Hubungan Faktor Risiko Kematian Neonatus Dengan Kejadian Kematian Neonatus Di Rsud Ferdinand Lumban Tobing Sibolga Tahun 2011-2014

6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Neonatus

2.1.1.

Pengertian Neonatus
Neonatus adalah bayi baru lahir sampai dengan usia 1 bulan sesudah lahir.

Neonatus dini berusia 0-7 hari dan Neonatus lanjut berusia 7-28 hari. Bayi baru lahir
normal adalah bayi yang lahir dari kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dan
berat badan lahir 2500 gram sampai dengan 4000 gram (Muslihatun, 2010). Ciri-ciri
bayi baru lahir (neonatus) normal adalah berat badan 2500-4000 gram, panjang
badan lahir 48-52 cm, lingkar dada 30-38 cm, lingkar kepala 33-35 cm, frekuensi
jantung 180 denyut/menit, kemudian menurun sampai 120-140 denyut/menit,
pernapasan pada beberapa menit pertama cepat kira-kira 80 kali/menit, kemudian

menurun setelah tenang kira-kira 40 kali/menit, kulit kemerah-merahan dan licin
karena jaringan subkutan cukup terbentuk dan diliputi verniks kaseosa, rambut
lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah sempurna, kuku agak panjang dan
lemas, genetalia : labia mayora sudah menutupi labia minora (pada perempuan),
testis sudah turun (pada anak laki-laki) (Dahliana et al, 2012).

2.1.2.

Fisiologi Neonatus
Menurut Muslihatun 2010 adaptasi neonatus adalah proses penyesuaian

fungsional neonatus dari kehidupan di dalam uterus ke kehidupan luar uterus.

Tabel 2.1.Adaptasi Neonatus
SISTEM

INTRAUTERIN

EKSTRAUTERIN


Pernafasan volunter

Belum berfungsi

Berfungsi

Alveoli

Kolaps

Berkembang

Vaskularisasi paru

Belum aktif

Aktif

Resistensi paru


Tinggi

Rendah

Intake oksigen

Dari plasenta ibu

Dari paru bayi sendiri

7

SISTEM

INTRAUTERIN

EKSTRAUTERIN

Pengeluaran CO2


Di plasenta

Di paru

Sirkulasi paru

Tidak berkembang

Berkembang banyak

Sirkulasi sistemik

Resistensi perifer rendah

Denyut jantung

Lebih cepat

Lebih lambat


Absorbsi nutrien

Belum aktif

Aktif

Kolonisasi kuman

Belum

Segera

Feses

Mekonium

>hari ke-4, feses biasa

Enzim pencernaan


Belum aktif

Aktif

2.1.3.

Resistensi perifer
tinggi

Pertumbuhan dan Perkembangan Neonatus
Pertumbuhan adalah bertambahnya jumlah dan besarnya sel di seluruh

bagian tubuh yang secara kuantitatif dapat diukur seperti tinggi badan, berat badan,
dan lingkar kepala. Perkembangan adalah bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh
yang dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan belajar, terdiri dari kemampuan
gerak kasar dan halus, pendengaran, penglihatan, komunikasi, bicara, emosi-sosial,
kemandirian, intelegensia, dan perkembangan moral (Muslihatun,2010). Berat bayi
baru lahir adalah kira-kira 3000 gram, biasanya anak laki-laki lebih berat daripada
anak perempuan. Lebih kurang 95% bayi cukup bulan mempunyai berat badan antara
2500-4500 g; pada bayi baru lahir cukup bulan, berat badan waktu lahir akan

kembali pada hari ke-10. Pada waktu lahir, kepala relatif masih lebih besar, muka
bulat, ukuran anterior-posterior dada masih lebih besar, perut membuncit dan
anggota gerak relatif lebih pendek. Sebagai titik tengah tinggi badannya adalah
setinggi umbilikus. Ketika baru lahir, bayi hanya dapat melihat sejauh 20-25 cm saja
(Rukiyah dan Yulianti, 2010)

2.2.

Kematian Neonatus

2.2.1

Definisi
Kematian neonatal adalah jumlah bayi lahir hidup yang meninggal dalam

28 hari pertama kehidupannya. Semua bayi yang lahir hidup yang meninggal dalam

8

28 hari pertama kehidupannya harus diberikan akte kematian oleh dokter

(Andraiansz, 2007).
2.2.2.

