Penetapan Kadar Bahan Baku Gliseril Guaiakolat Secara Spektrofotometri Ultraviolet (UV)

(1)

PENETAPAN KADAR BAHAN BAKU GLISERIL GUAIAKOLAT SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET (UV)

TUGAS AKHIR

OLEH:

INDRA HUTAURUK NIM 092410048

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan berkat dan kasih-Nya serta menganugerahkan pengetahuan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul ”PENETAPAN KADAR BAHAN BAKU GLISERIL GUAIAKOLAT SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRA VIOLET (UV)”. Tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan Program Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan di Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis tidak akan dapat menyelesaikan tugas akhir ini sebagaimana mestinya. Untuk itu penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar–besarnya kepada berbagai pihak antara lain:

1. Bapak Drs. Chairul Azhar Dalimunthe, M.Sc., Apt., sebagai Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.

2. Bapak Heru Khoerudin, S.Si., Apt., sebagai pembimbing lapangan yang telah membimbing dan memberikan saran serta petunjuk selama pelaksanaan PKL di PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Medan.

3. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., sebagai Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.


(4)

4. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., sebagai Ketua Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Yogi Sugianto, S.Farm, Apt., dan Bapak Syahnan Lubis Amd., serta seluruh staff laboratorium jaminan mutu PT. Kimia Farma (Persero) Tbk Plant Medan.

6. Prof. Dr. Urip Harahap, Apt., sebagai Dosen Penasehat Akademis yang telah memberikan nasehat dan pengarahan kepada penulis dalam hal akademis setiap semester.

7. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda P. Hutauruk dan Ibunda B. Tinambunan yang telah memberikan dukungan moril dan materil selama ini.

8. Sahabat–sahabatku Elisa, Deisy, Arni, Dhini, Maya, Devi, Hanie, dan Irfan Sihaloho yang telah saling membantu dalam penulisan tugas akhir ini.

9. Serta pihak–pihak yang telah ikut membantu penulis namun tidak tercantum namanya.

Penulis menyadari bahwa penulisan tugas akhir ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tugas akhir ini. Akhir kata penulis berharap tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca.

Medan, Mei 2012 Penulis,


(5)

PENETAPAN KADAR BAHAN BAKU GLISERIL GUAIAKOLAT SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET (UV)

ABSTRAK

Pengawasan terhadap tablet gliseril guaiakolat perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, terhadap bahan baku gliseril guaiakolat harus dilakukan pemeriksaan sebelum diformulasi menjadi obat.

Dari 26 kemasan bahan baku gliseril guaiakolat, dipilih 6 kemasan untuk diuji. Pengambilan sampel dengan metode acak dan berat masing–masing sampel yang diambil ± 20 gram.

Metode yang digunakan dalam penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat adalah metode spektrofotometri ultraviolet (UV). Metode ini menggunakan pelarut akuades yang diukur pada panjang gelombang maksimum 273 nm.

Dari hasil pengukuran didapatkan kadar 98,27%; 98,36%; 100,94%; 100,39 % ; 100,82% dan 98,68% dengan rata-rata kadar 99,58%.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, rentang kadar gliseril guaiakolat dalam bahan baku adalah tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%. Dengan demikian, bahan baku gliseril guaiakolat yang telah ditetapkan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan kadar.

Kata Kunci : akuades,absorbansi,bahan baku, ekspektoran, gliseril guaiakolat, spektrofotometri ultraviolet (UV)


(6)

DAFTAR ISI

Halaman

JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

ABSTRAK ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat ... 3

1.2.1 Tujuan ... 3

1.2.2 Manfaat ... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Pengertian Obat ... 4

2.2 Bahan Baku ... 5

2.3 Syarat-Syarat Bahan Baku ... 6

2.4 Batuk ... 7

2.5 Ekspektoran ... 9

2.6 Gliseril Guaiakolat ... 10

2.6.1 Indikasi ... 11


(7)

2.7 Metode Penetapan Kadar Secara Spektrofotometri

Ultraviolet (UV) ... 12

2.7.1 Asas Kerja ... 13

2.7.2 Aspek Kualitatif dan Kuantitatif ... 13

2.7.3 Instrumen Spektrofotometer Ultraviolet ... 14

2.7.4 Hukum Lambert-Beer ... 16

BAB III METODOLOGI PERCOBAAN ... 18

3.1 Tempat Pelaksanaan Penetapan Kadar ... 18

3.2 Alat-Alat ... 18

3.3 Bahan-Bahan ... 18

3.4 Pengambilan Sempel Uji ... 18

3.5 Pembuatan Larutan ... 19

3.5.1 Larutan Baku ... 19

3.5.2 Larutan Uji ... 19

3.6 Cara Kerja Penetapan Kadar ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Hasil ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 23

5.2 Kesimpulan ... 23

5.3 Saran ... 23 DAFTAR PUSTAKA


(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Perhitungan Penetapan Kadar Gliseril Guaiakolat ... 26


(9)

PENETAPAN KADAR BAHAN BAKU GLISERIL GUAIAKOLAT SECARA SPEKTROFOTOMETRI ULTRAVIOLET (UV)

ABSTRAK

Pengawasan terhadap tablet gliseril guaiakolat perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, terhadap bahan baku gliseril guaiakolat harus dilakukan pemeriksaan sebelum diformulasi menjadi obat.

Dari 26 kemasan bahan baku gliseril guaiakolat, dipilih 6 kemasan untuk diuji. Pengambilan sampel dengan metode acak dan berat masing–masing sampel yang diambil ± 20 gram.

Metode yang digunakan dalam penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat adalah metode spektrofotometri ultraviolet (UV). Metode ini menggunakan pelarut akuades yang diukur pada panjang gelombang maksimum 273 nm.

