10 Tahun Perang Melawan Teroris me di As

10 Tahun Perang Melawan Teroris[me] di Asia Tenggara 1

Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Ar-Raniry, Banda Aceh e-mail: abah.shatilla@gmail.com

Pendahuluan

Studi ini ditulis bukanlah ingin memberikan informasi mengenai studi teroris secara komprehensif. Demikian pula, studi tidak dimaksudkan untuk menelaah secara detail bagaimana Asia Tenggara menjadi ladang amal Jihad bagi beberapa kelompok teroris. Apa yang diinginkan dari kajian ini setelah menganalisa sekitar 10 tahun perkembangan Islam di Asia Tenggara, yaitu sebuah penjelajahan mengapa ideologi teror sangat subur di rantau Asia Tenggara. Tujuannya bukan hanya ingin memahami mengapa beberapa anak muda Islam terlibat di dalam upaya teror, namun juga ingin mencari apakah ideologi mati syahid itu murni datang dari agama Islam atau bukan. Apakah mereka yang mendesain munculnya kelompok teroris ini juga tidak bisa dikatakan sebagai bagian dari penebar teror.

Tentu saja tidak dapat dipungkiri bahwa tidak hanya 10 tahun terakhir, Indonesia khususnya telah menjadi medan jihad, tetapi juga seolah-olah ideologi teror tidak dapat dihentikan. Persoalan teroris di Asia Tenggara tidak dapat diketahui penyebabnya yang pasti, kecuali beberapa analisa yang menyebutkan bahwa ada keterkaitan antara teroris di Asia

Islam di beberapa negara di Asia tenggara seperti Malaysia, Thailand L L N‘ Namun, yang selalu menjadi perdebatan adalah bahwa adanya akar ideologi radikalisme di Indonesia sehingga gerakan-gerakan Islam garis keras tumbuh subur. 2 Disamping itu, beberapa

peristiwa sejarah di Indonesia selalu melibatkan Islam di dalamnya. Jadi, tidak mengejutkan jika kemudian Islam menjadi instrumen penting di dalam kehidupan bernegara di Indonesia.

Namun demikian, kehadiran Islam yang mulanya sebagai agama pada awal-awal abad ke-8, lalu kemudian diubah sebagai aset politik dalam bentuk pemerintahan islami setelah itu, tentu telah adanya pemahaman di dalam sejarah Islam Indonesia begitu dominan, dibandingkan

agama-agama lain. 3 Terlebih lagi, saat Indonesia dijajah oleh koloni Eropa, Islam kemudian diterjemahkan sebagai ideologi yang semangat jihad. Kenyataan ini tentu saja telah

mengakibatkan Islam sebagai alat pemersatu dibawah nilai-nilai nasionalisme di Indonesia. 4 Namun ketika Indonesia merdeka, peran Islam mulai direduksi dan bahkan sudah dikembalikan

pada porosnya sebagai agama murni. Akan tetapi upaya untuk menarik Islam sebagai kekuatan sosial dan politik tetap ada di tengah-tengah masyarakat Islam di Indonesia. Akibatnya, muncul beberapa ketegangan di dalam kehidupan bernegara mulai dari pemberontakan hingga gonta ganti sistem pemerintahan. Kenyataan sejarah ini menyebabkan isu menempatkan Islam di dalam struktur kekuasaan dan kehidupan sosial keagamaan masih diperdebatkan hingga hari ini.

1 ‗ -Politik dan Gerakan

The Aceh Institute , di Balai Senat Rektorat Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, 18 Januari 2014.

L‘

2 Lihat misalnya, (Azra 2003) (Mansurnoor, Radicalization of Islamic Discourse among Mulims in Southeast Asia: An Historical Reinterpretation 2003)

3 (Steenbrink 1984)

4 Baca misalnya (Maarif 1996)

Hal ini terlebih dipicu oleh upaya umat Islam di dalam mencari format kehidupannya yang lebih banyak memandang Timur Tengah sebagai contoh yang utama. Posisi Timur Tengah terhadap masyarakat di Nusantara sangat dominan, tidak hanya di dalam persoalan keimanan dan ideologi, tetapi juga dalam persoalan cara pandang masyarakat ( world view ). Hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negeri-negeri Melayu di seberang Selat Melaka. 5 Karena

itu, sentuhan Islam pada masyarakat pribumi atau bumiputera ternyata mengubah cara pandang mereka di dalam beberapa sendi. Walaupun ada yang mengatakan bahwa Islam tidak seluruhnya mengubah masyarakat di Nusantara, karena mereka memiliki budaya kuat, namun pada kenyataannya kehadiran Islam sedikit banyak mampu mengubah pola keyakinan mereka.

Di atas itu semua, ada serpihan demi serpihan pemahaman Islam telah menimbulkan konflik, tidak hanya terjadi di antara sesama Muslim, tetapi juga antara Muslim dan non-Muslim. Namun yang paling terkini mengenai masalah ini adalah persoalan teroris, dimana beberapa gerakan Islam radikal dipandang, walaupun dianggap memiliki keterkaitan historis dengan

sejarah Islam di Indonesia, telah mengganggu kehidupan umat beragama di negeri ini 6 dan telah mengacaukan sistem tatanan internasional. Untuk itu, studi ini ingin menjawab beberapa

pertanyaan yang terkait dengan persoalan ini, tentu saja bukan ingin memberikan jawaban salah dan benar, namun apakah persoalan teroris ini murni karena kesalahan umat Islam memahami agama mereka atau apakah ada pengendalian spirit untuk mematahkan argumen bahwa Islam

tidak mengenal kekerasan. 7 Walaupun perilaku teroris bukan murni hanya dari Islam, namun setelah perang dunia kedua, upaya untuk menarik Islam pada kutub kepentingan internasional

tidak dapat dinafikan. Untuk itu, telaah ini diharapkan mampu menjelaskan upaya menarik agama pada kutub radikalisasi, sehingga dengan demikian, akan sangat mudah menempatkan kenapa spirit teror itu berlaku pada umat Islam di Indonesia.

