Gangguan Pembentukan Afiks Dalam Tuturan Bahasa Indonesia Pada Anak Autisme

(1)

1

GANGGUAN PEMBENTUKAN AFIKS DALAM TUTURAN

BAHASA INDONESIA PADA ANAK AUTISME

SKRIPSI

OLEH :

NILA RAHAYU

NIM : 110701032

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

MEDAN

2015


(2)

i

GANGGUAN PEMBENTUKAN AFIKS DALAM TUTURAN

BAHASA INDONESIA PADA ANAK AUTISME

SKRIPSI

OLEH NILA RAHAYU

110701032

Skripsi ini diajukan untuk melengkapi persyaratan memeroleh gelar sarjana Sastra Indonesia di Universitas Sumatera Utara dan telah disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Gustianingsih, M.Hum. Dra. Rosliana Lubis, M.Si. NIP. 19640828 198903 2 001 NIP. 19630524 198903 2 002

Diketahui,

Ketua Departemen Sastra Indonesia

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memeroleh gelar kesarjanaan pada suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya perbuat ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar yang saya peroleh.

Medan, Oktober 2015 Hormat Saya,


(4)

iii

GANGGUAN PEMBENTUKAN AFIKS DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA PADA ANAK AUTISME

NILA RAHAYU

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Gangguan Pembentukan Afiks dalam Bahasa Indonesia pada Anak Autisme”. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gangguan pembentukan afiks dalam bahasa Indonesia pada anak autisme dan mendeskripsikan hubungan gangguan pembentukan afiks dengan afasia yang diderita anak autisme. Sumber data dalam penelitian ini adalah anak autisme yang berusia 8-13 tahun berjumlah tiga orang di Yayasan Sekolah Tali Kasih Medan. Penelitian ini menggunakan teori pembagian afiks Verhaar (2001), neurolinguistik Broca dan Wernicke, dan gangguan berbahasa Haron (1997) serta Abdul Chaer (2009). Metode penelitian menggunakan ancangan Sudaryanto. Dalam pengumpulan data menggunakan metode simak dan metode cakap, teknik libat cakap, teknik pancing, dan teknik catat serta teknik rekam. Selanjutnya dalam menganalisis data digunakan metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa, dan menggunakan teknik lanjutan hubung banding memperbedakan (teknik HBB) dengan anak normal. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa anak autisme berusia 8-13 tahun memiliki kemampuan yang berbeda dalam membentuk afiks. Semakin besar usia, semakin berkembang baik kemampuan pembentukan afiks sejalan dengan banyaknya bimbingan yang telah diberikan oleh terapis dan orang tua mereka. Pembentukan prefiks dan sufiks lebih dikuasai anak autisme daripada pembentukan infiks dan konfiks. Anak autisme usia tersebut mengalami gangguan berbahasa berupa afasia motorik subkortikal serta gangguan berbahasa seperti omission (penghilangan unsur bahasa), substitussion (pertukaran unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa) dalam pembentukan afiks.

Kata kunci : Afiks Bahasa Indonesia, Autisme, Ganguan Berbahasa, Neurolinguistik.


(5)

iv

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi ini dari awal hingga selesainya penulisan skripsi ini.

Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada kedua orang tua tercinta, Abah Sutomo dan Mamak Nur Aini sebagai salah satu bentuk hadiah atas doa dan limpahan kasih sayang yang telah diberikan untuk penulis. Terima kasih yang tiada henti karena telah membesarkan dan mendidik penulis dengan semua pengorbanan, dukungan baik material maupun spiritual, perhatian, waktu serta motivasi kepada penulis.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis juga banyak mendapatkan bantuan baik berupa doa, dukungan, perhatian, bimbingan, dan nasihat dari berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada pihak-pihak di bawah ini:

1. Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas sumatera Utara. Dr. Husnan Lubis, M.A. selaku pembantu Dekan I, Drs. Syamsul Tarigan selaku pembantu Dekan II, dan Drs. Yudi Andrian Mulyadi, M.Hum selaku Pembantu Dekan III.

2. Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia dan Drs. Haris Sultan Lubis, M.SP. selaku Sekertaris Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.


(6)

v

3. Dr. Gustianingsih, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I dan Dosen Pembimbing Akademik penulis. Terima kasih atas segala waktu, ilmu pengetahuan, kesabaran, juga pengalaman yang sangat berarti untuk penulis selama beliau mengikutsertakan penulis dalam penelitian Beliau. Ibu telah banyak memberi semangat, motivasi, serta nasihat selama memberikan bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Dra. Rosliana Lubis, M.Si. selaku Dosen Pembimbing II. Terima kasih atas kesabaran Ibu membimbing penulis, serta memberi dukungan dan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

5. Seluruh staf pengajar Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara yang telah banyak memberikan bekal dan pengetahuan, baik dalam bidang linguistik, sastra, maupun bidang-bidang umum lainnya.

6. Bapak Slamet yang telah banyak membantu penulis dalam hal administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

7. Kelima kakak kandung dan abang ipar penulis, Syafrida (Butet) dan Amri, Maya dan Khairul, Dede dan Rifani, Nur Hafiza, serta Malahayati dan Kabul yang telah banyak membantu penulis berupa motivasi, masukan serta bantuan material untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Sahabat-sahabat teristimewa penulis, Dini Hadeati, Chairani Hasibuan, Sri Wahyuni Simatupang, Suci Indah Lestari, Cut Cahyani, Adha Devika, M. Rozy Rizkyansyah, Rachman Syah, dan Gun Aidie Simatupang. Terima kasih atas semua perhatian, kasih sayang, dan kekeluargaan yang kita bangun


(7)

vi

selama ini, serta teman-teman seperjuangan stambuk 2011 terima kasih sudah memberikan dukungan, doa dan semangat kepada peneliti.

9. Seluruh keluarga Pramuka penulis, adik-adik dan kakak-kakak di SMPN 10 Medan dan SMPN 16 Medan yang telah memberikan semangat, doa, dan selalu membuat penulis tersenyum bahagia.

10. Adik-adik yang menjadi subjek dalam penelitian ini, Aiga, Fahlevi, dan Jolyn. Terima kasih untuk kebersamaan singkat kita. Kalian adalah anak-anak yang istimewa dan hebat.

11. Kakak dan abang stambuk 2009-2010 dan adik-adik stambuk 2012-2013. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi perkembangan ilmu linguistik pada masa mendatang.

Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca mengenai “Gangguan Pembentukan Afiks dalam Tuturan Bahasa Indonesia pada Anak Autisme”.

Medan, Oktober 2015 Penulis,


(8)

vii DAFTAR ISI

PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN ... ii

ABSTRAK ... iii

PRAKATA ... iv

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 5

1.3 Ruang Lingkup Penelitian ... 5

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4.1 Tujuan Penelitian ... 6

1.4.2 Manfaat Penelitian ... 6

1.4.2.1 Manfaat Teoretis ... 6

1.4.2.2 Manfaat Praktis ... 6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1 Konsep ... 8

2.1.1 Afiks dalam Bahasa Indonesia ... 8

2.1.2 Gangguan Berbahasa ... 8

2.1.3 Bahasa Indonesia ... 9

2.1.4 Autisme ... 10


(9)

viii

2.2.1 Afiksasi ... 11

2.2.2 Neurolinguistik ... 12

2.2.3 Gangguan Berbahasa ... 13

2.3 Tinjauan Pustaka ... 16

BAB III METODE PENELITIAN ... 19

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.1.1 Lokasi Penelitian ... 19

3.1.2 Waktu Penelitian ... 19

3.2 Sumber Data ... 19

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 19

3.4 Metode dan Teknis Analisis Data ... 21

3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data ... 25

BAB IV PEMBAHASAN ... 27

4.1 Gangguan Pembentukan Afiks dalam Tuturan Bahasa Indonesia Anak Autistik ... 27

4.1.1 Gangguan Pembentukan Prefiks ... 27

4.1.2 Gangguan Pembentukan Sufiks ... 39

4.1.3 Gangguan Pembentukan Infiks ... 47

4.1.4 Gangguan Pembentukan Konfiks ... 49

4.2 Hubungan Gangguan Pembentukan Afiks dalam Bahasa Indonesia dengan Jenis Afasia yang Diderita Anak Autisme ... 56

4.2.1 Afasia Motorik Subkortikal ... 58


(10)

ix

5.1 Simpulan ... 66 5.2 Saran ... 67 DAFTAR PUSTAKA ... 68 LAMPIRAN 1: Surat Keterangan Penelitian


(11)

iii

GANGGUAN PEMBENTUKAN AFIKS DALAM TUTURAN BAHASA INDONESIA PADA ANAK AUTISME

NILA RAHAYU

FAKULTAS ILMU BUDAYA USU ABSTRAK

Penelitian ini berjudul “Gangguan Pembentukan Afiks dalam Bahasa Indonesia pada Anak Autisme”. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan gangguan pembentukan afiks dalam bahasa Indonesia pada anak autisme dan mendeskripsikan hubungan gangguan pembentukan afiks dengan afasia yang diderita anak autisme. Sumber data dalam penelitian ini adalah anak autisme yang berusia 8-13 tahun berjumlah tiga orang di Yayasan Sekolah Tali Kasih Medan. Penelitian ini menggunakan teori pembagian afiks Verhaar (2001), neurolinguistik Broca dan Wernicke, dan gangguan berbahasa Haron (1997) serta Abdul Chaer (2009). Metode penelitian menggunakan ancangan Sudaryanto. Dalam pengumpulan data menggunakan metode simak dan metode cakap, teknik libat cakap, teknik pancing, dan teknik catat serta teknik rekam. Selanjutnya dalam menganalisis data digunakan metode padan referensial yang alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa, dan menggunakan teknik lanjutan hubung banding memperbedakan (teknik HBB) dengan anak normal. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan bahwa anak autisme berusia 8-13 tahun memiliki kemampuan yang berbeda dalam membentuk afiks. Semakin besar usia, semakin berkembang baik kemampuan pembentukan afiks sejalan dengan banyaknya bimbingan yang telah diberikan oleh terapis dan orang tua mereka. Pembentukan prefiks dan sufiks lebih dikuasai anak autisme daripada pembentukan infiks dan konfiks. Anak autisme usia tersebut mengalami gangguan berbahasa berupa afasia motorik subkortikal serta gangguan berbahasa seperti omission (penghilangan unsur bahasa), substitussion (pertukaran unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa) dalam pembentukan afiks.

Kata kunci : Afiks Bahasa Indonesia, Autisme, Ganguan Berbahasa, Neurolinguistik.


