban
oleh karena sikap yang lebih mementingkan penyidikan ketimbang
menyelamatkan jiwa korban.
Tanda-tanda kematian yang penting adalah:
a. Terhentinya denyut jantung,
b. Terheninya pergerakan nafas,
c. Kulit terlihat pucat
d. Melemasnya otot-otot tubuh, dan
e. Terhentinya aktifitas otak (terhentinya aktifitas otak secara tepat dan cepat
hanya dapat diketahui jika kita melakukan pemerksaan dengan bantuan
alat EEG-Electro Ensofalo Graf, diamana akan terlihat mendatar selama
llima menit)
Ditentukannya atau telah diketahuinya bahwa korban telah mati, maka
pemerikasaan di TKP dapat dilakukan dengan tenang, cermat, teliti dan tepat.
2. Memerkirakan saat kematian

Universitas Sumatera Utara

66

Kematian korban hanya dapat diperkirakan karna penentuan kematian
secara pasti samai saat ini, belum dimungkinkan. Memperkirakan saat kematian
diperlukan pengamatan, pencatatan dan penafsiran yang baik terutama dari
perubahan lanjut yang terjadi pada mayat. Perkiraan saat kematian dapat diketahui
dari :53
a.

Informasi para saksi, dalam hal ini perlu diingat bahwa saksi adalah manusia
dengan segala keterbatasannya

b. Petunjuk-petunjuk yang ada di TKP, seperti jam atau alrloji yang pecah,
tanggal yang tercantum pada surat kabar, surat, adanya makanan pada meja
makan, nyala lampu, keadaan tempat tidur, debu pada lantai dan alat-alat
rumah tangga dan lain sebagainya; yang semuanya itu dapat dilakukan baik
oleh pennyidik
c. Pemeriksaan mayat, dalam hal ini adalah :
1. Penurunan suhu mayat (algro mortis), pada seorang yang mati maka
suhu tubuhnya akan menurun sampai sesuai dengan suhu yang
disekitarnya.
2. Lebam mayat (livor mortis), terhentinya peredaran darah pada mayat
akan menyebabkan darah berkumpul mencari tampat yang paling rendah
pengumpulan darah pada tempat yang terendah tersebut akan
menyebabkan kulit didaerah itu mnajdi berwarna ungu. Lebam mayat
akan mulai tampak sekitar 30(tiga puluh) menit setelah kematian.

53

Addul mun’im Idries, Op.cit. hlm. 8.

Universitas Sumatera Utara

67

3. Kuku mayat (rigor mortis) adanya perubahan enzim matik serta
perubahan metabolime dan kimiawi lainnya pada otot-otot seluruh
tubuh, kekakuan post-mortal baik pada otot lurik maupun pada otot
polos akan terjadi.
4. Pemerikasaan isi lambung, sebagaimana diketahui waktu pengosongan
isi lambung, yaitu waktu yang dperlukan lambung unuk mencernakan
makanan dan meneruskannya ke usus adalah sekitar 4 sampai 6 jam jadi
bila pada lambung korban masih didapatkan sisa makanana yang belum
dicerna makan dapat di perkirakan bahwa kematian korban terjadi dalam
waktu kurang dari 4 sampai 6 jam setelah makan yang terakhir
5. Pembusukan, pembusukan pada mayat berbeda-beda terjadi kecepatan
tergantung berbagai faktor. Diantaranya faktor lingkungan. Dengan
dapat diketahuinya perkiranya saat kematian korban maka penyidik
dapat mengarahan penyelidikannya dengan kata lain, memersempit
penyelidikan, orang-orang yang dicurigai lebih sedikit oleh karena telah
diseleksi oleh perkiraan saat kematian, siapa-siapa saja bersama korban
dalam waktu tersebut.
3. Menentukan identitas
Menentukan identitas korban seperti halnya menetukan identitas pada
tersangka pelaku kejahatan merupakan bagian yang terpenting dari penyidikan.
Ditentukannya identitas dengan tepat dapat dihindari kekeliruan dalam proses
peradilan yang dapat berakibat fatal. Penentuan identitas korban dapat dilakukan
dengan mamakai metode identifikasi sebagai berikut.

