Bimbingan Konseling Anak Berbakat. doc

Makalah Kelompok
Pendidikan Anak dengan Kecerdasan dan Bakat Istimewa
Tentang
Bimbingan Konseling Anak Berbakat

Disusun
Oleh

Kelompok 6:
Rahmatul Putri
Restu Emidal Putri
M. Ridoan Lubis
Muhammad Zuliansyah
Ria Oktavia
Rahmadani Yusuf
Yonika Zakiah
Endang Afrianti KM

(14003016)
(14003018)
(14003036)

(14003037)
(14003039)
(14003094)
(14003101)
(14003115)

Dosen Pembimbing:

Drs. Ganda Sumekar
PENDIDIKAN LUAR BIASA
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Bimbingan Konseling Anak Berbakat”. Penulisan makalah ini merupakan
salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Pendidikan Anak dengan
Kecerdasan dan Bakat Istimewa.
Kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada pihakpihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada Dosen

kami, Bapak Drs Ganda Sumekar yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
makalah ini, baik pada teknik penulisan maupun materi. Dengan demikian, kami
mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat membangun.
Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya.

Padang, Desember 2015

Penulis

Daftar Isi
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

BAB II Pembahasan
A. Masalah Anak Berbakat dan Keperluan
B. Pengatasan Masalah Underachievement
C. Konseling Karir Anak Berbakat
BAB III Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka

BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bimbingan dan konseling muncul dalam proses
pendidikan bila terjadi situasi kritis antara lain karena adanya distorsi persepsi
manusia yang bersangkkutan terhadap situasi lingkungan. Situasi kritis ini
menuntut keberanian mengambil keputusan dalam menghadapinya dan situasi
seperti ini bagi anak berbakat lebih sering muncul dalam hidupnya, justru karena
anak berbakat memiliki problema-problema yang amat spesifik. Ini berarti
bahwa bagi mereka terjadi apa yang disebut “suatu untaian yang tak ada
hentinya dalam proses pengambilan keputusan”, yang membawa konsekuensi

dalam tuntutan kesiapan sikapnya menghadapi situasi-situasi krisis tersebut.
Kehidupan sosial emosional dalam mempertahankan keberbakatan sering
“terkalahkan penanganannya” karena fokus kepedulian terlalu terarah pada
inteligensi dan kemampuannya. Demikian juga lingkungan sekolah sering
kurang memenuhi kebutuhan tersebut. Atas dasar asumsi-asumsi tersebut dalam
makalah ini akan diuraikan berbagai masalah yang dihadapi anak berbakat
dengan titik anjak dari kegiatan bimbingan dan konseling beserta berbagai
perlakuan yang khusus bagi mereka.
B. Rumusan Masalah
1.

Bagaimana masalah anak berbakat dan keperluan bimbingan konseling?

2.

Bagaimana pengatasan masalah underachievement?

3.

Bagaimana konseling karir anak berbakat?


C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan

makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana masalah anak berbakat dan
keperluan bimbingan konseling, mengetahui bagaimana pengatasan masalah
underachievement, dan mengetahui bagaimana konseling karir anak berbakat.
Selain itu, manfaat penulisan makalah ini diharapkan dapat menjadi
tambahan ilmu bagi pembaca, khususnya untuk mahasiswa/i Universitas Negeri
Padang.

BAB II
Pembahasan
A. Masalah Anak Berbakat dan Keperluan Bimbingan Konseling
1.

Berbagai Masalah Anak Berbakat
Kepedulian terhadap ciri-ciri dari anak manusia yang berkualifikasikan
istimewa tumbuh dari kepedulian terhadap sifat-sifat istimewa manusia
tersebut.

Seperti sudah diutarakan dalam pengatar, bab ini bermaksus
mendiskusikan dan mendisseminasikan berbagai informasi terhadap
berbagai masalah yang amat khusu dalam pendidikan dan pengembangan
keberbakatan.
Jadi disini masalahnya dilihat dari sudut pandang manusia, apa yang ia
alami dan apa yang ia hayati dan menjadikan situasi baginya, maupun bagi
lingkungannya.
Kita ketahui bahwa didalam kegiatan bimbingan dan konseling, yang
mengadakan konseling itu selalu pertama-pertama harus melihat persoalan
itu dari kacamat yang mengalami konseling atau konsele, jadi berbagai
permasalahan \yang di ketengakan disini juga pertama-tama dilihat dari
sudur pandang konsele.
a.

Labeling
Memberikan label pada anak berbakat bahwa ia berbakat
menimbulkan harapan terhadap kemampuan anak tersebut dan bisa
menjadi beban mentalnya, bahkan sering mengakibatkan frustasi.
Dengan demikian perlu di perhatikan beberapa hal :
1) Dalam identifikasi keberbakatan perlu di rumuskan dengan jelas,

apa arti atau rumusan keberbakatan tersebut.
2) Guru seluruh staf, maupun murid harus memperoleh penjelasan
tentang apa yang dimaksud keberbakatan itu.

3) Harus ada rencana dan disain yang jelas tentang keberbakatan tiu.
4) Harus ada pertemuan khusus dengan orang tua agar mereka
mengerti mengapa anak mereka disebut berrbakat dan bakat yang
dimilikinya serta bagaimana melatihkannya.
Dengan demikian labeling ini tidak mengandung berbagai
harapan yang ditujukan kepada anak berbakat yang tidak dapat
dipenuhinya. Dengan komunikasi yang baik, kita dapat merancang
suatu program dan mempengaruhi sikap-sikap yang menaruh harapan
semu, bahkan akan mungkin tercapainya suatu persepsi dan sikap uang
mendukung. Suatu pengalaman belajar harus dapat meningkatkan
kemampuan anak berbakat tanpa menderita efek yang negatif karena
dicap berbakat.
b.

