S FIS 1103103 Chapter 3

(1)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik. Penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang realitas pada obyek yang diteliti secara obyektif. Studi literatur ini dilakukan dengan menganalisis keterkaitan antara kejadian badai geomagnet kuat dengan daerah aktif di Matahari.

Pada penelitian ini, digunakan indeks Dst sebagai indikator kejadian badai geomagnet kuat (indeks Dst < -100 nT) .Adapun variabel daerah aktif yang digunakan yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Data kejadian badai geomagnet yang diolah merupakan data sekunder yang diunduh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html) sedangkan untuk memperoleh data daerah aktif maka dilakukan identifikasi terlebih dahulu terhadap CME atau lubang korona yang diduga sebagai penyebab peningkatan kecepatan angin Matahari yang dapat menyebabkan terjadinya badai geomagnet. Data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dapat diperoleh jika badai tersebut disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare.

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu Penelitian : Februari 2015 s.d Juni 2015

Tempat Penelitian: Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Jl. Dr. Djunjunan No.133 Bandung 40173


(2)

3.2 Sumber Data

Data yang digunakan pada penelitian ini merupakan data sekunder yang dikumpulkan dari hasil pengamatan satelit dan pengamatan landas Bumi yang mengamati aktivitas Matahari dan Bumi . Data yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Data kejadian badai geomagnet (indeks Dst) yang diperoleh dari World Data

Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u

ac.jp/dst_final/index.html)

World Data Center Kyoto merupakan laman yang menyediakan data kejadian badai geomagnet dengan indikator indeks Dst . Data yang terdapat pada laman ini merupakan data dari hasil pengamatan yang dilakukan di empat stasiun yaitu Kakioka (Jepang), Hermanus (Afrika Selatan) , Honolulu (USA) dan San Juan (Brasil) yang tersedia dari tahun 1957 sampai dengan sekarang yang disajikan dalam tabulasi tahunan dan tabulasi bulanan perjam seperti ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1.Tampilan awal pengambilan data badai geomagnet berdasarkan indeks Dst (Sumber:wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html)


(3)

2. Data CME diperoleh dari SOHO/LASCO CME Catalog (http://cdaw.gsfc.nasa.gov/CME_list/) untuk data CME sampai dengan tahun 2013 dan dari Cactus (http://sidc.oma.be/cactus/catalog.php) untuk data CME tahun 2014.

Katalog ini berisi identifikasi semua CME yang diidentifikasi secara manual sejak tahun 1996 dari LASCO (Large Angle and spektrometri coronagraph) dibawah misi Solar dan Heliospheric Observatory (SOHO). Satelit SOHO merupakan satelit yang mempelajari Matahari mulai dari bagian inti sampai lapisan korona. SOHO dilengkapi beberapa instrumen antara lain teleskop EIT (Extreme Ultraviolet Coronagraph) yang berfungsi untuk mengamati Matahari pada spektrum Ultraviolet dan LASCO (Large Angle and Spektrometri Coronagraph) yang berfungsi untuk mengamati

CME. LASCOmemiliki tiga teleskop C1, C2, dan C3. Namun, hanya data C2

dan C3 yang digunakan untuk keseragaman karena C1 dinonaktifkan pada bulan Juni 1998. Katalog ini disajikan dalam tabulasi tahunan dan tabulasi bulanan seperti ditunjukkan pada Gambar 3.2.

Gambar 3.2. Tampilan awal SOHO/LASCO CME Catalog


(4)

3. Data flare dan erupsi filamen diperoleh dari Spaceweather (ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/)

Data flaredan erupsi filamen dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode flare yaitu XRA seperti di tunjukan pada Gambar 3.3 dan erupsi filamen yaitu DSF atau EPL.

Gambar 3.3. Contoh data flare pada 4 November 1997 (Sumber:ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/)

4. Data lubang korona diperoleh dari Solar Monitor

(http://www.solarmonitor.org/)

Solar Monitor merupakan laman yang disediakan oleh Solar Physics Group, Trinity College Dublin dan e-INIS, Irish National e-Infrastructure. Laman ini berisi informasi data realtime tentang daerah aktif dan aktivitas Matahari seperti ditunjukkan pada Gambar 3.4.