(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Proses morfologi memunyai tugas untuk membentuk kata. Sebagian besar kata dibentuk dengan cara menggabungkan beberapa komponen yang berbeda. Proses pembentukan kata dari bentuk dasar melalui pembubuhan afiks merupakan bagian dari proses morfologi. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan berfokus membahas pembentukan afiks.

Afiks adalah suatu satuan gramatikal yang terikat di dalam suatu kata merupakan unsur yang bukan kata dan bukan pokok kata, memiliki kesanggupan melekat pada satuan-satuan lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru (Ramlan, 1983:48). Setiap afiks merupakan bentuk terikat yangtidak dapat berdiri sendiri dan harus melekat pada satuan lain seperti kata dasar. Pembubuhan afiks terhadap bentuk dasar dapat mengubah bentuk dasar menjadi kata baru, sehingga mengalami perubahan bentuk, perubahan kelas kata, dan perubahan makna.

Berdasarkan posisi melekatnya, afiks dibedakan atas: (1) prefiks atau awalan, (2) infiks atau sisipan, (3) sufiks atau akhiran, dan (4) konfiks atau awalan dan akhiran. Pembentukan afiks dilakukan dengan cara menggabungkan afiks dengan bentuk dasar. Contohnya, pada bentuk dasar baca diimbuhkan afiks me- sehingga membentuk kata membaca; pada bentuk dasar juang diimbuhkan afiks ber- sehingga membentuk kata berjuang. Jadi, pembentukan afiks atau proses


(13)

2

afiksasi adalah proses mengimbuhkan afiks ke dalam bentuk dasar sehingga hasilnya menjadi sebuah kata baru (Chaer, 2008: 27).

Setiap manusia dilahirkan dengan memiliki kemampuan fungsi otak untuk berbahasa. Kemampuan otak dalam berbahasa yang dimiliki manusia digunakan manusia untuk membentuk kata-kata yang akan diucapkannya. Manusia yang normal, fungsi otak dan alat bicaranya dapat berbahasa dengan baik. Namun, manusia yang memiliki kelainan fungsi otak dan alat bicara akan memunyai kesulitan dalam berbahasa. Hal tersebut menyebabkan kemampuan bahasanya terganggu.

Gangguan berbahasa biasa dikenal juga dengan sebutan afasia. (Kridalaksana, 2008: 2) Afasia adalah kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan untuk memakai bahasa lisan karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak.

Otak manusia memproses bahasa dengan cara mendekode dan mengenkode bahasa. Proses berbahasa dilakukan oleh bagian otak sebelah kiri atau disebut hemisfer kiri. Hemisfer kiri mengandung dan mengatur sebagian besar fungsi-fungsi linguistik, seperti morfologi dan sintaksis, fonologi, semantik dan leksikon, pemahaman ujaran dan proses-proses analitis bahasa yang lain. Selain itu, hemisfer kiri cenderung berpikir dalam kata-kata dan mengatur pemikiran logis dan perhitungan. Hemisfer kiri terdiri atas medan-medan bahasa yang memunyai fungsi masing-masing yang saling berhubungan dalam memproses bahasa. Medan-medan bahasa tersebut antara lain yaitu, korteks pendengaran utama, Medan Wernicke, Medan Broca, fasikulus busur, dan korteks motor.


(14)

3

Jika hemisfer kiri otak mengalami gangguan, maka tentu terjadi gangguan dalam berbahasa. Gangguan berbahasa dapat dipengaruhi karena salah satu atau lebih bagian medan bahasa di korteks mengalami gangguan. Untuk menentukan di mana terjadinya gangguan pada bagian medan bahasa di korteks, dapat ditentukan dari gejala-gejala gangguan berbahasa apa saja yang muncul.

Salah satu contoh gangguan berbahasa terjadi pada anak autisme. Bahasa yang diproduksi anak autisme sangat terbatas karena adanya kerusakan pada perkembangan saraf pusat yang memengaruhi saraf-saraf pengatur bahasanya. Hal tersebut juga memengaruhi terganggunya kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif pada anak autisme. Gangguan ekspresif adalah gangguan berbahasa yang terjadi pada manusia yang mengalami kesulitan untuk menyampaikan pikiran, keinginan, maupun emosinya secara verbal. Adapun gangguan reseptif adalah gangguan di mana anak mengalami ketidakmampuan menerima dan memahami apa yang disampaikan orang lain padanya.

Anak autisme hidup dalam dunianya sendiri dan tidak dapat melakukan kontak mata dengan orang lain. Hal ini mengindikasikan bahwa penyandang autisme memiliki keterbatasan alam pikir, artinya mereka tidak mampu memahami dunia dari sudut pandang orang lain. Oleh karena itu, pada anak autisme perlu diperhatikan bagaimana bahasa anak autisme membentuk kata-kata yang ingin diungkapkannya dan merespon kata-kata yang diucapkan oleh orang lain. Misalnya, membentuk kata yang melekat afiks (imbuhan) di dalamnya.

Berdasarkan hal-hal yang disampaikan di atas, dapat dilihat keterbatasan yang dimiliki anak autisme. Dalam keterbatasan tersebut terlihat bahwa anak


(15)

4

autisme sulit untuk memproduksi ujaran dengan baik dan benar. Hal tersebut menarik perhatian peneliti untuk mengetahui tentang kemampuan anak autisme dalam memproduksi ujaran pembentukan kata, khususnya pembentukan afiks. Keingintahuan peneliti didasari dengan adanya pertanyaan yang muncul: apakah anak autisme dapat membentuk kata dengan afiks?; apakah kata berimbuhan yang dibentuknya telah sempurna atau mengalami gangguan?; dan bagaimana ilmu neurolinguistik menjelaskan gangguan pembentukan afiks yang dialami anak autisme tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut, peneliti merumuskan judul “Gangguan Pembentukan Afiks dalam Tuturan Bahasa Indonesia pada Anak Autisme” dengan tujuan menemukan dan menjelaskan gangguan berbahasa pada anak autisme yang memengaruhi terjadinya penghilangan afiks dalam pembentukan kata berimbuhan pada tuturan bahasa lisannya dengan menerapkan teori pada bidang ilmu morfologi dan neurolinguistik.

Peneliti menemukan data berupa ujaran pembentukan afiks tuturan bahasa Indonesia anak autisme usia 8-13 tahun. Sebagai contoh dapat dilihat dalam konteks percakapan berikut:

Peneliti : Kamu sedang apa?

Anak autisme : Duduk.

Peneliti : Ibu sedang apa? (menunjuk terapis)

Anak autisme : Diri.

Peneliti : Oh, Ibu sedang berdiri ya?

Anak autisme : ya, diri. (sedikit keras karena sudah diulang)

Secara universal anak usia 8-13 tahun harus sudah dapat mengatakan berdiri dengan sempurna. Jika pun ada anak normal mengatakan berdiri seperti contoh


(16)

5

data di atas, tetapi bukan anak berusia 8-13 tahun. Semua anak normal akan mengatakan berdiri dengan jelas dan benar.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan, maka masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah gangguan pembentukan afiks dalam tuturan bahasa Indonesia pada anak autisme?

2. Bagaimanakah hubungan gangguan pembentukan afiks dalam bahasa Indonesia dengan afasia yang diderita anak autisme?

1.3Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi dengan ruang lingkup sebagai berikut:

1. Penelitian dibatasi pada anak autisme yang berada di Sekolah Autisme Tali Kasih Medan karena sesuai dengan batasan usia 8-13 tahun. Sementara di sekolah autisme lain, seperti di Sekolah Alam hanya untuk penyandang autisme usia dewasa (17-25tahun).

2. Penelitian ini befokus pada gangguan pembentukan afiks dan afasia pada anak autisme.

3. Analisis data dalam penelitian ini hanya berfokus pada afiks, bukan reduplikasi dan pemajemukan.

4. Subjek penelitian ini anak autisme yang berusia 8-13 tahun. 5. Penelitian ini terbatas pada ujaran bahasa lisan.


(17)

6 1.4Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk memaparkan gangguan pembentukan afiks dalam tuturan bahasa Indonesia anak autisme.

2. Untuk mendeskripsikan hubungan gangguan pembentukan afiks dalam bahasa Indonesia dengan afasia yang diderita anak autisme.

1.4.2 Manfaat Penelitian 1.4.2.1Manfaat Teoretis

Manfaat secara teoretis dari hasil penelitian ini adalah:

1. Sebagai sumbangan informasi untuk mengembangkan wawasan dan pengetahuan dalam ilmu linguistik.

2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya tentang morfologi, neurolingustik, dan anak autisme.

1.4.2.2Manfaat Praktis

1. Sebagai tambahan pengetahuan untuk dosen, mahasiswa, dan pelajar agar mengetahui komunikasi bahasa lisan anak autisme, khususnya tentang pembentukan afiks.


(18)

7

2. Sebagai referensi masukan, khususnya untuk Sekolah autisme Tali Kasih Medan. Melalui bimbingan para ahli (dokter psikiater dan spesialis neurolog) dan terapis sehingga para orang tua penyandang autisme tersebut dapat memahami bahasa anak autisme dalam berkomunikasi.


(19)

8 BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Afiks dalam Bahasa Indonesia

Putrayasa (2008: 5) mengatakan afiks adalah bentuk linguistik yang pada suatu kata merupakan unsur langsung dan bukan kata atau pokok kata, yang memiliki kemampuan melekat pada bentuk-bentuk lain untuk membentuk kata atau pokok kata baru. Ramlan (1987 : 56) mengatakan bahwa setiap afiks tentu berupa satuan terikat, artinya dalam tuturan biasa tidak dapat berdiri sendiri, dan secara gramatika selalu melekat pada satuan lain.

Chaer (2008: 23) mengatakan morfem afiks adalah morfem yang tidak dapat menjadi dasar dalam pembentukan kata, tetapi hanya menjadi unsur pembentuk dalam proses afiksasi. Dalam proses afiksasi sebuah afiks diimbuhkan pada bentuk dasar sehingga hasilnya menjadi sebuah kata.

Jadi, afiks ialah suatu bentuk terikat apabila ditambahkan pada suatu bentuk lain akan mengubah makna gramatikalnya dan membentuk kata baru. Afiks disebut juga imbuhan. Misalnya, pada kata menulis, mainan, dan sadarkan terdapat afiks men-, -an, dan –kan.