Memberi nilai (granding) dalam bentuk angka.
Granding ini sudah menjadi sistem yang terintegrasikan dalam

sistem persekolahan kita sebagai suatu lambang tentang keberhasilan
dan kemajuan belajar anak-anak. Meskipun nilai angka tidak
meningkatkan proses belajar bahkan sering menghambatnya (apalagi
kalau salah angkanya), kita tidak dapat memikirkan sistem

c.

persekolahan tanpa pemeberian angka.
Underchievement adalah masalah yang paling menyolok dari berbagai
masalah yang diderita anak berbakat, karena itu akan dibicarakan

d.

secara tersendiri dalam sub sub berikutnya.
Konsep diri
Konsep diri anak berbakat ialah bidang yang sangat signifikan.
Dalam penelitian konsep diri dapat diibaratkan dalam kekuatan dari
struktur kognitif yang merupakan interpretasi dan respon terhadap
kejadian tertentu yang melibatkan individu (Nurius, 1986, dalam


2.

Colangelo 1991).
Isu-Isu dalam Konseling Keberbakatan
Sebenarnya secara implisit, dengan diketengahkannya berbagai

masalah anak berbakat, telah terpapar juga berbagai isu konseling. Namun
begitu dalam sub-sub ini akan di tambahkan beberapa isu lain yang terkait
dengan konseling keberbakatan.
a.

Konseling orang tua anak berbakat
Meskipun orang tua diberitahu anaknya berbakat, namun pola
asuhnya tetap sama seperti pola asuh terhadap anak “normal”.
Kendatipun demikian, orang tua menjadi cemas karena takut tidak
dapat memenuhi kebutuhan. Orang tua bahkan mengira bahwa karena
tidak terpenuhi kebutuhannya anak dianggap tidak bisa menyesuaikan
dirinya (maladjusted).
Bisa juga orang tua merasa tidak mampu mendidik anak yang
dibedakan dari anak “biasa”.

Ketidakmampuan itu terkait dengan bantuan emosional yang
dirasakannya tidak dapat diberikan pada anak yang berbeda tersebut,
dan terkait dengan stimulasi intelektual yang tidak terpenuhi.
Kesemuanya anak seperti ini dalam pengalaman pendidikan.

b.

Efek Labelling terhadap keluarga
Anak yang memperoleh label tertentu biasanya dikaitkan dengan
“cap” yang ia peroleh dalam sifat atau perilakunya. Seandainya ia
mengalami kesukaran belajar, kendatipun ia berbakat, maka “cap”
tersebut terkait dengan kesukaran belajar tersebut kalau di muka
dijelaskan betapa hal tersebut berpengarunya pada keluarga dan
kehidupan keluarga.
Cornel (1983, dalam Colangelo 1991), menemukan bahwa orang
tua tidak terlalu setuju dengan kecermatan label yang “dicapkan”
kepada anaknya. Kalau kedua orang tuanya setuju dengan cap tersebut
maka reaksi terhadap cap tersebut positif, tetapi bila salah seorang
tidak setuju, sudah timbul sikap-sikap yang negatif terhadap cap


tersebut. Kalau kedua orang tua tersebut tidak setuju, maka cap
tersebut tidak dapat diterima sebagai sesuatu yang positif. Colangelo
dan Brower (1987a, 1987b, dalam Colangelo 1991), memperluas
penelitian Cornel dan menemukan bahwa orang tua sering tidak setuju
dengan

label

gifted,

dan

bahwa

alasannya

adalah

karena

ketidaksamaan pengertian terhadap konseptualisasi keberbakatan
(gifted). Kesukaran yang dihadapi orang tua terutama pada kala
anaknya pada permulaan diberi label berbakat, dan kemudian setelah
lima tahun tak terlihat dampak apapun dari keberbakatan tersebut.
Pengatasan

masalah

ini

oleh

konselor

sekolah

harus

diantisipasikan pada kala anak tersebut diidentifikasikan sebagai
berbakat.
1) Konselor sendiri harus yakin bahwa orang tua memahami
mengapa perannya diindetifikasikan sebagai berbakat.
2) Konselor harus membantu orang tua mengantisipasikan
perubahan komunikasi yang baik, dan dalam hal ini akan
membantu orang tua dan seluruh kehidupan keluarga memainkan
perannya masing-masing. Setelah komunikasi itum orang tua dan
keluarga akan tergugah kesadarannya untuk bersikap positif
c.

terhadap identifikasi keberbakatan itu.
Interaksi orang tua-sekolah
Salah satu isu penting dalam konseling keterbakatan yang
dihadapi oleh konselor adalah hubungan antara orang tua dan sekolah
(Colangelo dan Dettman, 1983, 1985 b; Dettman dan Colangelo 1980,
dalam Colangelo, 1991).
Alasan yang mendasari isu ini berkenaan dengan peranan sekolah
dalam memberikan kesempatan untuk memperoleh pembelajaran yang
sifatnya khusus. Mereka mengkonspetalisasikan empat tipe interaksi
orang tua-sekolah berkenaan dengan identifikasi keberbakatan.