Dari hasil pengukuran didapatkan kadar 98,27%; 98,36%; 100,94%; 100,39 % ; 100,82% dan 98,68% dengan rata-rata kadar 99,58%.

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, rentang kadar gliseril guaiakolat dalam bahan baku adalah tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%. Dengan demikian, bahan baku gliseril guaiakolat yang telah ditetapkan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan kadar.

Kata Kunci : akuades,absorbansi,bahan baku, ekspektoran, gliseril guaiakolat, spektrofotometri ultraviolet (UV)


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saluran napas adalah saluran yang dilalui udara untuk masuk ke paru-paru dan keluar menuju udara bebas. Pada Manusia, saluran napas terdiri dari hidung, dan beberapa bagian tenggorokan seperti sinus, faring, epiglotis, laring, trakea, dan bronkus. Saluran napas termasuk tenggorokan dan saluran napas lain itu dilapisi oleh selaput lendir. Bila ada benda asing sesuatu yang merangsang selaput lendir tersebut, tubuh akan mengeluarkannya melalui batuk (Oswari, 2009).

Batuk merupakan mekanisme pertahanan tubuh dalam menghadapi penyakit atau gangguan pernapasan. Batuk dapat disebabkan oleh rangsangan, radang atau gangguan pada saluran pernapasan yang disebabkan oleh lendir (Sartono, 1993).

Batuk merupakan gejala dari penyakit yang mendasarinya. Penyakit-penyakit fisik yang ringan seperti radang tenggorokan atau bahkan hingga penyakit berat seperti kanker. Sebenarnya batuk itu hanya merupakan manifestasi suatu penyakit tertentu ataupun suatu keadaan yang tidak normal bagi seseorang atau bayi, dan bukan merupakan suatu penyakit sendiri (Danusantoso, 1996).

Obat batuk adalah obat yang diformulasikan untuk meredakan atau menyembuhkan batuk. Berdasarkan kinerjanya dalam mengobati batuk, obat tersebut dapat dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu antitusif, ekspektoran, dan muko litik (Sartono, 1993).


(11)

Gliseril guaiakolat adalah salah satu senyawa obat yang bekerja ekspektoran yaitu obat batuk yang bekerja meningkatkan sekresi pernapasan dan juga membantu menghilangkan cairan mukosa berlebih (Foye, 1996).

Dalam perdagangan, biasanya tablet gliseril guaiakolat diformulasikan dalam bentuk sediaan tablet dengan dosis, 50 mg atau 100 mg untuk setiap tablet. Sirup dengan dosis 100 mg/5 ml. Dosis dewasa yang dianjurkan 2–4 kali (200– 400 mg) sehari (Setiabudy, 2007).

Pengawasan terhadap tablet gliseril guaiakolat perlu dilakukan karena jika tidak memenuhi syarat dapat merugikan konsumen. Oleh karena itu, terhadap bahan baku gliseril guaiakolat harus dilakukan pemeriksaan sebelum diformulasi menjadi obat. Berdasarkan hal ini, penulis tertarik untuk mengambil judul tugas akhir sebagai berikut ”Penetapan Kadar Bahan Baku Gliseril Guaiakolat Secara Spektrofotometri Ultraviolet (UV)”.

Dalam Farmakope Indonesia, metode spektrofotometri ultraviolet (UV) digunakan untuk menetapkan kadar dari senyawa obat yang cukup banyak jenisnya. Metode ini biasanya untuk mendapatkan kadar sampel didasarkan pada nilai suatu obat, menggunakan perbandingan absorbansi sampel dengan absorbansi baku, atau dengan menggunakan persamaan garis regresi linier yang menyatakan hubungan antara konsentrasi baku dengan absorbansinya (Rohman, 2007).

Penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat dilakukan dengan metode spektrofotometri ultraviolet (UV), karena analisis dengan metode ini sensitif


(12)

untuk kadar bahan dalam konsentarsi kecil, teliti, cepat, dan penyiapan sampelnya mudah.

1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan

Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kadar bahan baku gliseril guaiakolat yang nantinya akan digunakan dalam formulasi tablet gliseril guaiakolat memenuhi syarat seperti yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi IV.

1.2.2 Manfaat

Untuk mengetahui kadar bahan baku gliseril guaiakolat, serta menambah pengetahuan dan keterampilan, khususnya tentang penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat sebagai zat aktif dengan menggunakan metode spektrofotometri ultraviolet (UV).


(13)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Obat adalah suatu zat yang digunakan untuk diagnosa, pengobatan, melunakkan, penyembuhan atau pencegahan penyakit pada manusia atau pada hewan. Zat tersebut dapat berasal dari nabati, hewani, kimiawi alam maupun sintetis. Sebelum dipergunakan menjadi obat, zat tersebut terlebih dahulu dibentuk menjadi sediaan farmasi seperti kapsul, pil, tablet, sirup, serbuk, suspensi, salep, supositoria dan lain-lain (Anief, 1991).

Batas antara obat dan racun sangat sangat pendek, hal ini tergantung pada dosis dan cara pemakaian. Oleh karena itu, obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat bersifat sebagai racun. Obat akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam suatu penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat. Jadi, apabila digunakan tidak tepat dalam pengobatan atau dengan dosis yang berlebihan akan menimbulkan keracunan, sedangkan apabila dosisnya lebih kecil, maka pasien tidak akan memperoleh kesembuhan (Widjajanti, 1988).

Untuk menghasilkan efek farmakologi atau efek terapi, obat harus mencapai tempat aksinya dalam konsentrasi yang cukup untuk menimbulkan respon. Tercapainya konsentrasi obat tergantung pada keadaan dan kecepatan obat diabsorpsi dari tempat pemberian dan distribusinya oleh aliran darah ke bagian yang lain dari badan (Anif, 1990).


