Penetapan Kadar Bahan Baku Parasetamol Secara Spektrofotometri Ultraviolet

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Obat

Obat adalah senyawa kimia unik yang dapat berinteraksi secara selektif dengan sistem biologi. Obat dapat memicu suatu sistem dan menghasilkan efek, dapat menekan suatu sistem atau berinteraksi secara tidak langsung dengan suatu sistem dengan memodulasi efek dari obat lain (Ikawati, 2006).

Proses penemuan dan perkembangan obat sangat kompleks, melibatkan banyak ahli ilmuwan. Setelah substansi obat yang berkhasiat ditemukan dan telah diketahui rumus kimia, sifat fisika dan kimianya, selanjutnya diperiksa dan dicobakan pada binatang mengenai sifat farmakologi, cara kerja obat termasuk toksikologinya yaitu sifat racunnya. Diteliti pula mengenai kecepatan obat diserap serta distribusi obat di badan yaitu tersebarnya obat di badan dan lama aksi obatnya serta waktu obat memberi efek. Setelah semua berjalan baik kemudian dilakukan percobaan pada manusia sebagai sukarelawan. Kalau semuanya berjalan dengan baik, baru obat itu boleh diproduksi dan beredar (Anief, 1991).

Menurut Siswandono (2000), berdasarkan sumbernya obat dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:

1. Obat alami ialah obat yang terdapat di alam, yaitu pada tanaman, contoh: kuinin dan atropine, pada hewan, contoh: minyak ikan, serta mineral, contoh: belerang dan kalium bromida.

2. Obat semi sintetik ialah obat hasil sintesis yang bahan dasarnya berasal dari bahan obat yang terdapat di alam, contoh: morfin menjadi kodein.


(2)

3. Obat sintetik murni ialah obat yang bahan dasarnya tidak berkhasiat, setelah disintetis akan mendapatkan senyawa dengan khasiat farmakologis tertentu, contoh: obat-obat golongan analgetika, antipiretika, antihistamin, dan diuretika.

2.2 Bahan Baku

Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun tidak berkhasiat (zat Nonaktif/eksipien), yang berubah maupun tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak semua bahan tersebut masih terdapat di dalam produk ruahan (Siregar, 2010).

Menurut Dirjen POM (2006), bahan (zat) aktif adalah tiap bahan atau campuran bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat aktif obat tersebut. Dalam arti lain, bahan (zat) aktif adalah bahan yang ditujukan untuk menciptakan khasiat farmakologi atau efek langsung lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit, atau untuk mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh.

Semua bahan baku harus memenuhi persyaratan resmi farmakope atau persyaratan-persyaratan lain yang disetujui oleh regulator atau oleh industri farmasi yang bersangkutan. Selain itu, bahan-bahan yang dibeli harus sesuai dengan spesifikasi hasil uji praformulasi agar diperoleh mutu obat yang konsisten dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, stabilitas, dan ketersediaan hayati (Siregar, 2010).


(3)

2.3 Demam

Demam adalah kenaikan suhu tubuh diatas normal akibat dari perubahan pada pusat termoregulasi yang terletak dalam hipotalamus anterior. Suhu tubuh normal dapat dipertahankan pada perubahan suhu lingkungan, karena adanya kemampuan pada pusat termoregulasi untuk mengatur keseimbangan antara panas yang diproduksi oleh jaringan, khususnya otot dan hati, dengan panas yang hilang. Dalam keadaan demam, keseimbangan tersebut bergeser hingga terjadi peningkatan suhu dalam tubuh (Isselbacher, 1999).

Substansi yang menyebabkan demam disebut pirogen dan berasal dari eksogen ataupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes (pejamu), sementara pirogen endogen diproduksi oleh pejamu. Mayoritas pirogen eksogen adalah mikroorganisme, produk mereka, atau toksin. Pirogen endogen adalah polipeptida yang dihasilkan oleh jenis sel pejamu, terutama monosit/makrofag (Isselbacher, 1999).

Seluruh substansi pirogen eksogen menyebabkan sel-sel fagosit mononuklear –monosit, makrofag jaringan, atau sel kupffer– membuat pirogen endogen (EP = endogenous pyrogen). EP adalah suatu protein kecil yang merupakan suatu mediator proses imun antar sel yang penting. Contoh EP adalah interleukin 1 dan TNF (Walsh, 1997).

