Gangguan Pembentukan Afiks Dalam Tuturan Bahasa Indonesia Pada Anak Autisme

(1)

8 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Afiks dalam Bahasa Indonesia

Putrayasa (2008: 5) mengatakan afiks adalah bentuk linguistik yang pada suatu kata merupakan unsur langsung dan bukan kata atau pokok kata, yang memiliki kemampuan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Ramlan (1987 : 56) mengatakan bahwa setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatika selalu melekat pada satuan lain.

Chaer (2008: 23) mengatakan morfem afiks adalah morfem yang tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, tetapi hanya menjadi unsur pembentuk dalam proses afiksasi. Dalam proses afiksasi sebuah afiks diimbuhkan pada bentuk dasar sehingga hasilnya menjadi sebuah kata.

Jadi, afiks ialah suatu bentuk terikat apabila ditambahkan pada suatu bentuk lain akan mengubah makna gramatikalnya dan membentuk kata baru. Afiks disebut juga imbuhan. Misalnya, pada kata menulis, mainan, dan sadarkan terdapat afiks men-, -an, dan –kan.

2.1.2 Gangguan Berbahasa

Gangguan berbahasa pada dasarnya disebabkan adanya keretakan atau kelainan medan-medan bahasa di korteks yang mendasari bahasa. Gangguan


(2)

9

berbahasa (language disorder) dipakai sebagai istilah umum yang luas untuk melukiskan perilaku berbahasa tertentu yang abnormal, dan kekurangan perilaku lainnya yang dialami seorang anak yang berlainan atau menyimpang dari perilaku anak-anak yang seumur dengannya (Simanjuntak, 2009: 248).

Chaer (2009: 148) menjelaskan gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Gangguan akibat faktor medis adalah gangguan baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara, sedangkan gangguan akibat faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.

2.1.3 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia, sebagaimana tersirat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan bahasa negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD RI 1945 Bab XV Pasal 36.

Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tulisan. Tuturan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang lazim dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama dalam percakapan.

Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai alat komunikasi verbal dalam hubungan antarwarga, antardaerah, dan antarsuku bangsa. Bahasa Indonesia bukan hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal


(3)

10

balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku tetapi juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya (Salliyanti, 2011: 5).

2.1.4 Autisme

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘auto’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).

Kata autisme mengacu pada gangguan atau kelainan. Autisme pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner (Simanjuntak, 2009: 249). Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Ciri-cirinya menunjukkan adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial yang terjadi sebelum umur tiga tahun yaitu, komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek, yang mana


(4)

11

mereka memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.

Jadi, anak autisme merupakan penyandang autisme yang mengalami masalah gangguan perkembangan otak yang memengarungi banyak fungsi, terutama memengaruhi fungsi komunikasi verbalnya.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks (Putrayasa, 2008: 5). Proses pengafiksan dapat dibedakan menjadi (1) pembubuhan depan, dengan melibatkan prefiks atau awalan, (2) pembubuhan akhir, dengan melibatkan sufiks atau akhiran, (3) pembubuhan tengah, dengan melibatkan infiks atau sisipan, dan (4) pembubuhan terbelah dengan melibatkan konfiks (Cahyono, 1995: 110).

Menurut Verhaar (2001 : 107-108) afiks dalam proses afiksasi ada 4 macam, yaitu:

a. Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut “prefiksasi”. Contoh: prefiks {men-} seperti: mencuri; prefiks {pen-} seperti dalam pengurus; prefiks {ke-} dalam kedua; prefiks {se-} seperti dalam setinggi; {ber-} seperti dalam berjuang, belajar; {memper-} seperti dalam memperbanyak atau memperkuat.


(5)

12

b. Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut “ sufiksasi”. Contoh: sufiks {-an}, seperti dalam akhiran dan tuntutan, {-wan} dan {-wati} seperti dalam wartawan dan wartawati; {-ku}, {-mu} dan {-nya} seperti dalam mainanku, mainanmu dan mainannya.

c. Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses yang namanya “infiksasi”. Contoh: infiks {-el-} dalam kata telunjuk; dan {-em-} dalam kata gemetar.

d. Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam proses yang dinamai “konfiksasi, atau “simulfiksasi”, atau “ambifiksasi”, atau “sirkumfiksasi”. Contoh: konfiks {men-kan}, {memper-kan}, {men-i}, {memper-i} seperti dalam menyembelihkan, mempermainkan, menduduki, dan memperingati; {ke-an}seperti dalam keindahan, ketinggian.

2.2.2 Neurolinguistik

Bahasa berdomisili di hemisfer kiri otak. Penemuan pertama pusat bahasa di hemisfer kiri otak ini adalah Carl Wernicke. Pada tahun 1874 Carl Wernicke memastikan dengan jelas sebuah fakta, bahwa terdapat perbedaan linguistik di antara afasia yang ditimbulkan oleh kerusakan pada lobus temporal kiri (Medan Wernicke) dengan afasia yang ditimbulkan oleh kerusakan pada lobus frontal (depan) kiri (Medan Broca). Medan Wernicke ini dianggap terlibat dalam pengenalan pola-pola bahasa ucapan. Kerusakan pada medan Wernicke mengakibatkan kegagalan untuk memahami bahasa ucapan (bahasa lisan).


