Membela Islam Dakwah Konstruksi Moralita

Membela Islam? Dakwah, Konstruksi Moralitas dan Ruang Publik Muslim dalam Sejarah Media Islam di Indonesia

Oleh Arie Setyaningrum Pamungkas Alamat surel: tia_pamungkas@ugm.ac.id

Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

Abstraksi

Moralitas publik merupakan konstruksi standar etis dan moral yang berlaku di masyarakat. Moralitas itu melingkupi tekanan sosial untuk mengutamakan bentuk-bentuk standar moral-etis, regulasi

(disiplin), dan acapkali dibentuk oleh kepanikan moral. Sementara itu ‘dakwah’ merupakan suatu upaya menyebarluaskan nilai dan praktik keislaman secara umum, dan secara khusus dakwah dimaknai sebagai suatu konstruksi persebarluasan gagasan mempraktikkan ‘Islam yang benar’ dan karenanya berkenaan dengan upaya mengkonstruksi moralitas publik. Ada tiga tesis yang diajukan melalui kajian ini. Pertama, bagaimana praktik dakwah untuk mempopulerkan keshalehan Islam dimediasikan melalui media massa telah berakar sejak masa kolonial. Kedua bagaimana muatan dakwah dalam bentuk media itu mempengaruhi gelombang gerakan sosial politik sejak masa kolonial hingga masa pascakolonial sehingga membangun konstituensi politik. Ketiga bagaimana keberadaan muatan dakwah yang termediasikan berlangsung di dalam moda produksi kapitalis melalui industri media sehingga

membentuk perluasan ‘ruang publik muslim’ untuk konsumsi keshalehan personal. Transformasi gerakan dakwah secara global melalui budaya populer di Indonesia berkembang pesat melalui media baru dimana internet menjadi ranah reproduksi budaya yang secara ideologis menyemai persebaran

wacana moralitas publik melalui konstruksi ‘kepanikan moral’ yang bersifat politis. Salah satu manifestasinya adalah pada wacana yang kita saksikan pada aksi bela Islam. Transformasi media Islam

dalam sejarah pascakolonial di Indonesia menunjukkan adanya komplesitas dalam sejarah nasionalisme, persebaran ideologi Islamisme global, sekaligus juga pembentukan pasar yang secara spesifik menandai ko nstruksi ‘ruang publik Muslim’ baik sebagai pembentukan konstituensi politik, maupun sebagai penciptaan konsumer bagi ‘religious self-help’ (keshalehan personal).

Kata kunci: dakwah, moralitas publik, ruang publik muslim, sejarah media Islam, Indonesia

A. Pembuka: Klaim Sejarah dalam Aksi Bela Islam 2016-2017

Momentum yang ditunjukkan oleh Aksi Bela Islam khususnya dalam Aksi 212 pada bulan Desember 2016 di Monumen Nasional (MONAS) Jakarta adalah suatu kemampuan untuk memobilisasi sentimen ‘agama’ secara efektif sebagai suatu isu yang bersifat nasional. Meskipun sesungguhnya, sentimen agama itu lebih merupakan suatu ‘fabrikasi’ atau rekayasa kepentingan politik tetapi momentum pengerahan massa dan simpati dari khalayak Muslim luas di Indonesia menunjukkan suatu ‘pertunjukkan kekuatan aksi massa’ yang teroganisir dan berdampak luas dalam memaknai kembali identitas keislaman sekaligus kontestasi bagi konstruksi identitas nasional atas kebhinnekaan dikarenakan propaganda yang dilakukan melalui aksi tersebut memanfaatkan peluang mengenai ‘moralitas publik’ dalam kasus penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur DKI Jakarta pada saat itu Basuki Tjahaja Purnama yang persebarluasan wacananya dilakukan secara massif melalui media sosial. Hal itu berdampak pada munculnya benih-benih kebencian yang mengatasnamakan agama dan

rentan untuk difabrikasi sebagai kepentingan politik. Moralitas publik yang dikonstruksikan melalui aksi ini, adalah suatu kepentingan untuk memaksakan konsepsi konteks ini menge nai ‘toleransi’ menurut tafsir kelompok muslim tertentu dalam hal ini digerakkan oleh GNPF MUI (Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI) yang terdiri atas beberapa ormas-ormas Islam terutama dipimpin oleh FPI (Front Pembela Islam). Banyak kelompok di dalam masyarakat terutama di kalangan komunitas Muslim sendiri yang terkejut atas besarnya dukungan dan mobilisasi massa dalam aksi tersebut, meskipun sesungguhnya mobilisasi ini bukan terjadi hanya dalam seketika itu saja, melainkan sudah memiliki landasan (fondasi) dukungan berbasis sentimen politik identitas terutama melalui pewacaanaan ‘membela Islam’. Wacana membela Islam bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia dan bukan pula terjadi pada saat dimana masyarakat luas mampu mengakses beragam informasi melalui perkembangan teknologi media dan internet. Wacana semacam itu telah memiliki akar sejarahnya, bahkan sejak zaman kolonial di masa pemerintahan Hindia Belanda. Dalam ‘Aksi Bela Islam’ mobilisasi wacana mengenai ‘membela Islam’ dan ‘persatuan umat Islam’ dibingkai dalam dua strategi politik melalui gerakan sosial di dalam basis-basis komunitas Muslim. Strategi pertama dilakukan untuk membingkai kasus Ahok sebagai suatu ajakan moral yang politis untuk membela Al Quran, membela ulama, dan mengekspresikan bentuk pembelaan tersebut dengan bergabung di dalam pengorganisasian gerakan tersebut. Strategi politik yang kedua bukan hanya ditujukan pada kepentingan politik jangka pendek semata yaitu berhasil memenjarakan Ahok , melainkan juga upaya untuk ‘memelihara dukungan massa’ yang telah mereka peroleh pasca Aksi Bela Islam 212.

Gambar 01. Poster Iklan Aksi Bela Islam-II (411) sebelum Aksi Bela Islam-III (212) dengan menggunakan ‘kutipan kalimat Buya Hamka’ yang disebarluaskan melalui media sosial twitter,

instagram, dan Facebook melalui akun @belaquran yang dikelola oleh tim media GNPF MUI (Diakses melalui akun IG @belaquran, 28 Oktober 2016)

