Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP NOVEL THE SCENT OF SAKE KARYA JOYCE LEBRA DAN KONSEP FEMINISME

2.1 Definisi Novel

Novel adalah karangan prosa yang lebih panjang dari cerita pendek dan menceritakan kehidupan seseorang dengan lebih mendalam dengan menggunakan bahasa sehari-hari serta banyak membahas aspek kehidupan manusia. Hal ini mengacu pada pendapat Santoso dan Wahyuningtyas (2010: 46), yang menjelaskan, "Kata novel berasal dari bahasa latin novellas, yang terbentuk dari kata novus yang berarti baru atau new dalam bahasa inggis. Karena novel adalah bentuk karya sastra yang datang dari karya sastra lainnya seperti puisi dan drama. Ada juga yang mengatakan bahwa novel berasal dari bahasa Italia novella yang artinya sama dengan bahasa latin. Novel juga diartikan sebagai suatu karangan atau karya sastra yang lebih pendek daripada roman, tetapi jauh lebih panjang daripada cerita pendek, yang isinya hanya mengungkapkan suatu kejadian yang penting, menarik dari kehidupan seseorang (dari suatu episode kehidupan seseorang) secara singkat dan yang pokok-pokok saja. Juga perwatakan pelaku-pelakunya digambarkan secara garis besar saja, tidak sampai pada masalah yang sekecil-kecilnya. Dan kejadian yang digambarkan itu mengandung suatu konflik jiwa yang mengakibatkan adanya perubahan nasib".


(2)

Sedangkan menurut Sumarjo (dalam Santosa dan Wahyuningtyas, 2010 : 47), “Novel” diartikan sebagai “Novel adalah produk masyarakat. Novel berada dimasyarakat karena novel dibentuk oleh anggota masyarakat berdasarkan desakan-desakan emosional atau

rasional dalam masyarakat”. Sedangkan menurutKamus Besar Bahasa Indonesia 1996

(dalam Siswanto 2008 :141), “Novel” diartikan sebagai "Karangan prosa yang panjang,

mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat pelaku. Masalah yang dibahas tidak sekompleks roman. Biasanya novel menceritakan peristiwa pada masa tertentu. Bahasa yang digunakan lebih mirip bahasa sehari-hari. Meskipun demikian, penggarapan unsur-unsur intrinsiknya masih lengkap, seperti tema, plot, latar, gaya bahasa, nilai tokoh dan penokohan. Dengan catatan, yang ditekankan aspek tertentu dari unsur intrinsik tersebut".

Jenis-jenis novel dapat di bedakan berdasarkan isi cerita dan mutu novel.suharianto ( 1982 : 67) membagi jenis novel berdasarkan tinjauan isi,gambaran dan maksud pengarang, yaitu sebagai berikut :

1. Novel Berendens, yaitu sebuah novel yang menunjukkan keganjilan-keganjilan dan kepincangan- kepincangan dalam masyarakat.Oleh karena itu novel ini sering disebut sebagai novel bertujuan.

2. Novel Psikologi, yaitu novel yang menggambarkan perangai,jiwa seseorang serta perjuangannya.

3. Novel sejarah, yaitu novel menceritakan seseorang dalam suatu masa sejarah.Novel ini melukiskan dan menyelidiki adat istiadat dan perkembangan masyarakat pada masa itu. 4. Novel anak-anak, yaitu novel yang melukiskan kehidupan dunia anak-anak yang dapat

dibacakan oleh orang tua untuk pembelajaran kepada anaknya.

5. Novel detektif, yaitu novel yang isinya mengajak pembaca memutar otak guna memikirkan akibat dari beberapa kejadian yang dilukiskan pengarang dalam cerita.


(3)

6. Novel perjuangan,yaitu novel yang melukiskan suasana perjuangan dan peperangan yang diderita seseorang.

7. Novel Propaganda, yaitu novel yang isinya semata-mat untuk kepentingan propaganda terhadap masyarakat tertentu.

Berdasarkan penjelasan pembagian jenis-jenis novel diatas,maka dapat dilihat bahwa novel “THE SCENT OF SAKE” karya joyce lebra termasuk dalam jenis novel perjuangan.

Novel terbentuk oleh dua unsur,yaitu unsur intrinsic dan unsur ekstrinsik.Unsur intrinsic adalah unsur dalam sastra yang mempengaruhi terciptanya karya sastra tersebut yang terdiri dari tema, alur (plot), latar ( setting), Penokohan (perwatakan) dan sudut pandang ( pusat pengisahan). Sedangkan unsur ekstrinsik adalah unsur luar dari sastra yang ikut mempengaruhi terciptanya suatu karya sastra,unsur ini meliputi latar belakang pengarang,keyakinan dan pandangan hidup pengarang dan sebagainya. Unsur ini mencakup berbagai kehidupan sosial yang menjadi landasan pengarang untuk membuat karya sastra.

2.2 Resensi Novel “The Scent Of Sake”


(4)

Tema adalah pokok permasalahan sebuah cerita, gagasan sentral, atau dasar cerita. Istilah tema sering disamakan pengertiannya dengan topik, padahal kedua istilah ini memiliki pengertian yang berbeda. Topik dalam suatu karya adalah pokok pembicaraan, sedangkan tema adalah gagasan sentral, yakni sesuatu yang hendak diperjuangkan dalam dan melalui suatu karya. Tema suatu cerita biasanya bersifat tersirat (tersembunyi) dan dapat dipahami setelah membaca keseluruhan cerita.

Menurut pendapat Saad (1967:185), tema adalah persoalan pokok yang menjadi pikiran pengarang, di dalamnya terbayang pandangan hidup dan cita-cita pengarang.Pendapat tersebut juga didukung oleh pendapat para ahli lainnya seperti:

Menurut Moeliena (1990:921),Tema adalah pokok pikiran, dasar cerita (dipercakapkan) yang dipakai sebagai dasar mengarang dan mengubah sajak.

Tema suatu cerita hanya dapat diketahui atau ditafsirkan setelah kita membaca cerita serta menganalisis.hal itu dapat dilakukan dengan mengetahui alur cerita serta penokohan dan dialog-dialognya,hal ini sangat penting ketiganya memilki keterkaitan satu sama lain dalam sebuah cerita. Dialog biasanya mendukung penokohan/perwatakan sedangkan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita tersebut berfungsi untuk mendukung alur dan mengetahui bagaimana jalannya cerita tersebut,dari alur inilah kita dapat menafsirkan tema cerita novel tersebut.

Contohnya pada cerita novel “The Scent Of Sake” karya Joyce Lebra, Dalam novel ini diceritakan mengenai berbagai masalah kehidupan yang dialami oleh Rie bahwa hak-haknya telah dibatasi dan perempuan tak dianggap lagi kehadirannya,Sistem budaya jepang kuno mengimpit Rie ,Menghalangi geraknya dari berbagai arah.

Dari hal yang telah penulis jelaskan diatas tampak tema yang ingin disampaikan oleh


(5)

dibatasi Rie mampu bertahan dari apapun yang mendominasinya.Bahwa pundak seorang perempuan,terkadang jauh lebih kuat saat menahan beban yang diletakan diatasnya”.

2.2.2 Alur ( Plot)

Alur adalah arah dari rangkaian peristiwa dalam karya sastra untuk mencapai efek tertentu. Alur juga biasa disebut dengan nama plot atau jalan cerita. Dengan kata lain, alur adalah rangkaian peristiwa yang tersusun berdasarkan hukum sebab akibat (kausalitas).

Peristiwa-peristiwa dalam cerita terhubung satu sama lain. Unsur pembentuk novel selain alur adalah konflik. Konflik adalah ketegangan antara dua unsur dalam alur cerita yang mengharuskan salah satunya berakhir dalam sebuah novel.

Waluyo, (2001:8) menerangkan bahwa plot merupakan jalinan cerita atau kerangka dari awal sampai akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan.

Gustaf Freytag (dalam Waluyo,2001:8) unsur-unsur alur / plot, meliputi :

a. Exposition atau awal cerita. Pada tahap ini biasanya pengarang memberikan pemaparan, pelukisan, pengantar atau pengenalan situasi awal mengenai waktu, tempat, keadaan, tokoh-tokoh dan peristiwa.