Hipotalamus merupakan pusat pengatur suhu tubuh. Neuron-neuron pada hipotalamus anterior praoptik dan hipotalamus posterior menerima dua jenis sinyal, satu dari saraf perifer yang mencerminkan reseptor-reseptor untuk hangat dan dingin dan lainnya dari temperatur darah yang membasahi daerah ini. Selain


(4)

itu terdapat kelompok neuron pada hipotalamus preoptik/anterior yang disuplai oleh suatu jaringan kaya vaskuler dan sangat permeabel, yang disebut organum vasculorum laminae terminalis (OVLT) (Isselbacher, 1999).

Ketika terpapar pada pirogen endogen dari sirkulasi, sel-sel endotel OVLT melepaskan metabolit asam arakidonat yang sebagian besar berupa prostaglandin E2. Metabolit asam arakidonat yang diyakini memperantarai kenaikan pada titik

termoregulasi yang sudah ditetapkan, kemudian diduga berdifusi ke dalam daerah hipotalamus preoptik/anterior dan mencetuskan demam (Isselbacher, 1999).

2.4 Analgetik-Antipiretik

Analgetik adalah obat yang mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Antipiretik adalah obat yang dapat menurunkan suhu tubuh yang tinggi. Jadi analgetik-antipiretik adalah obat yang mengurangi rasa nyeri dan serentak menurunkan suhu tubuh yang tinggi (Anief, 2000).

Mekanisme kerja analgetik dan antipiretik adalah sebagai berikut:

1. Analgetik

Efek analgetik ditimbulkan dengan cara menghambat secara langsung dan selektif enzim-enzim pada sistem saraf pusat yang mengkatalis biosintesis prostaglandin seperti siklooksigenase, yang dapat merangsang rasa sakit secara mekanis atau kimiawi (Siswandono, 2000).

2. Antipiretik

Kerja antipiretik ditimbulkan dengan meningkatkan eliminasi panas pada penderita dengan suhu badan yang tinggi, dengan cara menimbulkan dilatasi


(5)

pembuluh darah perifer dan mobilisasi air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran keringat. Penurunan suhu adalah hasil kerja obat pada sistem saraf pusat yang melibatkan pusat kontrol di hipotalamus (Siswandono, 2000).

2.5 Parasetamol Rumus bangun :

OH

NHCOCH3

Rumus Molekul : C8H9NO2

BeratMolekul : 151, 16

Nama Kimia : 4’-hidroksiasetanilida

Pemerian : Serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa sedikit pahit

Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium hidroksida 1N, mudah larut dalam etanol

Sinonim : Asetaminofen (Ditjen POM, 1995).

Parasetamol merupakan derivat anilin yang masih berkaitan dengan fanaseti n. Parasetamol adalah suatu analgesik dan antipiretik, namun tidak memiliki kerja inflamasi. Obat ini hanya menghambat sintesis prostaglandin di jaringan syaraf, dan merupakan suatu antipiretik yang paling selektif (Walsh, 1997).


(6)

2.5.1 Farmakokinetik

Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Setiabudy, 2007).

2.5.2 Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Obat ini menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintetis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini (Setiabudy, 2007).

2.5.3 Efek Samping

Efek samping yang terjadi antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati. Pada


(7)

dosis diatas 6 g mengakibatkan necrosis hati irreversibel. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolitnya yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g persedian peptide tersebut habis dan metabolitnya mengikat diri pada protein dengan gugusan –SH di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan irreversible (Tjay, 2007).

Overdose dapat menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anoreksia. Penanggulangnya dengan cuci lambung, disamping perlu pemberian zat penawar (asam amino n-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin. Sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksinasi (Tjay, 2007).

2.5.4 Dosis

Oral: Dewasa 2-3 dd 0,5-1 g, maks. 4 g/hari. Anak-anak 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata:

a. 3-12 bulan 60 mg.

b. 1-4 tahun 120-180 mg.

c. 4-6 tahun 180 mg.

d. 7-12 tahun 240-360 mg.

Rectal: Dewasa 4 dd 0,5-1 g. Anak-anak:

a. 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg. b. 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg. c. 4-6 tahun 4 dd 240 mg.


(8)

2.6 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet, cahaya tampak, inframerah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190 380 nm, daerah cahaya tampak 380 nm-780 nm, daerah inframerah dekat nm-780 nm-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5 m hingga 40 m atau 4000 cm-1

hingga 250 cm-1 (Ditjen POM, 1995).

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis hanya memberikan sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi (Dachriyanus, 2004).