Di samping itu, untuk mencari jawaban atas kejadian teror selama sepuluh tahun terakhir di Indonesia dan di Asia Tenggara pada umumnya. Dalam 10 tahun terakhir konflik beragama di Indonesia Timur juga tidak dapat diabaikan, karena sangat terkait dengan sejumlah aksi teror. Karena itu, selama 10 tahun terakhir pula, kita banyak disuguhkan informasi atau data mengenai bagaimana jaringan teroris di Indonesia dan Asia Tenggara. Pada saat yang sama, beberapa pelaku juga sudah memberikan testimoni mereka mengenai alasan mengapa mereka terlibat di

dalam jaringan teroris internasional. 8 Kalau karya dari para akademisi juga tidak sedikit yang telah menyumbang terhadap studi teroris di Indonesia dan Asia Tenggara. Karya-karya tersebut

kadang terbit karena kepentingan akademik 9 atau kepentingan pendalaman untuk suatu kebijakan. 10 Namun upaya serius untuk mendalami gerakan Islam di Indonesia juga sangat mengemuka selama 10 tahun terakhir. 11 Ini belum lagi upaya di luar Indonesia untuk mengaitkan kejadian teroris dengan perkembangan gerakan Islam di Timur Tengah. 12

Selama 10 tahun kontribusi pada akademik dalam memberikan konsep-konsep di dalam memahami gerakan Islam, khususnya yang dipandang sebagai radikal dan bagian dari jaringan

5 (Azra 1999) (M. R. Othman 2005) (M. R. Othman 1994) (M. R. Othman 1998) (Kahn 2006)

6 (Bubalo and Fealy 2005) (Fealy 2005)

7 (Bustamam-Ahmad 2003)

8 (Samudra 2004) (Abas 2009)

9 (Abuza 2003) (Abuza 2004) (Abuza 2003) (Gunaratna 2002) (Gunaratna 2003) (Jones 2003) (Jones 2005b) (Jones 2005) (Jones 2003b) (Jones 2003c) (Jones 2005c)

10 Lihat misalnya (Desker 2002) (Desker 2002b) (Wright-Neville 2004)

11 (Anwar 2003) (Azra 2003) (Barton 2004) (Bustamam-Ahmad 2010) (Conboy 2004) (Damanik 2003) (Effendy 2004) (Hassan 2002) (Jamhari 2005) (Juergensmeyer 2003) (Sirozi

2005) (Umam 2006) (Jahroni and Jamhari 2004) (Wahib 2004) (Zada 2002)

12 (Dillon 2002) (Wilson 2001\2).

teroris. 13 Di dalam kondisi ini, Islam masih dipandang sebagai objek studi yang sangat menjanjikan. Bahkan ada yang berpendapat bahwa salah satu agenda masa depan adalah

bagaimana peran ilmu sosial dalam memahami agama Islam. 14 Karena itu, tidak mengejutkan bahwa di dalam jurnal internasional dan buku-buku di luar negeri, isu teroris dan peta gerakan

Islam masih sangat dominan, khususnya setelah peristiwa 11 September 2001. 15 Inilah yang menyebabkan studi ini ditulis karena secara akademik, akan sangat baik untuk memilah dan

memilih bagaimana Islam dipersepsikan selama 10 tahun terakhir. Di samping itu, pemaparan ini ingin memperlihatkan bagaimana pengaruh satu peristiwa terhadap sebuah perjalanan sejarah agama.

Perkembangan Studi Terorisme

Untuk mendalami studi terorisme atau gerakan keagamaan yang mengedepankan kekerasan amatlah sulit. Sebab ini dipicu oleh kesusahan di dalam melakukan analisa pada setiap lapisan unit analisis. Ini belum lagi dominasi analisis mengenai teror sudah banyak sekali, walaupun tidak ada hal yang baru selain mereka melakukan interpretasi terhadap ajaran Islam

seperti 16 jihad , alasan historis, dan alasan ideologi. Karena itu terkadang analisa di dalam studi teroris pun sudah diarahkan oleh para ahli teroris yang pada gilirannya muncul dominasi wacana

di dalam studi ini. Dalam hal ini dikutip pandangan Carlyle A. Thayer dari Australian Defence Force Academy (ADFA) yang mengatakan:

I have grown increasingly concerned about the public discourse on global terrorism by international terrorist specialists, regional security specialists and area studies/country specialists. In my view international terrorist experts have succeeded in colonizing the discourse and analysis of political terrorism in Southeast Asia. This has resulted in the

adoption of a homogenizing framework by regional security specialists. 17 Adapun kesusahan di dalam menganalisa adalah kesukaran di dalam memahami wacana teroris

baik pada skala international (Islam vs. Barat), regional (kenyataan bahwa ada konflik di beberapa negara ASEAN yang kadang kala sangat mudah ditarik pada kasus terorisme), 18

nasional (harus diakui bahwa setiap negara memiliki sejarah tersendiri mengenai peran Islam sebelum mereka merdeka); 19 dan lokal (dimana kadang kala ada hal-hal yang unik yang terjadi

pada tingkat lokal yang direpresentasikan sebagai bagian dari pemahaman international, regional, bahkan nasional). 20 Adanya isu teroris atau Islam pada masing-masing layer tersebut menyebabkan tertutup kemungkinan bagi Islam untuk berperan ketika masa-masa penjajahan atau kerajaan Islam. Upaya untuk membenamkan isu teroris pada setiap layer itu pun, dipicu oleh gerakan-gerakan Islam yang selalu menganggap aksi teror adalah jihad terbaik untuk keberhasilan misi mereka.

Hal di atas belum lagi dipicu oleh tumpang tindih di dalam memahami studi teroris,

21 y L ‘ y N‘ Sebagai contoh konsep-konsep Islam (mis. Jihad) dilihat dari kacamata studi keamanan, lalu

dikaitkan dengan sejarah Muslim yang pernah berperang, setelah itu muncul kesimpulan jihad memberikan kontribusi yang amat penting di dalam penumbuhan ideologi teror. Masuknya

13 (Bayat 2005) (Juergensmeyer 2003) (Voll 2007) (Wiktorowics 2004)

14 (C. Smith 2008)

15 (Abu-Rabi' 2002) (Desker 2002) (Jervis 2002)

16 Lihat misalnya (Connors 2006) (Hamilton-Hart 2005)

17 (Thayer 2003)

18 Lihat (Manyin 2003) (Rabasa 2004) (Rabasa 2001) (Ruland 2005) (Simon 2002)

19 (Brown 1995) (Islam 2005)

20 (Bustamam-Ahmad 2010) (Bustamam-Ahmad 2010b) (Jones 2010) (Jones 2002).

21 (Maulani 2002) (Maulani 2003) (Maulani 2003b) (Prados 2002) (Rubin 2010).

beberapa disiplin ilmu khususnya studi agama atau studi Islam ke dalam wacana teroris, telah mencampur adukkan basis epistemologi disiplin ilmu, karena semuanya berujung pada klaim untuk mempertegas ada yang keliru dengan umat Islam. Ini belum lagi persoalan mengenai Islam,

ditulis oleh mereka yang bukan ahli Islam. 22 Kejujuran di dalam studi teroris telah dibenamkan dengan upaya kepentingan politik global dengan menghapus rentetan sejarah mengenai apakah

teror itu bermula dari Islam. Untuk itu, essay ini ingin mendudukkan studi teroris ini secara umum dengan menepikan beberapa pra-anggapan mengenai konflik-konflik dan kepentingan pada level international.