“hari itu adalah hari yang tidak bbisa dilupakan oleh rie.Hari saat ibunya mengatakan siapa

yang akan menjadi suaminya kelak.hari itu,ia berlutut di halaman rumahnya yang dingin sambil mengosok kotak sake yang terbuat dari kayu itu sangat berat sehingga rie harus mengangkatnya dengan tali dan katrol.ia menggenggam busa besar di kedua tangan,lalu menngosok kotak sake bolak-balik.Dia terus mengosok sampai ototnya ngilu.”(halaman 1)

Cuplikan diatas merupakan bagian dimana pengarang memperkenalkan tokoh utama cerita yaitu Omura Rie,menuliskan keadaan dan situasi yang melatar belakangi cerita tersebut. b. Komplikasi / penggawataan / pertikaian awal, dalam tahap ini pengarangan menyajikan latar


(6)

“Namun,kali ini,ayahnya berhasil memergoki.”rie bukankah aku sudah mengingatkan mu untuk menjauhi pintu itu!Berbahaya jika kau terlalu dekat dengan kura.Lagi pula membersihkan kotak sake itu bukan tanggung jawabmu.” Rie bangkit,ia melihat ayahnya yang sedang menatap dengan tajam sambil mengerutkan kening.Sang ayah memakai kimono biru tua yang biasa digunakannya untuk kerja.aku matanya berwarna putih sperti buluh ayam,wajahnya tampak membeku dan sepertinya siap menunjukkan amarah.”tolong mengertilah ayah,Rie berbisik dalam hati,Lihatlah aku yang ingin memberikan yang terbaik untukmu dan rumah ini.Namun,ia tidak bias mengucapkan kata-kata itu.(hal-3)

Cuplikan diatas merupakan bagian dimana pengarang mulai menampilkan pertikaian yang dialami tokoh,pertikaian ini isa terjadi karena pertemuan dengan tokoh lain ataupun situasi sosila yang lain dan konflik muncul pada bagian ini.

c. Klimaks atau titik puncak cerita, dimana dalam tahap ini pengarang menyajikan konflik yang meningkat hingga mencapai klimaks atau titik puncak kegawatan dalam cerita.

Rie meletakan tangannya menutupi mulut.Ia heran bagaiman ibunya bias sampai “Membunuh dirinya sendiri”.Tidakkah ia sangat menderita ketika harus kehilangan sikecil bara api di hibaci.”iyah ibu” dia mengangguk kearah ibunya pamit sebelum meninggalakn

ruangan.”

Cuplikan diatas merupakan bagian dimana masalah yang telah terjadi dan semakin rumit pada tahap sebelumnya dating semakin bertumpuk di bagian ini,bias saja mungkin tokoh mengalami hal yang paling sulit dalam hidupnya dibagian ini dan masalah-masalh ini harus segera di selesaikan.

d. Resolusi, dalam tahap ini konflik yang memuncak mulai mereda, rahasia mulai terkuak, jalan kemuar mulai di temukan.


(7)

Beberapa jam kemudian,rie mendengar sebuah rickshaw dan suara laki-laki yang memasuki ruangan.ia bergegas menuju pintu depan untuk menyambut mereka semua.rie segera memperhatikan wajah-wajah mereka focus kepada Yoshitaro yang berdiri paling dekat darinya.“semuanya berjalan dengan lancar,ibu”kata Yoshi. ” bagus! huh! Setelah sekian lama .(hal.469)

Cuplikan diatas merupakan bagian dari awal penyelesaian masalah yang terjadi,tokoh mulai menyelesaikan satu persatu masalah yang dihadapinya.

e. Conclusion atau selesaian, dalam tahap ini merupakan bentuk penyelesaian akhir dari sebuah cerita.

Rie tersenyum sambil membiarkan air mata mulai jatuh membasahi pipinya kala ia memikirkan hal menyakitkan semacam itu.Tidak ada seorang pun yang melihat.betapa beruntung dirinya adalah rie,putri dari Kinzaemon ke-9,istri dari Kinzaemon ke-10,ibu,iya ibu dari Kinzaemon ke-11,dan nenek dari Kinzaemon ke-13.dan,sekarang white tiger menjadi sake nomor satu dijepang.Rie duduk dengan tegap dan tenang didepan butsudan.ia menghirup aroma ragi dari sake,lalu tersenyum lagi.

Cuplikan diatas merupakan penyelesaian persoalan yang dating semua masalah terselesaikan dengan baik,hal ini sesuai dengan kreastifitas pengarang.

Tahapan plot dibentuk oleh satuan-satuan peristiwa,setiap peristiwa ,setiap peristiwa selalu diemban oleh pelaku-pelaku dengan perwatakn tertentu dan selalu memilki setting tertentu dan selalu menampilkan suasana tertentu pula.

Alur atau plot dibagi menjadi dua jenis,yaitu:

1. Alur maju adalah alur yang susunannya mulai dari peristiwa pertama,kedua,ketiga dan sterusnya sampai cerita itu berakhir.

2. Alur mundur adalah alur yang susunanya di mulai dari peristiwa terakhir,kemudia kembali pada peristiwa awal kemudian akhirnya kembali pada peristiwa akhir tadi.


(8)

Dari penjelasan alur (plot) diatas,maka alur yang ada pada novel”The Scent of

Sake”karya Joyce Lebra ini adalah alur campuran.karena dalam cerita ini tidaklah berurut

dari awal tetapi bolak-balik masa kemudia kembali ke masa lalu.

2.2.3 Latar ( Setting)

Dalam KBI (2003: 887) latar adalah tempat dan waktu terjadi peristiwa dalam cerita. KBBI (1999: 569) member definisi yang agak berbeda. Latar diberi definisi keterangan mengenai waktu, ruang, dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra. Dari dua definisi tersebut, sekilas definisi kedua lebih lengkap dan lebih baik. Perbedaan keduanya terletak pada adanya suasana selain tempat dan waktu. Untuk membahas lebih mendalam, definisi kamus saja kurang memadai untuk dijadikan dasar.

Abrams (1971: 157) menyatakan bahwa latar dari karya naratif atau drama adalah tempat secara umum dan waktu historis tindakan terjadi. Kenney (1966: 38) menjelaskan bahwa latar adalah elemen fiksi yang menunjukkan di mana dan kapan terjadi peristiwa. Dengan kata lain, istilah latar mengacu pada titik waktu dan ruang dari peristiwa-peristiwa dalam plot terjadi. Sitti Nurbaya karya Marah Rusli, misalnya, berlatar tempat Padang dan Jakarta pada masa sebelum kemerdekaan.

Menurut Abrams dalam Zainudin (2001:99) secara garis besar latar dikategorikan dalam tiga bagian,yaitu:

1. Latar Tempat

Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi.Unsur tempat yang digunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu,inisial tertentu,mungkin lokasi tertentu tanpa nama yang jelas.


(9)

Dalam novel “The Scent Of Sake” ini,lokasi berlangsungnya peristiwa adalah di kota kobe,Kyoto,jepang.

2. Latar waktu

Latar waktu mengarah pada saat terjadinya peristiwa,yang meliputin hari,tanggal,bulan,bahkan zaman tertentu yang melatarbelakangi cerita tersebut.

Novel ini memilki latar belakang cerita tentang keadaan pada era zaman meiji yaitu sekitar abad 19.Tokoh utamanya sendiri lahir pada tahun 1806 dan semua peristiwa novel ini berlangsung mengikuti sejarah.

3. Latar Sosial

Latar sosial merujuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, serta hal-hal lainnya.

2.2.4 Penokohan (perwatakan)

Penokohan disebut juga perwatakan atau karaterisasi. Perwaakan dalam cerpen adalah pemberian sifat pada pelaku-pelaku cerita. Sifat yang diberikan akan tercermin pada pikiran, ucapan, dan pandangan tokoh terhadap sesuatu. Sifat inilah yang membedakan tokoh satu dengan tokoh lainnya.

Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita, misalnya sebagai jawab

terhadap pertanyaan: “Siapakah tokoh utama novel itu?”, atau “Ada berapa orang jumlah pelaku novel itu?”, atau “Siapakah tokoh protagonis dan antagonis dalam novel itu?, dan sebagainya. Untuk itu perlu kita ketahui bahwa apakah yang dimaksud dengan novel dari pendapat berbagai ahli. Jacob Sumardjo (dalam Fenanie 2001 : 87) menyatakan, “Penokohan merupakan satu bagian terpenting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut


(10)

tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot dan tema. Semakin berkembangnya ilmu jiwa, terutama psiko-analisa, merupakan pula salah satu alasan pentingnya peranan tokoh cerita sebagai bagian yang ditonjolkan oleh pengarang.

