Studi Deskriptif Mengenai Profil Perilaku Agresi pada Remaja Penghuni Rumah Susu 'X' di Kota Bandung.

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha

Abstrak

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui gambaran profil perilaku agresi pada remaja rumah susun ‘X’ di Kota Bandung. Dimana agresi memiliki 8 kategori dan semua kategori tersebut akan terjadi namun dengan intensitas atau presentase yang berbeda-beda. Penelitian dilakukan pada remaja dengan karakteristik remaja usia 13 – 18 tahun. Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif. Alat ukur yang digunakan merupakan kuesioner disusun oleh peneliti berdasarkan teori dari Buss dan terdiri dari 40 item. Data yang diperoleh diolah menggunakan uji Rank Spearman.

Berdasarkan pengolahan data secara statistik, maka didapat bahwa seluruh item pertanyaan pada variabel dinyatakan valid, yaitu memiliki nilai koefisien validitas> titik kritis (0,300), kecuali pada item nomor 6 dan koefisien reliabilitas untuk variabel Y diperoleh 0,946 > 0,700 sehingga variabel X dinyatakan reliabel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil agresi muncul menyebar dengan presentase yang berbeda-beda dan diperoleh bahwa kategori perilaku agresi verbal aktif tidak langsung yang paling dominan yaitu sebanyak total skor 880 atau 15,17% dan yang paling sedikit muncul adalah perilaku agresi fisik aktif langsung yaitu sebanyak total skor 600 atau 10,34%.

Peneliti mengajukan saran praktis untuk remaja rumah susun X untuk lebih terbuka dalam mengekspresikan dan mengkomunikasikan perilaku agresi.


(2)

iv Universitas Kristen Maranatha

Abtract

This research is an descriptive studies concerning the profile aggressive behavior of adolescents in flats Sarijadi, Bandung. Aggression has 8 categories with different percentages. The research conducted in adolescents with the characteristics of adolescents aged 13-18 years. The design used in this research is descriptive research design. The instrument in this research used a questionnaire based on the theory of Buss and consists of 40 items. The data were processed using the Rank Spearman.

Based on statistical data processing, it is found that all question items on the variable is valid except item number 6, the validity coefficient value> critical point (0.300) and reliability coefficient for the variable Y is obtained 0.946> 0.700 so that the variable X declared reliable. The results showed that the profile of aggression appears to spread by the percentage of different categories and found that indirect active verbal aggressive behavior is the most dominant as many as the total score of 880 or 15.17% and that at least comes up is direct active physically aggressive behavior with total score of 600 or 10.34%.

Researchers propose practical suggestions for adolescents in flats Sarijadi Bandung, to be more open in expressing and communicating behavioral aggression.


(3)

viii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Lembar Judul i

Lembar Pengesahan ii

Abstrak iii

Abstract iv

Kata Pengantar v

Daftar Isi viii

Daftar Bagan xiii

Daftar Tabel xiv

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang Masalah 1

1.2 Identifikasi Masalah 7

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 7

1.3.1 Maksud Penelitian 7


(4)

ix Universitas Kristen Maranatha

1.4 Kegunaan Penelitian 8

1.4.1 Kegunaan Teoritis 8

1.4.2 Kegunaan Praktis 8

1.5 Kerangka Pikir 8

1.6 Asumsi 13

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 14

2.1 Human Aggression 14

2.1.1 Pengertian Agresi 14

2.1.2 Perbandingan Perspektif Teoritis Mengenai Agresi 21

2.1.2.1 Agresi sebagai Perilaku Instinktif 21

2.1.2.2 Agresi sebagai Dorongan yang Muncul Dalam

Diri 24

2.1.2.3 Agresi sebagai Perilaku Hasil Pembelajaran

Sosial 27

2.1.3 Determinan Agresi 31


(5)

x Universitas Kristen Maranatha

2.1.3.2 Determinan Agresi yang Bersifat Situasional 35

2.2 Masa Remaja 36

2.2.1 Definisi Masa Remaja 36

2.2.2 Karakteristik Remaja 36

2.2.3 Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Masa

Remaja 40

2.2.4 Tugas Perkembangan Remaja 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 48

3.1. Rancangan dan Prosedur Penelitian 48

3.2. Bagan Rancangan Penelitian 49

3.3. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 49

3.4. Alat Ukur 52

3.4.1. Alat Ukur Profil Perilaku Agresi 52

3.4.2 Sistem Penilaian 53

3.4.3 Data Pribadi dan Data Penunjang 53

3.4.3.1 Data Pribadi 53


(6)

