ANALISIS WACANA Teori dan Metode

ANALISIS WACANA

Teori dan Metode

Alih bahasa oleh:

Wahyono Saputro

Palembang

Diterjemahkan dari judul aslinya,

Discourse Analysis: As Theory and Method,

karya Marianne Jorgensen dan Louise Phillips

yang diterbitkan pertama kali tahun 2002

oleh penerbit SAGE Publications Ltd

6 Bonhill Street London EC2A 4PU

Daftar Isi

Pendahuluan

Kata pengantar

  1. Bidang Analisis Wacana

  2. Teori Wacana Laclau dan Mouffe

  3. Analisis Wacana Kritis

  4. Psikologi Diskursif

  5. Menyelami Pendekatan

  6. Penelitian Konstruksionis Sosial Kritis

Rujukan

indeks

BAB SATU BIDANG ANALISIS WACANA

Marianne Jorgensen dan Louise Phillips

Untuk hampir sepuluh tahun kini, wacana telah menjadi suatu istilah yang menarik. Dalam teks keilmuan dan debat, ia digunakan tanpa pandang bulu, dan sering tidak didefinisikan. Rumusannya menjadi kabur, atau maknanya hampir tidak ada atau digunakan secara tepat, namun agak berbeda maknanya dalam konteks yang berbeda pula. Namun dalam banyak kasus, penekanan kata wacana dalam gagasan umumnya bahwa bahasa dibangun menurut pola yang berbeda dimana ujaran seseorang mengikuti ketika mereka ambil bagian dalam ranah kehidupan sosial yang berbeda, contoh yang akrab terdapat dalam wacana kesehatan dan wacana politik. Analisis wacana dimaksud adalah analisis mengenai pola-pola ini.

Namun, definisi dalam pengertian umum ini tidak banyak membantu dalam menjernihkan apa sebuah wacana itu, bagaimana fungsinya atau bagaimana menganalisisnya. Di sini metode dan teori akan dikembangkan lebih jauh mengenai analisis wacana harus ditunjukkan. Dan dalam penelusuran, seseorang akan akan dapat menemukan dengan cepat bahwa wacana tidak hanya sebuah pendekatan, namun sebuah rangkaian pendekatan antar disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk mengungkap banyak perbedaan ranah sosial dalam banyak jenis studi yang berbeda. Dan tidak terdapat kesepakatan yang tegas tentang apa itu wacana dan bagaimana menganalisisnya. Perspektif yang berbeda menawarkan saran mereka sendiri dan untuk sejumlah tingkatan tertentu terjadi persaingan untuk menonjolkan istilah wacana dan analisis wacana menurut definisi yang mereka miliki sendiri. Mari mulai, bagaimanapun, dengan cara menempatkan definisi pendahuluan mengenai wacana sebagai metode khusus untuk membicarakan dan memahami dunia (atau aspek dunia).

Dalam bab ini, tiga pendekatan yang berbeda untuk analisis wacana kontruksionis sosial akan diperkenalkan- yaitu teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, analisis wacana kritis dan psikologi diskursif. Dalam tiga bab berikutnya, kita akan menyajikan pendekatan secara mandiri. Ketiga pendekatan tersebut membagikan titik tolak yaitu bahwa cara berbicara kita tidak secara netral merefleksikan dunia, identitas dan hubungan sosial kita, namun lebih merupakan memainkan peran aktif dalam menciptakan dan mengubahnya. Kita harus memilih ketiga pendekatan ini dari bentang perspektif yang berbeda dalam analisis wacana dengan landasan bahwa kita berfikir bahwa mereka menyajikan secara khusus metode dan teori yang bermanfaat untuk penelitian dalam komunikasi, budaya dan sosial. Pendekatan tersebut dapat diterapkan dalam banyak analisis ranah sosial yang berbeda, termasuk organisasi dan lembaga dan dalam mengungkap peran bahasa yang digunakan dalam pengembangan budaya dan kemasyarakatan yang luas seperti globalisasi dan penyebaran media komunikasi masa.

Izinkan penulis menampilkan contoh kecil penerapan yang mungkin mengenai analisis wacana. Sebagai contoh, ia dapat digunakan sebagai kerangka pemikiran untuk menganalisis identitas nasional. Bagaimana kita dapat memahami identitas nasional dan apa konsekuensi dari pembagian dunia menjadi negara-negara kecil? Banyak bentuk teks dan pembicaraan yang berbeda dapat dipilih untuk dianalisis. Fokusnya dapat berupa konstruksi diskursif identitas nasional dalam buku teks tentang sejarah Inggris. Secara alternatif, seseorang dapat memilih untuk mengungkap signifikansi identitas nasional bagi hubungan antara orang-orang dalam sebuah konteks keorganisasian sebagai sebuah tempat kerja. Topik penelitian lainnya dapat menjadi jalan dimana ahli pengetahuan disertakan dalam media masa dan implikasi untuk pertanyaan mengenai kekuasaan dan demokrasi. Bagaimana caranya meminta nasehat terkait struktur pengetahuan dan bersaing dalam belantara media masa dan bagaimana penguasaan pengetahuan menuntut agar dikonsumsi oleh para pengguna media pendengar? Pertarungan antara tuntutan pengetahuan yang berbeda dapat difahami/ diungkap secara empiris sebagai sebuah pertarungan antara warcana berbeda yang menyajikan cara yang berbeda mengenai pemahaman aspek dunia dan membangun identitas pembicara yang berbeda (seperti seorang ahli atau seorang pembohong).

Tiga pendekatan yang telah kita pilih untuk fokus sebagai kerangka kerja bagi analisis wacana membagi alasan argumentasi kunci tertentu tentang bagaimana sebuah kesatuan lahir seperti bahasa dan subjek tertentu difahami. Mereka juga secara umum memiliki tujuan untuk melaksanakan penelitian kritis, karenanya untuk menyelidiki dan menganalisa hubungan kekuatan dan masyarakat dan merumuskan perspektif normatif darimana sebuah kritik terhadap hubungan tertentu dapat diciptakan dengan melihat pada kemungkinan bagi perubahan sosial. Pada saat yang sama, meski setiap perspektif memiliki cakrawala filosofis yang berbeda dan dalil-dali teoritis, termasuk pemahaman khusus mengenai wacana, praktik sosial dan kritik yang mengarah pada tujuan khusus, metode dan titik fokus empiris. Tujuan dari bab pengantar ini adalah untuk menekankan cakupan terhadap pendekatan konstruksionis sosial terhadap analisis wacana. Kita tertarik pada dua aspek yang merupakan hal umum terhadap semua pendekatan – dan, secara khusus, terhadap tiga pendekatan penulis – dan dalam pendekatan-pendekatan tersebut terkait dengan pendekatan-pendekatan yang berbeda.