2.1.2 Gangguan Berbahasa

Gangguan berbahasa pada dasarnya disebabkan adanya keretakan atau kelainan medan-medan bahasa di korteks yang mendasari bahasa. Gangguan


(20)

9

berbahasa (language disorder) dipakai sebagai istilah umum yang luas untuk melukiskan perilaku berbahasa tertentu yang abnormal, dan kekurangan perilaku lainnya yang dialami seorang anak yang berlainan atau menyimpang dari perilaku anak-anak yang seumur dengannya (Simanjuntak, 2009: 248).

Chaer (2009: 148) menjelaskan gangguan berbahasa ini secara garis besar dapat dibagi dua. Pertama, gangguan akibat faktor medis; dan kedua, akibat faktor lingkungan sosial. Gangguan akibat faktor medis adalah gangguan baik akibat kelainan fungsi otak maupun akibat kelainan alat-alat bicara, sedangkan gangguan akibat faktor lingkungan sosial adalah lingkungan kehidupan yang tidak alamiah manusia, seperti tersisih atau terisolasi dari lingkungan kehidupan masyarakat manusia yang sewajarnya.

2.1.3 Bahasa Indonesia

Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan bangsa Indonesia, sebagaimana tersirat dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan bahasa negara sebagaimana dinyatakan dalam UUD RI 1945 Bab XV Pasal 36.

Bahasa digunakan sebagai alat komunikasi lingual manusia, baik secara lisan maupun tulisan. Tuturan bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa yang lazim dipakai dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia terutama dalam percakapan.

Bahasa Indonesia digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai alat komunikasi verbal dalam hubungan antarwarga, antardaerah, dan antarsuku bangsa. Bahasa Indonesia bukan hanya dipakai sebagai alat komunikasi timbal


(21)

10

balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku tetapi juga sebagai alat perhubungan di dalam masyarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan bahasanya (Salliyanti, 2011: 5).

2.1.4 Autisme

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘auto’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state). Sehingga autisme dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asyik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).

Kata autisme mengacu pada gangguan atau kelainan. Autisme pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner (Simanjuntak, 2009: 249). Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Ciri-cirinya menunjukkan adanya hambatan kualitatif dalam interaksi sosial yang terjadi sebelum umur tiga tahun yaitu, komunikasi dan terobsesi pada satu kegiatan atau obyek, yang mana


(22)

11

mereka memerlukan layanan pedidikan khusus untuk mengembangkan potensinya.

Jadi, anak autisme merupakan penyandang autisme yang mengalami masalah gangguan perkembangan otak yang memengarungi banyak fungsi, terutama memengaruhi fungsi komunikasi verbalnya.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Afiksasi

Afiksasi adalah proses pembentukan kata dengan membubuhkan afiks (imbuhan) pada bentuk dasar, baik bentuk dasar tunggal maupun kompleks (Putrayasa, 2008: 5). Proses pengafiksan dapat dibedakan menjadi (1) pembubuhan depan, dengan melibatkan prefiks atau awalan, (2) pembubuhan akhir, dengan melibatkan sufiks atau akhiran, (3) pembubuhan tengah, dengan melibatkan infiks atau sisipan, dan (4) pembubuhan terbelah dengan melibatkan konfiks (Cahyono, 1995: 110).

Menurut Verhaar (2001 : 107-108) afiks dalam proses afiksasi ada 4 macam, yaitu:

a. Prefiks, yang diimbuhkan di sebelah kiri dasar dalam proses yang disebut “prefiksasi”. Contoh: prefiks {men-} seperti: mencuri; prefiks {pen-} seperti dalam pengurus; prefiks {ke-} dalam kedua; prefiks {se-} seperti dalam setinggi; {ber-} seperti dalam berjuang, belajar; {memper-} seperti dalam memperbanyak atau memperkuat.


(23)

12

b. Sufiks, yang diimbuhkan di sebelah kanan dasar dalam proses yang disebut “ sufiksasi”. Contoh: sufiks {-an}, seperti dalam akhiran dan tuntutan, {-wan} dan {-wati} seperti dalam wartawan dan wartawati; {-ku}, {-mu} dan {-nya} seperti dalam mainanku, mainanmu dan mainannya.

c. Infiks, yang diimbuhkan dengan penyisipan di dalam dasar itu, dalam proses yang namanya “infiksasi”. Contoh: infiks {-el-} dalam kata telunjuk; dan {-em-} dalam kata gemetar.

d. Konfiks, atau simulfiks, atau ambifiks, atau sirkumfiks, yang diimbuhkan untuk sebagian di sebelah kiri dasar dan untuk sebagian di sebelah kanannya, dalam proses yang dinamai “konfiksasi, atau “simulfiksasi”, atau “ambifiksasi”, atau “sirkumfiksasi”. Contoh: konfiks {men-kan}, {memper-kan}, {men-i}, {memper-i} seperti dalam menyembelihkan, mempermainkan, menduduki, dan memperingati; {ke-an}seperti dalam keindahan, ketinggian.

2.2.2 Neurolinguistik

Bahasa berdomisili di hemisfer kiri otak. Penemuan pertama pusat bahasa di hemisfer kiri otak ini adalah Carl Wernicke. Pada tahun 1874 Carl Wernicke memastikan dengan jelas sebuah fakta, bahwa terdapat perbedaan linguistik di antara afasia yang ditimbulkan oleh kerusakan pada lobus temporal kiri (Medan Wernicke) dengan afasia yang ditimbulkan oleh kerusakan pada lobus frontal (depan) kiri (Medan Broca). Medan Wernicke ini dianggap terlibat dalam pengenalan pola-pola bahasa ucapan. Kerusakan pada medan Wernicke mengakibatkan kegagalan untuk memahami bahasa ucapan (bahasa lisan).


(24)

13

Pada tahun 1861 Paul Broca memulai pengkajian hubungan afasia dengan otak. Broca yang pertama kali membuktikan, bahwa afasia berhubungan dengan keretakan otak yang spesifik dan juga menunjukkan, bahwa keretakan-keretakan ini terjadi di hemisfer kiri otak. Broca membuktikan bahwa terdapat lokalisasi khusus di hemisfer kiri otak untuk memeroduksi bahasa. Broca mengajukan tiga rumusan mengenai hubungan otak dengan bahasa: 1) artikulasi bahasa diproses di hemisfer kiri otak bagian depan; 2) terdapat dominasi hemisfer kiri dalam artikulasi bahasa; 3) memahami bahasa merupakan tugas kognitif yang berlainan dari memproduksi bahasa. Selanjutnya, Wernicke menemukan bahwa medan Broca dan medan Wernicke dihubungkan oleh sebuah lajur syaraf yang besar yaitu busur fasikulus (arcuate fasciculus).

2.2.3 Gangguan Berbahasa

Haron (1997) mengelompokkan gangguan berbahasa (kecacatan artikulasi) yang dihasilkan oleh para penderita gangguan berbahasa ke dalam empat macam tipe, yakni substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa).

Anak autisme mengalami keterbatasan dalam berbahasa. Kita tidak dapat berkomunikasi verbal secara normal dengan anak autisme karena terjadinya kerusakan bahasa. Kerusakan bahasa yang terjadi pada anak autisme itu dapat juga disebut afasia. Afasia adalah kehilangan sebagian atau seluruh kemampuan bicara karena penyakit, cacat, atau cedera pada otak (KBBI, 2008: 13). Dalam


(25)

14

Chaer (2009: 156-158) kajian tentang afasia atau afasiologi dalam perkembangannya menghasilkan berbagai taksonomi yang sangat membingungkan, tetapi taksonomi yang telah disederhanakan oleh Benson, afasia dibedakan atas afasia ekspresi atau afasia motorik, yang dulu dikenal sebagai afasia tipe Broca, dan afasia reseptif atau afasia sensorik yang dulu dikenal sebagai afasia Wernicke. Berikut dibicarakan jenis-jenis afasia itu.

a. Afasia Motorik

Kerusakan pada belahan otak yang dominan yang menyebabkan terjadinya afasia motorik dapat terletak pada lapisan permukaan (lesikortikal) daerah Broca. Atau pada lapisan di bawah permukaan (lesi subkortikal) daerah Broca atau juga di daerah otak antara daerah Broca dan daerah Wernicke (lesi transkortikal). Oleh karena itu, didapati adanya tiga macam afasia motorik ini, antara lain:

1. Afasia motorik Kortikal

Tempat menyimpan sandi-sandi perkataan adalah korteks daerah Broca. Maka apabila gudang penyimpanan itu musnah, tidak akan ada lagi perkataan yang dapat dikeluarkan. Jadi, afasia motorik kortikal adalah hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan menggunakan perkataan. Penderitanya masih mengerti bahasa lisan dan tulisan. Namun, ekspresi verbal tidak dapat sama sekali; sedangkan ekspresi visual (bahasa tulis dan bahasa isyarat) masih dapat dilakukan.

2. Afasia Motorik Subkortikal

Sandi-sandi perkataan disimpan di lapisan permukaan (korteks) daerah Broca, maka apabila kerusakan terjadi pada bagian bawahnya (subkortikal) semua


(26)

15

perkataan masih tersimpan utuh di dalam gudang. Namun, perkataan itu tidak dapat dikeluarkan karena terputus, sehingga perintah untuk mengeluarkan perkataan tidak dapat disampaikan. Melalui jalur lain, perintah untuk mengeluarkan perkataan masih dapat disampaikan ke gudang penyimpanan perkataan itu (gudang Broca) sehingga ekspresi verbal masih mungkin dengan pancingan. Jadi, penderitanya tidak dapat mengeluarkan isi pikirannya dengan menggunakan perkataan, tetapi masih dapat berekspresi verbal dengan membeo. Selain itu, pengertian bahasa verbal dan visual tidak terganggu, dan ekspresi visual pun berjalan normal.

3. Afasia Motorik Transkortikal

Afasia motorik transkortikal terjadi karena terganggunya hubungan langsung antara daerah Broca dan Wernice. Ini berarti, hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu. Pada umumnya afasia motorik transkortikal ini merupakan lesikortikal yang merusak sebagian daerah Broca. Jadi, penderitanya dapat mengutarakan perkataan yang singkat dan tepat; tetapi masih mungkin menggunakan perkataan substitusinya. Misalnya untuk mengatakan pensil sebagai jawaban atas pertanyaan “Barang yang saya pegang ini namanya apa?” Dia tidak mampu mengeluarkan perkataan itu. Namun, mampu untuk mengeluarkan perkataan,”itu ,tu ,tu ,tu ,untuk menulis.” Afasia ini disebut juga afasia nominatif.

b. Afasia Sensorik

Penyebab terjadinya afasia sensorik adalah akibat adanya kerusakan pada lesikortikal di daerah Wernicke pada hemisferium yang dominan. Daerah itu


(27)

16

terletak di kawasan asosiatif antara daerah visual, daerah sensorik, daerah motorik, dan daerah pendengaran. Kerusakan di daerah Wernicke ini menyebabkan bukan saja pengertian dari apa yang didengar (pengertian auditorik) terganggu, tetapi juga pengertian dari apa yang dilihat (pengertian visual) ikut terganggu. Jadi, penderita afasia sensorik ini kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis. Namun, dia masih memiliki curah verbal meskipun hal itu tidak dipahami oleh dirinya sendiri maupun oleh orang lain.

