Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

19

BAB II
ATURAN HUKUM TENTANG OTOPSI DI INDONESIA
2.1. Pengaturan Otopsi menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAP mengatur pelaksanaan permintaan Otopsi sebagai berikut:
Pasal 133 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang
merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan
ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya.
(2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat.
(3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan baik dengan penuh penghormatan terhadap
mayat tersebut dan diberi label yg memuat identitas mayat diberi cap jabatan
yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat.
Pemeriksaan oleh kedokteran forensic atau yang ahli tentang itu terhadap
korban yang luka, korban yang meninggal atau melakukan bedah mayat untuk
kepentingan proses peradilan adalah merupakan tugas sepanjang diminta oleh

pihak-pihak yang terkait.14 Bentuk bantuan ahli kedokteran kehakiman dapat

14

Waluyadi, Op.Cit. hlm. 11.

Universitas Sumatera Utara

20

diberikan pada saat terjadi tindak pidana akan diterangkan harus diberikan secara
tertulis, yang disebut dengan Visum et Repertum.
Ahli kedokteran kehakiman dalam memberikan bantuannya dapat berupa:15
1. Pemeriksaan di tempat kejadian perkara;
2. Pemeriksaan korban yang luka;
3. Pemeriksaan mayat;
4. Pemeriksaan korban yang sudah dikubur yang digalih kembali;
5. Pemeriksaan barang bukti;
6. Memberikan kesaksian dalam siding pengadilan.
Pasal 133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan pasal 186 KUHAP, jenis dan

tata cara pemberian keterangan ahli adalah sebagai alat bukti yang sah dapat
melalui prosedur sebagai berikut:
a. Diminta oleh penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan;
b. Demi untuk kepentingan pengadilan, penyidik meminta keterangan ahli.
Permuntaan tersebut dilakukan oleh penyidik harus secara tertulis dengan
menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan, misalnya
apakah untuk pemeriksaan luka (pemeriksaan luar) atau pemeriksaan mayat
(pemeriksaan dalam) dengan pemeriksaan bedah mayat (autopsy)16. Atas
permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat laporan yang
bentuknya dapat berupa keterangan yang lazim disebut Visum et Repertum.
15

Ibid, hlm 27.
Koesparmono Irsan, Panduan Memahami Hukum Pembuktian dalam Hukum Perdata dan
Hukum Pidana, Gramata Publishing , 2016, Bekasi, hlm. 245.
16

Universitas Sumatera Utara

21


Laporan atau Visum et Repertum dibuat oleh ahli yang bersangkutan,
mengingat sumpah diwaktu ahli menerima jabatan/pekerjaan.
Pasal 134 KUHAP
(1) Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau
pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3) undang-undang ini.
Pasal 135 KUHAP
“Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan perlu melakukan penggalian
mayat dilaksanakan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133
ayat (2) dan 134 ayat (1)”.
Pasal 133 sampai dengan pasal 135 KUHAP, pada tingkat pemeriksaan
oleh penyidik dalam penyidikan, maka kata-kata “dokter”, peranan dokter (dokter
bukan ahli kedokteran kehakiman) masih penting dan perlu serta dibutuhkan
dalam tugas operasional di lapangan, terutama di daerah-daerah yang belum ada

dokter ahli kedokteran kehakiman (para ahli lainnya).17

17

R. Soeparmono, op.cit., hlm.65

Universitas Sumatera Utara

22

Pasal 133 ayat (2) KUHAP sangat penting bagi pengadilan, artinya
keterangan ahli akan sangat membantu bagi terbukti atau tidaknya suatu perkara,
mengingat bilamana laporan hasil pemeriksaan dalam Visum et Repertum
dianggap sebagai hasil alat bukti yang sah dan ini hanya mungkin bilamana
misalnya, terhadap bedah mayat forensic dilakukan secara lengkap luar dan dalam
dan prospek bagi masa depan dengan laboratorium yang lengkap dan modern,
dapat dengan pasti secara akurat, ditentukan sebab-sebab kematian seseorang.18
Pasal ini mengartikan jika suatu kematian Nampak disebabkan oleh kekerasan,
suatu bedah mayat forensic selalu harus dilakukan, kecuali jika ada bukti yang
meyakinkan ditemukan, bahwa kematian disebabkan oleh bunuh diri.

