Sekilas Kekeringan di Asia Pada Milenium
Sekilas Kekeringan di Asia Pada Milenium Terakhir
Sandy H.S. Herho
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB)
Labtek IX, Jalan Ganesha 10, Bandung
sandyherho@meteo.itb.ac.id
Sistem monsun Asia diperkirakan terbentuk pada sekitar 10 juta tahun yang lalu, jauh
sebelum kemunculan manusia dalam rekaman geoarkeologi (Molnar, 2005 dalam Buckley, dkk.,
2014). Pada kurun Holosen Awal (Early Holocene), monsun musim panas jauh lebih kuat jika
dibandingkan dengan kondisi saat ini. Kekuatan monsun musim panas ini telah berkurang
sepanjang beberapa milenium terakhir sebagai konsekuensi perubahan insolasi (Kutzbach, 1981;
Wang, dkk., 2005; Maher, 2008 dalam Buckley, dkk., 2014). Perkembangan pesat dalam bidang
paleoklimatologi selama beberapa dekade terakhir, telah memungkinkan para peneliti untuk
mengetahui variabilitas kekuatan monsun Asia pada rentang waktu yang cukup panjang, melalui
pendekatan multi-proxy (inti sedimen laut dalam, inti es Himalaya – Tibet, sedimen loess,
speleothem, endapan batubara, dan rekaman cincin pohon) (Buckley, dkk., 2014). Gambar 1
menunjukan proxy monsun resolusi tinggi yang membentang sepanjang kurun milenium terakhir.
Beberapa bukti kuat terjadinya variabilitas kekuatan monsun sepanjang milenium terakhir
didapatkan di wilayah Tiongkok dan India (lokasi pengambilan data proxy dapat dilihat pada
Gambar 2). Kedua wilayah tersebut memiliki kepadatan populasi yang tinggi, dan oleh karena itu
fenomena perubahan kekuatan monsun tentunya meningkatkan kerentanan masyarakat yang
mendiami wilayah tersebut (Buckley, dkk., 2014). Sinha, dkk (2010) dalam Buckley, dkk. (2014)
menunjukan bahwa rekaman speleothem yang diambil dari Gua Dandak (terletak di wilayah ‘inti’
monsun India) memiliki kesamaan pola dengan speleothem yang diambil dari Gua Wanxiang,
Tiongkok (Zhang, dkk., 2008 dalam Buckley, dkk., 2014), dan rekaman cincin pohon dari Vietnam
(Buckley, dkk., 2010) (Gambar 1). Kesamaan pola ini juga terjadi selama kurun waktu abad ke –
14 dan 15, yang merupakan periode penuh gejolak di Asia Tenggara, Tiongkok, dan Eurasia Utara
(Buckley, dkk., 2014). Pada kurun waktu tersebut, terjadi disintegrasi Kemaharajaan Khmer dan
ibukota mereka ditinggalkan. Zhang, dkk (2008) dalam Buckley,dkk. (2014) juga mencatat bahwa
kekeringan juga mendorong terjadinya keruntuhan Dinasti Yuan pada tahun 1368. Pada kurun
tersebut juga terjadi kemunduran Kerajaan Tonkin yang terletak di wilayah Vietnam modern
akibat kekeringan dan kelaparan (Buckley,dkk., 2014).
Gambar 1. Berturut – turut dari atas ke bawah: rekaman speleothem O18 dari Gua
Wanxiang, Tiongkok (Zhang, dkk., 2008) dan dari Gua Dandak, India (Shen, dkk.,
2010); Palmer Drought Severity Index (PDSI) yang didapatkan dari cincin pohon di
wilayah sekitar Angkor, Kamboja (Buckley, dkk., 2010) ; dua hasil rekonstruksi
temperatur udara permukaan Belahan Bumi Utara dari PAGES Asia2K (garis biru dari
Cook, dkk. (2013) dan garis abu – abu berasal dari rekonstruksi multi-proxy oleh
Moberg, dkk., 2005); dan Insolasi yang didapatkan dari NOAA. Garis kuning
mengindikasikan kekeringan signifikan yang dibahas pada artikel ini.