Tipe I yaitu kerjasama, adalah interaksi yang didasarkan pada
sikap orang tua maupun sekolah, bahwa sekolah harus aktif dalam
pendidikan keberbakatan. Kecendrungan untuk saling memberikan
informasi dan kerjasama yang baik menurut pendapat mereka adalah
cara yang paling efektif untuk mengembangkan kemampuankemampuan khusus melalui pertimbangan pendidikan yang khusus
dan nyata.
Tipe II menyajikan pertentangan (conflict yang didasarkan pada
sikap pertentangan orang tua yang aktif dan sekolah yang pasif
berkenaan dengan peranan sekolah. Orang tua berpendapat bahwa
anak mereka yang berbakat memerlukan perlakuan khusus untuk
mengembangkan kemampuannya. Namun sekolah berpendapat bahwa
kurikulum sekolah yang berlaku umum sudah memenuhi kebutuhan
tersebut. Interaksi ini adalah yang paling sulit bagi orang tua maupun
sekolah karena orang tua sering menyalahkan sekolah terhadap acaraacara yang membosankan, sehingga kurang mengundang motivasi
dalam kemajuan belajar anak. Ada tiga polla dalam tipe ini yaitu :
1) Orang tua terus menerus “menyerang” sekolah.
2) Orang tua menyelenggaralam program khusus sendiri yang
mencakup kunjungan ke museum, pengadilan tuto dan mentor,
dsb.
3) Orang tua merasa putus asa dan tidak berkomunikasi dengan
sekolah.
Tipe III adalah interferensi (inteference), yang didasarkan juga
pada konflik, namun keadaan sebaliknya dan dinamisme tipe II. Di
sini justrus sekolah ingin secara aktif menyelenggarakan kegiatan bagi
anak yang berbakat, tetapi orang tua tidak setuju.
Tipe IV yaitu perkembangan wajar (natural development), yang
merupakan kemufakatan dari kedua belah pihak bahwa biarpun

sekolah pasif, anak berbakat akan dengan sendirinya tumbuh kembang
sesuai potensi kemampuannya, tanpa perlakuan khusus. Kedua belah
pihak percaya bahwa sekolah dengan kurikulum yang berdifat umum
cukup bervariasi untuk menstimulasikan anak berbakat akan mencapai
perkembangan optimal.
3.

Fungsi Bimbingan Konseling Anak Berbakat
Setelah menjelajah berbagai masalah khas anak berbakat dan
mendikusikan berbagai isu konseling, sebenarnya sudah dapat ditarik
kesimpulan tentang fungsi bimbingan konseling anak berbakat dibedakan
dari fungsi konseling anak lainnya: ada 2 hal penting yang perlu
diperhatikan dalam kaidah dan fungsi konseling keberbakatam, yaitu:
a.

Konseling tersebut menjangkau lebih banyak orang daripada konselor
dan konseling sendiri, bahkan mencakup juga orang-orang yang tidak
profesional dalam rangka membangun komunikasi yang baik antar

b.

lingkungan dan mereka yang berbakat.
Rentangan waktu konseling tersebut juga mencakup jangka waktu
yang lebih panjang, artinya penyelesaian persoalan memakan waktu
lebih panjang dan bahkan lebih sering menuntut tindak lanjut di luar
jam konseling itu sendiri, bahkan bisa mencakup seluruh waktu
hidupnya.
Ciri khas keberbakatan dalam kaitan dengan kehidupan emosinya

adalah bawah sensivitas dan intesitasnya luar biasa dan pada sementara
anak hal tersebut tidak tampak nyata, namun berpengaruh terhadap seluruh
kemajuan

belajar

maupun

perkembangan

kepribadiannya.

Dalam

pengertian tentang hal ini ini telah ditemukan bahwa faktor tersebut lebih
banyak tidak tampak nyata dari pada merupakan realitas yang dapat diamati
secara langsung, namun tentu tatap memerlukan penanganannya.
Diskontinulitas dalam perkembangan disebabkan ketidakrataan dari
akselarasinya tetap menuntut aktualisasi diri.

Oleh karena itu fungsi utama dari konseling keterbakatam adalah :
a.

Membantu perkembangan pribadia anak berbakat dan membantu

b.

mengatasi kendala-kendala emosional, maupun kendala lingkungan.
Membantu memaksimalkan belajarnya dan penempatannya pada
perguruan tinggi, serta kemudian menempuh karir profesional sesuai
bakat dan misalnya (Gourau, 1979 dalam Gallagham, 1979).
Tugas tersebut cukup kompleks, juga di negara kita, dimana konselor

profesional masih dapat dihitung dengan jari. Perguruan tinggi di Indonesia
yang belum menampung sebagian besar remaja kita belum juga selalu
merupakan tempat dimana anak kita memotivasikan secara instrisik untuk
belajar. Untuk dapat menyelesaikan studi tersebut.
Dengan pemaparan tentang masalah-masalah anak berbakat dan
berbagai isu konselor, jeals dalam fungsi konseling keberbakatan yang
diketengahkan disini, perlu motivasi dari masing-masing fungsi tersebut
dan upaya dalam meningkatkan motivasi belajar anak berbakat.
B. Pengatasan Masalah Underachievement
1.

Prestasi Belajar Kurang (Underachievement) Dipandang dari Dua Sisi.
Keberbakatan tidak selalu menjamin sukses pendidikan atau
produktivitas dan kreativitas. Ada resiko dan tekanan (Rimm, 1987, dalam
Colangelo, 1991) yang menyertai intelegensi tinggi dan yang sering
mengarahkan anak yang berpotensi tinggi untuk menjadi anak yang
sikapnya defensif. Yang menjadi faktor tertentu agar anak berbakat akan
mencapai prestasi belajar tinggi (superachievement) atau prestasi belajar
kurang (underachievement), tergantung dari rumah, sekolah atau teman
sebaya. Dengan demikian prestasi belajar ini dapat dipandang dari dua sisi.
Tekanan-tekanan yang dialami anak berbakat adalah antara lain:
a.

Perasaan bahwa ia harus menjadi manusia sempurna dan sangat
inteligen.

b.

Keinginan untuk menjadi sangat kreatif dan luar biasa, yang kemudian
diterjemahkan sebagai manusia lain dari yang lain.

c.