Jones (dalam Nurgiyantoro 2007 :165) juga menyatakan, “Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita. Senada dengan pendapat tersebut Abrams (dalam Nurgiyantoro 2007 : 165) juga menyatakan, tokoh cerita adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang siekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Kosasih ( 2008 : 228) juga menyatakan, “Penokohan adalah cara pengarang menggambarkan dan mengembangkan karakter tokoh-tokoh dalam cerita.

Jadi, dari berbagai pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas dalam mengembangkan karakter tokoh-tokoh yang berfungsi untuk memainkan cerita dan menyampaikan ide, motif, plot, dan tema yang ditampilkan dalam suatu karya naratif yang ditafsirkan oleh pembaca memiliki kualitas moral.

Penokohan dalam novel “the scent of sake” adalah sebagai berikut :

1. Rie Omura adalah tokoh utama dalam novel”The Scent Of Sake” yang merupakan seorang

wanita bias menjadi kepala keluarga selama 3 tahun,Rie yang cerdas ingin membuat sake keluarga omura menjadi nomor satu dijepang dan juga untuk mencari kebahagiannya sendiri. “aku telah memutusakan untuk menjadikan mu kepala keluarga selama tiga tahun yang memang di bolehkan oleh asosiasi.kau menjadi kepala keluarga.Mata Tama terbelak.Apa mungkin itu di bolehkan untuk seorang wanita?”


(11)

Rie tersenyum.”iya,dengan persetujuan dari pemerintah local,seorang wanita bias menjadi kepala keluarga selama 3 tahun.Hal itu ada dalam peraturan yang dibuat oleh asosiasi sekalipun jarang terjadi. (hal.501-502)

2. Kinzaemon IX adalah ayah Rie yang sangat arogan,otoriter dan tidak pernah memikirkan perasaan anaknya.

Rie juga menyadari kalau ia harus belajar banyak dari ayahnya yang arogan dan otoriter,juga dari kin,si kepala pegawai itu. (hal 6).

3. Hana adalah ibunya Rie

Rie membuka pintu geser dengan kedua tangannya,menunduk sambil menatap wajah ibunya yang halus.sebuah wajah yang tidak memperlihakan beragam masalah yang ada

dibaliknya.Padahal,seorang istri pembuat sake bertanggung jawab pada urusan makanan,pakaian,kesehatan,dan kesejahteraan seluruh pekerja pembuat sake. (hal.7)

4. Jihei okamoto adalah suami Rie

Jihei,Suami pilihan keluarganya,yang tidak lebih dari sekedar pemabuk yang tidak memilki naluri bisnis.Bahkan,ia memaksa rie mengasuh anak-anak dari geisha yang

dihamilinya.(hal.62-63)

5. Toichi adalah adik laki-laki Rie yang sudah meninggal

Awalnya,ketika adik laki-laki Rie meningal dunia,sang ayah juga kehilangan seluruh harapan dan impiannya.(hal.3)

6. Onatsu adalah pembantu di rumah keluarga omura.

“oh,disitu kau rupanya”,sambut seorang pembantu bertubuh sintal yang murah senyum.Pipi

tembamnya,yang seperti apel,sudah lebih dulu ada sebelum Negara ini lahir.O-natsu namanya.ia mengulurkan secangkir the untuk menghangatkan Rie.(hal.6)


(12)

Sudut pandang atau point of view, menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan. Menurut Abrams dalam Nurgiantoro (1994: 248) sudut pandang pada hakikatnya merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dalam ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan. Namun, kesemuanya itu dalam karya fiksi disalurkan lewat sudut pandang tokoh, lewat kacamata tokoh cerita.

Nurgiantoro (1994: 256) mengemukakan pembedaan sudut pandang yang dilihat dari bagaimana kehadiran cerita itu kepada pembaca, yaitu sebagai berikut :

1. Sudut Pandang Personal ketiga: “Dia”

Pengisahan cerita dengan mempergunakan sudut pandang personal ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampikan tokoh-tokoh cerita dengan menyebutkan nama atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama, kerap atau terus- menerus disebut dan sebagai dipergunakan kata ganti. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

2. Sudut Pandang Personal Pertama: “Aku”

Dalam pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang personal pertama, gaya “dia”, narrator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap orang lain atau tokoh lain kepada pembaca. Kita, pembaca, menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka kita hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut.


(13)

3. Sudut Pandang Campuran

Penggunaan sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah novel, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik “dia” mahatahu dan “dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik “aku” sebagai tokoh utama dan “aku” tambahan atau sebagai saksi, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara “aku” dan “dia” sekaligus. Sebuah novel yang bersudut pandang persona ketiga, sering memanfaatkan teknik “dia” mahatahu dan terbatas, atau sebagai observer secara bergantian. Terhadap sejumlah tokoh tertentu, narator bersifat mahatahu. Namun, terhadap sejumlah tokoh yang lain, biasanya tokoh-tokoh tambahan, termasuk deskripsi latar, narator berlaku sebagai pengamat, bersifat objektif, dan tak melukiskan lebih dari yang dapat dijangkau oleh indra. Kapan dan seberapa banyak frekuensi penggunaan kedua teknik tersebut tentu saja berdasarkan kebutuhan. Artinya, pengarang akan mempertimbangkan sifat dan masalah yang sedang digarap disamping juga efek yang ingin dicapai. Teknik observer biasanya dipergunakan untuk melengkapi teknik mahatahu, dan ia akan memberikan kesan teliti.

Dalam novel “the scent of sake”karya Joyce lebra ini pengarang termasuk dalam Sudut pandang orang ketiga, ialah pengarang menampilkan tokoh dengan menggunakan orang ketiga, seperti ia, dia, atau nama orang,Pengarang mengangkat cerita sejrah jepang kedalam novelnya,lalu mengemas cerita tersebut lebih menarik agar lebih mudah dipahami pembaca.

2.3 Konsep Feminisme

Feminis berasal dari kata “femme” (woman), berarti wanita (tunggal) yang berjuang untuk memperjuangkan hak-hak kaum wanita (jamak) sebagai kelas sosial


(14)

(Ratna, 2A04:184) Tujuan feminis adalah keseimbangan interelasi gender. Pada dasarnya gerakan feminisme ini muncul karena adanya dorongan ingin menyetarakan hak antara pria dan wanita yang selama ini seolah-olah wanita tidak dihargai dalam pengambilan kesempatan dan keputusan dalam hidup. Wanita filerasa terkekang karena superioritas pria dan wanita hanya dianggap sebagai "burnbu penyedap" dalam hidup pria. Adanya pemikiran tersebut tampaknya sudah membudaya sehingga wanita harus berjuang keras untuk menunjukkan eksistensi dirinya di mata dunia.

Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakaan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Feminisme ialah teori tentang persamaan antara lai-laki dan wanita bidang politik,ekonomi, dan sosial; atau kegiataan terorganisasi yang mgmperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita.

Dalam pengertian yang paling luas, ferninisme adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarjinalisasikan,disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalambidang politik dan ekonomi maupun kehidupan sosial lainnya. Senada dengan definisi tersebut, The New Encyclopedia of Bitannica (dalam Pemilia, 2009),memaknai feminisme sebagai 'the belief largely originating in the West, in the social, economic, and political equality of the sexes,represented worldwide by various institutions committed to activity on behalf of women's rights and interesrs. Jadi, 'Feminism'adalah keyakinan yang berasal dari Barat, berkaitan dengan kesetaraan sosial, ekonomi dan politik antara pria dan wanita, yang tersebar ke seluruh dunia lewat berbagai lembaga yang bergerak atas nama hak-hak dan kepentingan wanita. Di sini juga dijelaskan bahwa dari sana akan bisa diketahui bahwafeminism' berkaitan erat dengan women's moyement dan gender identity.


(15)

Dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu dalam sastra, feminism dikaitkan dengan cara-cara memahami karya sastra baik dalam kaitannya dengan proses produksi maupun resepsi. Dalam ilmu sosial kontemporer lebih dikenal sebagai gerakan kesetaraan gender (Ratna, 2OO4: 1 8,4).

