Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Kebutuhan Seksual Pasangan Hidup Pasien Skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang T1 462008039 BAB II

(1)

9

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Skizofrenia

2.1.1 Pengertian

Skizofrenia berasal dari dua kata “Skizo” yang artinya retak atau pecah (split), dan “frenia” yang artinya jiwa. Dengan demikian seseorang yang menderita gangguan jiwa skizofrenia adalah orang yang mengalami keretakan jiwa atau keretakan kepribadian (spilitting of personality) (Hawari, 2001).

Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi gerakan, dan perilaku yang aneh dan terganggu. Skizofrenia tidak dapat didefinisikan sebagai penyakit tersendiri melainkan diduga sebagai suatu sindrom atau proses penyakit yang mencakup banyak jenis dan berbagai gejala (Videback 2008).

Schizophrenia (Skizofrenia) merupakan gangguan mental atau sekelompok gangguan yang ditandai oleh kekacauan dalam bentuk dan isi pikiran (contohnya dalam delusi, halusinasi), dalam bentuk mood (contohnya : afek yang tidak sesuai), dalam


(2)

perasaan dirinya dan hubungannya dengan dunia luar (contohnya kehilangan batas batas ego, withdrawal), dalam tingkah laku (contohnya tingkah laku yang aneh dan tampaknya tanpa tujuan). (Dorland 1998, Ed 28) 2.1.2 Etiologi

Menurut Videbeck (2008), etiologi dari skizofrenia belum diketahui secara pasti. Namun beberapa penelitian terakhir menyebutkan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi dan menunjukan penyebab dari skizofrenia. Faktor faktor tersebut antara lain :

1. Faktor genetik

Penelitian mengenai adanya skizofrenia terkait dengan factor genetik lebih berfokus pada keluarga terdekat, seperti orangtua, saudara kandung, anak dan cucu sedangkan untuk kerabat dekat, sangat sedikit dilakukan. Penelitian yang dilakukan pada anak kembar identik memiliki resiko 50% untuk terkena skizofrenia sedangkan kembar fraternal hanya sebesar 15%. Penelitian yang lain menyebutkan bahwa anak anak yang memiliki satu orang tua biologis penderita skizofrenia memiliki tingkat resiko terkena skizofrenia 15% dan


(3)

meningkat menjadi 35% jika kedua orang tua biologis merupakan penderita skizofrenia. Selain itu ada juga penelitian yang menyebutkan bahwa anak-anak yang memiliki orang tua biologis namun diadopsi oleh keluarga tanpa riwayat skizofrenia saat lahir, tetap memiliki resiko genetik dari orang tua mereka.

2. Faktor Neuroanatomi dan neurokimia a. Neruroanatomi

Berdasarkan beberapa penelitian menunjukan individu yang menderita skizofrenia memiliki jaringan otak yang relatif lebih sedikit dan mengakibatkan kegagalan perkembangan atau kehilangan jaringan. Penurunan volume otak dan fungsi otak yang abnormal pada area temporal dan frontal yang mana patologi ini berkorelasi dengan tanda-tanda positif skizofrenia (lobus temporalis) seperti psikotis dan tanda tanda negatif (lobus frontalis) seperti tidak memiliki kemauan atau motivasi dan anhedonia. Tidak diketahui apakah perubahan pada lobus frontalis dan temporalis terjadi akibat kegagalan ini terjadi akibat kegagalan kedua


(4)

area tersebut mengalami kerusakan akibat virus, trauma, atau respon imun.

b. Neurokimia

Menurut beberapa teori mengenai neurokimia, terdapat dua unsur kimia yang mempengaruhi terjadinya skizofrenia yaitu Dopamin dan Serotonin.