Pendekatan-pendekatan tersebut serupa satu sama lainnya dalam titik tolak konstruksionis sosial mereka, dalam pandangan kebahasaan mereka, berakar dari kebahasaan strukturalis dan pos strukturalis, dan dalam pemahaman mereka tentang individu berdasarkan versi marsisme strukturalis. Pada bab ini, penulis akan menyajikan sumber dan akar umum inspirasi teoritis dan selama pandangan kami akan menyentuh rangkaian konsep – sebagai contoh, kekuasaan dan ideologi – yang seringkali menyertai konsep wacana. Sekalipun penyebaran dalil, kepentingan yang berbeda hadir di antara tiga pendekatan tersebut. Pertama, terdapat tidak kesepakatan mengenai apa yang termasuk cakupan wacana, apakah mereka menggantikan masyarakat secara lengkap, atau mereka sendiri sebagiannya digantikan oleh aspek sosial lain? Kedua, pendekatan juga beragam dengan mempertimbangkan fokus analisis mereka. Sejumlah analisis wacana milik orang dalam hubungan sosial keseharian, sedang yang lain menyukai pemetaan yang lebih abstrak terhadap wacana yang beredar dalam masyarakat. Penulis akan mengelaborasi sekian poin yang berbeda ini ke akhir bab.

Pembagian bidang cakupan ke dalam tiga pendekatan dimana memiliki baik kesamaan dan perbedaan yang harus – untuk sejumlah tingkatan dapat difahami sebagai sebuah konstruksi penulis sendiri. Penulis akan memungut tiga pendekatan yang telah dipilih untuk diberikan pada sebuah bab untuk masing-masingnya, untuk membandingkan dan mempertentangkan pendekatan tersebut satu sama lain dalam bab 5, untuk menyediakan sebuah pengantar yang jelas terhadap bidang analisis wacana. Penyajian ini tidak harus diambil sebagai deskripsi yang netral atau sebagai refleksi bidang analisis yang terbuka. Dengan mempertimbangkan pilihan penulis mengenai ketiga pendekatan tersebut, penulis hanya mencakup tiga pendekatan dalam bidang analisis wacana konstruksionis sosial, termasuk, sebagai contoh pendekatan aliran Foucault. Dan dalam kaitannya dengan identifikasi penulis mengenai poin keseragaman dan perbedaan di antara ke tiga pendekatan, penulis memberitahukan bahwa perbandingan di antara pendekatan bukanlah sebuah latihan yang gamblang. Ketiga pendekatan tersebut berasal dari disiplin ilmu yang berbeda dan memiliki kekhususan karakter mereka sendiri. Pada saat yang sama, banyak kerja analisis wacana menyeberangi batas antar dsiplin ilmu, dan terdapat banyak poin teoritis dan alat metodologi yang tidak dapat diterapkan secara tepat terhadap sebuah pendekatan tertentu.

Paket Lengkap

Walaupun analisis wacana dapat diterapkan pada semua wilayah penelitian, ia tak dapat digunakan bersamaan dengan semua jenis kerangka kerja teoritis. Lebih penting lagi, ia tidak dapat digunakan sebagai metode analisis yang dipisahkan dari landasan metodologi dan teoritisnya. Setiap pendekatan terhadap analisis wacana yang penulis sajikan bukan sekedar metode yang diperuntukkan bagi analisis data, namun sebuah metodologi dan teoritis secara keseluruhan – atau katakanlah sebuah paket lengkap. Peket tersebut mengandung, pertama, dalil-dalil filosofis (ontologi dan epistemologi) dengan mempertimbangkan peran bahasa dalam sebuah konstruksi sosial tentang dunia, kedua, model teoritis, ketiga, panduan metodologi bagaimana untuk melakukan pendekatan sebuah ranah penelitian, dan keempat, teknik khusus untuk melakukan analisis. Dalam analisis wacana, teori dan metode saling berkelindan dan para peneliti harus menerima dalil-dalil filosofis dasar untuk menggunakan analisis wacana sebagai metode studi empiris mereka.

Adalah hal yang sangat penting menekankan bahwa, ketika konten paket harus berbentuk sebuah keseluruhan yang terintegrasi, adalah mungkin menciptakan paket milik seseorang dengan menggabungkan elemen-elemen dari perspektif analisis wacana yang berbeda dan jika, sangat diperlukan, perspektif analisis non wacana. Seperti karya perspektif ganda tidak sekedar dipersilahkan, namun secara positif memberi nilai dalam kebanyakan bentuk analisis wacana. Pandangan bahwa perspektif yang berbeda menyediakan bentuk pengetahuan yang beragam mengenai sebuah fenomena, dengan demikian secara bersama, mereka menghasilkan sebuah pemahaman luas. Kerja yang melibatkan perspektif ganda dibedakan dari sebuah pemilihan yang didasarkan pada mishmash pendekatan yang tidak terpisah tanpa dilakukan penilaian yang serius terhadap hubungannya dengan satu sama lain. Aliran perspektif ganda mensyaratkan bahwa seseorang harus memuat pendekatan-pendekatan yang saling menopang satu sama lain, mengidentifikasi apa jenis pengetahun masing-masing pendekatan yang dapat mendukung dan memodifikasi pendekatan-pendekatan dari sudut pandang pertimbangan ini.

Untuk membangun sebuah kerangka kerja yang sesuai, sangat penting memerhatikan aspek perbedaan filosofis, teoritis dan metodologis dan kesamaan diantara pendekatan. Tak pelak lagi, persyaratan ini merupakan sebuah tinjauan lapangan. Tujuan penyajian penulis terhadap tiga pendekatan dalam tiga bab mendatang adalah untuk memberi sumbangan untuk memberi tambahan pada tinjauan ini dengan cara memperkenalkan fitur kunci dari ketiga pendekatan analisa wacana penting, juga sebagai tema sentral dalam debat akademis terkait fitur-fitur ini. Sebagai tambahan, penulis akan menyediakan rujukan yang cukup memadai dan saran untuk menelaah bacaan lebih khusus.

Dalil-Dalil Kunci

Tiga pendekatan yang telah dipilih untuk menjadi perhatian, seluruhnya didasarkan pada konstruksi sosial. Aliran konstruksi sosial adalah sebuah istilah yang memayungi cakrawala teori baru tentang sosial dan budaya. Analisis wacana hanyalah satu di antara sejumlah pendekatan konstruksionis sosial namun, ia merupakan satu dari pendekatan yang digunakan secara luas dalam konstruksionisme sosial. Lebih jauh, banyak penggunaan pendekatan yang memiliki karakteristik yang sama seperti dalam analisis wacana tanpa mendefinisikannya begitu saja. Penulis pertamakali akan menyediakan sebuah panduan jelas tentang sejumlah asumsi filosofis umum yang mendukung banyak pendekatan analisa wacana, menguraikan pendapat-pendapat aliran konstruksionisme sosial yang berikan oleh Vivien Burr (1995) dan Kenneth Gergen (1985). Kemudian penulis akan fokus secara khusus pada sejumlah asumsi tentang bahasa dan identitas dimana semua pendekatan analisa wacana dirangkul.