Dalam buku Glosarium Seks dan Gender, yang dimaksud kesetaraan gender (gender equality) ialahi(l) kesetaraan kesempatan dan hasil untuk wanita dan pria, termasuk penghapusan diskriminasi dan ketidaksetaraan struktual dalam mengakses sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, Kesamaan perolehan kesempatan dan hasil untuk wanita dan pria, termasuk penghapusan diskriminasi cian ketidaksetaraan struktural dalam mengakses

sumber daya, kesempatan, dan jasa-jasa, seperti akses yang sama untuk kesehatan, pendidikan, sumber daya produktif, partisipasi sosial, dan ekonomi (Sugihastuti dan Sastriyani, 2007:116-117).

sebagai gerakan modern, feminisme lahir awal abad ke-20, Yang dipelopori oleh Virginia Woolf dalam bukunya yang berjudul A Room of one‟s own (1929)' Terdapatnya komentar miring dari kaum pria terhadap buku tersebut semakin menguatkan kesimpulan

bahwa wanita adaiah sebuah produk dari budaya yang mementingkan nilai-nilai pria dan tentunya sastra ikut membentuk dan merespon nilai-nilai patriarki melalui representasi wanita untuk kepentingan budaya pria dan mengesampingkan pengalaman wanita'VirginiaWoolf telah mengilhami para feminis agar menggunakan sastra sebagai medium perlawanan terhadap budaya patriarki, sehingga terbukalah kran bagi sastra bergenre feminisme. Perkembangannya yang sangat pesat,yaitu sebagai salah satu aspek


(16)

teori kebudayaan kontemporer, terjadi tahun 1960an.Morlelanalisisnya sangat beragam, sangat kontekstual,berkaitan dengan aspek-aspek sosial, politik, dan ekonomi'

Berdasarkan Wikipedia bahasa Jepang ( diunduh 11 Desember 2009 ), dijepang, gerakan"pernbebasan perempuan" terjadi pada paruh pertama abad20' Sebagai'deklarasi gerakan pembebasan perempuan pada waktu itu,diterbitkanlah sebuah Jurnal sastra, yang diawali dengan kalimat "perempuan memang matahari" yang terkenal. Pada akhir 1960-an, lahir gerakan pembebasan perempuan.tradisional yang berbeda dari gerakan mahasiswa yang didominasi laki-laki gerakan oposisi. Pada tahun 1970 gerakan feminis barat telah menyebar di Jepang, dan politisi feminis mulai bermunculan di Jepang.

Dalam ranah sastra, genre feminis muncul sebagai reaksi terhadap pendekatan sastra yang mengasingkan karya dari struktur sosial, seperti Kritik Baru dan Strukturalisme. Feminisme memfokuskan diri pada pentingnya kesadaran mengenai persamaan hak antara wanita dan pria dalam Semua bidang. Teori ini berkembang sebagai reaksi dari fakta yang terjadi dimasyarakat, yaitu adanya konflik kelas, konflik ras, dan, terutama, karena adanya konflik gender. Feminisme mencoba untuk mendekonstruksi sistem yangmenirnbulkan kelompok yang mendominasi dan didominasi,serta sistem hegemoni di mana kelompok subordinat terpaksa harus menerima nilai-nilai yang ditetapkan oleh kelompok yang berkuasa'

Feminisme mencoba untuk menghilangkan pertentangan antara kelompok yang lemah dengan kelompok yang dianggap lebih kuat. Lebih jauh lagi,feminisme menolak ketidakadilan sebagai akibat masyarakat patriarki,menolak sejarah dan filsafat sebagai disiplih yang berpusat pada pria.

Betty Friedan menyatakan menentang diskriminasi seks di segala bidang kehidupan : sosial, politik, ekonomi, dan personal. Sebagai seorang feminis liberal,


(17)

Friedan ingin mernbebaskan wanita dari peran gender yang opresif, yaitu peran-peran yang digunakan sebagai alas an atau pembenaran untuk memberikan tempat yang lebih rendah, atau tidak memberikan tempat sama sekali, bagi wanita, baik di dalam akademi, forum' maupun Pasar (Tong,1998:49).

Kaum feminis radikal-kultural menyatakan bahwa perbedaan seks/gender mengalir bukan semata-mata dari biologi, melainkan juga dan sosialisasi atau sejarah keseluruhan menjadi wanita didalam masyarakat yang patriarki (Tong,1998:49).

Masyarakat patriarki menggunakan fakta tertentu mengenai fisioiogi wanita dan pria sebagai dasar untuk membangun serangkaian identitas dan perilaku maskulin dan feminin yang diberlakukan untuk memberdayakan pria di satu sisi dan melemahkan wanita di sisi lain' Masyarakat yang patriarki menyakinkan dirinya sendiri bahwa konstruksi budaya adalah

“alamiah”dan karena itu "normalitas" seseorang tergantung pada kemampuannya untuk menunjukkan identitas dan perilaku gender'perilaku ini secara kultural dihubungkan dengan jenis kelamin biologis seseorang.

Masyarakat patriarki menggunakan peran gender yang kaku untuk memastikan wanita tetap pasif (penuh kasih sayang, penurut, tanggap terhadap simpati dan persetujuan ,ceria, baik, ramah ) dan pria tetap aktif ( kuat, agresif, penuh rasa ingin tahu, ambisius' penuh rencana' bertanggung jawab, orisinil, kompetitif) (Tong, 1998 : 72-13).

Jadi dapat disimpulkan bahwa menjadi wanita disebabkan oleh nilai-nilai kutural dan bukan oleh hakiaktnya, oleh karena itu, gerakan dan teori feminisme berjuang agar nilai-nilai

kultural yang menempatkan wanita sebagai kelompok yang termarjinalkan dapat digantikan dengan keseimbangan yang dinamis antara wanita dan pria.Pembicaraan wanita dari segi


(18)

teori feminis akan melibatkan masalah gender, yaitu bagaimana wanita tersubordinasi secara kultural. Analisis feminis pasti akan memperrnasalahkan wanita dalam hubungannya dengan tuntutan persamaan hak. Feminisme memiliki jenis atau aliran-aliran didalamnya' Secara umum,pembagian aliran-aliran feminism adalah sebagai berikut:

1.feminismeLiberal

Feminisme Liberal ialah pandangan untuk menempatkan wanita yang memiliki kebebasan

secala penuh dan individual' Aliran ini rnenyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar

pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan public . Setiap manusia-demikian menurut para feminis liberal-punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secarar asional,begitu pula pada wanita. Akar ketertindasan dan keterbelakangan pada wanita ialah karena disebabkan oleh kesalahan wanita itu sendiri' wanita harus mempersiapkan diri agar mereka bias bersaing didunia dalam kerangka"persaingan bebas" dan punya kedudukan setara dengan pria'Feminis Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasal dari teori pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negai'a itu didominasi oleh kaum pria, yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat "maskulin", tetapi mereka juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentingan dan pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya,

negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, wanita cenderung berada "di dalam" negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan wanita dalam politik atau


(19)

bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminis Liberal mengenai "kesetaraan" setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan "pengaruh dan kesetaraan wanita untuk melakukan kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara".

Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf Ia berpendapat bahwa wanita mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan wanita harus terus menuntut persamaan haknya, serta saatnya kini wanita bebas berkehendak tanpa tergantung pada kaum pria. Feminisme liberal' mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkab wanita pada posisi sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan ferninisme. Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak terganiung lagi pada pria.

Akar teori ini bertumpu pa-da kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Wanita adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki,sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering muncul tuntutan agar wanita mendapat pendidikan yang sama,di abad 19 banyak upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi wanita, dan di abad 20 organisasi-organisasi wanita mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan 30% kuota bagi wanita dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman feminis liberal.


(20)

Feminisme ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi "perjuangan separatisme wanita". Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pomografi. Pemahaman penindasan pria terhadap wanita adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang "radikal"'Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap wanita terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh wanita merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-|aki. Oleh karena itu, feminisme radikal memperrnasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa wanita dan pria, dan dikotomi privat-publlk.,,The personal is political'' menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau pennasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda) banyak ditujukan kepada feminis radikal' Padahal' karena pengalamannya membongkar persoaian-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI no.23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalarr Rumah Tangga (UU PKDRT)'

3.Feminisme Post Modern

Ide Posmo-menurut anggapan para feminis post modern-ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.


(21)

Feminisme Anarkis lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan system patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.

5: Feminisme Marxis

Aliran ini memandang masalah wanita dalam kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan wanita berasal dari eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan menjadi landasan aliran ini-status wanita jatuh karena adanya konsep kekayaaan pribadi (Qtrivate property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran (exchange). Pria mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka mendominasi hubungan sosial. Sedangkan wanita direduksi menjadi bagian dari property. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan terbentuknya kelas dalam masyarakat-borjuis dan proletar. Jika kapitalisme tumbang maka struktur masyarakatdapat diperbaiki dan penindasan terhadap wanita dihapus.