Dopamin adalah suatu neurotransmitter yang terutama terdapat di batang otak, diketahui terlibat dalam pengontrolan gerakan yang kompleks, motivasi, kognisi, dan pengaturan respons emosional. Kelebihan dopamin sebagai faktor penyebab berdasarkan dua tipe observasi. Pertama, obat-obatan yang meningkat aktivitas pada system dopamin seperti amfetamin dan lovodopa kadang kadang menyebabkan reaksi psikotik paranoid yang sama dengan skizofrenia (Egan & Hyde, 2000 dalam Videbeck 2008). Kedua obat obatan yang menyekat reseptor dopamine pascasinaptik mengurangi gejala psikotik ; pada kenyataannya semakin besar kemampuan obat untuk menyekat reseptor dopamin, semakin efektif


(5)

obat tersebut dalm mengurangi gejala skizofrenia (O’Connor 1998, dalam Videbeck 2008).

Serotonin adalah neurotransmitter yang hanya ditemukan di otak. Fungsinya sebagian besar adalah inhibisi dan berperan penting dalam menimbulkan gangguan ansietas dan mood serta skizofrenia. Serotonin diketahui berperan dalam perilaku waham, halusinasi, dan menarik diri pada penderita skizofrenia. Serotonin berasal dari triptofan, suatu asam amino dalam makanan. Teori tentang serotonin memperlihatkan bahwa serotonin memiliki efek modulasi pada dopamin yang membantu mengontrol kelebihan dopamin.

3. Faktor Imunovirologi

Ada teori popular yang menyatakan bahwa perubahan patologi otak pada penderita skizofrenia dapat disebabkan oleh pajanan virus.

2.1.3. Gejala

Gejala skizofrenia terbagi dalam 2 kategori utama: gejala positif atau gejala nyata yang mencakup waham, halusinasi, dan disorganisasi pikiran, bicara,


(6)

dan perilaku yang tidak teratur. Gejala negatif atau gejala samar, seperti afek datar, tidak memiliki kemauan, dan menarik diri dari masyarakat atau rasa tidak nyaman. Gejala-gejala tersebut ditandai dengan individu menarik diri dari masyarakat, perilaku yang tidak lazim, kehilangan minat untuk sekolah atau bekerja, dan seringkali mengabaikan hygiene (Videback, 2008).

2.1.4. Klasifikasi

Skizofrenia diklasifikasikan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Text Revision (DSM-IV-TR) 2000 berdasarkan hasil diagnosis terhadap gejala yang dominan :

1. Skizofrenia tipe paranoid : ditandai dengan waham kejar (rasa menjadi korban atau dimata matai) atau waham kebesaran, halusinasi, dan kadang kadang keagamaan yang berlebihan (fokus waham agama), atau perilaku agresif dan bermusuhan. 2. Skizofrenia tipe tidak terorganisir ditandai dengan

afek datar atau afek yang tidak sesuai secara nyata, inkoherensi, asosiasi longgar, dan disorganisasi perilaku yang ekstrim.


(7)

3. Skizofrenia tipe katatonik ditandai dengan gangguan psikomotor yang nyata baik dalam bentuk tanpa gerakan atau aktifitas motorik yang berlebihan, negativism yang ekstrem, multisme, gerakan volunter yang aneh, ekolalia atau ekoprasia. Imobilitas motorik dapat terlihat berupa katalepsi (flexibilitas cerea) atau stupor, aktifitas berlebihan terlihat tanpa tujuandan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal.

4. Skizofrenia tipe tidak dapat dibedakan ditandai dengan gejala gejala skizofrenia campuran (atau tipe lain) disertai gangguan pikiran, afek dan perilaku.

5. Skizofrenia tipe residual ditandai dengan setidaknya satu episode skizofrenia sebelumnya tetapi saat ini tidak psikotik, menarik diri dari masyarakat, afek datar, serta asosiasi longgar.

2.1.5. Patofisiologi

Perjalanan penyakit skizofrenia dimulai dengan timbulnya gejala yang biasanya terdapat pada masa remaja atau dewasa awal sampai dengan umur pertengahan dengan melalui beberapa fase antara lain (Yosep, 2010):


(8)

1. Fase prodormal

- Berlangsung antara 6 bulan sampai 1 tahun - Gangguan dapat berupa self care, gangguan

dalam akademik, gangguan dalam pekerjaan, gangguan fungsi social, gangguan pikiran dan persepsi.