Burr (1995) mengingatkan akan sulitnya memberikan sebuah deskripsi yang berusaha mencakup semua pendekatan konstruksionis sosial sejak mereka begitu merebak dan tersebar. Ini sekalipun demikian, dalam karya Burr (1995: 2-5) dia mendaftar empat dalil yang disebar oleh semua pendekatan konstruksionis sosial, yang dibangun oleh Gergen (1985). Dalil-dalil ini juga di rangkul oleh tiga pendekatan penulis, yaitu sebagai berikut:

  • Pendekatan kritis yang menerima pengetahuan apa adanya

Pengetahuan kita tentang dunia tidak harus dianggap sebagai kebenaran objektif. Realita hanya dapat diakses kepada kita melalui pengelompokan, jadi pengetahuan kita dan penyajian dunia tidak merefleksikan relitas di luar sana namun merupakan produk cara kita mengelompokkan dunia, atau, dalam istilah analisa diskursif dikenal sebagai produk wacana (Burr 1995:3, Gergen 1985: 266-267). Dalil-dalil ini akan diuraikan lebih jauh di halaman 9-12.

  • Kekhususan sosial dan budaya

Keberadaan sejarah dan budaya kita secara mendasar dan pandangan serta pengetahuan kita tentang dunia merupakan produk sejarah yang berada dalam situasi saling mengubah di antara orang-orang (Gerhen 1985:267). Konsekuensinya, cara-cara yang kita gunakan untuk memahami dan menyajikan dunia merupakan hal yang bersifat khusus secara sosial dan budaya dan merupakan kesatuan: sudut pandang kita dan identitas kita dapat saja berbeda, dan dapat saja berubah sewaktu-waktu. Pandangan ini, yaitu bahwa semua pengetahuan merupakan kesatuan adalah sebuah posisi sikap anti foundationalist yang tegak dalam posisi melawan pandangan anti foundationalist yang memandang bahwa pengetahuan dapat menjadi dasar (akar) yang kuat, dasar teori gabungan yang melebihi kesatuan tindakan manusia. Wacana merupakan sebuah bentuk tindakan sosial yang memerankan bagian dalam memproduksi dunia sosial – termasuk pengetahuan, identitas dan hubungan sosial – dan dengan cara demikian akan memperbaiki pola sosial khusus. Ini merupakan pandangan anti esensial; bahwa dunia sosial tertentu dibangun secara sosial dan secara diskursif mengimplikasikan bahwa karakternya bukanlah syarat pemberian atau ditentukan oleh kondisi luar, dan bahwa orang tidak memiliki serangkaian karakteristik yang otentik dan sempurna atau esensi.

  • Hubungan antara pengetahuan dan proses sosial

Cara kita memahami dunia adalah diciptakan dan diperbaiki oleh proses sosial (Burr 1995: 4, Gergen 1985: 268). Pengetahuan diciptakan melalui interaksi sosial yang kita bangun bersama kebenaran-kebenaran dan memiliki kompetensi mengenai benar dan salah.

  • Hubungan antara pengetahuan dan aksi sosial

Dalam sebuah sudut pandang khusus, sejumlah bentuk tindakan menjadi alami, sementara yang lainnya tidak dapat difikirkan. Pemahaman sosial yang berbeda tentang dunia akan mengarahkan pada tindakan sosial yang berbeda, dan bagaimanapun konstruksi bangunan sosial dan kebenaran memiliki konsekuensi sosial (Burr 1995:5, Gergen 1985: 268-269).

Sejumlah kritik konstruksionisme sosial memiliki alasan bahwa bila semua pengetahuan sosial dan semua identits sosial dianggap sebagai kesatuan, dan bila berikutnya bahwa segala sesuatu berada dalam keadaan yang terus berubah dan tidak terdapat keleluasaan dan keteraturan dalam kehidupan sosial. Tentunya, terdapat pakar teori konstruksi sosial seperti Kenneth Gergen dan Jean Boudrillard, yang mungkin dapat menafsirkan dalam cara ini. Namun, pada umumnya penulis yakin bahwa ini merupakan sebuah karikatur konstruksionisme sosial. Kebanyakan konstruksionis sosial, menyertakan pengikut tiga pendekatan penulis, pandangan bidang sosial sebagai lebih banyak bersifat mengatur dan membatasi. Meski pengetahuan dan identitas selalu kesatuan dalam prinsipnya, mereka relatif selalu bersifat kaku dalam situasi khusus. Situasi khusus menempati pengecualian dalam identitas dimana seorang individu dapat menduga dan memberi pernyataan yang dapat diterima sebagai penuh makna. Penulis akan meringkas diskusi ini dalam bab berikutnya terkait teori wacana Laclau dan Mouffe.

Tiga Pendekatan

Dalil-dalil kunci konstruksionis sosial memiliki akar dalam teori strukturalis Prancis dan paham penolakannya terhadap teori totalitas dan universalitas seperti Marsisme dan psikoanalisis. Namun keduanya baik konstruksionisme sosial maupun pos strukturalisme merupakan hanya label perselisihan dan tidak terdapat kesepakatan tentang hubungan antara keduanya. Penulis memahami konstruksionisme sosial merupakan sebuah pengelompokan luas dimana pos strukturalisme menjadi cabangnya. Semua pendekatan analisis wacana penulis menjelaskan teori bahasa strukturalis dan pos strukturalis, namun ragam pendekatan digunakan untuk memperluas hingga mana penerapan label pos strukturalis.

Teori wacana Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe, yang penulis sajikan pada bab 2, merupakan teori pos strukturalis paling asli dalam pilihan penulis. Teori tersebut memiliki titik tolak pada gagasan pos strukturalis yang mewacanakan konstruksi dunia sosial dalam pemaknaan, dan bahwa berterimaksih pada sifat labil bahasa secara mendasar, yang bermakna tidak akan pernah sempurna secara permanen. Tidak ada wacana yang memiliki entitas tertutup; lebih sekedar menjadi berubah secara tetap melalui kontak dengan wacana lainnya. Dengan demikian, kata kuncinya adalah pertarungan wacana. Wacana yang berbeda –masing-masingnya menyajikan cara khusus membicarakan dan memahami tentang dunia sosial – yang diikutsertakan dalam sebuah pertarungan yang tetap dengan yang lainnya untuk memeroleh penguasaan, dan itulah alasan untuk terus menyempurnakan makna bahasa dalam cara mereka sendiri. Penguasaan, kemudian dapat difahami secara sementara sebagai dominasi sebuah perspektif khusus. Penulis akan mengurainya pada bab 2 ini.

Analisis wacana kritis, yang kita diskusikan dalam bab 3 dengan fokus khusus pada pendekatan Norman Fairclough juga menempati posisi yang luas dalam peran wacana aktif dalam membangun dunia sosial. Namun sebaliknya dengan Laclau dan Mouffe, Fairclough bersikeras bahwa wacana hanyalah satu di antara banyak aspek dari praktik sosial. Perbedaan antara wacana dan non wacana menyajikan sebuah bekas atau sisa dari banyaknya pengaruh marsisme tradisional dalam teori Fairclough, membuat analisis wacana kritis kurang bernuansa pos strukturalis dibanding teori Laclau dan Mouffe.

