Analisis Ketersediaan Koleksi Buku Di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara Berdasarkan Daftar Bacaan Pada Silabus Program Studi Akuntansi

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIK

2.1 Perpustakaan Perguruan Tinggi

Perpustakaan perguruan tinggi merupakan unsur penting dari sebuah perguruan tinggi. Bersama dengan unsur perguruan tinggi lainnya perpustakaan membantu perguruan tinggi mencapai visi, misi, dan tujuannya. Perpustakaan Nasional RI (1999, 4) memberikan pengertian perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang berada dalam suatu perguruan tinggi dan merupakan unit yang menunjang perguruan tinggi yang bersangkutan dalam mencapai tujuannya.

Reitz yang dikutip oleh Hasugian (2009, 79) mendefinisikan perpustakaan perguruan tinggi “A librarry or library system established, administrated, and funded by a university to meet the information, research, and curriculum needs of its students, faculty, and staff.”

Definisi tersebut menyatakan bahwa perpustakaan perguruan tinggi adalah sebuah perpustakaan atau sistem perpustakaan yang dibangun, diadministrasikan, dan didanai oleh sebuah universitas untuk memenuhi kebutuhan informasi, penelitian, dan kurikulum dari mahasiswa, fakultas, dan stafnya.

Sedangkan menurut Rahayuningsih (2007) “perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang melayani para mahasiswa, dosen, dan karyawan suatu perguruan tinggi tertentu (akademi, universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik).”


(2)

Berdasarkan tinjauan dari definisi di atas perpustakaan perguruan tinggi adalah perpustakaan yang dikelola dan didanai oleh perguruan tinggi untuk menunjang tercapainya tujuan perguruan tinggi dan memenuhi kebutuhan informasi kepada sivitas akademika.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan informasi sivitas akademika, maka tujuan dari perpustakaan perguruan tinggi adalah untuk memberikan layanan informasi untuk kegiatan pendidikan dan pengajaran, penelitian, dan pegabdian masyarakat yang sesuai dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Selain itu, perpustakaan perguruan tinggi juga memiliki tugas yang harus dijalankan demi tercapainya visi dan misi perguruan tinggi tertentu. Menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004) terdapat lima (5) tugas perpustakaan perguruan tinggi yaitu mengembangkan koleksi, mengolah dan merawat bahan perpustakaan, memberi layanan, serta melaksanakan administrasi perpustakaan. Kelima tugas tersebut dilaksanakan dengan sistem administrasi dan organisasi yang berlaku bagi penyelenggara sebuah perpustakaan di perguruan tinggi.

Adanya sebuah perpustakaan di perguruan tinggi tentunya tidak terlepas dari fungsinya yang sangat penting bagi perguruan tinggi tersebut. Fungsi dari perpustakaan memiliki kaitan erat dengan tujuan akhir yaitu memberikan layanan informasi kepada pemustaka.

Fungsi perpustakaan menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004, 3) adalah :

a. Fungsi Edukasi, perpustakaan merupakan sumber belajar para sivitas akademika. Oleh karena itu koleksi yang disediakan adalah koleksi yang mendukung pencapaian tujuan pembelajaran, pengorganisasian bahan


(3)

pembelajaran setiap program studi, koleksi tentang strategi belajar mengajar dan materi pendukung pelasanaan evaluasi belajar.

b. Fungsi Informasi, perpustakaan merupakan sumber informasi yang mudah diakses oleh pencari dan pengguna informasi.

c. Fungsi Riset, perpustakaan mempersiapkan bahan-bahan primer dan sekunder yang paling mutakhir sebagai bahan untuk melakukan penelitian di perpustakaan perguruan tinggi mutlak dimiliki, karena tugas perguruan tinggi adalah menghasilkan karya-karya penelitian yang dapat diaplikasikan untuk kepentingan pembangunan masyarakat dalam berbagai bidang.

d. Fungsi Rekreasi, perpustakaan harus menyediakan koleksi rekreatif yang bermakna untuk membangun dan mengembangkan kreativitas, minat dan daya inovasi pengguna perpustakaan.

e. Fungsi Publikasi, perpustakaan selayaknya juga membantu melakukan publikasi karya yang dihasilkan oleh warga perguruan tingginya yakni sivitas akademik dan staf non-akademik.

f. Fungsi Deposit, perpustakaan menjadi pusat deposit untuk seluruh karya dan pengetahuan yang dihasilkan oleh warga perguruan tingginya.

g. Fungsi Interpretasi, perpustakaan sudah seharusnya melakukan kajian dan memberikan nilai tambah terhadap sumber-sumber informasi yang dimilikinya untuk membantu pengguna dalam melakukan dharmanya. 2.2 Koleksi Perpustakaan

Koleksi adalah salah satu unsur penting dari perpustakaan. Karena koleksi bagian dari sumber informasi yang ada di sebuah perpustakaan. Tanpa adanya koleksi yang baik dan memadai perpustakaan tidak akan mampu memberikan pelayanan optimal kepada pengguna.

Menurut Perpustakaan Nasional RI (1999, 11) “koleksi perpustakaan adalah semua pustaka yang dikumpulkan, diolah, dan disimpan untuk disebarluaskan kepada masyarakat guna memenuhi kebutuhan informasi mereka.”

Sedangkan menurut pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan “koleksi perpustakaan adalah semua informasi dalam bentuk karya tulis, karya cetak, dan/ atau karya rekam dalam


(4)

berbagai media yang mempunyai nilai pendidikan, yang dihimpun, diolah, dan dilayankan.”

Berdasarkan definisi di atas dapat diketahui bahwa koleksi perpustakaan adalah semua sumber informasi dan bahan pustaka dalam berbagai bentuk baik tercetak maupun tidak tercetak dalam berbagai media dan mengandung nilai pendidikan yang dikumpulkan, diolah, disimpan, dan dilayankan kepada pengguna perpustakaan sebagai pemenuhan kebutuhan informasi mereka.

Sebuah perpustakaan menyediakan koleksi dengan tujuan untuk menunjang pelaksanaan program pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (Perpustakaan Nasional RI 1999, 11).

Selanjutnya Siregar (1998, 2) mengemukakan tujuan ketersediaan koleksi pada perpustakaan perguruan tinggi yaitu :

1. Mengumpulkan dan menyediakan bahan pustaka yang dibutuhkan sivitas akademika perguruan tinggi induknya.

2. Mengumpulkan dan menyediakan bahan pustaka bidang-bidang tertentu yang berhubungan dengan tujuan perguruan tinggi yang menaunginya. 3. Memiliki koleksi bahan/ dokumen yang lampau dan yang mutahir dalam

berbagai disiplin ilmu pengetahuan, kebudayaan, hasil penelitian dan lain-lain yang erat hubungannya dengan program perguruan tinggi tersebut. 4. Memiliki koleksi yang dapat menunjang pendidikan dan penelitian serta

pengabdian kepada masyarakat yang dilaksanakan oleh perguruan tinggi induknya.