xi Universitas Kristen Maranatha

3.4.4. Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur 54

3.4.4.1. Validitas Alat Ukur 54

3.4.4.2. Reliabilitas Alat Ukur 55

3.5. Populasi dan Teknik Penarikan Sampel 57

3.5.1. Populasi Sasaran 57

3.5.2. Karakteristik Populasi 57

3.5.3. Teknik Penarikan Sampel 58

3.6. Teknik Analisia Data 58

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 60

4.1. Gambaran Responden 60

4.1.1. Gambaran Jenis Kelamin 60

4.1.2. Gambaran Usia 61

4.1.3. Gambaran Pendidikan 61

4.2. Hasil Penelitian 62

4.2.1. Gambaran Profil Perilaku Agresi 62


(7)

xii Universitas Kristen Maranatha

4.2.2.1. Gambaran Determinan Agresi yang

Berasal dari Lingkungan 63

4.2.2.2. Gambaran Determinan Agresi yang

Bersifat Situasional 65

4.3. Pembahasan 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 73

5.1. Kesimpulan 73

5.2. Saran 74

Daftar Pustaka 75

Daftar Rujukan 76


(8)

xiii Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN

Bagan 1.1 Kerangka Pikir 12


(9)

xiv Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kategori Agresi Berdasarkan Teori Buss (1961) 20

Tabel 3.2 Kisi-kisi Item 52

Tabel 3.3 Kisi-kisi Item Determinan Agresi 54

Tabel 3.4 Pengelompokan Penilaian Item Positif 59

Tabel 3.5 Pengelompokan Penilaian Item Negatif 59

Tabel 4.1 Jenis Kelamin 60

Tabel 4.2 Usia 61

Tabel 4.3 Pendidikan 61

Tabel 4.4 Profil Perilaku Agresi 62

Tabel 4.5 Determinan Agresi yang Berasal dari Lingkungan (Noise) 63

Tabel 4.6 Determinan Agresi yang Berasal dari Lingkungan (Crowding) 63

Tabel 4.7 Determinan Agresi yang Berasal dari Lingkungan (Heat) 64

Tabel 4.8 Determinan Agresi yang Bersifat Situasional

(Heightened Arousal) 64

Tabel 4.9 Determinan Agresi yang Bersifat Situasional

(Aggressive Cue Value) 65


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pembangunan rumah susun merupakan respon terhadap kebutuhan rumah bagi masyarakat. Rumahsusun menjadi alternatif pilihan untuk penyediaan hunian karena merupakan pilihan yang ideal bagi negara- negara berkembang. Daerah yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk yang tinggi memiliki permasalahan pada kurangnya ketersediaan hunian, ketidaklayakan hunian dan keterbatasan lahan.Indonesia yang saat ini memiliki lebih dari 250 juta penduduk dan Pulau Jawa adalah salah satu pulau yang paling padat penduduknya yang membutuhkan banyak pemukiman untuk menampung penduduknya.

Menurut Menteri Negara Perumahan Rakyat (Mennegpera) M. Yusuf Asy’ari mengatakan bahwa saat ini telah terjadi tren global mengenai pembangunan rumah vertikal. Hampir seluruh dunia melakukannya termasuk Indonesia. Keterbatasan lahan yang ada di daerah sekitar membuat pembangunan rumah vertikal dilakukan.Ia menargetkan bahwa di tahun 2011 dapat dibangun 1.000 tower rumah susun di sejumlah kota besar di Indonesia (Harian Pikiran Rakyat, Sabtu 04 Juni 2009.KOTA BANDUNG BUTUH 200.000 RUMAH BARU. Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan menyebutkan bahwa saat ini kota Bandung mambutuhkan sekitar lebih dari 200.000 unit rumah tinggal, sedangkan untuk keseluruhan kota Bandung membutuhkan 500.000 unit rumah tinggal bagi seluruh penduduknya. Sementara itu, di kota Bandung sendiri baru


(11)