Curah verbalnya itu merupakan bahasa baru (neologisme) yang tidak dipahami oleh siapa pun. Curah verbalnya itu terdiri atas kata-kata, ada yang mirip, ada yang tepat dengan perkataan suatu bahasa; tetapi kebanyakan tidak sama atau sesuai dengan perkataan bahasa apa pun.

Neologisme itu diucapkannya dengan irama, nada, dan melodi yang sesuai dengan bahasa asing yang ada. Sikap mereka pun wajar-wajar saja, seakan-akan dia berdialog dalam bahasa yang saling dimengerti. Dia bersikap biasa, tidak tegang, marah, atau depresif. Sesungguhnya apa yang diucapkannya maupun apa yang didengarnya (bahasa verbal yang normal), keduanya sama sekali tidak dipahaminya.

2.3 Tinjauan Pustaka

Gustianingsih (2009) dalam disertasi berjudul “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Anak Penyandang Autistic Spectrum Disorder”, menyimpulkan bahwa anak autisme sering melakukan penyimpangan pada awal dan akhir kata, mengindikasikan bahwa anak autisme mengalami


(28)

17

gangguan inisiasi (initiation disorder) dan mengalami kesulitan untuk menuntaskan ujaran. Anak autisme ini sering mengulang-ulang ujarannya dan akhirnya tidak tuntas.

Rajagukguk (2012) dalam skripsinya berjudul “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca”, menjelaskan bahwa kalimat inti bahasa Indonesia pada penderita Afasia Broca tidak sempurna karena adanya gangguan pada saraf medan Broca di hemisfer kiri otak. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Abdul Chaer 2007 dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa penderita Afasia Broca mengucapkan kalimat inti dengan hanya pada bagian yang paling “inti” dari sebuah kalimat yang memiliki empat pola, yaitu pola “FN + FN, FN + Fnum, FV + FN, dan FP”. Gangguan berbahasa yang dialami adalah pelesapan/penghilangan unsur kebahasaan dan pertukaran unsur kebahasaan kalimat inti bahasa Indonesia.

Girsang (2013) dalam skripsinya yang berjudul “Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”, menjelaskan bahwa penyandang autisme mengalami gangguan berbahasa dalam penggunaan kalimat dasar bahasa Indonesia. Skripsinya menggunakan teori sintaksis Sugono dan neurolinguistik. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penyandang spektrum autisme mengalami gangguan berbahasa seperti substitussion (pertukaran unsur bahasa), distortion (salah urut unsur bahasa), dan omission (pelesapan atau penghilangan unsur bahasa). Pola kalimat dasar yang mereka ucapkan ada tiga, yaitu “P – K, P – Pel, dan S – O”. Kalimat dasar yang


(29)

18

diucapkan oleh penyandang spektrum autisme berbeda dengan kalimat dasar yang diucapkan oleh manusia normal.

Aritonang (2014) dalam skripsinya berjudul “Kosakata Kerja Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik Behaviorisme”, menjelaskan tentang kosakata kerja kerja bahasa Indonesia yang paling sering digunakan pada anak autistik ringan. Skripsinya menggunakan teori psikolinguistik behaviorisme oleh Watson yang mengemukakan tentang dua prinsip yaitu recency principle (prinsip kebaruan), dan frequency principle (prinsip frekuensi). Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kosakata kerja bahasa Indonesia yang paling banyak dikuasai anak autistik ringan usia 3-15 tahun adalah kosakata kerja keadaan dibandingkan dengan kosakata proses dan tindakan.

Beberapa tinjauan pustaka di atas merupakan sumber yang relevan untuk dikaji dalam penelitian ini. Kajian dalam tinjauan pustaka di atas menjadi sumber referensi bagi peneliti dalam meneliti gangguan berbahasa pada anak autisme, terutama melihat teori-teori untuk mengkaji tentang ganggguan berbahasa dan anak autisme. Tinjauan pustaka tersebut menunjukkan bahwa penelitian terhadap gangguan berbahasa pada anak autisme sudah pernah dilakukan sebelumnya. Akan tetapi penelitian tentang gangguan pembentukan afiks pada anak autisme belum pernah ditemukan. Tinjauan pustaka di atas menjelaskan bahwa gangguan berbahasa terjadi pada anak autisme karena adanya kerusakan syaraf otak pada hemisfer kiri. Oleh karena itu, anak autisme dalam berbagai aspek kebahasaan memiliki kekurangan yang beraneka ragam.


(30)

19 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.1.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sekolah Autisme Tali Kasih, Jalan Sei Alas No.18 Telp. (061) 4523643 Medan.

3.1.2 Waktu Penelitian

Peneliti merencanakan melakukan penelitian ini selama satu bulan setelah proposal disetujui. Sebagai data awal peneliti sudah melakukan observasi terlebih dahulu terhadap anak autisme yang berada di sekolah tersebut.

3.2 Sumber Data

Sumber data penelitian ini diperoleh dari tuturan bahasa Indonesia lisan anak autisme yang berusia 8-13 tahun yang berada di Sekolah Tali Kasih. Anak autisme yang diteliti dalam penelitian ini berjumlah empat orang, yaitu: Fahlevi Tarigan (9tahun), Aiga Kartika (12tahun), dan Jolyn Junawi (8tahun).

3.3 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk dalam penelitian kualitatif. Data dikumpulkan melalui pengamatan dan observasi. Data-data yang dikumpulkan berupa kata


(31)

20

berafiks yang dituturkan oleh anak autisme. Sumber data penelitian ini adalah anak-anak penderita autisme usia 8-13 tahun.

Setelah dilakukan observasi, dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai pengamat partisipan yang telah diketahui kehadirannya oleh subjek penelitian. Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan metode simak. Metode simak merupakan penyimakan yang dilakukan dalam pengumpulan data, yaitu dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Sebagai pelengkap untuk mengumpulkan data yang lebih akurat dan sesuai yang diharapkan oleh peneliti, maka peneliti juga menggunakan metode cakap. Metode cakap adalah berupa percakapan dan terjadi kontak antara peneliti selaku peneliti dengan penutur selaku narasumber (Sudaryanto, 1993: 137).

Teknik dasar yang digunakan yaitu teknik sadap dan teknik pancing. Peneliti menyadap tuturan anak autisme tentang kata berafiks, serta memberi pancingan berupa mengajukan pertanyaan dan juga memberikan contoh gerakan atau benda agar anak autisme dapat berbicara sesuai yang diinginkan peneliti. Selanjutnya, peneliti melakukan teknik simak libat cakap dengan berpartisipasi dalam percakapan dan menyimak tuturan anak autisme. Peneliti ikut serta dalam berdiolog dengan anak autisme secara aktif dan reseptif. Peneliti aktif dengan terlibat langsung dalam berdialog dan peneliti reseptif karena sebagai pendengar dan menyadap percakapan anak autisme ketika sedang berdialog dengan para terapisnya.


(32)

21

Teknik lanjutan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam digunakan dengan tujuan untuk mendapatkan data yang akurat melalui tuturan anak autisme tersebut. Teknik catat adalah pengambilan data dengan cara mencatat pada kartu data (Sudaryanto, 1993: 135). Peneliti mencatat data-data yang telah terkumpul untuk selanjutnya dianalisis..

Penelitian melakukan ketekunan pengamatan, konsultasi dengan pembimbing, dan diskusi dengan teman sejawat untuk menjaga keabsahan data.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Setelah semua data-data yang diperlukan terkumpul, selanjutnya peneliti melakukan aktivitas analisis data penelitian dengan cara identifikasi data untuk dapat menyajikan hasil analisis data, dan menarik simpulan. Data dalam penelitian dianalisis dengan menggunakan metode padan. Metode padan adalah metode yang alat penentunya diluar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13). Metode padan yang digunakan dalam menganalisis data penelitian ini adalah metode padan referensial, alat penentunya adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa.

Teknik dasar yang digunakan untuk menganalis data penelitian ini adalah teknik pilah unsur penentu yang memiliki daya pilah bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti (Sudaryanto, 1993: 21). Data yang dikumpulkan akan dipadankan dan dipilah-pilah berdasarkan hasil percakapan yang dilakukan oleh peneliti untuk mengumpulkan kata-kata yang memunyai afiks yang diucapkan oleh anak autisme. Anak autisme tersebut akan diberi pertanyaan oleh peneliti atau terapis


(33)

22

ataupun peneliti didampingi terapis dengan jawaban yang diinginkan akan menunjukkan adanya pembentukan afiks pada kata yang diucapkan. Sesuai jawaban tersebut kemudian dapat dilihat gangguan pembentukan afiks apa saja yang terjadi pada tuturan anak autisme dan jawaban apa saja yang menyimpang dari yang diinginkan peneliti karena keterbatasan bahasa anak autisme tersebut.

Analisis data untuk menjawab rumusan masalah pertama dalam penelitian ini menerapkan teori morfologi pembagian afiks oleh Verhaar (2001) dan teori gangguan berbahasa oleh Haron (1997). Dalam menjawab rumusan masalah kedua, peneliti menerapkan teori gangguan berbahasa oleh Abdul Chaer (2009) tentang afasia yang selanjutnya dihubungkan ke dalam teori neurolinguistik tentang hubungan kerusakan bahasa pada syaraf otak oleh Wernicke dan Broca (Simanjuntak, 2008).

Analisis data dapat dilihat yaitu pada contoh dialog percakapan antara peneliti dengan Fahlevi (Flv) dan Aiga (Ag) di bawah ini:

1) Peneliti : Kamu sedang apa?

Flv : Duduk.

Peneliti : Ibu sedang apa? (menunjuk terapis)

Flv : Diri.

Peneliti : Oh, Ibu sedang berdiri ya?

Flv : Ya, diri. (sedikit keras karena sudah diulang)

2) Peneliti : Halo adik! (sambil menggerakkan tangan)

Apa kabar?