5. Memiliki bahan pustaka/ informasi yang berhubungan dengan sejarah dan ciri perguruan tinggi tempatnya bernaung.

Dari uraian tersebut diketahui bahwa tujuan ketersediaan koleksi di perpustakaan perguruan tinggi adalah

a. untuk mendukung terwujudnya Tri Dharma perguruan tinggi b. memenuhi kebutuhan informasi sivitas akademika


(5)

c. memberikan pengetahuan budaya dan sejarah terkait perguruan tinggi tempatnya bernaung

Bentuk koleksi perpustakaan dikelompokkan kedalam dua (2) bentuk yaitu tercetak dan tidak tercetak. Untuk bentuk tercetak dapat dibedakan menjadi buku/ monograf dan bahan bukan buku. Buku/ monograf adalah terbitan yang mempunyai satu kesatuan yang utuh, dapat terdiri dari satu jilid atau lebih misalnya buku, laporan penelitian, skripsi, tesis, disertasi, prosiding, dan kumpulan karangan yang dijilid. Sedangkan yang termasuk kedalam kelompok bahan bukan buku adalah terbitan berkala/ berseri, peta, gambar, brosur, pamflet, booklet, dan makalah. Kemudian untuk koleksi bentuk tidak tercetak dibedakan kedalam 3 kelompok yaitu rekaman gambar, rekaman suara, dan rekaman data magnetik/ digital.

2.3 Ketersediaan Koleksi

Ketersediaan koleksi terdiri dari dua (2) kata yaitu ketersediaan dan koleksi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990, 792) arti “ketersediaan adalah kesiapan suatu alat (tenaga, barang modal, anggaran) untuk dapat digunakan atau dipersiapkan dalam waktu yang telah ditentukan.” Selanjutnya dalam Kamus Istilah Perpustakaan dan Dokumentasi (1992, 172), “sediaan berarti semua buku dan bahan pustaka lainnya yang ada di perpustakaan.” Sedangkan dari penjelasan sebelumnya koleksi perpustakaan adalah semua sumber informasi dan bahan pustaka dalam berbagai bentuk baik tercetak maupun tidak tercetak dalam berbagai media dan mengandung nilai pendidikan yang dikumpulkan,


(6)

diolah, disimpan, dan dilayankan kepada pengguna perpustakaan sebagai pemenuhan kebutuhan informasi mereka.

Kemudian Sutarno (2006, 104) menjelasakan ketersediaan koleksi mencakup :

1. Ketersediaan koleksi bahan pustaka seperti informasi, ilmu pengetahuan

teknologi dan budaya selalu terjadi setiap informasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan para pengguna perpustakaan, dan selalu terjadi setiap saat (explosion of information).

2. Setiap perpustakaan harus efektif untuk menghimpun, mengoleksi, dan

menyajikan koleksi bahan pustaka untuk dilayankan kepada para pemakai, sesuai dengan kebutuhan pengguna.

3. Pengumpulan, pengolahan dan penyajian koleksi bahan pustaka yang tidak

sesuai dengan kebutuhan pengguna serta masyarakat yang dilayani, hanya akan menimbulkan ketidak efisienan dan pemborosan sumber daya perpustakaan.

Dari pengertian tersebut dapat diketahui definisi ketersediaan koleksi adalah kesiapan terhadap tersedianya bahan pustaka ataupun sumber informasi dalam berbagai bentuk yang ada di perpustakaan untuk dapat digunakan pada saat dibutuhkan oleh pemustaka sehingga kebutuhan pemustaka dapat terpenuhi.

Ketersediaan koleksi di sebuah perpustakaan menjadi syarat utama sebuah perpustakaan dapat dikunjungi oleh pemustaka. Terutama perpustakaan perguruan tinggi dengan latar belakang pemustaka yang memiliki kebutuhan informasi tinggi. Seperti mahasiswa dengan kebutuhan literatur untuk memenuhi kegiatan belajar mereka, dan peneliti yang memerlukan banyak referensi literatur dalam penelitiannya. Oleh karena itu, koleksi yang tersedia di perpustakaan sebaiknya harus mutakhir dan berkualitas baik pula. Artinya koleksi yang ada di perpustakaan harus memenuhi syarat-syarat kualitas yang ditentukan misalnya berkaitan dengan subjek, reputasi pengarang, dan reputasi penerbit (Lasa 2005, 123). Subjek dalam hal ini dapat mewakili masing-masing subjek ilmu


(7)

pengetahuan yang ada di suatu perguruan tinggi. Selain kualitas isi, perlu diperhatikan pula tentang fisik bahan informasi, seperti kertas, pita, layout, lebel, warna, sampul dan lainnya. Hal ini disebabkan oleh banyak beredarnya buku, kaset, dan CD palsu di pasaran yang harganya jauh lebih murah daripada harga bahan aslinya (Lasa 2005, 123).

Berdasarkan kebutuhan informasi sivitas akademika tersebut, secara tidak langsung menuntut perpustakaan untuk menyediakan beragam koleksi. Menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004, 81) berikut adalah ragam koleksi yang selayaknya tersedia di perpustakaan :

a. Koleksi rujukan

Koleksi rujukan merupakan tulang punggung perpustakaan dalam menyediakan informasi yang akurat. Berbagai bentuk dan jenis informasi seperti data, fakta, dan lain-lain dapat ditemukan dalam koleksi rujukan. Oleh sebab itu, perpustakaan perlu melengkapi koleksinya dengan berbagai jenis koleksi rujukan seperti ensiklopedi umum dan khusus, kamus umum dan khusus, buku pegangan, direktori, abstrak, indeks, bibliografi, berbagai standar, dan sebagainya baik dalam bentuk buku maupun non buku.

b. Bahan ajar

Bahan ajar berfungsi untuk memenuhi tujuan kurikulum. Bahan ajar untuk setiap mata kuliah bisa lebih dari satu judul karena cakupan isinya yang berbeda sehingga bahan yang satu dapat melengkapi bahan yang lain. Di samping ada bahan ajar yang diwajibkan dan ada pula bahan ajar yang dianjurkan untuk memperkaya wawasan. Jumlah judul bahan ajar untuk tiap-tiap mata kuliah ditentukan oleh dosen, sedangkan jumlah eksemplarnya bergantung kepada tujuan dan program pengembangan perpustakaan setiap perguruan tinggi.

c. Terbitan berkala

Untuk melengkapi informasi yang tidak terdapat di dalam bahan ajar dan bahan rujukan, perpustakaan melanggan bermacam-macam terbitan berkala seperti majalah umum, jurnal, dan surat kabar. Terbitan ini memberikan informasi mutakhir mengenai keadaan atau kecenderungan perkembangan ilmu dan pengetahuan. Perpustakaan seyogyanya dapat melanggan sedikitnya satu judul majalah ilmiah untuk setiap program studi yang diselenggarakan perguruan tingginya.