Penjelasan pasal 133 ayat (2) KUHAP dinyatakan: keterangan yang
diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan ahli sedangkan
keterangan yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan. Pasal 120 KUHAP dihubungkan dengan pasal 133 KUHAP jo.
penjelasan pasal 135 KUHAP jo. Pasal 1 butir 28 KUHAP, akan Nampak sebagai
bentuk “keterangan ahli” (deskundige verklaring) atau “keterangan” (verklaring)
bagi dokter bukan ahli kedokteran kehakiman karena dituangkan secara tertulis
dalam bentuk laporan yang dilakukan dengan mengingat sumpah jabatan atau
pekerjaan tersebut.19

18

Ibid., hlm 71
IR. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, Mandar Maju, 2016, Jakarta, hlm 60.
19

Universitas Sumatera Utara

23


Penjelasan pasal 135 KUHAP, penggalian mayat termasuk pengambilan
mayat dari semua jenis tempat dan cara penguburan. Pedoman pelaksanaan
KUHAP pada hlm. 43 dijelaskan perihal bantuan dokter bedah mayat, yaitu:
b. Kewenangan penyidik untuk meminta keterangan ahli kepada ahli kedokteran
kehakiman atau keterangan kepada dokter yang bukan dokter ahli kedokteran
kehakiman, dalam hal penyidik menangani korban yang luka, keracunan
ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana
ataupun bila diperlukan penggalian maya dari semua jenis tempat dan cara
penguburan;
Diajukan dengan surat perintah yang menyebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan/atau pmeriksaan bedah mayat;
Mayat yang dikirimkan diberi label yang memuat identitasnya, dilak dan
diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian lain mayat;
c. Jika bedah mayat yang akan diminta atau memerlukan penggalian mayat,
penyidik wajib memberitahukan lebih dahulu kepada keluarga korban, dan
apabila keluarga korban keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya

tentang


maksud

dan

tujuan

perlunya

diberlakukan

pembedahan tersebut ataupun penggalian mayat tersebut;
d. Permintaan bedah mayat dan pengiriman mayat kepada dokter segera
dilakukan apabila:
1. Dalam dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga, atau
2. Pihak yang perlu diberitahu tidak ditemukan.

Universitas Sumatera Utara

24


Penggunaan istilah “keterangan ahli” dalam penjelasan pasal 133 KUHAP
hanya khusus dipergunakan pada keterangan yang diberikan hanya oleh ahli
kedokteran kehakiman saja, pada tahap tingkat pemeriksaan penyidik. Pasal 134
ayat (3) KUHAP yang mengatur tentang mayat (jenazah) dan keperluan bedah
mayat (otopsi) menentukan, apabila dalam dua hari tidak ada tanggapan dari
keluarga (korban) atau pihak yang perlu diberitahu atau tidak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3)
KUHAP.
Pasal 120 KUHAP
(1) Dalam hal penyidik menganggap perlu, ia dapat minta pendapat orang ahli
atau orang yang memiliki keahlian khusus.
(2) Ahli tersebut mengangkat sumpah atau mengucapkan janji dimuka penyidik
bahwa ia akan memberi keterangan menurut pengetahuannya yang sebaikbaiknya kecuali bila disebabkan karena harkat dan martabat, pekerjaan atau
jabatannya yang mewajibkan ia menyimpan rahasia dan menolak untuk
memberikan keterangan yang diminta.
Setiap orang yang diminta pendapatnya untuk memberikan keterangannya
secara lisan di persidangan, berdasarkan fungsi dan tugas serta kewenangan yang
dimiliki masing-masing ahli itu, disebabkan alasan karena keahliannya itu, dapat
meliputi:20