Kepedulian untuk dikagumi oleh teman sebaya karena penampilannya
dan popularitasnya (Colangelo, 1991).
Meskipun orang tua sering dipersalahkan bahwa mereka menekan

anak-anaknya yang berbakat, tekanan-tekanan tersebut muncul karena
keberbakatan anak-anaknya. Stress tersebut diinternalisasikannya karena
orang-orang sekitarnya telah mengagumi mereka karena keluarbiasaan
kemampuannya dan ide-ide yang cemerlang maupun penampilannya yang
berbeda dari anak lainnya. Memang, pujian bisa meningkatkan motivasi
belajar, namun bila pujiannya terlalu sering atau terlalu ekstrim, mereka
merasa tertekan untuk dapat mencapainya, bahkan gandrung untuk
menarik perhatian terus menerus agar dipuji (Rimm dalam Colangelo,
1991).
Jadi, mereka merasa sulit untuk mencapai kemajuan kalau tidak dipuji.
Kekuatan pengulang intrinsik (intrinsic reinforcement) tergantung pada
kekuatan pengulang ekstrinsik (extrinsic reinforcement).
Home Gaskill Hutchkin, (1998, dalam Colangelo, 1991), menyatakan
bahwa yang disebut underachievement diantara anak berbakat adalah
kinerja yang secara signifikan berada di bawah potensinya (Kitano dan
Kirty, 1986).
2.

Hubungan Antara Upaya dan Hasil
Lingkungan sekolah yang kurang menghargai hasil belajar
tinggi akan menyebabkan anak-anak berbakat tidak memperoleh
kepuasan intrinsik dari hasil upayanya.
Lingkungan sekolah seperti itu memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a.

Suasana sekolah yang mencanangkan prioritasnya untuk status sosial
atau olahraga, tetapi tidak untuk pencapaian prestasi intelektual yang

tinggi dan untuk menanjak pada pendidikan tinggi.
b.

Suasana yang menganggap program keberbakatan terlalu elit dan
eksklusif dan lebih mengutamakan penyesuaian diri (well-adjustment)
dari semua siswa.

c.

Lingkungan sekolah yang ketat yang menginginkan semua anak
belajar materi sama (identik) dengan kecepatan belajar dan gaya
belajar sama.

d.

Guru yang kurang memperhatikan kualitas karya anak, karena
perbedaan nilai, prasangka budaya, atau “sara”, yang menyebabkan
anak-anak merasa kurang mampu mencapai kualitas kerja yang baik,
meskipun ikhtiarnya optimal.
Lingkungan sekolah yang menyebabkan ikhtiar negatif, hasil positif

merupakan tahap transisional prestasi belajar kurang, yang berkenaan
dengan tugas yang kurang menantang atau ikhtiar yang berkelanjutan.
Sering kali karena tugasnya terlalu mudah sehingga menghasilkan unjuk
kerja yang sangat baik.
Anak-anak merasa positif terhadap sekolahnya, tetapi kurang
tertantang. Namun, selama mereka termasuk kelompok pintar tak ada
masalah perilaku. Ciri-ciri mereka adalah bangga bisa disebut pintar tanpa
belajar betul. Bila mereka kemudian tercampur dengan populasi sebaya
yang secara intelektual lebih kompetitif, mereka akan merasa tidak
sepandai yang diperkirakan semula, dan akibatnya adalah bahwa mereka
kurang peduli tentang hasil kerjanya, tidak menyelesaikan tugas-tugasnya
dan “semerawut” dalam unjuk kerjanya (disorganized).
Lingkungan sekolah dapat dipersalahkan karena tidak mengajarkannya
proses mencapai prestasi.
Lingkungan rumah yang menjadikan salah satu faktor mengapa
anaknya mencapai underachievement adalah karena meskipun tidak

disadari dan tidak disengaja, tidak ada contoh-contoh baik dari motivasi
intrinsik, belajar mandiri maupun keterletakan pada karir atau anggapan
bahwa sekolah itu berharga.
Di Indonesia pun dapat diamati bahwa berbagai aktivitas waktu kanakkanak dan masa anak sering terisi dengan les-les privat yang tidak menentu,
menjenuhkan dan menyita waktu berlebihan. Berbagai perbedaan antara
orang tua tentang standar-standar maupun harapan-harapan terhadap anakanaknya menambah persoalan-persoalan yang dihadapi dalam masalah ini.
Secara ideal orang-orang ini harus memiliki :
a.

Latar belakang dalam pengukuran.

b.

Punya sensitivitas terhadap berbagai cara belajar dan gaya motivasi
serta masalahnya.

c.

Memahami teori belajar perilaku, dan

d.

Sadar tentang ciri-ciri khusus anak berbakat dan kreatif.
Untuk asesmen pertama diperlukan tes intelegensi individual untuk

menjadi dasar dari harapan-harapan yang terkait dengan kemampuan anak,
karena tes kelompok telah kurang menilai potensi-potensi intelektualnya.
Tes WISC-R atau Standford Binet harus secara individual dinilai oleh
psikolog.
Selama testing penting diperhatikan gejala-gejala ketegangan,
perhatian terhadap tugas, ketekunan terhadap tugas, respons terhadap
frustasi, pendekatan pengatasan masalah dan respons terhadap upaya
mendorong oleh pengetes.
Selain tes intelegensi individual diperlukan tes hasil belajar individual
untuk menilai kekuatan dan kekurangan dalam keterampilan dasar,
terutama matematika dan membaca.
Kalau ada kemungkinannya juga diambil tes kreativitas yang mengacu
pada norma (norm reference creativity test) sehingga diperoleh deskripsi

tentang berbagai kemampuan, ciri-ciri dan interes yang relevan dengan
pemahaman kepribadian anak.
Berbagai skor tersebut akan memberikan berbagai pemahaman dan
pesan pada orang tua tentang kemajuan belajarnya. Singkatnya, asesmen
tentang kemampuan siswa di rumah dan di sekolah sangat penting bagi
langkah ke-2, yang juga perlu disertai interview dengan orang tua.
Hasil diskusi orang tua harus mencapai kesepakatan tentang
tujuan jangka panjang dan sasaran jangka pendek untuk
memastikan sukses segera, betapapun kecil kemajuannya.
Ganjaran untuk anak penting sehingga ganjaran tersebut
harus bermakna. Jangan sampai ganjaran itu terlalu besar namun
memberikan kepuasan pada anak. Jangan sampai memberikan
ganjaran kalau pekerjannya tidak selesai. Perhatian orang dewasa
terhadap hasil kerjanya merupakan ganjaran yang dapat
meningkatkan motivasi intrinsik anak dan lebih baik daripada
berbagai ganjaran yang menjadikan motivasi ekstrinsik
C. Konseling Karir Anak Berbakat
1.