(sumber: Buckley, dkk., 2014)
Monsoon Asia Drought Atlas (MADA) sebagaimana yang diteliti oleh Cook, dkk (2010)
menunjukkan, terjadi dua kekeringan utama pada akhir abad ke – 14 dan awal abad ke – 15 yang
dikenal sebagai Kekeringan Angkor I (Angkor Drought I) dan Kekeringan Angkor II (Angkor
Drought II) (Gambar 3(a) dan Gambar 3(b)). Anomali iklim pada periode ini juga tercatat pada
catatan sejarah (babad) di Hanoi dan Hue. Serat dari Lanna (bagian utara Thailand modern) juga
mencatat para Bikkhu dari Chiang Mai dideportasi secara paksa dari Sri Lanka akibat kekeringan
dan kelaparan di sana (Thera, 1967; Wyatt dan Wichienkeeo, 1998 dalam Buckley,dkk., 2014).
Gambar 2. Lokasi pengambilan data proxy milenium terakhir di Asia (titik merah
jaringan cincin pohon MADA, segitiga hijau data speleothem, dan bintang hijau
gabungan speleothem dan cincin pohon).
(sumber: Buckley, dkk., 2014)
Berdasarkan data MADA, pada abad ke – 16 dan 17, wilayah Asia mengalami kondisi
basah dan kering secara bergantian. Dinasti Ming di Tiongkok berakhir sebagai akibat dari
kekeringan tahun 1638 – 1641 diperlihatkan pada Gambar 3(c). Pada paruh kedua abad ke – 18
terjadi kekeringan panjang selama beberapa dekade, sehingga menyebabkan gejolak sosial di
wilayah ini. Strange Parallels Drought yang berlangsung pada tahun 1756 – 1768 dianggap
berkorespondensi dengan peristiwa huru – hara politik di hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
(Lieberman, 2003 dalam Buckley, dkk., 2014). Kekeringan dan Kelaparan Bengal (Bengali
Famine Drought) yang berlangsung pada tahun 1769 – 1773 (Gambar 3(d)), serta Kekeringan
India Timur (East Indian Drought) yang berlangsung pada tahun 1790 – 1796 (Gambar 3(f))
menghasilkan kelaparan dan kematian dimana – mana. Kekeringan pada paruh kedua abad ke –
18 mengakibatkan abad ini dikenal sebagai abad penuh huru – hara di Asia. Pelemahan sistem
monsun Asia pada abad – abad berikutnya umumnya dibandingkan dengan pelemahan sistem
monsun di paruh kedua abad ini.
Gambar 3. Peta PDSI MADA pada periode – periode kekeringan parah yang tercatat
dalam rekaman sejarah sepanjang milenium terakhir.
(sumber: Buckley, dkk., 2014)
Pada akhir abad ke – 19, terdapat dua kejadian kekeringan parah yang dikenal sebagai
Victorian Holocaust Drought. Kekeringan yang dipicu oleh kejadian El Nino ini berlangsung pada
tahun 1877 – 1879 dan 1888 – 1890 (Davis, 2001 dalam Buckley, dkk., 2014) (Gambar 3(g) dan
Gambar 3(h)). Dua kejadian kekeringan ini berdampak global dan menewaskan jutaan penduduk,
terutama di wilayah Asia Tenggara yang terkena dampak paling parah. Victorian Holocaust
Drought I mempunyai dampak global yang cukup signifikan, akan tetapi wilayah Asia merupakan
wilayah yang terkena dampak kematian dan kelaparan terparah (Davis, 2001 dalam Buckley, dkk.,
2014).
Daftar Pustaka
Buckley, B.M., dkk. (2010). Climate as a contributing factor in demise of Angkor, Cambodia.
Proc. Natl. Acad. Sci. 107, 6748 – 6752.
Buckley, B.M., dkk. (2014). Monsoon extremes and society over the past millennium on mainland
Southeast Asia. Quarternary Science Review. 95, 1 – 19.
Cook, E.R., dkk. (2010). Asian Monsoon Failure and Megadrought During the Last Millennium.
Science. 328, 486 – 489.