Dalam strategi politik yang pertama maupun yang kedua, mobilisasi pewacanaan dilakukan dengan memanfaatkan medium teknologi digital termasuk kampanye-kampanye di media sosial, dan membangun jaringan komunitas di akar rumput dengan memperkuat basis massa secara konkrit. Salah satunya d igagas melalui ‘Gerakan Subuh Berjama’ah’ secara nasional. Pemanfaatan medium ‘ibadah’ merupakan suatu cara untuk mengaburkan kesan bahwa gerakan tersebut diorkestrasi secara koersif (dengan cara-cara memaksa dan anarkis). Mela lui Gerakan Subuh Berjama’ah di beberapa mesjid di seluruh Indonesia yang kemudian diikuti oleh ‘Safari itu ditujukan untuk terus ‘menggaungkan’ wacana ‘membela Islam’. Suatu wacana yang mengkondisikan umat Muslim untuk menyepakati wacana-wacana mengenai ancaman terhadap ‘penistaan agama Islam’, yakni agama mayoritas populasi masyarakat di Indonesia. Upaya mengkonstruksi wacana ‘membela Islam’ juga melibatkan tafsir atas pengetahuan sejarah kaum Muslim di Indonesia dan menjadi sangat penting untuk dimanfaatkan di dalam upaya untuk membingkai (framing) kepanikan moral dan pengkondisian atas ancaman penistaan terhadap Islam, misalnya melalui wacan

a ‘Indonesia darurat komunisme atau Indonesia darurat PKI’. 1 Suatu rekayasa wacana yang terus dipelihara di dalam forum-forum pengajian, dan juga khotbah

termasuk di dalam ceramah di mesjid-mesjid. Duplikasi stigma yang telah berlangsung sejak masa kekuasaan Orde Baru ini terus dipelihara khususnya ditujukan pada beragam ekspresi kritis yang berkembang di masyarakat luas. Selain wacana tentang “Indonesia darurat komunisme (PKI)” – wacana membela Islam juga dibingkai dengan tema “persatuan umat Islam” dengan memposisikan mereka yang menolak dukungan terhadap mobilisas i Aksi Bela Islam melalui ‘labelling’ sebagai kelompok- kelompok yang ‘Islamophobia’. Pemanfaatan media sosial dengan menggunakan narasi-narasi bergerak (shifting narratives) bukan hanya dilakukan dengan membingkai wacana melalui kutipan-kutipan ayat- ayat s uci Al Qur’an, bahkan juga dilakukan secara visual, dengan mengambil kutipan tokoh-tokoh Muslim yang berperan dalam sejarah nasional sebagaimana ditunjukkan contohnya dalam gambar 01. Dalam poster Aksi Bela Islam II (411) itu, nampak visualisasi dan kutipa n kalimat ‘Buya Hamka’ yang pernah disampaikannya dalam forum pengajian subuh di mesjid al Azhar Kebayoran Baru Jakarta, pada sekitar periode tahun 1959 yang kemudian melahirkan kajian (kitab) yang disebut sebagai ‘Tafsir al Azhar’ – kajian yang secara esensial membahas tentang ‘Ghirah’ (semangat keimanan Islam) dan sebenarnya memiliki konteks sosial historis pada masa itu, dimana masa awal kemerdekaan dimulai.

1 Pamungkas dan Oktaviani, 2017. Aksi Bela Islam dan Ruang Publik Muslim: Dari Representasi Daring ke Komunitas Luring. Jurnal Pemikiran Sosiologi Vol. 4 No. 2: 65-87

Pada masa itu, pemahaman Buya Hamka tentang ‘ghirah’ sebenarnya menjelaskan posisi politiknya dalam mendukung konstruksi nasionalisme khususnya pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Adapun kutipan lengkap kalimat Buya Hamka yang sangat terkenal itu adalah:

“Rasa cemburu dalam beragama adalah konsekuensi dari iman itu sendiri. Orang yang beriman akan merasa tersinggung jika agamanya dihina, bahkan agamanya itu akan

didahulukan daripada keselamatannya sendiri. Ini pertanda masih ada “ghirah” di dalam dirinya, bangsa penjajah pun telah mengerti umat Islam yang semacam ini. Jika agamamu, nabimu, kitabmu dihina, jelaslah ghirah telah hilang darimu. Jika ghirah ini tidak lagi dimiliki oleh bangsa Indonesia, maka niscaya bangsa ini akan dijajah dari segala sisi. Jika ghirah telah hilang dari hatimu, gantilah saja dengan kain kaffan, sebab kehilangan ghirah sa ma dengan

mati.” 2 Ungkapan ini menjadi salah satu contoh bagaimana ‘Aksi Bela Islam’ memanfaatkan klaim-klaim baru

atas suatu materi sejarah yang sebenarnya secara kontekstual memiliki sejarah sosial dan politiknya tersendiri, lalu direkayasa dan tercerabut dari konteks asalnya sebagai alat propaganda politik. Inilah yang disebut sebagai ‘shifting narratives’ – dimana narasi-narasi sejarah tentang Islam, dan peranan tokoh-tokoh Muslim nasional dikonstruksikan ulang demi tujuan-tujuan pragmatis politik dan disebarluaskan melalui pemanfaatan teknologi media baru. Ironisnya, khalayak Muslim di Indonesia yang memiliki pengetahuan minim tentang sejarah peradaban Islam dan bahkan peranan tokoh-tokoh Muslim dalam pergerakan nasional di Indonesia, mudah sekali mempercayai klaim-klaim sejarah semacam ini.

Dalam persebarluasan wacana ‘membela Islam’ melalui mobilisasi Gerakan Subuh Berjamaah Nasional (GSBN) di dalam mesjid-mesjid komunitas-komunitas pendukung Aksi Bela Islam, wacana

mengenai moralitas publik untuk ‘membela Islam’ dibingkai untuk mendisiplinkan ‘publik Muslim’ tentang pentingnya kepemimpinan umat Muslim dan identitas keshalehan Islam dalam bentuk jihad melawan penistaan terhadap Islam termasuk ancaman kebangkitan komunisme, persuasi tentang

pentingnya syariah Islam, pentingnya membangun ‘solidaritas antar umat Muslim’, fabrikasi peranan tokoh- tokoh Muslim dalam sejarah nasional khususnya wacana tentang ‘Piagam Jakarta’ yang menghendaki diberlakukannya syariah Islam di Indonesia pada masa awal kemerdekaan, wacana ketertindasan umat Muslim di Indonesia dan di seluruh dunia, bahkan wacana ancaman asing dan sentimen anti etnis Tionghoa. Hal lain yang perlu diperhatikan dan memerlukan riset lebih mendalam tentang ba gaimana wacana ‘membela Islam’ ini berusaha mempromosikan pentingnya penerapan syariah Islam dalam sistem hukum legal formal di Indonesia, adalah kenyataan bahwa tidak semua komunitas muslim (ormas-ormas Islam) yang bergabung di dalam aksi tersebut memiliki kesepakatan yang sama mengenai bentuk dan praktik syariah yang seperti apa atau yang bagaimana di dalam sistem

2 Hamka. 1984. Ghirah dan Tantangan terhadap Islam. Pustaka Panjimas: Jakarta. Hal. 9 2 Hamka. 1984. Ghirah dan Tantangan terhadap Islam. Pustaka Panjimas: Jakarta. Hal. 9