Pengertian Karir dan Tahap Karir Anak Berbakat.
Pengertian karir adalah proses adaptasi seumur hidup yang terkait
dengan penyiapan diri terhadap kerja, dunia kerja, dan berganti posisi kerja,
maupun meninggalkan dunia kerja. Pengertian ini mencakup peningkatan
progresif dan modifikasi dari kemampuan seseorang dan disposisinya
(kemungkinannya) untuk perilaku terrtentu yang terkait dengan kerja.
Konsep pengembangan karir beranjak dari postulat bahwa karir
dibangun atas apa yang pernah dilakukan seseorang, apa yang diperbuatnya
kini, dan apa yang ingin diperbuatnya melaui berbagai tahap perkembangan
(Healy,1982). Jadi pengembangan karir bersifat kontinu dan bisa berubah,

meskipun masa lalu seseorang adalah bagian dari dirinya hari ini, yang
kemudian bisa mempengaruhi masa yang akan datang. Kendatipun
demikian, berbagai perbaikan dalam pengembangan karir melalui konseling
karir yang mungkin terjadi.
Pengembangan

karir

menunjuk

pada

terarahnya

energi

dan

penghalusan kemampuan namun juga berarti makin menuju pada pilihan
tertentu dan alternatif yang tersedia. Kendatipun demikian, pilihan
pekerjaan tertentu itu harus dilihat dalam cakupan yang lebih luas daripada
dipandang semata-mata dari kesesuaian antara kemampuan yang dimiliki
seseorang dengan kecocokan dari tuntutan pekerjannya.
Ada sementara pihak berpendapat bahwa karir bisa diciptakan sendiri.
Memang orang mempunyai lebih dari satu pilihan, namun temuan kunci
dalam pengembangan karir adalah pemahaman, kemampuan dan ketetapan
hati. Untuk itu seseorang yang menempuh karir harus :
a.

Terbuka dan awas untuk mengenal kemungkinan-kemungkinan yang
ada.

b.

Mempergunakan kesempatan yang sesuai dengan kemampuan yang
ada.

c.

Menerapkan kemampuan dan mewujudkan diri, usai memilih.

Tahap karir
Super (1957, dalam Healy 1982) mengajukan lima tahap karir yang
umum berlaku yaitu:
a.

Pertumbuhan

0 - 14

b.

Penjelajahan

15 - 24

c.

Penegakan

25 - 44

d.

Mempertahankan

45 - 65

e.

Penurunan

65

Tahap-tahap ini tidak bersifat mutlak, melainkan bersifat dinamis dan

memperlihatkan ikhtiar utama seseorang dalam fase tertentu, meskipun
fungsi karir yang dinyatakan di sini berlanjut pada masa-masa tersebut.
Pada masa pertumbuhan, si anak perlu memiliki peralatan, kebiasaan
teratur, kesadaran, pembentukan sikap dan kesempatan untuk mulai
meminati suatu karir tertentu. Sebaliknya tahap eksplorasi adalah masanya
dimana si adolesen mengkaji berbagai kesesuaian dari berbagai
kemungkinan dalam mempersiapkan alternatif tertentu. Pada tahap
penegakan, manusia dewasa muda meningkatkan keterampilan dan
kemampuannya untuk memastikan posisinya. Setelah itu adalah masa
mempertahankan diri, yaitu, masa konsolidasi dan penyempurnaan,
kemampuan, pekerjaan dan kedudukannya. Selanjutnya usia lanjut berarti
mengurangi kegiatan dan mempersiapkan diri meninggalkan pekerjaan,
sehingga bisa menggunakan sisa energinya untuk berbagai aktivitas dasar
kehidupan yang lain (Healy, 1982).
Setiap tahap memiliki tugas yang luas namun tertentu untuk bisa
berlanjut pada tahap berikutnya, meskipun tahap-tahap tersebut juga saling
tumpah tindih.
2.

Model Konseling Karir Holistik
The Guidance Institute for Talented Students (GIFTS) yang
dikembangkan di University of Wisconsin (Madison). Guidance Laboratoty
merupakan model holistik development – motivational (Perrone Karshner
& Male, 1979, dalam Khatena, 1992) dan terkenal dengan istilah GIFTS
career model. Model ini merupakan nasional teoretis yang mengacu pada
berbagai pola karir yang dijabarkan dari teori tahap perkembangan Erikson
dan motivasi kebutuhan (need-motivation) Maslow, serta memiliki dua
matra, yaitu yang pertama terdiri dari tiga komponen, yaitu :
a.
b.
c.

Kesadaran diri dan orang lain
Orientasi tindakan
Pencapaian tujuan

a.
b.
c.
d.

Yang kedua terdiri dari kebutuhan :
Rasa aman
Kasih sayang
Harga diri
Aktualisasi diri
Beberapa permasalahan tambahan yang dialami anak berbakat dan

yang bersumber dari teori ini yang terkait dalam bimbingan karir GIFTS
adalah sebagai berikut (Khatena, 1992) :
a.