Untuk itu, pengkajian ini bukan ingin mengkaji ulang tentang studi ini, melainkan ingin mendalami bagaimana sebenarnya studi ini telah merombak tatanan ilmu, baik di Barat maupun di Timur, ketika konflik kepentingan diarahkan pada bagaimana menempatkan agama pada objek. Proses pengarahan ini telah berlaku selama beberapa abad, mulai menjajah demi perluasan

agama hingga membunuh karena agama. 23 Bangunan ilmu tentu saja bukan ingin mengaduk-aduk sebuah persoalan atau menyembunyikan mana yang harus diungkapkan dan mana yang haru

disembunyikan. Jika produksi pemikiran yang merupakan bagian dari pengembangan keilmuan ternyata menyebabkan kematian atau aksi-aksi teror, maka yang perlu dijelaskan adalah menguraikan benang kusut ini dengan melihat persoalan secara komprehensif. Sudah pasti ini bukan persoalan yang mudah, sebab, di dalam kajian teroris misalnya, semua cabang ilmu dan fungsi ilmu sudah diarahkan pada: a) campur aduk antara klaim pada kenyataan bahwa di kalangan Islam ada teroris, khususnya ketika dikaitkan dengan beberapa konsep di dalam Islam

seperti jihad dan hirabah; 24 b) pemaksaan suatu konsep atau ide yang kemudian diwarnai dengan kekerasan lalu ada pemutaran logika untuk membenarkannya, karena ada kepentingan para pihak yang dinegosiasikan dengan ilmuwan supaya mereka menjustifikasi bahwa apapun yang mereka lakukan adalah dapat diterima secara ilmiah. Di kalangan para teroris, tidak sedikit ilmuwan yang sudah mencapai gelar akademik yang mampu menciptakan semangat teror. Demikian pula, mereka yang melawan teroris yang menggunakan kekerasan juga tidak sedikit dibantu oleh para ilmuwan. Pertanyaannya adalah apakah ilmuwan berperan aktif di dalam menciptakan suasana teror atau sebaliknya?

Karena itu, di dalam studi teroris, agak sulit memisahkan mana sebuah penyelidikan yang murni akademik atau penyelidikan sebagai studi kebijakan. Artinya, penggunaan metode- metode ilmiah untuk memutarbalikkan fakta atau menjadikan fakta sebagai legitimasi moral dan

agama untuk membuat kekerasan adalah fenomena yang tidak dapat dielakkan. 25 Dalam studi ini misalnya, ada keinginan untuk tidak memakai sumber-sumber dari studi kebijakan, namun karena dominasi kajian teroris pada arah pemikiran banyak ditelurkan dari studi kebijakan, maka hal ini tidak memberikan pilihan untuk melakukan hal sebaliknya. Sebagaimana dilihat nanti daftar pustaka, tidak sedikit rujukan dari studi teroris diambil dari lembaga-lembaga internasional yang memiliki pandangan terhadap studi terorisme selama 10 tahun terakhir. Namun demikian, sebisa mungkin akan dicari karya- y y

‘ 26 N

Ada beberapa alasan mengapa dipilih topik memperingati 10 Tahun Perang terhadap Teror di Asia Tenggara. Pertama , selama 10 tahun lebih telah dikumpulkan bahan mengenai teroris dan gerakan Islam di Asia Tenggara. Dalam 10 tahun terakhir telah ditempuh beberapa perjalanan mulai dari Aceh – Yogyakarta – Kuala Lumpur – Melbourne – Davao hanya karena keingintahuan tentang apakah benar masyarakat Islam sudah begitu mudah ditarik pada isu teroris. Dalam perjalanan ini saya telah melihat bagaimana kondisi umat Islam dan non-Islam di

22 Lihat (Bustamam-Ahmad 2010)

23 (D. L. Lewis 2008) (Stern 2005)

24 (Jackson 2002) (Jackson 2001) (Cook 2005) (Peters 1996) (El-Fadl 1999).

25 Lihat misalnya (Byman 2003)

26 Untuk melihat karya-karya tentang topik ini, baca (Mitchell and Hashmi 2005) 26 Untuk melihat karya-karya tentang topik ini, baca (Mitchell and Hashmi 2005)

hal yang menarik adalah pengalaman meneliti struktur masyarakat Islam ini kemudian menggiring pada sebuah gugatan di dalam pemikiran bahwa begitu banyak data yang telah dikumpulkan, maka kenapa tidak ditulis review

‘ Asia Tenggara, dengan memfokuskan diri pada Indonesia. Hal ini disebabkan selama perjalanan tersebut selain berusaha memahami masyarakat Islam, juga berkesempatan mendapatkan data-

yN QP terakhir, berhasil bertemu da ‘ terorist expert ‘ mencoba memahami bagaimana jalan pikiran mereka di dalam menyajikan ide mengenai studi teroris di Asia Tenggara. Jadi, studi ini bukanlah ingin memberikan informasi bagaimana

jaringan teroris di Asia Tenggara, melainkan menawarkan sebuah kajian pada bagaimana kajian teroris dan kontruksi pemikiran umat Islam yang dijadikan sebagai bahan kajian baik dalam ‘

N‘

28 Kedua , essai ini adalah kelanjutan dari karya penulis sebelumnya mengenai bagaimana dampak pemikiran Samuel P. Huntington dengan teorinya The Clash of Civilizations terhadap

Muslim. 29 Jadi, jika buku sebelumnya mencoba menganalisa 10 tahun terakhir paska- the Clash of Civilizations , maka makalah ini mencoba menganalisa dampak satu dasawarsa dari Perang

Melawan Teror dengan lebih menyempitkan kajiannya pada Asia Tenggara. Harus diakui bahwa selama 10 tahun terakhir karya-karya mengenai Islam – teroris – Islam radikal – memang telah membanjiri dunia intelektual. Beberapa sarjana menganggap studi ini sangat mendesak untuk dilakukan, karena dianggap perlu penjelasan secara akademik mengenai bagaimana dinamika

internal masyarakat Islam hingga menyebabkan munculnya teroris di Asia Tenggara. Demikian pula, selama 10 tahun terakhir, kita seolah-olah tidak punya ruang kajian yang lain, kecuali melihat Islam dari isu Khilafah Islamiyyah , Negara Islam, hukum Islam, radikalisme, Wahabisme, Salafism dan jihad . Agaknya apapun yang dilakukan oleh umat Islam, selalu dikaitkan dengan isu- isu tersebut. Pada saat yang sama, isu-isu global seperti human security , non-traditional security , kosmopolitan, HAM, gender, pluralisme, dan modernisme masih menempatkan diri mereka pada upaya tandingan untuk menaklukkan kesadaran internal umat Islam. Perang wacana ini telah berlangsung di kawasan ini secara sangat demonstratif. Sehingga perang ini pun membangkitkan kesadaran sosial umat Islam untuk melihat bahwa apapun yang datang dari Barat dianggap sebagai sesuatu yang harus ditolak dan disebarkan kepada masyarakat mereka. Dalam kondisi ini, perilaku masyarakat Islam ini dianggap bisa membangkitkan kebencian terhadap negara-

negara adi kuasa seperti Amerika Serikat dan sekutunya. 30

Berangkat dari dua alasan di atas, maka digabungkan keduanya menjadi alasan ketiga yaitu ada keinginan kuat untuk memberi kontribusi pada studi terorisme yang sudah marak selama 10 tahun terakhir. Walaupun isu terorisme ini muncul di Asia Tenggara selama dua dekade terakhir, namun karya dalam bahasa Indonesia yang menjelaskan bagaimana kita memahami terorisme sangatlah sedikit. Jika pun ada, karya-karya tersebut muncul dari