(8)

d. Terbitan pemerintah

Berbagai terbitan pemerintah seperti lembaga negara, himpunan peraturan negara, kebijakan, laporan tahunan, pidato resmi, dan sebagainya sering juga dimanfaatkan oleh para peneliti atau dosen dalam menyiapkan kuliahnya. Perpustakaan perlu mengantisipasi kebutuhan para penggunanya sehingga koleksi terbitan pemerintah, baik dai pemerintah pusat, pemerintah daerah, departemen, non-departemen, maupun lembaga lainnya dapat memperoleh perhatian.

e. Selain terbitan pemerintah, koleksi yang menjadi minat khusus perguruan tinggi seperti sejarah daerah, budaya daerah, atau bidang khusus lainnya juga perlu diperhatikan. Berbagai macam pustaka ini memuat kekayaan informasi yang penting, tidak saja untuk memenuhi kebutuhan kurikulum atau penelitian, tetapi juga untuk pengembangan ilmu. Koleksi itu harus selalu disesuaikan dengan perubahan program perguruan tinggi karena masing-masing bahan tersebut mengandung informasi yang berbeda pula, terutama bila ditinjau dari tingkat ketelitian, cakupan isi, maupun kemutakhirannya. Dengan koleksi yang jumlah atau jenisnya cukup, diharap program perguruan tinggi dapat berjalan dengan baik.

f. Apabila memiliki dana yang cukup, perpustakaan sebagai sumber belajar tidak hanya menghimpu buku, jurnal, dan sejenisnya yang tercetak, tetapi juga menghimpun koleksi pandang-dengar seperti film, slaid, kaset video, kaset audio, dan pusat renik, serta koleksi media elektronika seperti disket, compact disk, dan online database/ basis data akses maya. Koleksi ini disediakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna yang memiliki gaya belajar yang berbeda-beda.

g. Bahan bacaan untuk rekreasi intelektual

Perpustakaan perguruan tinggi perlu menyediakan bahan bacaan atau bahan lain untuk keperluan rekreasi inteletual mahasiswa dan bahan bacaan lain yang memperkaya khasanah pembaca.

Karena pentingnya posisi koleksi dalam sebuah perpustakaan, hingga muncul opini bahwa banyaknya koleksi sebuah perpustakaan menggambarkan kualitas suatu perpustakaan tersebut. Artinya semakin banyak jumlah koleksi yang dimiliki perpustakaan maka semakin berkualitas perpustakaan tersebut. Jumlah koleksi yang dimaksud bukan berpatokan pada eksemplar dari koleksi melainkan dari subjek dan judul yang mewakili kebutuhan informasi penggunanya.

Menurut Spiller yang dikutip oleh Setiawan (2011, 9) “availability is also often referred to as the needs fill rate.” Dapat dikatakan bahwa tingkat


(9)

ketersediaan baik apabila kebutuhan terpenuhi. Selanjutnya Spiller yang dikutip oleh Setiawan (2011, 9) juga menyatakan bahwa “availability define as the probability that an item sought by a user will be on the shelves.” Dapat diartikan ketersediaan menentukan kemungkinan terpenuhinya kebutuhan pemustaka, dimana koleksi yang dicari dapat ditemukan di rak. Hal ini menunjukkan bahwa koleksi yang ada di perpustakaan harus memadai dan beragam subjeknya agar dapat menunjang tujuan dan program perguruan tinggi di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

Untuk mengukur ketersediaan koleksi dalam memenuhi kebutuhan informasi sivitas akademika terutama mahasiswa dapat menggunakan kurikulum dan silabus. Jenis koleksi yang berhubungan dengan kurikulum dan silabus tersebut adalah koleksi bahan ajar mata kuliah. Karena di dalam silabus terdapat bahan bacaan yang akan digunakan pada masing-masing mata kuliah. Sehingga buku-buku yang diadakan tingkat pemakaiannya akan optimal, karena buku tersebut digunakan oleh dosen dalam kegiatan perkuliahan.

Kemudian agar fungsi bahan ajar dapat memenuhi kurikulum dapat direalisasikan maka perpustakaan perguruan tinggi wajib menyediakan 80% dari bahan ajar mata kuliah yang ditawarkan di perguruan tinggi. Masing-masing judul bahan bacaan tersebut disediakan 3 eksemplar untuk tiap 100 mahasiswa, 1 eksemplar untuk pinjaman jangka pendek dan 2 eksemplar untuk pinjaman jangka panjang (Depdiknas 2004, 52).

Dari penjelasan di atas penulis memahami bahwa ketersediaan koleksi adalah kesiapan perpustakaan dalam menyediakan bahan pustaka ataupun sumber


(10)

informasi dalam berbagai bentuk yang ada di perpustakaan untuk dapat digunakan pada saat dibutuhkan oleh pemustaka sehingga kebutuhan pemustaka dapat terpenuhi.

2.3.1 Kurikulum

Secara luas kurikulum dapat dimaknai seluruh pengalaman yang dirancang oleh lembaga pendidikan yang harus disajikan kepada para peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Tetapi, secara umum kurikulum dipandang sebagai seperangkat rencana dan pengaturan yang berkenaan dengan materi pelajaran (kuliah) atau bahan kajian metode penyampaian serta penilaian.

Menurut ayat 19 pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.”

Sedangkan Sagala (2003, 234) mendefinisikan “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.”

Dari beberapa definisi di atas, penulis merangkum definisi kurikulum adalah seperangkat rencana dan peraturan berkaitan dengan kegiatan pembelajaran yang isinya mencakup materi pelajaran (kuliah) atau bahan kajian metode penyampaian serta penilaiannya.

Kurikulum tidak hanya sekedar mempelajari mata pelajaran/ mata kuliah, tetapi lebih mengembangkan pikiran, menambah wawasan, memperoleh


(11)

pengalaman selama proses belajar, dan mengembangkan pengetahuan yang dimiliki.

Pendidikan tinggi terdiri dari pendidikan akademik dan profesional. Bentuk dari pendidikan tinggi beragam yaitu berbentuk akademik dan politeknik, sekolah tinggi, institut, dan universitas. Akibat dari perbedaan tersebut menyebabkan perbedaan dalam orientasi penyusunan kurikulum. Tetapi, perbedaan tersebut dapat diatasi dengan adanya kesepakatan bahwa kurikulum hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Dengan demikian, orientasi kurikulum tetap harus mendasarkan diri pada bentuk dan orientasi pendidikan tinggi. Menurut ayat 1 pasal 13 PP No 60 tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi “Penyelenggaraan pendidikan tinggi dilaksanakan atas dasar kurikulum yang disusun oleh masing-masing perguruan tinggi sesuai dengan program studi.” Dalam ayat 1 pasal 9 PP No 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan “Kerangka dasar dan struktur kurikulum pendidikan tinggi dikembangkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan untuk setiap program studi.” Berdasarkan peraturan tersebut dapat diketahui bahwa pengembangan kurikulum untuk pendidikan tinggi dapat dilakukan sendiri oleh masing-masing program studi. Menurut Sudiyono (2004, 25) pengembangan kurikulum pendidikan tinggi dapat dilakukan melalui pendekatan :

a. Pendekatan topik, mengindentifikasikan berbagai topik yang berkaitan dengan program studi yang ingin dirancang kurikulumnya. Para pengembang kurikulum biasanya (perancang kurikulum) mancari berbagai referensi yang berkaitan dengan program studi yang akan dibuka atau dikembangkan.

b. Pendekatan kompetensi, para pengembang kurikulum menentukan kompetensi yang harus yang dimilki oleh seorang tamatan suatu program studi tertentu. Kompetensi profesional yang telah dirancang oleh


(12)

perancang kurikulum dalam program studi menjadi acuan dalam merancang kurikulum dan menentukan materi pengajaran, metode penyajian, dan evaluasinya.

c. Pendekatan lapangan, pendekatan ini lebih menekankan pada apa yang dilakukan di lapangan. Berdasarkan data yang diperlukan di lapangan para perancang kurikulum menentukan bahan kajian atau materi pelajaran yang harus dikuasai oleh para peserta didik.