Area pusat minat dalam analisis wacana kritis Fourclough adalah penyelidikan mengenai perubahan. Penggunaan bahasa kongkrit selalu mengambil struktur diskursif lebih awal sebagai pemakaian bahasa yang telah memiliki makna yang terpasang. Fokus fourclough tentang hal ini melalui konsep intertekstualitas – dikarenakan bagaimana sebuah teks individu mengambil elemen dan wacana teks lainnya. Dengan cara menggabungkan elemen dari wacana berbeda yang mana penggunaan bahasa kongkrit dapat mengubah wacana seseorang dan dengan cara demikian, juga berlaku dalam dunia sosial dan budaya. Melalui teks intertekstualitas, seseorang dapat menyelidiki baik reproduksi wacana dengan jalan mana tidak ada elemen baru yang diperkenalkan dan perubahan diskursif melalui penggabungan wacana baru.

Psikologi diskursif, yang merupakan judul dari bab 4, membagikan analisis wacana empiris kritis yang fokus pada contoh penggunaan bahasa khusus yang digunakan dalam interaksi sosial. Namun tujuan dari psikologi diskursif adalah tidak terlalu banyak menganalisa perubahan dalam wacana masyarakat berskala luas, yang menggunakan bahasa kongkrit dapat menghasilkan cara untuk menyelidiki bagaiamana orang menggunakan wacana yang tersedia secara lentur dalam menciptakan dan menegosiasikan representasi dunia dan identitas dalam berbicara mengenai interaksi dan untuk menganalisis konsekuensi sosial dari hal ini. Meskipun, pilihan label untuk pendekatan ini – psikologi diskursif – fokus utamanya bukanlah aspek internal kondisi psikologis. Psikologi diskursif merupakan sebuah pendekatan terhadap psikologi sosial yang telah membangun sebuah jenis analisis wacana untuk mengungkap cara dimana kedirian seseorang, pemikiran dan emosinya dibentuk dan diubah melalui interaksi sosial dan meningkatkan peran dari proses ini dalam reproduksi sosial, budaya dan perubahan. Banyak psikologi diskursif ditampilkan secara eksplisit dalam teori pos strukturalis, namun dengan hasil yang berbeda dari (sebagai contoh) yang ditampilkan Laclau dan Mouffe. Dalam psikologi diskursif, tekanannya ada pada individu baik sebagai produk hasil maupun penghasil wacana dalam konteks interaksi yang khusus sementara teori wacana Laclau dan Mouffe dimaksudkan untuk memandang individu tunggal sebagai subjek wacana.

Dalam bab 3 dan 4 secara berturut-turut analisis wacana kritis dan psikologi diskursif, penulis menggunakan landasan teoritis dan panduan metodologis bagi analisis wacana dan menyajikan sejumlah contoh mengenai analisis wacana dalam masing-masing tradisi. Teori Laclau dan Mouffe, bagaimanapun ia merupakan sebuah panduan metodologi singkat yang khusus dan memberikan ilustrasi contoh. Sebagai kompensasi dari hal ini, penulis telah menggabungkan dari teori mereka wawasan alat analisa yang penulis sajikan dalam bab 2 bersama dengan contoh analisis berdasar pada sejumlah alat analisis ini. Maksud dari panduan dan contoh dalam tiga bab adalah untuk menyediakan wawasan yang mendalam ke arah bagaimana menerapkan pendekatan yang berbeda untuk menganalisis wacana dalam kerja empiris. Pada setiap bab, penulis menggambarkan fitur khusus dari masing-masing perspektif, saat menunjukkan aspek-aspek yang mereka bagikan dengan satu atau dua dari perspektif lainnya. Walau demikian penulis tetap menekankan hubungan antara teori dan metode. Pada bab 5, penulis arahkan kepada persamaan dan perbedaan teoritis dan metode di antara pendekatan tersebut. Penulis membandingkan pendekatan, menunjukkan kekuatan dan kelemahannya, dan menunjukkan cara di mana mereka dapat saling melengkapi satu sama lain. Dan akhirnya, penulis mengarahkan sejumlah pertanyaan yang terkait dengan semua pendekatan. Bagaimana kita membatasi sebuah wacana? Bagaimana kita mulai melakukan analisis wacana? Bagaimana kita melakukan penelitian yang menyertakan ragam perspektif dikombinasikan dengan pendekatan analisis yang berbeda dan pendekatan analisis non wacana yang berbeda juga? Sebagaimana dalam bab lain, penulis menyajikan ilustrasi contoh cara-cara mengerjakan pertanyaan ini dalam penelitian empiris. Bab terakhir dari buku ini menyajikan sebuah diskusi mengenai dunia penelitian kritis dalam paradigma konstruksionisme sosial. Di sini penulis mendiskusikan dan mengevaluasi rentang usaha agar sesuai dengan problem pelaksanaan penelitian kritis sepanjang alur konstruksionis sosial, fokus pada pendirian mereka yang berbeda terkait dengan pertanyaan relativisme dan status dari kebenaran dan pengetahuan.

Dari Sistem Bahasa Menuju Wacana

Sebagai tambahan untuk dalil-dalil konstruksionis sosial umum, semua pendekatan analisa wacana digabung bersama pertimbangan terhadap pandangan subjek dan bahasa mereka. Agar menyediakan sebuah landasan umum bagi diskusi pada bab yang akan datang, penulis sekarang memperkenalkan pandangan bahwa penyebaran pendekatan diikuti oleh poin beragam yang utama.

Pendekatan analisa wacana mengambil sebagai titik tolak mereka tuntutan terhadap strukturalis dan filsafat bahasa pos strukturalis, yang merupakan jalan masuk penulis kepada realitas yang selalu melalui bahasa. Dengan menggunakan bahasa, penulis menciptakan representasi dari realitas yang tidak pernah merefleksikan sebuah pra kehadiran realitas belaka namun memberi kontribusi untuk membangun realita. Hal itu tidak berarti bahwa realita dengan sendirinya tidak ada. Makna (arti) dan representasi adalah hal yang real. Objek fisik juga ada, namun mereka hanya memeroleh makna (arti) melalui wacana.