31 pengakuan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya 32 atau menjabarkan teori konspirasi, sehingga yang muncul adalah dominasi karya-karya yang berbahasa Inggris yang kadang kala, tidak

27 (Bustamam-Ahmad 2003b) (Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007) (Bustamam-Ahmad 2008)

28 (Bustamam-Ahmad 2003)

29 (Huntington 1997)

30 (Lim 2005) (Snyder 2003) (Sunstein 2005). Lihat juga (Esposito 2006) (Faath 2006) (Fealy 2003) (Pollack 2003)

31 (Abas 2009) (Awwas 2003) (Awwas 2001) (Jones 2009)

32 (Akaha 2002) (Junaedi 2003) (Conboy 2004) (Tempo 2003). Lihat juga (Dreyfuss 2005) (Shalih 2000) 32 (Akaha 2002) (Junaedi 2003) (Conboy 2004) (Tempo 2003). Lihat juga (Dreyfuss 2005) (Shalih 2000)

Ada apa dengan isu teror di Asia Tenggara selama satu dasawarsa terakhir. 34 Dengan kata lain,

y‘

N‘

Namun demikian, amat disadari jika kemudian titik tekan buku ini adalah mengenai teroris, bukan istilah lain. Walaupun istilah ini masih mengundang sejumlah perdebatan, sebagaimana akan dijelaskan pada bab berikutnya, namun perhatian internasional terhadap definisi teroris pun sangat mendominasi dalam literatur studi Islam ( Islamic studies ). Bahkan karena istilah ini pula pola studi Islam pun hampir terjungkir balik. Beberapa ahli Islam kemudian menjadi ahli teroris. Namun tidak sedikit ahli teroris yang sama sekali bukan dari ahli Islam. Sehingga jalur untuk membangun paradigma studi teroris pun tidak jauh berbeda dengan jalur membangun sebuah studi pertahanan, dimana Islam di dalamnya dijadikan sebagai bagian yang terpenting. Usaha ini tentu saja dapat menyebabkan posisi ilmu menjadi tidak lagi bebas nilai. Karena siapa yang paling berkuasa, maka dialah yang boleh menafsirkan kata-kata yang

‘ ‘ berubah me

yN

NL peran ilmu sosial ternyata masih sangat penting dalam membumikan istilah teror, tidak hanya dikalangan non-Muslim, tetapi juga umat Islam sendiri. Atas kenyataan tersebut, tertarik untuk

mengupas bagaimana permainan istilah di kalangan para ilmuwan, 35 khususnya yang berhubungan bagaimana menempatkan Islam dalam kutub yang serba salah. 36

Studi Terorisme di Asia Tenggara

Adapun fokus studi ini adalah Asia Tenggara dimana beberapa ahli menyebutkan sebagai surganya para teroris. 37 Namun demikian, negara-negara yang paling aktif dalam menangani isu

ini adalah Indonesia, Pilipina, Malaysia, Singapore, dan Thailand. Setelah tragedi 11 September 2001, Asia Tenggara memang mendapat perhatian dunia internasional, khususnya bagaimana Amerika membangun paradigma perang melawan teroris di setiap negara dan meyakinkan mereka bahwa teroris memang ada di Asia Tenggara. Jadi, setelah perang melawan teror ditabuh oleh pemerintah Amerika, maka situasi Asia Tenggara pun berubah total, khusus terkait dengan persoalan teroris. Dengan kata lain, ukuran hubungan negara-negara di Asia Tenggara,

pemerintah Amerika lebih mengukurnya pada tingkat keseriusan di dalam menangani teroris. 38 Namun pada saat yang sama, beberapa sasaran teroris di Asia Tenggara pun selalu dikaitkan dengan simbol-simbol Amerika dan sekutunya. Bom-bom yang meledak, khususnya di Indonesia, terkadang menjadi pesan kepada Amerika secara simbolik untuk mengubah tingkah laku

pemerintah terhadap umat Islam. 39 Hanya saja, sampai saat ini, menurut kabar resmi hanya dua orang teroris yang ditangkap di Asia Tenggara oleh pemerintah Amerika Serikat yaitu Hambali

dan Omar al-Farouq. 40 Keduanya diduga sebagai penghubungan sel al-Qaeda di Asia Tenggara.

33 (Rabasa 2001)

34 Lihat misalnya (Fealy and Hooker 2006)

35 Lihat misalnya (Bhatia 2005) (Derian 23-37) (Schmid 2004)

36 (B. Lewis 2002) (B. Lewis 2003)

37 (Ramakrishna and Tan, Is Southeast Asia A "Terrorist Heaven"? 2003) (Sidel 2003)

38 (Niksch 2003) (Boyce 2004) (A. L. Smith 2003) (TAF and USINDO 2002)

39 (Sunstein 2005)

40 (Conboy 2004)

― Islamiyyah. Organisasi ini dipercayai sebagai veteran Perang di Afghanistan pada masa Perang Dingin telah melakukan sekian aksi teror selama 10 tahun terakhir. Namun demikian, pada tingkat negara, ada beberapa organisasi Islam juga yang diduga kuat merupakan bagian dari

― yy N Studi ini tentu saja bukan lagi ingin melihat apakah gerakan ini benar adanya, namun ingin mendalami bagaimana pengaruh veteran Perang ini di Asia Tenggara melalui jaringan hingga mampu merekrut pengantin demi pengantin untuk melakukan aksi-aksi teror di kawasan ini. Hal ini sekali lagi tidak ingin menyebutkan bahwa jika pada level internasional, publik diarahkan pada gerakan Al-Qaeda, sedangkan pada level Asia Tenggara

-Qaeda dan ―

yy N

yy Tenggara. 41 Pada masing-masing negara masih ada lag ‘

seperti KMM di Malaysia, MMI di Indonesia, 42 Moro National Liberation Front (MNLF) dan gerakan Abu Sayyaf di Philippina, 43 dan konflik di Thailand Selatan bahkan sudah ditarik pada bagian dari gerakan teroris di Asia Tenggara. 44 Adapun di Singapura, nama JI masih dipandang

y 45 ‘ ‘ N

Jadi, Asia Tenggara selama 10 tahun terakhir, khususnya setelah krisis pada tahun 1997- 1997, telah mengalami suatu sejarah perang melawan teror. Harus diakui selama tahun terakhir juga beberapa kepala negara di kawasan ini, terutama Indoneia, Malaysia, Singapura, dan Philippina juga telah mengalami pergantian melalui gerakan reformasi. Di dalam hal ini, Indonesia mencontoh contoh penting bagaimana kemunculan gerakan Islam paska-reformasi, seperti Lasykar Jihad, MMI, HTI, FPI, dan lain sebagainya. Tidak sedikit muncul gerakan sosial keagamaan yang menuntut adanya pergantian rezim untuk mendirikan pemerintahan sendiri dengan menuntut kemerdekaan dari negara induk, seperti di Indonesia (Aceh, Papua, dan Timur Timor), Thailand (Pattani, Yala, Narathiwat), Filiphina (Mindanao). Demikian juga gejolak konflik antar agama seperti di Maluku, Ambon, dan Poso ternyata tidak sedikit yang dikaitkan dengan jaringan teroris di Asia Tenggara. Beberapa gerakan Islam menganggap ketiga kawasan

dengan Buddha. Sedangkan di Mindanao konflik masih terus terjadinya antara Muslim dengan pemerintahan Manila yang mayoritas beragama Kristen.