(14)

2.2 Bahan Baku

Bahan baku adalah semua bahan, baik yang berkhasiat (zat aktif) maupun tidak berkhasiat (zat nonaktif / eksipien), yang berubah maupun tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat walaupun tidak tidak semua bahan tersebut masih terdapat didalam produk ruahan (Siregar, 2010).

Menurut Dirjen POM (2006), bahan (zat) aktif adalah tiap bahan atau campuran bahan yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan farmasi dan apabila digunakan dalam pembuatan obat menjadi zat aktif obat tersebut. Dalam arti lain, bahan (zat) aktif adalah bahan yang ditujukan untuk menciptakan khasiat farmakologi atau efek langsung lain dalam diagnosis, penyembuhan, peredaan, pengobatan atau pencegahan penyakit, atau untuk memengaruhi struktur dan fungsi tubuh.

Zat aktif senyawa kimia murni tunggal jarang diberikan langsung sebagai sediaan obat. Akan tetapi, sediaan obat yang diformulasikan hampir selalu diberikan. Sediaan obat ini dapat beragam dari larutan yang relatif sederhana sampai ke sistem penghantaran sediaan obat yang rumit, dengan menggunakan zat tambahan atau eksipien dalam formulasi untuk memberikan fungsi farmasetik yang berbeda–beda sesuai dengan tujuan yang dimaksud (Siregar, 2010).

Desain dan formulasi suatu bentuk sediaan yang tepat mensyaratkan pertimbangan karakteristik fisika, kimia, dan biologi semua zat aktif dan eksipien yang digunakan dalam pembuatan suatu produk (Siregar, 2010).


(15)

2.3 Syarat-Syarat Bahan Baku

Semua bahan baku yang digunakan harus memenuhi persyaratan resmi farmakope atau persyaratan lain yang disetujui oleh regulator atau oleh industri farmasi yang bersangkutan. Selain itu, bahan–bahan yang dibeli harus sesuai dengan spesifikasi hasil uji praformulasi agar diperoleh mutu obat yang konsisten dan memenuhi persyaratan keamanan, khasiat, stabilitas, dan ketersediaan hayati (Siregar, 2010).

Beberapa rangkuman tentang ketentuan persyaratan bahan baku menurut Dirjen POM (2006), adalah sebagai berikut:

1. Pemasok bahan awal dan pengemas dievaluasi dan disetujui untuk memenuhi spesifikasi mutu yang telah ditentukan oleh perusahaan.

2. Tiap spesifikasi hendaklah disetujui dan disimpan oleh bagian Pengawasan Mutu kecuali untuk produk jadi yang harus disetujui oleh kepala bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu).

3. Spesifikasi bahan awal hendaklah mencakup dimana diperlukan.

4. Revisi berkala dari tiap spesifikasi perlu dilakukan agar memenuhi Farmakope edisi terakhir atau kompendia resmi lain.

a. Deskripsi bahan, termasuk:

i. Nama yang ditentukan dan kode refren (kode produk) internal. ii. Rujukan monografi farmakope, bila ada.

iii. Pemasok yang disetujui dan bila mengkin produsen bahan. iv. Standar mikrobiologis, bila ada.


(16)

c. Persyaratan kualitatif dan kuantitatif dengan batas penerimaan. d. Kondisi penyimpanan dan tindakan pengamanan.

e. Batas waktu penyimpanan sebelum dilakukan pengujian kembali.

5. Identitas suatu bets bahan awal biasanya hanya dapat dipastikan apabila sampel diambil dari tiap wadah dan dilakukan uji identitas terhadap tiap sampel.

6. Pengambilan sampel boleh dilakukan dari sebagian wadah bila telah dibuat prosedur tervalidasi untuk memastikan bahwa tidak satupun wadah bahan awal yang salah label identitasnya.

7. Mutu suatu bets bahan awal dapat dinilai dengan mengambil dan menguji sampel representatif. Sampel yang diambil untuk uji identitas dapat digunakan untuk tujuan tersebut.

8. Jumlah yang diambil untuk menyiapkan sampel representatif hendaklah ditentukan secara statistik dan dicantumkan dalam pola pengambilan sampel. 9. Jumlah sampel yang dapat dicampur menjadi satu sampel komposit hendaklah

ditetapkan dengan petimbangan sifat bahan, informasi tentang pemasok dan homogenitas sampel komposit itu.

2.4 Batuk

Batuk merupakan respon refleks terhadap benda-benda asing yang menghalangi saluran sistem pernapasan. Salah satu benda asing tersebut berupa lendir yang keluar oleh membran-membran yang terdapat di sepanjang saluran


(17)

napas. Lendir tersebut membantu melindungi saluran pernapasan dari setiap jenis iritan seperti partikel asap, bakteri, dan virus (Hoffmann, 2002).

Pada umumnya refleks batuk timbul karena adanya rangsangan dari selaput lendir saluran pernapasan. Selaput lendir tersebut memiliki reseptor yang peka terhadap zat-zat perangsang yang dapat mencetus batuk. Sebenarnya batuk merupakan mekanisme perlindungan pada sistem pernapasan karena bermanfaat untuk mengeluarkan dan membersihkan saluran pernapasan dari dahak, debu, unsur infeksi dan zat-zat asing lain (Tjay, 2007)

Reflek batuk dapat timbul karena radang, infeksi saluran pernapasan, alergi, perubahan suhu yang mendadak, rangsangan kimia seperti gas, dan rangsangan mekanis seperti debu dan asap. Beberapa virus dapat merusak jaringan mukosa saluran pernapasan, rusaknya jaringan mukosa tersebut akan mempermudah terjadinya infeksi oleh bakteri dan virus lain. Selain itu, batuk dapat disebabkan oleh peradangan paru-paru, tumor atau efek samping beberapa obat (Munaf, 1994).