Kaum Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap bahwa neghra bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun di sisi lain, negara bersifat kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.

6.Feminisme Sosialis

Sebuah faham yang berpendapat "Tidak ada sosialisme tanpa pembebasan wanita. Tidak ada pembebasan wanita tanpa sosialisme".Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan


(22)

pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Feminisme sosialis muncul sebagai kritik terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kdtik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas wanita. Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami penindasan wanita. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme merupakan sumber penindasan wanita. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini juga setuju dengan feminism radikal yang menganggap patriarkilah sumber penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia, analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan

yang menjadi beban wanita.

7. Feminisme Postkolonial

Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalarran wanita. Pengalaman wanita yang hidup di negara dunia ketiga (koloni/bekaskoloni) berbeda dengan wanita berlatar belakang dunia peftama. Wanita dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan ber-basis gender, mereka juga mengalami penindasan antarbangsa, suku, ras, dan agama.


(23)

Dirnensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik,pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.Beverley Lindsay dalam bulc.rnya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, "hubungan ketergantungan ya-ng didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan."

2.4 Feminisme dalam masyarakat jepang

Dalam abad ke-5 dibuka hubungan resmi antara Jepang dengan dinasti-dinasti di Tiongkok Selatan (zaman 3 kerajaan dan 6 dinasti). Sebagai misalnya: kebudayaan dari Cina Selatan masuk ke Jepang secara langsung: kesusasteraan, ilmu falak, obat-obatan, barang-barang luks, menenun dan juga agama Budha (A. Dasuki. tth: 22). Dari berbagai pengaruh itu agaknya filsafat Konfusianisme paling berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat Jepang terutama peranan wanitanya.

Konfusianisme adalah filsafat atau ajaran dari seorang pujangga yang bernama Kung-Tse atau Konfusius yang mengajarkan kaidah-kaidah moral/etis dan seks hanya dipandang sebagai mekanisme untuk mempertahankan kelanjutan keluarga. Ajaran Konfusianisme memberi corak masyarakat patriakhal di Cina yang memandang peranan wanita lebih penting untuk melahirkan anak dan melanjutkan keturunan dari pada sebagai kawan hidup. Untuk menyembah para leluhur orang harus mempunyai anak lakilaki, dan menurut ajaran itu bila tidak mempunyai anak laki-laki maka hal itu ialah salah satu perbuatan "pu-hsiao" = tidak berbakti (Nio Joe Han, 1952: 46). Dengan demikian menurut ajaran Konfusius, bahwa wanita itu adalah lemah, tidak berdaya, dan hanya sekedar penerus keturunan. Sesuai dengan kutipan di bawah ini:

Filsafat Kong Fu Tse ... membatasi kebebasan kaum wanita dan memaksa mereka tunduk sepenuhnya kepada kaum pria. Kaum wanita, yang dalam zaman kesatria ternyata


(24)

kurang mampu bertempur dibandingkan dengan pria, berangsur-angsur dikeluarkan dari struktur feodal dan menerima peran yang tidak penting serta hanya sebagai pelengkap bagi kaum pria. Ajaran Kong Fu Tse yang merupakan warisan masyarakat patriakhal dan kuat didominasi oleh kaum pria di Cina, memandang wanita lebih penting untuk melahirkan anak dan melanjutkan keluarga ketimbang sebagai kawan hidup atau obyek cinta (E.O. Reishauer. 1982: 270).

Pada hakekatnya wanita berderajat lebih rendah dari pada pria, sehingga peranan wanita adalah untuk mengabdi kepada pria (Masu Okamura. 1983: 1). Ajaran Konfusius secara tegas mengatakan: "Seorang wanita pada masa kanak-kanak harus mengabdi kepada bapaknya, pada masa dewasa mengabdi pada suaminya dan pada masa tua mengabdi pada anak laki-lakinya" (Ajip Rosidi, 1981: 97).

Ajaran Konfusianisme dengan kuatnya mempenga-ruhi pandangan terhadap wanita. Kebebasan wanita sangat dibatasi, harus tunduk sepenuhnya kepada pria, menjabdi pelayanan yang patuh serta permainan atau pelengkap bagi kaum pria. Seorang istri harus mengabdikan dirinya tanpa memikirkan kepentingan sendiri demi kesejahteraan suami, keluarga suami, di bawah pengawasan yang ketat dan kasar ibu mertua. Wanita tidak dapat bergaul bebas dalam masyarakat. Sedangkan kaum pria dengan bebasnya melakukan kehidupan bermasyarakat. Karena terlalu setianya kepada suami dan ingin menyenangkan hati suami, maka wanita Jepang membiarkan suaminya berbuat sesuka hati di luar rumah. Mereka membiarkan suaminya minum-minum dengan ditemani oleh geisha atau hostess (Ajip Rosidi, 1981:97). Sedangkan geisha yang juga dikenal dengan geigi atau geiko adalah wanita penghibur dengan penampilan tradisional yang bisa menyanyi, menari, bercakap-cakap, bermain dan menemani langganan pada restoran tertentu (Kompas, 20 Juni 1989:XII). Geisha sendiri arti harfiahnya adalah seniman, artis yang berprofesi menyenangkan partner dengan tarian, musik, dan percakapan yang mengasyikkan (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1989: 6). Usia mereka


(25)

ber-kisar 13 hingga 18 tahun dan pada umumnya terdapat di kota-kota besar seperti di Kyoto, Osaka, Edo (John Whitney Hall, 1967: 228). Ada sementara pendapat bahwa geisha adalah profesi yang semata-mata mengarah kepada status gundik ataupun pelacur, tetapi sebenarnya tidak demikian karena geisha bukan sekedar mainan lelaki (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1989:6). Bahkan geisha adalah mewakili kebebasan wanita Jepang. Sesuai dengan kutipan di bawah ini:

jauh dari sekedar mainan bagi para lelaki, sebenarnya geisha amat lekat dengan kehidupan wanita Jepang. Mereka amat halus dan mereka ini secara ekonomi wanita mandiri, tidak menggantungkan diri kepada suami Dalam berbagai sudut pandang geishamewakili kebebasan wanita Jepang. Mereka mundur jika tidak diminta dan seolah menawarkan pesona birahi (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1989: 6).

Pokoknya tiada kehidupan kemasyarakatan di luar keluarga yang dianggap perlu bagi wanita. Sebaliknya kaum pria Jepang dengan kebebasan yang besar dapat melakukan kehidupan kemasyarakatan dan seksual lebih luga sejauh tidak melalaikan kewajibannya terhadap keluarga.

Ajaran Konfusianisme menempatkan kaum pria pada kedudukan yang tinggi. Mereka mempunyai tugas mulia yang tidak dapat digantikan oleh wanita dalam melakukan upacara penghormatan pada leluhurnya. Pengaruh ajaran tersebut misalnya tampak pada kenyataan bahwa orang tua Jepang pada umumnya menginginkan anak bukan saja demi kepuasan emosional belaka, tetapi juga karena mereka akan merasa gagal dalam hidup apabila tak mampu meneruskan garis keluarga. Setiap pria Jepang menginginkan anak, terutama anak laki-laki. Anak itu diperlukan untuk melakukan penghormatan setiap hari kepada arwah le1uhurnya, di ruang pemujaan keluarga di depan batu nisan kecil (Ruth Benedict. 1982:267). Juga mereka memerlukannya untuk meneruskan garis keluarga demi menjaga kehormatan serta harta keluarga.


(26)

Sampai Perang Dunia II pengaruh ajaran Konfusianisme ternyata masih sangat dirasakan oleh wanita Jepang umumnya yang tak berdaya untuk melawannya.

Struktur masyarakat Jepang ditandai dengan adanya pengelompokan. Kelompok masyarakat yang terkecil adalah keluarga. Pengertian keluarga di Jepang pada masa yang silam sama dengan di Indonesia. Bukan hanya ayah ibu, melainkan juga kemenakan, paman, bibi, sepupu dan keluarga dekat dari kedua belch pihak. Anak sulung, biasanya yang laki-laki, walaupun sudah beristri, tetap tinggal bersama orang tuanya, sedangkan anak-anak yang lain pindah mencari rumah lain (Ajip Rosidi, 1981: 94).