Kesalah fahaman bahwa anak berbakat mampu mencapai apapun yang

b.

dicita-citakan.
Kesukaran yang dialami anak berbakat dalam menyesuaikan sistem

c.

nilai yang ada pada dirinya dengan sistem nilai masyarakat.
Suatu komitmen ynag terlalu dini terhadap pilihan karir yang
didasarkan pada keberhasilan belajar yang luar biasa dalam beberapa
mata pelajaran tertentu, yang ternyata kemudian mempeloleh kendala

d.

dalam perwujudan diri dan karirnya.
Pencarian karir sebagai prinsip untuk memperoleh tunjangan

e.

(beasiswa).
Konflik antara perolehan penghargaan luar biasa dan penerimaan

f.

dirinya.
Kebutuhan besar bagi anak berbakat menguasai detail secara

g.

sempurna, sehingga garis besarnya (Gestalt) tak tampak olehnya.
Penundaan pemenuhan kebutuhan psikososial, karena ingin

h.

memperoleh tambhan dan perluasaan pendidikan.
Suatu perpanjangan dari konflik kemandirian-ketergantungan karena

i.

terlalu sibuk mempersiapkan diri bagi persiapan karir.
Perubahan penting pada individu dan sifat pekerjaan yang muncul

j.

pada perpanjangan persiapan karir siswa.
Khususnya bagi wanita berbakat kadang kala ada persepsi bahwa
penikahan dan karir adalah secara timbal balik eksklisif, sehingga

k.

terjadi kompromi-kompromi yang tak perlu dalam perencanaan karir.
Kemampuan atau ketakmampuan menyesuaikan diri pada kelompok
baru bila beralih dari sekolah menengah ke perguruan tinggi.

l.

Kebutuhan untuk menyesuaikan perilakunya sebagai orang berbakat
dalam konteks baru.
Arah karir dipengaruhi dan terkait dengan masalah kebutuhan

motivasi, tujuan dan interaksinya dengan orang lain dalam berbagai fase
kehidupannya.
3.

Pendidikan Karir bagi Anak Berbakat
Di dalam berbagai kesempatan telah terungkapkan bahwa berbagai
upaya pendidikan, bimbingan maupun latihan adalah semuanya mengacu
pada sasaran untuk mengembangkan bakat anak berbakat, sehingga tercapai
kemandirian. Demikian pula pendidikan karir memiliki arah yang sama,
dengan catatan bahwa dalam upaya pengembangan bakat ini diharapkan
aspek kreatif keberbakatan terus menerus mencapai kemekarannya.
Sebagaimana juga sudah dikemukakan pendidikan sekolah (formal)
pada umumnya terutama menekankan pada berfikir konvergen dengan
akibat bahwa tradisi dan overcommitment terhadap tradisi menjadi kendala
dalam berfungsinya berfikir kreatif. Namun begitu berfikir kreatif sangat
responsive terhadap prosedur latihan, dan pengalaman bisa diatur untuk
meningkatkan individu dari taraf berfikir luwes dan luas (elaborative),
menjadi berfikir original dengan menggunakan imaginasi kreatif, sehingga
sebenarnya

pertumbuhan

keberbakatan

tak

perlu

mengorbankan

perkembangan kreatifitas. Yang dimaksudkan dengan pendidikan karir
adalah seluruh upaya pendidikan umum untuk memperkenalkan individu
dengan nilai masyarakat yang berorientasi kerja dan mengintegrasikan nilai
tersebut dalam system nilai personal serta mengimplementasikan nilai-nilai
tersebut dalam kehidupannya sendiri, sehingga menjadi bermakna dan
diperoleh kepuasan (Hoyt, Evans, Mackinz Mangum, 1974, dalam Khatena,
1992).

Sebagaimana

dikemukakan di muka, konselor dalam membantu

peserta didik mengambil keputusan, harus menggunakan pendekatan
multipotensial yang memiliki 5 fase, yaitu:
a.

Kesiapan (readiness)
Adalah fase pertama dalam mengambil keputusan.

b. Kesadaran (awareness)

Adalah tahap berikutnya dalam proses pengambilan keputusan
yang beranjak dari asumsi bahwa kesadaran diri dan juga terutama
karena ada kesadaran dunia kerja yang memotivasikan minat individu
untuk memperoleh sikap dan keterampilan yang diperlukan untuk
pengembangan karir yang bermakna.
c.

Eksplorasi (exploration)
Mencakup rencana sistematis inkuiri yang menuntut reviu dan
pengkajian berbagai alternative okupasi.

d. Kajian realitas (reality-testing)

Terkait dengan pemantapan pilihan okupasi berdasarkan dasar
pengkajian risiko sumber dan semangat personal yang terkait. Juga
mencakup pengalaman kerja yang disimulasikan ataupun yang nyata.
e.

Konfirmasi (confirmation)
Adalah tahap terakhir dalam proses keputusan tentang karir, yang
disertai persiapan yang sesuai untuk memperoleh pengetahuan dan
keterampilan yang terkait dengan pekerjaan tertentu.

4. Kecemasan dan Aspek Emosional Lainnya dalam Konseling Karir

Beberapa petunjuk kunci dalam mengatasi kendala emosional ini
diberikan antara lain oleh Jahoda (1958, dalam Khatena, 1992) yang
mensugestikan adanya penyesuaian yang cocok terhadap kesehatan mental
sebagai berikut:

a.

Sikap seseorang individu terhadap dirinya (adanya kesadaran diri)
kecermatan, perasaan tentang diri dan identitas.

b.

Pertumbuhan, perkembangan atau aktualisasi diri (konsep diri, proses
motivasi dan investasi dalam kehidupan).

c.

Integrasi (keseimbangan dan kekuatan psikis dalam individu, suatu
pandangan hidup yang menyeluruh, tekanan pada integrasi aspek
kognitif dan penolakan terhadap stress).

d.

Otonomi (pengaturan perilaku diri “dalam” menjadi perilaku mandiri).

e.