Ag : Halo! Baik Kakak. (mengikuti arahan dan perkataan dari

terapis)

Peneliti : Adik tau tidak, kaki digunakan untuk apa?

Ag : Kaki jala.

Peneliti : Coba katakan sekali lagi?

Ag : kaki jalan.


(34)

23

Coba ikuti kakak, sebutkan berjalan.(mengucapkan dengan pelan dan jelas)

Ag : Bejala.

Peneliti : Ya bagus. (sambil bertepuk tangan)

Contoh percakapan data (1) dan (2) dapat dilihat bahwa Flv dan Ag dapat memahami pertanyaan yang ditanyakan oleh peneliti. Data (1) menunjukkan bahwa Flv mengatakan diri yang seharusnya dijawab dengan berdiri. Pada kata berdiri menunjukkan adanya prefiks ber- + diri. Pembubuhan awalan atau prefiks ber- pada kata berdiri melibatkan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Dalam tuturan anak autisme Flv menunjukkan telah terjadi penghilangan unsur ber- pada kata berdiri. Berdasarkan atas teori Haron (1997), gangguan seperti itu termasuk gangguan berbahasa yang disebut omission (penghilangan unsur bahasa/unsur prefiks dalam penelitian). Hal ini menunjukkan bahwa Flv tidak dapat membentuk prefiks ber- dalam tuturannya seperti anak normal berusia 8-13 tahun, yang pembentukan prefiksnya sudah sempurna.

Pada data (2) Ag memahami pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Jawaban awal yang diberikan Ag tidak berhasil membentuk prefiks ber- dalam kata berjalan, tetapi hanya diucapkannya menjadi jala. Setelah peneliti melakukan pengulangan beberapa kali, perubahan pengucapan Ag mulai menunjukkan bahwa Ag dapat membentuk afiks pada kata jala menjadi jalan menjadi bejala. Walaupun masih ada penghilangan fonem r dan fonem n pada kata berjalan, tetapi pembentukan prefiks ber- dalam bahasa lisan Ag sudah terbentuk dengan cara membeo. Berdasarkan itu, menunjukkan bahwa telah terjadi pembentukan afiks yaitu pembubuhan prefiks, dengan melibatkan kategori


(35)

24

(a) dalam teori Verhaar(2001) yaitu prefiks atau awalan ber-. Hal tersebut juga menunjukkan bahwa tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

Pada data (1) dan (2), bila dihubungkan dengan jenis gangguan afasia yang diderita anak autisme melalui gangguan pembentukan afiks tesebut, maka Flv dan Ag termasuk penderita afasia jenis afasia motorik subkortikal atau afasia Broca subkortikal, yaitu gangguan berbahasa dengan hilangnya kemampuan mengutaran isi pikiran karena terputus sehingga perkataan yang diucapkannya tidak sempurna atau juga tidak keluar sama sekali. Akan tetapi, masih mungkin bisa mengeluarkan isi pikiran melalui jalur lain dengan membeo (Chaer, 2009: 157). Analisis ini sekaligus menjawab masalah no. 2 dalam rumusan masalah penelitian ini.

Contoh analisis data di atas merupakan gambaran cara kerja peneliti dalam mengolah data penelitian yang telah terkumpul. Teknik lanjutan yang digunakan peneliti dalam menganalisis data selanjutnya yaitu dengan teknik hubung banding memperbedakan (teknik HBB). Peneliti akan menganalisis data yang diperoleh dengan menghubungkan kata berafiks yang diucapkan anak autisme dengan kata berafiks yang diucapkan anak normal dan menemukan perbedaan diantara keduanya.

Bila dibandingkan dengan anak normal yang berusia 8-13 tahun bahasa anak autisme tersebut jauh tertinggal. Anak normal sudah sempurna membentuk afiks dalam bahasanya, tetapi anak autisme dalam penelitian ini belum sempurna. Kemampuan pembentukan afiks anak autisme dalam penelitian ini juga hampir


(36)

25

sama bahkan tertinggal dengan anak normal yang berusia 5 tahun. Berikut ini diuraikan dalam bentuk tabel pengujaran kata berafiks anak normal usia lima tahun dalam buku ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia (Dardjowidjojo, 2000) dengan anak autisme pada usia antara 8-13 tahun.

Anak Normal (Echa) Anak Autisme

(1) Echa mengucapkan /berdiri/ menjadi /beldiri/. Sudah dapat membentuk prefiks ber-, walau fonem /r/ masih diucapkan /l/. (2) Echa mengucapkan /berjalan/

menjadi /beljalan/. Sudah dapat membentuk prefiks ber-, walau fonem /r/ masih diucapkan /l/.

(1) Anak autisme mengucapkan kata /berdiri/ menjadi /diri/. Belum dapat membentuk prefiks ber-. (2) Anak autisme mengucapkan kata

/berjalan/ menjadi /jala/ menjadi /jalan/ menjadi /bejala/. Sudah mulai dapat membentuk prefiks ber-, tetapi masih pada tahap membeo.

Tabel di atas menjelaskan bahwa kemampuan membentuk afiks pada anak normal usia lima tahun dan anak autisme yang berusia 8-13 tahun sangat berbeda. Anak normal, yang diwakili oleh Echa dapat membentuk afiks dan dapat memahami ujaran pada usia lima tahun, sedangkan anak autisme yang berusia 8-13 tahun masih tidak dapat membentuk afiks dengan sempurna dan masih membutuhkan bimbingan, serta anak autisme juga masih membeo untuk mengucapkan kata berafiks.

3.5 Metode dan Teknik Penyajian Data

Setelah melakukan analisis data, maka tahap selanjutnya adalah menyajikan hasil analisis data. Hasil analisis data dapat disajikan dengan cara metode


(37)

26

penyajian formal dan penyajian informal. Metode penyajian analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penyajian informal. Sudariyanto, (1993: 145) metode penyajian informal adalah penyajian hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa; walaupun dengan peristilahan yang teknis sifatnya.

Teknik penyajian hasil analisis data tersebut disajikan dengan menggunakan pilihan kata-kata sederhana dan biasa, yang apabila dibaca akan dengan mudah dapat dipahami dan dimengerti tujuannya.


(38)

27 BAB IV PEMBAHASAN

4.1 Gangguan Pembentukan Afiks dalam Tuturan Bahasa Indonesia pada Anak Autisme

Pembentukan afiks dalam suatu kata pada anak normal usia 8-13 tahun sudah sempurna, tetapi pada anak autisme pada usia 8-13 tahun belum dapat membentuk afiks dengan sempurna karena terjadi gangguan berbahasa disebabkan keterbelakangan mental dan sosial pada anak autisme. Dari hasil penelitian, peneliti menemukan tingkat pemahaman yang berbeda-beda pada anak autisme pada usia yang berbeda.

Berdasarkan hasil percakapan menunjukkan bahwa anak autisme cenderung tidak fokus melihat peneliti saat bertanya yang menyebabkan peneliti cenderung bertanya lebih dari sekali pertanyaan yang sama dan terapisnya juga sering menyuruh anak autisme untuk fokus melihat peneliti saat bertanya. Pertanyaan yang diajukan peneliti secara umum dapat dipahami oleh anak autisme tersebut dengan bantuan para terapis dan beberapa pancingan yang dilakukan peneliti.

4.1.1 Gangguan Pembentukan Prefiks

Data-data berikut merupakan percakapan antara peneliti dengan anak autisme yang bernama Flv (9 tahun), Ag (12 tahun), dan Jln (8 tahun), serta didampingi oleh terapis anak autisme tersebut yang memeroleh data-data berupa prefiks (pembubuhan depan) antara lain men-, pen-, ber-, ke-, se-.


(39)

28

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(3) Peneliti : Fahlevi, kakak itu sedang apa? (sambil menunjuk teman

peneliti yang sedang menulis)

Flv : Memulis (sambil melihat ke arah teman peneliti, selanjutnya

melihat terapisnya)

Peneliti : Bagus. Fahlevi pintar (sambil bertepuk tangan)

Berdasarkan data (3) diketahui bahwa Flv dapat membentuk prefiks men- dengan baik sesuai dengan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan menunjukkan orang yang sedang menulis. Flv mengucapkan menulis dengan memulis diucapkan dengan baik. Pada kata memulis menunjukkan adanya pembentukan prefiks men- + tulis, tetapi fonem n pada menulis berubah menjadi fonem m. Maka, tidak menunjukkan adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(4) Flv : Ngintip kakak.(menunjuk ke salah satu ruangan)

Peneliti : Kakak siapa yang mengintip?

Flv : Kak Aiga mana? Ngintip kakak. (melihat Aiga sudah

masuk kembali ke ruangan)

Berdasarkan data (4) menunjukkan bahwa Flv tidak dapat membentuk prefiks meng- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Flv mengucapkan ng- dalam kata ngintip. Seharusnya, kata ngintip diucapkan dengan mengintip. Flv secara tiba-tiba mengucapkan kata ngintip dengan jelas ketika melihat Ag mengintip di depan pintu melalui ruangannya. Setelah melakukan pengulangan dengan mengulang kata mengintip, tetapi Flv tetap tidak mengucapkan kata ngintip menjadi mengintip. Maka, menunjukkan terjadi gangguan berbahasa omission (penghilangan unsur bahasa/unsur prefiks dalam penelitian) berupa


(40)

29

penghilangan unsur me- pada unsur meng- dalam kata mengintip sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(5) Peneliti :Fahlevi punya kakak?

Flv :Kakak Manda, kak Manda gak ikut.

Peneliti : Oh,enggak ikut ya kakak Manda. Fahlevi anak ke-berapa?

Flv : dua.

Peneliti : Kedua ya. Coba sebutkan sekali lagi?

Flv : Kedua, kakak Manda Levi. (maksudnya yang pertama kak Manda

dan Levi yang kedua)

Berdasarkan data (5) menunjukkan bahwa Flv dapat membentuk prefiks ke- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan cara membeo. Pada pertanyaan awal, Flv mengucapkan kata kedua menjadi dua dan setelah adanya pengulangan peneliti mengucapkan kata kedua dengan benar, setelah itu Flv dapat dengan benar mengucapkan kata kedua. Maka, tidak menunjukkan adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(6) Peneliti : Fahlevi tinggal serumah dengan kak Manda?

Flv : Rumah sama tinggal kak Manda. (rumah tempat tinggalnya sama

dengan kak Manda)

Peneliti : Oh, iya serumah sama kak Manda. Coba sebutkan serumah?

Flv : seumah, bu.

Peneliti : coba sebutkan seribu?

Flv : seibu.