Inisiator Aksi Ormas yang Menggunakan Simbol dan Ormas yang Menggunakan

Bela Islam I, II, Wacana Islam untuk Mobilisasi Aksi Simbol dan Wacana ‘NKRI’ III

dan Bela Islam II (411), III (212) dalam Aksi Bela Islam III (212) seterusnya

FPI (Front

1. GNPF-MUI (FPI, HTI, Pembela Islam)

1. GNPF-MUI (FPI, HTI, FUI, MMI

FUI, MMI, Tarbiyah/PKS) dan GNPF MUI

Tarbiyah/PKS)

2. Majelis Pelayan Jakarta (Gerakan

2. Aksi Bersama Rakyat

Masyarakat Jakarta-GMJ)

(AKBAR)

3. Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah

3. Jaringan Merah Putih

untuk Gubernur Muslim Jakarta

(JMP)/Gerindra

4. Badan Kerjasama Pesantren

4. Forum Betawi Rempug

Indonesia

(FBR)

5. Al Irsyad

5. Gerakan Bela Negara

6. FS-LDK (Forum Silaturahmi

6. Gerakan Indonesia

Lembaga Dakwah Kampus)

Beradab

7. Wahdah Islamiyah

8. Majelis Intelektual dan Ulama Muda

Tabel.01. Inisiator dan ormas-ormas yang menggerakkan aksi bela Islam (Sumber: Pamungkas dan Oktaviani, 2017: 68).

Narasi bergerak yang dilibatkan dalam mobilisasi Aksi Bela Islam melalui politik pewacanaan cepat sekali berubah khususnya pasca Aksi Bela Islam II pada 4 November 2016 yang juga berdampak pada munculnya ketegangan antar elit politik di Indonesia. Kesan bahwa aksi tersebut bersifat anarkhis ikut mempengaruhi bagaimana ‘Aksi Bela Islam’ direproduksi ulang melalui format pembingkaian wacana baru ‘membela Islam’ yang bukan semata-mata secara eksklusif menjadi agenda kepentingan ormas Islam tertentu (GNPF-MUI dan FPI) melainkan bahwa aksi itu ditujukan bagi ‘persatuan dan kesatuan’ nasional dimana umat Muslim sebagai mayoritas penduduk di Indonesia masih menginginkan bentuk NKRI sebagai negara kesatuan dan bahwasanya aksi-aksi bela Islam selama ini sama sekali tidak melanggar ketentuan konstitusi dan bahkan diklaim sebagai manifestasi aspirasi suara umat Islam di Indonesia yang selama ini ‘diam’ karena hegemoni kelompok-kelompok “liberal” dalam menguasai wacana tentang praktik demokrasi di Indonesia. HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) adalah ormas Islam yang paling berkepentingan untuk mengklaim wacana semacam ini, dikarenakan sorotan publik terhadap HTI yang dianggap anti Pancasila dan mewacanakan khilafah Islamiyah (kekhalifan Islam). Perluasan dukungan dilakukan dengan memposisikan HTI sebagai “korban politik” dan konstruksi narasi bergerak yang terus menduplikasi bentuk- bentuk “penistaan” yang sebenarnya merupakan ‘wacana tanding’ khususnya dari kelompok-kelompok pendukung Ahok dan atau mereka yang tidak menyepakati kriminalisasi Ahok dengan mempolitisasi isu politik identitas. Dalam Aksi Bela Islam III,

dukungan yang diberikan memperoleh ‘perluasan simpati’ bahkan dari beberapa daerah di luar Jakarta. Pamungkas dan Oktaviani (2017) menunjukkan bahwa perluasan simpati ini ditengarai muncul khususnya ketika media massa banyak memberitakan reaksi yang dimunculkan oleh pemerintah Joko Widodo (Jokowi) pasca Aksi Bela Islam II di bulan November 2016 melalui serangkaian tuduhan makar terhadap beberapa tokoh politik oposisi yang ditengarai ikut terlibat memfasilitasi dan memberi dukungan dalam aksi tersebut. Para inisiator Aksi Bela Islam khususnya FPI dan GNPF-MUI menganggap bahwa reaksi pemerintah Jokowi itu sebagai suatu bentuk kedzaliman oleh penguasa terhadap umat Islam. Dalam aksi bela Islam 212 yang paling besar dukungan mobilisasi publiknya, muncul wacana dan slogan- slogan “NKRI harga Mati” yang disuarakan ormas-ormas lslam dan juga ormas lain non keagamaan seperti contohnya JMP (Jaringan Merah-Putih). Meskipun sejak Aksi Bela Islam III (212), aksi-aksi yang lain berikutnya tidak lagi memperoleh dukungan massa sebesar itu, wacana ‘membela Islam’ sebagai bagian dari strategi dakwah melalui politik keshalehan (politics of piety) terus berlanjut di dalam komunitas-komunitas majelis taklim, pengajian (khususnya melalui Gerakan Subuh Berjamaah Nasional yang difasilitasi pula oleh FS-LDK atau Forum Silaturahmi Lembaga Dakwah Kampus), serta beberapa kegiatan safari dakwah keliling yang didukung oleh beberapa alumni Aksi Bela Islam III. Melalui mobilisasi Aksi Bela Islam, suatu potensi ancaman bagi tradisi demokrasi di Indonesia muncul yakni nasionalis me ‘kesukuan’ ( tribal nationalism ), dimana nasionalisme diterjemahkan secara ‘sempit’ menjadi nasionalisme yang didasari oleh pemusatan

identitas etnis dan keagamaan khususnya oleh kelompok mayoritas yang mengabaikan aspek-aspek keragaman dan multikulturalisme di dalam entitas sosial masyarakat di Indonesia sendiri (Fealy, 2017; Lim 2017; Pamungkas dan Oktaviani, 2017). Fakta bahwa pemahaman atas nasionalisme yang sempit dan klaim atas sejarah masa lalu yang dipolitisasi bagi kepentingan segelintir elit politik (khususnya melalui ormas-ormas Islam yang mewacanakan bentuk dan praktik intoleran) menjadi tantangan bagi khususnya kalangan intelektual, akademisi, aktivis, dan tokoh-tokoh masyarakat pro demokrasi untuk menggiatkan kembali literasi sejarah nasional yang lebih obyektif dan adil, serta memberi peluang praktik diskursif bagi pemaknaan-pemaknaan baru sesuai tuntutan masa kini.