Data yang terdapat pada solar Monitor relevan dengan sumber data dari

SDO (Solar Dynamics Observatory), SOHO (Solar and Heliospheric

Observatory), GONG (Global Oscillation Network Group), SXI (Solar X-ray Imager), Hinode XRT (X-Ray Telescope), GHN (Global High Resolution H-alpha Network), STEREO (Solar TErrestrial RElations Observatory),


(5)

SECCHI (Sun Earth Connection Coronal and Heliospheric Investigation), SOLIS (Synoptic Optical Long-term Investigations of the Sun), NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Space Weather Prediction Center.


(6)

5. Data daerah aktif di Matahari yang diperoleh dari Spaceweather (ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/). Dari laman ini, data daerah aktif yang digunakan yaitu luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet darah aktif seperti ditunjukkan oleh lingkaran hitam pada Gambar 3.5.

Gambar 3.5.Contoh data luas dan konfigurasi medan magnet daerah aktif dengan nomor daerah aktif 8100 pada 4 November 1997 (Sumber : ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/)

3.3Prosedur Penelitian

3.3.1 Tahap Identifikasi Indeks Dst

Penelitian ini diawali dengan mencari data munculnya badai geomagnet kuat dengan melakukan identifikasi terhadap indeks Dst. Data Indeks Dst merupakan data kontinu dengan resolusi 1 jam. Data yang digunakan yaitu tahun 1996 s.d tahun 2007 (untuk siklus aktivitas Matahari ke-23) dan tahun 2008 s.d tahun 2014 (untuk siklus aktivitas Matahari ke-24). Data indeks Dst diperoleh dari World Data Center C2 at Kyoto University database (http://wdc.kugi.kyoto-u ac.jp/dst_final/index.html) .


(7)

Setelah memperoleh data kejadian badai geomagnet, maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap munculnya badai geomagnet yang masuk dalam kategori badai geomagnet kuat dengan kriteria indeks Dst lebih kecil dari -100 nT.

3.3.2 Tahap Pemilihan Sumber di Matahari yang Menyebabkan Terjadinya

Badai Geomagnet.

3.3.2.1 Tahap Identifikasi Data CME yang Berkaitan

Webb, dkk (dalam Yatini 2008) mengungkapkan bahwa badai geomagnet dengan intensitas sedang dan kuat disebabkan oleh CME beberapa hari sebelumnya sehingga tinjauan terhadap CME sebagai sumber di Matahari yang menyebabkan badai geomagnet perlu dilakukan. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari ke belakang. Penentuan selang waktu ini dilakukan berdasarkan rata-rata CME tiba di Bumi (Martiningrum, dkk. 2012, hlm. 6).

3.3.2.1.1 Identifikasi Data Flare sebagai Pemicu Terjadinya CME Selang waktu flare yang diduga sebagai kandidat pemicu CME disesuaikan dengan CME yaitu antara 2 hari s.d 3 hari. Data flare

dapat diunduh dari internet yang tersedia di

ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode flare yaitu XRA. Data flare yang ditinjau meliputi rentang waktu terjadinya flare, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Flare yang diduga sebagai pemicu CME diidentifikasi dari waktu terjadinya flare dan CME.

3.3.2.1.2 Identifikasi Data Erupsi Filamen sebagai Pemicu Terjadinya CME

Selang waktu erupsi filamen yang diduga sebagai kandidat pemicu CME disesuaikan dengan CME yaitu antara 2 hari s.d 3 hari. Data erupsi filamen dan dapat diunduh dari internet yang tersedia di ftp://ftp.swpc.noaa.gov/pub/warehouse/events dengan kode erupsi filamen yaitu DSF atau EPL. Data erupsi filamen yang ditinjau yaitu rentang waktu terjadinya erupsi filamen dan lokasinya.