2

Universitas Kristen Maranatha

terdapat 380.000 unit rumah, itu berarti di kota Bandung masih perlu dibangun

kurang lebih 200.000 unit rumah. (online)

http://www.ahmadheryawan.com/lintas-kabupaten-kota/kota-bandung/5037-kota-bandung-butuh-200000-rumah baru.pdf). Penulis melihat bahwa pembangunan rumah susun cenderung dilakukan di kota-kota besar. Penduduk yang semakin banyak, baik penduduk asli maupun pendatang dan terjadinya keterbatasan lahan memungkinkan untuk segera dibangun rumah susun. Terjadinya tren perumahan vertikal, tentunya akan mempengaruhi sikap dari penduduk, khususnya penghuni rumah susun itu sendiri.Termasuk Bandung yang saat ini telah mengalami tren pembangunan rumah susun.

Barker (1968) seorang tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian perilaku individual di lapangan (bukan laboratorium seperti pada umumnya penelitian psikologi tradisional) dan menelusuri pola perilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya, lingkungan fisik bisa terdiri atas teresterial atau tatar geografis. Lingkungan teresterial dapat dikatakan menjadi sumber bagi banyak pengalaman manusia. Perancangan yang dilakukan pada lingkungan tentu akan mempengaruhi struktur lingkungan teresterial ini dan akhirnya akan mempengaruhi juga stimulus yang terbentuk bagi manusia. Salah satu bentuk dari lingkungan teresterial adalah rumah tinggal, yang diantaranya berbentuk rumah susun.

Karakteristik rumah susun berbeda dengan rumah biasa pada umumnya. Rumah susun dibangun secara vertikal, dalam satu bangunan terdapat beberapa kepala keluarga yang tinggal dengan jarak fisik sangat berdekatan satu sama lain.


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha

Secara teknis, ada beberapa permasalahan yang ditimbulkan dari pengelolaan rumah susun, diantaranya adalah adanya ketidaksesuaian antara kebutuhan, keinginan, dan kenyataan dari penataan fisik antara dapur, kamar mandi dan kamar tidur, serta tidak tersedianya ruang pertemuan yang memadai sebagai tempat bersosialisasi. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan luasan per satuan unit rumah susun serta belum adanya desain standar yang ideal,

Menurut Sarlito W, dalam Sejumlah Masalah Pemukiman Kota (1984 : 145) bahwa:

“Rumah susun sebagai rumah, dapat diartikan suatu bangunan dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya. Disamping itu rumah juga merupakan tempat dimana berlangsung proses sosialisasi pada saat seorang individu diperkenalkan pada norma dan adat kebiasaan yang berlaku di dalam suatu masyarakat”

Dalam proses rancangan rumah susun kendala utama yang dihadapi adalah biaya yang harus ditekan serendah mungkin namun tetap memberikan akomodasi yang memadai. Dengan kata lain, bagaimana menciptakan ukuran-ukuran ruang yang minimum, bagaimana mengoptimalkan penggunaan ruang, dan bagaimana membuat denah-denah perencanaan yang sederhana dan mudah dibangun. Pendekatan ini menghasilkan lingkungan hunian yang mempunyai karakteristik khas yaitu kepadatan tinggi, ruangan-ruangan terbatas, dan kedekatan fisik antar rumah secara horisontal maupun vertikal.

Perbedaan pola hubungan yang terbentuk diantara masyarakat yang tinggal di perumahan vertikal dan horizontal diakibatkan oleh pola relasi antara masyarakat penghuni yang berbeda. Perumahan horizontal hubungan masyarakat


(13)

4

Universitas Kristen Maranatha

yang terbentuk didukung oleh ruang yang masih tersisa, dan masyarakat dapat melakukan pola hubungan dan relasinya di ruang-ruang terbuka. Berbincang-bincang merupakan hal umum yang ditemui pada masyarakat penghuni perumahan horizontal dan relatif lebih terbuka. Pola hubungan yang tercipta di rumah susun akan terbentuk berdasarkan pola interaksi yang tercipta diantara masyarakat yang dipengaruhi ruang yang ada sebagai tempat masyarakat untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan. Penghuni rumah susun hanya diberikan ruang gerak yang relatif lebih sempit dan tertutup.

