Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Spending Habit Berdasarkan Power Prestige, Etnis, dan Derajat Extrovert T2 912012019 BAB II

BAB II
TELAAH TEORITIS DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS

2.1. Spending habit
Didalam bidang ilmu marketing terdapat istilah
perilaku konsumen (consumer behavior), yaitu proses
yang dilalui oleh seseorang untuk mencari, membeli,
menggunakan, mengevaluasi, dan bertindak pasca
konsumsi produk, jasa maupun ide yang diharapkan
bisa memenuhi kebutuhannya (Schiffman & Kanuk,
2000; Kotler, 2000). Dari definisi tersebut, consumer
behavior dibagi menjadi 3 tahap : tahap perolehan,
konsumsi, dan tindakan pasca beli.
Tahap perolehan yang dimaksud fokus kepada
proses konsumen mencari informasi mengenai barang
atau jasa yang akan dibeli dan memutuskan untuk
membelinya, tahap konsumsi fokus kepada bagaimana
menggunakan dan mengevaluasi, sedangkan tahap
tindakan pasca beli fokus kepada apa yang dilakukan
konsumen

dikonsumsi.

setelah

produk

itu

digunakan

atau

Prasetijo & Ihalauw (2005) kemudian

menyatakan bahwa perhatian ilmu consumer behavior
berpusat pada tahap perolehan; bagaimana konsumen
secara

individu


membuat

keputusan

beli

menggunakan sumber – sumber yang tersedia.
7

dengan

Konsep ‘keputusan beli’ ternyata juga digunakan
dalam bidang ilmu finance, dimana Jacobs dan Shipp
(1990) sudah menggunakan konsep tersebut dengan
mengggunakan istilah spending dan mendefinisikannya
sebagai pola konsumsi setiap keluarga berdasarkan
besarnya pendapatan yang diterima. Penelitian Dröge
dkk. (1993) juga menggunakan konsep tersebut dengan
lebih


menspesifikkan

pada

personal/individu

dan

istilah yang digunakan adalah consumption culture.
Namun, yang membedakan konsep ‘keputusan beli’
dalam dua penelitian tersebut dengan ‘konsep beli’
dalam

bidang

ilmu

marketing

adalah


pada

kecendrungan individu dalam pengambilan keputusan,
bukan terhadap pemilihan item tertentu, tetapi lebih
terhadap dua hal : pemenuhan kebutuhan ataukah
pemenuhan keinginan.
Penelitian
kemudian

selanjutnya

hanya

menyoroti

(Furnham,
salah

satu


1999)
indikator

tersebut, yaitu pemenuhan keinginan yang nampak
dari seberapa cepat seseorang dalam menghabiskan
uangnya. Dengan kata lain, Furnham mendefinisikan
spending habit sebagai kecendrungan seseorang dalam
membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginan
(perilaku boros), dan definisi konsep itulah yang dipakai
dalam penelitian ini.

8

2.2. Power prestige
Power prestige merupakan salah satu dimensi
dari money attitude yang dikemukakan Yamauchi &
Templer (1982) dimana money attitude sendiri berarti
sikap


terhadap

uang,

sehingga

jelas

objek

yang

dievaluasi adalah uang. Sikap (Attitude) diarahkan oleh
Ajzen (2005) lebih kepada respon, sikap seseorang
(bukan tindakan), yang bersifat evaluatif dua kutub
terhadap suatu objek atau perilaku tertentu : setuju
atau menolak, baik atau buruk, perasaan mendukung
(positif) atau tidak mendukung (negatif).
Haning (2012) kemudian hanya menjabarkan
money attitude sebagai kecenderungan sikap yang

bersifat positif atau negatif terhadap uang. Sikap yang
bersifat negatif terhadap uang membimbing individu
pada perilaku konsumtif dan boros. Dalam 5 dimensi
money attitude yang dikembangkan oleh Yamauchi &
Templer (1982), power-prestige mewakili sisi negatif
terhadap uang, sehingga dimensi inilah yang digunakan
dalam penelitian ini tetapi harus dengan beberapa
penyesuaian,

karena

pertanyaan

kuesioner

yang

diajukan Yamauchi dan Templer lebih mengarah pada
behavior, bukan attitude, walaupun Yamauchi dan
Templer sendiri mendefinisikan money attitude lebih

condong

pada

sikap.

