Hubungan Faktor Risiko Kematian Neonatus Dengan Kejadian Kematian Neonatus Di Rsud Ferdinand Lumban Tobing Sibolga Tahun 2011-2014

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan Indonesia diarahkan untuk meningkatkan

derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia, yang dapat dilihat dengan
upaya meningkatkan usia harapan hidup, menurunkan angka kematian ibu dan anak,
meningkatkan kesejahteraan keluarga, meningkatkan produktifitas kerja, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperilaku hidup sehat (Depkes RI,
2009). Salah satu upaya untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan Indonesia
adalah dengan menurunkan angka kematian bayi. Usia bayi merupakan kondisi yang
rentan baik terhadap kesakitan maupun kematian (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2012). Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB
termasuk Indonesia, yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat
untuk mengadopsi Deklarasi Milenium. Negara-negara anggota PBB kemudian
mengadopsi


Tujuan

Pembangunan

Milenium

(Millennium

Development

Goals/MDGs) yang setiap tujuan memiliki satu atau beberapa target beserta

indikatornya (Bappenas, 2005).
Millennium Development Goals memiliki 8 tujuan, yang salah satunya

bertujuan untuk menurunkan angka kematian anak (tujuan ke-4). Tujuan ini
mempunyai target menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua pertiga antara
1990 dan 2015 dengan indikator Angka Kematian Balita, Angka Kematian Bayi,
Persentase anak di bawah satu tahun yang di imunisasi Campak (Population and

Development Strategies Series Number 10, UNFPA, 2003). Menurut WHO (World
Health Organization) pada tahun (2013) angka kematian neonatus dunia mencapai

36 per 1000 kelahiran hidup (KH), angka ini menurun dari tahun 2012 sebesar 37 per
1000 KH.
Di indonesia upaya untuk menurunkan angka kematian anak sudah sejalan
dengan sasaran MDGs. Hal ini ditunjukkan dengan penurunan angka kematian balita
dari 97 (tahun 1991) menjadi 44 per seribu kelahiran hidup (tahun 2007); penurunan
angka kematian bayi dari 68 menjadi 34 per seribu kelahiran; dan neonatal dari 32

2

menjadi 19 per seribu kelahiran. Sedangkan proporsi anak usia 1 tahun yang
diimunisasi campak meningkat dari 44,50 persen (tahun 1991) menjadi 87,30 persen
(tahun 2011) (Bappenas, 2012).
Program kesehatan bayi baru lahir tercakup di dalam program kesehatan ibu.
Dalam rencana strategi nasional Making Pregnancy Safer ,

target dari dampak


kesehatan untuk bayi baru lahir adalah menurunkan angka kematian neonatal
menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup (KH) (Departemen Kesehatan RI, 2001).
Berdasarkan laporan SDKI 2007 dan 2012 angka kematian neonatus diestimasikan
sebesar 19 per 1.000 KH. Kematian neonatus menyumbang lebih dari setengah dari
kematian bayi (59,4%), sedangkan jika dibandingkan dengan angka kematian balita,
kematian

neonatus menyumbangkan 47,5%. Hasil estimasi angka kematian

neonatus di atas merupakan AKN dalam periode 5 tahun terakhir sebelum survei,
misalnya pada SDKI tahun 2012 menggambarkan AKN untuk periode 5 tahun
sebelumya yaitu tahun 2008-2012 yang sebesar 19 per 1.000 kelahiran hidup.
Provinsi dengan AKN (Angka Kematian Neonatus) terendah yaitu Kalimantan Timur
sebesar 12 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan AKN tertinggi terdapat di Provinsi
Maluku Utara sebesar 37 per 1.000 kelahiran hidup, diikuti oleh Papua Barat sebesar
35 per 1.000 kelahiran hidup dan Nusa Tenggara Barat sebesar 33 per 1.000
kelahiran hidup. Terdapat 39% provinsi (13 provinsi) menunjukkan peningkatan
Angka Kematian Neonatus antara tahun 2007-2012 yaitu Aceh, Sumatera Utara,
Bengkulu, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Yogyakarta, Bali, Kalimantan Tengah,
Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Kementerian

Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
WHO (2012) memperkirakan lebih dari 2,8 juta bayi meninggal pada 28 hari
kehidupan pertama (periode neonatal) dimana 75% kematian neonatus terjadi pada
minggu pertama kehidupan, dan sekitar 25 – 45% terjadi pada 24 jam pertama
kehidupan. Lima puluh persen dari kematian neonatus terjadi pada bayi berat lahir
rendah (BBLR). Kematian bayi baru lahir sampai umur 7 hari lebih merupakan 50%
dari kematian bayi. BBLR pre term berisiko kematian neonatus dini 52,1 kali lebih
besar dan BBLR term mempunyai resiko kematian 4,2 kali dibandingkan bayi berat
badan normal (Suryatni (2004) dalam Abdullah et al (2012)). Kematian neonatus

3

atau bayi berumur 0-28 hari di Indonesia masih cukup tinggi yaitu 48%, dimana
kematian tertinggi ada pada umur 0 hari, diikuti hari pertama dan hari kedua sesudah
kelahiran bayi. Kematian neonatus di Indonesia dikarenakan prematuritas (44%),
asfiksia (21%), kelainan kongenital (13%), sepsis dan keadaan infeksi lainnya (11%),
pneumonia (4%), diarrhea (1%), penyakit lainnya (6%), non communicable disease
(1%) (WHO, 2013). Penyebab kematian neonatus 0-6 hari di Indonesia adalah
asfiksia (37 persen), prematuritas (34 persen), dan sepsis (12 persen). Sementara itu,
penyebab kematian neonatus 7-28 hari adalah sepsis (20,5 persen), kelainan

kongenital (19 persen), pneumonia (17 persen), respiratory distress syndrome/ RDS
(14 persen), dan prematuritas (14 persen). Sedangkan di Divisi Perinatologi RSUPN
Cipto Mangunkusumo sendiri, angka kematian neonatus karena sepsis mencapai 30
persen dari angka kematian neonatus yaitu 42,7 per 1000 kelahiran hidup pada 2009.
Di daerah Sumatera Utara sendiri angka kematian neonatus mencapai 25 per 1000
kelahiran hidup dan angka kematian bayi 46 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2007).
Berdasarkan tingkat pendidikan dan status ekonomi terdapat kecenderungan
semakin tinggi tingkat pendidikan dan status ekonomi, semakin rendah persentase
berat badan lahir