Sebagai makhluk sosial setiap penghuni rumah susun melakukan interaksi sosial. Dalam berinteraksi sosial penghuni rumah susun tentunya tidak terlepas dari hubungan kerjasama dan membutuhkan satu sama lainnya. Namun dalam kehidupan sosial juga tidak pernah terlepas dari benturan-benturan, konflik yang dikarenakan perbedaan kepentingan. Kesesakan dan kepadatan adalah hal yang dirasakan akibat karakteristik rumah susun. Kepadatan menyebabkan berkurangnya solidaritas sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin padat penduduk semakin meningkat rasa tak peduli kepada orang lain. Sementara itu beberapa penelitian lain juga mencoba menunjukkan pengaruh negatif kesesakan terhadap perilaku. Fisher dan Byrne (dalam Watson dkk., 1984) menemukan bahwa kesesakan dapat mengakibatkan menurunnya kemampuan menyelesaikan tugas yang kompleks, menurunkan perilaku sosial, ketidaknyamanan dan berpengaruh negatif terhadap kesehatan dan menaikkan gejolak fisik seperti naiknya tekanan darah (Evans, 1979). (Online), (http://mardianaekash.ngeblogs.com/2010/06/06/kesesakan/).


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha

Rumah Susun ‘X’ di kota Bandung terdiri dari 12 blok dengan 24 hunian dan empat lantai untuk setiap blok. Setiap hunian memiliki luas kurang lebih 36 m². Setiap blok terdapat penghuni remaja dalam jumlah yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil wawancara terhadap delapan remaja penghuni rumah susun, mereka menyatakan mereka ingin memiliki dan tinggal di rumah tinggal horizontal. Selama tinggal dan menjadi penghuni rumah susun, terdapat beberapa masalah yang mereka rasakan, diantaranya adalah tidak adanya tempat berkumpul bersama dengan penghuni lain, sehingga lahan parkir dijadikan tempat untuk berjumpa dengan penghuni lain, selain itu seringkali penghuni kesal terhadap penghuni lain yang tidak mau berpartisipasi memelihara lingkungan rumah susun, terutama peghuni baru dan banyak juga penghuni lama yang bahkan tidak mau memelihara karena mereka merasa sudah banyak memelihara lingkungannya.

Keadaan rumah yang satu sama lainnya berdekatan mengakibatkan timbulnya kebisingan. Semua penghuni seharusnya menghormati penghuni lain dengan tidak melakukan kegiatan di malam hari sehingga menimbulkan kebisingan, namun banyak juga penghuni yang tidak menyadari hal tersebut sehingga mengganggu ketenangan penghuni lain. Apabila ada penghuni yang mengganggu, maka lebih baik menghentikan kebisingannya dengan segera memarahi penghuni tersebut. Mereka juga menyatakan bahwa mereka terkadang kesal dan marah terhadap orang selain penghuni rumah susun yang mempersepsi bahwa penghuni rumah susun itu miskin, padahal hal tersebut tidak sepenuhnya benar meskipun ada penghuni rumah susun yang hidup dengan kepala keluarga tanpa pekerjaan yang tetap.


(15)

6

Universitas Kristen Maranatha

Selain itu mereka melakukan agresi secara verbal. Diantaranya ada yang menyatakan bahwa bosan dengan kegiatan di sekitar komplek rumah susun. Ada juga yang seringkali memperebutkan satu tempat untuk berkumpul. Lima orang dari mereka menyatakan bahwa seringkali melakukan keributan karena mengikuti orang dewasa yang juga melakukan keributan.

Perilaku yang ditunjukkan oleh remaja penghuni rumah susun tersebut merupakan perilaku reaktif terhadap kondisi lingkungan yang dirasakan padat. Mereka menunjukkan perilaku agresi sebagai alasan dalam mengatasi permasalahan atau konflik yang terjadi di lingkungan rumah susun. Menurut Buss (1989), perilaku agresi adalah suatu perilaku yang dilakukan untuk menyakiti, mengancam atau membahayakan individu atau objek-objek yang menjadi sasaran perilaku tersebut baik (secara fisik atau verbal) dan langsung atau tidak langsung. Agresi manusia tidak muncul sebagai adaptasi khusus untuk menangani masalah tertentu tetapi muncul sebuah adaptasi untuk menangani sejumlah masalah yang berkaitan untuk kelangsungan hidup manusia. Dalam hal ini, jika menyakiti orang lain karena unsur ketidaksengajaan, maka perilaku tersebut bukan dikategorikan perilaku agresi

Bandura (dalam Baron dan Byrne, 1994) menyatakan bahwa perilaku agresi merupakan hasil dari proses belajar sosial melalui pengamatan terhadap dunia sosial. Terdapat beberapa faktor lain yang menyebabkan seseorang bersikap agresi, diantaranya adalah amarah, faktor biologis, kesenjangan generasi, lingkungan, peran belajar model kekerasan, frustrasi, dan proses pendisiplinan yang keliru.