1. Ahli kedokteran forensic (pengertian khusus); atau
20

Ibid. 64

Universitas Sumatera Utara

25

2. Dokter, bukan ahli kedokteran forensic;
3. Ahli lainnya (pengertian umum) yaitu keterangan yang diberikan setiap orang
yang memenuhi syarat-syarat atau kriteria pasal 1 butir 28 KUHP;
4. Saksi ahli (getuige diskundige).
Pasal 179 KUHAP:
(1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
(2) Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang

sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Setiap saksi atau ahli yang dipanggil secara sah untuk menghadap ke
persidangan, maka ia wajib untuk hadir. Saksi yang tidak hadir meskipun telah
dipanggil dengan sah dan hakim ketua siding mempunyai cukup alasan untuk
menyangka, bahwa saksi itu tidak mau hadir, maka hakim ketua siding dapat
memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan dengan sebuah
penetapan dan berlaku pula bagi orang ahli.21

21

Ibid, hlm.101

Universitas Sumatera Utara

26

Keterangan ahli itu harus dinyatakan atau diberikan di siding pengadilan.
Ada dua kelompok ahli, kalau ditinjau dari sudut pandang alat bukti da
pembuktian, yaitu:

1. Ahli Kedokteran Kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam
kedokteran

kehakiman

sehubungan

dengan

pemeriksaan

korban

penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan.
2. Ahli pada umumnya, yakni orang yang memiliki keahlian khusus dalam
bidang tertentu.22
Pasal ini merupakan penegasan kembali ketentuan pasal 120 KUHAP tentang
bentuk keterangan yang diberikan adalah menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.
Pasal 180 ayat (1) KUHAP
“Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di
sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan saksi ahli dan
dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”.
Pemeriksaan ulang atau penelitian ulang dapat diperlukan/diperintahkan oleh
hakim kepada saksi ahli apabila timbul keberatan yang beralasan dari terdakwa
atau penasihat hukum terhadap hasil keterangan ahli tersebut23. Majelis hakim
menganggap perlu untuk menentukan keaslian suatu intan yang menjadi pokok
perkaranya, maka majelis hakim dapat meminta keterangan dari seseorang yang

22
23

Koesparmono Irsan dan Armansyah, Op.Cit, hlm. 204.
I Ketut Murtika, Op.Cit. hlm. 66.

Universitas Sumatera Utara

27

khusus (ahli) intan. Terdakwa atau penasihat hukumnya berkeberatan dengan hasil
keterangan ahli tersebut, maka majelis hakim dapat memerintahkan agar
dilakukan penelitian ulang.24
Pasal 222 KUHP
“Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau menggagalkan
pemeriksaan mayat forensik diancam dengan pidana penjara paling lama
Sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.
Mayat apabila dibiarkan bukan hanya membusuk, akan tetapi sudah
merupakan keharusan bahwa mayat harus selekasnya dikubur. Seseorang yang
mati karena menjadi korban kejahatan atau setidak-tidaknya patut diduga sebagai
akibat kejahatan, maka keberadaan mayat yang menjadi barang bukti yang akan
dijakikan dasar diperolehnya alat bukti. Peristiwa pidana yang menyebabkan
matinya orang sementara alat bukti yang lain yaitu seseorang yang melihat
sendiri, mendengar sendiri atau dialami sendiri maka saksi diam (physical
evidence) diharapkan mampu mengungkapkan semua misteri yang ada di
dalamnya25. Seseorang yang sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat untuk peradilan, dipidana dengan pidana .
Pasal 224 KUHP
“Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undangundang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang-undang

24
25

Soeparmon, Op.Cit. hlm.66
Waluyadi, Op.Cit,, hlm.53.