2.3.2 Silabus

Silabus memiliki keterkaitan yang erat dengan kurikulum. Karena silabus memuat rincian dari mata kuliah yang telah dirancang dalam sebuah kurikulum. Silabus pada dasarnya merupakan garis besar program pembelajaran. Departemen Pendidikan Nasional dalam Akbar (2013, 7) mendefinisikan “silabus adalah rencana pembelajaran pada satu dan/ atau kelompok mata pelajaran/ tema tertentu yang mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.”

Menurut Yulaelawati (2004, 123), “silabus merupakan seperangkat rencana serta pengaturan pelaksanaan pembelajaran dan penilaian yang disusun secara sistematis memuat komponen-komponen yang saling berkaitan untuk mencapai penguasaan kompetensi dasar.”

Dari definisi tersebut diketahui silabus adalah rencana pembelajaran dari sebuah mata pelajaran/ mata kuliah yang disusun secara sistematis mencakup standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, alokasi waktu, dan sumber belajar.

Sebuah silabus menurut Akbar (2013, 8) berisi komponen sebagai berikut : 1. Identitas mata pelajaran

Identitas mata pelajaran berisi nama sekolah, mata pelajaran, kelas/ semester.


(13)

2. Standar kompetensi

Standar kompetensi (Chamsiatin, 2008) adalah kualifikasi kemampuan minimal peserta didik yang menggambarkan penguasaan sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai tingkat dan/ atau semester. Standar kompetensi terdiri dari sejumlah kompetensi dasar sebagai acuan baku yang harus dicapai dan berlaku secara nasional.

3. Kompetensi dasar

Kompetensi dasar (Chamsiatin, 2008) adalah sejumlah kemampuan yang harus dimiliki peserta didik dalam mata pelajaran tertentu. Kompetensi dasar dijabarkan berdasarkan standar kompetensi.

4. Materi pokok

Materi pokok adalah materi pelajaran yang harus dipelajari dan dibangun oleh peserta didik sebagai sarana pencapaian kompetensi dasar. Materi pokok mencakup nilai, pengetahuan, sikap, fakta, konsep, prinsip, teori, hukum, dan prosedur yang dibangun dengan pola urutan prosedur, hierarkis, atau kombinasi. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan materi pokok adalah akurasi (kebenarannya teruji), benar-benar dibutuhkan peserta didik, bermanfaat untuk kepentingan pengembangan kemampuan akademis dan nonakademis, kelayakan, dan menarik peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut.

5. Kegiatan belajar-mengajar

Substansi dari kegiatan belajar-mengajar adalah pengalaman belajar. Pengalaman belajar (Chamsiatin, 2008) dirancang untuk melibatkan proses mental dan fisik peserta didik dengan sesamanya, guru, sumber dan media, juga lingkungan belajar lain demi pencapaian kompetensi.

6. Indikator pencapaian kompetensi

Indikator pencapaian kompetensi adalah penanda perubahan nilai pengetahuan, sikap, keterampilan, dan perilaku yang dapat diukur. Indikator digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan tujuan pembelajaran, substansi materi, sumber dan media, serta alat penilaian. 7. Penilaian

Penilaian (Chamsiatin, 2008) merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data dari peserta didik, dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan.

8. Alokasi waktu

Alokasi waktu pada setiap kompetensi dasar didasarkan jumlah minggu efektif dan alokasi waktu mata pelajaran/ mata kuliah per minggu dengan mempertimbangkan jumlah kompetensi dasar, keluasan, kedalaman, tingkat kesulitan dan kepentingan kompetensi dasar, dan memperhatikan keberagaman.

9. Sumber/ bahan/ alat belajar

Sumber belajar dapat berupa buku-buku rujukan, objek, subjek, atau bahan dan alat untuk kegiatan pembelajaran. Sumber belajar dapat berupa bahan cetak dan elektronik, narasumber, peristiwa, lingkungan, dan lainnya yang relevan.


(14)

2.3.3 Bahan Ajar

Bahan ajar merupakan alat ataupun media yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Bahan ajar dapat berupa bahan cetak maupun elektronik. Tetapi, dalam pembahasan ini bahan ajar yang dimaksud adalah buku teks sebagai sumber belajar mahasiswa. Bahan ajar terdiri dari pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai. Oleh karena itu, perlu pertimbangan yang matang dalam memilih dan menentukan bahan ajar yang mendukung sebuah mata kuliah.

Buku ajar adalah buku teks yang digunakan sebagai rujukan standar pada mata kuliah tertentu. Buku ajar dapat berbentuk referensi dan diktat. Referensi yaitu buku yang membahas bidang ilmu tertentu secara mendalam, pembahasannya lengkap, berbasis riset, diterbitkan secara luas, dan digunakan sebagai rujukan. Sedangkan diktat yaitu buku yang disusun dengan cakupan isi terbatas berdasarkan kurikulum dan silabus untuk satuan pendidikan tertentu dengan semester tertentu. Ciri-ciri buku ajar menurut Akbar (2013, 33) adalah :

1. Sumber materi ajar

2. Menjadi referensi baku untuk mata kuliah tertentu 3. Disusun sistematis dan sederhana dan

4. Disertai petunjuk pembelajaran

Sebuah buku ajar yang baik tentunya memenuhi kriteria agar dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Berikut kriteria buku ajar yang baik menurut Akbar (2013, 34) :

1. Akurat (akurasi)

Keakuratan buku ajar dapat dilihat dari aspek : kecermatan penyajian, benar memaparkan hasil penelitian, tidak salah mengutip pendapat pakar, teori dan perkembangan mutakhir, dan pendekatan keilmuan yang bersangkutan.


(15)

2. Sesuai (relevansi)

Buku ajar yang baik memiliki kesesuaian antara kompetensi yang harus dikuasai dengan cakupan isi, kedalaman pembahasan, dan kompetensi pembaca.

3. Komunikatif

Buku ajar harus mudah dicerna pembaca, sistemtis, jelas, dan tidak mengandung kesalahan bahasa. Bahasa yang digunakan tidak sangat formal melainkan setengah lisan.

4. Lengkap dan sistematis

Buku ajar yang baik menyebutkan kompetensi yang harus dikuasai pembaca, memberikan manfaat pentingnya penguasaan kompetensi bagi kehidupan pembaca, menyajikan daftar isi dan daftar pustaka.