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha

Perilaku agresi sebagai perilaku reaktif tersebut di atas menurut Loo (dalam Gove dan Hughes, 1983) dan Holahan (1982) lebih terlihat pada individu yang usianya lebih muda dibanding yang lebih tua. Remaja melakukan perilaku agresi adalah akibat dari frustrasi yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai. Akibatnya mereka menjadi mudah marah dan berperilaku agresi. Perilaku agresi baik secara fisik atau verbal, dan agresi secara langsung atau tidak langsung dilakukan oleh remaja rumah susun ‘X’ tetapi dengan intensitas yang berbeda-beda pada setiap kategorinya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai profil perilaku agresi pada remaja yang bertempat tinggal di rumah susun.

1.2. Identifikasi Masalah

Bagaimana profil agresi pada remaja penghuni rumah susun ‘X’ di Kota Bandung?

1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian

1.3.1. Maksud Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan maksud untuk memperoleh gambaran mengenai profil perilaku agresi remaja penghuni rumah susun ‘X’ di Kota Bandung. 1.3.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini mempunyai tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai

profil perilaku agresi berupa agresi fisik-verbal, aktif-pasif, dan langsung-tidak langusung spada remaja penghuni rumah susun ‘X’ di Kota Bandung.


(17)

8

Universitas Kristen Maranatha

1.4. Kegunaan Penelitian

1.4.1. Kegunaan Teoritis

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi perkembangan teori psikologi sosial, khususnya teori agresi.

 Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya hasil penelitian tentang profil agresi remaja yang telah ada.

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi peneliti lain yang berminat melakukan penelitian lanjutan mengenai profil agresi pada remaja di rumah susun.

1.4.2. Kegunaan Praktis

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman bagi orang tua yang tinggal di penghuni rumah susun mengenai profil pada remaja sehingga dapat menjadi masukkan bagi orang tua dalam menyikapi agresi dari remaja sebagai anak.

 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan pemahaman bagi remaja penghuni rumah susun mengenai profil agresi sehingga dapat mengetahui tindakan yang seharusnya dilakukan.

1.5. Kerangka Pikir

Awal masa remaja berlangsung kira-kira dari 13 tahun sampai 16 tahun atau 17 tahun, dan akhir masa remaja bermula dari usia 16 atau 17 tahun sampai


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha

18 tahun, yaitu usia matang secara hukum. Remaja yang ada di rumah susun ‘X’ di kota Bandung adalah mereka yang tinggal dan aktif melakukan kegiatan sehari-hari di rumah susun ‘X’ dan telah berusia kurang lebih antara 13 – 18 tahun. Remaja rumah susun ‘X’ juga mengalami masa perubahan seperti remaja pada umumnya. Perubahan-perubahan tersebut mencakup perubahan fisik, perubahan terhadap minat, emosi, dan peran periode perubahan. Perubahan yang paling mengemuka adalah perubahan emosionalitas.

Pada dasarnya pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi sama dengan masa kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih, dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Emosi merupakan salah satu perilaku reaktif yang dilakukan terhadap stimulus yang diperoleh dari lingkungan. Selain itu, remaja rumah susun mengalami perubahan sosial yang meliputi meningkatnya peer group. Di mana ketika remaja rumah susun mengalami masalah, mereka lebih memilih untuk membicarakan masalahnya dengan teman atau peer group nya, mereka mengekspresikan emosi melalui teman dan tidak melakukan tindakan terbuka terhadap masalah yang dialami pada orang tua di rumah.