Klasifikasi Kematian Neonatus
Kematian neonatal dapat dibagi menjadi kematian neonatal dini dan

kematian neonatal lanjut. Kematian neonatal dini adalah kematian yang terjadi pada
minggu pertama kehidupan seorang bayi. Oleh karena itu, kematian neonatal dini
adalah jumlah bayi yang dilahirkan dalam keadaan hidup namun kemudian
meninggal dalam 7 hari pertama kehidupannya (yaitu pada minggu pertama setelah
kelahirannya). Kematian neonatal lanjut adalah jumlah bayi lahir hidup yang
meninggal pada rentang waktu antara 7 hingga 28 hari (yaitu dalam minggu kedua
hingga keempat dari kehidupannya) (Andraiansz, 2007).

2.2.3.

Determinan Kematian Neonatus

2.2.3.1.


Neonatus Risiko Tinggi
Bayi resiko tinggi adalah bayi yang mempunyai kemungkinan lebih besar

untuk menderita sakit atau kematian daripada bayi lain. Istilah bayi resiko tinggi
digunakan untuk menyatakan bahwa bayi memerlukan perawatan dan pengawasan
yang ketat. Pengawasan dapat dilakukan beberapa jam sampai beberapa hari. Pada
umumnya resiko tinggi terjadi pada bayi sejak lahir sampai usai hari 28 hari yang
disebut neonatus. Hal ini disebabkan kondisi atau keadaan bayi yang berhubungan
dengan kondisi kehamilan, persalinan, dan penyesuaian dengan kehidupan di luar
rahim. Kondisi yang dapat menyebabkan neonatur resiko tinggi adalah bayi berat
kahir rendah, asfiksia neonatorum, sindroma gawat nafas neonatus (SGNN),
hiperbilirubinemia, kejang, hipotermi, hipertermi, kelainan kongenital, sepsis
neonatorum, tetanus neonatorum, hipoglikemia,perdarahan atau infeksi tali pusat,
dan penyakit yang diderita ibu selama kehamilan (Muslihatun, 2010). Penilaian dan
tindakan yang tepat pada bayi risiko tinggi sangat penting karena dapat mencegah
terjadinya gangguan kesehatan pada bayi yang dapat menimbulkan cacat atau
kematian (Handayani, 2003). Kondisi yang paling banyak menyebabkan kematian
neonatus adalah :

9


A.

Bayi berat lahir rendah
Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat lahir kurang dari
2500 gram tanpa memandang usia gestasi. Berat lahir adalah berat bayi
yang ditimbang dalam 1 jam setelah lahir. BBLR dapat terjadi pada bayi
kurang bulan (2500 gram.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun
2007, angka kematian bayi sebesar 34 per 1000 kelahiran hidup. Dalam 1
tahun, sekitar 89.000 bayi usia 1 bulan meninggal. Artinya setiap 6 menit
ada 1 (satu) neonatus meninggal. Penyebab utama kematian neonatal
adalah Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) sebanyak 29% (Direktorat
Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2008). Angka kejadian di indonesia
sangat bervariasi antara satu daerah dengan daerah lain, yang berkisar
antara 9-30%. Penyebab terbanyak terjadinya BBLR adalah kelahiran
prematur. Faktor ibu adalah umur (40 tahun), paritas, dan
lain-lain. Faktor plasenta seperti penyakit vaskular, kehamilan ganda, dan
lain-lain, serta faktor janin juga merupakan penyebab terjadinya BBLR
(Gandaputra et al, 2009)

Masalah yang sering timbul pada BBLR:


Masalah pernapasan karena paru-paru yang belum matur



Masalah pada jantung



Perdarahan otak



Fungsi hati yang belum sempurna



Anemia atau polisitemia

10



Lemak yang sedikit sehingga kesulitan mempertahankan suhu tubuh
normal



Masalah pencernaan/toleransi minum



Risiko infeksi (Gandaputra et al, 2009).

B. Asfiksia Neonatorum
Asfiksia neonatorum adalah kegawatdaruratan bayi baru lahir dimana bayi
tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur, sehingga dapat
menurunkan O2 dan makin meningkatkan CO2 ( Rukiyah dan Yulianti,
2010). Perubahan-perubahan yang terjadi pada asfiksia antara lain
hipoksia, hiperkapnia dan asidosis metabolik. Pada asidosis metabolik,
terjadi perubahan metabolisme aerob menjadi anaerob yang akan
menyebabkan kelainan biokimiawi darah yang lebih parah. Keadaan ini
akan mempengaruhi metabolisme sel, jaringan, dan organ, khususnya
organ vital, seperti otak,jantung, ginjal, paru yang berdampak pada
gangguan fungsi, gagal organ sampai kematian (Muslihatun, 2010)
Penyebab asfiksia neonatorum

:

 Faktor ibu
a.