5. Berorientasi pada student centered

Buku ajar yang dapat mendorong rasa ingin tahu peserta didik, terjadi interaksi antara peserta didik dengan sumber belajar, merangsang peserta didik membangun pengetahuan sendiri, menyemangati peserta didik belajar secara berkelompok, dan menggiatkan peserta didik mengamalkan isi bacaan.

6. Berpihak pada ideologi bangsa dan negara

Untuk keperluan pendidikan Indonesia, buku ajar yang baik adalah buku ajar yang harus mendukung ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; mendukung pertumbuhan nilai kemanusiaan; mendukung kesadaran akan kemajemukan masyarakat; mendukung tumbuhnya rasa nasionalisme; mendukung tumbuhnya kesadaran hukum, dan mendukung cara berpikir logis.

7. Kaidah bahasa yang benar

Buku ajar yang ditulis menggunakan ejaan, istilah, dan struktur kalimat yang tepat.

8. Terbaca

Buku ajar yang keterbacaannya tinggi mengandung panjang kalimat dan struktur kalimat sesuai pemahaman pembaca, panjang alineanya sesuai pemahaman pembaca.

Kemudian untuk memilih dan menetukan bahan ajar sebagai sumber belajar peserta didik, berikut adalah kriteria penentuan bahan ajar menurut Nasution (2011, 233) yang dapat dijadikan rujukan :

1. Bahan pelajaran harus dipilih berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. 2. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga sebagai warisan

generasi yang lampau.

3. Bahan pelajaran dipilih karena berguna untuk menguasai suatu disiplin ilmu.


(16)

4. Bahan pelajaran dipilih karena dianggap berharga bagi manusia dalam hidupnya.

5. Bahan pelajaran dipilih karena sesuai dengan kebutuhan dan minat peserta didik.

2.4 Pedoman Penghitungan Koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi Untuk dapat mengetahui besarnya koleksi perpustakaan perguruan tinggi bergantung pada jenjang pendidikan di perguruan tinggi yang bersangkutan.

Menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004, 52) besarnya koleksi yang akan ditambah perpustakaan perguruan tinggi ditentukan oleh berbagai faktor antara lain jumlah program studi, jumlah mata kuliah, tingkat pendidikan (S0, S1, S2, dan S3), kegiatan penelitian, dan banyaknya buku ajar per mata kuliah serta jumlah dosen dan mahasiswa untuk menghitung jumlah eksemplar setiap judul.

Persyaratan minimal koleksi perpustakaan perguruan tinggi berdasarkan Pedoman Umum Pengelolaan Koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi, (1999, 20) sebagai berikut :

1. Program Diploma Dan Sarjana

a. 1 (satu) judul pustaka untuk setiap mata kuliah dasar keahlian

(MKDK).

b. 2 (dua) judul pustaka untuk setiap mata kuliah keahlian (MKK).

c. Melanggan sekurang-kurangnya 1 (satu) judul jurnal ilmiah untuk

setiap program studi.

d. Jumlah pustaka sekurang-kurangnya 10% dari jumlah mahasiswa

dengan memperhatikan komposisi subjek pustaka. 2. Program Pasca Sarjana

a. Memiliki 500 judul pustaka per program studi.

b. Melanggan 2 (dua) jurnal ilmiah untuk setiap Program studi.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan pengguna akan informasi, perpustakaan perguruan tinggi dianjurkan memiliki koleksi yang telah ditentukan di atas.

Sedangkan menurut SK Mendikbud No. 0686/U/1991 yang dikutip oleh Lasa (2005, 126) besar kecilnya koleksi yang diperlukan disusun berdasarkan ketentuan berikut :


(17)

a. buku wajib untuk mata kuliah dasar (MKDU) = jumlah MKDU x 1 judul b. buku wajib untuk mata kuliah dasar keahlian (MKDK) = jumlah MKDK x

1 judul

c. buku wajib untuk mata kuliah keahlian (MKK) atau untuk mata kuliah bidang studi = jumlah MKK x 2 judul

d. buku ajar dan pengayaan untuk MKDU, MKDK, dan MKK = jumlah MKDU, MKDK, dan MKK x 5 judul

Dengan demikian, diketahui bahwa jumlah koleksi untuk mata kuliah dasar (MKDU) dan mata kuliah dasar keahlian (MKDK) minimal 1 judul bahan pustaka untuk setiap mata kuliah, sedangkan untuk mata kuliah keahlian (MKK) minimal 2 judul bahan pustaka untuk setiap mata kuliah.

2.5 Evaluasi Koleksi

Evaluasi koleksi adalah kegiatan menilai koleksi yang ada di perpustakaan. Koleksi akan dinilai daya guna dan hasil gunanya bagi pemustaka dan pemustaka potensial perpustakaan.

Arikunto (2004, 1) menyatakan bahwa evaluasi adalah kegiatan untuk mengumpulkan informasi tentang bekerjanya sesuatu, yang selanjutnya informasi tersebut digunakan untuk menentukan alternatif yang tepat dalam mengambil keputusan. Fungsi utama evaluasi dalam hal ini adalah menyediakan informasi– informasi yang berguna bagi pihak decision maker untuk menentukan kebijakan yang akan diambil berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan.

Dari definisi tersebut diketahui evaluasi sangat menentukan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan dalam hal pengembangan koleksi perpustakaan. Hasil dari evaluasi mementukan sejauh mana koleksi yang ada bermanfaat dan berdayaguna bagi pemustaka.

Kemudian Watson yang dikutip oleh Setiawan (2011, 15) “ evaluation is an ongoing activity, part of the planning process, which assesses the effectiveness


(18)

of current procedures and provides data that can help set direction for future activities.”

Definisi tersebut menyatakan bahwa evaluasi adalah sebuah aktivitas yang terus-menerus dan berlanjut , bagian dari proses perencanaan, serta efektifitas dari prosedur yang ada dan menampilkan data yang dapat digunakan dalam merancang kegiatan yang akan datang.

Dari pengertian tersebut sudah terlihat jelas kegiatan evaluasi di perpustakaan harus terus-menerus dilaksanakan secara rutin dan teratur agar koleksi sesuai dengan perubahan dan perkembangan program perguruan tinggi sebagai lembaga induknya.

Adapun tujuan dari evaluasi koleksi menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004, 67) :

1. mengetahui mutu, lingkup, dan kedalaman koleksi

2. menyesuaikan koleksi dengan tujuan dan program perguruan tinggi 3. mengikuti perubahan, perkembangan, sosial budaya, ilmu dan teknologi 4. meningkatkan nilai informasi

5. mengetahui kekuatan dan kelemahan koleksi 6. menyesuaikan kebijakan penyiangan koleksi

Evans and Saporano (2005, 316) organizations conduct evaluations for several reasons, including

a. to develop an intellegent, realistic acquistions program based on a thorough knowledge of the existing collection;

b. to justify increased funding demands or for particular subject allocations; and


(19)

Menurut Evans dan Saporano alasan perpustakaan melakukan evaluasi adalah :

a. untuk mengembangkan program pengadaan yang realistis, cerdas berdasarkan pengetahuan yang menyeluruh mengenai keadaan koleksi yang ada;

b. untuk memberikan alasan yang kuat dalam permintaan peningkatan anggaran atau untuk alokasi subjek tertentu; dan

c. untuk meningkatkan pemahaman para staf akan koleksi yang ada.