Dimensi

power-prestige

menunjukkan penggunaan uang sebagai alat untuk
mempengaruhi dan mengesankan orang lain serta
9

sebagai simbol kesuksesan. Selain itu, uang dipandang
sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan (power)
atas lingkungan dan orang disekitarnya, sehingga orang
dengan

sikap


power-prestige

menghamburkan

uang,

cenderung

berkebalikan

dari

suka
dimensi

retention time yang menunjukkan kehati-hatian dalam
menggunakan uang (Tang, 1995).

2.3. Etnis

Etnis berarti kelompok sosial dalam sistem sosial
atau

kebudayaan

yang

mempunyai

arti

atau

kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama,
bahasa,

dan

sebagainya.


Anggota-anggota

suatu

kelompok etnis memiliki kesamaan dalam hal sejarah
(keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun
tidak), sistem nilai, serta adat-istiadat dan tradisi
(Ardiana, 2011). Dalam diri individu, pengaruh etnis
sangat kuat dalam membentuk nilai, norma, pola pikir
dan gaya hidup. Individu dengan pola pandang yang
berbeda akan mengakibatkan keragaman dalam pola
perilaku

bermasyarakat

(Anderson

&

Paskeviciute,

2006).
Dalam penelitian ini digunakan dua jenis etnis
yang terdapat di Indonesia, yaitu etnis Tionghoa dan
etnis Jawa dikarenakan dua etnis ini memiliki sikap
yang berbeda terhadap uang, dimana hal tersebut
diduga merupakan dampak dari tetap berpegang teguh
10

pada

ajaran

leluhur

(Tan,

2010).

Wijaya

(2007)

mendefinisikan orang Tionghoa (Cina) adalah orang
keturunan Tionghoa yang berfungsi sebagai warga atau
berpihak

pada

masyarakat

Tionghoa

atau

yang

dianggap sebagai orang Tionghoa oleh orang Indonesia
pribumi dan mendapatkan perlakuan tertentu sebagai
akibatnya. Lebih lanjut Wijaya mendefinisikan etnis
Jawa sebagai etnis yang banyak bermukim di pulau
Jawa khususnya Jawa bagian Tengah dan Timur,
dimana etnis ini mempunyai pola perilaku dan aturanaturan yang khas dan berlandaskan falsafah hidup
yang telah digariskan secara turun-temurun sebagai
tradisi yang harus dipatuhi dan dijaga kelestariannya.

2.4. Derajat Extrovert
Extrovert merupakan salah satu dimensi dari
Personality

(kepribadian)

dimana

personality

dideskripsikan Larsen dan Buss (2010) sebagai:
“the set of psychological traits and mechanisms within
the individual that are organized and relatively enduring
and that influence his or her interactions with, and
adaptations to, the intrapsychic, physical, and social
environments.”

11

Definisi

tersebut

melihat

personality

sebagai

mekanisme internal seseorang yang juga terkait dengan
interaksinya dengan lingkungan sosial.
Dimensi Extrovert pertama kali diperkenalkan
oleh Carl G. Jung pada tahun 1933 (dalam Sharp,
1987), individu berkepribadian extrovert cenderung
memiliki derajat kepribadian introvert yang kecil atau
bahkan

tidak

sama

sekali.

Dalam

penelitian

selanjutnya, dimensi extrovert-introvert terus digunakan
(Berenbaum & Williams, 1995; Lucas & Baird, 2004)
dikarenakan

dimensi

tersebut

merupakan

major

dimension (dimensi utama) dari personality (Wilt &
Revelle, 2008); sudah mewakili perbedaan afektif (sikap,
karakter, respon terhadap lingkungan sekitarnya) tiap
individu (Revelle & Scherer, 2009). Cattell (1957)
mendeskripsikan

extrovert

sebagai

action-oriented,

highly impulsive, social, and ascendant. Hampir sama
seperti Cattell, Goldberg et al. (2005) menyatakan
individu

yang

memiliki

derajat

Extrovert

tinggi

cenderung senang bersosialisasi, berani dan gemar
bercakap-cakap.