Isu teroris di Asia Tenggara juga subur manakala ada konflik internal dan juga pengaruh dari konflik di Timur Tengah, khususnya ketika Perang Dingin ( Cold War ) dan konflik negara- negara Arab dengan Israel. Akar-akar konflik ini bertemu di dalam satu kepentingan yaitu menegakkan Khilafah Islamiyyah dan menghancurkan simbol-simbol kekuatan Barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Artinya perang melawan teror sendiri sudah menjadi sebagai ajang untuk memunculkan konflik pada level internasional dengan menggabungkan

dengan isu-isu yang merupakan warisan sejarah hubungan Islam dengan Barat. 46 Karena itu, kajian ini mencoba mengulas bagaimana pertemuan isu tersebut di dalam kerangka persoalan

teroris selama 10 tahun terakhir di Asia Tenggara. Tegasnya, studi ini ingin memilih dan memilih pertemuan isu, mulai dari kemunculan isu teroris itu sendiri hingga pada banyaknya anak muda

41 (Abuza 2004) (Abuza 2002)

42 (Ahnaf 2004) (Awwas 2003) (Awwas 2001) (Zada 2002)

43 (Gutierrez and Borras 2004) (Santos, Peace Negotiations between the Philippine Government and the Moro Islamic Liberation Front: Causes and Prescriptions 2005)

44 (Abuza 2005) (ICG 2005) (Tan-Mullins 2006) (I. Yusuf, Faces of Islam in Southern Thailand 2007).

45 (Desker 2003) (Gee 2002) (Sebastian 2005) (Ministry of Home Affairs Republic of Singapore 2003)

46 (Chau 2008) (Glassman 2005) (Noor 20067) (Ramakrishna 2005) (Tang and Ramakrishna 2004) (Vaughn 2004)

Islam yang memiliki komitmen untuk melakukan aksi-aksi bom bunuh diri, seperti yang terjadi di Indonesia.

Pergumulan Mencari Data dalam Studi Teroris

Selama 10 tahun terakhir penelitian ini disiapkan. Untuk mendapatkan data, maka selain publikasi baik nasional maupun internasional, pun telah berada di beberapa kawasan untuk ‘

RPPQ

teror diproklamasikan oleh pemerintah Amerika Serikat, saya berada di Yogyakarta dan Malaysia. Setelah itu saya melanjutkan studi master di Universitas Malaya dengan konsentrasi Politik Islam di Asia Tenggara. Selama menjadi mahasiswa di Kuala Lumpur, saya menyempatkan diri untuk terus menggali berbagai data tentang gerakan Islam dan isu terorisme di pentas global. Tahun 2002-2003, saya kembali ke Indonesia untuk menjadi dosen luar biasa pada Fakultas

, saya mengikuti perkembangan ini hingga menghasilkan buku 47 Satu Dasawarsa The Clash of Civilizations (2003).

y―

Tahun 2004 saya pun membelokkan studi ke dalam kajian perbandingan hukum Islam di Asia Tenggara, sekedar untuk membuktikan apakah benar mereka yang menerapkan hukum Islam terkait dengan isu terorisme atau radikalisme. Saat itu, saya mengambil studi kasus Aceh dan

Kelantan. Hasil penelitian ini pun kemudian diterbitkan pada tahun 2009. 48 Selama tahun-tahun tersebut saya masih mengumpulkan bahan dari berbagai sumber untuk mendalami gerakan Islam

di Asia Tenggara. Pencarian bahan ini berlanjut hingga tahun 2005 dimana saya menjadi staf pengajar di salah satu kampus di Thailand Selatan yaitu Universitas Walailak. 49 Disini diikuti perkembangan gejolak di Thailand Selatan. Saya sempat berjumpa dengan beberapa peneliti Islam dan konflik di Asia Tenggara. Dari mereka didapatkan banyak informasi bagaimana memahami duduk perkara di kawasan konflik. Di kawasan tersebut, juga kerap mendengarkan penuturan orang Melayu dari Asia Tenggara tentang mengapa mereka berontak terhadap pemerintah Thailand dan kenapa mereka tidak mau dicap sebagai teroris, karena mereka menuntut kemerdekaan. Mereka lebih merasa sebagai orang Melayu ketimbang sebagai orang Thai.

Selama disana, sempat menyempatkan diri untuk terus membidik studi tentang gerakan Islam di Asia Tenggara, dengan memfokuskan pada Malaysia. 50 Karena dalam asumsi saya,

Malaysia berperan penting di dalam konflik di Thailand dan isu terorisme di Indonesia. Dari beberapa hasil interview dengan mereka yang terlibat di dalam konflik di Thailand Selatan, hampir semua menyimpulkan bahwa Malaysia berperan aktif di dalam membangkitkan sentimen Melayu di kawasan tersebut. Walaupun ini interview off the record , saya tidak punya alasan lain. Beberapa personel intelijen Thailand pernah ditangkap di Malaysia, ketika mereka hendak melaporkan bahwa ada aktivitas yang merugikan Thailand di Malaysia. Begitu juga salah seorang dosen dari Pattani menceritakan bagaimana keterlibatan pihak-pihak keluarga yang punya pengaruh di Malaysia terhadap konflik di Thailand Selatan. Semua data ini tentu saja tidak bisa diverifikasi ulang kepada pemerintah Malaysia. Karena itu, saya menganggap asumsi ini perlu pembuktian, ketimbang saling klaim satu sama lain.

Setelah berada di Thailand Selatan, tahun 2006 pindah ke Melbourne, Australia untuk menempuh studi doktoral di Universitas La Trobe. Dalam bulan-bulan awal di kampus tersebut menghabiskan jam-jam penelitian kepustakaan dengan membaca karya-karya tentang terorisme. Pada saat yang sama, juga menonton beberapa rekaman liputan wartawan asing mengenai terorisme di Asia Tenggara, khususnya di Asia Tenggara. Bahan-bahan tersebut akhirnya tidak

47 (Bustamam-Ahmad 2003)

48 (Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007)

49 (Bustamam-Ahmad 2007)

50 (Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007) 50 (Bustamam-Ahmad 2009) (Bustamam-Ahmad 2007)

yy tersimpan dalam database . Karena itu, jika dalam draft ini banyak rujukan atau jurnal-jurnal internasional, maka itu semua didapatkan karena fasilitas perpustakaan yang diperoleh di kampus ini. Dalam mencari data, diupayakan untuk melihat dari sumber yang sudah dipublikasikan, bukan testimoni teroris seperti yang banyak digunakan oleh beberapa peneliti teroris atau hasil- hasil investigasi intelijen di Asia Tenggara.

