Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Spending Habit Berdasarkan Power Prestige, Etnis, dan Derajat Extrovert T2 912012019 BAB I
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam membelanjakan uangnya, beberapa orang
lebih memperhatikan nilai manfaat yang diperoleh dari
barang atau jasa yang telah dibeli, beberapa lainnya
cenderung untuk membeli / mengkonsumsi barang
atau jasa secara berlebihan tanpa memperhatikan lagi
skala
prioritasnya
(Aryani,
2006).
Kecenderungan
berbelanja hanya untuk memenuhi keinginannya itulah
yang disebut sebagai spending habit.
Roberts & Sepulveda (1998) dalam penelitiannya
menyebutkan
bahwa
faktor
terpenting
yang
erat
kaitannya dengan spending habit seseorang adalah
sikap
seseorang
terhadap
uang
(money
attitude),
dimana ditegaskan kembali dalam hasil penelitian
Cummin et al. et al. (2005) yang menjabarkan bahwa
perubahan sikap mahasiswa terhadap uang berimbas
pada gaya hidup mahasiswa yang cenderung boros
pada masa kini. Perubahan sikap mahasiswa terhadap
uang dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan
dalam
cara
hidup
dimana
dengan
kata
lain
menunjukkan kebutuhan untuk diakui (Hawkins dkk.,
2000). Kebutuhan untuk diakui dalam dimensi money
1
attitude yang dikemukakan Yamauchi & Templer (1982)
merujuk pada power-prestige.
Perbedaan
money
attitude
sendiri
dapat
dipengaruhi beberapa faktor antara lain perbedaan
faktor demografis seperti usia (Bailey & Lown, 1993)
dan jenis kelamin (Prince, 1991); faktor sikap seperti
kerja dan kepuasan hidup (Mitchell & Mickel, 1999);
dan juga faktor Emotional Intelegence (Engelberg &
Sjoeberg, 2006). Faktor lain yang terbukti memiliki
pengaruh terhadap money attitude adalah faktor etnis
(Masuo et al., 2004). Sejauh ini, di Indonesia belum
ditemui
penelitian
sejenis,
padahal
berbeda
etnis
berbeda pula pengajaran sikap terhadap uang.
Etnis Tionghoa dan etnis Jawa merupakan contoh
dua etnis di Indonesia yang masih berpegang teguh
pada ajaran leluhur. Etnis Tionghoa mengajarkan pada
anaknya cara mengelola uang baik untuk pengeluaran
maupun investasi. Prinsip “uang harus menghasilkan
uang”
terus
keturunannya,
keturunan
ditanamkan
sehingga
Tionghoa
dalam
sebagian
di
Indonesia
pola
besar
hidup
pikir
warga
dengan
berorientasi pada entrepeneur/berdagang (Tan, 2010).
Hal tersebut diduga berimbas pada sikap terhadap
uang yang dimiliki anak-anak mudanya. Anak muda
keturunan Tionghoa menganggap uang sebagai modal
atau
simpanan
yang
suatu
saat
nanti
harus
dikembangkan. Tan (2010) lebih lanjut menyebutkan
2
bahwa pada anak muda masyarakat setempat yang
bukan keturunan Tionghoa dapat dilihat memiliki sikap
yang berbeda terhadap uang. Bagi masyarakat Jawa,
uang dipandang dengan sikap yang berbeda. Uang
dipandang sebagai alat untuk bersosialisasi, atau
untuk bersedekah, namun, bisa didapati money attitude
yang sama seperti etnis Tionghoa pada anak muda etnis
Jawa
yang
disebabkan
adanya
pencampuran
kebudayaan keduanya baik dalam keluarga atau dalam
lingkungan,
mengingat
persebaran
etnis
Jawa
merupakan yang terbesar di Indonesia (Hasbullah,
2012). Salah satu contohnya adalah anak muda
keturunan Jawa yang menganggap uangnya sebagai
alat
investasi
masa
membelanjakan
depan
uangnya
sehingga
sesuai
cenderung
perencanaan
dan
kebutuhan pentingnya saja.
Selain
faktor
etnis,
faktor
yang
diduga
menyebabkan perbedaan money attitude pada tiap
orang adalah tipe kepribadiannya. Dugaan tersebut
muncul
karena
mempengaruhi
faktor
kepribadian
seseorang
dalam
ternyata
turut
bersikap
dan
bertindak, salah satu contohnya adalah keputusan
dalam membeli barang (Prasetijo & Ihalauw, 2005).
Dimensi kepribadian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah extrovert, karena tipe kepribadian tersebut
sudah mewakili perbedaan afektif (sikap, karakter,
respon terhadap lingkungan sekitarnya) tiap individu;
3
extrovert mewakili orang yang bersifat terbuka (sociable,
easy going, optimistic), atau juga dapat dikatakan
individu
berkepribadian
extrovert
memiliki
derajat
introvert yang kecil (Eysenck & Eysenck, 1985).