Universitas Sumatera Utara

28

yang harus dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan penjara paling
lama Sembilan Bulan”.
Peraturan perundang-undangan tidak menegaskan dengan tegas bahwa
dokter wajib memberikan bantuan dalam kaitannya dengan proses keadilan,
apabila diminta26. Pasal 224 KUHPidana menegaskan bahwa apabila saksi, ahli,
atau juru bahasa dengan sengaja tidak hadir, maka dapat dipidana, dengan kata
lain, kesan tidak wajib tersebut akan menjadi wajib.
Pasal 183 KUHAP
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Ketentuan pasal ini adalah menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian
hukum bagi seseorang. Dunia ilmu yang dikenal dengan system/stelsel “negatief
wettelijk” dalam hukum pembuktian pada acara pidana. Pasal ini diperlukan oleh
hakim dalam menjatuhkan pidana kepada seorang adalah:27
b. Adanya dua alat bukti yang sah (sekurang-kurangnya);
c. Keyakinan;
d. Bahwa tindak pidana itu benar terjadi;
e. Bahwa terdakwalah yang bersalah berbuat.

26
27

Ibid. hlm. 11.
R. Soeparmono, Op.Cit. hlm. 115

Universitas Sumatera Utara

29

Menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung RI : “ketentuan pasal 183 KUHAP
bertujuan untuk menemukan dan mewujudkan pencapaian minimal batas
pembuktian guna menentukan nilai kekuatan pembuktian yang dapat atau tiddak
mendukung

keterbuktian

kesalahan

yang

didakwakan

kepada

terdakwa”.konsekuensinya adalah pada suatu kasus perkara tindak pidana, maka
untuk mencapai batas minimal pembuktian yang mampu mewujudkan nilai
kekuatan pembuktian, tidak mutlak harus bersumber dari saksi korban, apabila
dalam peristiwa yang didakwakan kepada terdakwa terdapat cukup saksi-saksi
dan alat-alat bukti lain yang memenuhi syarat-syarat formal dan materiel di luar
saksi korban, sehingga sama sekali tidak mengurangi tercapainya batas minimal
pembuktian (korban telah meninggal).
Pasal 184 KUHAP
(1) Alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa.
(2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan .
Visum et Repertum yang merupakan suatu keterangan dari seorang ahli
(dokter), termasuk alat bukti suart, sedangkan alat bukti keterangan ahli, ialah apa
yang ahli nyatakan di siding pengadilan.; yang dapat juga sudah diberikan pada

Universitas Sumatera Utara

30

waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam
suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ahli
menerima jabatan atau pekerjaan28. Visum et Repertum merupakan surat
keterangan ahli yang dibuat oleh dokter, sesuai dengan kesepakatan yang dibuat
antara IKAHI dengan IDI, dalam tahun 186 di Jakarta, yaitu untuk membedakan
dengan surat keterangan dari ahli lainnya.
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang
suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan (Pasal 1 butir 28 KUHAP).
Menurut Sudikno Mertokusumo, alat bukti urat adalah segala sesuatu yang
memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau
untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai pembuktian.
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan29, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana atau siapa pelakunya. Kasus
kematian tidak wajar, atau yang diduga karena tindak pidana, ketiga alat bukti ini
bisa didapatkan dari hasil Visum et Repertum.
Visum et Repertum adalah istilah asing, namun telah digunakan sebagai
bahasa kedokteran kehakiman. Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum
yang menuliskan langsung yaitu pada staatblad Lembaran Negara tahu 1973 No.
350.
28

Abdul Mun’im Idries, Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi Praktisi Hukum,
Sagung Seto, Jakarta, hlm. 9.
29
Andi Sofyan dan Abd. Asis, Op.cit. hlm.264.