Mari kita ambil sebuah contoh, sebuah peristiwa banjir yang dikaitkan dengan sebuah sungai yang melampaui tepian sungainya. Naiknya level tingkat air mengarah pada banjir merupakan sebuah peristiwa yang berada dalam pemikiran dan pembicaraan orang secara bebas. Semua orang akan tenggelam bila mereka berada di tempat yang keliru, terlepas dari apa yang sedang mereka fikir atau katakan. Peningkatan pada level air merupakan fakta material. Namun secepat usaha orang untuk memberikan makna terhadapnya, hal tersebut tidak lagi berada di luar wacana. Kebanyakan akan menempatkannya ke dalam kategori fenomena alami, namun mereka tidak akan mementingkan penggambarannya dalam cara yang sama. Sejumlah orang mungkin akan mengambil sebuah wacana meteorologis untuk membantu menjelaskannya, menghubungkan naiknya tingkat ketinggian permukaan air kepada hujan lebat yang tidak seperti biasanya. Sementara yang lain mungkin memikirkannya dalam konteks fenomena El Nino, atau melihatnya sebagai satu dari sekian banyaknya konsekuensi efek rumah kaca secara global. Sementara orang lain masih melihatnya sebagai hasil dari kekeliruan pengelolaan secara politik, seperti kegagalan pemerintahan nasional dalam membentuk dewan dan pembiayaan pembanguan proyek bendungan. Dan akhirnya, sejumlah orang lainnya mungkin melihatnya sebagai sebuah manifestasi dari kehendak Tuhan, dihubungkan dengan kemarahan Tuhan ke arah gaya hidup masyarakat yang penuh dosa atau melihatnya sebagai tanda dekatnya akhir zaman. Naiknya tingkat permukaan air, sebagai sebuah peristiwa terjadi dalam titik waktu yang khusus, akan dapat menjelaskan makna dalam konteks ragam wacana atau perspektif yang berbeda (yang dapat dikombinasi dalam cara yang berbeda). Hal yang lebih penting, setiap wacana yang berbeda menunjukan cara tindakan yang berbeda sebagai hal yang mungkin dan menonjol seperti konstruksi tentang bendungan di atas, yaitu cara pandang organisasi politik menentang kebijakan lingkungan global atau cara pandang pemerintah nasional, atau persiapan bagi dekatnya akhir zaman. Dengan demikian memberikan makna dalam kerja wacana untuk mengganti atau mengubah dunia.

Bahasa, kemudian tidak melulu sebuah saluran yang berisi informasi tentang penekanan keadaan mental dan perilaku atau fakta tentang dunia yang dikomunikasikan. Dan sebaliknya, bahasa merupakan sebuah mesin yang memunculkan dan sebagai sebuah ganti hasil dunia sosial tertentu. Hal ini juga berarti perluasan penggantian identitas sosial dan hubungan sosial. Itu berarti bahwa perubahan dalam wacana merupakan sebuah arti dunia sosial dapat diubah. Pergulatan pada tataran diskursif ikut serta dalam proses perubahan, juga seperti dalam mereproduksi sebuah realitas sosial.

Pemahaman tentang bahasa sebagai sebuah sistem, yang tidak dibatasi oleh realita yang dirujuknya, berasal dari kebahasaan strukturalis yang diikuti dalam kebangunan gagasan rintisan Ferdinand de Saussure sekitar awal abad ini. Saussure beralasan bahwa tanda terdiri atas dua sisi, yaitu form (signifiant) dan konten (signifi) dan bahwa hubungan antara keduanya memiliki tabiat yang berubah-ubah (Saussure 1960). Arti yang kita selipkan pada kata-kata tidak menjadi sifat di dalamnya namun sebagai hasil kesepakatan sosial, dengan jalan demikian kita menyambungkan arti dengan suara tertentu. Suara atau kesan tertulis mengenai kata-kata dog (anjing), sebagai contoh, tidak memiliki hubungan secara alami terhadap kesan seekor anjing yang tampak dalam fikiran kita ketika kita mendengar kata tersebut. Bahwa kita memahami apa yang orang lain maksudkan ketika mereka mengatakan dog disebabkan karena kesepakatan sosial yang telah memahamkan kita bahwa kata dog merujuk pada hewan berkaki empat yang menggonggong. Pandangan Saussure adalah bahwa makna tanda individu ditentukan oleh hubungan mereka dengan tanda lainnya; sebuah tanda memeroleh nilai khususnya dari kondisi yang berbeda dari tanda lainnya, kata dog berbeda dengan kata cat dan mouse, dig dan dot. Kata dog akan menjadi bagian dari sebuah jaringan atau struktur dari bentuk kata lainnya yang membedakannya dan hal ini berasal dari segala sesuatu yang bukan kata-kata dog itu sendiri dimana kata dog tersebut mendapatkan maknanya.

Saussure memandang struktur ini sebagai sebuah lembaga sosial dan meskipun terus berubah sepanjang waktu. Ini mengimplikasikan bahwa hubungan antara bahasa dan realita juga berubah-ubah, sebuah pokok pandangan yang dikembangkan dalam teori strukturalisme dan pos strukturalis belakangan ini. Sebuah kata tidak dengan sendirinya dapat memerintah kata-kata tertentu yang mana harus dideskripsikan dan sebagai contoh, tanda dog bukanlah sebuah konsekuensi alami dari sebuah fenomena secara fisik, bentuk dari sebuah tanda akan berbeda pula dalam bahasa yang berbeda. (sebagai contoh, chien dan Hund), dan isi dari tanda juga berubah ketika diterapkan dalam sebuah situasi baru (ketika, sebagai contoh, dikatakan kepada sesorang, “You are such a dog”, – Anda seperti seekor anjing).

Saussure memberikan pembelaan bahwa struktur tanda dijadikan materi bahasa. Saussure membedakan antar dua tingkatan bahasa, yaitu langue dan parole. Langue adalah struktur bahasa, jaringan tanda yang memberi makna satu sama lain dan bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Parole di sisi lain, merupakan situasi penggunaan bahasa, tanda sebenarnya yang digunakan oleh orang dalam situasi yang khusus. Parole harus selalu menjelaskan langue, untuk peruntukan tersebutlah struktur bahasa akan membuat kemungkinan pernyataan khusus. Namun dalam tradisi Saussurian parole seringkali dipandang sebagai sesuatu yang acak dan begitu terlemahkan karena kesalahan orang dan gabungan gagasan yang dimaksudkan untuk tidak memasukkannya sebagai sebuah objek penelitian saintifik. Meskipun bersifat tetap, penekanan struktur adalah langue, yang telah menjadi objek utama bahasa.

Pos strukturalisme titik tolaknya dari teori strukturalis namun mengubahnya dalam pertimbangan penting. Pos strukturalisme mengambil dari gagasan strukturalisme bahwa, tanda-tanda mengarahkan makna-maknanya tidak melalui hubungannya terhadap realitas namun melalui hubungan internal dalam jaringan tanda; ia menolak pandangan strukturalisme mengenai sifat bahasa sebagai hal yang tetap, tidak berubah dan menyatukan struktur dan tidak menekankan perbedaan yang tajam antara langue dan parole.