Penelitian yang ada sebelumnya hanya menguji
secara terpisah ada tidaknya pengaruh etnis terhadap
money attitude (Masuo et al., 2004) dan keterkaitan
antara money attitude dengan spending habit (Roberts &
Sepulveda,
1998;
Cummin
et
al.
et
al.,
2005),
sedangkan penelitian mengenai ada atau tidaknya
pengaruh baik antara etnis dan derajat extrovert
terhadap
spending
(diintegrasikan
habit
secara
baik
langsung)
secara
langsung
maupun
dengan
dimensi power prestige dari money attitude sebagai
variabel mediasinya, belum ada, sehingga hal itulah
yang menjadi motivasi penelitian ini dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah etnis dan derajat extrovert berpengaruh
secara signifikan terhadap power prestige?
2. Apakah etnis dan derajat extrovert berpengaruh
secara langsung terhadap spending habit?
3. Apakah power prestige dapat menjadi variabel
mediasi
bagi
etnis
dan
terhadap spending habit?
4
derajat
extrovert
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji pengaruh etnis dan derajat
extrovert terhadap power prestige
2. Untuk menguji pengaruh etnis dan derajat
extrovert secara langsung terhadap spending
habit
3. Untuk menguji apakah power prestige dapat
menjadi variabel mediasi bagi etnis dan derajat
extrovert terhadap spending habit
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah
untuk menambah pemahaman dalam bidang
personal finance khususnya dalam pembahasan
mengenai money attitude, serta memberikan
pemahaman yang baru mengenai hubungan
etnis dan derajat extrovert terhadap power
prestige
dan
spending
habit
dengan
mengintegrasikan secara langsung variabel etnis
dan derajat extrovert terhadap spending habit,
dan
dengan
menggunakan
power
prestige
sebagai variabel mediasi antara variabel etnis
dan derajat extrovert terhadap spending habit.
5
2. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
berguna
khususnya bagi para mahasiswa untuk lebih
memahami apa yang mempengaruhi spending
habit
seseorang,
sehingga
dapat
lebih
mengendalikan dirinya untuk tidak berperilaku
boros.
6
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam membelanjakan uangnya, beberapa orang
lebih memperhatikan nilai manfaat yang diperoleh dari
barang atau jasa yang telah dibeli, beberapa lainnya
cenderung untuk membeli / mengkonsumsi barang
atau jasa secara berlebihan tanpa memperhatikan lagi
skala
prioritasnya
(Aryani,
2006).
Kecenderungan
berbelanja hanya untuk memenuhi keinginannya itulah
yang disebut sebagai spending habit.
Roberts & Sepulveda (1998) dalam penelitiannya
menyebutkan
bahwa
faktor
terpenting
yang
erat
kaitannya dengan spending habit seseorang adalah
sikap
seseorang
terhadap
uang
(money
attitude),
dimana ditegaskan kembali dalam hasil penelitian
Cummin et al. et al. (2005) yang menjabarkan bahwa
perubahan sikap mahasiswa terhadap uang berimbas
pada gaya hidup mahasiswa yang cenderung boros
pada masa kini. Perubahan sikap mahasiswa terhadap
uang dimaksudkan untuk menunjukkan perbedaan
dalam
cara
hidup
dimana
dengan
kata
lain
menunjukkan kebutuhan untuk diakui (Hawkins dkk.,
2000). Kebutuhan untuk diakui dalam dimensi money
1
attitude yang dikemukakan Yamauchi & Templer (1982)
merujuk pada power-prestige.
Perbedaan
money
attitude
sendiri
dapat
dipengaruhi beberapa faktor antara lain perbedaan
faktor demografis seperti usia (Bailey & Lown, 1993)
dan jenis kelamin (Prince, 1991); faktor sikap seperti
kerja dan kepuasan hidup (Mitchell & Mickel, 1999);
dan juga faktor Emotional Intelegence (Engelberg &
Sjoeberg, 2006). Faktor lain yang terbukti memiliki
pengaruh terhadap money attitude adalah faktor etnis
(Masuo et al., 2004). Sejauh ini, di Indonesia belum
ditemui
penelitian
sejenis,
padahal
berbeda
etnis
berbeda pula pengajaran sikap terhadap uang.
Etnis Tionghoa dan etnis Jawa merupakan contoh
dua etnis di Indonesia yang masih berpegang teguh
pada ajaran leluhur. Etnis Tionghoa mengajarkan pada
anaknya cara mengelola uang baik untuk pengeluaran
maupun investasi. Prinsip “uang harus menghasilkan
uang”
terus
keturunannya,
keturunan
ditanamkan
sehingga
Tionghoa
dalam
sebagian
di
Indonesia
pola
besar
hidup
pikir
warga
dengan
berorientasi pada entrepeneur/berdagang (Tan, 2010).