2. Fase aktif

- Berlangsung kurang lebih 1 bulan.

- Gangguan dapat berupa gejala psikotik, halusinasi, delusi, disorganisasi proses berpikir, gangguan bicara, gangguan perilaku, disertai kelainan neurokimia.

3. Fase Residual

Klien mengalami minimal 2 gejala; gangguan afek dan gangguan peran, serangan yang biasanya berulang ulang.

2.1.6. Pengobatan

Terapi skizofrenia memerlukan waktu relatif lama, berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Ini dimaksudkan untuk menekan sekecil mungkin kekambuhan (relapse) (Hawari, 2001)

Terapi yang komprehensif dan holistik atau terpadu dewasa ini sudah dikembangkan sehingga


(9)

penderita skizofrenia tidak lagi mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi daripada masa sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi terapi obat obatan anti skizofrenia (psikofarmaka), psikoterapi, terapi psikososial, dan terapi psikoreligius (Hawari. 2001).

1. Psikofarmaka

Terapi medis utama untuk skizofrenia ialah psikofarmakologi (Videback. 2008). Psikofarmakologi ini sendiri adalah ilmu yang mempelajari kimiawi, mekanisme, kerja serta farmakologi klinik dari psikotropika. Psikotropika adalah obat yang mempengaruhi fungsi perilaku, emosi dan pikiran yang biasa digunakan dalam bidang psikiatri atau ilmu kedokteran jiwa. Berdasarkan penggunaan klinik psikotropik dibedakan menjadi 4 golongan yaitu antipsikosis (major tranquilizer, neuroleptik), antiansietas (minor tranquilizer), antidepresi, antimania (mood stabilizer) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI 2007). Obat-obatan ini tidak menyembuhkan skizofrenia tapi digunakan untuk mengatasi gejala penyakit tersebut (Videback. 2008). Pengobatan


(10)

psikotropik juga hanya mengubah keadaan jiwa pasien sehingga labih kooperatif dan dapat menerima psikoterapi dengan lebih baik. Pada skizofrenia (dan juga gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi transmisi sinyal pengantar saraf (neurotransmitter) sel-sel susunan saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin yang mengakibatkan gangguan pada alam pikir, alam perasaan, dan perilaku. Oleh karena itu obat psikofarmaka (psikotropik) yang akan diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tadi sehingga gejala-gejala klinis dapat dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati (Hawari. 2001).

Adapun obat psikofarma yang ideal yaitu yang memenuhi syarat-syarat antara lain sebagai berikut :

a. Dosis rendah dan efektivitas terapi dalam waktu relative singkat

b. Tidak ada efek samping, kalaupun ada relatif kecil


(11)

c. Dapat menghilangkan dalam waktu relatif singkat baik gejala positif maupun negatif skizofrenia

d. Lebih cepat memulihkan fungsi kognitif (daya pikir dan daya ingat)

e. Tidak menyebabkan kantuk f. Memperbaiki pola tidur

g. Tidak menyebabkan habituasi, adiksi dan dependensi

h. Tidak menyebabkan lemas otot dan, kalau mungkin pemakaiannya dosis tunggal (single dose)

Terapi psikofarmaka (psikotropik) yang sering digunakan dalam pengobatan skizofrenia yaitu menggunakan obat antispikotik yang dibagi dalam dua golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan generasi kedua (atypical) (Hawari 2001). Littrell & Littrell 1998 (dalam Videback. 2008) menjelaskan bahwa obat tipikal mengatasi tanda-tanda positif skizofrenia seperti waham, halusinasi, gangguan pikiran dan gejala psikotik lain, tetapi tidak memiliiki efek yang tampak pada tanda-tanda negatif. Obat atipikal tidak


(12)

hanya mengurangi gejala psikotik tetapi untuk banyak klien, obat-obatan ini juga mengurangi tanda-tanda negatif seperti tidak memiliki kemauan dan motivasi, menarik diri dari masyarakat, dan anhedonia (Videback.2001). Beberapa golongan tipikal antara lain Chlorpromazine HCL (largactil, promactil, meproseptil) dan Haloperidol (Haldol, Govotil, Serenace).sedangkan beberapa golongan atipikal antara lain: Rispridone(Risperdal, Rizodal, Noprenia) Clozapine (Clozaril).