Setelah tujuan evaluasi dirumuskan dan alasan evaluasi diketahui maka langkah selanjutnya adalah menentukan metode yang paling efektif. Terdapat beberapa metode evaluasi koleksi yang telah dibahas dalam banyak tulisan. Untuk memilihnya bergantung pada tujuan dan kedalaman proses evaluasi.

George Bonn yang dikutip oleh Evans (2005, 318) list five generals approaches to evaluation :

1. Compiling statistics on holdings

2. Checking standard list-catalogs and bibliographies 3. Obtaining opinions from regular users

4. Examining the collection directly

5. Applying standards (which involves the use of various methods mentioned earlier), listing the library’s document delivery capability, and noting the relative use of a particular group.

George Bonn yang dikutip oleh Evans (2005, 318) memberikan 5 pendekatan umum terhadap evaluasi koleksi yaitu :

1. Pengumpulan data statistik semua koleksi yang dimiliki 2. Pengecekan pada daftar standar seperti katalog dan bibliografi


(20)

4. Pemeriksaan koleksi langsung

5. Penerapan standar, pembuatan daftar kemampuan perpustakaan dalam

penyampaian dokumen dan pencatatan manfaat relatif dari kelompok khusus. Menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004, 67) terdapat 2 cara mengevaluasi koleksi yaitu secara kuantitaif dan kualitatif.

1. Kuantitatif

Cara kuantitatif dilakukan dengan pengumpulan data statistik. Dari data statistik itu dapat diperoleh informasi yang cukup mengenai keadaan koleksi. Informasi koleksi yang diperlukan untuk pengumpulan data statistik sekurang – kurangnya harus meliputi :

a. Jumlah judul b. Jumlah eksemplar c. Kelas pustaka

d. Bentuk bahan perpustakaan e. Bahasa bahan perpustakaan f. Asal bahan perpustakaan g. Tahun terbit

Pencatatan data dapat dikerjakan setiap hari, minggu, bulan atau setiap tahun.

2. Kualitatif

Cara kualitatif dilakukan dengan cara menguji ketersediaan koleksi terhadap program perguruan tinggi

Sedangkan menurut pedoman dari American Library Association (ALA’s Guide to the Evaluation of Libarary Collections) yang dikutip oleh Evans dan Saponaro (2005, 318) divides assessment methods into collection-centered measures and use-centered measures.

1. Collection-Centered

a. Checking list, bibliogrphies, and catalogs; b. Expert opinion

c. Comparative use statistics; and d. Collection standards.

2. Used-Centered

a. Circulation studies; b. User opinion/ studies; c. Analysis of ILL statistics; d. Citation studies;

e. In-house use studies; f. Shelf availability;


(21)

g. Simulated use studies; and h. Document delivery tests.

American Library Association (ALA’s Guide to the Evaluation of Libarary Collections) yang dikutip oleh (Evans dan Saponaro 2005, 318) membagi metode evaluasi kedalam metode terpusat pada koleksi dan metode terpusat pada penggunaan.

1. Metode terpusat pada koleksi

a. Pencocokkan pada daftar tertentu, bibliografi atau katalog b. Penilaian dari pakar

c. Perbandingan data statistik

d. Perbandingan pada berbagai standar koleksi 2. Metode terpusat pada penggunaan

a. Melakukan kajian sirkulasi b. Meminta pendapat pemustaka

c. Menganalisis statistik pinjam antar perpustakaan d. Studi sitasi

e. Melakukan kajian penggunaan di tempat (ruang baca) f. Memeriksa ketersediaan koleksi di rak

g. Studi penggunaan simulasi dan h. Tes pengiriman dokumen

Lasa (2005, 318) berdasarkan Standard International ISO 11620 mengenai indikator kinerja perpustakaan tentang penyediaan dokumen dengan maksud untuk mengevaluasi seberapa banyak judul-judul bahan informasi yang dapat disediakan perpustakaan untuk pemustaka. Adapun untuk pengukurannya diperlukan indikator-indikator berikut :


(22)

b. Persentase judul dokumen yang dibutuhkan dalam koleksi (percentage of required title in the collection)

c. Ketersediaan dan dapat disediakannya judul yang dibutuhkan (required titles extended availability)

d. Penggunaan di perpustakaan per kapita (in library use per capita) e. Tingkat penggunaan dokumen (document use rate)

Adapun rumus untuk indikator ini adalah, �

� × 100

Keterangan :

A = Jumlah judul yang dibutuhkan yang tersedia dalam sampel B = Jumlah judul yang dibutuhkan dalam sampel secara keseluruhan

Berdasarkan uraian teknik evaluasi di atas, dapat dikatakan teknik evaluasi koleksi tersebut memfokuskan pada pengumpulan data statistik, jumlah judul dari dokumen ataupun koleksi perpustakaan yang dicocokkan dengan bibliografi atau katalog, dan tingkat penggunaan koleksi. Evaluasi koleksi merupakan metode untuk melakukan analisis koleksi dan dapat digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen pengembangan koleksi serta bermanfaat dalam hal pengadaan buku, penetapan anggaran, dan perawatan koleksi.

2.5.1 Checklist/ List Checking sebagai Metode Evaluasi Koleksi

Dalam mengevaluasi koleksi banyak teknik yang dapat digunakan. Seperti yang diuraikan sebelumnya terdapat metode pencocokkan daftar atau checklist. Pada penelitian ini penulis akan menggunakan metode checklist untuk mengumpulkan data dengan pendekatan terpusat pada koleksi (collection centered).

Checklist merupakan metode yang sudah dikenal dan sering digunakan dalam proses evaluasi. Checklist adalah suatu daftar yang mengandung unsur-unsur ataupun hal-hal yang ada pada subjek selanjutnya akan diselidiki,


(23)

disesuaikan, atau dicocokkan dengan objek di lapangan. Dalam hal ini kegiatan pencocokkan dilakukan antara ketersediaan koleksi perpustakaan dengan kebutuhan koleksi buku pemustaka. Proses checking menggunakan daftar standar atau bibliografi (Nishonger, 2008). Bibliografi tersebut adalah katalog online perpustakaan (OPAC) dan daftar bacaan yang terdapat pada silabus mata kuliah. Hasilnya berupa persentase. Semakin tinggi presentase kecocokan antara koleksi dengan bibliografi standar untuk subjek tertentu, maka semakin baik kualitas dari koleksi suatu perpustakaan.

Meskipun metode checklist sudah sering digunakan, masih terdapat beberapa kelemahan dari metode pencocokkan pada daftar standar ini.