Menurut Buss (1989) perilaku agresi dipelajari seperti perilaku intrumental lainnya melalui reward dan punishment. Buss berpendapat perilaku menjadi agresi ketika individu menyalurkan stimulus berbahaya ke orang lain dan agresi manusia tidak muncul sebagai adaptasi khusus untuk menangani masalah tertentu


(19)

10

Universitas Kristen Maranatha

tetapi muncul sebagai adaptasi untuk menangani sejumlah masalah yang berkaitan untuk kelangsungan hidup manusia

Remaja rumah susun ‘X’ di kota Bandung menunjukkan perilaku agresi sebagai alasan dalam mengatasi permasalahan atau konflik yang terjadi di lingkungan rumah susun. Pola hubungan yang tercipta di rumah susun akan terbentuk berdasarkan pola interaksi yang tercipta diantara masyarakat yang dipengaruhi ruang yang ada sebagai tempat masyarakat untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan. Penghuni rumah susun hanya diberikan ruang gerak yang relatif lebih sempit dan tertutup. Kesesakan dan kepadatan adalah hal yang dirasakan akibat karakteristik rumah susun. Kepadatan menyebabkan berkurangnya solidaritas sosial serta keadaan rumah yang satu sama lainnya berdekatan mengakibatkan timbulnya kebisingan. Karakteristik dari rumah susun tersebut berupa noise, crowding, dan heat yang menjadi determinan dari agresi.

Penemuan-penemuan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Geen & O’Neal, Donnerstein & Wilson, dan Konecni menunjukkan bahwa pemaparan terhadap bunyi yang mengganggu atau kebisingan memang terkadang dapat memfasilitasi munculnya tindakan agresi. Observasi informal juga menunjukkan bahwa individu sering kali lebih mudah merasa terganggu, tidak nyaman, mudah terpancing emosinya, dan menunjukkan reaksi negatif lain terhadap orang lain ketika ia merasakan temperatur yang panas. Selain itu Freedman menyatakan bahwa pada dasarnya kondisi kepadatan (crowding) merupakan aspek yang memperkuat intensitas dan memfasilitasi munculnya tindakan agresi.


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha

Remaja rumah susun melakukan perilaku agresi karena frustrasi menganenai hal yang berhubungan dengan banyaknya waktu menganggur, keuangan yang pas-pasan dan adanya kebutuhan yang harus segera terpenuhi tetapi sulit sekali tercapai dan pada masa ini remaja lebih iri hati terhadap mereka yang memiliki materi lebih. Mereka melihat teman atau orang lain memiliki sesuatu hal yang lebih baik lagi dari remaja tersebut sehingga membuat remaja juga menginginkan hal serupa atau bahkan hal yang lebih lagi. Tetapi ternyata keadaan dan beberapa faktor tidak memungkinkan remaja untuk mencapai hal tersebut yang akhirnya menyebabkan remaja menjadi frustrasi. Akibatnya mereka menjadi mudah marah. Keadaan tersebut merupakan keadaan yang bersifat situasional yang juga dapat memfasilitasi munculnya perilaku agresi pada remaja rumah susun.

Dengan begitu banyak konsep tindakan agresi yang dapat muncul dalam perilaku manusia sehingga dan Buss (dalam Morgan, 1989) menyatakan bahwa tingkah laku agresi dapat digolongkan menjadi tiga dimensi, yaitu fisik-verbal, aktif-pasif, dan langsung tidak langsung. Kombinasi dari ketiga dimensi ini menghasilkan suatu framework untuk mengkategorikan berbagai bentuk perilaku agresi. Diantaranya adalah perilaku agresi fisik langsung aktif, fisik langsung pasif, fisik tidak langsung aktif, fisik tidak langsung pasif, verbal langsung aktif, verbal langsung pasif, verbal tidak langsung aktif, dan verbal tidak langsung pasif.


(21)

12

Universitas Kristen Maranatha

Untuk menjelaskan kerangka pemikiran di atas maka dibuatlah bagan kerangka pikir sebagai berikut :

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Remaja Penghuni

Rumah Susun ‘X’ di Kota

Profil Perilaku Agresi

Profil Agresi:

1) Fisik – Aktif - Langsung 2) Fisik – Aktif – Tidak

Langsung

3) Fisik – Pasif - Langsung 4) Fisik – Pasif – Tidak

Langsung 5) Verbal – Aktif –

Langsung

6) Verbal – Aktif – Tidak Langsung

7) Verbal – Pasif – Langsung 8) Verbal – Pasif – Tidak

Langsung

Determinan Agresi

1) Determinan Agresi yang Berasal dari Lingkungan: Noise, Crowding, Heat.