2.5. Rumusan Hipotesis
2.5.1.Pengaruh Etnis terhadap Spending habit
Ajaran etnis dapat menurun pada tiap individu
yang ada di dalamnya (Purba, 2004). Etnis Tionghoa
misalnya,

mengajarkan

pada
12

anak-anaknya

untuk

memiliki, mengelola, dan menyimpan uang sebanyak –
banyaknya

(Tan,

2010).

Etnis

lain

seperti

Jawa

mengajarkan uang sebagai alat pengikat persaudaraan
sehingga seseorang tidak segan untuk mengeluarkan
uang demi kepentingan bersosialiasi. Diluar dua etnis
tersebut,

etnis

Manado

misalnya,

karena

uang

dipandang sebagai simbol kesuksesan maka cenderung
membelanjakan uangnya untuk memenuhi keinginan
(Mandey, 2009). Dari situ, muncul dugaan bahwa etnis
turut berpengaruh terhadap spending habit seseorang.
Penelitian

Othman

dkk.

(2005)

menemukan

adanya perbedaan pola beli kado antara konsumen di
negara Malaysia dengan konsumen di negara China.
Hasil penelitian sebelumnya (Jung & Kau, 2004)
semakin

memperkuat

menemukan

adanya

dugaan

tersebut

perbedaan

pola

dengan
konsumsi

konsumen antar 3 etnis yang berbeda di satu negara,
yaitu etnis Malay, Chinese, dan India di Singapura,
dalam hal pemilihan brand dan penyebaran informasi
dalam memilih barang.
Hipotesis

1

:

“Etnis

memiliki pengaruh

signifikan

terhadap spending habit”

2.5.2. Pengaruh

Derajat

Extrovert

terhadap

Spending habit
Kepribadian
seseorang

baik

turut

terhadap
13

mempengaruhi

tindakan

dirinya

maupun

sendiri

lingkungan sosialnya. Sebagai contoh, Nave dkk. (2010)
dalam penelitiannya menyebutkan bahwa anak – anak
dengan kepribadian „verbally fluent‟ (fasih dalam verbal
namun

terkendali)

cenderung

bertindak

dominan

terhadap lingkungan pergaulannya dan dapat dengan
cepat membaur jika dimasukkan dalam kelompok
pergaulan lain. Nave dalam penelitiannya yang lain
bersama Sherman (2010) menyebutkan bahwa ketika
seseorang dihadapkan pada situasi yang sama lebih
dari satu kali, tindakan yang dilakukan bisa tidak
sama, dan faktor yang mempengaruhi hal tersebut
adalah kepribadian.
Dugaan bahwa faktor kepribadian berpengaruh
pada

tindakan

atau

kebiasaan

seseorang

juga

ditemukan pada tindakan seseorang terhadap uang
yang dimiliki. Individu yang level extraversion-nya
rendah, atau dengan kata lain bertipe konseptual
(introvert) dan pragmatis memiliki kesamaan dalam hal
melaksanakan segala sesuatunya berdasarkan rencana,
termasuk mengenai uang, sehingga individu dengan
kepribadian
“saving”,

ini

bukan

lebih

cenderung

„spending”.

Lain

senang
halnya

terhadap
dengan

individu yang level extrovertion-nya tinggi yang lebih
senang melakukan segala sesuatunya secara spontan,
sehingga dapat mengalami perbuatan emosional yang
muncul tiba – tiba dimana salah satu perbuatan
emosional

yang

kerap

dilakukan
14

adalah

adanya

pengeluaran tak terduga yang berasal dari keinginan,
bukan kebutuhan.
Penelitian sebelumnya membuktikan individu
dengan

kepribadian

extrovert

perilaku

pembelian

kompulsif

akan

menunjukkan

yang

lebih

besar

(Shahjehan dkk., 2012), sehingga diduga kepribadian
berpengaruh terhadap spending habit seseorang.
Hipotesis 2 : “Derajat extrovert memiliki pengaruh
signifikan terhadap spending habit”