Efek samping antipsikotik signifikan dan dapat berkisar dari ketidaknyamanan ringan sampai gangguan gerakan permanen (Marder.2000, dalam Videbeck 2008). Karena banyak efek samping ini menakutkan dan mengesalkan bagi klien, efek samping tersebut sering kali menjadi alasan utama klien menghentikan dan mengurangi dosis obat. Efek samping tersebut dibagi menjadi 2 yaitu neurologis dan nonneurologis. (Videback.2008)

Efek samping neurologis yang serius meliputi efek samping ekstrapiramidal (distonia akut, akatisia, dan parkinsonisme), dikinesia Tardif, kejang dan sindrom maligna neuroleptik.


(13)

Sedangkan efek samping non neurologis meliputi sedasi, fotosensitivitas, dan gejala antikolinergik seperti mulut kering, pandangan kabur, konstipasi, retensi urine, dan hipotensi ortostatik.

Selain efek samping diatas, terdapat juga efek samping yang mengakibatkan terjadinya penurunan atau gangguan fungsi seksual yang didapatkan ketika menggunakan obat obatan psikotropika. Terdapat beberapa obat obatan dari golongan antipsikotik tipikal dan atipikal mengakibatkan efek samping pada fungsi seksual. CPZ mempunyai efek samping terhadap system reproduksi yaitu pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan ginekomastia. Efek samping ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamine yang menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan androgen menjadi estrogen di perifer (Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. 2007).


(14)

2. Psikoterapi

Terapi kejiwaan atau psikoterapi pada penderita skizofrenia baru dapat diberikan apabila penderita dengan terapi psikofarmaka diatas sudah mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas (Reality Testing Ability/RTA) sudah kembali pulih dan pemahaman diri (insight) sudah baik. Psikoterapi diberikan dengan catatan bahwa penderita masih tetap mendapat terapi psikofarmaka. Terapi ini banyak macam ragamnya tergantung dari kebutuhan dan latar belakang penderita sebelum sakit seperti: psikoterapi suportif, psikoterapi re-edukatif, psikoterapi re-konstruksi, psikoterapi kognitif, psikoterapi psiko-dinamik, psikoterapi perilaku dan psikoterapi keluarga (Hawari.2001)

3. Terapi Psikososial

Salah satu dampak dari gangguan jiwa skizofrenia adalah terganggunya fungsi sosial penderita, atau Hendaya (impairment). Hendaya ini terjadi dalam bidang fungsi rutin kehidupan sehari hari, seperti dalam bidang studi (sekolah/kuliah), pekerjaan, hubungan sosial dan perawatan diri.


(15)

Dengan terapi psikososial dimaksudkan penderita agar mampu kembali beradaptasi kembali dengan lingkungan sosial sekitarnya dan mampu merawat diri, mampu mandiri tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak tergantung pada orang lain sehingga tidak menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat. Penderita selama menjalani terapi psikososial ini hendaknya masih tetap mengkonsumsi obat psikofarmaka sebagaimana juga halnya waktu menjalani psikoterapi. Kepada penderita diupayakan untuk tidak menyendiri, tidak melamun, banyak kegiatan dan kesibukan dan bayak bergaul (silahturahmi/sosialisasi) (Hawari.2001)

4. Terapi Psikoreligius

Terapi keagamaan (psikoreligius) terhadap penderita skizofrenia ternyata mempunyai manfaat. Terapi keagamaan yang dimaksud adalah berupa kagiatan ritual keagamaan seperti berdoa, puji pujian, ceramah keagamaan, kajian kitab suci dan sebagainya.