B. Dakwah Islam, Moralitas Publik, dan Ruang Publik Muslim dalam Sejarah Media Islam di Indonesia

Ada tiga tesis yang diajukan melalui eksplorasi kajian ini yaitu; (1) bagaimana praktik dakwah keshalehan Islam dipromosikan melalui media massa sejak masa kolonial; (2) bagaimana muatan dakwah yang termediasikan membangun sentimen emosi berbasis pada logika ‘moralitas’ dan mempengaruhi gelombang gerakan sosial politik sejak masa kolonial hingga pascakolonial yang berdampak pada terbentuknya komunitas atau konstituensi politik di Indonesia; (3) bagaimana Ada tiga tesis yang diajukan melalui eksplorasi kajian ini yaitu; (1) bagaimana praktik dakwah keshalehan Islam dipromosikan melalui media massa sejak masa kolonial; (2) bagaimana muatan dakwah yang termediasikan membangun sentimen emosi berbasis pada logika ‘moralitas’ dan mempengaruhi gelombang gerakan sosial politik sejak masa kolonial hingga pascakolonial yang berdampak pada terbentuknya komunitas atau konstituensi politik di Indonesia; (3) bagaimana

Moralitas publik acapkali dipersepsikan sebagai standar etis dan moral yang berlaku di masyarakat. Moralitas itu melingkupi tekanan sosial untuk mengutamakan bentuk-bentuk standar moral-etis, regulasi (disiplin), dan acapkali dibentuk oleh kepanikan moral. Berkenaan dengan transformasi media Islam di Indonesia, ‘dakwah’ menjadi kata kunci untuk menempatkan ‘Islam yang benar’ dalam mempraktikkan moralitas publik. Oleh karena itu, pertama-tama perlu dipahami bagaimana praktik dakwah telah melahirkan media Islam di Indonesia yang berakar sejak masa kolonial, dan kedua bagaimana dakwah dalam bentuk media itu mempengaruhi gelombang gerakan sosial politik dalam masa pascakolonial khususnya ketika dakwah melalui media berlangsung di dalam moda produksi kapitalis melalui industri media yang massif. Di masa kolonial, media Islam menjadi sumber mempopulerkan ajaran-ajaran Islam dimana masyarakat Muslimnya lebih mengenali budaya ‘mendengarkan’ ketimbang budaya visual (termasuk seni membaca). Di masa kolonial pula, media Islam berperan secara signifikan dalam pembentukan konstruksi identitas nasional yang kemudian menjadi proyek perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Di masa pascakolonial, pada era Sukarno, media Islam ikut berperan dalam pembentukan karakter identitas nasional dan bahkan alat propaganda ketakutan akibat polarisasi kekuatan politik global. Oleh karena itu, naiknya kekuasaan Suharto pasca 1965 juga merupakan penaklukan terhadap gagasan-gagasan kebangkitan Islam yang sebelumnya telah muncul melalui dakwah di media Islam nasional. Meski demikian, upaya mempromosikan keshalehan bagi umat Muslim di masa Orde Baru, justru memberi peluang baru Islamisasi yang menyediakan ruang bagi beragam bentuk dakwah (termasuk yang mempromosikan kembali ‘kebangkitan Islam’) melalui budaya populer. Budaya pop Islam kemudian menjadi hegemonik khususnya pa sca Orde Baru, dimana beragam gerakan dakwah global turut ‘membentuk’ wujud (penampilan) dan isi (ideologi) media Islam tersebut. Hal ini dikarenakan media-media tersebut bukan hanya diproduksi untuk komunitas belaka, melainkan juga dibagi-bagikan kepada publik luas khususnya publik Muslim yang sebenarnya juga beragam. Transformasi gerakan dakwah secara global melalui budaya populer di Indonesia sebagaimana yang muncul melalui media Islam semakin diperkuat melalui persebaran wacana tentang ‘moralitas publik’ sehingga membentuk suatu komunitas besar pemirsa Muslim (secara teoritis disebut sebagai ‘Muslim public sphere’) yang bukan sekedar Moralitas publik acapkali dipersepsikan sebagai standar etis dan moral yang berlaku di masyarakat. Moralitas itu melingkupi tekanan sosial untuk mengutamakan bentuk-bentuk standar moral-etis, regulasi (disiplin), dan acapkali dibentuk oleh kepanikan moral. Berkenaan dengan transformasi media Islam di Indonesia, ‘dakwah’ menjadi kata kunci untuk menempatkan ‘Islam yang benar’ dalam mempraktikkan moralitas publik. Oleh karena itu, pertama-tama perlu dipahami bagaimana praktik dakwah telah melahirkan media Islam di Indonesia yang berakar sejak masa kolonial, dan kedua bagaimana dakwah dalam bentuk media itu mempengaruhi gelombang gerakan sosial politik dalam masa pascakolonial khususnya ketika dakwah melalui media berlangsung di dalam moda produksi kapitalis melalui industri media yang massif. Di masa kolonial, media Islam menjadi sumber mempopulerkan ajaran-ajaran Islam dimana masyarakat Muslimnya lebih mengenali budaya ‘mendengarkan’ ketimbang budaya visual (termasuk seni membaca). Di masa kolonial pula, media Islam berperan secara signifikan dalam pembentukan konstruksi identitas nasional yang kemudian menjadi proyek perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Di masa pascakolonial, pada era Sukarno, media Islam ikut berperan dalam pembentukan karakter identitas nasional dan bahkan alat propaganda ketakutan akibat polarisasi kekuatan politik global. Oleh karena itu, naiknya kekuasaan Suharto pasca 1965 juga merupakan penaklukan terhadap gagasan-gagasan kebangkitan Islam yang sebelumnya telah muncul melalui dakwah di media Islam nasional. Meski demikian, upaya mempromosikan keshalehan bagi umat Muslim di masa Orde Baru, justru memberi peluang baru Islamisasi yang menyediakan ruang bagi beragam bentuk dakwah (termasuk yang mempromosikan kembali ‘kebangkitan Islam’) melalui budaya populer. Budaya pop Islam kemudian menjadi hegemonik khususnya pa sca Orde Baru, dimana beragam gerakan dakwah global turut ‘membentuk’ wujud (penampilan) dan isi (ideologi) media Islam tersebut. Hal ini dikarenakan media-media tersebut bukan hanya diproduksi untuk komunitas belaka, melainkan juga dibagi-bagikan kepada publik luas khususnya publik Muslim yang sebenarnya juga beragam. Transformasi gerakan dakwah secara global melalui budaya populer di Indonesia sebagaimana yang muncul melalui media Islam semakin diperkuat melalui persebaran wacana tentang ‘moralitas publik’ sehingga membentuk suatu komunitas besar pemirsa Muslim (secara teoritis disebut sebagai ‘Muslim public sphere’) yang bukan sekedar

Sejarah perkembangan media Islam di Indonesia berkenaan dengan persebaran dakwah atau ajakan untuk mengenal, mempelajari dan mempraktikkan ajaran Islam yang ditujukan secara khusus bagi kaum Muslim dan secara umum kepada khalayak luas atau publik. Meskipun pemahaman mengenai media Islam secara umum dipahami sebagai media yang mengutamakan identitas Islam di dalam menampilkan muatannya, akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, berlangsung diskursus atau pewacanaan mengenai apakah media Islam secara otomatis merupakan media dakwah dan mengapa beberapa media Islam tertentu menyebut atau mendefinisikan diri sebagai ‘media dakwah dan bukan semata- mata sebagai media Islam’ (baik cetak, maupun elektronis, bahkan digital). Dalam konteks itulah, pemahaman mengenai ‘media Islam’ menjadi lebih terbuka (cair dan umum), sedangkan pemahaman mengenai ‘media dakwah’ menjadi lebih spesifik dikarenakan pengertian tentang dakwah sebagai suatu ‘ajakan untuk mengenali Islam’ merupakan suatu konstruksi atas pemaknaan dan praktik keislaman tertentu. Dengan kata lain, semua media dakwah dapat disebut sebagai ‘media Islam’ meskipun tidak semua media yang memunculkan identitas keislaman dapat disebut sebagai media dakwah.