(8)

3.3.2.2 Tahap Identifikasi Data Lubang Korona yang Berkaitan

Santoso (2013) mengungkapkan bahwa badai geomagnet dipengaruhi oleh aktivitas Matahari yaitu CME atau lubang korona. Lubang korona dapat menghasilkan plasma berkecepatan tinggi yang dibawa oleh angin Matahari yang kemudian dapat mengganggu medan magnet Bumi sehingga identifikasi terhadap lubang korona sebagai sumber di Matahari yang menyebabkan badai geomagnet perlu dilakukan. Data adanya lubang korona dapat diunduh di http://www.solarmonitor.org/. Dari laman Solar Monitor dapat terlihat posisi lubang korona yang muncul di Matahari. Posisi lubang korona yang dapat menyebabkan badai geomagnet berada di daerah dekat ekuator di bagian barat Matahari. Selang waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini dilakukan berdasarkan tinjauan dari kecepatan angin Matahari yaitu antara 300 km/s s.d 800 km/s (solarscience.msfc.nasa.gov/feature4.s.html).


(9)

Beberapa tahapan diatas dapat dilihat pada Gambar 3.6 dibawah ini

Gambar 3.6. Diagram Alur Penelitian Data Kejadia n Badai Geomagnet Kuat

(Indeks Dst < -100 nT)

CME

Flare Erupsi Filamen

Lubang Korona

Luas Daerah Aktif Konfigurasi Medan

Magnet Daerah Aktif

Analisis Keterkaitan Luas

Daerah Aktif dengan Kejadian Badai Geomagnet

Tidak Terjadi di Daerah

Aktif Matahari Terjadi di

Daerah Aktif Matahari

Simpulan

Analisis Keterkaitan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif

dengan Kejadian Badai Geomagnet


(10)

3.4 Tehnik Pengolahan Data

3.4.1 Mengidentifikasi Indeks Dst

Setelah diperoleh data kejadian badai geomagnet kuat (Indeks Dst < -100 nT) maka dilihat grafik perubahan Dst dari tiap jam pada hari terjadinya badai geomagnet. Waktu yang dijadikan acuan yaitu waktu saat Dst mencapai nilai terendah.

Gambar 3.7. Contoh grafik perubahan Indeks Dst terhadap waktu pada bulan Oktober 1996 yang memberikan nilai Indeks Dst sebesar -105 nT

Berdasarkan data indeks Dst yang terlihat pada grafik diatas, hal yang perlu diperhatikan yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum).

3.4.2 Mengidentifikasi Sumber Gangguan di Matahari

Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut.


(11)

Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari . Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Perkiraan waktu tibanya CME di Bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1.Waktu Tiba CME di Bumi dengan Asumsi Tidak Ada Perlambatan (Sumber : sidc.be/rwc/cor2speed/cor2speed.html)

Kecepatan CME (km/s)

Waktu Tempuh

Jam Hari Jam

300 138,88 5 hari 18,8 jam

400 104,16 4 hari 8,16 jam

500 83,33 3 hari 11,33 jam

600 69,44 2 hari 21,44 jam

700 59,52 2 hari 11,52 jam

800 52,08 2 hari 4,08 jam

900 46,30 1 hari 22,30 jam

1000 41,67 1 hari 17,67 jam


(12)

Kecepatan CME (km/s)

Waktu Tempuh

Jam Hari jam

1200 34,72 1 hari 10,72 jam

1300 32,05 1 hari 8,05 jam

1400 29,76 1 hari 5,76 jam

1500 27,78 1 hari 3,78 jam

1600 26,04 1 hari 2,04 jam

1700 24,51 1 hari 0,51 jam

1800 23,15 23,15 jam

1900 21,93 21,93 jam

2000 20,83 20,83 jam

2100 19,84 19,84 jam

2200 18,94 18,94 jam

Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Flare terjadi dekat daerah aktif di Matahari sedangkan erupsi filamen dapat terjadi dekat atau jauh dari daerah aktif di Matahari. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME.


(13)

Jika telah diidentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Sedangkan jika diidentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME.

Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari. Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet.

Data yang telah diperoleh ditabulasi dan kemudian dibuat grafik untuk melihat penyebab terbanyak terjadinya badai geomagnet.

3.4.3 Mengidentifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif di Matahari

Sesuai dengan tujuan awal penelitian yaitu mengetahui keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat dengan variabel daerah aktif yaitu luas dan konfigurasi medan magnet, maka pada penelitian ini data kejadian badai geomagnet yang bukan disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi diatas daerah aktif dapat diabaikan.