2) Determinan Agresi yang Bersifat Situasional :Heightened arousal, Aggressive cue value, Alcohol and marijuana

Perkembangan Remaja

Kategori Agresi (Buss , 1961)

1) Fisik – Verbal 2) Aktif – Pasif 3) Langsung – Tidak


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha

I.6. Asumsi

1) Perilaku agresi penghuni remaja rumah susun ‘X’ di kota Bandung memiliki delapan dimensi perilaku agresi seperti remaja lain pada umumnya, yaitu Fisik – Aktif – Langsung, Fisik – Aktif – Tidak Langsung, Fisik – Pasif – Langsung, Fisik – Pasif – Tidak Langsung, Verbal – Aktif – Langsung, Verbal – Aktif – Tidak Langsung, Verbal – Pasif – Langsung, dan Verbal – Pasif – Tidak Langsung. Ke delapan kategori tersebut memiliki derajat yang berbeda sehingga akan membentuk sebuah profile perilaku agresi pada remaja penghuni rumah susun ‘X’ di kota Bandung.

2) Pembentukan perilaku agresi juga dipengaruhi oleh determinan yang berasal dari lingkungan yaitu noise, crowding, dan heat, dan determinan agresi yang bersifat situasional yaitu heightened arousal, aggressive cue value, alcohol and marijuana


(23)

73 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari ke delapan kategori perilaku agresi, perilaku yang sering muncul adalah perilaku agresi verbal aktif tidak langsung. Artinya lebih sering melakukan agresi melalui kata-kata dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan orang lain atau kelompok lain yang menjadi targetnya. Sedangkan agresi yang paling sedikit muncul adalah perilaku agresi fisik aktif langsung, yang artinya sedikit melakukan tindakan agresi secara fisik dengan cara berhadapan secara langsung dengan orang lain atau kelompok lain yang menjadi targetnya.

Determinan agresi yang berasal dari lingkungan yang paling mempengaruhi munculnya agresi adalah crowding. Artinya bahwa kepadatan di lingkungan rumah susun adalah hal yang paling memfasilitasi munculnya agresi.

Determinan agresi yang bersifat situasional yang paling mempengaruhi munculnya agresi adalah aggressive cue value. Artinya bahwa konsep yang menggambarkan kapasitas atau nilai dari remaja yang telah teerpancing emosi adalah situasi yang paling dapat memfasilitasi munculnya agresi.


(24)

74

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

1) Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian dapat dijadikan masukan jika ingin melakukan penelitian deskriptif mengenai profil agresi pada remaja.

2) Bagi remaja rumah susun ‘X’ di Kota Bandung, dari hasil penelitian dapat diketahui gambaran profil agresi yang mereka miliki, sehingga lebih mampu mengekspresikan emosi dengan tepat dan lebih terbuka dalam berkomunikasi mengenai situasi-situasi penyebab munculnya agresi

3) Bagi pengembang rumah susun, dari hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan dalam membangun rumah susun yang lebih baik lagi, khususnya untuk remaja. Misalnya dengan membuat lebih luas lagi tempat para remaja berkumpul.

4) Bagi pengelola rumah susun, dapat membuat suatu acara sebagai salah satu kegiatan yang melibatkan remaja rumah susun.


(25)

76 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Backman, Secord. 1989. Social Psychology 2nd Edition. International Student Edition.

Baron, Robert A. 1977. Human Aggression. New York: Plenum Press.

Brehm, Sharon S., Saul M. Kassin, H, dan Houghton Mifflin. 1989. Social Psychology. USA:,

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta:PT. Grasindo.

Sarwono, Sarlito W., dan Eko A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.


(26)

76 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Pikiran Rakyat. 2010. Konsep Rumah Susun Masih Belum Optimal (Online). (http://newspaper.pikiranrakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=792 15).