Dakwah Islam sebagai suatu praktik sosial memiliki sejarah kontekstualnya dalam persebaran agama Islam di seluruh penjuru dunia. Semenjak munculnya teknologi dalam melipatgandakan pengetahuan secara material yang diawali dengan kemunculan mesin cetak, sebagaimana agama-agama samawi (Abrahamian) lainnya di dunia sejak abad ke 17, persebaran pengetahuan mengenai agama (termasuk Islam) mengalami periode modernisasi yang amat pesat. Persebaran dakwah Islam di Asia Tenggara pun difasilitasi melalui medium ini dimana al Qur’an mulai dicetak dalam jumlah yang cukup besar pada awalnya di Singapura pada tahun 1840an yang distribusinya juga menjangkau wilayah koloni Hindia Belanda (Indonesia sekarang), meskipun pemerintah kolonial Hindia Belanda telah

memiliki alat percetakan bagi kepentingan administrasi kolonial sejak lebih dari seabad sebelumnya. 3 Dengan kata lain, kemunculan percetakan kitab- kitab suci (termasuk al Qur’an) berbarengan dengan munculnya pertumbuhan industri percetakan untuk kepentingan munculnya pers cetak media massa untuk pertama kalinya di wilayah Asia Tenggara. Kemunculan media cetak termasuk pers cetak inilah yang mentransformasi kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya di hampir seluruh wilayah jajahan

3 Feener, 2007:7-9.

di seluruh penjuru dunia, tak terkecuali di wilayah Hindia Belanda. Dalam konteks munculnya media massa sebagai medium baru di wilayah kolonial, maka keberadaan industri percetakan kemudian bukan hanya sekedar mencetak kitab-kitab suci saja, pada sekitar tahun 1890an misalnya, terbit beberapa buku-buku (kitab) yang mengenalkan identitas keislaman melalui genre syair (puisi) dan hikayat (prosa) dalam bahasa Melayu untuk pertama kalinya. Munculnya Jurnal al Moenir pada tahun 1910-1915 di Padang, Sumatera Barat oleh ulama Abdullah Ahmad menandai kemunculan dakwah Islam yang

bersifat populer yang diakrabi oleh masyarakat setempat. 4 Dalam konteks inilah, pemahaman mengenai dakwah mulai berkembang, bukan hanya melalui metode pengajaran agama secara klasik yang bersifat tatap muka, melainkan melalui suatu transmisi nilai-nilai dan konstruksi atas identitas keislaman. Dalam perkembangan selanjutnya, muncul penerbitan-penerbitan pers Islam yang mengutamakan muatan bukan hanya mengenai nilai dan praktik ibadah di dalam Islam, melainkan pula tafsir Islam atas kondisi sosial, ekonomi dan politik suatu masyarakat. Penerbitan semacam ini menjadi tafsir awal konstruksi ‘kebangkitan nilai-nilai Islam’ sebagai semangat untuk melawan kolonialisme. Medan Moeslimin adalah surat kabar Muslim pertama yang terbit pada tahun 1915, dan kemudian munculnya Islam Bergerak pada tahun 1917 dan menandai munculnya kepentingan dakwah sebagai suatu alat perjuangan politik nasionalisme yang dipelopori oleh salah satu pendiri syarekat Islam ,Haji Misbach, yang menggabungkan nilai-nilai sosialisme dan ajaran-ajaran Islam untuk melawan penindasan sebagai basis identitas kebangsaan (nasionalisme) sekaligus sebagai wujud keshalehan seorang Muslim. Meski demikian, gagasan ‘revivalisme (kebangkitan) Islam’ yang bersifat transnasional juga muncul di masa

pergerakan nasional, dimana gagasan sentralnya lebih didasari pada bagaimana membangun solidaritas sesama Muslim di seluruh dunia untuk membagun peradaban kaum Muslim sendiri tanpa berkompromi pada ‘ideologi modernisme Barat’ – meskipun secara esensial justru memperkenalkan gagasan mengenai ‘modernisme Islam’ (Islam yang moderen). Pada tahun 1930, muncul majalah dakwah pertama yang dipengaruhi oleh nilai-nilai perjuangan politik Islam yang bersifat transnasional, yaitu ‘Madjalah Pembela Islam’ yang didirikan oleh ulama PERSIS (Persatuan Islam) di Bandung, Ahmad

Hasan dan muridnya, Muhammad Natsir (yang kemudian dikenal sebagai tokoh Masyumi). 5 Dalam pembahasannya majalah tersebut bahkan telah memunculkan gagasan-gagasan pentingnya persatuan kaum Muslimin yang dijajah di seluruh wilayah kolonial Barat melalui pendidikan dan pengorganisasian politik sebagaimana yang diungkapkan oleh Hasan al Banna, pendiri Ikhwanul

Muslimin di Mesir. 6 Kemunculan dakwah Islam di Indonesia yang direpresentasikan sebagai budaya populer dan sebagai bagian dari perjuangan ideologi politik (nasional dan transnasional) sudah memiliki akarnya di masa kolonial. Semenjak periode pergerakan nasional juga muncul berbagai penerbitan

4 Rahzen, Taufik et.all, 2007: 66-69; Feener, 2007: 10-14; Kaptein, 2009 dalam Tagliacozzo, 2009:183-189. 5 Feener. Opcit: 10-14. 6 Laffan, Michael, 2011.

berbasis dakwah Islam lainnya, seperti Soeara Muhammadiyah, Al Muslimun , dan Kiblat . Ketika pendudukan Jepang datang, keberadaan media massa yang berbasis pada gerakan nasional mengalami represi yang lebih berat ketimbang di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, hal yang serupa juga dialami dengan eksistensi beberapa penerbitan Islam. Soeara Muhammadiyah adalah salah satu majalah Islam yang masih terbit relatif secara reguler pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) meskipun muatannya terbatas hanya pada seputar pelaksanaan ibadah dalam Islam dan penerbitannya dibawah pengawasan sensor ketat penguasa militer Jepang. Majalah Suara Muhammadiyah ini adalah majalah