(6)

13

Pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan otak. Broca yang pertama kali membuktikan, bahwa afasia berhubungan dengan keretakan otak yang spesifik dan juga menunjukkan, bahwa keretakan-keretakan ini terjadi di hemisfer kiri otak. Broca membuktikan bahwa terdapat lokalisasi khusus di hemisfer kiri otak untuk memeroduksi bahasa. Broca mengajukan tiga rumusan mengenai hubungan otak dengan bahasa: 1) artikulasi bahasa diproses di hemisfer kiri otak bagian depan; 2) terdapat dominasi hemisfer kiri dalam artikulasi bahasa; 3) memahami bahasa merupakan tugas kognitif yang berlainan dari memproduksi bahasa. Selanjutnya, Wernicke menemukan bahwa medan Broca dan medan Wernicke dihubungkan oleh sebuah lajur syaraf yang besar yaitu busur fasikulus (arcuate fasciculus).

2.2.3 Gangguan Berbahasa

Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan artikulasi) yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa).

Anak autisme mengalami keterbatasan dalam berbahasa. Kita tidak dapat berkomunikasi verbal secara normal dengan anak autisme karena terjadinya kerusakan bahasa. Kerusakan bahasa yang terjadi pada anak autisme itu dapat juga disebut afasia. Afasia adalah kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan bicara karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak (KBBI, 2008: 13). Dalam


(7)

14

Chaer (2009: 156-158) kajian tentang afasia atau afasiologi dalam perkembangannya menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat membingungkan, tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke. Berikut dibicarakan jenis-jenis afasia itu.

a. Afasia Motorik

Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:

1. Afasia motorik Kortikal

Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak dapat sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih dapat dilakukan.

2. Afasia Motorik Subkortikal

Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua


(8)

15

perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain, perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih dapat berekspresi verbal dengan membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.

3. Afasia Motorik Transkortikal

Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan langsung antara daerah Broca dan Wernice. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderitanya dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?” Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan perkataan,”itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis.” Afasia ini disebut juga afasia nominatif.

b. Afasia Sensorik

Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu


(9)

16

terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri atas kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.

Neologisme itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya (bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Gustianingsih (2009) dalam disertasi berjudul “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder”, menyimpulkan bahwa anak autisme sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autisme mengalami


(10)

17

gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autisme ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirnya tidak tuntas.

Rajagukguk (2012) dalam skripsinya berjudul “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca”, menjelaskan bahwa kalimat inti bahasa Indonesia pada penderita Afasia Broca tidak sempurna karena adanya gangguan pada saraf medan Broca di hemisfer kiri otak. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Abdul Chaer 2007 dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan hanya pada bagian yang paling “inti” dari sebuah kalimat yang memiliki empat pola, yaitu pola “FN + FN, FN + Fnum, FV + FN, dan FP”. Gangguan berbahasa yang dialami adalah pelesapan/penghilangan unsur kebahasaan dan pertukaran unsur kebahasaan kalimat inti bahasa Indonesia.

Girsang (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”, menjelaskan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan berbahasa dalam penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), dan omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa). Pola kalimat dasar yang mereka ucapkan ada tiga, yaitu “P – K, P – Pel, dan S – O”. Kalimat dasar yang


(11)

18

diucapkan oleh penyandang spektrum autisme berbeda dengan kalimat dasar yang diucapkan oleh manusia normal.

Aritonang (2014) dalam skripsinya berjudul “Kosakata Kerja Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik Behaviorisme”, menjelaskan tentang kosakata kerja kerja bahasa Indonesia yang paling sering digunakan pada anak autistik ringan. Skripsinya menggunakan teori psikolinguistik behaviorisme oleh Watson yang mengemukakan tentang dua prinsip yaitu recency principle (prinsip kebaruan), dan frequency principle (prinsip frekuensi). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kosakata kerja bahasa Indonesia yang paling banyak dikuasai anak autistik ringan usia 3-15 tahun adalah kosakata kerja keadaan dibandingkan dengan kosakata proses dan tindakan.

Beberapa tinjauan pustaka di atas merupakan sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Kajian dalam tinjauan pustaka di atas menjadi sumber referensi bagi peneliti dalam meneliti gangguan berbahasa pada anak autisme, terutama melihat teori-teori untuk mengkaji tentang ganggguan berbahasa dan anak autisme. Tinjauan pustaka tersebut menunjukkan bahwa penelitian terhadap gangguan berbahasa pada anak autisme sudah pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi penelitian tentang gangguan pembentukan afiks pada anak autisme belum pernah ditemukan. Tinjauan pustaka di atas menjelaskan bahwa gangguan berbahasa terjadi pada anak autisme karena adanya kerusakan syaraf otak pada hemisfer kiri. Oleh karena itu, anak autisme dalam berbagai aspek kebahasaan memiliki kekurangan yang beraneka ragam.