Pada penelitian ini, klasifikasi keluasan daerah aktif di bagi menjadi 3 kategori yaitu sempit, sedang dan luas dengan ukuran keluasan di tunjukan pada Tabel 3.2. Klasifikasi ini di buat berdasarkan kecenderungan distribusi kejadian flare dengan luas daerah aktif .


(14)

Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil dari 10-2 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionth Solar Hemisphere (MH)s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-X 10-2 ergs cm-2s-1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan

muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas

X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan 10-1 ergs cm-2s-1

memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d

2500 MH, sehingga pengklasifikasian di buat dengan menjadikan

kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas.

Tabel 3.2. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif

Klasifikasi Keluasan Luas (MH)

Sempit L < 400

Sedang 400


(15)

Gambar 3.8. Distribusi kejadian flare terhadap keluasan daerah aktif Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi

konfigurasi medan magnet Mount Wilson yaitu

. 0.00E+00 2.00E-02 4.00E-02 6.00E-02 8.00E-02 1.00E-01 1.20E-01 0 5 0 0 1 0 0 0 1 5 0 0 2 0 0 0 2 5 0 0 In t e n s it a s Fl a r e

Keluasan Daerah Aktif

Flare Kelas B

Flare Kelas C

Flare Kelas M


(1)

3.4 Tehnik Pengolahan Data

3.4.1 Mengidentifikasi Indeks Dst

Setelah diperoleh data kejadian badai geomagnet kuat (Indeks Dst < -100 nT) maka dilihat grafik perubahan Dst dari tiap jam pada hari terjadinya badai geomagnet. Waktu yang dijadikan acuan yaitu waktu saat Dst mencapai nilai terendah.

Gambar 3.7. Contoh grafik perubahan Indeks Dst terhadap waktu pada bulan Oktober 1996 yang memberikan nilai Indeks Dst sebesar -105 nT

Berdasarkan data indeks Dst yang terlihat pada grafik diatas, hal yang perlu diperhatikan yaitu waktu kejadian (mulai turun sampai naik kembali) dan tingkat kekuatan badai (Dst minimum).

3.4.2 Mengidentifikasi Sumber Gangguan di Matahari

Setelah diperoleh data indeks Dst yang meliputi waktu kejadian dan Dst minimum maka selanjutnya dilakukan identifikasi terhadap sumber di Matahari yang menyebabkan terjadinya badai tersebut.


(2)

Pemilihan kandidat CME yang diduga sebagai penyebab badai dilakukan dalam selang waktu 2 hari s.d 3 hari . Setelah diperoleh kandidat CME yang berkaitan, selanjutnya dilakukan analisis terhadap kecepatan CME untuk memperkirakan waktu tibanya CME di Bumi. Jika waktu tibanya CME di Bumi sesuai dengan waktu terjadinya badai geomagnet maka CME tersebut dipilih sebagai penyebab badai geomagnet tersebut. Dengan mengetahui jarak Bumi - Matahari dan kecepatan CME maka waktu tibanya CME di Bumi dapat diketahui. Perkiraan waktu tibanya CME di Bumi dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1.Waktu Tiba CME di Bumi dengan Asumsi Tidak Ada Perlambatan (Sumber : sidc.be/rwc/cor2speed/cor2speed.html)

Kecepatan CME (km/s)

Waktu Tempuh

Jam Hari Jam

300 138,88 5 hari 18,8 jam

400 104,16 4 hari 8,16 jam

500 83,33 3 hari 11,33 jam

600 69,44 2 hari 21,44 jam

700 59,52 2 hari 11,52 jam

800 52,08 2 hari 4,08 jam

900 46,30 1 hari 22,30 jam

1000 41,67 1 hari 17,67 jam


(3)

Kecepatan CME (km/s)

Waktu Tempuh

Jam Hari jam

1200 34,72 1 hari 10,72 jam

1300 32,05 1 hari 8,05 jam

1400 29,76 1 hari 5,76 jam

1500 27,78 1 hari 3,78 jam

1600 26,04 1 hari 2,04 jam

1700 24,51 1 hari 0,51 jam

1800 23,15 23,15 jam

1900 21,93 21,93 jam

2000 20,83 20,83 jam

2100 19,84 19,84 jam

2200 18,94 18,94 jam

Jika telah ditemukan CME yang berkaitan, selanjutnya diidentifikasi pemicu terjadinya CME yaitu flare atau erupsi filamen. Flare terjadi dekat daerah aktif di Matahari sedangkan erupsi filamen dapat terjadi dekat atau jauh dari daerah aktif di Matahari. Selang waktu dipilih antara 2 hari s.d 3 hari sebelum kejadian badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan pemilihan waktu identifikasi CME. Flare dan erupsi filamen dapat dikatakan sebagai pemicu CME jika adanya kesesuaian antara waktu terjadinya flare atau erupsi filamen dengan waktu terjadinya CME.