Hal tersebut diduga berimbas pada sikap terhadap
uang yang dimiliki anak-anak mudanya. Anak muda
keturunan Tionghoa menganggap uang sebagai modal
atau
simpanan
yang
suatu
saat
nanti
harus
dikembangkan. Tan (2010) lebih lanjut menyebutkan
2
bahwa pada anak muda masyarakat setempat yang
bukan keturunan Tionghoa dapat dilihat memiliki sikap
yang berbeda terhadap uang. Bagi masyarakat Jawa,
uang dipandang dengan sikap yang berbeda. Uang
dipandang sebagai alat untuk bersosialisasi, atau
untuk bersedekah, namun, bisa didapati money attitude
yang sama seperti etnis Tionghoa pada anak muda etnis
Jawa
yang
disebabkan
adanya
pencampuran
kebudayaan keduanya baik dalam keluarga atau dalam
lingkungan,
mengingat
persebaran
etnis
Jawa
merupakan yang terbesar di Indonesia (Hasbullah,
2012). Salah satu contohnya adalah anak muda
keturunan Jawa yang menganggap uangnya sebagai
alat
investasi
masa
membelanjakan
depan
uangnya
sehingga
sesuai
cenderung
perencanaan
dan
kebutuhan pentingnya saja.
Selain
faktor
etnis,
faktor
yang
diduga
menyebabkan perbedaan money attitude pada tiap
orang adalah tipe kepribadiannya. Dugaan tersebut
muncul
karena
mempengaruhi
faktor
kepribadian
seseorang
dalam
ternyata
turut
bersikap
dan
bertindak, salah satu contohnya adalah keputusan
dalam membeli barang (Prasetijo & Ihalauw, 2005).
Dimensi kepribadian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah extrovert, karena tipe kepribadian tersebut
sudah mewakili perbedaan afektif (sikap, karakter,
respon terhadap lingkungan sekitarnya) tiap individu;
3
extrovert mewakili orang yang bersifat terbuka (sociable,
easy going, optimistic), atau juga dapat dikatakan
individu
berkepribadian
extrovert
memiliki
derajat
introvert yang kecil (Eysenck & Eysenck, 1985).
Penelitian yang ada sebelumnya hanya menguji
secara terpisah ada tidaknya pengaruh etnis terhadap
money attitude (Masuo et al., 2004) dan keterkaitan
antara money attitude dengan spending habit (Roberts &
Sepulveda,
1998;
Cummin
et
al.
et
al.,
2005),
sedangkan penelitian mengenai ada atau tidaknya
pengaruh baik antara etnis dan derajat extrovert
terhadap
spending
(diintegrasikan
habit
secara
baik
langsung)
secara
langsung
maupun
dengan
dimensi power prestige dari money attitude sebagai
variabel mediasinya, belum ada, sehingga hal itulah
yang menjadi motivasi penelitian ini dilakukan.
1.2. Rumusan Masalah
1. Apakah etnis dan derajat extrovert berpengaruh
secara signifikan terhadap power prestige?
2. Apakah etnis dan derajat extrovert berpengaruh
secara langsung terhadap spending habit?
3. Apakah power prestige dapat menjadi variabel
mediasi
bagi
etnis
dan
terhadap spending habit?
4
derajat
extrovert
1.3. Tujuan Penelitian
1. Untuk menguji pengaruh etnis dan derajat
extrovert terhadap power prestige
2. Untuk menguji pengaruh etnis dan derajat
extrovert secara langsung terhadap spending
habit
3. Untuk menguji apakah power prestige dapat
menjadi variabel mediasi bagi etnis dan derajat
extrovert terhadap spending habit
1.4. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis dalam penelitian ini adalah
untuk menambah pemahaman dalam bidang
personal finance khususnya dalam pembahasan
mengenai money attitude, serta memberikan
pemahaman yang baru mengenai hubungan
etnis dan derajat extrovert terhadap power
prestige
dan
spending
habit
dengan
mengintegrasikan secara langsung variabel etnis
dan derajat extrovert terhadap spending habit,
dan
dengan
menggunakan
power
prestige
sebagai variabel mediasi antara variabel etnis
dan derajat extrovert terhadap spending habit.
5
2. Hasil
penelitian
ini
diharapkan
berguna
khususnya bagi para mahasiswa untuk lebih
memahami apa yang mempengaruhi spending
habit
seseorang,
sehingga
dapat
lebih
mengendalikan dirinya untuk tidak berperilaku
boros.
6