Universitas Sumatera Utara

68

a. Visual : termasuk metode yang sederhana dan mudah dikerjakan, yaitu
dengan memperlihatkan tubuh terutama wajah korban kepada pihak
keluarga, metode ini akan memerikan hasil jika keadaan mayat tiak rusak
berat dan tidak dalam keadaan busuk lanjut
b. Dokumen : KTP, SIM, Paspor, Kartu pelajar dan tanda pengenal lainnya
merupakan sarana yang dapat dipakai menentukan identitas
c. Perhiasan : merupakan metode identifikasi yang baik walaupun tubuh korban
telah rusak atau hangus. Karena perhiaan tidak akan hangus.
d. Pakaian : pencatatan yang biak dan teliti dari pakaian yang dikenakan korban
seperti model, bahan yang pakai, merek penjahit, label binatu dapat
merupakan petunjuk siapa pemilik pakaian tersebut.
e. Medis : merupakan metode identifikasi yang selalu dapat dipakai dan
mempunyai nilai tinggi dalam hal ketepatannya terutama jika korban
memiliki status medis yang baik.
f. Gigi : sebaiknya dilakukan oleh dokter gigi ahli forensik, akan tetapi dalam
peraktenya semua pemeriksaan dilakukan oleh dokter ahli ilmu kedoteran
forensik khususnya ahli patoligi forensik
g. Sidik jari : sidik jari atau finger prints dapat menentukan identitas secara
pasti oleh karena sifat kekhususannya yaitu pada setiap orang akan berbeda
walaupun pada kasus saudara kembar satu telur
h. Serologi : prinsipnya adalah dengan menentukan golongan darah dimana
pada umumnya golongan darah seorang dapat ditentukan dari pemeriksaan
darah, air mani, dan caran tubuh lainnya

Universitas Sumatera Utara

69

i. Exsklusi : cara ini dipakai biasanya pada kasus kecelakaan massal, seperti
pada kasus kecelakaan pesawat terbang54
4. Menentukan sebab kematian
Untuk dapat menentukan sebab kematian secara pasti mutlak harus
dilakukan pembedahan mayat atau autopsy, dengan atau tanpa pemerikaan
tambahan seperti pemeriksaan mikroskopis, pemerikaan toksikologis,
pemeriksaan bakteriologis dan lain sebagianya tergantung kasus yang
dihadapi. Tanpa pembedahan mayat tidak mungkin dapat ditentukan kematian
secara pasti.
Perkiraan sebab kematian dapat dimungkinkan dari pengamatan yang
teliti kelainan yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan luar. Jadi tanpa
pembedahan mayat perkiraan sebab kematian dapat dketahui dengan menilai
sifat luka, lokasi serta derajat berat ringannya kerusakan korban. Contoh sebab
kematian :
a. Karena tusukan benda tajam
b. Karena tembakan senjata api
c. Karena pencekikan
d. Karen keracunan morfin
e. Karena tenggelam
f. Karena terbakar
g. Karena kekerasan benda tumpul55

54

Ibid, hlm, 8
Abdul Mun’im Idries,Agung Legowo Tjiptomartono, Penerapan Ilmu Kedokteran
Kehakiman dalam Proses Penyidikan, Sagung Seto,, 2010, Jakarta, edisi Revisi hlm. 49.
55

Universitas Sumatera Utara

70

Pihak penyidik sebab kematian sangat berguna di dalam menentukan
antara lain senjata apa yang dipergunakan oleh pelaku, racun apa yang dipakai,
dikaitkan dengan kelainan atau perubahan yang ditemukan pada diri korban.56
Penyebab kematian jangan dikacaukan atau disalah artikan dengan
mekanisme kematian sebab kematian ditekannkan pada alat atau sarana yang
dipakai