Hipoksia ibu

b.

Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun

c.

Gravida lebih dari 4

d.

Sosial ekonomi rendah

e.

Penyakit pembuluh darah yang mengganggu pertukaran dan
pengangkutan

oksigen

antar

lain

hipertensi,

hipotensi,

gangguan kontraksi uterus dan lain-lain.
 Faktor plasenta
a.

Plasenta yang tipis, kecil dan tidak menempel sempurna

b.

Solusio plasenta

c.

Plasenta previa

 Faktor janin
a.

Prematur

11

b.

IUGR

c.

Gemelli

d.

Tali pusat menumbung

e.

Kelainan kongenital

 Faktor persalinan
a.

Partus lama

b.

Partus dengan tindakan

Dalam rangka menegakkan diagnosis, dilakukan anamnesis untuk
mendapatkan faktor resiko terjadinya asfiksia neonatorum. Kemudian
dilakukan pemeriksaan fisis sesuai dengan algoritma resusitasi neonatus,
yaitu :
1. Bayi tidak bernafas atau menangis
2. Denyut jantung kurang dari 100x/menit
3. Tonus otot menurun
4. Cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada
tubuh bayi
5. BBLR (Kementrian kesehatan RI, 2010)
Asfiksia menyebabkan kematian neonatus antara 8-35% di negara maju,
sedangkan di negara berkembang antara 31-56,5%. Insidensi asfiksia pada
menit pertama 47/1000 lahir hidup dan pada 5 menit 15,7/1000 lahir hidup
untuk semua neonatus. Insidensi asfiksia neonatorum di Indonesia kurang
lebih 40/1000 (Depkes RI, 2009).

C. Hiperbilirubinemia
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh proses fisiologis atau patologis
atau kombinasi keduanya. (Dewi et al, 2010). Pada hiperbilirubinemia
fisiologis, terjadi peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi >2 mg/dL pada
minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu biasanya
meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dL pada umur 3 hari, dan akan
mengalami penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak

12

terkonjugasi akan meningkat menjadi 10 sampai 12 mg/dL pada umur 5
hari (Cloherty JP (2004) dalam Azlin et al (2013)). Ikterus neonatorum
merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan
rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada
neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang
dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus
lebih banyak dan usianya lebih pendek. Banyak bayi baru lahir, terutama
bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi < 37
minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Pada
kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya
dan

tidak

memerlukan

pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki

penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada
akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil
memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik
(ikterus non-fisiologis) (Hidayat, 2009). Salah satu penyebab mortalitas
pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai
kern-ikterus). Ensefalopati bilirubin (EB) adalah komplikasi ikterus
neonatorum non fisiologis sebagai akibat efek toksis bilirubin tak
terkonjugasi terhadap susunan syaraf pusat (SSP). Istilah lain adalah
kernikterus yang berarti yellow kern titik-titik warna kuning yang terjadi
mengenai sebagian besar struktur SSP, yang ditemukan pada autopsi bayi
yang meninggal karena ensefalopati bilirubin (Usman, 2007). Ensefalopati
bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat.
Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan
gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia
dental yang sangat memengaruhi kualitas hidup (Munir, 2012). Pada
dasarnya warna kekuningan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena
beberapa hal, antara lain

:

a. Produksi bilirubin yang berlebihan misalnya pada pemecahan sel
darah merah (hemolisis) yang berlebihan pada incompabilitas
(ketidaksesuaian) darah bayi dengan ibunya.

13

b. Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi akibat dari
gangguan fungsi liver.
c. Gangguan proses tranportasi karena kurangnya albumin yang
meningkatkan bilirubin indirek.
d. Gangguan ekskresi yang terjadi akibat sumbatan hepar karena
infeksi atau kerusakan sel hepar (kelainan bawaan) (Hasan, 2007).
Pada ikterus fisiologis menurut Muslihatan (2010)

:

1. Timbul pada hari ke-2 dan ke-3
2. Kadar bilirubin indirek < 10 mg% (pada neonatus cukup bulan)
3. Kadar bilirubin indirek 70 pg/ml, dan disertai gejala klinis. (Utomo M.T (2010) dalam
Rohsiswatmo R ( 2007)). Risiko untuk mengalami sepsis neonatal bersifat
multifaktorial dan berhubungan dengan belum matangnya sistem humoral,
fagosit dan imunitas seluler (biasanya terjadi pada bayi prematur dan berat
bayi lahir rendah), hipoksia, asidosis dan gangguan metabolisme. Insiden
sepsis neonatal juga dipengaruhi oleh status ekonomi, proses persalinan,

16

ras, jenis kelamin (laki-laki 4 kali lebih mudah terinfeksi dari pada
perempuan), dan standar perawatan bayi (Lihawa M.Y et al (2013) dalan
Kardana I.M (2011)).