Dalam keadaan normal, saluran pernapasan menghasilkan sekitar 100 ml sekret per harinya, dan sebagian besar ditelan. Namun, apabila mengalami gangguan pernapasan seperti asma dan bronkitis, produksi dahak akan bertambah dan kekentalannya juga ikut bertambah sehingga sulit untuk dikeluarkan (Tjay, 2007).

Dahak bronchi terdiri dari larutan dalam air dari suatu persenyawaan kompleks mucopolysaccharida dan glycoprotein, yang saling terikat melalui jembatan sulfur. Kekentalan dan keliatan dahak tergantung pada jumlah air dan


(18)

jembatan sulfur tersebut. Pengeluaran dahak dapat dipersulit oleh terganggunya fungsi bulu getar atau pengeringan dan peningkatan viskositasnya (Tjay, 2007).

Batuk dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu batuk nonproduktif dan batuk produktif. Batuk nonproduktif umumnya disebut batuk kering karena tidak menghasilkan dahak. Batuk nonproduktif adalah batuk yang tidak bermanfaat, sehingga harus dihentikan dengan obat-obat yang menekan batuk seperti antitusif, antihistamin, dan anestetika tertentu. Sebaliknya, batuk produktif adalah suatu mekanisme perlindungan. Jenis batuk ini berfungsi untuk mengeluarkan dahak dan zat-zat asing dari batang tenggorokan. Pada dasarnya jenis batuk seperti ini tidak boleh ditekan tetapi justru diringankan dengan emolliensia, ekspektoransia, atau mukolitika (Munaf, 1994).

2.5 Ekspektoran

Ekspektoran adalah obat-obat yang memperbanyak batuk yang produktif dengan meningkatkan volume sekret bronkial. Ekspektoran dipakai tidak hanya untuk meningkatkan sekresi pernapasan tapi juga membantu menghilangkan cairan mukosa memalui batuk atau kerja ekspektoran (Foye, 1992).

Ekspektoran diperkirakan mengiritasi mukosa lambung, kemudian efek iritasi mukosa lambung tersebut bekerja secara reflek merangsang kelenjar-kelenjar sekretori saluran nafas bagian bawah (Munaf, 1994).

Penggunaan ekspektoran didasarkan pengalaman empiris. Belum ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan


(19)

selanjutnya secara refleks merangsang sekresi kelenjar saluran napas lewat vagus, sehingga menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak (Schunack, 1990).

Ekspektoran dibagi atas beberapa jenis, yaitu sekretolitika, mukolitika, dan sekretomotorika. Sekretolitika meninggikan sekresi bronkus, dan dengan demikian mengencerkan lendir. Ini terjadi reflektorik dengan stimulasi serabut aferen pasasimpatikus atau bekerja langsung pada sel pembentuk lendir. Mukolitika mengubah sifat fisikokimia sekret, terutama viskositasnya diturunkan, sedangkan sektertomotorika menyebabkan gerakan sekret dan batuk untuk mengeluarkan sekret tersebut (Mutschler, 1991).

2.6 Gliseril Guaiakolat

Rumus Bangun : OH

O - CH2 – CH - CH2 OH O-CH3

3-(o-Metoksifenoksi)-1,2-propanadiol [93-14-1] Rumus Molekul : C10H14O

Berat Molekul : 198,22

Pemerian : Serbuk hablur, putih sampai agak ke abu–abu khas lemah, rasa pahit.

Kelarutan : Larut dalam air, etanol, kloroform, dan propilen glikol, agak sukar larut dalam gliserin.


(20)

Baku Pembanding : Guaifenesin BPFI; lakukan pengeringan dalam hampa udara pada tekanan tidak kurang dari 10 mmHg, pada suhu hingga bobot tetap, sebelum digunakan. Setelah ampul dibuka, simpan dalam wadah tertutup rapat.

Susut Pengeringan: Tidak lebih dari 0,5%; lakukan pengeringan dalam hampa udara, pada tekanan tidak kurang dari 10 mmHg, pada suhu 60 C hingga bobot tetap, sebelum digunakan. Setelah ampul

dibuka, simpan dalam wadah tertutup rapat.

Perhitungan penetapan kadar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Cs = x C BPFI Keterangan:

Cs : Kadar Sampel

As : Serapan Larutan Sampel

Ab : Serapan Larutan Baku

C BPFI : Kadar Baku Pembanding Farmakope Indonesia

2.6.1 Indikasi

Gliseril guaiakolat adalah suatu derivat guaiakol yang bekerja sebagai gluaiakolgliseroleter sekaligus bekerja dalam merelaksasi otot. Namun, obat ini lebih banyak digunakan sebagai ekspektoran dalam berbagai jenis sediaan batuk (Schunack, 1983).


(21)

Penggunaan obat ini hanya didasarkan tradisi dan kesan subjektif pasien dan dokter. Belum ada bukti bahwa obat bermanfaat pada dosis yang diberikan. Efek samping yang mungkin timbul dengan dosis besar, berupa kantuk, mual, dan muntah (Setiabudy, 2007).

2.6.2 Farmakologi

Beberapa senyawa ekspektoran, termasuk gliseril guaiakolat, mekanisme kerjanya belum diketahui dengan jelas. Namun, diperkirakan obat ini bekerja merangsang mukosa lambung sehingga sekresi kelenjar saluran napas ditingkatkan melalui stimulasi vagus. Hal ini mengakibatkan pembentukan sekret yang lebih banyak sehingga lebih mudah dahak lebih mudah dikeluarkan melalui batuk (Schunack, 1990).

2.7 Metode Penetapan Kadar Secara Spektroforometri Ultraviolet (UV) Spektrofotometer adalah suatu instrumen untuk mengukur transmitans atau absorbans suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang serta pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal (Day, 2002).