(4)

Jika telah diidentifikasi flare sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian, kelas flare, lokasi daerah aktif, luas daerah aktif dan konfigurasi medan magnet daerah aktif. Sedangkan jika diidentifikasi bahwa erupsi filamen sebagai pemicu CME maka kita dapat memperoleh data berupa waktu kejadian dan lokasi. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet dan CME.

Jika tidak ditemukan adanya CME yang berkaitan maka dilakukan identifikasi terhadap lubang korona yang diduga sebagai penyebab terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu dipilih antara 1 hari s.d 5 hari sebelum terjadinya badai geomagnet. Pemilihan waktu ini disesuaikan dengan kecepatan angin Matahari. Posisi lubang korona yang diduga sebagai pemicu terjadinya badai yaitu terletak didekat ekuator dan berada di bagian barat Matahari. Data yang diperoleh berupa waktu kejadian dan posisi lubang korona. Data yang telah diperoleh ditabulasi disesuaikan dengan kejadian badai geomagnet.

Data yang telah diperoleh ditabulasi dan kemudian dibuat grafik untuk melihat penyebab terbanyak terjadinya badai geomagnet.

3.4.3 Mengidentifikasi Luas Daerah Aktif di Matahari dan Konfigurasi Medan Magnet Daerah Aktif di Matahari

Sesuai dengan tujuan awal penelitian yaitu mengetahui keterkaitan antara daerah aktif di Matahari dengan kejadian badai geomagnet kuat dengan variabel daerah aktif yaitu luas dan konfigurasi medan magnet, maka pada penelitian ini data kejadian badai geomagnet yang bukan disebabkan oleh CME yang dipicu oleh flare yang terjadi diatas daerah aktif dapat diabaikan.

Pada penelitian ini, klasifikasi keluasan daerah aktif di bagi menjadi 3 kategori yaitu sempit, sedang dan luas dengan ukuran keluasan di tunjukan pada Tabel 3.2. Klasifikasi ini di buat berdasarkan kecenderungan distribusi kejadian flare dengan luas daerah aktif .


(5)

Pada Gambar 3.8 terlihat bahwa kecenderungan flare kelas B dan C yang memiliki intensitas sinar-X lebih kecil dari 10-2 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 0 Millionth Solar

Hemisphere (MH)s.d 400 MH, flare kelas M yang memiliki intensitas sinar-X

10-2 ergs cm-2s-1 s.d lebih kecil dari 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 1000 MH dan flare kelas X yang memiliki intensitas sinar-X lebih besar sama dengan 10-1 ergs cm-2s-1 memiliki kecenderungan muncul pada luas daerah aktif berkisar 100 MH s.d 2500 MH, sehingga pengklasifikasian di buat dengan menjadikan kecenderungan distribusi flare kelas B dan C sebagai batas untuk kategori keluasan sempit, flare kelas M sebagai batas untuk kategori keluasan sedang dan flare kelas X sebagai batas untuk kategori keluasan luas.

Tabel 3.2. Klasifikasi Keluasan Daerah Aktif

Klasifikasi Keluasan Luas (MH)

Sempit L < 400

Sedang 400


(6)

Gambar 3.8. Distribusi kejadian flare terhadap keluasan daerah aktif

Klasifikasi konfigurasi medan magnet mengacu pada klasifikasi konfigurasi medan magnet Mount Wilson yaitu

. 0.00E+00 2.00E-02 4.00E-02 6.00E-02 8.00E-02 1.00E-01 1.20E-01 0 5 0 0 1 0 0 0 1 5 0 0 2 0 0 0 2 5 0 0 In t e n s it a s Fl a r e

Keluasan Daerah Aktif

Flare Kelas B

Flare Kelas C

Flare Kelas M