Islam di Indonesia yang terus bertahan sejak masa kolonial Hindia Belanda hingga hari ini. 7 Pada masa awal kemerdekaan hingga masa dibawah kepemimpinan Presiden Sukarno, keberadaan media massa

dakwah Islam mulai kembali bermunculan. Meskipun hingga kini, masih sedikit sumber literatur sejarah yang mencoba melacak keberadaan media massa tersebut. Salah satu majalah Islam yang populer tetapi jarang dibahas oleh para sarjana termasuk dalam kajian Islam, Sejarah, dan ilmu Politik pada masa awal kemerdekaan khususnya menjelang dan setelah Pemilu tahun 1955 adalah majalah yang dikelola oleh Partai Masyumi, yaitu Suara Partai Masyumi yang ditujukan bagi kader partai Masyumi dan majalah Hikmah yaitu majalah Islam populer yang ditujukan bagi khalayak umum dan dapat diperoleh di toko-toko buku. Selain kedua majalah tersebut, Masyumi juga memiliki afiliasi dengan koran Abadi yang pada penerbitan sejak 1955 banyak mengkritik PKI dan ideologi Marxisme- Leninisme. Remmy Madinier (2015) adalah salah seorang sejarawan yang menelusuri pertikaian Masyumi dan PKI serta friksi internal di dalam tubuh Masyumi dengan merujuk pada dokumen- dokumen sejarah termasuk koran Abadi dan majalah Hikmah. Madinier mencatat polemik yang panjang antara Masyumi dan PKI dimulai menjelang dan setelah Pemilu 1955, khususnya ketika PKI mengklaim sebagai partai yang tidak anti agama, dan Masyumi mulai menelisik tentang polemik politik yang melibatkan PKI seperti peristiwa Madiun pada tahun 1948, dan kritik atas otoritarianisme yang berlangsung di dalam rezim Uni Sovyet yang berada dibawah pengaruh ideologi Marxisme-Leninisme.

8 Beberapa tokoh Masyumi pada tahun 1958 dituduh telah ikut merencanakan makar kudeta terhadap pemerintahan Sukarno, karena terlibat di dalam peristiwa PRRI/Permesta, maka pada akhirnya Partai

Masyumi dibubarkan oleh Pemerintah Sukarno pada tahun 1960, maka berakhirlah penerbitan- penerbitan yang berafiliasi secara langsung pada partai itu termasuk majalah Hikmah, Suara Partai Masyumi, dan koran Abadi. Sebagian aktivis Masyumi yang memiliki kedekatan dengan Muhammadiyah seperti Hamka (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), KH. Faqih Usman, Josoef Abdullah Poear, dan HM Joesof Ahmad mendirikan penerbitan majalah Panji Masyarakat pada tahun

7 Majalah Suara Muhammadiyah pertama kali terbit tahun 1915 oleh KH. Ahmad Dahlan dan muridnya Haji

Fachrodin – pada awalnya bernama Soeara Muhammadiyah. Sumber: ‘Sejarah Singkat Majalah Suara Muhammadiyah http://www.fastabiqu.com/2016/01/majalah-suara-muhammadiyah-meneguhkan.html . Diakses

8 September 2016. 8 Madinier, Remmy, 2015. Islam and Politics in Indonesia: The Masyumi Party between Democracy and

Integralism. Singapore: NUS Press.

1959. Meski demikian, majalah ini hanya terbit selama 1 tahun dan kemudian dibredel (dilarang terbit) oleh pemerintah setelah terbitnya tulisan Mohammad Hatta ‘Demokrasi Kita’ pada majalah itu di edisi

bulan Mei 1960. Majalah Panji Masyarakat baru muncul diterbitkan kembali pada tanggal 5 Oktober

1966 ketika terjadi pergantian kekuasaan ke tangan rezim Orde Baru (Suharto). 9

Gambar 02. Majalah Hikmah No 26 Tahun ke IX, 14 Juli 1956 dimana salah satu artikelnya mewacanakan anti komunisme dengan caption judul: Anti Stalin, Membukakan Kebobrokan Komunis (Sumber: Dokumentasi Pamungkas 2017).

Pergantian kekuasaan pasca tragedi 1965 secara umum dapat dikatakan telah berdampak pada kontrol kekuasaan yang ketat terhadap penerbitan media massa, termasuk pada pers Islam. Meskipun, Panji Masyarakat dan koran Abadi diterbitkan kembali pada masa awal Orde Baru oleh para eksponen aktivis Masyumi, tetapi semenjak terjadinya peristiwa Malari (Limabelas Januari) pada tahun 1974,

9 Hakim, Lukman. 2008: 93-98.

dimana kedua media tersebut banyak mengkritik pemerintahan Orde Baru yang membuka peluang ke pasar bebas melalui investasi Jepang pada industri otomotif di Indonesia, keduanya sempat dibredel kembali. Koran Abadi malahan sama sekali tidak pernah terbit dan banyak aktivis Masyumi terutama dipelopori oleh Mohammad Natsir kemudian memilih untuk bersikap menghindari konfrontasi langsung pada pemerintahan Suharto dan merintis jalan ‘dakwah’ dengan keterlibatannya melalui DI – Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, suatu ormas – dan bukan partai politik. Sejak tahun 1970an, DI menjalin hubungan dengan organisasi non pemerintah di Arab Saudi Rabithah Alam Islami (The

World Muslim League) – yang mendukung gagasan Pan Islamisme. Organisasi tersebut bahkan ikut membiayai kegiatan DI hingga akhir tahun 1980an melalui penerbitan buku, majalah, dan terutama penerjemahan beberapa literatur dari Timur-Tengah yang dipengaruhi oleh paham (ideologi) salafisme, termasuk banyak literatur yang ditulis oleh tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin ke dalam bahasa

Indonesia. 10 DI bahkan memiliki ma jalah reguler ‘Media Da’wah’ – yang diterbitkan secara berkala dan menjadi perpanjangan corong politik Masyumi di era Orde Baru. 11 Meskipun DI ikut

mempromiskan penerbitan banyak literatur dan media cetak yang bernuansa ‘Islam politik’ (political Islam – Islamism), semuanya itu tidak dapat dengan mudah diakses melalui publik – melainkan beredar secara underground (bawah tanah) melalui jaringan para aktivis dakwah yang terafiliasi dengan DI dan juga melalui rekrutmen dan kaderisasi aktivis dakwah kampus di beberapa Perguruan Tinggi

terkemuka semenjak akhir 1970-an hingga tahun 1990an. 12

10 Van Bruinessen 2002; Pamungkas, 2015. 11 Hefner, 1997.

12 Pamungkas, 2015.

Gambar 03. Majalah Amanah No 173, 22 Februari – 7 Maret 1993 - Cover dan Kolom Konsultasi Keluarga Berencana- (Sumber: Pamungkas, 2012).