Spektrofotometer yang sesuai untuk pengukuran di daerah spektrum ultraviolet dan cahaya tampak terdiri dari suatu sistem optik dengan kemampuan menghasilkan cahaya monokromatik dalam jangkauan 200 nm hingga 800 nm dan suatu alat yang sesuai untuk menetapkan serapan (Dirjen POM, 1995).

Metode spektroforometri UV-Vis adalah pengukuran intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh sampel. Sinar ultraviolet dan


(22)

cahaya tampak memiliki energi yang cukup untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang lebih tinggi. Spektroforometri UV-Vis biasanya digunakan untuk molekul organik di dalam larutan. Spektrumnya mempunyai daerah yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang bisa didapatkan dari spektrum ini. Tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif. Konsentrasi analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorbansi pada panjang gelombang tertentu dengan menggunakan hukum Lambert-Beer. Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm, sedangkan visible berada pada panjang gelombang 400-800 nm (Dachriyanus, 2004).

2.7.1 Asas Kerja

Radiasi ultraviolet dan visible diabsorbsi oleh molekul organik aromatik, molekul yang mengandung elektron-π terkonyugasi dan atau atom yang mengandung elektron-n, menyebabkan transisi elektron di orbit terluarnya dari tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi. Besarnya absorbansi radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit yang mengabsorbsi dan ini dapat digunakan untuk analisis kuantitatif (Satiadarma, 2004).

2.7.2 Aspek Kualitatif dan Kuantitatif

Data spektrum ultraviolet dan sinar tampak tidak dikhususkan untuk identifikasi kualitatif suatu senyawa. Namun data-data spektroskopi UV-Vis


(23)

seperti panjang gelombang maksimum, intensitas, efek pH, dan pelarut dapat digunakan untuk identifikasi kualitatif, yaitu dengan cara membandingkan data-data yang diperoleh tersebut dengan baku pembanding maupun data-data yang sudah dipublikasikan/published data (Gholib, 2007).

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada larutan sampel dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerap lainnya. Intensitas radiasi cahaya sebanding dengan sejumlah foton yang melalui suatu satuan luas penampang per detik. Serapan dapat terjadi jika foton/radiasi yang mengenai cuplikan memiliki energi yang sama dengan energi yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya perubahan tenaga. Kekuatan radiasi juga pengalami penurunan karena hal ini sangat kecil dibandingkan dengan proses penyerapan (Gholib, 2007).

Spektrofotometer ultraviolet memiliki jenis-jenis yang beragam, tergantung dari tingkat kecanggihan perangkatnya, tetapi pada umumnya memiliki asas kerja yang sama (Munson, 1991).

2.7.3 Instrumen Spektrofotometer Ultraviolet

Pada dasarnya spektrofotometer ultraviolet terdiri atas lima komponen pokok, yaitu:


(24)

Sumber energi radiasi yang biasa digunakan adalah sebuah lampu pijar dengan kawat terbuat dari wolfram (Day, 2002).

Lampu deuterium, lampu pijar tugsten dan lampu halogen yang biasa dipakai sebagai sumber radiasi untuk daerah ultraviolet (Satiadarma, 2004).

2. Monokromator

Monokromator adalah alat optis yang mengisolasi suatu berkas radiasi dari sumber radiasi, berkas radiasi yang mempunyai kemurnian spektrum yang tinggi dengan panjang gelombang yang dapat disesuaikan dengan tujuan analisis (Day, 2002).

Monokromator digunakan untuk memperoleh sumber sinar yang monokromator dengan menggunakan prisma. Kemudian cahaya yang keluar dari prisma kemudian dilewatkan melalui celah untuk mengarahkan cahaya ke sel (Khopkar, 1990).

3. Sel

Sel atau biasa disebut dengan kuvet, merupakan wadah sampel sekaligus menjadi lintasan optis dalam spektrofotometer. Sel tersebut diisi dan diletakkan sedemikian rupa sehingga berkas cahaya menembus larutan. Berkas cahaya yang datang dari monokromator akan menembus sel yang berisi sampel, sebagian berkas akan diserap oleh sampel dan kemudian akan diteruskan ke detektor (Day, 2002).

4. Detektor

Detektor adalah alat yang menerima sinyal dalam bentuk radiasi elektromagnetik, mengubah dan meneruskannya dalam bentuk sinyal listrik


(25)

kerangkaian sistem penguat elektronika. Dengan demikian sinyal radiasi yang terdeteksi itu dapat diukur kekuatannya (Satiadarma, 2004).

5. Penguat dan Pembacaan

Menggunakan sebuah penguat dengan resistansi masukan yang tinggi sehingga rangkaian tabung foto itu tidak tersadap habis. Malah voltase yang melintas resistor beban itu digunakan untuk mengendalikan suatu rangkaian yang menarik dayanya dari dalam suatu sumber yang tak bergantung dan yang mempunyai suatu keluaran yang cukup besar untuk menjalankan suatu alat pengukur atau piranti baca lain (Day, 2002).

2.7.4 Hukum Lambert-Beer

Menurut Dachriyanus (2004), Hukum Lambert-Beer adalah hubungan linieritas antara absorban dengan konsentrasi larutan analit, biasanya ditulis dengan:

A = a. b. C Keterangan:

A : absorban (serapan) a : absorptivitas b : tebal kuvert (cm) C : konsentrasi (M)

Absorptivitas (a) merupakan suatu konstanta yang tidak tergantung pada konsentrasi, tebal kuvet, dan intensitas radiasi yang mengenai larutan sampel. Absorptivitas tergantung pada suhu, pelarut, struktur molekul, dan panjang


(26)

1% 1cm 1

1

gelombang radiasi. Satuan a ditentukan oleh satuan c, jika satuan c dalam molar (M) maka absorptivitas disebut dengan absorptivitas molar disimbolkan dengan ε yang satuannya M-1cm-1. Jika c dinyatakan dengan persen berat/volume (g/100mL) maka absorptivitas dapat ditulis dengan E dan juga seringkali ditulis dengan A (Rohman, 2007).