Persepsi dari realita (persepsi dari distorsi kebutuhan dan sensitivitas
sosial).

f.

Penguasaan lingkungan kemampuan menyayangi pekerjaan dan
permainan, pandai bergaul, efisien dalam memenuhi tuntutan
situasional kemampuan beradaptasi dan efisien dalam pengatasan
masalah.
Mencegah kendala-kendala emosional antara lain yaitu dengan:

a.

Pengembangan keterampilan interpersonal
Makin ia mencapai kematangan intelektual, makin cermat ia
mengamati sikap, interes dan kemampuan orang lain, sehingga terjadi
interaksi dengan cara yang konstruktif.

b.

Penggunaan kemampuan intelektual
Kognisi bisa membantu seseorang mengenali situasi serius
dengan

mengambil

tindakan

adaptif

dengan

mengidentifikasi

komponen-komponennya. Memori adalah kemampuan yang sangat
penting terkait dengan stress, dengan mengingat kembali pengalaman
yang menyebabkan stress dan perlakuannya pada kala itu. Berfikir
konvergen adalah cara yang termudah dan tercepat untuk mengatasi
stress karena konformitas kelompok. Berfikir divergen peranannya
dalam menguasai stress, berkenaan dengan kemampuan menghadapi

perubahan yang cepat dan bertubi-tubi dalam dunia dimana ia berada.
Berfikir evaluative peranannya untuk menghadapi stress paling
penting, sebab adalah masalah esensial bagi seseorang untuk
mengenali seberapa serius (seriousness) adanya suatu situasi itu,
karena bukan hanya kognisi dan memori yang berbicara, tetapi
evaluasi daripada suatu situasi, sehingga dapat diambil keputusan
untuk tindak adaptif yang seperlunya.
c.

Mekanisme pengatasan masalah yang lain
1) Mengambil risiko atau menghindarinya
Disini konseling harus menjaga agar siswa belajar meng
ambil keputusan sementara (tentative), sebelum sampai pada
keputusan terakhir. Cara ini yang disebut technique of limited
commitment dalam memberi kesempatan kepada siswa untuk
tidak menggunakan semua sumber yang ada, melainkan beberapa
alternative seperlunya.
2) Memberi muatan melebihi kekuatan atau “membongkar muatan”
Memberi

muatan

melebihi

kekuatan

(overloading)

disebabkan akumulasi stress yang menjadi beban bagi seseorang.
Dalam melepaskan diri dari situasi ini, yaitu mengatasi tegangan,
digunakan istilah membongkar muatan, yaitu dengan cara
membiarkan seseorang berbicara bebas menyatakan isi hatinya.
3) Menguasai atau mengalami kegagalan
Metoda yang baik dalam konteks ini adalah menstruktur
berbagai pengalaman kerja dengan memberikan berbagai
informasi terhadap pengalaman yang akan datang.
4) Menyangkal kebutuhan atau berdamai
Konflik antara kebutuhan dan tuntutan situasi yang
mengakibatkan frustasi, kelelahan atau bahkan permusuhan

sering berbentur dengan berfungsinya secara efektif kemampuan
berfikir evaluative.
5) Mendorong melanjutkan upaya mengatasi masalah
Dorongan dan bantuan kelompok sangat membantu individu
untuk tidak putus asa dan melanjutkan upaya pengatasan masalah.
5.

Pengembangan Kepribadian dan Kreativitas dalam Konseling Karir
Dalam menelaah konseling karir dalam keberbakatan dalam kaitan
dengan perkembangan kepribadian dan kreativitas tidak dapat melepaskan
diri kita dari pengaruh – pengaruh sosial budaya dan kondisi lingkungan.
Menurut Ariety (1976, dalam Khatena 1992), individu dan masyarakat
adalah dua sistem terbuka dalam petukaran energi (two open system in
dymamic energy exchange). Sampai seberapa masyarakat membentuk
kreativitas individu banyak ditentukan

oleh integrasi dari nilai dan

predisposisi kreatif masyarakat tersebut menjadi sinesta yang magis (magic
synthesis).
Selain pengaruh tersebut ada model peran untuk menyamai (role
models for emulation). Manusia unggul (eminent) banyak mempengaruhi
kepribadian anak berbakat. Konseling karir role models emulatin ini sangat
penting, karena selain memiliki nilai historis, berbagai perlakuan dan
pengolahan dapat diatur dalam bidang ini sehingga muncul potensi sifatsifat dari model-model yang diupayakan untuk disamai. Apalagi kalau hal
ini terjadi dalam latar belakang pendidikan yang sama, maka dalam fase
perkembangan anak berbakat, kepribadiannya amat terpengaruh oleh
model- model tersebut.
Bloom dan Sosniak (1981, dalam Colangelo 1991), mendeskripsikan
betapa mereka yang mencapai berbagai keunggulan, terutama dalam tiga
bidang :
a.
b.

Aristik (pemain konser piano dan pemahat),
Psikomotor (juara renang olimpic dan pemain tenis) dan serta,

c.

Kognitif (peneliti matematik dan peneliti neorolog), yang terkait
dengan pengembangan karir dipengaruhi oleh tokoh-tokoh tersebut.
Hasil penelitian membuktikan bahwa pengembangan kepribadian

dalam kaitan dengan perkembangan karir terpengaruh dan terjadi sebagai
berikut :
a.