Pada era Orde Baru pulalah gagasan- gagasan mengenai ‘revivalisme Islam’ yang cenderung menjadi alat kepentingan politik secara formal tidak memperoleh representasinya di ruang publik. Sementara itu, Orde Baru mulai membuka ruang yang luas bagi praktik dan wacana keshalehan Islam khususnya sejak tahun 1990an ketika rezim Suharto mulai merangkul beberapa intelektual Muslim liberal khususnya melalui pendirian ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia). Sejak era Orde Baru pula-lah, dakwah Islam melalui media massa direpresentasikan lebih sebagai promosi atas keshalehan personal dan juga sebagai medium pendukung program-program yang dilakukan oleh pemerintah. Meski demikian, jatuhnya pemerintahan Orde Baru pada 1998, juga berdampak pada semakin lunturnya pewacanaan nasionalisme yang direpresentasikan oleh media-media Islam. Sebaliknya, banyak media-media Islam yang berideologi Islam transnasional justru mulai memiliki publik luas khususnya di kalangan Muslim di Indonesia yang terbit secara cetak (dikarenakan kemudahan atas ijin penerbitan dan sensor yang ketat di masa pemerintah BJ Habibie pada tahun 1999) dan kemudian muncul secara daring (online) melalui media-media digital di awal abad millenium.

Keberadaan media Islam sebagai alat dakwah di Indonesia telah menciptakan ‘ruang publik Mus lim’ dimana berlangsung suatu kontestasi terbuka atas otoritas menggunakan bahasa normatif yang Keberadaan media Islam sebagai alat dakwah di Indonesia telah menciptakan ‘ruang publik Mus lim’ dimana berlangsung suatu kontestasi terbuka atas otoritas menggunakan bahasa normatif yang

C. Konstruksi Moralitas Publik dan Politik Keshalehan dalam Media Islam Pasca Orde Baru

Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, media dakwah di Indonesia pada umumnya bertujuan tidak hanya untuk menggunakan identitas label 'Islam' tetapi juga pada upaya mengkonstruksi dakwah sebagai sebuah ‘panggilan' atau 'undangan' untuk mempraktikkan ‘Islam yang benar’ (proper Islam). Kaitan antara media sebagai alat dakwah memiliki akar sejarah yang bersifat spesifik sejak masa kolonial (Hindia Belanda) maupun di masa awal nasionalisme Indonesia dan periode rezim politik otoritarian dan setelahnya kini. Dari kajian mengenai transformasi media Islam di Indonesia, saya menemukan adanya persamaan dan perbedaan dalam mengkaitkan identitas Islam sebagai dakwah melalui media yang berlangsung di setiap masa di Indonesia. Persamaan yang secara umum didapati dalam setiap konteks sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua media Islam tersebut tampaknya membahas tema dan praktik Islam tentang; (1) keadilan sosial; (2) promosi identitas Islam secara formal; (3) pertanyaan dan pembahasan tentang multikulturalisme dan atau pluralisme (dalam Islam). Sementara itu, perbedaan atas keragaman media Islam dan konteksnya yang berbeda-beda di setiap masa atau periode itu didasari oleh penegasan atau wacana mengenai; (1) referensi terhadap praktik Islam yang benar at au otentik (syariah); (2) konstruksi identitas mengenai bagaimana ‘menjadi’ orang Indonesia, atau menjadi ‘Muslim Indonesia’, atau hanya menjadi ‘Muslim’ yang benar saja; (3) keragaman respon terhadap wacana dan praktik multikulturalisme dan pluralisme yang membentuk ruang polarisasi politik dalam ruang publik Muslim di Indonesia.

13 Menurut Eickelman dan Anderson (2003: 2-10) otoritas atas bahasa normatif dalam Islam menjadi

kecenderungan global dimana ruang publik Muslim secara spesifik tercipta dan ‘diciptakan’ sebagai konstruksi ekonomi politik sekaligus sebagai legitimasi budaya yang memiliki kecenderungan pula mengabaikan nasionalisme – dan karenanya menjadi kekuata politis yang sangat berpengaruh terutama di negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim. Pesan-pesan religius yang bersifat normatif digandakan dengan cepat dari satu medium ke bentuk ‘new medium’ lainnya, terkadang muatan pesan tercerabut dari konteks sejarahnya yang menjadi tujuan utama adalah mendapatkan legitimasi ‘kekinian’ yang dapat diterima oleh publik ‘Muslim’ (pemirsa)

Fenomena munculnya ‘ruang publik Muslim’ merupakan suatu hasil dari apa yang disebut oleh Eickelman dan Anderson (2003) sebagai ‘reintelektualisasi wacana-wacana Islam’ dimana pengirim pesan (sender) mengidentifikasikan diri mempresentasikan doktrin dan wacana Islam yang otentik

(murni) dan menyerahkan interpretasi atasnya pada publik (receiver). 14 Walter Ambrust (2000) menjelaskan bagaimana pewacanaan Islam otentik yang dianggap sebagai representasi atas ‘public culture’ (budaya publik) dalam masyarakat mayoritas Muslim harus ditilik dari sejarah masyarakatnya yang mengalami kolonialisme Barat dan karenanya lebih merupakan suatu bentuk hegemoni tanding ( counter hegemony ) dimana identitas moderen justru dilekatkan dengan simbol dan formalisme agama

(Islam) melalui produksi kapitalisme. 15 Bentuk-bentuk gagasan mengenai identitas Islam yang termediasikan merupakan suatu proses ‘Islamisasi’ di Indonesia yang berlangsung melalui media baru, dalam pengertian bahwa ‘Islamisasi’ tersebut ditujukan justru pada kebanyakan ‘Muslim’ yang didisplinkan melalui pewacanaan dan kontruksi moral tentang ‘bagaimana mempraktikkan Islam yang benar.’Obyektifikasi atas praktik Islam yang otentik inilah yang kemudian menjadi ranah produksi media dakwah khususnya di masa Reformasi dimana ide- ide ‘revivalisme Islam’ muncul justru melalui konstruksi atas ‘moralitas publik’ – yang meregulasi kebiasaan hidup, tingkah laku, dan tertib sosial

bukan hanya ditujukan pada kaum Muslim semata melainkan juga bagaimana interpretasi atas ‘moralitas publik’ itu lebih didominasi oleh praktik dan wacana Islam yang otentik. Obyektifikasi atas ‘Islam yang otentik’ karenanya menjadi perdebatan bahkan perseteruan yang tiada hentinya dalam

sejarah nasionalisme di Indonesia sejak masa kolonial hingga hari ini. Moralitas publik sendiri setidaknya memiliki dua pengertian utama; (1) suatu standar moral dan

etis yang ditujukan pada suatu masyarakat; (2) suatu bentuk tekanan sosial yang dilakukan untuk mendominasi standar moral dan etis tersebut melalui tertib sosial dan bentuk-bentuk kedisiplinan serta kepatuhan publik (baik melalui regulasi formal maupun informal – tak tertulis) yang acapkali justru muncul sebagai suatu respon atas ‘kepanikan moral’. Retorika mengenai kepanikan moral melalui praktik dakwah yang juga muncul melalui media acapkali menggunakan doktrin Islam tentang ‘amr ma’ruf nahi munkar’ – ‘menyuruh pada kebaikan dan mencegah perbuatan jahat’ – yang dalam penerjemahannya ju ga bisa menjadi sangat politis dan menjadi riskan atas klaim terhadap ‘kepatutan dan kelayakan’ dalam masyarakat yang majemuk (plural) dan beragam (multikultur), bukan hanya antara Muslim dan non-Muslim, tetapi juga diantara masyarakat Muslim sendiri yang juga beragam. Bentuk-bentuk keshalehan yang dalam tafsir Islam dianggap sebagai sesuatu yang terlarang, pada umumnya disepakati bersama oleh hampir semua media Islam sebagai suatu bentuk kontrol sosial atas moralitas publik, seperti perjudian, prostitusi, konsumsi atas alkohol, dan pornografi atau materi-materi seksual yang secara eksplisit dikonsumsi masyarakat luas. Meski demikian, bukan berarti tafsir atas