(1)

13

Pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan otak. Broca yang pertama kali membuktikan, bahwa afasia berhubungan dengan keretakan otak yang spesifik dan juga menunjukkan, bahwa keretakan-keretakan ini terjadi di hemisfer kiri otak. Broca membuktikan bahwa terdapat lokalisasi khusus di hemisfer kiri otak untuk memeroduksi bahasa. Broca mengajukan tiga rumusan mengenai hubungan otak dengan bahasa: 1) artikulasi bahasa diproses di hemisfer kiri otak bagian depan; 2) terdapat dominasi hemisfer kiri dalam artikulasi bahasa; 3) memahami bahasa merupakan tugas kognitif yang berlainan dari memproduksi bahasa. Selanjutnya, Wernicke menemukan bahwa medan Broca dan medan Wernicke dihubungkan oleh sebuah lajur syaraf yang besar yaitu busur fasikulus (arcuate fasciculus).

2.2.3 Gangguan Berbahasa

Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan artikulasi) yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa).

Anak autisme mengalami keterbatasan dalam berbahasa. Kita tidak dapat berkomunikasi verbal secara normal dengan anak autisme karena terjadinya kerusakan bahasa. Kerusakan bahasa yang terjadi pada anak autisme itu dapat juga disebut afasia. Afasia adalah kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan bicara karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak (KBBI, 2008: 13). Dalam


(2)

14

Chaer (2009: 156-158) kajian tentang afasia atau afasiologi dalam perkembangannya menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat membingungkan, tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke. Berikut dibicarakan jenis-jenis afasia itu.

a. Afasia Motorik

Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:

1. Afasia motorik Kortikal

Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak dapat sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih dapat dilakukan.

2. Afasia Motorik Subkortikal

Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua


(3)

15

perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain, perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih dapat berekspresi verbal dengan membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.

3. Afasia Motorik Transkortikal

Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan langsung antara daerah Broca dan Wernice. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderitanya dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?” Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan perkataan,”itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis.” Afasia ini disebut juga afasia nominatif.

b. Afasia Sensorik

Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu


(4)

16

terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri atas kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.

Neologisme itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya (bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Gustianingsih (2009) dalam disertasi berjudul “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder”, menyimpulkan bahwa anak autisme sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autisme mengalami


(5)

17

gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autisme ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirnya tidak tuntas.

Rajagukguk (2012) dalam skripsinya berjudul “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca”, menjelaskan bahwa kalimat inti bahasa Indonesia pada penderita Afasia Broca tidak sempurna karena adanya gangguan pada saraf medan Broca di hemisfer kiri otak. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Abdul Chaer 2007 dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan hanya pada bagian yang paling “inti” dari sebuah kalimat yang memiliki empat pola, yaitu pola “FN + FN, FN + Fnum, FV + FN, dan FP”. Gangguan berbahasa yang dialami adalah pelesapan/penghilangan unsur kebahasaan dan pertukaran unsur kebahasaan kalimat inti bahasa Indonesia.

Girsang (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”, menjelaskan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan berbahasa dalam penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), dan omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa). Pola kalimat dasar yang mereka ucapkan ada tiga, yaitu “P – K, P – Pel, dan S – O”. Kalimat dasar yang


(6)

18

diucapkan oleh penyandang spektrum autisme berbeda dengan kalimat dasar yang diucapkan oleh manusia normal.

Aritonang (2014) dalam skripsinya berjudul “Kosakata Kerja Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik Behaviorisme”, menjelaskan tentang kosakata kerja kerja bahasa Indonesia yang paling sering digunakan pada anak autistik ringan. Skripsinya menggunakan teori psikolinguistik behaviorisme oleh Watson yang mengemukakan tentang dua prinsip yaitu recency principle (prinsip kebaruan), dan frequency principle (prinsip frekuensi). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kosakata kerja bahasa Indonesia yang paling banyak dikuasai anak autistik ringan usia 3-15 tahun adalah kosakata kerja keadaan dibandingkan dengan kosakata proses dan tindakan.

Beberapa tinjauan pustaka di atas merupakan sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Kajian dalam tinjauan pustaka di atas menjadi sumber referensi bagi peneliti dalam meneliti gangguan berbahasa pada anak autisme, terutama melihat teori-teori untuk mengkaji tentang ganggguan berbahasa dan anak autisme. Tinjauan pustaka tersebut menunjukkan bahwa penelitian terhadap gangguan berbahasa pada anak autisme sudah pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi penelitian tentang gangguan pembentukan afiks pada anak autisme belum pernah ditemukan. Tinjauan pustaka di atas menjelaskan bahwa gangguan berbahasa terjadi pada anak autisme karena adanya kerusakan syaraf otak pada hemisfer kiri. Oleh karena itu, anak autisme dalam berbagai aspek kebahasaan memiliki kekurangan yang beraneka ragam.