Menurut Dachriyanus (2004), Transmitan (T) yang didefenisikan sebagai berikut:

T= I / Io Keterangan:

I : intensitas cahaya yang ditransmisikan setelah melewati sampel Io : intensitas cahaya awal

Dan hubungan A dan T adalah:


(27)

BAB III

METODOLOGI PERCOBAAN 3.1 Tempat Pelaksanaan Penetapan Kadar

Penetapan kadar ini dilakukan di laboratorium yang terdapat di industi PT Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan yamg beralamat di Jl. Tanjung Morawa Km.9 No. 59 Medan.

3.2 Alat-Alat

Alat–alat yang digunakan adalah alat–alat gelas, timbangan analitik digital Merk SARTORIUS type CP-224S, Ultrasonic digital Merk ELMA type D-78224, dan seperangkat alat spektofotometer Uv-Vis Merk ALIGENT.

3.3 Bahan-Bahan

Bahan–bahan yang digunakan adalah akuades, gliseril guaiakolat Baku Pembanding Farmakope Indonesia (BPFI), gliseril guaiakolat bahan baku.

3.4 Pengambilan Sampel Uji

Dari 26 kemasan bahan baku gliseril guaiakolat yang dipasok dengan berat masing–masing kemasan 25 kg, maka dengan prosedur tetap perusahaan yang ada dalam pengambilan sempel menggunakan rumus (√x + 1), sehingga jumlah sampel yang diambil untuk diuji adalah 6 kemasan, pengambilan sampel dengan metode acak dan berat masing–masing sampel yang diambil ± 20 gram.


(28)

3.5 Pembuatan Larutan 3.5.1 Larutan Baku

Ditimbang seksama sejumlah 100 mg gliseril guaiakolat Baku Pembanding Farmakope Indonesia (BPFI), dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan akuades 20 ml, lalu dilarutkan dengan menggunakan alat Ultrasonic digital selama 15 menit, ditambahkan akuades sampai garis tanda batas (konsentrasi 1.000 mcg/ml). Kemudian dipipet 2 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, lalu ditambahkan dengan akuades sampai garis tanda (konsentrasi 40 mcg/ml) (larutan A).

3.5.2 Larutan Uji

Masing–masing sampel ditimbang seksama sejumlah 100 mg, dimasukkan ke dalam labu tentukur 100 ml, ditambahkan akuades 20 ml, lalu dilarutkan dengan menggunakan alat Ultrasonic digital selama 15 menit, ditambahkan dengan akuades sampai garis tanda (konsentrasi 1.000 μcg/ml). Kemudian dipipet 2 ml, dimasukkan ke dalam labu tentukur 50 ml, lalu ditambahkan akuades sampai garis tanda (konsentrasi 40 mcg/ml) (larutan B).

3.6 Cara Kerja Penetapan Kadar

Tahapan kerja penetapan kadar yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Hidupkan seperangkat alat spektofotometer ultraviolet (UV).


(29)

3. Klik menu Quantification, masukkan panjang gelombang maksimum (273 nm) serta jarak batas atas dan batas bawah panjang gelombang (200 nm dan 400 nm).

4. Masukkan larutan pengencer ke dalam kuvet. 5. Klik blank, lalu spektrum keluar.

6. Masukkan larutan A ke dalam kuvet.

7. Klik standard, lalu Procosed spektrum standar dan calibration curve keluar. Serta 3 buah absorbansi keluar di dalam tabel, dalam perhitungan kadar yang digunakan adalah nilai rata-rata dari ketiga absorbansi.

8. Masukkan larutan B ke dalam kuvet.

9. Klik sampel, lalu Overhaid sampel spectra keluar. Serta 2 buah absorbansi keluar di dalam tabel, dalam perhitungan kadar yang digunakan adalah nilai rata-rata dari kedua absorbansi untuk masing–masing larutan B.

Perhitungan penetapan kadar dapat dilakukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

Cs =

x

C

BPFI

Keterangan:

Cs : Kadar Sampel

As : Serapan Larutan Uji/Sampel Ab : Serapan Larutan Baku


(30)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil

Pada penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat menggunakan spektrofotometri UV, didapatkan hasil sebagai berikut:

1. Sampel I : 98,27% 2. Sampel II : 98,36% 3. Sampel III : 100,94% 4. Sampel IV : 100,39 % 5. Sampel V : 100,82% 6. Sampel VI : 98,68%

Dari data di atas, diperoleh kadar rata-rata 99,58%.

4.2 Pembahasan

Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, rentang kadar gliseril guaiakolat dalam bahan baku adalah tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0%. Dengan demikian, bahan baku gliseril guaiakolat yang telah ditetapkan kadarnya tersebut telah memenuhi persyaratan kadar.

Farmakope Indonesia Edisi IV menetapkan kloroform sebagai pelarut dalam penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat secara spektrofotometri ultraviolet (UV) dengan panjang gelombang maksimum 276 nm. Namun pada prosedur penetapan kadar dalam pengujian ini digunakan akuades sebagai pelarut.


(31)

Perbedaan tersebut tidak menjadi masalah karena gliseril guaiakolat dapat larut dengan baik dalam air

Oleh karena perbedaan pelarut tersebut, terdapat perbedaan panjang gelombang maksimum yang digunakan dalam pengukuran serapan. Pada pengujian ini digunakan pelarut akuades dengan panjang gelombang 273 nm, namun apabila menggunakan pelarut kloroform, panjang gelombang yang digunakan adalah 276 nm.