untuk

mematikan

korban

sedangkan

mekanisme

kematian

menunjukkan bagaimana korban itu mati setelah umpanya tertembak atau
tenggelam.
5. Menetukan cara kematian atau memperkirkan cara kematian korban
Menentukan atau memerkirakan cara kematian korban pada umumnya
baru dapat dilakukan dengan hasil yang baik bila dokter diikutsertakan pada
pemeriksaan di TKP, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan mayat oleh dokter
yang bersangkutan. Pemeriksaan tersebut tidak dimungkinnkan maka dokter
yang melakukan pemeriksaan mayat masih dapat memeperkirakan atau
menentukan cara kematian jika para penyidik memberikan keterangan yang
jelas mengenai pelbagai hal yang di lihat dan ditemukan pada waktu penyidik
melakukan pemeriksaan di TKP. Ilmu kedokterak forensik dikenal 3 (tiga)
cara kematian, yang tidak boleh selalu diartikan dengan istilah dan pengertian
secara hukum yang berlaku, cara kematian tersebut adalah :
a. Wajar (natural death), dalam pengertian kematian korban oleh karena
penyakit bukan karena kekerasan atau rudapaksa.
56

Abdul Mun’im Indries, Op.cit, hlm.9.

Universitas Sumatera Utara

71

b. Tidak wajar (un-natural death), yang dapat dibagi menjadi:
j. Kecelakaan
k. Bunuh diri
l. Pembunuhan
c. Tidak dapat ditentukan (un-determined)
Peristiwa ini disebabkan karena mayat telah sedemikian rusak atau busuk
sekali sehingga baik luka ataupu penyakit tidak dapat dilihat dan ditemukan lagi.
6. Menetukan terjadinya perlukaan
Menetukan waktu terjadinya perlukaan pada beberapa keadaan sangat
diperlukan. Hubungannya didalam penentuan apakah luka yang terdapat pada
korban itu didapat sewaktu hidup (untemorten) atau apakah sesudah korban
mati (postmorten). Dasar penentuan waktu terjadinya perlukaan adalah adanya
reaksi jaringan yang terjadi bila seseorang mendapat luka sewaktu ia masih
hidup.
3.5. Pentingnya Otopsi dalam Mengungkap Kasus Kematian Tidak Wajar
Otopsi berasal dari kata auto (sendiri) dan opsis (melihat). Pengertian yang
sebenarnya dari otopsi ialah suatu pemeriksaan bagian luar dan bagian dalam dari
tubuh jenazah, dengan menggunakan cara-cara yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah dan dilakukan oleh ahli-ahli yang berkompeten.57
Otopsi sama dengan bedah mayat. Bedah mayat ialah membuka mayat,
dengan atau tanpa mengeluarkan bagian-bagian dari padanya agar supaya melalui
57

Alfred G. Satyo, Op.cit, hlm. 113.

Universitas Sumatera Utara

72

pemeriksaan

diagnostik

klinis

dapat

ditentukan

sebab-sebab

kematian,

mengadakan verifikasi atau memperoleh gambaran yang lebih jelas lagi.58
Undang-undang membedakan bedah mayat dari penyendian, karena karena tidak
termasuk pengurusan jenazah dan bedah mayat tidak semata-mata digunakan
untuk tujuan penelitian ilmu pengetahuan. Ada tiga macam otopsi, yaitu:
1. Otopsi anatomic.
2. Otopsi klinik.
3. Otopsi forensik.
Otopsi anatomic adalah otopsi yang dilakukan untuk kepentingan
pendidikan, yaitu untuk mempelajari susunan tubuh manusia yang normal.
Pelaksaan otopsi anatomic diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun
1981. Otopsi klinik adalah otopsi yang dilakukan terhadap jenazah dari penderita
penyakit yang mendapat perawatan dan kemudian meninggal dunia di rumah
sakit. Pelaksaan otopsi klinik diatur di dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun
1981. Otopsi forensik ialah otopsi yang dilakukan untuk kepentingan peradilan
yaitu guna membantu penegak hukum menemukan kebenaran materiel. Tujuan
otopsi forensik adalah:
a. Membantu menemukan identitas jenazah
b. Menentukan sebab pasti kematian
c. Menentukan cara kematian