2.2.3.2.

Faktor Ibu

A. Kaitan Umur Ibu dengan Kematian Neonatus.
Risiko untuk terjadi kematian neonatal pada ibu yang berusia kurang dari
20 tahun atau 35 tahun ke atas 1,5 kali lebih besar daripada ibu berusia 2034 tahun (Afifah et al, 2007). Umur ibu sangat berpengaruh terhadap
kematian neonatal, umur ibu yang terlalu muda yaitu < 20 tahun
kondisinya belum siap untuk menerima kehamilan karena anatomi
tubuhnya belum sempurna, akibat resiko kematian maternal dan perinatal
akan meningkat, sedangkan umur ibu yang >35 tahun anatomi tubuhnya
sudah mulai mengalami degenerasi sehingga kemungkinan terjadi
komplikasi pada saat kehamilan dan persalinan akan meningkat, akibatnya
kematian neonatal semakin besar (Magdalena et al, 2012).

B. Kaitan Pemeriksaan ANC dengan Kematian Neonatus.
Untuk menghindari risiko komplikasi pada kehamilan dan persalinan,
anjurkan setiap ibu hamil untuk melakukan kunjungan antenatal
komprehensif yang berkualitas minimal 4 kali, termasuk minimal 1 kali
kunjungan diantar suami/pasangan atau anggota keluarga, sebagai berikut
(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Tabel 2.2. Waktu Pemeriksaan ANC
Jumlah kunjungan

Waktu kunjungan yang

minimal

dianjurkan

I

1x

Sebelum minggu ke 16

II

1x

Antara minggu ke 24-28

III

2x

Trimester

Antara minggu 30-32
Antara minggu 36-38

17

Dari 38 responden dimana Pelayanan ANC 4x sebanyak 15 neonatus
(39,5%), diantaranya 13 neonatus (34,2%) meninggal 48 jam (Magdalena et al, 2012).

C. Kaitan Paritas dengan Kematian Neonatus
Bayi yang mati pada usia neonatal dari ibu dengan paritas 0 dan 4
persentasenya lebih besar (75,86%) dari pada bayi yang hidup pada ibu
yang berparitas sama (27,59%), sedangkan ibu dengan paritas 1 sampai 3
persentase neonatal yang hidup (72,41%) lebih besar dibandingkan dengan
neonatal yang mati (24,14%). Hal ini berkaitan dengan belum pulihnya
organ reproduksi dalam menerima terjadinya kehamilan. Apabila jumlah
paritas kecil maka otot uterus masih kuat, kekuatan mengejan belum
berkurang, kejadian komplikasi persalinan maupun partus lama yang dapat
membahayakan ibu maupun bayinya akan semakin kecil ( Wahid, 2000).

D. Kaitan Jarak Kelahiran dengan Anak sebelumnya dengan Kematian
Neonatus.
Kematian neonatal dengan karakteristik jarak kelahiran kurang dari 15 bulan
dengan anak sebelumnya (3,5%) lebih tinggi dibanding kematian neonatal
yang berjarak 15 bulan ke atas (1,4%) (Afifah et al, 2007).

E. Kaitan Komplikasi Kehamilan dengan Kematian Neonatus
Prevalensi kematian neonatal dua kali lebih tinggi pada ibu yang mengalami
komplikasi ketika bersalin seperti perdarahan, demam dan lendir berbau,
kejang/eklampsi dibanding ibu yang tidak mengalami komplikasi ketika
bersalin. Analisis regresi logistik bivariat menunjukkan risiko kematian
neonatal 2 kali lebih besar pada bayi yang dalam proses persalinan ibunya
mengalami komplikasi demam tinggi dan lendir berbau serta kejang. Dari

18

hasil analisis regresi logistik, terlihat bahwa lima buah variabel perawatan
ketika bersalin yaitu penolong persalinan, komplikasi persalinan seperti
mules kuat dan teratur lebih dari sehari semalam, perdarahan, demam tinggi
dan lendir berbau, serta kejang, memenuhi syarat sebagai determinan
potensial (Afifah et al, 2007)