Pertama, kita mengarah kepada kritik pos strukturalisme mengenai kestabilan, ketidak berubahan struktur bahasa. Seperti yang telah disebutkan penulis, dalam teori Saussur tanda memeroleh maknanya dengan berbedanya mereka dari tanda lain. Dalam tradisi aliran Saussur, struktur bahasa dapat dipertimbangkan seperti sebuah jala ikan dimana setiap tanda memiliki tempatnya sebagai satu simpul atau ikatan dalam sebuah jala. Ketika sebuah jala dibentangkan, simpul atau ikatannya tetap pada tempatnya dikarenakan jaraknya dari simpul atau ikatan lainnya dalam jala, mirip seperti tanda yang didefinisikan oleh jaraknya dari tanda yang lainnya. Banyak teori strukturalis berpijak pada dugaan bahwa tanda-tanda terkunci dalam hubungan khusus satu sama lainnya: setiap tanda memiliki lokasi yang khusus dalam jala dan maknanya tetap. Pengikut strukturalis dan pos strukturalis belakangan, telah mengkritik rumusan bahasa ini; mereka tidak percaya bahwa tanda memiliki posisi tetap tertentu seperti diserupakan dengan jala ikan. Dalam teori pos strukturalis, tanda akan memeroleh makna mereka dengan menjadi berbeda dari tanda yang lain, namun tanda yang berbeda secara asal ini dapat berubah sesuai dengan konteks dimana mereka digunakan (Laclau 1993a: 433). Sebagai contoh, kata work (kerja) dalam situasi tertentu dapat dipertentangkan dengan Leisure (malas) sementara dalam konteks lainnya, dipertentangkan dengan arti passivity (sifat pasif) seperti dalam pekerjaan di taman. Hal tersebut tidak berarti bahwa kata-kata terbuka bagi semua makna arti —hal itu akan membuat bahasa dan komunikasi menjadi tidak mungkin— namun tidak memiliki konsekuensi bahwa kata-kata tidak dapat menjadi bersifat tetap dengan satu atau lebih makna tertentu. Perumpamaan jala ikan, tidak lagi memadai sejak ia tidak dapat menjadi penentu yang utama, dimana dalam jaringan, tanda harus ditempatkan dalam hubungan satu sama lain. Menyisakan perumpamaan sebuah jala, penulis lebih suka menggunakan internet sebagai model, dengan cara semua saluran terhubung satu sama lain, namun saluran dapat dipindahkan dan sesuatu yang baru secara tetap muncul dan menggantikan struktur.

Struktur hadir namun selalu bersifat sementara dan tidak diperlukan keadaan yang konsisten. Pemahaman ini menyediakan pos strukturalisme dengan sebuah arti pemecahan sebuah problem tradisional milik strukturalisme, yaitu perubahan. Dengan fokus strukturalisme yang menekankan dan kestabilan struktur, adalah mustahil memahami perubahan, bagaimana caranya perubahan akan hadir? Dalam pos strukturalisme, struktur menjadi mungkin untuk berubah dan makna tanda dapat menempati dalam hubungannya dengan yang lain.

Namun apa yang membuat makna tanda berubah? Ini membawa kita kepada kritik utama yang kedua pos strukturalisme terhadap strukturalisme tradisional, terkait dengan perbedaan tajam terkini antara langue dan parole. Seperti disebut, parole tidak dapat menjadi sebuah objek studi para penganut strukturalis karena situasi penggunaan bahasa dianggap terlalu berubah-ubah untuk dapat mengatakan semua tentang struktur, yaitu langue. Kondisi sebaliknya, pos strukturalis percaya bahwa ia dalam penggunaan bahasa yang lebih kongkrit bahwa struktur itu diciptakan, direproduksi (diulang) dan berubah. Dalam tindak pembicaraan khusus (dan tulisan), orang menunjukkan struktur – sebaliknya ucapan tidak akan bermakna – namun dapat juga menantang struktur dengan memperkenalkan gagasan alternatif untuk bagaimana membuat stabil makna sebuah tanda.

Tidak semua pendekatan analisis wacana mengikuti secara jelas terhadap pos strukturalis, namun seluruhnya mungkin akan sepakat mengenai poin-poin utama berikut:

  • Bahasa bukanlah sebuah refleksi dari sebuah kehadiran realitas,

  • Bahasa dibangun dalam pola-pola atau wacana, tidak hanya terdapat sebuah sistem makna umum sebagaimana yang dianut oleh aliran strukturalisme Saussurian tetapi serangkaian sistem atau wacana, dengan demikian makna atau arti berubah dari wacana ke wacana,

  • Pola diskursif dikelola dan ditransformasikan dalam tindakan-tindakan diskursif,

  • Perbaikan dan transformasi pola-pola, bagaimanapun, akan diangkat melalui analisis terhadap konteks khusus dimana bahasa adalah dalam konteks tindakan.

Geneologi dan Arkeologi Foucault

Michel Foucault telah memainkan peran utama dalam pengembangan analisis wacana melalui dua hal, yaitu kerja teoritis dan penelitian empiris. Dalam hampir semua pendekatan analisa wacana, Foucault menjadi sosok figur yang dijadikan rujukan pengutipan, dikaitkan, dikomentari, dimodifikasi dan dikritik. Penulis juga tidak hanya untuk berbuat sesuai dengan aturan permainan secara implisit, namun juga karena semua pendekatan penulis memiliki akar pada gagasan Foucault, saat menolak sejumlah bagian dari teorinya.

Secara tradisional, karya Foucault dibagi antara tahap arkeologi awal dan tahap geneologi lanjut, meskipun keduanya saling tumpang tindih, dengan usaha Foucault melanjutkan penggunaan perangkat dari disiplin arkeologinya dalam karya terakhirnya. Bagian bentuk teori wacananya adalah bagian dari arkeologinya. Apa yang disukainya dalam studi arkeologi merupakan aturan yang menentukan, mana pernyataan yang dapat diterima sebagai penuh makna dan benar dalam sebuah epos sejarah khusus. Foucault mendefinisikan wacana sebagai beriikut:

Kami akan menyebut wacana sebagai sekelompok pernyataan sepanjang mereka termasuk formasi diskursif tertentu (...wacana) disusun dari sejumlah pernyataan terbatas untuk sekelompok kondisi mengenai eksistensi yang akan didefinisikan. Wacana dalam pemahaman ini bukanlah hal yang ideal, bentuk tanpa waktu (...) ia, dari awal hingga akhir, terkait dengan sejarah – sebuah bagian dari sejarah (...) menempati batasannya sendiri, bagiannya, transformasinya, mode temporernya yang khusus. (Foucault 1972: 117).

Foucault mengikuti dalil konstruksionis sosial umum, bahwa pengetahuan bukanlah sekedar refleksi dari realita. Kebenaran merupakan sebuah konstruksi diskursif dan rejim pengetahuan yang berbeda yang menentukan apa yang benar dan apa yang salah. Tujuan Foucault adalah untuk menyelidiki struktur rejim pengetahuan yang berbeda – dan karenanya, aturan-aturan apa yang dapat dan tidak dapat dikatakan dan aturan-aturan apa yang dipertimbangkan untuk menjadi benar atau salah. Titik tolaknya adalah meskipun kita memiliki, secara prinsip, merupakan sejumlah cara yang tidak tertentu untuk merumuskan pernyataan, pernyataan-pernyataan yang diproduksi dalam sebuah ranah yang khusus yang agak mirip dan berulang. Terdapat banyak pernyataan yang tak terhingga yang tidak pernah sama sekali dan tidak akan pernah diterima sebagai penuh makna/arti. Aturan kesejarahan dari wacana khusus tidak membatasi apa yang mungkin untuk dikatakan.