Menurut Evans dan Soponaro (2005, 320) The shortcomings of the checklist technique for evaluation are many, and eight criticisms appear repeatedly :

1. Title selection was for specific, not general, use.

2. Almost all lists are selective and omit many worthwile titles.

3. Many titles have little relevance for a specific library’s community. 4. Lists may be out-of-date.

5. A library may own many title that are not on the checklist but that are as good as the titles on the checklist.

6. Interlibrary loan service carries no weight in the evaluation. 7. Checklists approve titles; there is no penalty for having poor titles.

8. Checklists fail to take into account special materials that may be important to a particular library.

Menurut Evans dan Soponaro (2005, 320) terdapat beberapa kelemahan dari metode checklist dalam evaluasi koleksi, dan 8 kelemahan yang sering muncul adalah :

1. Pemilihan judul untuk penggunaan yang khusus, tidak berlaku untuk umum.


(24)

2. Hampir semua daftar selektif dan bisa saja mengabaikan banyak judul-judul publikasi yang bermutu.

3. Banyak judul yang tidak sesuai untuk sebuah komunitas perpustakaan khusus.

4. Daftar tersebut kemungkinan sudah kadaluwarsa.

5. Sebuah perpustakaan kemungkinan memiliki banyak judul yang tidak tercantum pada daftar pencocokkan, namun publikasi itu sama baiknya dengan yang ada di daftar.

6. Layanan pinjam antar perpustakaan tidak membawa bobot dalam evaluasi. 7. Daftar pencocokkan (checklist) menyetujui judul-judul, namun tidak ada

sanksi untuk memiliki judul yang kurang bermutu.

8. Daftar pencocokkan tidak memasukkan materi khusus yang sangat penting bagi sebuah perpustakaan tertentu.

Adapun langkah-langkah evaluasi koleksi dengan menggunakan checklist oleh Blane Halliday yang dikutip oleh Setiawan (2011, 17), yaitu :

a. Melakukan identifikasi terhadap materi/ bahan perpustakaan yang akan dievaluasi (identification of an area for evaluation).

b. Memilih daftar yang cocok (selection of appropriate lists). c. Mendefinisikan istilah/ konsep (definition of terms).

d. Melakukan pemeriksaan menggunakan daftar yang telah dipilih terhadap koleksi yang dimiliki (checking list against holding).

e. Menganalisis hasil penelitian (analysis of results for trends) f. Membuat keputusan (decision-making) (Nisonger, 2003)

2.6 Penelitian Terdahulu

Rati Novita Ningsih (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Ketersediaan Koleksi Di Perpustakaan SMA Negeri 5 Yogyakarta (Berdasarkan


(25)

Kajian terhadap Silabus Kurikulum KTSP Mata Pelajaran Muatan Lokal)” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan koleksi mata pelajaran muatan lokal (Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa) tahun ajaran 2007/ 2008 di Perpustakaan SMA Negeri 5 Yogyakarta secara keseluruhan berdasarkan kajian terhadap silabus kurikulum KTSP dengan presentase 55,5% dapat dikatakan kurang baik.

Hari Setiawan (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Ketersediaan Koleksi Bahan Ajar Berbasis Silabus Jurusan Bahasa dan Sastra di Perpustakaan UIN SGD Bandung” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa koleksi perpustakaan UIN SGD Bandung tidak memenuhi kebutuhan koleksi bahan ajar utama Jurusan Bahasa dan Sastra. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yaitu kurangnya koordinasi antara pihak jurusan dengan pihak perpustakaan, dan kebijakan pengembangan perpustakaan diatur oleh pihak rektorat.

Widiarsa (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Ketersediaan Koleksi Berdasarkan Silabus Mata Kuliah Di Perpustakaan Program Studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara keseluruhan ketersediaan koleksi perpustakaan program studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya yang diteliti pada semester II tahun akademik 2012/ 2013 hampir setengahnya tersedia atau 28,43% dari yang diperlukan (2) secara keseluruhan keterpakaian koleksi perpustakaan program studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya yang diteliti pada semester II tahun akademik 2012/ 2013 bisa dikatakan tidak ada yang terpakai, karena nilai pemakaiannya hanya berkisar di angka 0,0025%.


(1)

4. Pemeriksaan koleksi langsung

5. Penerapan standar, pembuatan daftar kemampuan perpustakaan dalam penyampaian dokumen dan pencatatan manfaat relatif dari kelompok khusus. Menurut Buku Pedoman Perpustakaan Perguruan Tinggi (2004, 67) terdapat 2 cara mengevaluasi koleksi yaitu secara kuantitaif dan kualitatif.

1. Kuantitatif

Cara kuantitatif dilakukan dengan pengumpulan data statistik. Dari data statistik itu dapat diperoleh informasi yang cukup mengenai keadaan koleksi. Informasi koleksi yang diperlukan untuk pengumpulan data statistik sekurang – kurangnya harus meliputi :

a. Jumlah judul b. Jumlah eksemplar c. Kelas pustaka

d. Bentuk bahan perpustakaan e. Bahasa bahan perpustakaan f. Asal bahan perpustakaan g. Tahun terbit

Pencatatan data dapat dikerjakan setiap hari, minggu, bulan atau setiap tahun.

2. Kualitatif

Cara kualitatif dilakukan dengan cara menguji ketersediaan koleksi terhadap program perguruan tinggi

Sedangkan menurut pedoman dari American Library Association (ALA’s Guide to the Evaluation of Libarary Collections) yang dikutip oleh Evans dan Saponaro (2005, 318) divides assessment methods into collection-centered measures and use-centered measures.

1. Collection-Centered

a. Checking list, bibliogrphies, and catalogs; b. Expert opinion

c. Comparative use statistics; and d. Collection standards.

2. Used-Centered

a. Circulation studies; b. User opinion/ studies; c. Analysis of ILL statistics; d. Citation studies;

e. In-house use studies; f. Shelf availability;


(2)

g. Simulated use studies; and h. Document delivery tests.

American Library Association (ALA’s Guide to the Evaluation of Libarary Collections) yang dikutip oleh (Evans dan Saponaro 2005, 318) membagi metode evaluasi kedalam metode terpusat pada koleksi dan metode terpusat pada penggunaan.