14 Ibid, 19-25. 15 Ambrust, Walter. 2000: 20-21.

‘amr ma’ruf nahi munkar’ itu tidak problematis – bahkan di kalangan Muslim sendiri pun hal itu tetap dilematis ketika berhadapan dengan struktur kekuasaan politik yang mengambil alih ‘konstruksi atas moralitas publik’. Hal ini nampak pada kasus polemik munculnya ‘Undang-undang Pornografi’ pada tahun 2008, dimana pewacanaan mengenai ‘pornografi dan pornoaksi’ sudah jauh sebelumnya disebarkan melalui media-media dakwah tertentu, yang bahkan pada awalnya jauh dari perhatian publik luas di Indonesia. Kepanikan moral acapkali bukan sesuatu yang muncul sebagai suatu konsekuensi sosial melainkan juga sebagai bagian dari kepentingan yang bersifat politis, termasuk yang terjadi dalam polemik mengenai UU Pornografi tahun 2008 tersebut. Jadi dapat dikatakan bahwa konteks munculnya UU tersebut sebagai suatu wujud regulasi moralitas publik bukan semata-mata muncul sebagai suatu kebutuhan standar moral etis yang berlaku di dalam masyarakat (karena regulasi sebelumnya telah ada yang mengatur soal ‘kecabulan’ seperti dalam KUHAP), melainkan juga sebagai suatu wujud ‘tekanan sosial’ yang bersifat politis.

Gambar 04. R eportase Majalah Ummi No 3/XVII/2005 tentang ‘Gerakan Nasional Bersih Pornografi dan Pornoaksi’ yang dibuka oleh Menteri Pemuda dan Olahraga Adyaksa Daud pada tahun 2005

(Sumber: Pamungkas, 2015).

Tekanan sosial sebagai suatu kepentingan atas moralitas publik sudah lama berlangsung di Indonesia, dalam sejarahnya misalnya tentang perdebatan atas basis-basis fundamental ketatanegaraan

– dalam perdebatan tentang konstruksi nasionalisme khususnya tentang perlu tidaknya menyantumkan ketentuan pemberlakuan syariat Islam bagi para penganutnya di dalam Pembukaan UUD 1945. Pada

masa Orde Baru, kontruksi moralitas publik sebagai suatu tekanan politik nampak kuat pada pemberlakuan atas UU Perkawinan tahun 1974 yang terutama berdampak pada kontrol negara pada pernikahan yang bersifat multikultural. Konstruksi atas moralitas publik yang bersumber pada tekanan politik khususnya yang dikonstruksikan melalui bentuk-bentuk kepatuhan dan disiplin pada nilai-nilai Islam otentik kemudian berlangsung pada ruang sosial yang langsung berdampak dalam kehidupan privat. Sementara di sisi lain, keberadaan media dakwah khususnya di masa Reformasi mendapati bukan hanya ruang ‘kontestasi politik’ tetapi sekaligus ‘ruang pamer’ ( display ) tentang kebudayaan yang secara material dianggap seb agai merepresentasikan ‘Islam otentik’ melalui kebaharuan gaya hidup yang moderen. Dalam konteks seperti itulah, cara-cara mengkonstruksi identitas Muslim juga berkenaan dengan strategi meliyankan – othering – dimana media mainstream ikut memfasilitasi suatu ‘gaya hidup alternatif’ yang menampilkan bentuk-bentuk keshalehan personal Muslim yang bersifat formal – dan dilegitimasikan di dalam ruang publik dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Kontestasi atas strategi meliyankan inilah yang acapkali selalu ‘dimunculkan’ sebagai suatu bentuk kepanikan moral – khususnya pada momentum tertentu dimana berdampak langsung dalam struktur dan kekuasaan hierarki politik di Indonesia, misalnya pada saat berlangsungnya Pemilu, Pilpres, atau bahkan Pilkada. Tidak menghe rankan jika isu tentang keshalehan personal menjadi ‘ isu politik yang selalu digoreng’ dalam setiap momen Pemilu tersebut.

Kemunculan media sosial dan penetrasi internet dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia juga semakin memperluas sekaligus mempolarisasikan ruang publik Muslim di Indonesia sebagai suatu konsekuensi atas strategi kampanye dakwah yang bersifat politis – meliyankan – sekaligus juga sebagai konsekuensi atas terbentuknya – kantong-kantong algoritmis melalui media sosial – yang mempolarisasikan para netizen (pengguna internet dan media sosial) dimana interaksi sosialnya dipengaruhi oleh dukungan politis yang dikonstruksikan melalui media sosial. Dalam kasus Pilpres 2014 misalnya, polarisasi yang menggunakan strategi ‘meliyankan’ juga berlangsung diantara para kubu pendukung kedua Capres. Praktik semacam ini meskipun bukan hal yang baru dalam kontestasi demokrasi politik di Indonesia, tetapi mendapati kerumitan dan berdampak pada mobilisasi dukungan massa secara lebih cepat dikarenakan difasilitasi melalui medium teknologi baru seperti Kemunculan media sosial dan penetrasi internet dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di Indonesia juga semakin memperluas sekaligus mempolarisasikan ruang publik Muslim di Indonesia sebagai suatu konsekuensi atas strategi kampanye dakwah yang bersifat politis – meliyankan – sekaligus juga sebagai konsekuensi atas terbentuknya – kantong-kantong algoritmis melalui media sosial – yang mempolarisasikan para netizen (pengguna internet dan media sosial) dimana interaksi sosialnya dipengaruhi oleh dukungan politis yang dikonstruksikan melalui media sosial. Dalam kasus Pilpres 2014 misalnya, polarisasi yang menggunakan strategi ‘meliyankan’ juga berlangsung diantara para kubu pendukung kedua Capres. Praktik semacam ini meskipun bukan hal yang baru dalam kontestasi demokrasi politik di Indonesia, tetapi mendapati kerumitan dan berdampak pada mobilisasi dukungan massa secara lebih cepat dikarenakan difasilitasi melalui medium teknologi baru seperti

– melalui narasi yang dimunculkan dengan menggunakan konteks kekinian. 16 Dengan pengertian semacam inilah, penguasaan atas media yang secara populer memiliki pemirsa luas menjadi