Sandy H.S. Herho
Program Studi Meteorologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian (FITB), Institut Teknologi Bandung (ITB)
Labtek IX, Jalan Ganesha 10, Bandung
sandyherho@meteo.itb.ac.id
Sistem monsun Asia diperkirakan terbentuk pada sekitar 10 juta tahun yang lalu, jauh
sebelum kemunculan manusia dalam rekaman geoarkeologi (Molnar, 2005 dalam Buckley, dkk.,
2014). Pada kurun Holosen Awal (Early Holocene), monsun musim panas jauh lebih kuat jika
dibandingkan dengan kondisi saat ini. Kekuatan monsun musim panas ini telah berkurang
sepanjang beberapa milenium terakhir sebagai konsekuensi perubahan insolasi (Kutzbach, 1981;
Wang, dkk., 2005; Maher, 2008 dalam Buckley, dkk., 2014). Perkembangan pesat dalam bidang
paleoklimatologi selama beberapa dekade terakhir, telah memungkinkan para peneliti untuk
mengetahui variabilitas kekuatan monsun Asia pada rentang waktu yang cukup panjang, melalui
pendekatan multi-proxy (inti sedimen laut dalam, inti es Himalaya – Tibet, sedimen loess,
speleothem, endapan batubara, dan rekaman cincin pohon) (Buckley, dkk., 2014). Gambar 1
menunjukan proxy monsun resolusi tinggi yang membentang sepanjang kurun milenium terakhir.
Beberapa bukti kuat terjadinya variabilitas kekuatan monsun sepanjang milenium terakhir
didapatkan di wilayah Tiongkok dan India (lokasi pengambilan data proxy dapat dilihat pada
Gambar 2). Kedua wilayah tersebut memiliki kepadatan populasi yang tinggi, dan oleh karena itu
fenomena perubahan kekuatan monsun tentunya meningkatkan kerentanan masyarakat yang
mendiami wilayah tersebut (Buckley, dkk., 2014). Sinha, dkk (2010) dalam Buckley, dkk. (2014)
menunjukan bahwa rekaman speleothem yang diambil dari Gua Dandak (terletak di wilayah ‘inti’
monsun India) memiliki kesamaan pola dengan speleothem yang diambil dari Gua Wanxiang,
Tiongkok (Zhang, dkk., 2008 dalam Buckley, dkk., 2014), dan rekaman cincin pohon dari Vietnam
(Buckley, dkk., 2010) (Gambar 1). Kesamaan pola ini juga terjadi selama kurun waktu abad ke –
14 dan 15, yang merupakan periode penuh gejolak di Asia Tenggara, Tiongkok, dan Eurasia Utara
(Buckley, dkk., 2014). Pada kurun waktu tersebut, terjadi disintegrasi Kemaharajaan Khmer dan
ibukota mereka ditinggalkan. Zhang, dkk (2008) dalam Buckley,dkk. (2014) juga mencatat bahwa
kekeringan juga mendorong terjadinya keruntuhan Dinasti Yuan pada tahun 1368. Pada kurun
tersebut juga terjadi kemunduran Kerajaan Tonkin yang terletak di wilayah Vietnam modern
akibat kekeringan dan kelaparan (Buckley,dkk., 2014).
Gambar 1. Berturut – turut dari atas ke bawah: rekaman speleothem O18 dari Gua
Wanxiang, Tiongkok (Zhang, dkk., 2008) dan dari Gua Dandak, India (Shen, dkk.,
2010); Palmer Drought Severity Index (PDSI) yang didapatkan dari cincin pohon di
wilayah sekitar Angkor, Kamboja (Buckley, dkk., 2010) ; dua hasil rekonstruksi
temperatur udara permukaan Belahan Bumi Utara dari PAGES Asia2K (garis biru dari
Cook, dkk. (2013) dan garis abu – abu berasal dari rekonstruksi multi-proxy oleh
Moberg, dkk., 2005); dan Insolasi yang didapatkan dari NOAA. Garis kuning
mengindikasikan kekeringan signifikan yang dibahas pada artikel ini.