1. Metode terpusat pada koleksi

a. Pencocokkan pada daftar tertentu, bibliografi atau katalog b. Penilaian dari pakar

c. Perbandingan data statistik

d. Perbandingan pada berbagai standar koleksi 2. Metode terpusat pada penggunaan

a. Melakukan kajian sirkulasi b. Meminta pendapat pemustaka

c. Menganalisis statistik pinjam antar perpustakaan d. Studi sitasi

e. Melakukan kajian penggunaan di tempat (ruang baca) f. Memeriksa ketersediaan koleksi di rak

g. Studi penggunaan simulasi dan h. Tes pengiriman dokumen

Lasa (2005, 318) berdasarkan Standard International ISO 11620 mengenai indikator kinerja perpustakaan tentang penyediaan dokumen dengan maksud untuk mengevaluasi seberapa banyak judul-judul bahan informasi yang dapat disediakan perpustakaan untuk pemustaka. Adapun untuk pengukurannya diperlukan indikator-indikator berikut :


(3)

b. Persentase judul dokumen yang dibutuhkan dalam koleksi (percentage of required title in the collection)

c. Ketersediaan dan dapat disediakannya judul yang dibutuhkan (required titles extended availability)

d. Penggunaan di perpustakaan per kapita (in library use per capita) e. Tingkat penggunaan dokumen (document use rate)

Adapun rumus untuk indikator ini adalah, �

� × 100

Keterangan :

A = Jumlah judul yang dibutuhkan yang tersedia dalam sampel B = Jumlah judul yang dibutuhkan dalam sampel secara keseluruhan

Berdasarkan uraian teknik evaluasi di atas, dapat dikatakan teknik evaluasi koleksi tersebut memfokuskan pada pengumpulan data statistik, jumlah judul dari dokumen ataupun koleksi perpustakaan yang dicocokkan dengan bibliografi atau katalog, dan tingkat penggunaan koleksi. Evaluasi koleksi merupakan metode untuk melakukan analisis koleksi dan dapat digunakan untuk mengukur efektivitas manajemen pengembangan koleksi serta bermanfaat dalam hal pengadaan buku, penetapan anggaran, dan perawatan koleksi.

2.5.1 Checklist/ List Checking sebagai Metode Evaluasi Koleksi

Dalam mengevaluasi koleksi banyak teknik yang dapat digunakan. Seperti yang diuraikan sebelumnya terdapat metode pencocokkan daftar atau checklist. Pada penelitian ini penulis akan menggunakan metode checklist untuk mengumpulkan data dengan pendekatan terpusat pada koleksi (collection centered).

Checklist merupakan metode yang sudah dikenal dan sering digunakan dalam proses evaluasi. Checklist adalah suatu daftar yang mengandung unsur-unsur ataupun hal-hal yang ada pada subjek selanjutnya akan diselidiki,


(4)

disesuaikan, atau dicocokkan dengan objek di lapangan. Dalam hal ini kegiatan pencocokkan dilakukan antara ketersediaan koleksi perpustakaan dengan kebutuhan koleksi buku pemustaka. Proses checking menggunakan daftar standar atau bibliografi (Nishonger, 2008). Bibliografi tersebut adalah katalog online perpustakaan (OPAC) dan daftar bacaan yang terdapat pada silabus mata kuliah. Hasilnya berupa persentase. Semakin tinggi presentase kecocokan antara koleksi dengan bibliografi standar untuk subjek tertentu, maka semakin baik kualitas dari koleksi suatu perpustakaan.

Meskipun metode checklist sudah sering digunakan, masih terdapat beberapa kelemahan dari metode pencocokkan pada daftar standar ini.

Menurut Evans dan Soponaro (2005, 320) The shortcomings of the checklist technique for evaluation are many, and eight criticisms appear repeatedly :

1. Title selection was for specific, not general, use.

2. Almost all lists are selective and omit many worthwile titles.

3. Many titles have little relevance for a specific library’s community. 4. Lists may be out-of-date.

5. A library may own many title that are not on the checklist but that are as good as the titles on the checklist.

6. Interlibrary loan service carries no weight in the evaluation. 7. Checklists approve titles; there is no penalty for having poor titles.

8. Checklists fail to take into account special materials that may be

important to a particular library.

Menurut Evans dan Soponaro (2005, 320) terdapat beberapa kelemahan dari metode checklist dalam evaluasi koleksi, dan 8 kelemahan yang sering muncul adalah :

1. Pemilihan judul untuk penggunaan yang khusus, tidak berlaku untuk umum.


(5)

2. Hampir semua daftar selektif dan bisa saja mengabaikan banyak judul-judul publikasi yang bermutu.

3. Banyak judul yang tidak sesuai untuk sebuah komunitas perpustakaan khusus.

4. Daftar tersebut kemungkinan sudah kadaluwarsa.

5. Sebuah perpustakaan kemungkinan memiliki banyak judul yang tidak tercantum pada daftar pencocokkan, namun publikasi itu sama baiknya dengan yang ada di daftar.

6. Layanan pinjam antar perpustakaan tidak membawa bobot dalam evaluasi. 7. Daftar pencocokkan (checklist) menyetujui judul-judul, namun tidak ada

sanksi untuk memiliki judul yang kurang bermutu.

8. Daftar pencocokkan tidak memasukkan materi khusus yang sangat penting bagi sebuah perpustakaan tertentu.

Adapun langkah-langkah evaluasi koleksi dengan menggunakan checklist oleh Blane Halliday yang dikutip oleh Setiawan (2011, 17), yaitu :

a. Melakukan identifikasi terhadap materi/ bahan perpustakaan yang akan dievaluasi (identification of an area for evaluation).

b. Memilih daftar yang cocok (selection of appropriate lists). c. Mendefinisikan istilah/ konsep (definition of terms).

d. Melakukan pemeriksaan menggunakan daftar yang telah dipilih terhadap koleksi yang dimiliki (checking list against holding).

e. Menganalisis hasil penelitian (analysis of results for trends) f. Membuat keputusan (decision-making) (Nisonger, 2003)

2.6 Penelitian Terdahulu

Rati Novita Ningsih (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Ketersediaan Koleksi Di Perpustakaan SMA Negeri 5 Yogyakarta (Berdasarkan


(6)

Kajian terhadap Silabus Kurikulum KTSP Mata Pelajaran Muatan Lokal)” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa ketersediaan koleksi mata pelajaran muatan lokal (Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa) tahun ajaran 2007/ 2008 di Perpustakaan SMA Negeri 5 Yogyakarta secara keseluruhan berdasarkan kajian terhadap silabus kurikulum KTSP dengan presentase 55,5% dapat dikatakan kurang baik.

Hari Setiawan (2011) melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Ketersediaan Koleksi Bahan Ajar Berbasis Silabus Jurusan Bahasa dan Sastra di Perpustakaan UIN SGD Bandung” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa koleksi perpustakaan UIN SGD Bandung tidak memenuhi kebutuhan koleksi bahan ajar utama Jurusan Bahasa dan Sastra. Hal ini dikarenakan beberapa faktor, diantaranya yaitu kurangnya koordinasi antara pihak jurusan dengan pihak perpustakaan, dan kebijakan pengembangan perpustakaan diatur oleh pihak rektorat.

Widiarsa (2013) melakukan penelitian yang berjudul “Evaluasi Ketersediaan Koleksi Berdasarkan Silabus Mata Kuliah Di Perpustakaan Program Studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta” dengan hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) secara keseluruhan ketersediaan koleksi perpustakaan program studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya yang diteliti pada semester II tahun akademik 2012/ 2013 hampir setengahnya tersedia atau 28,43% dari yang diperlukan (2) secara keseluruhan keterpakaian koleksi perpustakaan program studi Ilmu Agama dan Lintas Budaya yang diteliti pada semester II tahun akademik 2012/ 2013 bisa dikatakan tidak ada yang terpakai, karena nilai pemakaiannya hanya berkisar di angka 0,0025%.