Untuk melengkapi studi lapangan, saya pun memadukan antara data yang didapatkan di Yogyakarta, Jakarta, Kuala Lumpur, Thailand Selatan dengan penelitian lapangan saya selama

14 bulan. Saat itu, memang tidak mengkaji terorisme, namun dilakukan penelitian etnografi pada

L ada beberapa hal yang didapatkan yang kemudian menjadi bahan utama menulis laporan disertasi. Namun demikian, data-data yang tidak terkait dengan topik disertasi yang pernah ditemukan selama penelitian ini tersimpan rapi. Misalnya, ada sekelompok tentara khusus di Malaysia yang purnawirawan yang pernah berlatih membuat bom di Russia. Demikian pula, saya bertemu dengan beberapa veteran perang di Afghanistan. Disamping itu, jejaring bawah tanah beberapa

sebuah organisasi transnasional Islam 51 y ―

Pakistan. Setelah itu, kembali ke Aceh. Secara tidak langsung menjadi penonton terhadap beberapa

peristiwa penting, baik di Jakarta seperti bom maupun di Aceh ketika terbongkarnya jaringan terorisme dengan penyergapan di kamp pelatihan di kampung Jalin Aceh Besar pada bulan Februari 2010. Semua peristiwa memang terkait satu sama lain, mulai dari Afghanistan ke Mindanao, dari Pamulang dan Pemalang sampai ke Aceh. Agaknya titik terakhir isu teroris di Indonesia berhenti di Aceh, manakala terjadi kontak tembak antara aparat keamanan dengan kelompok teroris pada tanggal 22 Februari 2010. Dapat dikatakan, bahwa perjalanan isu teroris di Asia Tenggara, hampir seperti perjalanan isu radikalisme hingga separatisme. Dalam situasi ini, kadang kita menjadi penonton atau hanya sekedar melihat apakah ada penjelasan yang komprehensif mengenai semua perjalanan isu ini di Asia Tenggara. Penjelasan yang kerap muncul dalam studi terorisme, sejauh yang diamati, bahwa ada hubungan kuat antara Asia Tenggara dengan Afghanistan dan Pakistan. Namun demikian, negara seperti Libya juga banyak menyumbangkan spirit perlawanan di Asia Tenggara, khususnya ketika mereka memberikan latihan kepada kelompok separatis, khususnya di Aceh dan Mindanao, tidak begitu dimunculkan dalam studi teroris, tetapi lebih pada kajian tentang separatis.

Selain itu, isu terorisme tidak jauh dengan isu permainan intelijen, baik pada skala regional maupun internasional. Proses penyusupan agen dalam tubuh gerakan Islam pun dapat diamati dengan baik. Walaupun ini kemudian menyisakan sejumlah pertanyaan seperti bagaimana spirit teror dibudidayakan hingga menjadi sebuah persoalan besar selama 10 tahun terakhir di

Asia Tenggara. 52 Disinilah posisi yang cukup dilematis bagi peneliti gerakan Islam. Isu yang dialami amatlah sangat menantang, namun keselamatan dan gerak gerik selalu dipantau oleh

aparat keamanan di beberapa negara. Laporan ini memang mengejutkan ketika misalnya ada warga asing yang paham betul bagaimana sepak terjang di Asia Tenggara. Begitu juga nama

y ‘ ‘ di Indonesia, karena saya pernah mencoba mewawancarai beberapa pentolan GAM ketika melakukan penelitian mengenai isu separatisme di

Aceh pada tahun 1999. Karena itu, dalam melakukan penelitian yang cukup menantang ini terkadang kita tidak tahu siapa yang kita hadapi atau wawancarai, kecuali ada informasi lain

51 Mengenai kajian mengenai transnasional Islam, baca (Mandaville 2009)

52 (Abduh 2003) (Junaedi 2003) (Maulani 2003) (Maulani 2003b) (Dreyfuss 2005) (Ridwan 2008) 52 (Abduh 2003) (Junaedi 2003) (Maulani 2003) (Maulani 2003b) (Dreyfuss 2005) (Ridwan 2008)

Terkait dengan kualitas data atau data yang bisa dipercaya, saya sedikit dilematis. Hal ini disebabkan dalam studi teroris, jika menulis terlalu detail, maka boleh jadi data yang didapatkan hasil dari investigasi ke dalam jaringan tersebut. Selain itu, boleh jadi sang peneliti dituduh mendapatkan data atau informasi dari dinas intelijen. Karena itu, sampai sekarang informasi mengenai jejaring terorisme masih sangat dikuasai oleh dinas intelijen. Sangat mungkin data tersebut diberikan kepada peneliti atau terrorist expert yang menulis mengenai jejaringan terorisme. Demikian juga, jika terlalu banyak merujuk pada kelompok yang lebih mengedepankan teori konspirasi, maka titik analisanya tidak akan pernah jauh dari Amerika versus Islam. Dalam hal ini, data mengenai terorisme, khususnya beberapa pengakuan teroris selama diinterogasi memang telah dimiliki oleh beberapa negara seperti Amerika Serikat, Belanda, Australia, dan Singapura. S y

L y sudah terpublikasikan maupun tidak terpublikasikan. Dalam hal ini, saya akan banyak merujuk pada data yang telah terpublikasikan, mulai dari buku, jurnal, hasil penelitian, majalah, koran, dan catatan-catatan pribadi yang bisa diakses oleh publik.

Semua data di atas dijadikan sebagai alat analisa dengan mempertimbangkan bahwa y

yL y paling radikal dalam menulis atau menganalisa, harus dilihat siapa yang berada dibaliknya dan kenapa dia terlalu keras dan tidak pernah dijamah oleh aparat keamanan. Demikian pula, ada beberapa tokoh gerakan Islam yang ternyata tidak hanya berjuang untuk agamanya, namun juga demi kepentingan negaranya. Sebagai contoh, hasil penelitian Sidney Jones melalui ICG ( 53 International Crisis Group ) dianggap paling berkualitas oleh pihak internasional. Sementara

‘y

N‘

bagi pihak yang dirugikan, mereka menganggap data- 54 y ‗ N‘ Namun harus diakui, bahwa dalam studi terorisme di Asia Tenggara nama Sidney dan ICG tidak pernah

y mendapatkan informasi dari aparat keamanan, baik secara langsung maupun tidak langsung, atau melalui jasa pewawancara yang ditugasi untuk melakukan investigasi tentang teroris di suatu kawasan N

NW

― yy dianggap sebagai pengkhianat oleh kawannya. Namun demikian, dia dianggap sebagai

k kawan seperjuangannya yakni Imam Samudra. Disini data-data yang mereka tampilkan bisa jadi utuh, tetapi konteks kepentingannya boleh jadi tidak utuh lagi.