Pemahaman dan penafsiran yang salah terhadap agama dapat mencetuskan terjadinya


(16)

gangguan jiwa skizofrenia, yang dapat diamati dengan adanya gejala gejala waham (delusi) keagamaan atau jalam pikiran patologis dengan pola sentral keagamaan. Dengan terapi psikoreligius ini gejala patologis dengan pola sentral keagamaan tadi dapat diluruskan, dengan demikian keyakinan atau keimanan penderita dapat dipulihkan kembali di jalan yang benar. (Hawari 2001)

2.2. Kebutuhan Seksualitas 2.2.1 Pengertian

Seksualitas dalam arti yang luas ialah semua aspek badaniah. Seksualitas adalah keinginan untuk berhubungan, kehangatan, kemesraan dan cinta, termasuk didalamnya memandang, berbicara, bergandengan tangan. (Yosep. 2010). Sexuality (seksualitas) merupakan keadaan jasmani individu dalam kaitannya dengan sikap atau aktivitas seksual. (Dorland 1998, Ed.28) Seksualitas menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005, adalah ciri, sifat, atau peranan seks, dorongan seks, kehidupan seks. Kehangatan adalah perihal hangat atau keadaan


(17)

gembira (KBBI. 2005). Kemesraan hal yang bersifat mesra, mesra yaitu lekat dan sangat erat (KBBI. 2005). 2.2.2 Konsep tentang Seksualitas

Seksualitas adalah istilah yang lebih luas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan/atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi (Potter & Perry 2005). Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerak tubuh, etiket berpakaian, dan perbendaharaan kata (Denney & Quadagno, 1992; Zawid 1994, dalam Potter & Perry, 2005).

Menurut Maslow jika kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka munculah kebutuhan akan cinta kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki selanjutnya orang akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya. Biasanya tingkah laku seksual ditentukan oleh banyak kebutuhan


(18)

bukan hanya kebutuhan seksual melainkan juga oleh aneka kebutuhan lain yang utama diantaranya adalah kebutuhan akan cinta dan kebutuhan akan kasih sayang (Goble, 1971). Jadi pada manusia seksualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antarindividu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah (Psikofisik) menjadi dasar kehidupan bersama antar dua insan. Dengan demikian dalam hubungan seksual tidak hanya alat kelamin dan daerah erogen (mudah terangsang) yang ikut berperan tetapi juga psikologis dan emosi (Irianto. 2010).

2.2.3 Dorongan Seksual

Dorongan seksual, seperti dorongan lain pada manusia, merupakan kejadian yang normal dan atau netral. Tergantung bagaimana caranya manusia menyalurkan dorongan tersebut. menurut Irianto (2010), dorongan atau keinginan untuk bersetubuh atau bersenggama (koitus) disebut libido seksualis (nafsu birahi / syahwat).

Hasrat pemenuhan seksual adalah yang paling kuat diantara semua keinginan manusia. Kalau terdorong oleh keinginan ini, manusia bisa


(19)

mengembangkan imajinasi yang paling tajam, keberanian, kekuatan, kemauan, ketekunan dan semua kemampuan kreatif yang tidak mereka ketahui pada saat saat lainnya. Demikian kuat dan berpengaruhnya keinginan untuk pemuasan seksual sehingga manusia begitu berani mempertaruhkan jiwa dan reputasi untuk memenuhinya. Emosi seks adalah “daya yang tidak tertahankan” dan tidak ada satupun yang bisa melawannya. Emosi ini bisa ditekan dan dikendalikan untuk sementara waktu, tetapi sifatnya sendiri menyebabkan emosi ini terus mencari sarana ekspresi. Kalau tidak ditaransmutasikan kedalam suatu upaya kreatif, emosi seksual akan menemukan penyaluran yang tidak begitu pantas. Kalau terdorong oleh emosi ini maka seorang pria bisa memiliki kekuatan super untuk melakukan tindakan (Yosep. 2010)

