Penataan Ruang sebagai instrumen Pengend

A. PENDAHULUAN
Ingar-bingar pelantikan duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil
presiden baru Republik Indonesia telah berlalu. Ke depan, keduanya, beserta segenap
kementerian serta lembaga-lembaga negara lainnya seperti lembaga legislatif dan yudikatif
negara, dihadapkan kepada pekerjaan rumah yang mesti digarap, khususnya demi
mewujudkan kesejahteraan rakyat negeri ini.
Sektor perikanan menjadi salah satu dari pekerjaan rumah yang dimaksud di atas.
Terlepas dari pemberitaan-pemberitaan dewasa ini yang berpusat pada Susi Pudjiastuti, sang
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, sektor ini memang butuh perhatian
khusus. Salah satu masalah dalam sektor perikanan Indonesia adalah mengenai penanganan
limbah yang dihasilkan dari industri pengolahan hasil perikanan. Dalam tulisan ini akan
dibahas mengenai pentingnya penataan ruang yang dilakukan oleh pemerintah sebagai upaya
untuk mengendalikan dampak yang dapat muncul dari keberadaan limbah hasil industri
pengolahan hasil perikanan di Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
Tulisan ini terdiri atas 2 (dua) rumusan masalah. Rumusan masalah yang pertama
adalah mengenai limbah hasil industri pengolahan hasil perikanan secara umum beserta
dampak yang dapat muncul dari keberadaannya. Posisi penataan ruang sebagai instrumen
pengendalian dampak yang dapat muncul dari limbah hasil industri pengolahan hasil
perikanan kemudian menjadi rumusan masalah kedua yang dibahas dalam tulisan ini.
C. LIMBAH INDUSTRI PENGOLAHAN IKAN DAN DAMPAK YANG DAPAT

MUNCUL DARI KEBERADAANNYA
Fisheries and Aquaculture Departement dari Food and Agriculture Organization of the
United Nations (FAO) memberikan pengertian dari industri perikanan (fishery industry),
yaitu “includes both recreational, subsistence and commercial fishing, and the harvesting,
processing, and marketing sectors”.1 Itu berarti aktivitas yang tercakup dalam industri
perikanan adalah penangkapan rekreasi, tradisional, dan komersial, serta aktivitas lanjutan
berupa penyimpanan, pemrosesan, dan pendistribusian, dan pemasaran ikan.
Sementara itu, industri pengolahan hasil perikanan dalam Peraturan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/atau
Kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan dikenal dengan istilah usaha dan/atau kegiatan
1http://www.fao.org/fi/glossary/default.asp, diakses pada tanggal 1 November 2014.

pengolahan hasil perikanan, yang didefinisikan sebagai usaha dan/atau kegiatan di bidang
pengolahan hasil perikanan yang meliputi kegiatan pengalengan, pembekuan, dan/atau
pembuatan tepung ikan.2
Industri ini, yakni pengolahan hasil perikanan, di Indonesia umumnya masih
konvensional atau miniplan, dimana lokasi industri masih berdekatan dengan tempat
penangkapan ikan sebagai tempat penyediaan sumber bahan baku olahan. 3 Industri ini
sejatinya memberikan dampak positif bagi banyak pihak, seperti masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan industri, pelaku usaha, hingga pemerintah. Akan tetapi, sebagaimana

karakteristik industri pada umumnya, industri ini juga memiliki dampak negatif terhadap
lingkungan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dampak langsungnya berupa
pencemaran udara, pencemaran air dan pencemaran daratan, sedangkan dampak tidak
langsung yakni dampak yang berhububungan dengan masalah sosial masyarakat, bisa dilihat
dari tingkat urbanisasi, perilaku, kriminalitas, dan sosial budaya.
Penekanan pembangunan sektor perikanan selama ini lebih bersifat eksploitasi
sumber daya sehingga mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem lingkungan dan tidak
memperhatikan kualitas produksi dan nilai tambah ekonomis yang dapat diperoleh dari sektor
tersebut.4 Menekankan kepada dampak permasalahan terhadap lingkungan, limbah industri
ini pada kenyataannya telah menimbulkan pencemaran, dimana pencemaran yang terjadi
berakibat terhadap berkurangnya ikan yang bisa ditangkap dan menurunnya kualitas
lingkungan serta kesehatan masyarakat.5
Secara khusus, kualitas diri dari pelaku usaha di industri ini juga menjadi sorotan.
Rendahnya tingkat pemahaman IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) dan sistem
manajemen limbah menyebabkan sulitnya untuk mengelola limbah yang ada, sehingga
hampir semua limbah yang dihasilkan di wilayah ini langsung dibuang ke saluran umum.
Pembuangan limbah secara langsung ini menyebabkan tingginya tingkat pencemaran
lingkungan di sekitar lokasi industri.6
D. PENTINGNYA PENATAAN RUANG


2Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air
Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan.
3Oktavia, Dewi Ambarwati, dkk. Pengolahan Limbah Cair Perikanan Menggunakan Konsorsium Mikroba
Indigenous Proteolitik dan Lipolitik, Jurnal AGROINTEK, Vol 6 No 2, Agustus 2012., hlm. 1.
4http://www.menlh.go.id/menuju-industri-perikanan-ramah-lingkungan-dan-berkelanjutan/,
diakses
pada
tanggal 1 November 2014.
5Idem.
6Idem.

Penataan Ruang di Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang (UUPR), berorientasi untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berdasarkan wawasan nusantara
dan ketahanan nasional.7 Dalam penataan ruang, masyarakat juga memiliki posisi tawar yang
kuat kepada pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 60 UUPR. Berdasarkan pasal
tersebut, dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk mengetahui rencana tata ruang,
menikmati pertambahan nilai ruang, ganti rugi yang layak akibat pembangunan yang tidak
sesuai dengan RTRW, mengajukan keberatan, mengajukan pembatalan ijin, dan mengajukan
gugatan ganti kerugian akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan RTRW.

Di sisi lain, setiap orang, termasuk para pelaku usaha industri pengolahan hasil
perikanan, wajib menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan, memanfaatkan ruang
sesuai dengan ijin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang, mematuhi ketentuan
yang diterapkan dalam persyaratan ijin pemanfaatan ruang, dan memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai milik
umum.8
Selain UUPR, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
(UUPS) juga menekankan pentingnya penataan ruang yang baik untuk mencegah dampak
negatif dari industri pengolahan perikanan. Limbah dari industri ini dalam UUPS dapat
digolongkan sebagai sampah sejenis sampah rumah tangga (berdasarkan asalnya yang dari
kawasan industri) maupun sampah spesifik (berdasarkan potensinya sebagai sampah yang
mengandung limbah beracun dan berbahaya). Pemerintah kabupaten/kota, dalam hal
pengelolaan sampah, yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas
lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya, mempunyai kewenangan
menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pemrosesan sampah terpadu,
dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah. Penetapan lokasi tersebut merupakan bagian dari
rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dengan dijadikannya RTRW baik nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, sebagai
patokan pelaksanaan industri pengolahan hasil perikanan, limbah yang dihasilkan tentu tidak
mustahil akan bernilai positif. Melalui pengelolaan yang baik, limbah industri ini dapat

diolah, salah satunya menjadi chitin dan chitosan (bahan pengawet ikan selain garam).
DAFTAR PUSTAKA
7Sumardjono, Maria S.W., dkk. Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara yang Tersurat dan Tersirat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hlm 175.
8Ibid., hlm 181.

BUKU
Sumardjono, Maria S.W., dkk. 2011. Pengaturan Sumber Daya Alam di Indonesia, Antara
yang Tersurat dan Tersirat. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Wardhana, Wisnu Arya. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Andi Offset.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 6 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air
Limbah bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan
JURNAL
Oktavia, Dewi Ambarwati, dkk. Agustus 2012. “Pengolahan Limbah Cair Perikanan
Menggunakan Konsorsium Mikroba Indigenous Proteolitik dan Lipolitik”. Jurnal
AGROINTEK. Volume 6, Nomor 2.
Setiyono dan Satmoko Yudo. 2008. “Potensi Pencemaran dari Limbah Cair Industri

Pengolahan Ikan di Kecamatan Muncar, Kabupaten Banyuwangi”. JAI. Volume 4,
Nomor 2.
INTERNET
http://agro.kemenperin.go.id/1873-Limbah-Industri-Pengolahan-Perikanan-Dinilai-Potensial
http://www.fao.org/fi/glossary/default.asp
http://www.menlh.go.id/menuju-industri-perikanan-ramah-lingkungan-dan-berkelanjutan/