2.5.3. Pengaruh Power prestige terhadap Spending
habit
Dimensi money attitude yang dikemukakan oleh
Yamauchi dan Templer menggambarkan pola pandang
individu terhadap uang yang dimilikinya. Pola pandang
Retention Time menunjukkan kehati – hatian seseorang
dalam mengeluarkan uang, karena uang dianggap
sebagai

alat

investasi

sehingga

individu

yang

mempunyai dimensi money attitude ini cenderung
mempunyai perencanaan pengeluaran yang baik dan
tidak menjadi compulsive buyers. Berbeda dengan pola
pandang

Power

prestige,

yang

menganggap

uang

sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan atau untuk
mempengaruhi orang lain sehingga individu yang
mempunyai dimensi money attitude ini cenderung
semaunya dalam mengeluarkan uang untuk menarik
simpati

dari

lingkungan

pergaulannya;
15

dari

pola

pandang itulah diduga money attitude berhubungan
dengan spending habit seseorang.
Hasil

penelitian

Burgess

dkk.

(2005)

menunjukkkan bahwa analisa tentang money attitude
penduduk berperan penting dalam tindakan seseorang,
dalam penelitiannya disebutkan pembelian produk
financial di Afrika Selatan. Dugaan money attitude
berhubungan

dengan

spending

habit

seseorang

semakin diperkuat dengan hasil penelitian Stollak dkk.
(2011) yang menyebutkan adanya hubungan antara
sikap individu terhadap uang yang ditunjukkan melalui
manajemen

budgeting

ditunjukkan

dengan

terhadap
adanya

pola

konsumsi,

perbedaan

antara

mahasiswa tingkat tinggi (yang sudah lebih tertata
manajemen

budgeting-nya

pengetahuannya

tentang

karena
hal

itu)

lebih

banyak

dibandingkan

juniornya atau freshmen dalam hal menghabiskan uang
jajannya;

junior

dan

freshmen

cenderung

untuk

menghabiskan uang jajannya untuk pengeluaran sehari
– hari dalam jumlah besar.
Hipotesis

3

:

“Power

prestige

signifikan terhadap spending habit”

16

memiliki

pengaruh

2.5.4. Pengaruh Etnis terhadap Power prestige
Anderson & Paskeviciute (2006) mengemukakan
bahwa

etnis

berpengaruh

sangat

kuat

dalam

membentuk pola pikir dan gaya hidup seseorang, yang
juga mengarah pada perbedaan dalam mengelola uang.
Terkait dengan hal tersebut, penelitian sebelumnya oleh
Bailey

&

Lown

(1993)

menemukan

adanya

ketidaksamaan money attitude yang dimiliki penduduk
di 2 negara yang berbeda, dan disebutkan bahwa
perbedaan budaya antar negara yang menyebabkan hal
itu. Penelitian Falahati dkk. (2011) kemudian secara
spesifik menyatakan bahwa tidak perlu berbeda negara,
di dalam satu negara pun jika etnisnya berbeda maka
financial management yang dimiliki pun juga akan
berbeda; dibuktikan dengan adanya perbedaan financial
management antar etnis Malay, Chinese, dan Indian di
negara Malaysia. Dari hasil penelitian tersebut maka
diduga etnis berpengaruh terhadap money attitude
seseorang, dalam penelitian ini dimensi power prestige.
Hipotesis

4

:

“Etnis

memiliki pengaruh

signifikan

terhadap power prestige”

2.5.5. Pengaruh Derajat Extrovert terhadap Power
prestige
Kepribadian

mengarahkan

individu

dalam

bersikap, baik terhadap dirinya sendiri maupun kepada
lingkungan sekitarnya. Sikap terhadap dirinya sendiri
17

membantu individu tersebut mengatasi permasalahan
yang terjadi dalam hidup, salah satunya masalah
keuangan. Contohnya, individu yang level extraversionnya rendah, atau dengan kata lain bertipe konseptual
(introvert)