Universitas Sumatera Utara

31

Pasal 1
Visa reperta seorang dokter, yang dibuat baik atas sumpah jabatan yang diucapkan
pada waktu menyelesaikan pelajaran di negeri Belanda ataupun di Indonesia
merupakan alat bukti yang sah dalam perkara-perkara pidana, selama visa reperta
tersebut berisikan keterangan mengenai hal-hal yang dilihat dan ditemui oleh
dokter pada benda yang diperiksa.
Pasal 2
Pada dokter yang tidak pernah mengucakan sumpah jabatan baik di Negeri
Belanda ataupun Indonesia sebagai tersebut dalam pasal 1 di atas, dapat
mengucapkan sumpah sebagai berikut:
“saya bersumpah (berjanji), bahwa saya sebagai dokter akan memuat pernyataanpernyataan atau keterangan-keterangan tertulis yang diperlukan untuk kepentingan
peradilan dengan sebenar-benarnya menurut pengetahuan saya yang sebaikbaiknya. Semoha Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang melimpahkan
kekuatan lahir dan batin”.
Isi staatblad ini mengandung makna:
1. Setiap dokter yang telah disumpah waktu menyelesaikan pendidikannya di
Negeri Belanda ataupun di Indonesia, ataupun dokter-dokter lain berdasarkan
sumpah khusus ayat (2) dapat membuat Visum et Repertum.
2. Visum et Repertum mempunyai daya bukti yang sah/alat bukti yang sah dalam
perkara pidana.

Universitas Sumatera Utara

32

3. Visum et Repertum berisi laporan tertulis tentang apa yang dilihat, ditemukan
pada benda-benda/korban yang diperiksa.
Pasal 1 Lembaran Negara tahun1937 Nomor 350, Visum et Repertum merupakan
alat bukti yang sah sepanjang Visum et Repertum tersebut memuat keterangan
tentang apa yang dilihat oleh dokter pada benda yang diperiksanya.30 Pendapat
seorang ahli tidak selalu sama dengan ahli lainnya walaupun pendapat-pendapat
ahli tersebut didasarkan pada data pemeriksaan yang sama. Hakim kadang kala
menolak bagian pendapat dan kesimpulan dari seorang ahli yang ditulis dalam
Visum et Repertum. Hakim tidak menolak bagian yang memuat keterangan segala
apa yang dilihat dan didapat seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya yakni
memeriksa dan meneliti barang bukti yang ada. Pemeriksaan perkara di
pengadilan apabila masih terdapat keraguan-keraguan terhadap sebab luka atau
sebab kematian, meski sudah ada Visum et Repertum, selalu ada kemungkinan
untuk memanggil dokter pembuat Visum et Repertum itu ke muka persidangan
untuk mempertanggung-jawabkan pendapatnya.31
2.2. Pengaturan Otopsi Menurut Ilmu Kedokteran
Hak dan kewajiban seorang dokter terhadap pasien adalah Undang-undang
praktek kedokteran RI nomor 29 thn 2004 mengatur tentang hak dan kewajiban
dokter:

30

I Ketut Murtika dan Djoko Prakoso, Op.Cit., hlm. 125.
I Ketut Murtika, Djoko Prakoso, dikutip dari Handoko Tjondroputranto, Kedudukan
dan Peranan Ahli Lain dalam Rangka Pembuatan Visum et Repertum, Lembaga Kriminologi UI,
hlm.25.
31

Universitas Sumatera Utara

33

a. Hak Dokter terdapat dalam Pasal 50 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran menyebutkan sebagai berikut :
1) Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai
dengan standart profesi dan standar prosedur operasional.
2) Memberikan pelayanan medis menurut standart profesi dan standart
prosedur operasional.
3) Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien dan
keluarganya
4) Menerima imbalan jasa
b. Kewajiban Dokter terdapat dalam Pasal 51 Undang-Undang nomor 29 Tahun
2004 tentang Praktik Kedokteran menyebutkan:
1) Memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien.
2) Merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian
atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan.
3) Merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan
juga setelah pasien itu meninggal dunia
4) Melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila
Ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan
5) Menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu
kedokteran atau kedokteran gigi.
Apabila hak dan kewajiban tidak di penuhi maka akibat hukumnya adalah:

Universitas Sumatera Utara

34

1) Dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika yang akan diteruskan
oleh Majelis Kehormatan disiplin kedokteran Indonesia kepada
organisasi profesi.
2) Keputusan dari Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia adalah mengikat dokter, dokter gigi, dan konsil Kedokteran
Indonesia sesuai dengan pasal 69 UU nomor 29 tahun 2004 tentang
praktik kedokteran.
3) Keputusan bisa berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi
disiplin seperti pemberian peringatan tertulis, rekomendasi pencabutan
surat tanda registrasi atau surat izin praktek, dan kewajiban mengikuti
pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
4) Untuk indikator seorang dokter disebut malpraktek adalah dari segi
hukum, di dalam definisi di atas dapat ditarik pemahaman bahwa
malpraktik dapat terjadi karena tindakan yang disengaja (intentional)
seperti pada misconduct tertentu, tindakan kelalaian (negligence),
ataupun suatu kekurang-mahiran / ketidak-kompetenan yang tidak
beralasan. seperti melakukan kesengajaan yang merugikan pasien, aborsi
ilegal, keterangan palsu, menggunakan iptekdok yang belum teruji /
diterima, berpraktek tanpa SIP, berpraktek di luar kompetensinya, dan
sebagainya.

Kesengajaan

tersebut

tidak

harus

berupa

sengaja

mengakibatkan hasil buruk bagi pasien, namun yang penting lebih ke

Universitas Sumatera Utara

35

arah deliberate violation (berkaitan dengan motivasi) ketimbang hanya
berupa error (berkaitan dengan informasi).
2.3. Pandangan Hukum Islam tentang Otopsi
Perkembangan ilmu pengetahuan telah mengantarkan umat manusia untuk
menelaah lebih jauh tentang kepentingan dan kemaslahatannya, lebih-lebih dari
tinjauan kemaslahatan serta keabsahannya menurut hukum Islam. Semua
penemuan baru hendaknya disejalankan dengan kaidah-kaidah hukum Islam,
seperti hukum bedah mayat menurut pandangan hukum Islam. Di dalam nash
tidak ditemukan keterangan yang sharih tentang hukum melakukan pembedahan
mayat, sebab bedah mayat seperti di zaman sekarang ini belum dikenal di masa
lalu. Yang ditemukan hanya dalil-dalil dari Sunnah Nabawiah yang berbicara
tentang larangan merusak tulang mayat. Selain itu terdapat perbedaan pendapat di
antara para ulama tentang hukum membedah perut mayat. Hanya saja masalahnya
tidak sama persis dengan kasus otopsi. Pembedah perut mayat dilakukan bila
mayat itu menelan harta atau didalamnya ada janin yang diyakini masih hidup.
Ilmu kedokteran pada saat ini banyak melakukan percobaan dalam
berbagai hal tentang pengobatan dan ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran guna
penyidikan sebab-sebab kematian manusia yang dirasakan tidak wajar dengan
metode membedah atau meneliti bagian dalam tubuh manusia tersebut. Dalam
praktek yang dilakukan oleh para ahli kedokteran dan mahasiswa kedokteran tidak
cukup dengan teori-teori yang terdapat di dalam buku-buku saja, akan tetapi
mereka langsung diperlihatkan berbagai macam anatomi yang terdapat dalam
tubuh manusia, salah satu cara yang telah ditempuh dalam ilmu kedokteran adalah

Universitas Sumatera Utara

36

otopsi sebagai salah satu ilmu yang dalam ilmu kedokteran sangat penting dalam
mengetahui struktur anatomi tubuh manusia dan cara mengatasi berbagai macam
penyakit yang terdapat dalam tubuh manusia dan sebagai alat bukti sebab
musabab kematian manusia tersebut yang nantinya berguna dalam persidangan di
pengadilan sebagai alat bukti. Oleh karena itu penggunaan mayat manusia untuk
membuktikan ilmiah dalam rangka pengembangan ilmu kedokteran merupakan
hal yang sangat penting karena sebagai alat peraga yang cocok sehingga
mendapatkan gambaran langsung dan nyata.
Al-qur’an
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi,
dan (daging) hewan yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah.
Tetapi barang siapa dalam keadan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak
menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.”
(QS.Al Baqoroh : 173).
a.