Kaji Ulang Makna Teroris: Man of Terror Versus Man of War Ketika tragedi 11 September 2001, majalah Times menurunkan laporan khusus mengenai

situasi kesedihan yang menimpa pemerintah Amerika Serikat. Pada edisi 24 September terlihat George W. Bush sedang mengirim pesan kepada para teroris di seluruh dunia. Pesan inti dari akibat tragedi ini adalah Amerika sedang berada dalam sebuah perang. Musuh utamanya adalah Osama bin Laden yang wajahnya ditampilkan pada halaman 47 dengan gambar yang berwajah

merah darah. 55 Sejak bulan September hingga hari ini, nama Osama bin Laden menjadi sangat terkenal. Berbagai karya menyebutkan bahwa dia merupakan salah seorang Man of Terror .

Ketika orang mendengar nama Osama bin Laden, selalu dikaitkan dengan organisasi teroris yang

diburu di seluruh dunia yaitu Al-Qaeda. 56

‘ better than anything available from intelligence agencies ‘

53 Menurut staf

(ICG 2003, 13).

54 (Awwas 2003, 45-47) (Junaedi 2003, 57-62).

55 (Beyer 2001, 47).

56 Tentang al-Qaeda baca misalnya (Byman 2003) (Doran 2002)

Sembilan tahun kemudian tepatnya bulan Februari, majalah Times kembali menurunkan laporan yang bertajuk Man of War yaitu Robert Gates. Dia adalah orang nomor wahid di lingkungan pemerintahan Amerika Serikat yang telah berjasa menciptakan beberapa kebijakan perang sejak tahun 1974 hingga pada masa pemerintahan Obama. Pada tahun 1974-1977 dia bertugas sebagai staf di Dewan Keamanan Amerika Serikat dibawah pemerintahan Ford. Kemudian pada era Carter, Robert Gates adalah ahli dalam bidang Uni Sovyet dalam tubuh CIA. Sementara pada masa Reagan (1981-1989), dia menjadi wakil direktur CIA. Karir dalam bidang intelijen kembali naik ketika dia menjadi Direktur CIA pada masa Goerge Bush (1989-1993). Lalu pada masa George W. Bush selama 8 tahun menjadi Sekretaris Keamanan (2001-2009). Akhirnya,

pada tahun 2009 diangkat menjadi Sekretaris Keamanan pada pemerintahan Obama. 57 Sehingga Times menetapkan Robert Gates sebagai Man of War . Artinya tidak sedikit operasi intelijen dan keputusan perang bisa jadi muncul dari Man of War ini. Bahkan menurut para Mujahidin Afghan

58 ‘ N‘

Dari sosok Man of Terror dan Man of War inilah kemudian muncul slogan dari Bush yaitu 59 War Against Terror paska 11 September 2001. Jadi, secara bahasa ini adalah perang

antara sosok seperti Osama bin Laden dengan Robert Gates. Titik pertemuan mereka adalah ketika perang dingin ( Cold War ) dimana Amerika melatih Mujahidin untuk melawan tentara Uni Sovyet. Dalam laporan mengenai Robert Gates sebagai Man of War

:‘ As deputy director of intelligence at the CIA in the 1980s, he signed off on the decision to ramp up U.S. aid to the mujahedin, including the supply of Stinger anti air craft missiles . 60 Tentu saja hal-hal seperti ini tidak akan dijumpai dalam kajian teroris di Asia Tenggara, khususnya kajian kebijakan mengenai teroris, yaitu adanya perang antara Man of Terror dan Man of War yang disatukan menjadi War Againts Teror . Sosok Osama bin Laden sampai hari ini masih misterius, walaupun sudah meninggal dunia di Pakistan. 61 Semua orang yang dekat dengannya ditangkap atas nama jaringan

teroris al-Qaeda. Khususnya untuk Asia Tenggara, jaringan yang selalu dikaitkan dengan al- Qaeda adalah Jemaah Islamiyyah. Lebih dari itu, berbagai operasi intelijen dilakukan untuk

‘ 62 ‘ roris dari masyarakat umum yang kemudian ditahan di Guantamo. Jika Robert Gates mengatur strategi perang di gedung yang dipenuhi dengan alat-alat yang super canggih,

yL

L semuanya berujung pada kematian demi kematian atas nama ideologi yang diyakini oleh masing- masing pihak yang berada di belakang Man of Terror (MoT) dan Man of War (MoW. 63

N‘

Untuk membuktikan bagaimana peran dan pengaruh dari MoT dan MoW , maka dapat dihubungkan dengan salah satu program yang dikenal dengan istilah the Project for a New American Century (PNAC), sebuah lembaga think tank yang menyusun bagaimana perang harus terjadi, khususnya di Iraq dan kaitannya dengan 9/11. 64 Lembaga ini memang didesain bagaimana MoW 65 mampu menciptakan keputusan-keputusan penting dalam menjalankan misi perang.

Disebutkan bahwa PNAC beranggotakan pegawai pemerintahan dan juga para penerbit dan orang-orang yang mengendalikan berita media massa. Mereka juga mampu mengakses sumber- sumber berita yang punya kaitan dengan PNAC. Selain itu, mereka adanya perhatian yang sama

57 (Rubin 2010, 23).

58 (Rubin 2010, 22).

59 Lihat misalnya (Bush 2001)

60 (Rubin 2010, 22).

61 Lihat misalnya proses perburuan Osama dalam beberapa operasi intelijen Amerika dalam (Miniter 2003)

(Ayres 2005) (Yin 2005)

63 (Phillips 2006)

64 (Altheide and Grimes 2005, 617)

65 Lihat misalnya pengalaman Robert Gates ketika berada dalam keputusan penting dalam sebuah peperangan di Amerika Serikat dalam (Gates 2008).

di kalangan pemimpin politik dan jurnlis mengenai 9/11 dan pemahaman yang sama juga terhadap kerja sama untuk melindungi Amerika Serikat. 66 Tentu saja MoW akan berada di pihak

ini. Sedangkan MoT akan menjadi musuh dalam permainan perang ini. Salah satu kawan saya dari Arab Saudi pernah berkelakar dengan saya bahwa di Timur

L :‘ I kill me then kill you A‘ y y tidak paham dengan kalimat ini. Namun sang teman hanya tersenyum dan tidak mau menjelaskan apa makna ungkapan tersebut. Lalu saya pun mencoba menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti : saya bunuh saya kemudian bunuh kamu! Setelah agak lama memikirkan, saya pun dapat menangkap makna dibalik ungkapan itu. Teman saya menyebutkan ini adalah kata lain dari bom bunuh diri. Tentara asing di Timur Tengah paham betul akan arti dari ungkapan atau bahasa tubuh. Ketika saat konflik di Aceh ada ungkapan di kalangan aparat keamanan

N‘ -lagi ada makna tersembunyi mengenai pesan kekerasan yang dibalik ungkapan-ungkapan tersebut. Candaan yang membawa maut memang bisa menjadi bahan tertawaan, namun sangat mengerikan jika kemudian tidak sedikit bom bunuh diri yang dilakukan oleh para teroris, tidak hanya dari Islam, tetapi juga dari non-Islam. Ketika beberapa aktor bom bunuh diri di Indonesia, mereka malah dipanggil dengan nama pengantin . Jadi, saat mereka meledakkan diri dan beberapa orang di sekitarnya tewas, maka dia sedang melakukan pesta perkawinan. Apakah mereka kawin dengan

y:‘

yL

maut? Tentu saja disitu ada proses yang tidak begitu singkat ketika seseorang dijadikan pengantin .