melaksanakan

segala

sesuatunya

berdasarkan rencana, sehingga dalam keuangan pun
diduga bersifat hati – hati dan penuh pertimbangan .
Prinsip kehati – hatian dan penuh perencanaan
tersebut ternyata dapat ditemukan dalam salah satu
dimensi money attitude yang dikemukakan Yamauchi &
Templer (1982) yaitu dimensi retention time, dimana
dalam dimensi ini uang dipandang sebagai jaminan
hari tua sehingga uang perlu dikelola dengan baik. Lain
halnya pada individu dengan kepribadian extrovert.
Olson & Weber (2004) menyatakan bahwa extrovert
terkait

dengan

kebutuhan

akan

kontak

sosial,

kekuasaan, dan status. 3 prinsip tersebut juga dapat
ditemui dalam salah satu dimensi money attitude yang
dikemukakan Yamauchi & Templer (1982) yaitu powerprestige

dimana

uang

dipandang

sebagai

sumber

kekuasaan.
Hipotesis 5 : “Derajat Extrovert memiliki pengaruh
signifikan terhadap power prestige”

18

2.5.6. Power prestige sebagai Variabel Mediasi dari
Etnis terhadap Spending habit
Pola pandang yang dimiliki suatu etnis melekat
erat pada keturunannya. Etnis Tionghoa misalnya,
mempunyai prinsip ‘uang harus menghasilkan uang’
dan ‘hidup tidak hanya untuk hari ini melainkan juga
untuk hari esok’. Dari prinsip tersebut terlihat bahwa
uang dapat dipandang sebagai tolak ukur kesuksesan,
alat untuk investasi, atau bahkan tabungan di masa
depan sehingga muncul tindakan dari keturunannya
untuk memiliki, mengelola, dan menyimpan uang
sebanyak



banyaknya.

Etnis

lain

seperti

Jawa

mengajarkan kepada keturunannya untuk memandang
uang sebagai alat pengikat persaudaraan sehingga
seseorang tidak segan untuk mengeluarkan uang demi
kepentingan bersosialisasi. Dari penelitian Falahati
dkk.

(2011)

disebutkan

perbedaan

Financial

management yang berbeda berimbas pada habit yang
berbeda pula; saving habit yang terbaik dimiliki etnis
Chinese, diikuti oleh etnis Malay lalu Indian. Dari
situlah disimpulkan sikap seseorang terhadap uang,
dalam penelitian ini adalah power prestige dapat
menjadi variabel mediasi dari etnis terhadap spending
habit.
Hipotesis 6 : “Power-prestige dapat menjadi variabel
mediasi pengaruh etnis terhadap spending habit”

19

2.5.7. Power prestige sebagai Variabel Mediasi dari
Derajat Extrovert terhadap Spending habit
Seseorang yang memiliki derajat extrovert yang
tinggi selalu terkait dengan kebutuhan akan kontak
sosial, kekuasaan, dan status. Orang tersebut tidak
berpikir lama untuk mengeluarkan uangnya untuk
mendapatkan pengakuan dari lingkungan sekitarnya,
atau

bahkan

kehendaknya.

membuat

orang

Kebutuhan

akan

lain

mengikuti

kontak

sosial,

kekuasaan, dan status tersebut ternyata juga dapat
ditemui dalam dimensi power prestige.
Sikap terhadap uang yang ditunjukkan melalui
dimensi

power-prestige

berarti

menganggap

uang

berperan penting untuk mendapatkan pengakuan dari
pihak

lain

(eksternal),

status

sosial,

achievement,

dominasi atas orang lain dan pada akhirnya uang
dipandang sebagai simbol status dan kesuksesan.
Selain itu, uang juga dipandang sebagai alat untuk
mendapatkan kekuasaan (power) atas lingkungan dan
orang

disekitarnya

sehingga

uang

dipakai

untuk

memengaruhi orang lain. Ketika seseorang sudah
menganggap
dampaknya

uang

sebagai

adalah

alat

cenderung

kekuasaan,

maka

boros

dalam

mengeluarkan uang untuk mendapatkan rasa hormat
dari lingkungan sekitarnya. Dari situlah diduga power
prestige dapat menjadi variabel mediasi bagi derajat
extrovert terhadap spending habit.
20

Hipotesis 7 : “Power-prestige dari money attitude dapat
menjadi variabel mediasi pengaruh derajat extrovert
terhadap spending habit”

Gambar 2.1. Model Penelitian

21