Pada masa feodal, khususnya di masa isolasi di bawah kekuasaan Shogun Tokugawa, wanita Jepang pada hakekatnya berderajat lebih rendah dari pada pria. Wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, belum ada pengakuan terhadap hak mereka sebagai wanita. Wanita hanya berhak untuk melahirkan serta membesar-kan anak-anaknya. Hingga pada zaman itu seorang wanita menginginkan anak, bukan demi kepuasan emosionalnya, tetapi karena hanya sebagai ibu ia akan mendapatkan status (Ruth Benedict, 1982: 267).

Di mans sekitar Restorasi Meiji sampai berakhir-nya Perang Dunia II agaknya menjadi hal yang masih dianggap wajar dan bernilai tinggi apabila seorang wanita mengabdi dengan setia dan sepenuh hati kepada keluarga untuk seumur hidup.

Pada masa itu hukum menetapkan bahwa seorang wanita pada kanak-kanak dan remaja tunduk pada ayah, kemudian pada suami dan pada hari tua kepada anak laki-lakinya. Seakan-akan Jepang adalah negara di mana kaum laki-laki menjadi raja dan wanita mengabdi sepenuhnya kepada sang suami atau rajanya (Ajip Rosidi, 1981: 97).

Hukum kebiasaan lama di Jepang juga memperlakukan wanita senada dengan gambaran di atas. Hal ini tampak pada kenyataan bahwa perkawinan yang sah biasanya didaftarkan kalau calon pengantin wanita telah lulus dalam menjalani masa percobaan sampai wanita dapat membuktikan kemampuannya untuk dapat melahirkan anak. Seorang


(27)

wanita/istri yang tidak mampu melahirkan anak, umumnya mempunyai kedudukan yang sangat goyah di dalam keluarga, mungkin ia akan disisihkan atau dicerai (Ruth Benedict, 1982: 267).

b. Wanita di Lingkungan Pendidikan

Pada umumnya wanita Jepang/ibu/istri berperan besar sebagai pendidik anak-anaknya, di samping sebagai pengelola rumah tangga. Seorang ibu mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta kasih, misalnya tentang adat istiadat, tata susila, kerohanian. gerak badan dan lain-lain. Pendidikan semacam itu di Jepang dulu dikenal dengan istilah oyagokoro

-oya = orang tua, gokoro = kokoro = hati. Jadi dalam mendidik anak-anak orang tua/ibu harus mempunyai perasaan cinta kasih terhadap mereka, cinta kasih terhadap orang kecil (Djawa Sinbun Kai: 25).

Pada zaman feodal sebelum Restorasi Meiji, kaum ibu harus mengasuh dan mendidik anak-anaknya sampai menjadi anak-anak yang baik yang memiliki rasa cinta, setia pada tanah air dan bangsa. Pendidikan ditekankan pada soal kehormatan dan harga diri(honour). Ibu selalu berusaha meresapkan ke dalam hati sanubari anak-anaknya tentang bushido. Bushido adalah jiwa/semangat cinta tanah air dan bangsa yang penuh dengan pengorbanan, kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan, kehormatan kesetiaan (Sayidiman Suryohadiprojo. 1982: 49). Itulah sebabnya keluhuran budi dan keyakinan serta ketulusan ibu menjadi syarat yang sangat penting untuk menyelenggarakan pendidikan dalam keluarga sehingga anak-anak menjadi orang yang memiliki semangat dan jiwa bushido yang tangguh (Chie Nakane, 1981:35).

Pada waktu itu penyelenggaraan sekolah secara resmi memang sudah ada, yaitu dilaksanakan di kuil-kuil. Mata pelajaran yang diajarkan terbatas sekedar dapat membaca. menulis dan berhitung saja. Itupun belum terbuka bagi semua orang/anak. Hanya anak dari kalangan atas saja yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Sikap feodal benar-benar


(28)

masih berpengaruh dalam pendidikan. Sikap itu dengan tegas dinyatakan bahwa pendidikan tak perlu bagi wanita, sebab pada akhirnva toh wanita setelah kawin akan meninggalkan keluarganya, selanjutnya menjadi ibu rumah tangga. Pada anak diajarkan tentang adanya hirarkhi dalam rumah tangga, hak istimewa seorang pria atas wanita, hak istimewa kakak laki-laki atas adik-adiknya (Martinah PW, 1987: 7). Anak laki-laki umur 5 tahun ke atas dimungkinkan untuk melampiaskan kemarahannya pada ibu dan sama sekali tak boleh menunjukkan agresinya terhadap ayah. anak harus hormat padanya. Kepada anak perempuan yang telah remaja ibu wajib mengajar dan mendidik mereka dengan contoh-contoh dan peniruan, agar kelak menjadi istri yang selalu setia, menyenangkan serta menghormati suami, biasa mengorbankan kepuasan-kepuasan pribadinya, karena dengan cara demikian mereka akan memperoleh imbalan. Imbalan yang dijanjikan kepadanya adalah bahwa ia akan disukai dan diterima oleh dunia" (Ruth Benedict. 1982: 301). Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Solidaritas kelompok adalah salah satu watak atau karakter masyarakat Jepang (KS. Latourette. 1957: 69) "Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah suatu penderitaan besar, ibarat seekor gajah yang ditinggalkan oleh gerombolannya" (Sayidiman Suryohadiprojo: 43). Suatu kesinambungan yang menyolok menghubungkan masa awal hidup seorang anak dan masa sesudahnya. yaitu pentingnya makna diterima oleh sesamanya (Ruth Benedict. 1982:301). Tingkah laku yang baik dan semangat yang berani diajarkan sejak masa kanak-kanak sampai remaja (Djawa Sinbun Kai. 1945:30). Secara berangsur-angsur mereka diberi tanggung jawab untuk bersikap hati-hati serta .1 tahu malu". Pendidikan akhlak atau pendidikan dalam kemasyarakatan dimulai semasa kanak-kanak (dalam bahasa Jepangnya disebut Sitsuke).

Sebagian besar hidup anak-anak pada dasarnya bersama ibu. Peran ibu kecuali menjadi ibu rumah tangga juga sekaligus adalah ibu pendidik. Yang mengurus agar anak-anak bisa berpendidikan yang baik, terutama anak-anak laki-laki. Oleh sebab itu tidak


(29)

mengherankan bila anak laki-laki demi pendidikan biasanya lekat pada sang ibu. Dan pada umumnya anak-anak Jepang itu kurang akrab dengan ayahnya. Seperti dinyatakan dalam kutipan ini:

Kecuali pada hari Minggu (atau juga hari Sabtu dan hari libur lainnya), maka biasanya tak ada kesempatan bagi anak-anak Jepang untuk berakraban dengan ayahnya. Terutama yang tinggal di kota besar dan ayahnya bekerja sebagai orang gajian. Sang ayah biasanya pulang ke rumah sudah larut-malam, anak-anak sudah tidur. Ketika anak-anak berangkat ke sekolah, mungkin si ayah masih menikmati jam tidurnya yang terakhir (Ajip Rosidi. 1981: 96)

Keadaan itu menyebabkan anak-anak lebih akrab dengan ibunya. Hal ini berakibat jika dewasa dan kawin, ia bermanja-manja pada istrinya. Suami tampak seperti anak besar yang telah dewasa bagi istrinya. Apabila kebetulan mempunyai banyak anak dan isteri sibuk dengan pendidikan anak-anak dan rumah tangga, maka untuk bermanja-manja suami pergi ke tempat hiburan mencari kesenangan bersama para geisha, dan inipun selalu diizinkan oleh istrinya (seperti telah digambarkan di depan). Dari gambaran tersebut jelaslah bahwa urusan pendidikan anak-anak adalah urusan ibu.

2.5 Sekilas tentang biografi pengarang

Joyce Lebra menghabiskan masa kecilnya di Honolulu dan menerima dia BAand MA dalam Studi Asia dari Universitas Minnesota. Dia menerima Ph.D.in .Japanese Sejarah dari Harvard / Radcliffe.

Dia adalah wanita pertama Ph.D. Sejarah Jepang di AS Dia tinggal di Jepang total sepuluh tahun dan tiga setengah di India melakukan penelitian tentang sejarah Jepang dan India. Dia adalah Profesor Sejarah Jepang dan India Sejarah di University of Colorado hingga pensiun.