2.2.3.3. Faktor Pelayanan Kesehatan
Pelayanan kesehatan ibu hamil bertujuan mengawasi dan
menangani ibu hamil dan ibu bersalin, asuhan dan pemeriksaan ibu sesudah
persalinan, asuhan neonatus, pemeliharaan dan pemberian laktasi (Manuaba,
2010). Perawatan yang tidak adekuat dan tidak tepat selama hamil, bersalin,
dan beberapa jam setelah melahirkan juga mempunyai konsekuensi terhadap
terjadinya kematian bayi baru lahir. Ada hubungan yang signifikan antara
pertolongan persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan ibu
yang mendapat pertolongan persalinan bukan dengan tenaga kesehatan
berisiko 3,6 kali untuk mengalami kematian neonatal dibandingkan dengan
bayi yang mendapatkan pertolongan persalinan dari tenaga kesehatan.
Penelitian sebelumnya menemukan hubungan yang bermakna antara
penolong persalinan dengan kematian neonatal. Ada hubungan bermakna
antara penolong persalinan dengan kematian neonatal. Bayi yang dilahirkan
dari ibu yang ditolong oleh dukun berisiko kematian neonatal 6,07 kali lebih
besar dibanding bayi yang lahir ditolong oleh tenaga kesehatan (Prabamurti,
2008). Risiko kejadian kematian neonatal 2,4 kali lebih besar pada bayi
yang ketika dikandung diperiksa oleh dukun atau tidak diperiksa dibanding
bayi yang diperiksa oleh tenaga kesehatan (medis atau paramedis) (afifah et
al, 2007). Proporsi persalinan di fasilitas kesehatan masih rendah, yaitu
sebesar 55 persen. Lebih dari setengah perempuan di 20 provinsi tidak
mampu atau tidak mau menggunakan jenis fasilitas kesehatan apapun,
sebagai penggantinya mereka melahirkan di rumah mereka sendiri.
Perempuan yang melahirkan di fasilitas kesehatan memungkin untuk
memperoleh akses ke pelayanan obstetrik darurat dan perawatan bayi baru

19

lahir, meskipun pelayanan ini tidak selalu tersedia di semua fasilitas
kesehatan (Unicef, 2012).
Kontribusi faktor keterlambatan untuk mendapatkan perawatan yang
berkualitas bagi bayi yang sakit merupakan salah satu dari penyebab
kematian neonatal (Depertemen Kesehatan RI, 2001). Harapan hidup dari
bayi berat lahir rendah seringkali rendah, karena banyak yang terlambat atau
bahkan tidak mencari pengobatan. Menurut Djaja dan Soeharsono pada
tahun (2001) keterlambatan ini terjadi pada empat masalah yaitu:

1. Keterlambatan dalam mengenal masalah ketika di rumah. Untuk bayi-bayi
yang dilahirkan di rumah dengan keadaan sakit dapat berubah menjadi
buruk dengan cepat, seringkali dalam hitungan jam. Tanda dan gejalanya
seringkali samar, sehingga anggota keluarga dan bahkan petugas kesehatan
tidak mengenal dan tidak dapat mengidentifikasi tanda bahaya.
2. Keterlambatan dalam memutuskan untuk mencari pengobatan. Bahkan
setelah tanda dan gejala diketahui, keluarga tidak segera mencari
pengobatan dengan berbagai alasan seperti: tidak mengerti bahwa kasus
tersebut merupakan kasus emergensi, kesulitan biaya dan transportasi,
lebih mempercayai dukun, pengalaman yang buruk sebelumnya dengan
petugas kesehatan dan lain-lain.
3. Keterlambatan dalam mencapai fasilitas kesehatan akibat hambatan
transportasi dan sumber daya.
4. Keterlambatan dalam menerima perawatan yang berkualitas pada fasilitas
kesehatan. Banyak kasus kematian neonatal berkaitan langsung dengan
pemanfaatan pelayanan kesehatan ibu yang tidak adekuat. Seringkali
keterlambatan dialami ibu atau bayinya menerima pengobatan walaupun
mereka telah mencapai fasilitas kesehatan, seperti: Tenaga, peralatan, dan
obat-obatan tidak adekuat, fasilitas operasi hanya beberapa jam atau
beberapa hari dalam satu minggu, tidak ada protokol standar dalam
mempertahankan kualitas pelayanan, tidak ada sistem rapid assessment

20

untuk ibu atau bayi, provider tidak terampil, dan kemampuan interpersonal
staf kurang.