Mayoritas pendekatan analisis wacana kontemporer mengikuti rumusan wacana Foucault sebagai serangkaian aturan pembatas yang relatif terhadap pernyataan yang menentukan batasan apa yang dapat memberikan makna. Dan mereka terpasang dalam gagasannya mengenai kebenaran menjadi sesuatu yang, sekurangnya dapat memperluas tingkatan penciptaan secara diskursif. Bagaimanapun mereka tersebar dari kecenderungan Foucault untuk mengidentifikasi hanya satu rejim pengetahuan dalam setiap periode sejarah: daripada mereka bekerja dengan gambaran yang lebih bersifat konflik dimana wacana berbeda eksis secara berdampingan atau pertarungan untuk menentukan siapa yang berhak mendefinisikan kebenaran.

Dalam karya geneologinya, Foucault mengembangkan sebuah teori kekuasaan/ pengetahuan. Daripada memperlakukan agen-agen dan struktur sebagai kategori yang utama, Foucault fokus pada kekuasaan. Bersamaan dengan wacana, kekuasaan tidak menjadi bagian dari agen khusus seperti para individu atau negara atau kelompok yang berkeinginan khusus, kekuasaan tersebar melintasi praktik-praktik sosial yang berbeda. Kekuasaan harus tidak difahami sebagai bersifat tekanan semata-mata namun sebagai sesuatu yang produktif, kekuasaan menggantikan wacana, pengetahuan, tubuh dan subjektifitas:

Apa yang membuat kekuasaan digunakan secara tepat, apa yang membuatnya dapat diterima, merupakan fakta sederhana bukan hanya mengangkat kita sebagai kekuatan yang dapat mengatakan ‘tidak’, namun ia juga melintasi dan memproduksi sesuatu, ia membawa kenyamanan, ragam pengetahuan, menghasilkan wacana. Hal tersebut perlu dipertimbangkan sebagai sebuah jaringan yang produktif yang melintasi seluruh tubuh masyarakat, lebih banyak dari sebuah instansi negatif yang fungsinya adalah menekan. (Foucault 1980: 119).

Kekuasaan ini menyediakan kondisi yang memungkinkan bagi masyarakat tertentu. Dalam kekuasaan, dimana dunia sosial kita dihasilkan dan objek-objek terpisah satu sama lainnya dan dengan demikian akan memeroleh karakteristik individual mereka dan hubungan dengan satu sama lain. Sebagai contoh, ‘kriminal’ secara bertahap telah diciptakan sebagai sebuah wilayah yang dilengkapi dengan institusi miliknya sendiri (misalnya penjara), subjek khusus (pelaku kriminal) dan tindakan khusus (misalnya sosialisasi ulang). Dan kekuasaan selalu berbatasan dengan pengetahuan – kekuasaan dan pengetahuan mensyaratkan satu sama lain. Sebagai contoh, adalah sangat sulit membayangkan sebuah sistem penjara modern tanpa kriminologi (Foucault, 1977).

Kekuasaan bertanggung jawab untuk menciptakan dunia sosial kita dan memunculkan cara yang khusus dimana dunia dibentuk dan dapat diperbincangkan, menyingkirkan cara-cara alternatif terhadap tubuh dan pembicaraan. Kekuasaan dengan demikian adalah kekuatan yang memaksa dan produktif. Rumusan Foucault tentang kekuasaan mengikuti teori wacana Laclau dan Mouffe dan psikologi diskursif, saat analisis wacana kritis lebih berperasaan yang bertentangan ke arahnya. Penulis akan mendiskusikan posisi analisis wacana kritis dalam bab 3.

Dengan mempertimbangkan pengetahuan, penyandingan kekuasaan dan pengetahuan Foucault memiliki konsekuensi bahwa kekuasaan sangat erat kaitannya dengan wacana. Wacana utamanya ikut andil dalam memproduksi subjek dan objek yang dapat kita ketahui tentangnya (termasuk diri kita sebagai subjek). Untuk semua pendekatan, mengikuti pandangan ini akan mengarahkan pada pertanyaan penelitian berikut: bagaimana dunia sosial, termasuk subjek dan objeknya, tergantikan dalam wacana?

Rumusan Foucault tentang kekuasaan dan pengetahuan juga memiliki konsekuensi bagi konsep kebenaran miliknya. Foucault menyatakan bahwa tidak mungkin memeroleh akses kepada kebenaran universal sejak ia mustahil dibicarakan dari posisi di luar wacana, tidak ada pelarian dari representasi. Dampak kebenaran diciptakan dalam wacana. Dalam fase arkeologi Foucault, kebenaran difahami sebagai sebuah sistem prosedur untuk produksi, pengaturan, dan pemisahan pernyataan. Dalam fase geneologinya, ia membuat hubungan antara kebenaran dan kekuasaan, dengan alasan bahwa kebenaran disisipkan dalam dan diproduksi oleh sistem kekuasaan. Karena kebenaran tidak dapat dicapai, tidak akan berhasil menanyakan apakah sesuatu itu benar atau salah, fokus harus lebih diarahkan pada bagaimana dampak dari kebenaran yang diciptakan dalam wacana. Apa yang akan dianalisa merupakan proses diskursif yang menyajikan gambaran benar atau salah dari realitas.

Subjek

Dan Foucault juga orang yang menyediakan titik tolak untuk memahami subjek analisis wacana. Pandangannya, seperti yang telah dicatat, bahwa subjek diciptakan dalam wacana. Ia beralasan bahwa wacana bukanlah manifestasi tertutup dari subjek pembicaraan, pengetahuan dan pemikiran yang bersifat agung (Foucault 1972: 55). Atau seperti ungkapan Steinar Kvale mengenai posisi, “diri tidak lagi menggunakan bahasa untuk mengungkapkan dirinya, bahkan bahasa berbicara melalui orang”. (Kvale 1992: 36).

Hal ini sangat berbeda dengan standar pemahaman dunia Barat memahami subjek sebagai sesuatu yang memiliki otonomi dan kesatuan yang berdaulat. Menurut Foucault subjek adalah decentered. Di sini, Foucault telah dipengaruhi gurunya, Louis Althusser.

Pendekatan Marsisme struktural Althusser menghubungkan subjek secara erat terhadap ideologi; individu menjadi subjek ideologi melalui proses interpelasi dengan cara mana wacana mengajak kepada individu sebagai subjek. Pertama, penulis akan menekankan pemahaman ideologi Althusser yang mengikuti pemahamannnya mengenai interpelasi. Althusser mendefinisikan ideologi sebagai sebuah sistem representasi yang menutupi hubungan kebenaran kita terhadap satu sama lain dalam masyarakat dengan cara membangun hubungan hayalan di antara orang dan antara mereka dan bentuk sosial. (Althusser 1971). Dengan demikian, ideologi merupakan pengakuan yang menyimpang terhadap hubungan sosial nyata. Menurut Althusser, seluruh aspek sosial dikontrol oleh ideologi, yang berfungsi melalui aparatur negara yang menekan (mis, polisi) dan aparat ideologi negara (mis, media masa).