(30)

Dia menerima banyak penghargaan, termasuk Doctor Kehormatan gelar Humane Letters dari Universitas Minnesota pada tahun 1996, dua tahun pada persekutuan Fulbright di Jepang dan satu setengah tahun di beasiswa Fulbright di India. Beasiswa lainnya termasuk persekutuan Japan Foundation, sebuah National Endowment for the Humanities persekutuan, salah satu dari American Association of Women Universitas, salah satu dari Australian National University, dan lain-lain. Dia dicatat dalam Siapa Siapa di Amerika, Siapa yang dari Amerika Women, dan Siapa Siapa dalam Pendidikan Amerika. Dia telah mengajar secara luas di University of Hawaii, Oxford University, London School of Economics, Universitas Tokyo, Waseda University, Nagoya University, Hong Kong University, Institut Studi Asia Tenggara di Singapura, Biro Riset Netaji di Calcutta, Melbourne dan Monash Universitas, Macquarie University, Sydney University, Brisbane University, dan Australian National University di Canberra. Dia menyampaikan Kuliah Harmon Memorial di Akademi Angkatan Udara AS pada tahun 1991.

Profesor Lebra telah menulis dua belas buku, termasuk dua novel sejarah, durga's pedang dan gula dan asap. Dia memimpin tiga tim penelitian untuk Asia untuk penelitian peran perempuan dalam angkatan kerja, yang masing-masing menghasilkan sebuah buku: wanita dalam mengubah jepang, cina perempuan di asia tenggara, dan wanita dan bekerja di india. Buku-bukunya yang lain meliputi: jungle alliance; jepang dan indian tentara nasional, angkatan jepang-terlatih di asia tenggara, Okuma Shigenobu; Negarawan meiji japan, the rani Jhansi; studi di kepahlawanan perempuan di india, dan membentuk Hawaii; the suara perempuan. Dia juga diedit: jepang Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.Dia memiliki bab-bab yang ditulis dalam tiga buku dan beberapa artikel lima puluh dalam jurnal ilmiah.


(1)

kisar 13 hingga 18 tahun dan pada umumnya terdapat di kota-kota besar seperti di Kyoto, Osaka, Edo (John Whitney Hall, 1967: 228). Ada sementara pendapat bahwa geisha adalah profesi yang semata-mata mengarah kepada status gundik ataupun pelacur, tetapi sebenarnya tidak demikian karena geisha bukan sekedar mainan lelaki (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1989:6). Bahkan geisha adalah mewakili kebebasan wanita Jepang. Sesuai dengan kutipan di bawah ini:

jauh dari sekedar mainan bagi para lelaki, sebenarnya geisha amat lekat dengan kehidupan wanita Jepang. Mereka amat halus dan mereka ini secara ekonomi wanita mandiri, tidak menggantungkan diri kepada suami Dalam berbagai sudut pandang geishamewakili kebebasan wanita Jepang. Mereka mundur jika tidak diminta dan seolah menawarkan pesona birahi (Kedaulatan Rakyat, 13 Agustus 1989: 6).

Pokoknya tiada kehidupan kemasyarakatan di luar keluarga yang dianggap perlu bagi wanita. Sebaliknya kaum pria Jepang dengan kebebasan yang besar dapat melakukan kehidupan kemasyarakatan dan seksual lebih luga sejauh tidak melalaikan kewajibannya terhadap keluarga.

Ajaran Konfusianisme menempatkan kaum pria pada kedudukan yang tinggi. Mereka mempunyai tugas mulia yang tidak dapat digantikan oleh wanita dalam melakukan upacara penghormatan pada leluhurnya. Pengaruh ajaran tersebut misalnya tampak pada kenyataan bahwa orang tua Jepang pada umumnya menginginkan anak bukan saja demi kepuasan emosional belaka, tetapi juga karena mereka akan merasa gagal dalam hidup apabila tak mampu meneruskan garis keluarga. Setiap pria Jepang menginginkan anak, terutama anak laki-laki. Anak itu diperlukan untuk melakukan penghormatan setiap hari kepada arwah le1uhurnya, di ruang pemujaan keluarga di depan batu nisan kecil (Ruth Benedict. 1982:267). Juga mereka memerlukannya untuk meneruskan garis keluarga demi menjaga kehormatan serta harta keluarga.


(2)

Sampai Perang Dunia II pengaruh ajaran Konfusianisme ternyata masih sangat dirasakan oleh wanita Jepang umumnya yang tak berdaya untuk melawannya.

Struktur masyarakat Jepang ditandai dengan adanya pengelompokan. Kelompok masyarakat yang terkecil adalah keluarga. Pengertian keluarga di Jepang pada masa yang silam sama dengan di Indonesia. Bukan hanya ayah ibu, melainkan juga kemenakan, paman, bibi, sepupu dan keluarga dekat dari kedua belch pihak. Anak sulung, biasanya yang laki-laki, walaupun sudah beristri, tetap tinggal bersama orang tuanya, sedangkan anak-anak yang lain pindah mencari rumah lain (Ajip Rosidi, 1981: 94).

Pada masa feodal, khususnya di masa isolasi di bawah kekuasaan Shogun Tokugawa, wanita Jepang pada hakekatnya berderajat lebih rendah dari pada pria. Wanita hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, belum ada pengakuan terhadap hak mereka sebagai wanita. Wanita hanya berhak untuk melahirkan serta membesar-kan anak-anaknya. Hingga pada zaman itu seorang wanita menginginkan anak, bukan demi kepuasan emosionalnya, tetapi karena hanya sebagai ibu ia akan mendapatkan status (Ruth Benedict, 1982: 267).

Di mans sekitar Restorasi Meiji sampai berakhir-nya Perang Dunia II agaknya menjadi hal yang masih dianggap wajar dan bernilai tinggi apabila seorang wanita mengabdi dengan setia dan sepenuh hati kepada keluarga untuk seumur hidup.

Pada masa itu hukum menetapkan bahwa seorang wanita pada kanak-kanak dan remaja tunduk pada ayah, kemudian pada suami dan pada hari tua kepada anak laki-lakinya. Seakan-akan Jepang adalah negara di mana kaum laki-laki menjadi raja dan wanita mengabdi sepenuhnya kepada sang suami atau rajanya (Ajip Rosidi, 1981: 97).

Hukum kebiasaan lama di Jepang juga memperlakukan wanita senada dengan gambaran di atas. Hal ini tampak pada kenyataan bahwa perkawinan yang sah biasanya didaftarkan kalau calon pengantin wanita telah lulus dalam menjalani masa percobaan sampai wanita dapat membuktikan kemampuannya untuk dapat melahirkan anak. Seorang


(3)

wanita/istri yang tidak mampu melahirkan anak, umumnya mempunyai kedudukan yang sangat goyah di dalam keluarga, mungkin ia akan disisihkan atau dicerai (Ruth Benedict, 1982: 267).

b. Wanita di Lingkungan Pendidikan

Pada umumnya wanita Jepang/ibu/istri berperan besar sebagai pendidik anak-anaknya, di samping sebagai pengelola rumah tangga. Seorang ibu mendidik anak-anaknya dengan penuh cinta kasih, misalnya tentang adat istiadat, tata susila, kerohanian. gerak badan dan lain-lain. Pendidikan semacam itu di Jepang dulu dikenal dengan istilah oyagokoro

-oya = orang tua, gokoro = kokoro = hati. Jadi dalam mendidik anak-anak orang tua/ibu harus mempunyai perasaan cinta kasih terhadap mereka, cinta kasih terhadap orang kecil (Djawa Sinbun Kai: 25).

Pada zaman feodal sebelum Restorasi Meiji, kaum ibu harus mengasuh dan mendidik anak-anaknya sampai menjadi anak-anak yang baik yang memiliki rasa cinta, setia pada tanah air dan bangsa. Pendidikan ditekankan pada soal kehormatan dan harga diri(honour). Ibu selalu berusaha meresapkan ke dalam hati sanubari anak-anaknya tentang bushido. Bushido adalah jiwa/semangat cinta tanah air dan bangsa yang penuh dengan pengorbanan, kejujuran, keberanian, kesopanan, kesungguhan, kehormatan kesetiaan (Sayidiman Suryohadiprojo. 1982: 49). Itulah sebabnya keluhuran budi dan keyakinan serta ketulusan ibu menjadi syarat yang sangat penting untuk menyelenggarakan pendidikan dalam keluarga sehingga anak-anak menjadi orang yang memiliki semangat dan jiwa bushido yang tangguh (Chie Nakane, 1981:35).