Berdasarkan data (6) menunjukkan bahwa Flv dapat memahami dengan pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Flv mengucapkan kata serumah menjadi seumah dan seribu menjadi seibu, walaupun fonem r yang berada di tengah kata hilang, tetapi Flv dapat membentuk prefiks se- sesuai dengan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Flv dapat mengucapkan kata rumah dengan benar dan tidak


(41)

30

ada penghilangan fonem r di depan kata. Jadi, disimpulkan Flv tidak dapat membentuk fonem r di tengah kata seribu. Dilihat dari data (6) di atas, tidak menunjukkan adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(7) Peneliti : Fahevi malu gak sama kakak?

Flv : Kakak sapa? kakak Manda. (kakak Flv adalah kak Manda)

Peneliti : Kakak Manda pemalu ya?

Flv : Malu kak Manda Levi pakai baju. (maksudnya kak Manda malu

kalau melihat Flv sewaktu pakai baju)

Peneliti : Oh iya, pemalu Levi kalau dilihat kak Manda waktu pakai baju. Coba sebutkan pemalu!

Flv : Pemalu, bu.

Berdasarkan data (7) diketahui bahwa Flv dapat membentuk prefiks pen- + malu dalam kata pemalu sesuai dengan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Peneliti memberikan pertanyaan awal dengan kata malu, kemudian memunculkan kata pemalu. Terakhir, peneliti menyuruh Flv untuk menyebutkan kata pemalu. Flv dapat mengucapkan kata pemalu dengan benar dengan cara membeo, walaupun sebenarnya Flv memahami arti dari pemalu tersebut. Maka, dari data (7) tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

Berdasarkan data (1,3,4,5,6,7) dapat disimpulkan bahwa Flv dapat membentuk prefiks men-(me-), ke-, se-, pen- dengan baik, sedangkan untuk prefiks ber- Flv mengubah menjadi me- dan untuk prefiks meng- diucapkan hanya ng- pada kata mengintip menjadi ngintip. Flv membentuk prefiks tersebut dengan cara membeo dan pengetahuannya sendiri, tetapi Flv juga memahami arti dari kata yang dilekati prefiks tersebut. Prefiks memper- tidak peneliti temukan pada Flv


(42)

31

karena Flv tidak dapat membentuk dan memahami arti dari kata yang dilekati prefiks memper- tersebut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Aiga, selanjutnya disebut Ag.

(8) Peneliti : Aiga, coba lihat kakak! Kakak sedang melakukan apa ini?(sambil

memukul tangan peneliti)

Ag : Memukul tangan kakak.

Peneliti : Bagus, pintar Aiga! (sambil bertepuk tangan)

Berdasarkan data (8) diketahui bahwa Ag dapat membentuk prefiks men- dengan baik sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) tentang pembagian afiks. Ag menjawab pertanyaan peneliti dengan benar. Ag mengucapkan kata memukul menjadi memukul dengan sempurna. Maka, pada Ag menunjukkan tidak terjadi gangguan berbahasa seperti yang disebutkan Haron(1997).

(9) Peneliti : Aiga, kalau sapu digunakan untuk apa?

Ag : Untuk nyapu lantai.

Peneliti : Oh, untuk menyapu?(mengatakan dengan jelas dan pelan)

Ag : Iya, untuk meyapu lantai.

Berdasarkan data (9) diketahui Ag telah menjawab pertanyaan yang diberikan oleh peneliti dengan baik, walaupun jawabannya tidak sempurna membentuk prefiks men-. Ag membentuk prefiks men- + sapu dalam kata menyapu sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan mengucapkan kata nyapu. Seharusnya, kata nyapu diucapkan dengan menyapu. Setelah melakukan pengulangan untuk mengatakan kata menyapu, Ag dapat mengucapkan kata menyapu menjadi meyapu. Setelah melakukan pengulangan, fonem n hilang


(43)

32

dalam kata meyapu. Maka, menunjukkan tidak terjadi gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(10) Peneliti : Aiga mempunyai kipas angin di dirumah?

Ag : punya kak.

Peneliti : Kalau kipas anginnya hidup itu bagaimana tandanya?

Ag : mutar ada anginnya.

Peneliti : Oh, iya berputar ya?

Ag : Iya, beputar kencang anginnya dingin.

Berdasarkan data (10) diketahui bahwa Ag dapat menjawab pertanyaan dengan baik. Saat ditanya kalau kipas angin hidup bagaimana tandanya, yang terjadi adalah Ag menjawab mutar. Seharusnya kata tersebut berputar sehingga menunjukkan adanya pembentukan prefiks ber- dengan melibatkan kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) tentang pembagian afiks. Akan tetapi, setelah dilakukan pemancingan berulang dengan menyebutkan kata berputar dengan benar, Ag dapat mengucapkan ulang kata berputar menjadi beputar. Ag sudah dapat membentuk prefiks ber- dengan membeo walaupun fonem r dalam kata berputar. Hal tersebut menunjukkan tidak ada gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(11) Peneliti : Aiga, takut tidak sama bu Rina?

Ag : Enggak. Ibu Rina baik, cantik.

Peneliti : Oh, berarti Aiga bukan penakut ya?

Ag : Ih kakak ini lah! Kakak kira Aiga kucing, penakut!

Peneliti : Oh, kucing yang penakut.

Berdasarkan data (11) diketahui bahwa Ag pada kata penakut sudah dapat membentuk prefiks pen- + takut sesuai kategori (a) tentang prefiks pen- dalam teori Verhaar(2001). Ag mengucapkan kata penakut setelah adanya pertanyaan


(44)

33

awal dengan mengatakan kata takut dan penakut, selanjutnya Ag membandingkan bahwa penakut itu adalah Kucing. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan prefiks pen- Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(12) Peneliti : Aiga mempunyai adik?

Ag : Adik Fikri . (sambil melihat terapisnya)

Peneliti : Adik Aiga anak ke-berapa?

Ag : Kedua (sambil melihat terapisnya menunjukkan dua jari dan

mendiktekannya)

Berdasarkan data (12) diketahui Ag dapat membentuk prefiks ke- dengan baik sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001), walaupun masih dengan arahan terapisnya karena Ag tidak memiliki pengetahuan akademik tentang menentukan urutan. Ag dapat mengucapkan kata kedua dengan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan prefiks ke- Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(13) Peneliti : Ag suka memperbanyak boneka?

Ag : Suka. Boneka Ag banyak di rumah. Ada panda, ada hello kitty.

Peneliti : Oh, banyak ya boneka Ag. Coba katakan memperbanyak!

Ag : mempebanyak.

Berdasarkan data (13) diketahui bahwa Ag dapat membentuk prefiks memper- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan cara membeo. Ag mengucapkan kata memperbanyak menjadi mempebanyak. Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak terjadi gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.


(45)

34

(14) Peneliti : Aiga, coba lihat ini uang berapa? (sambil menunjukkan uang

seribu)

Ag : uang seribu, kak.

Peneliti : Bagus. Pintar Aiga.(sambil bertepuk tangan)

Aiga, kalau sepulang sekolah apa yang Aiga lakukan?

Ag : Tidur, Aiga suka tidur.

Peneliti : Coba sebutkan sepulang!

Ag : Sepulang sekolah.

Berdasarkan data (14) diketahui bahwa pada kata seribu dan sepulang Ag sudah dapat membentuk prefiks se- + ribu, se- + pulang sesuai kategori (a) tentang prefiks se- dalam teori Verhaar(2001). Walaupun Ag belum bisa membaca, Ag mampu mengucapkan kata seribu saat ditanya oleh peneliti dengan menunjukkan uang seribu. Saat peneliti menanyakan apa yang dilakukan Ag sepulang sekolah?, Ag menjawab tidur karena dia suka tidur. Ag juga dapat mengucapkan kata sepulang dengan baik walaupun dengan membeo. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan prefiks se- Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (8-14) dapat disimpulkan bahwa Ag dapat membentuk prefiks men-(me- dan men-), ke-, se-, pen-, ber-, dan memper- walaupun belum sempurna, sedangkan untuk prefiks selain me- dan men- Ag tidak dapat membentuknya karena pada kata menyapu diucapkan Ag menjadi hanya nyapu. Ag dapat dengan sendirinya membentuk prefiks tersebut tanpa adanya membeo dan hanya dengan pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Ag mampu membentuk prefiks dengan baik karena belajar dari lingkungan sekitar dan apa yang sering dilihatnya. Akan tetapi, Ag belum dapat mengenal tulisan dan angka.


(46)

35

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Jolyn, selanjutnya disebut Jln.

(15) Peneliti : Jolyn, dedi kamu kalau pagi pergi kemana?

Jln : Keja (mengikuti kata terapisnya mengatakan bekerja)

Peneliti : Coba ulangi sekali lagi, bekerja!

Jln : Kerja (dengan suara yang sangat pelan)

Berdasarkan data (15) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata bekerja menjadi keja menjadi kerja. Jln belum dapat membentuk prefiks ber- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan terjadinya penghilangan unsur ber- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Penghilangan unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut omission (penghilangan unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(16) Peneliti : Jolyn kalau ibadah melakukan apa?

Terapis : Ngapain Jolyn? Berdoa! Katakan!

Jln : Doa (berbicara ketika terapisnya menyuruh)

Peneliti : Katakan sekali lagi Jolyn, berdoa!

Jln : Doa.

Berdasarkan data (16) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata berdoa menjadi doa. Jln belum dapat membentuk prefiks ber- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan terjadinya penghilangan unsur ber- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Penghilangan unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut omission


(47)

36

(penghilangan unsur bahasa/unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(17) Peneliti : Jolyn tidak suka berbicara ya? Jolyn pemalu ya?

Jln : Iya.

Terapis : Jolyn tidak suka berbicara kak. Pemalu dia. Iya Jolyn?

(mengelus-elus kepala Jln) Lihat kak Nila, jangan lihat ibu!

Peneliti : Jln coba katakan, pemalu!

Jln : Pemalu. (dengan suara yang sangat pelan)

Berdasarkan data (17) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dibantu oleh terapisnya. Jln mengucapkan kata pemalu menjadi pemalu, walaupun peneliti harus benar-benar mendengarkan apa yang Jln katakan karena suaranya sangat pelan. Jln sudah dapat membentuk prefiks pen- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan tidak ada terjadi gangguan berbahasa sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(18) Peneliti : Jolyn anak ke-berapa?

Jln : Ketiga. (memperhatikan jari terapis yang membentuk tiga jari)

Berdasarkan data (18) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata ketiga menjadi ketiga sesuai dengan arahan yang diberikan oleh terapisnya. Jln sudah dapat membentuk prefiks ke- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan tidak ada terjadi gangguan berbahasa sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.