Interpelasi, merupakan proses dimana bahasa membangun sebuah posisi sosial bagi individu dan dengan cara demikian membuatnya menjadi sebuah subjek yang bersifat ideologi:

Ideologi bertindak atau berfungsi dalam sebuah cara yang mengambil subjek di antara individu (ia mengambil semuanya), atau merubah individu ke dalam subjek (ia merubah semuanya) dengan kerja yang sangat tepat yang aku sebut sebagai interpelasi atau hailing, yang dapat dibayangkan sepanjang garis polisi setiap hari yang menjadi tempat yang paling umum (atau yang lainnya) hailing, “hey, kamu yang di sana!”, yang menduga bahwa layar teoritis yang aku bayangkan terjadi di sebuah jalan, individu yang disapa akan menoleh – (...) ia telah menjadi subjek (Althusser 1971: 174, kata yang dicetak miring adalah asli, kutipan diizinkan).

Mari kita ambil sebuah contoh, materi informasi publik zaman modern sekarang yang menginterpelasi para pembaca sebagai pemakai yang bertanggung jawab pribadi untuk merawat tubuh mereka melalui sebuah pilihan gaya hidup yang sesuai. Dengan menerima peran sebagai pengarah teks, kita menyatukan diri kita kepada posisi subjek, yang mana interpelasi telah diciptakan. Dengan melakukan hal tersebut, kita telah memproduksi ideologi konsumerisme dan posisi kita sebagai subjek dalam sebuah budaya konsumerisme. Dengan mengambil peran subjek dalam sebuah budaya konsumerisme, kita menerima bahwa permasalahan tertentu dibangun sebagai permasalahan pribadi yang membawa tanggung jawab untuk diselesaikan oleh individu tertentu, sebagai pengganti permasalahan umum yang menghendaki penyelesaian kolektif.

Althusser menduga bahwa kita selalu menerima posisi subjek yang diperuntukkan bagi kita dan dengan cara demikian akan menjadi objek ideologi; tidak ada kesempatan untuk melawan:

Pengalaman menunjukkan bahwa telekomunikasi praktis akan hailing (sapaan ‘hai’) yang sedemikian rupa, orang hampir tidak pernah menanggapi sifat jantan mereka, baik berupa panggilan verbal dan sekedar suitan, seseorang yang disapa selalu mengerti bahwa hal tersebut benar-benar ditujukan padanya, orang yang mendapat sapaan (Althusser 1972: 174).

Seperti yang akan kita lihat pada bagian berikut, ini hanya sebuah aspek dari teori Althusser yang menjadi sasaran kritikan yang berat dengan memasukan banyak saran oleh mayoritas pendekatan analisa wacana.

Penolakan terhadap Determinisme

Teori Althusser memiliki sebuah pengaruh yang besar dalam pendekatan studi budaya terhadap studi komunikasi pada tahun 1970 an. Penelitian fokus pada teks (utamanya media masa cetak), bukan pada produksi teks atau sambutan yang baik sejak para peneliti mengambil bulat-bulat pekerjaan yang bersifat ideologi dan dampak dari teks. Pemberian makna telah diperlakukan seolah-oleh mereka sisipan yang tidak bersifat ambigu dalam teks dan diterima secara pasif oleh penerima. Pada tataran yang lebih luas – studi budaya – dipengaruhi secara kuat oleh karya Althusser – yang berdasar pada gagasan bahwa ideologi tunggal (kapitalisme) telah mendominasi dalam masyarakat, meninggalkan garapan yang tidak nyata bagi perlawanan yang efektif (tesis ideologi dominan).

Namun sejak akhir tahun 1970 an, perspektif Althusser telah dikritisi dalam sejumlah cara. Pertama, telah muncul pertanyaan mengenai kemungkinan kekuatan melawan pesan ideologi yang menampilkan subjek – pertanyaan mengenai agensi subjek atau kebebasan berbuat. Kelompok media pada pusat untuk studi budaya kontemporer di Birmingham, yang dikepalai oleh Stuart Hall, menunjukkan, dalam pertimbangan ini, terhadap rumitnya sambutan baik dari media. (Hal et. al 1980). Menurut teori encoding/ decoding, para penerima mampu menafsirkan atau membuka pesan melalui kode lain dari kode yang menjadi pengunci dalam teks (Hall 1990). Teori tersebut berdasar inter alia dalam teori Gramsci mengenai hegemoni, yang memberikan sebuah tingkat agensi kepada seluruh kelompok sosial dalam memproduksi dan menegosiasikan makna (Gramsci 1990). Saat ini telah ada kesepakatan dalam studi budaya, penelitian komunikasi dan analisis wacana yang menyatakan bahwa tesis ideologi dominan yang menganggap rendah kapasitas seseorang menawarkan kekuatan untuk melawan sejumlah ideologi tertentu.

Sejumlah sumbangan untuk studi komunikasi dan budaya mungkin bahkan cenderung menaksir terlalu tinggi kemampuan seseorang untuk menentang pesan media (lihat, sebagai contoh, Morley 1992 untuk kritik mengenai maksud ini), namun biasanya analisis wacana mengingat akan peran fitur tekstual dalam menetapkan batas-batas tentang bagaimana sebuah teks dapat ditafsirkan oleh penerimanya.

Kedua, ketiga pendekatan analisis wacana dalam buku penulis disajikan untuk menolak pemahaman mengenai masyarakat haruslah dikelola oleh ideologi yang bersifat total. Seperti mereka mengganti pandangan monolitik Foucault tentang rejim pengetahuan yang bermodel lebih pluralis dengan banyak penguasaan wacana, mereka menolak teori Althusser bahwa sebuah ideologi mengontrol semua wacana. Akibat dari hal ini adalah bahwa subjek tidak dapat menjadi interpelasi dengan cukup satu posisi subjek, perbedaan wacana menghadirkan subjek yang berbeda pula, dan kemungkinan yang saling bertentangan, posisi-posisi yang merupakan asal untuk memulai pembicaraan.

Dokumen yang terkait

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

ANALISIS KOMPARATIF PENDAPATAN DAN EFISIENSI ANTARA BERAS POLES MEDIUM DENGAN BERAS POLES SUPER DI UD. PUTRA TEMU REJEKI (Studi Kasus di Desa Belung Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang)

23 307 16

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

ANALISIS ISI LIRIK LAGU-LAGU BIP DALAM ALBUM TURUN DARI LANGIT

22 212 2

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

ANALISIS PROSPEKTIF SEBAGAI ALAT PERENCANAAN LABA PADA PT MUSTIKA RATU Tbk

273 1263 22

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24