Majoritas sangat terlibat dalam meneladani orang unggul ini sebelum

b.

umur 12 dan orang tuanyapun menaruh minat besar dalam bidang ini.
Pengalaman belajar di rumah dan di tempat latihan atau sekolah sangat

c.
d.

mendukung.
Kebanyakan pembelajaran bersifat individual.
Para orang tua sangat menyesuaikan diri pada kehidupan anak untuk

e.

menguasai bidangnya.
Lebih banyak ditekankan menguasai bidangnya dari pada mnyayangi

f.
g.

orang lain dalam bidang tersebut.
Bagi para remaja instrutornya bukan orang tuanya.
Pertunjukan konser, kontes,
kinerja
banyak

h.

pengembangan keterampilan dan berbagai sifat kepribadian.
Sekali anak mendalami salah satu bidang, bidang lainnya agak

i.

dikesampingkan.
Pada kala masa remaja, latihan dalam bidang tersebut mencakup 15

mendukung

sampai 25 jam.
Holland (dalam Perrone, Colangelo, 1991), memperluas teori
Gottfredson tentang aspirasi karir yang beranjak dari asumsi bahwa
individu mencari kerja yang cocok dengan gambaran tentang dirinya,
berkesimpulan bahwa kelas sosial, intelegensi dan gander adalah faktor
penentu dalam konsep diri dari aspirasi karir. Holland menemukan 6 tipe
yang terkait dengan tipe lingkungan.
a.

Investigative (I) : Tipe penelitian ini lebih gemar kegiatan dimana ia
bisa mengamati, menggunakan lambang untuk komunikasi dan
berbuat kreatif. Fenomena yang diteliti bisa fisik, biologis atau
sosiokultural.

b.

Aristic (A) : Tipe aristic ingin lebih bebas dalam memanipulasikan satu

c.

atau berbagai model ekspresi manusia dalam bentuk kreatif aristik.
Sosial (S) : Tipe kepribadian ini lebih gemar latihan dan mengajar

d.

serta membantu dari pada aktivitas sistematis yang bersifat khas.
Enterprising (E) : Tipe ini lebih mengutamakan pencapaian tujuan
organisasinya melalui kerjasama dengan orang lain dan menghindari

e.

prosedur sistematis yang bersifat eksplisit.
Conventional (C) : Tipe ini menghendaki sesuatu secara eksplisit,
mengatur data dan kurang setuju dengan makna ganda atau aktivitas

f.

yang tidak sistematis.
Realistic (R) : Tipe ini menyayangi hal-hal yang bersifat eksplisit,
data, hewan, peralatan yang teratur dan hampir tidak memiliki
toleransi untuk makna ganda (Holland, dalam Perrone. Collangelo,
1992).

6.

Mengenali Keberbakatan yang Tersembunyi dalam Diri Seseorang
Menggali keberbakatan dalam diri seseorang adalah tugas suci
konselor untuk membantu setiap insan setiap makhluk manusia unggul
mewujudkan daimon yang ada pada dirinya, yang terjawantahkan dalam
seluruh gaya hidup, propesi ataupun karirnya. Untuk dapat menggali
potensi yang paling baik yang tersembunyi pada diri seseorang agar dalam
hidupnya menjalankan propesi yang sesuai dengan daimonnya, perlu kita
ketahui bahwa arah suatu karir banyak yang ditentukan oleh gaya hidup
dari pribadi individu yang menjalankan okupuasi tersebut, dan ini bermula
dari aspirasi okupusional sejak kanak-kanak sampai dewasa.
Gottfredson (1991, dalam Colangelo) dalam hal ini telah meringkas
sepuluh tahap perkembangan kognisi Van den Daele (Porrone dalam
Colangelo, ’91), menjadi petunjuk untuk memperoleh pemahaman terhadap
seseorang terhadap dunia, sebagaimana secara reflektif tercermin dari
situasi kemanusiaannya. Petunjuk terdiri dari lima tahap yaitu :
a.

Umur 3 – 5 tahun : Orientasi terhadap ukuran dan kekuatan

sebagaimana anak kecil memnadang orang dewasa sebagai aktivitas
pemuasan diri. Kedewasaan yang dipandang penguasaan terhadap
sumber yang diinginkan sebagaimana yang ditampilkan orang dewasa.
b.

Umur 6 – 8 tahun : Orientasi terhadap peran seks. Konsep diri sangat
berbicara disini dan terkait dalam perkembangan kognitif. Cita-cita
pada tahap ini banyak mereflesikan kecocokan dengan peran seks.

c.

Umur 9 – 13 tahun : Orientasi terhadap nilai sosial kelas dan
kemampuan menjadi penentu dalam perilaku dan harapan pengaruh
teman sebaya sangat besar pada masa ini. Makin tinggi kelas sosial
makinluas rintangan pilihan okupasi tertentu.

d.

Umur 14 – 18 tahun : Orientasi terhadap diri yang unik krisis identitas
mulai pada umur ini dan asesmen serta seleksi dan rentangan profesi
yang ada bermula melalui berbagai pergaulan.

e.

Umur dewasa muda : Orientasi terhadap dunia yang terintegrasikan
dengan konsiderasi reflektif terhadap situasi terhadap kemanusiaan.
Pengalaman kaya dan berkualitas akan sangat menentukan corak hidup
sesuai identitasnya.

BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Konsep bimbingan dan konseling dan bimbingan karir beserta tahap-tahap
perkembangannya, bukan saja untuk anak biasa, melainkan terutama untuk anak
berbakat. Berbagai isyu konseling, serta masalah yang sifatnya khusus dan khas
juga menjadi bagian yang penting dalam bimbingan konseling bagi anak
berbakat.
Dalam menangani masalah yang paling crucial bagi anak berbakat, yaitu
yang disebut masalah prestasi kurang (underachievement).
Pengembangan karir pada anak berbakat menunjuk pada terarahnya energi
dan penghalusan kemampuan namun juga berarti makin menuju pada pilihan
tertentu dan alternatif yang tersedia
B. Saran
Disini penulis memberikan saran kepada guru maupun calon guru agar
dapat menggali potensi yang tersembunyi dalam diri (potential excellence
in personhood) anak berbakat, dan guru atau calon guru juga harus
mengetahui mengapa perlu menggali potensi tersebut.

Daftar Pustaka
Semiawan, Conny. 1995. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.