(48)

37

(19) Peneliti : Jolyn, untuk apa kegunaan mata?

Terapis : Untuk melihat kakak. Katakan!

Jln : Utuk maliha. (mencoba mengikuti apa yang dikatakan peneliti)

Berdasarkan data (19) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata melihat menjadi maliha. Jln belum dapat membentuk prefiks men- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Jln mengubah bentuk prefiks men- menjadi ma- dan terjadi penghilangan fonem t di akhir kata. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pertukaran unsur men- menjadi ma- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Pertukaran unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut substitussion (pertukaran unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(20) Peneliti : Jolyn sudah pandai membaca?

Jln : Belum. (melihat ke arah terapisnya)

Terapis : Belum kak, Jolyn masih belajar fonem. Katakan seperti itu Jolyn!

Jln : Jolyn masih ajar huluf. (sambil mengerang karena mulai bosan)

Peneliti : Coba ikuti kakak, katakan membaca!

Jln : Baca.

Berdasarkan data (20) diketahui bahwa Jln menjawab pertanyaan peneliti masih dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata membaca menjadi baca. Jln belum dapat membentuk prefiks men- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan terjadinya penghilangan unsur ber- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Penghilangan unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut omission


(49)

38

(penghilangan unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(21) Peneliti : Jolyn cantik ya?

Jln : Jolyn canti (mengulang yang dikatakan peneliti)

Peneliti : Secantik bu Endang ya?

Terapis : Iya dong kak. Jolyn cantik seperti bu Endang. Jolyn katakan

secantik! (mengarahkan dengan pelan-pelan)

Jln : Iya. Sasantik.

Berdasarkan data (21) diketahui bahwa Jln dapat menjawab pertanyaan yang diberikan peneliti dan tetap dengan arahan dari terapisnya. Jln mengucapkan kata secantik menjadi sasantik. Jln belum dapat membentuk prefiks se- sesuai kategori (a) dalam teori Verhaar(2001) dengan sempurna. Jln mengganti fonem e menjadi a pada prefiks se- dan mengubah fonem c menjadi s mengikuti fonem yang diucapkannya sebelumnya. Hal tersebut menunjukkan terjadinya pertukaran unsur se- menjadi sa- pada proses afiksasi yang berfungsi sebagai awalan atau prefiks. Pertukaran unsur tersebut termasuk ke dalam gangguan berbahasa yang disebut substitussion (pertukaran unsur bahasa/ unsur prefiks dalam penelitian) sesuai yang dinyatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (15-21) dapat disimpulkan bahwa Jln dapat membentuk prefiks pen- dan ke- dengan benar walaupun harus dengan arahan dan membeo. Pembentukan prefiks men- pada kata melihat bertukar menjadi maliha dan pada kata membaca, prefiks men- hilang menjadi baca. Pembentukan prefiks ber- juga hilang pada kata bekerja, berdoa menjadi keja, doa. Pembentukan prefiks se- bertukar menjadi sa- pada kata secantik. Jln tidak bisa membentuk prefiks memper- sama sekali dan tidak memahami artinya. Jln dapat memahami


(50)

39

pertanyaan peneliti dengan arahan dan bimbingan dari terapis dan peneliti. Kata-kata berafiks yang peneliti tanyakan merupakan Kata-kata-Kata-kata yang umum yang diketahui oleh Jln agar mudah dipahaminya. Jln termasuk pada anak autisme yang susah diajak komunikasi verbal karena susah untuk fokus terhadap orang yang berada di sekitarnya dan Jln juga tidak suka berbicara.

4.1.2 Gangguan Pembentukan Sufiks

Data-data berikut merupakan percakapan antara peneliti dengan anak autisme yang bernama Flv Tarigan (9 tahun), Ag Kartika (12 tahun), dan Jln Junawi (8 tahun), serta didampingi oleh terapis anak autisme tersebut yang memeroleh data-data berupa sufiks (pembubuhan belakang) antara lain -an, -wan, -ku, -mu, -nya sebagai berikut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(22)Peneliti : Fahlevi suka mainan?

Flv : Motoran, Mobilan

Peneliti : Oh, Fahlevi suka motoran dan mobilan ya?

Flv :Motorannya rusak, dilakban ayah.

Berdasarkan data (22) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -an sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) deng-an baik d-an mengerti dengan apa yang diucapkannya. Flv dapat mengucapkan kata motoran dan mobilan menjadi motoran dan mobilan dengan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -an Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan


(51)

40

gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(23)Peneliti : Fahlevi tahu apa itu wartawan?

Flv : Apa itu bu? (bertanya mengarah kepada terapisnya)

Peneliti : Coba Fahlevi sebutkan wartawan?

Flv : Wawantawan

Berdasarkan data (23) diketahui bahwa Flv belum mengetahui apa arti wartawan. Flv dapat membentuk sufiks –wan sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Flv membentuk sufiks –wan pada kata wartawan menjadi wawantawan. Akan tetapi, Flv menambahkan unsur –wan di tengah kata. Hal tersebut menunjukkan terjadi penambahan unsur –wan di tengah kata ketika Flv membentuk sufiks –wan. Penambahan unsur –wan tersebut pada kata wawantawan termasuk dalam gangguan berbahasa yang disebut addition (penambahan unsur bahasa/ unsur sufiks dalam penelitian) sesuai dengan yang dinyatakan Haron (1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(24)Peneliti : Fahlevi sedang apa?(sambil melihat Fahlevi yang sedang

memegang pulpen)

Flv :Pupen masukin, bu Tini susah masuknya ini.(mencoba

memasukkan pulpen ke dalam kantong celananya) Peneliti : Oh susah masuknya pulpennya ke dalam kantong Levi.

Berdasarkan data (24) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -nya dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Flv mengucapkan kata masuknya saat dia mengungkapkan bahwa pulpen yang akan dimasukkan ke dalam kantong susah masuknya. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan


(52)

41

sufiks -nya Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(25)Peneliti : Fahlevi, ini baju siapa? (sambil menunjuk baju Levi)

Flv : Baju Levi, baju ibu Tini. (sambil memegang bajunya dan baju

bu Tini)

Peneliti : Ini pulpenmu, Levi? Coba sebutkan pulpenmu!

Flv : Iya. Pupenmu

Berdasarkan data (25) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -mu dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Flv mengucapkan kata pulpenmu menjadi pupenmu, walaupun fonem l di tengah kata hilang. Sufiks –mu diucapkannya untuk menunjukkan pengulangan yang disebutkan peneliti sebagai kata ganti orang kedua tunggal. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -nya Flv tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(26)Peneliti : Ini baju kak Manda ya yang Levi pakai? (sambil memegang baju

Flv)

Flv : Bukan, gak muat Levi baju kakak Manda.

Peneliti : Coba katakan baju Levi dengan bajuku!

Flv : Baju Levi dengan bajuku.

Berdasarkan data (26) diketahui bahwa Flv sudah dapat membentuk sufiks -ku dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) walaupun masih membeo. Flv mengucapkan kata bajuku menjadi bajuku dengan sempurna. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -ku Flv tidak terganggu dan


(53)

42

tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (22-26) dapat disimpulkan bahwa Flv dapat membentuk sufiks –an, -wan, -nya, -ku, dan –mu dengan baik. Akan tetapi pada pembentukan sufiks –wan, Flv melakukan penambahan unsur –wan di tengah kata dan Flv juga tidak memahami arti –wan tersebut pada kata dermawan. Pemancingan diberikan oleh peneliti agar Flv membentuk sufiks yang diinginkan peneliti. Sebagian sufiks dibentuk oleh Flv dengan cara membeo dan sebagian lagi dibentuk oleh Flv sendiri. Flv termasuk anak autisme yang suka berbicara, apalagi berbicara hal-hal yang baru dilakukannya atau baru dilihatnya. Oleh karena itu, Flv sering mengalihkan pembicaraan pada topik lain ketika dia tidak fokus memperhatikan peneliti dan ketika peneliti sedang lengah.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Aiga, selanjutnya disebut Ag.

(27)Peneliti : Aiga tahu tidak kalau tempat orang bermain bola kaki dimana?

Ag : lapangan bola.

Peneliti : Bagus, Aiga pintar! (sambil mengelus kepala Aiga)

Berdasarkan data (27) diketahui bahwa Ag sudah dapat berkomunikasi dengan baik dengan orang di sekitarnya. Dilihat dari jawaban Ag atas pertanyaan yang diajukan peneliti tentang nama tempat orang bermain bola, Ag menjawab lapangan bola. Ag dapat membentuk sufiks –an pada kata lapangan dengan benar sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -ku Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan


(54)

43

berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(28)Peneliti : Aiga suka nonton TV ya?

Ag : Itu infotiment ember itu kak!

Peneliti : Kalau yang suka tanya-tanya di TV itu apa namanya?

Ag : Wartawan itu.

Penelti : Oh. Kenapa ember infotiment-nya?

Ag : Iyalah, itu gosipin selebriti kak. Itu namanya gak boleh, pantang.

Peneliti : Bagus, Aiga pintar ya. (sambil mengelus kepala Aiga)

Berdasarkan data (28) diketahui bahwa Ag dapat menjawab pertanyaan peneliti dengan baik. Saat ditanya suka menonton TV, Ag menghubungkannya dengan acara infotiment selebriti yang menggosipkan artis-artis. Oleh karena itu, peneliti bertanya lagi?, Ag menyebutkan kata wartawan. Ag sudah dapat membentuk membentuk sufiks –wan pada kata wartawan dengan benar sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -ku Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(29)Peneliti : Sikapnya Flv bagaimana Aiga?

Ag : Sikapnya Levi sombong, Aiga panggil-panggil di kereta gak

lihat dia.

Peneliti : Oh, Levi tidak dengar suara Aiga berarti. Levi tidak sombong kok.

Ag : Iya gak dengar dia. Sombong.

Berdasarkan data (29) diketahui bahwa Ag sudah dapat membentuk membentuk sufiks –nya pada kata sikapnya dengan benar sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001). Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks


(55)

44

-ku Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(30)Peneliti : Aiga, tahu tidak peragawati itu apa?

Ag : Selebriti itu kak.

Peneliti : Kayakmana itu Aiga? Seperti model itu ya?

Ag : Iya, pakai baju cantik-cantik.

Peneliti : Coba sebutkan apa tadi?