Namun demikian, dalam majalah Times edisi 24 Maret 2003 terdapat laporan dengan judul 67 An American Family Goes to War. Dalam laporan ini ditunjukkan sikap patriotik sebuah

keluarga Amerika yang mengabdikan diri mereka terhadap bangsanya untuk berperang di Iraq pada masa pemerintahan Bush. Sang istri dan suami meninggalkan anak mereka yang bernama Lauren, konon disebutkan mereka selalu tidak bisa menikmati momen-momen terbaik di dalam keluarga mereka, karena perang di Perang Teluk. Disini tentu saja keduanya bukan pengantin yang rela menyumbangkan nyawanya seperti teroris. Sebab mereka datang ke Teluk bukan berpelisiran, melainkan mengatur siaat perang bagaimana menghabisi sebanyak mungkin musuh di medan tempur. Selama orang tuanya berperang di Iraq, anaknya menuturka :‘ I like sleeping

[Saya lebih suka tidur di rumah kawan selama satu bulan. Tetapi ini bukan rumah]. 68 Sekarang mari kita bandingkan dengan keluarga teroris yang melakukan hal serupa, meninggalkan anak dan istri demi jihad. Sang istri terkadang harus banting tulang untuk menghidupi keluarga. Bahkan tidak jarang ketika suaminya tertangkap atau tewas di medan jihad, mereka pun harus berurusan dengan aparat keamanan. 69 Pengalaman

keluarga Richardsons tentu sama dengan keluarga para teroris, yaitu selama mengabdikan diri untuk negara dan agama, keluarga seolah-olah hilang momen terpenting. Ini belum lagi jika anggota keluarga mereka gugur atau tewas di dalam misi seperti Victor Lu yang berasal dari

Vietnam pindah ke Amerika dan anak mereka tewas di dalam medan pertempuran. 70 Pertanyaannya adalah apakah kita bisa menukar posisi keluarga teroris dengan keluarga

Richardson dan Victor Lu di Amerika Serikat? Tentu saja tidak, karena masing-masing identitas sudah dibangun sesuai dengan ideologi.

Kepiawaan keluarga Richardson dalam ilmu infanteri sama dengan kepiawaan para teroris termasuk membaca peta. Pada intinya perilaku mereka sama, namun berbeda cara pandang

66 (Altheide and Grimes 2005, 619)

67 (Gibbs 2003)

68 (Gibbs 2003, 34).

69 "Akta Keselamatan Dalam Negeri: Suami Jadi Mangsa, Isteri Menderita," SIASAH , September 2001.

70 (Powell 2005) 70 (Powell 2005)

diperlihatkan di dalam media massa. Tentu saja pengaruhnya cukup luar biasa, tidak hanya pendukung terorisme, tetapi juga bagi penentangnya yang kemudian melegalkan upaya mereka untuk melakukan hal-hal yang bersifat teror. Namun ketika berbicara mengenai kemanusiaan atau kemaslahatan, tidak jarang pengikuti MoW and MoT tidak bisa berbuat banyak, selain mengatakan itu adalah bagian dari sebuah perjuangan demi agama atau bangsa. Ketika 9/11 2001 terjadi, Amerika Serikat memproklamirkan dengan statemen yang cukup mengejutkan yaitu:

We are at war (Kita dalam sebuah peperangan). 72 Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh MoT ketika mempublikasikan perintah jihad untuk membunuh Amerika dan sekutunya dimana pun di seluruh dunia. 73

Di kalangan MoW , perang dilakukan untuk membasmi teroris. Di kalangan MoT , teror dilakukan untuk membasmi kafir yang telah menganggu kehidupan mereka. Jejaring di MoT ditangkap di seluruh dunia, kecuali MoT itu sendiri. Jejaring MoW dianggap sebagai pahlawan dan bagi mereka perang adalah seni mempertahankan diri dari musuh. Perang wajib dilakukan.

Susan Bassnett dari Univerity of Warwick juga memulai kajiannya ketika menerjemahkan kata teror dengan cara mengingatkan pembaca pada pesan al-

:‘ the cars of death will not ‘ (mobil [yang membawa] kematian tidak akan pernah berhenti). 74 Adapun maksud dari

mobil tersebut adalah kenderaan yang digunakan oleh teroris untuk melakukan bom bunuh diri atau meledak target dengan menggunakan mobil. Di Indonesia para teroris yang menggunakan mobil sebagai alat untuk melakukan teror memang sudah muncul, seperti saat bom Bali I pada 12 Oktober 2002 dan Bom JW Marriott pada 5 Agustus 2003. Namun sebelum itu, ketika teroris menyerang WTC (World Trade Centre) di New York pada 11 September 2001, mereka malah menggunakan dua pesawat, bukan mobil seperti yang dipaparkan oleh Susan. Karena itu, alat atau media teroris di dalam menyerang sangat menarik untuk dianalisa lebih lanjut. Karena itu, dari media tersebut, kita bisa membayangkan apa sebenarnya yang mereka bayangkan ketika melakukan aksinya. Di dalam perang terbuka, seperti perang di Timur Tengah, mobil tank digunakann secara bebas untuk membunuh siapapun di depan mereka, walaupun ini bukan dikatakan teror, tetapi sebuah perang ( war ). Demikian pula, pesawat tempur yang memuntahkan bom atau roket, mereka tidak dikatakan sebagai teror, melainkan perang yang membolehkan untuk membunuh siapapun.

Dalam hal ini, teror tidak sama dengan perang. Namun, di kalangan teroris, khususnya dari Islam, klaim teror oleh musuh mereka dipandang sebagai jihad atau hirabah . Perbedaan persepsi ini pun bisa ditelisik dari alasan. Jika musuh menganggap teror, sedangkan jihadis menganggap ini perintah agama, maka disitu akan muncul pemikiran apakah kedua model pembunuhan tersebut bisa diizinkan. Dalam tradisi Islam, hanya dikenal dua model perang yaitu