Proses penyerapan energi ultraviolet dan sinar tampak dapat terjadi karena adanya transisi elektron ikatan dan elektron anti ikatan (elektron sigma, , elektron phi, , dan elektron yang tidak berikatan atau nonbonding elektron, n). Transisi-transisi elektron yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma-sigma star (*

), transisi n-sigma star (n*), transisi n-phi star (n*),transisi phi-phi star (*

) (Rohman, 2007). Energi yang diperlukan untuk transisi sigma-sigma star (*

) besarnya sesuai dengan sinar yang frekuensinya terletak diatara UV vakum (kurang dari


(9)

180 nm) sehingga kurang begitu bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri UV-Vis. Energi yang diperlukan untuk transisi n-sigma star

(n*

) lebih kecil dibanding transisi * sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang yang lebih panjang, yakni sekitar 150-250 nm. Transisi n*

dan transisi * dapat terjadi jika molekul organik mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang gelombang antara 200-700 nm (Rohman, 2007).

Spektra Uv-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Data spektra Uv-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi inframerah dan spektrofotometri massa maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/analisis kualitatif suatu senyawa tersebut (Rohman, 2007).

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap (Rohman, 2007).

Instrumen Spektroskopi UV pada dasarnya terdiri atas :

1. Sumber cahaya

Sumber cahaya yang biasa digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm adalah lampu deuterium. Untuk daerah visible


(10)

pada panjang gelombang antara 350-900 nm digunakan lampu tungsten (Rohman, 2007).

2. ... Mo nokromator

Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya dapat berupa prisma. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan celah. Jika celah posisinya tetap, maka prisma yang dirotasikan untuk mendapatkan panjang gelombang yang diinginkan (Khopkar, 1990).

3. ... Sel/ Kuvet

Sel haruslah meneruskan energi radiasi dalam daerah spektral yang diminati. Untuk daerah ultraviolet digunakan sel kuarsa, sedangkan untuk daerah tampak digunakan sel kaca (Day, 2002).

Umumnya tebal kuvet adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. (Khopkar, 1990).

4. ... Det ektor

Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990). Secara umum, detektor fotolistrik digunakan dalam daerah tampak dan ultraviolet. Detektor fotolistrik


(11)

yang paling sederhana adalah tabung foto, ini berupa tabung hampa udara, dengan jendela yang tembus cahaya, yang berisi sepasang elektroda. Tersedia aneka ragam tabung foto, yang berbeda bahan permukaan katodenya dan juga berbeda jendela tembus cahayanya. Selain tabung foto, terdapat juga tabung pengganda foto (Photomultiplier). Tabung pengganda foto lebih peka dari pada tabung foto biasa karena penggandaan yang tinggi dapat dicapai dengan tabung itu sendiri (Day, 2002).


(1)

2.5.1 Farmakokinetik

Parasetamol diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Obat ini tersebar ke seluruh cairan tubuh. Dalam plasma, 25% parasetamol terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom hati. Sebagian asetaminofen (80%) dikonjugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil lainnya dengan asam sulfat. Selain itu obat ini juga dapat mengalami hidroksilasi. Metabolit hasil hidroksilasi ini dapat menimbulkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit. Obat ini diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil sebagai parasetamol (3%) dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi (Setiabudy, 2007).

2.5.2 Farmakodinamik

Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Obat ini menurunkan suhu tubuh dengan mekanisme yang diduga juga berdasarkan efek sentral. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol merupakan penghambat biosintetis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi dan perdarahan lambung tidak terlihat pada obat ini (Setiabudy, 2007).

2.5.3 Efek Samping

Efek samping yang terjadi antara lain reaksi hipersensitivitas dan kelainan darah. Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati. Pada


(2)

dosis diatas 6 g mengakibatkan necrosis hati irreversibel. Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolitnya yang pada dosis normal dapat ditangkal oleh glutation (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis diatas 10 g persedian peptide tersebut habis dan metabolitnya mengikat diri pada protein dengan gugusan –SH di sel-sel hati dan terjadilah kerusakan irreversible (Tjay, 2007).

Overdose dapat menimbulkan antara lain mual, muntah, dan anoreksia. Penanggulangnya dengan cuci lambung, disamping perlu pemberian zat penawar (asam amino n-asetilsistein atau metionin) sedini mungkin. Sebaiknya dalam 8-10 jam setelah intoksinasi (Tjay, 2007).

2.5.4 Dosis

Oral: Dewasa 2-3 dd 0,5-1 g, maks. 4 g/hari. Anak-anak 4-6 dd 10 mg/kg, yakni rata-rata:

a. 3-12 bulan 60 mg.

b. 1-4 tahun 120-180 mg.

c. 4-6 tahun 180 mg.

d. 7-12 tahun 240-360 mg.