Pada waktu itu penyelenggaraan sekolah secara resmi memang sudah ada, yaitu dilaksanakan di kuil-kuil. Mata pelajaran yang diajarkan terbatas sekedar dapat membaca. menulis dan berhitung saja. Itupun belum terbuka bagi semua orang/anak. Hanya anak dari kalangan atas saja yang berkesempatan mengenyam pendidikan. Sikap feodal benar-benar


(4)

masih berpengaruh dalam pendidikan. Sikap itu dengan tegas dinyatakan bahwa pendidikan tak perlu bagi wanita, sebab pada akhirnva toh wanita setelah kawin akan meninggalkan keluarganya, selanjutnya menjadi ibu rumah tangga. Pada anak diajarkan tentang adanya hirarkhi dalam rumah tangga, hak istimewa seorang pria atas wanita, hak istimewa kakak laki-laki atas adik-adiknya (Martinah PW, 1987: 7). Anak laki-laki umur 5 tahun ke atas dimungkinkan untuk melampiaskan kemarahannya pada ibu dan sama sekali tak boleh menunjukkan agresinya terhadap ayah. anak harus hormat padanya. Kepada anak perempuan yang telah remaja ibu wajib mengajar dan mendidik mereka dengan contoh-contoh dan peniruan, agar kelak menjadi istri yang selalu setia, menyenangkan serta menghormati suami, biasa mengorbankan kepuasan-kepuasan pribadinya, karena dengan cara demikian mereka akan memperoleh imbalan. Imbalan yang dijanjikan kepadanya adalah bahwa ia akan disukai dan diterima oleh dunia" (Ruth Benedict. 1982: 301). Bagi orang Jepang, hidup hanya akan berarti apabila berada dalam kelompok. Solidaritas kelompok adalah salah satu watak atau karakter masyarakat Jepang (KS. Latourette. 1957: 69) "Hidup sendiri, terlepas dari kelompok adalah suatu penderitaan besar, ibarat seekor gajah yang ditinggalkan oleh gerombolannya" (Sayidiman Suryohadiprojo: 43). Suatu kesinambungan yang menyolok menghubungkan masa awal hidup seorang anak dan masa sesudahnya. yaitu pentingnya makna diterima oleh sesamanya (Ruth Benedict. 1982:301). Tingkah laku yang baik dan semangat yang berani diajarkan sejak masa kanak-kanak sampai remaja (Djawa Sinbun Kai. 1945:30). Secara berangsur-angsur mereka diberi tanggung jawab untuk bersikap hati-hati serta .1 tahu malu". Pendidikan akhlak atau pendidikan dalam kemasyarakatan dimulai semasa kanak-kanak (dalam bahasa Jepangnya disebut Sitsuke).

Sebagian besar hidup anak-anak pada dasarnya bersama ibu. Peran ibu kecuali menjadi ibu rumah tangga juga sekaligus adalah ibu pendidik. Yang mengurus agar anak-anak bisa berpendidikan yang baik, terutama anak-anak laki-laki. Oleh sebab itu tidak


(5)

mengherankan bila anak laki-laki demi pendidikan biasanya lekat pada sang ibu. Dan pada umumnya anak-anak Jepang itu kurang akrab dengan ayahnya. Seperti dinyatakan dalam kutipan ini:

Kecuali pada hari Minggu (atau juga hari Sabtu dan hari libur lainnya), maka biasanya tak ada kesempatan bagi anak-anak Jepang untuk berakraban dengan ayahnya. Terutama yang tinggal di kota besar dan ayahnya bekerja sebagai orang gajian. Sang ayah biasanya pulang ke rumah sudah larut-malam, anak-anak sudah tidur. Ketika anak-anak berangkat ke sekolah, mungkin si ayah masih menikmati jam tidurnya yang terakhir (Ajip Rosidi. 1981: 96)

Keadaan itu menyebabkan anak-anak lebih akrab dengan ibunya. Hal ini berakibat jika dewasa dan kawin, ia bermanja-manja pada istrinya. Suami tampak seperti anak besar yang telah dewasa bagi istrinya. Apabila kebetulan mempunyai banyak anak dan isteri sibuk dengan pendidikan anak-anak dan rumah tangga, maka untuk bermanja-manja suami pergi ke tempat hiburan mencari kesenangan bersama para geisha, dan inipun selalu diizinkan oleh istrinya (seperti telah digambarkan di depan). Dari gambaran tersebut jelaslah bahwa urusan pendidikan anak-anak adalah urusan ibu.

2.5 Sekilas tentang biografi pengarang

Joyce Lebra menghabiskan masa kecilnya di Honolulu dan menerima dia BAand MA dalam Studi Asia dari Universitas Minnesota. Dia menerima Ph.D.in .Japanese Sejarah dari Harvard / Radcliffe.

Dia adalah wanita pertama Ph.D. Sejarah Jepang di AS Dia tinggal di Jepang total sepuluh tahun dan tiga setengah di India melakukan penelitian tentang sejarah Jepang dan India. Dia adalah Profesor Sejarah Jepang dan India Sejarah di University of Colorado hingga pensiun.


(6)

Dia menerima banyak penghargaan, termasuk Doctor Kehormatan gelar Humane Letters dari Universitas Minnesota pada tahun 1996, dua tahun pada persekutuan Fulbright di Jepang dan satu setengah tahun di beasiswa Fulbright di India. Beasiswa lainnya termasuk persekutuan Japan Foundation, sebuah National Endowment for the Humanities persekutuan, salah satu dari American Association of Women Universitas, salah satu dari Australian National University, dan lain-lain. Dia dicatat dalam Siapa Siapa di Amerika, Siapa yang dari Amerika Women, dan Siapa Siapa dalam Pendidikan Amerika. Dia telah mengajar secara luas di University of Hawaii, Oxford University, London School of Economics, Universitas Tokyo, Waseda University, Nagoya University, Hong Kong University, Institut Studi Asia Tenggara di Singapura, Biro Riset Netaji di Calcutta, Melbourne dan Monash Universitas, Macquarie University, Sydney University, Brisbane University, dan Australian National University di Canberra. Dia menyampaikan Kuliah Harmon Memorial di Akademi Angkatan Udara AS pada tahun 1991.

Profesor Lebra telah menulis dua belas buku, termasuk dua novel sejarah, durga's pedang dan gula dan asap. Dia memimpin tiga tim penelitian untuk Asia untuk penelitian peran perempuan dalam angkatan kerja, yang masing-masing menghasilkan sebuah buku: wanita dalam mengubah jepang, cina perempuan di asia tenggara, dan wanita dan bekerja di india. Buku-bukunya yang lain meliputi: jungle alliance; jepang dan indian tentara nasional, angkatan jepang-terlatih di asia tenggara, Okuma Shigenobu; Negarawan meiji japan, the rani Jhansi; studi di kepahlawanan perempuan di india, dan membentuk Hawaii; the suara perempuan. Dia juga diedit: jepang Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.Dia memiliki bab-bab yang ditulis dalam tiga buku dan beberapa artikel lima puluh dalam jurnal ilmiah.


Dokumen yang terkait

“ Kitto Ashita Wa ” No Shousetsu No Bunseki Kertas Karya

0 26 29

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

21 96 77

STRATEGY OF SUCCESSFUL SAKE BUSINESS REFLECTED IN JOYCE LEBRA’S THE SCENT OF SAKE NOVEL (2009): AN Strategy Of Successful Sake Business Reflected In Joyce Lebra’s The Scent Of Sake Novel (2009): An Individual Psychological Perspective.

0 2 12

INTRODUCTION Strategy Of Successful Sake Business Reflected In Joyce Lebra’s The Scent Of Sake Novel (2009): An Individual Psychological Perspective.

0 1 10

STRATEGY OF SUCCESSFUL SAKE BUSINESS REFLECTED IN JOYCE LEBRA’S THE SCENT OF SAKE NOVEL (2009): AN Strategy Of Successful Sake Business Reflected In Joyce Lebra’s The Scent Of Sake Novel (2009): An Individual Psychological Perspective.

0 4 104

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Women's Power as Depicted in The Scent of Sake by Joyce Lebra

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Women's Power as Depicted in The Scent of Sake by Joyce Lebra

0 0 1

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

0 0 8

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

0 0 5

Analisis Feminisme Tokoh Rie Dalam Novel The Scent Of Sake Karya Joyce Lebra Joyce Lebra No Shousetsu No “The Scent Of Sake” No Feminizumu No Bunseki

1 6 13