2.2.4 Tahapan Pelaksanaan Hubungan Seks

Dalam melakukan hubungan seks, terdapat tahapan tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut Yosep (2010) 4 tahapan berhubungan seks adalah :

1. Tingkat 1 (perangsangan) ditimbulkan oleh rangsangan psikologik (fantasi, kehadiran objek cinta) atau rangsaan faaliah (usapan, kecupan)


(20)

atau gabungan keduanya. Terjadilah ereksi pada pria dan lubrikasi (pelumasan lendir) vaginal, keduanya dalam waktu 10 detik sejak rangsangan efektif dimulai. Puting susu menjadi tegang, seperti pada wanita. Klitoris menjadi keras dan bengkak serta labia mayora dan minora menjadi tebal. Fase perangsangan dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.

2. Tingkat 2 (dataran) bila rangsangan berlangsung terus, testis menjadi lebih besar 50 % dan terangkat. Sepertiga bagian bawah vagina mengecil. Klitoris terangkat dan masuk ke belakang simfisis pubis sehingga tidak mudah dicapai. Payudara wanita bertambah besar 25 %. Fase dataran berlangsung 30 detik sampai beberapa menit.

3. Tingkat 3 (orgasme). Pada saat dilakukanya hubungan seks terjadi yang namanya penetrasi. Kedua kelamin laki laki dan perempuan bertemu dan terjadilah yang namanya coitus. Dalam coitus ini intensitas gerakan semakin bertambah secara teratur, ke dalam dan keluar yang akan menambah sering tingkat gesekan penis ke dinding vagina,


(21)

yang akan menyampaikan proses pemanasan kepada puncaknya yaitu orgasme (Abdurrahman. 2011). Pada pria orgasme timbul sebagai “reflek bersin” yang tidak dapat ditahan dan diikuti dengan penyemprotan sperma. Terjadi 4-5 kali spasme ritmik pada prostat, vesika, seminalis, vas defefrens dan uretra dalam interval 0,8 detik. Pada wanita terjadi 3-12 kali kontraksi “pangung orgasmik” dan uterus berkontraksi secara tetanik yang terjadi dari fundus ke seviks dengan interval 0,8 detik.

Timbul kontraksi involunter pada sfinkter ani internal dan eksternal. Terdapat juga gerakan gerekan volunteer dan involunter pada kelompok otot besar, termasuk otot muka dan spasme karpopedal. Tekanan darah naik dengan 20-40 mm (sistolik dan diastolik) dan denyutan jantung mmeningkat sampai dengan 120-160 per menit. Orgasme berlangsung 3-15 detik dengan kesadaran yang sedikit berkabut.

4. Tingkat 4 (resolusi). Dalam fase penyelesaian atau resolusi terjadi pengaliran darah ke luar dari genitalia sehingga badan kembali kedalam


(22)

keadaan istirahat. Jika terjadi orgasme, maka resolusi cepat, jika tidak maka resolusi berlangsung 2-4 jam dengan rasa nyeri pada genitalia dan iritabilitas.

Resolusi yang berhasil pada kedua sex ditandai dengan perasaan sejahtera, senang, dan lega serta reaksi pengeluaran keringat diseluruh badan. Sesudah orgasme pria mengalami periode refrakter selama beberapa menit sampai berjam-jam lamanya. Selama masa ini tidak dapat diranggsang untuk orgasme lagi. Periode refrakter bertambah panjang dengan bertambahnya usia. Pada wanita tidak terdapat periode refrakter, sehingga wanita mampu mencapai 20 sampai 30 orgasme bila rangsangan berlangsung terus.