(sumber: Buckley, dkk., 2014)
Monsoon Asia Drought Atlas (MADA) sebagaimana yang diteliti oleh Cook, dkk (2010)
menunjukkan, terjadi dua kekeringan utama pada akhir abad ke – 14 dan awal abad ke – 15 yang
dikenal sebagai Kekeringan Angkor I (Angkor Drought I) dan Kekeringan Angkor II (Angkor
Drought II) (Gambar 3(a) dan Gambar 3(b)). Anomali iklim pada periode ini juga tercatat pada
catatan sejarah (babad) di Hanoi dan Hue. Serat dari Lanna (bagian utara Thailand modern) juga
mencatat para Bikkhu dari Chiang Mai dideportasi secara paksa dari Sri Lanka akibat kekeringan
dan kelaparan di sana (Thera, 1967; Wyatt dan Wichienkeeo, 1998 dalam Buckley,dkk., 2014).
Gambar 2. Lokasi pengambilan data proxy milenium terakhir di Asia (titik merah
jaringan cincin pohon MADA, segitiga hijau data speleothem, dan bintang hijau
gabungan speleothem dan cincin pohon).
(sumber: Buckley, dkk., 2014)
Berdasarkan data MADA, pada abad ke – 16 dan 17, wilayah Asia mengalami kondisi
basah dan kering secara bergantian. Dinasti Ming di Tiongkok berakhir sebagai akibat dari
kekeringan tahun 1638 – 1641 diperlihatkan pada Gambar 3(c). Pada paruh kedua abad ke – 18
terjadi kekeringan panjang selama beberapa dekade, sehingga menyebabkan gejolak sosial di
wilayah ini. Strange Parallels Drought yang berlangsung pada tahun 1756 – 1768 dianggap
berkorespondensi dengan peristiwa huru – hara politik di hampir seluruh wilayah Asia Tenggara
(Lieberman, 2003 dalam Buckley, dkk., 2014). Kekeringan dan Kelaparan Bengal (Bengali
Famine Drought) yang berlangsung pada tahun 1769 – 1773 (Gambar 3(d)), serta Kekeringan
India Timur (East Indian Drought) yang berlangsung pada tahun 1790 – 1796 (Gambar 3(f))
menghasilkan kelaparan dan kematian dimana – mana. Kekeringan pada paruh kedua abad ke –
18 mengakibatkan abad ini dikenal sebagai abad penuh huru – hara di Asia. Pelemahan sistem
monsun Asia pada abad – abad berikutnya umumnya dibandingkan dengan pelemahan sistem
monsun di paruh kedua abad ini.
Gambar 3. Peta PDSI MADA pada periode – periode kekeringan parah yang tercatat
dalam rekaman sejarah sepanjang milenium terakhir.
(sumber: Buckley, dkk., 2014)
Pada akhir abad ke – 19, terdapat dua kejadian kekeringan parah yang dikenal sebagai
Victorian Holocaust Drought. Kekeringan yang dipicu oleh kejadian El Nino ini berlangsung pada
tahun 1877 – 1879 dan 1888 – 1890 (Davis, 2001 dalam Buckley, dkk., 2014) (Gambar 3(g) dan
Gambar 3(h)). Dua kejadian kekeringan ini berdampak global dan menewaskan jutaan penduduk,
terutama di wilayah Asia Tenggara yang terkena dampak paling parah. Victorian Holocaust
Drought I mempunyai dampak global yang cukup signifikan, akan tetapi wilayah Asia merupakan
wilayah yang terkena dampak kematian dan kelaparan terparah (Davis, 2001 dalam Buckley, dkk.,
2014).
Daftar Pustaka
Buckley, B.M., dkk. (2010). Climate as a contributing factor in demise of Angkor, Cambodia.
Proc. Natl. Acad. Sci. 107, 6748 – 6752.
Buckley, B.M., dkk. (2014). Monsoon extremes and society over the past millennium on mainland
Southeast Asia. Quarternary Science Review. 95, 1 – 19.
Cook, E.R., dkk. (2010). Asian Monsoon Failure and Megadrought During the Last Millennium.
Science. 328, 486 – 489.