Ag : Peragawati

Berdasarkan data (30) diketahui bahwa Ag dapat membentuk sufiks –wati dengan mengucapkan kata peragawati sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) dan memahami pertanyaan yang diberikan oleh peneliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks –wati Ag tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(31)Peneliti : Aiga, gurumu siapa namanya ?

Ag : Ibu Rina, Aiga sayang bu Rina.

Peneliti : Coba sebutkan, guruku dan gurumu!

Ag : Guruku, gurumu.

Berdasarkan data (31) diketahui bahwa Ag dapat membentuk sufiks –ku dan sufiks –mu dengan mengucapkan kata guruku dan gurumu sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001), walaupun masih tahap membeo karena Ag tidak terbiasa menyebutkan kata –ku dan –mu dalam kata-kata percakapan sehari-harinya. Tetapi, Ag dapat mengerti arti dari –ku dan –mu untuk menyebutkan kepunyaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks -ku Ag tidak


(56)

45

terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (27-31) dapat disimpulkan bahwa Ag dapat membentuk sufiks –an, -ku, -mu, -nya, -wan, dan –wati dengan baik dan mengerti arti dari kata-kata yang diucapkannya, walaupun harus ada pemancingan yang diberikan oleh peneliti agar Ag membentuk sufiks yang diinginkan peneliti. Sebagian sufiks dibentuk oleh Ag dengan cara membeo dan sebagian lagi dibentuk oleh Ag sendiri.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Jolyn, selanjutnya disebut Jln.

(32)Peneliti : Jolyn suka mainan apa?

Terapis : Boneka. Katakan Jolyn!

Jln : Boneka.(menirukan bu Endang)

Peneliti : Coba tirukan mainan!

Jln : manain

Berdasarkan data (32) diketahui bahwa Jln dapat membentuk sufiks –an dengan cara membeo mengucapkan kata mainan menjadi manain. Jln tidak dapat membentuk sufiks -an sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) dengan benar. Jln membentuk sufiks –an dengan penambahan unsur sehingga menjadi akhiran –ain pada akhir kata. Fonem i yang seharusnya berada pada kata mainan hilang dan fonem i ditambahkan pada kata manain, sufiks –an menjadi –ain. Hal tersebut menunjukkan terjadinya gangguan berbahasa berupa penambahan unsur menjadi sufiks -ain disebut addition (penambahan unsur bahasa/ unsur sufiks


(57)

46

dalam penelitian) sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

(33)Peneliti : Jolyn coba sebutkan bajumu!

Jln : Bajumu

Terapis : Mana bajumu Jolyn?

Jln : Ini.

Peneliti : Katakan bajuku, bajunya!

Jln : Bajuku (sangat pelan)

Peneliti : Katakan Bajunya!

Jln : Bajunya

Berdasarkan data (33) diketahui bahwa Jln dapat membentuk sufiks –mu, -ku, dan –nya dengan baik sesuai kategori (b) dalam teori Verhaar(2001) walaupun masih membeo. Jln mengucapkan bajuku menjadi bajuku, bajumu menjadi bajumu, bajunya menjadi bajunya dengan benar. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembentukan sufiks –ku, -mu, -nya Jln tidak terganggu dan tidak ditemukan gangguan berbahasa sesuai yang dikatakan Haron(1997) tentang pengelompokkan gangguan berbahasa.

Berdasarkan data (32-33) dapat disimpulkan bahwa Jln dapat membentuk sufiks -ku, -mu, dan –nya dengan cara membeo, tetapi Jln memahami maksud dari kata yang diucapkannya. Jln tidak dapat membentuk sufiks –an, tetapi menambahkan fonem i sehingga menjadi akhiran –ain. Sufiks –wa dan –wati sama sekali tidak bisa dibentuk oleh Jln dan Jln juga tidak memahami arti dari kata yang melekat sufiks –wan dan –wati di dalamnya. Jln sangat susah untuk diajak berbicara karena keterbelakangan mentalnya terhadap sosial menyebabkan interaksi dengan orang lain masih sangat kurang. Untuk berkomunikasi verbal


(58)

47

dengan Jln, peneliti harus dibantu oleh terapis Jln yaitu bu Endang yang telah menemaninya selama 6 tahun.

4.1.3 Gangguan Pembentukan Infiks

Data-data berikut merupakan percakapan antara peneliti dengan anak autisme yang bernama Flv Tarigan (9 tahun), Ag Kartika (12 tahun), dan Jln Junawi (8 tahun), serta didampingi oleh terapis anak autisme tersebut yang memeroleh data-data infiks (pembubuhan tengah/ unsur infiks dalam penelitian) antara lain -em- dan -el- sebagai berikut.

Percakapan di bawah merupakan percakapan peneliti dengan Fahlevi, selanjutnya disebut Flv.

(34)Peneliti : Fahlevi, coba sebutkan ini jari apa? (menunjukkan jari telunjuk)

Flv : Jari apa, jari tunjuk

Peneliti : Coba ulang dengan pelan, telunjuk!

Flv : Telujuk.

Berdasarkan data (34) diketahui bahwa Flv dapat menjawab pertanyaan peneliti saat peneliti memberi pancingan dengan menunjukkan jari telunjuk. Flv menjawab jari tunjuk, seharusnya Flv sebutkan jari telunjuk sehingga menunjukkan adanya pembentukan infiks –el- sesuai kategori (c) dalam teori Verhaar(2001). Tetapi setelah peneliti mengucapkan kata telunjuk dengan benar, Flv dapat menirukan dengan mengucapkan telujuk walaupun fonem n dihilangkannya. Flv dapat membentuk infiks –el- dengan cara membeo. Hal tersebut tidak menunjukkan terjadinya gangguan berbahasa seperti yang dikatakan Haron(1997).


(1)

66 BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh peneliti di lapangan, dapat ditarik simpulan bahwa anak autisme usia 8-13 tahun yaitu Flv, 2, dan 3 memiliki kemampuan yang berbeda dalam membentuk afiks. Semakin besar usia, semakin berkembang baik kemampuan pembentukan afiks sejalan dengan banyaknya bimbingan yang telah diberikan oleh terapis dan orang tua mereka. Pembentukan prefiks dan sufiks paling banyak dikuasai anak autisme daripada pembentukan infiks dan konfiks. Anak autisme usia tersebut mengalami gangguan berbahasa berupa afasia motorik subkortikal serta gangguan berbahasa seperti omission (penghilangan unsur bahasa), substitussion (pertukaran unsur bahasa), dan addition (penambahan unsur bahasa) dalam pembentukan afiks.

Kemampuan ketiga anak autisme tersebut sangat terbatas, terutama dalam perkembangan bahasa mereka. Kemampuan medan Broca dan medan Wernicke mereka juga terbatas dibandingkan anak normal seusianya. Pada penelitian ini dihasilkan analisis yang hanya berfokus pada medan Broca subjek penelitian. Flv, 2, dan 3 mengalami keterbelakangan mental sosial dan kerusakan perkembangan saraf pusat sehingga mereka mengalami kesulitan dalam membentuk afiks apabila tidak adanya pancingan yang diberikan oleh peneliti ataupun terapisnya yaitu berupa penjelasan dan pengucapan kata berafiks yang benar.


(2)

67 5.2 Saran

Penelitian ini diharapkan dapat melengkapi ilmu kebahasaan, khususnya untuk penelitian tentang gangguan pembentukan afiks dalam bahasa Indonesia yang berkaitan dengan bidang ilmu morfologi dan neurolinguistik, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang pembentukan afiks apa yang dapat dibentuk oleh anak autisme pada umumnya. Peneliti mengharapkan akan bertambahya para peneliti bahasa untuk melakukan penelitian atau pengkajian lainnya terhadap anak autisme.

Peneliti menyarankan juga kepada para orang tua dan terapis untuk terus melatih dan mendampingi anak autisme untuk berbicara agar kemampuan berbahasanya dapat terus berkembang dan membaik. Anak autisme merupakan anak yang selalu membutuhkan arahan dan bimbingan selama hidupnya agar mereka dapat menjalani kehidupan sehari-hari dan berinteraksi dengan lingkungan sosial, karena itu jangan putus asa untuk selalu memperhatikan dan memberikan kasih sayang kepada mereka.


(3)

68

DAFTAR PUSTAKA

Aritonang, Hendra Eriyanto. 2014. “Kosakata Kerja Bahasa Indonesia dalam Bahasa Lisan Anak Autistik : Analisis Psikolinguistik Behaviorisme”. (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Cahyono, Bambang Yudi. 1995. Kristal-Kristal Ilmu Bahasa. Surabaya: Airlangga University Press.

Chaer, Abdul. 2008. Morfologi Bahasa Indonesia (Pendekatan Proses). Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. ECHA Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Grasindo.

Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Girsang, Jenni Rukia. 2013. “Gangguan Penggunaan Kalimat Dasar Bahasa Indonesia pada Penyandang Spektrum Autisme”. (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Gustianingsih. 2009. “Produksi dan Komprehensi Bunyi Ujaran Bahasa Indonesia pada Penyandang Autism Spectrum Disorder”. (Disertasi). Medan: Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera utara.

Haron, Mohammed. 1997. “Kendala Komunikasi Manusia: Aspek Kecacatan Artikulasi”. Jurnal Dewan Bahasa, edisi April 1997. Kuala Lumpur: University Malaya.


(4)

69

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik, Edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Putrayasa, Ida Bagus. 2008. Kajian Morfologi (Bentuk Derivasional dan Infleksional). Bandung: Refika Aditama.

Rajagukguk, Adrina M. 2012. “Kalimat Inti Bahasa Indonesia pada Penderita Afasia Broca”. (Skripsi). Medan: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Ramlan, M. 1983. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: Karyono. Salliyanti. 2011. Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi. Medan: Bartong Jaya. Simanjuntak, Mangantar. 2009. Pengantar Neuropsikolinguistik. Medan:

Perpustakaan Nasional Republik Indonesia.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Verhaar, J. W. M. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.


(5)

70 Lampiran 1


(6)

71 Lampiran 2

BIODATA ANAK

1. Nama : Fahlevi Tarigan

Umur : 9 Tahun

Agama : Islam

Alamat : Komplek Setia Budi Nama orang tua : Anwar Tarigan Pekerjaan orang tua : Kontraktor

2. Nama : Aiga Kartika

Umur : 12 Tahun

Agama : Islam

Alamat : Jl. Gatot subroto, Titi Papan Nama orang tua : Eli

Pekerjaan orang tua : Pengusaha jual Rotan

3. Nama : Jolyn Junawi

Umur : 8 Tahun

Agama : Budha

Alamat : Jalan Kapten Muslim Nama orang tua : Juki Junawi