Rectal: Dewasa 4 dd 0,5-1 g. Anak-anak:

a. 3-12 bulan 2-3 dd 120 mg. b. 1-4 tahun 2-3 dd 240 mg. c. 4-6 tahun 4 dd 240 mg.


(3)

2.6 Spektrofotometri Ultraviolet

Spektrofotometri serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektroskopi serapan ultraviolet, cahaya tampak, inframerah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang untuk daerah ultraviolet adalah 190 380 nm, daerah cahaya tampak 380 nm-780 nm, daerah inframerah dekat nm-780 nm-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5 m hingga 40 m atau 4000 cm-1

hingga 250 cm-1 (Ditjen POM, 1995).

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum UV-Vis hanya memberikan sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan, tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi (Dachriyanus, 2004).

Proses penyerapan energi ultraviolet dan sinar tampak dapat terjadi karena adanya transisi elektron ikatan dan elektron anti ikatan (elektron sigma, , elektron phi, , dan elektron yang tidak berikatan atau nonbonding elektron, n). Transisi-transisi elektron yang terjadi diantara tingkat-tingkat energi di dalam suatu molekul ada 4, yaitu transisi sigma-sigma star (*

), transisi n-sigma star (n*), transisi n-phi star (n*),transisi phi-phi star (*

) (Rohman, 2007). Energi yang diperlukan untuk transisi sigma-sigma star (*

) besarnya sesuai dengan sinar yang frekuensinya terletak diatara UV vakum (kurang dari


(4)

180 nm) sehingga kurang begitu bermanfaat untuk analisis dengan cara spektrofotometri UV-Vis. Energi yang diperlukan untuk transisi n-sigma star

(n*

) lebih kecil dibanding transisi * sehingga sinar yang diserap mempunyai panjang gelombang yang lebih panjang, yakni sekitar 150-250 nm. Transisi n*

dan transisi * dapat terjadi jika molekul organik mempunyai gugus fungsional yang tidak jenuh sehingga ikatan rangkap dalam gugus tersebut memberikan orbital phi yang diperlukan. Jenis transisi ini merupakan transisi yang paling cocok untuk analisis sebab sesuai dengan panjang gelombang antara 200-700 nm (Rohman, 2007).

Spektra Uv-Vis dapat digunakan untuk informasi kualitatif dan sekaligus dapat digunakan untuk analisis kuantitatif. Data spektra Uv-Vis secara tersendiri tidak dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika digabung dengan cara lain seperti spektroskopi inframerah dan spektrofotometri massa maka dapat digunakan untuk maksud identifikasi/analisis kualitatif suatu senyawa tersebut (Rohman, 2007).

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap (Rohman, 2007).

Instrumen Spektroskopi UV pada dasarnya terdiri atas :

1. Sumber cahaya

Sumber cahaya yang biasa digunakan untuk daerah UV pada panjang gelombang dari 190-350 nm adalah lampu deuterium. Untuk daerah visible


(5)

pada panjang gelombang antara 350-900 nm digunakan lampu tungsten (Rohman, 2007).

2. ... Mo

nokromator

Digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromatis. Alatnya dapat berupa prisma. Untuk mengarahkan sinar monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan celah. Jika celah posisinya tetap, maka prisma yang dirotasikan untuk mendapatkan panjang gelombang yang diinginkan (Khopkar, 1990).

3. ... Sel/

Kuvet

Sel haruslah meneruskan energi radiasi dalam daerah spektral yang diminati. Untuk daerah ultraviolet digunakan sel kuarsa, sedangkan untuk daerah tampak digunakan sel kaca (Day, 2002).

Umumnya tebal kuvet adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi, tetapi bentuk silinder dapat juga digunakan. (Khopkar, 1990).

4. ... Det ektor

Peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 1990). Secara umum, detektor fotolistrik digunakan dalam daerah tampak dan ultraviolet. Detektor fotolistrik


(6)

yang paling sederhana adalah tabung foto, ini berupa tabung hampa udara, dengan jendela yang tembus cahaya, yang berisi sepasang elektroda. Tersedia aneka ragam tabung foto, yang berbeda bahan permukaan katodenya dan juga berbeda jendela tembus cahayanya. Selain tabung foto, terdapat juga tabung pengganda foto (Photomultiplier). Tabung pengganda foto lebih peka dari pada tabung foto biasa karena penggandaan yang tinggi dapat dicapai dengan tabung itu sendiri (Day, 2002).