(1)

gembira (KBBI. 2005). Kemesraan hal yang bersifat mesra, mesra yaitu lekat dan sangat erat (KBBI. 2005). 2.2.2 Konsep tentang Seksualitas

Seksualitas adalah istilah yang lebih luas diekspresikan melalui interaksi dan hubungan dengan individu dari jenis kelamin yang berbeda dan/atau sama dan mencakup pikiran, pengalaman, pelajaran, ideal, nilai, fantasi, dan emosi (Potter & Perry 2005). Seksualitas berhubungan dengan bagaimana seseorang merasa tentang diri mereka dan bagaimana mereka mengkomunikasikan perasaan tersebut kepada orang lain melalui tindakan yang dilakukannya, seperti sentuhan, ciuman, pelukan, dan senggama seksual, dan melalui perilaku yang lebih halus, seperti isyarat gerak tubuh, etiket berpakaian, dan perbendaharaan kata (Denney & Quadagno, 1992; Zawid 1994, dalam Potter & Perry, 2005).

Menurut Maslow jika kebutuhan akan rasa aman telah terpenuhi, maka munculah kebutuhan akan cinta kasih sayang dan rasa memiliki-dimiliki selanjutnya orang akan mendambakan hubungan penuh kasih sayang dengan orang lain pada umumnya. Biasanya tingkah laku seksual ditentukan oleh banyak kebutuhan


(2)

bukan hanya kebutuhan seksual melainkan juga oleh aneka kebutuhan lain yang utama diantaranya adalah kebutuhan akan cinta dan kebutuhan akan kasih sayang (Goble, 1971). Jadi pada manusia seksualitas dapat dipandang sebagai pencetus dari hubungan antarindividu, dimana daya tarik rohaniah dan badaniah (Psikofisik) menjadi dasar kehidupan bersama antar dua insan. Dengan demikian dalam hubungan seksual tidak hanya alat kelamin dan daerah erogen (mudah terangsang) yang ikut berperan tetapi juga psikologis dan emosi (Irianto. 2010).

2.2.3 Dorongan Seksual

Dorongan seksual, seperti dorongan lain pada manusia, merupakan kejadian yang normal dan atau netral. Tergantung bagaimana caranya manusia menyalurkan dorongan tersebut. menurut Irianto (2010), dorongan atau keinginan untuk bersetubuh atau bersenggama (koitus) disebut libido seksualis (nafsu birahi / syahwat).

Hasrat pemenuhan seksual adalah yang paling kuat diantara semua keinginan manusia. Kalau terdorong oleh keinginan ini, manusia bisa


(3)

mengembangkan imajinasi yang paling tajam, keberanian, kekuatan, kemauan, ketekunan dan semua kemampuan kreatif yang tidak mereka ketahui pada saat saat lainnya. Demikian kuat dan berpengaruhnya keinginan untuk pemuasan seksual sehingga manusia begitu berani mempertaruhkan jiwa dan reputasi untuk memenuhinya. Emosi seks adalah “daya yang tidak tertahankan” dan tidak ada satupun yang bisa melawannya. Emosi ini bisa ditekan dan dikendalikan untuk sementara waktu, tetapi sifatnya sendiri menyebabkan emosi ini terus mencari sarana ekspresi. Kalau tidak ditaransmutasikan kedalam suatu upaya kreatif, emosi seksual akan menemukan penyaluran yang tidak begitu pantas. Kalau terdorong oleh emosi ini maka seorang pria bisa memiliki kekuatan super untuk melakukan tindakan (Yosep. 2010)

2.2.4 Tahapan Pelaksanaan Hubungan Seks

Dalam melakukan hubungan seks, terdapat tahapan tahapan dalam pelaksanaannya. Menurut Yosep (2010) 4 tahapan berhubungan seks adalah :

1. Tingkat 1 (perangsangan) ditimbulkan oleh rangsangan psikologik (fantasi, kehadiran objek cinta) atau rangsaan faaliah (usapan, kecupan)


(4)

atau gabungan keduanya. Terjadilah ereksi pada pria dan lubrikasi (pelumasan lendir) vaginal, keduanya dalam waktu 10 detik sejak rangsangan efektif dimulai. Puting susu menjadi tegang, seperti pada wanita. Klitoris menjadi keras dan bengkak serta labia mayora dan minora menjadi tebal. Fase perangsangan dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam.