(32)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat yang nantinya akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan tablet gliseril guaiakolat oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan, memenuhi persyaratan yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi ke-IV, Hal ini disimpulkan karena dari 5 sampel yang diambil, semua kadarnya tidak ada yang kurang dari 98,0% dan tidak ada yang lebih dari 102,0% (sesuai persyaratan Farmakope Indonesia edisi ke-IV).

5.2 Saran

Pada penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat saat ini, hanya berasal dari satu pabrik industri obat saja, maka diharapkan kepada penulis selanjutnya untuk mengembangkan tulisan ini dengan melakukan pemeriksaan dari berbagai industri obat lainnya.


(33)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1990). Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 1.

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 3.

Anief, M. (2000). Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 77–78.

Bowman, W. (1968) Textbook of Pharmacology. Glasgow: Blackwell Scientific. Hal. 2411.

Day, R., dan Underwood. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif Edisi VI. Jakarta: Erlangga. Hal. 397–404.

Dirjen, POM. (2006). Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Badan POM. Hal. 5, 77, 98, 237.

Dirjen, POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 421-422.

Djamhuri, A. (1995). Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di klinik dan Perawatan. Jakarta: Hipokrates. Hal. 95.

Foye,W. (1996). Prinsip-Prinsip Kimia Medisinal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 1772-1776.

Harkness, R. (1989). Interaksi Obat. Bandung: Penerbit ITB. Hal 77-78. Hoffmann, D. (2002). Sehat Tanpa Gangguan Pernafasan. Jakarta: Prestasi

Pustaka. Hal. 39-45.

Jas, A. (2007). Perihal Obat dengan Berbagai Jenis dan Bentuk Sediaaannya. Medan: USU Press. Hal. 2–3.

Munson, J. (1991). Analisis Farmasi Metode Modern Bagian B. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 369-382.

Mutschler, Ernst. (1991). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 191, 518.

Oswari, E. (2009). Penyakit dan Penaggulangannya. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal. 35.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 245-246.


(34)

Sartono. (2005). Obat dan Anak. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 12.

Schunack, W. (1990). Senyawa Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 439-442.

Setiabudy, R. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Penerbit FK UI. Hal. 531.

Siregar, J. P. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta: EGC. Hal. 15-16, 123, 605, 647.

Tjay, T.H., dan Raharjo, K. (2007). Obat-obat Penting Edisi ke enam cetakan pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Hal. 1, 661, 665. Widodo, R. (2004). Panduan Keluarga Memilih Dan Menggunakan Obat.


(35)

Lampiran 1

Perhitungan Penetapan Kadar Gliseril Guaiakolat Bahan Baku Kadar gliseril guaiakolat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Cs =

x

C

BPFI

Keterangan:

Cs : Kadar Sampel

As : Serapan Larutan Sampel Ab : Serapan Larutan Baku

C BPFI : Kadar Baku Pembanding Farmakope Indonesia

Data Absorbansi Baku Gliseril Guaiakolat BPFI

No Nama Sampel Absorbansi <273nm> 1 BB GG BPFI 0,48705

2 BB GG BPFI 0,4869 3 BB GG BPFI 0,48701

Absorbansi yang digunakan adalah rata-rata dari 3 kali pengukuran:

Ab =

Ab =

Ab = 0,48698667

Diketahui :

Serapan Larutan Baku (Ab) adalah 0,48698667. Kadar Baku Pembanding


(36)

dalam waktu yang berdekatan (duplo), jadi serapan yang digunakan adalah rata-rata dari hasil kedua pengukuran masing-masing sampel yang di uji.

No Nama Sampel Serapan Pengukuran I

Serapan Pengukuran II

Serapan Rata-Rata 1 B. Baku G. Guaiakol I 0,48045 0,48030 0,480375 ( As1 )

2 B. Baku G. Guaiakol II 0,48073 0,48091 0,48082 ( As2 )

3 B. Baku G. Guaiakol III 0,49365 0,49316 0,493405 ( As3 )

4 B. Baku G. Guaiakol IV 0,49064 0,49086 0,49075 ( As4 )

5 B. Baku G. Guaiakol V 0,49133 0,49433 0,49283 ( As5 )

6 B. Baku G. Guaiakol VI 0,48247 0,48225 0,48236 ( As6 )

Kadar masing-masing bahan baku adalah sebagai berikut:

Kadar B. Baku G. Guaiakol =

C

BPFI

Kadar B. Baku G. Guaiakol I =

C

BPFI

=

99,63%

= 98,27 %

Kadar B. Baku G. Guaiakol II =

C

BPFI

=

99,63%

= 98,36 %

Kadar B. Baku G. Guaiakol III =

C

BPFI

=

99,63%

= 100,94%

Kadar B. Baku G. Guaiakol IV=

C

BPFI

=

99,63%


(37)

Kadar B. Baku G. Guaiakol V =

C

BPFI

=

99,63%

= 100,82%

Kadar B. Baku G. Guaiakol VI=

C

BPFI

=

99,63%

= 98,68%

Hasil penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat yang disajikan dalam bentuk tabel berikut:

No Nama Sampel Kadar Rata-Rata Kadar 1 B. Baku G. Guaiakol I 98,27%

98,68% 2 B. Baku G. Guaiakol II 98,36%

3 B. Baku G. Guaiakol III 100,94% 4 B. Baku G. Guaiakol IV 100,39% 5 B. Baku G. Guaiakol V 100,82% 6 B. Baku G. Guaiakol VI 98,68%


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat yang nantinya akan digunakan menjadi bahan berkhasiat dalam formulasi pembuatan tablet gliseril guaiakolat oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan, memenuhi persyaratan yang tertera pada Farmakope Indonesia edisi ke-IV, Hal ini disimpulkan karena dari 5 sampel yang diambil, semua kadarnya tidak ada yang kurang dari 98,0% dan tidak ada yang lebih dari 102,0% (sesuai persyaratan Farmakope Indonesia edisi ke-IV).