Kemudaratan itu membolehkan hal-hal yang dilarang.

b.

Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih besar
mudaratnya dengan mengerjakan yang lebih ringan mudaratnya.

c. Apabila kewajiban tidak bisa dilaksanakan karena dengan adanya suatu hal,
maka hal tersebut juga wajib.
d. Kemaslahatan publik didahulukan daripada kemaslahatan individu.
e. Kemudaratan yang khusus boleh dilaksanakan demi menolak kemudaratan
yang bersifat umum.

Universitas Sumatera Utara

37

Bagian ini akan dilakukan pembahasan tentang status hukum bedah mayat
dalam perspektif Hukum Islam. Beberapa hal pokok hukum agama Islam tentang
mayat :
1. Islam menyuruh menghormati mayat. Sesuai dengan firman Allah dalam
surat Al-Isra’ ayat 70.
2. Agama Islam melarang merusak tubuh mayat dan melanggar kehormatanya
3. Agama Islam mengutamkan kepentingan orang hidup dari pada memelihara
keutuhan tubuh mayat
Menurut Imam Ahmad bin Hambal
“Seseorang yang sedang hamil dan kemudian ia meninggal dunia, maka perutnya
tidak perlu dibedah, kecuali sudah diyakini benar, bahwa janin yang ada
didalamnya masih hidup”.
Menurut Imam Syafi’I,
“Seorang hamil, kemudia dia meninggal dunia dan ternyata janinnya masih hidup,
maka perutnya boleh dibedah untuk mengeluarkan janinnya. Begitu juga
hukumnya kalau dalam perut si mayat itu ada barang berharga”.
Menurut Imam Malik
“Seorang yang meninggal dunia dan didalam perutnya ada barang berharga, maka
mayat itu harus dibedah, baik barang itu milik sendiri maupun milik orang lain.
Tetapi tidak perlu (tidak boleh dibedah), kalau hanya untuk mengeluarkan
janinnya yang diperkirakan masih hidup”.

Universitas Sumatera Utara

38

Menurut Imam Hanafi
“Seandainya diperkirakan janin masih hidup, maka perutnya wajib dibedah untuk
mengeluarkan janin itu.
Tanggal 13-9-1955 telah dikeluarkan Fatwa No.: 4/yahun 1955 dari
Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syarak, Kementerian Kesehatan RI, perihal
soal “bedah mayat” yang telah memustuskan:32
I.

Bedah

mayat

itu

boleh/mubah

hukumnya

untuk

kepentingan

ilmu

pengetahuan, pendidikan dokter dan penegakan keadilan diantara umat
mausia;
II.

Membatasi kemubahan itu sekedar darurat saja menurut kadar yang tidak
boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut.

32

R. Soeparmono, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek Hukum Acara
Pidana, CV Mandar Maju, 2016, Bandung, hlm. 86.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

ANALISIS YURIDIS PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENYEBABKAN MATINYA ORANG LAIN

0 3 1

SKRIPSI PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Kealpaan Yang Menyebabkan Matinya Korban Dengan Pelaku Pengemudi Angkutan Umum.

0 0 12

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PROSES PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Kealpaan Yang Menyebabkan Matinya Korban Dengan Pelaku Pengemudi Angkutan Umum.

0 0 19

SKRIPSI PENYELESAIAN TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENYEBABKAN Penyelesaian Tindak Pidana Kealpaan Yang Menyebabkan Kecelakaan Lalu-Lintas Dan Matinya Orang Lain Yang Dilakukan Pengemudi Kendaraan Bermotor (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta).

0 1 14

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA KEALPAAN YANG MENGAKIBATKAN HILANGNYA NYAWA ORANG LAIN (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR NOMOR 249/PID.B/2009/PN.KRAY).

0 0 13

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 0 10

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 2 1

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 3 18

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN) Chapter III V

0 1 69

Peranan Otopsi Dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Kealpaan Menyebabkan Orang Lain Mati (Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen NO. 607 PID.B 2014 PN.KPN)

0 0 4