2. Tingkat 2 (dataran) bila rangsangan berlangsung terus, testis menjadi lebih besar 50 % dan terangkat. Sepertiga bagian bawah vagina mengecil. Klitoris terangkat dan masuk ke belakang simfisis pubis sehingga tidak mudah dicapai. Payudara wanita bertambah besar 25 %. Fase dataran berlangsung 30 detik sampai beberapa menit.

3. Tingkat 3 (orgasme). Pada saat dilakukanya hubungan seks terjadi yang namanya penetrasi. Kedua kelamin laki laki dan perempuan bertemu dan terjadilah yang namanya coitus. Dalam coitus ini intensitas gerakan semakin bertambah secara teratur, ke dalam dan keluar yang akan menambah sering tingkat gesekan penis ke dinding vagina,


(5)

yang akan menyampaikan proses pemanasan kepada puncaknya yaitu orgasme (Abdurrahman. 2011). Pada pria orgasme timbul sebagai “reflek bersin” yang tidak dapat ditahan dan diikuti dengan penyemprotan sperma. Terjadi 4-5 kali spasme ritmik pada prostat, vesika, seminalis, vas defefrens dan uretra dalam interval 0,8 detik. Pada wanita terjadi 3-12 kali kontraksi “pangung orgasmik” dan uterus berkontraksi secara tetanik yang terjadi dari fundus ke seviks dengan interval 0,8 detik.

Timbul kontraksi involunter pada sfinkter ani internal dan eksternal. Terdapat juga gerakan gerekan volunteer dan involunter pada kelompok otot besar, termasuk otot muka dan spasme karpopedal. Tekanan darah naik dengan 20-40 mm (sistolik dan diastolik) dan denyutan jantung mmeningkat sampai dengan 120-160 per menit. Orgasme berlangsung 3-15 detik dengan kesadaran yang sedikit berkabut.

4. Tingkat 4 (resolusi). Dalam fase penyelesaian atau resolusi terjadi pengaliran darah ke luar dari genitalia sehingga badan kembali kedalam


(6)

keadaan istirahat. Jika terjadi orgasme, maka resolusi cepat, jika tidak maka resolusi berlangsung 2-4 jam dengan rasa nyeri pada genitalia dan iritabilitas.

Resolusi yang berhasil pada kedua sex ditandai dengan perasaan sejahtera, senang, dan lega serta reaksi pengeluaran keringat diseluruh badan. Sesudah orgasme pria mengalami periode refrakter selama beberapa menit sampai berjam-jam lamanya. Selama masa ini tidak dapat diranggsang untuk orgasme lagi. Periode refrakter bertambah panjang dengan bertambahnya usia. Pada wanita tidak terdapat periode refrakter, sehingga wanita mampu mencapai 20 sampai 30 orgasme bila rangsangan berlangsung terus.


Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Kebutuhan Seksual Pasangan Hidup Pasien Skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang T1 462008039 BAB I

0 0 8

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Kebutuhan Seksual Pasangan Hidup Pasien Skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang T1 462008039 BAB IV

0 1 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Kebutuhan Seksual Pasangan Hidup Pasien Skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang T1 462008039 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Kebutuhan Seksual Pasangan Hidup Pasien Skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang

0 0 14

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pemenuhan Kebutuhan Seksual Pasangan Hidup Pasien Skizofrenia Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang T1 462007050 BAB I

0 0 9

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang T1 462007050 BAB II

0 0 32

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang T1 462007050 BAB IV

0 0 26

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Frekuensi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Amino Gondohutomo Semarang T1 462007050 BAB V

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Perilaku seksual Pasien Inap RSJD. dr. Amino Gondohutomo Semarang

0 0 16