58

F. Tengker diterjemahkan oleh Sulaiman Sastrawinata, Bab-Bab Hukum Kesehatan,
Nova, Bandung, hlm. 198.

Universitas Sumatera Utara

73

d. Mencari dan mengidentifikasi benda-benda bukti yang menjadi penyebab
kematian
e. Mencari benda-benda bukti yang dapat memberi petunjuk siapa pelaku
kejahatan.
Cara melakukan otopsi forensik adalah sebagai berikut:
1) Pemeriksaan luar.
2) Pembukaan rongga kepala, bagian dalam leher, rongga dada, rongga perut,
dan rongga panggul.
3) Pengeluaran organ-organ tubuh.
4) Pemeriksaan tiap-tiap organ.
5) Pengembalian organ-organ tubuh ketempat semula.
6) Menutup dan menjahit kembali rongga-rongga tubuh yang terbuka.
7) Melakukan pemeriksaan tambahan, misalnya:
m. Pemeriksaan toksikologik.
n. Pemeriksaan mikroskopik.
o. Pemeriksaan nerologik dan sebagainya.
Pelaksanaan otopsi forensik diatur di dalam KUHAP, yang pada
prinsipnya otopsi forensik baru boleh dilakukan jika ada surat permintaan tertulis
dari penyidik dan setelah keluarga diberitahu serta telah memahami setelah dua
hari dalam hal keluarga tidak menyetujui otopsi atau keluarga tidak ditemukan.59

59

Alfred G. Satyo, Bacaan Wajib Mahasiswa Ilmu Kedokteran Kehakiman, Laboratorium
Ilmu Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Medan, 1990, hlm. 114.

Universitas Sumatera Utara

74

Otopsi forensik ijin keluarga tidak lah begitu diperlukan bahkan kalau ada pihakpihak yang merintangi pelaksanaan otopsi, dapat dipidana.
Peristiwa pidana yang mengakibatkan matinya orang, sementara alat bukti
yang lain yaitu seseorang yang melihat sendiri, mendengar sendiri atau
dialaminya sendiri, maka saksi diam (psysical evidence) diharapkan mampu
mengungkap semua misteri yang ada di dalamnya. Pengupayaan keberadaan saksi
diam (mayat) dalam kaitannya sebagai usaha untuk mengungkap isteri tersebut,
maka diperukan apa yang disebut otopsi atau bedah mayat.60 Bedah mayat akan
dapat diketahui hal-hal sebagaimana diungkapkan oleh Seven W of George
Darjes, yaitu:
a. Perbuatan apa yang telah dilakukan;
b. Di mana perbuatan itu dilakukan;
c. Bilamana perbuatan itu dilakukan;
d. Bagaimana perbuatan itu dilakukan;
e. Dengan apa perbuatan itu dilakukan;
f. Mengapa perbuatan itu dilakukan;
g. Siapa yang melakukan perbuatan itu. 61
Visum forensik sering menimbulkan permasalahan antara penyidik, dokter
dan masyarakat terutama visum pemeriksaan luar dan dalam (autopsy). KUHAP
pasal 134 terlihat bahwa pemeriksaan mayat untuk kepentingan peradilan dapat

60

Waluyadi, Ilmu Kesokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktek
Kedokteran, Djambatan, 2007, Jakarta, hlm.53.
61
Waluyadi, 53

Universitas Sumatera Utara

75

dilakukan melalui pemeriksaan luar saja dan bila perlu dilakukan pemeriksaan
bedah mayat. P

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG LAIN

0 3 1

SKRIPSI PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Kealpaan Yang Menyebabkan Matinya Korban Dengan Pelaku Pengemudi Angkutan Umum.

0 0 12

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Kealpaan Yang Menyebabkan Matinya Korban Dengan Pelaku Pengemudi Angkutan Umum.

0 0 19

SKRIPSI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENYEBABKAN Penyelesaian Tindak Pidana Kealpaan Yang Menyebabkan Kecelakaan Lalu-Lintas Dan Matinya Orang Lain Yang Dilakukan Pengemudi Kendaraan Bermotor (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 1 14

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR NOMOR 249/PID.B/2009/PN.KRAY).

0 0 13

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 0 10

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 2 1

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 3 18

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 0 20

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 0 4