5.2 Saran

Pada penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat saat ini, hanya berasal dari satu pabrik industri obat saja, maka diharapkan kepada penulis selanjutnya untuk mengembangkan tulisan ini dengan melakukan pemeriksaan dari berbagai industri obat lainnya.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1990). Perjalanan dan Nasib Obat Dalam Badan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 1.

Anief, M. (1991). Apa yang Perlu Diketahui Tentang Obat. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 3.

Anief, M. (2000). Prinsip Umum Dan Dasar Farmakologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Hal. 77–78.

Bowman, W. (1968) Textbook of Pharmacology. Glasgow: Blackwell Scientific. Hal. 2411.

Day, R., dan Underwood. (2002). Analisis Kimia Kuantitatif Edisi VI. Jakarta: Erlangga. Hal. 397–404.

Dirjen, POM. (2006). Cara Pembuatan Obat yang Baik. Jakarta: Badan POM. Hal. 5, 77, 98, 237.

Dirjen, POM. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 421-422.

Djamhuri, A. (1995). Sinopsis Farmakologi dengan Terapan Khusus di klinik dan Perawatan. Jakarta: Hipokrates. Hal. 95.

Foye,W. (1996). Prinsip-Prinsip Kimia Medisinal. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 1772-1776.

Harkness, R. (1989). Interaksi Obat. Bandung: Penerbit ITB. Hal 77-78. Hoffmann, D. (2002). Sehat Tanpa Gangguan Pernafasan. Jakarta: Prestasi

Pustaka. Hal. 39-45.

Jas, A. (2007). Perihal Obat dengan Berbagai Jenis dan Bentuk Sediaaannya. Medan: USU Press. Hal. 2–3.

Munson, J. (1991). Analisis Farmasi Metode Modern Bagian B. Surabaya: Airlangga University Press. Hal. 369-382.

Mutschler, Ernst. (1991). Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 191, 518.

Oswari, E. (2009). Penyakit dan Penaggulangannya. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal. 35.

Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 245-246.


(3)

Sartono. (2005). Obat dan Anak. Bandung: Penerbit ITB. Hal. 12.

Schunack, W. (1990). Senyawa Obat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 439-442.

Setiabudy, R. (2007). Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: Penerbit FK UI. Hal. 531.

Siregar, J. P. (2010). Teknologi Farmasi Sediaan Tablet. Jakarta: EGC. Hal. 15-16, 123, 605, 647.

Tjay, T.H., dan Raharjo, K. (2007). Obat-obat Penting Edisi ke enam cetakan pertama. Jakarta: Penerbit PT Elex Media Komputindo. Hal. 1, 661, 665. Widodo, R. (2004). Panduan Keluarga Memilih Dan Menggunakan Obat.


(4)

Lampiran 1

Perhitungan Penetapan Kadar Gliseril Guaiakolat Bahan Baku Kadar gliseril guaiakolat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Cs =

x

C

BPFI Keterangan:

Cs : Kadar Sampel

As : Serapan Larutan Sampel Ab : Serapan Larutan Baku

C BPFI : Kadar Baku Pembanding Farmakope Indonesia

Data Absorbansi Baku Gliseril Guaiakolat BPFI

No Nama Sampel Absorbansi <273nm> 1 BB GG BPFI 0,48705

2 BB GG BPFI 0,4869 3 BB GG BPFI 0,48701

Absorbansi yang digunakan adalah rata-rata dari 3 kali pengukuran:

Ab =

Ab =

Ab = 0,48698667

Diketahui :

Serapan Larutan Baku (Ab) adalah 0,48698667. Kadar Baku Pembanding


(5)

dalam waktu yang berdekatan (duplo), jadi serapan yang digunakan adalah rata-rata dari hasil kedua pengukuran masing-masing sampel yang di uji.

No Nama Sampel Serapan

Pengukuran I

Serapan Pengukuran II

Serapan Rata-Rata 1 B. Baku G. Guaiakol I 0,48045 0,48030 0,480375 ( As1 )

2 B. Baku G. Guaiakol II 0,48073 0,48091 0,48082 ( As2 )

3 B. Baku G. Guaiakol III 0,49365 0,49316 0,493405 ( As3 )

4 B. Baku G. Guaiakol IV 0,49064 0,49086 0,49075 ( As4 )

5 B. Baku G. Guaiakol V 0,49133 0,49433 0,49283 ( As5 )

6 B. Baku G. Guaiakol VI 0,48247 0,48225 0,48236 ( As6 )

Kadar masing-masing bahan baku adalah sebagai berikut: Kadar B. Baku G. Guaiakol =

CBPFI

Kadar B. Baku G. Guaiakol I =

CBPFI

=

99,63%

= 98,27 %

Kadar B. Baku G. Guaiakol II =

CBPFI

=

99,63%

= 98,36 %

Kadar B. Baku G. Guaiakol III =

CBPFI

=

99,63%

= 100,94% Kadar B. Baku G. Guaiakol IV=

CBPFI

=

99,63%


(6)

Kadar B. Baku G. Guaiakol V =

CBPFI

=

99,63%

= 100,82% Kadar B. Baku G. Guaiakol VI=

CBPFI

=

99,63%

= 98,68%

Hasil penetapan kadar bahan baku gliseril guaiakolat yang disajikan dalam bentuk tabel berikut:

No Nama Sampel Kadar Rata-Rata Kadar 1 B. Baku G. Guaiakol I 98,27%

98,68% 2 B. Baku G. Guaiakol II 98,36%

3 B. Baku G. Guaiakol III 100,94% 4 B. Baku G. Guaiakol IV 100,39% 5 B. Baku G. Guaiakol V 100,82% 6 B. Baku G. Guaiakol VI 98,68%