2009. Kota Bandung Butuh 200.000 Rumah Baru (Online). (http://www.ahmadheryawan.com)


(1)

Universitas Kristen Maranatha kerangka pikir sebagai berikut :

Bagan 1.1 Kerangka Pikir Remaja Penghuni

Rumah Susun

‘X’ di Kota

Profil Perilaku Agresi

Profil Agresi:

1) Fisik – Aktif - Langsung 2) Fisik – Aktif – Tidak

Langsung

3) Fisik – Pasif - Langsung 4) Fisik – Pasif – Tidak

Langsung 5) Verbal – Aktif –

Langsung

6) Verbal – Aktif – Tidak Langsung

7) Verbal – Pasif – Langsung 8) Verbal – Pasif – Tidak

Langsung Determinan Agresi

1) Determinan Agresi yang Berasal dari Lingkungan: Noise, Crowding, Heat.

2) Determinan Agresi yang Bersifat Situasional :Heightened arousal, Aggressive cue value, Alcohol and marijuana

Perkembangan Remaja

Kategori Agresi (Buss , 1961) 1) Fisik – Verbal 2) Aktif – Pasif 3) Langsung – Tidak


(2)

13

Universitas Kristen Maranatha I.6. Asumsi

1) Perilaku agresi penghuni remaja rumah susun ‘X’ di kota Bandung memiliki delapan dimensi perilaku agresi seperti remaja lain pada umumnya, yaitu Fisik – Aktif – Langsung, Fisik – Aktif – Tidak Langsung, Fisik – Pasif – Langsung, Fisik – Pasif – Tidak Langsung, Verbal – Aktif – Langsung, Verbal – Aktif – Tidak Langsung, Verbal – Pasif – Langsung, dan Verbal – Pasif – Tidak Langsung. Ke delapan kategori tersebut memiliki derajat yang berbeda sehingga akan membentuk sebuah profile perilaku agresi pada remaja penghuni rumah susun ‘X’ di kota Bandung.

2) Pembentukan perilaku agresi juga dipengaruhi oleh determinan yang berasal dari lingkungan yaitu noise, crowding, dan heat, dan determinan agresi yang bersifat situasional yaitu heightened arousal, aggressive cue value, alcohol and marijuana


(3)

73 Universitas Kristen Maranatha

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari ke delapan kategori perilaku agresi, perilaku yang sering muncul adalah perilaku agresi verbal aktif tidak langsung. Artinya lebih sering melakukan agresi melalui kata-kata dengan cara tidak berhadapan secara langsung dengan orang lain atau kelompok lain yang menjadi targetnya. Sedangkan agresi yang paling sedikit muncul adalah perilaku agresi fisik aktif langsung, yang artinya sedikit melakukan tindakan agresi secara fisik dengan cara berhadapan secara langsung dengan orang lain atau kelompok lain yang menjadi targetnya.

Determinan agresi yang berasal dari lingkungan yang paling mempengaruhi munculnya agresi adalah crowding. Artinya bahwa kepadatan di lingkungan rumah susun adalah hal yang paling memfasilitasi munculnya agresi.

Determinan agresi yang bersifat situasional yang paling mempengaruhi munculnya agresi adalah aggressive cue value. Artinya bahwa konsep yang menggambarkan kapasitas atau nilai dari remaja yang telah teerpancing emosi adalah situasi yang paling dapat memfasilitasi munculnya agresi.


(4)

74

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

1) Bagi peneliti selanjutnya, hasil penelitian dapat dijadikan masukan jika ingin melakukan penelitian deskriptif mengenai profil agresi pada remaja.

2) Bagi remaja rumah susun ‘X’ di Kota Bandung, dari hasil penelitian dapat diketahui gambaran profil agresi yang mereka miliki, sehingga lebih mampu mengekspresikan emosi dengan tepat dan lebih terbuka dalam berkomunikasi mengenai situasi-situasi penyebab munculnya agresi

3) Bagi pengembang rumah susun, dari hasil penelitian dapat dijadikan pertimbangan dalam membangun rumah susun yang lebih baik lagi, khususnya untuk remaja. Misalnya dengan membuat lebih luas lagi tempat para remaja berkumpul.

4) Bagi pengelola rumah susun, dapat membuat suatu acara sebagai salah satu kegiatan yang melibatkan remaja rumah susun.


(5)

76 Universitas Kristen Maranatha Backman, Secord. 1989. Social Psychology 2nd Edition. International Student

Edition.

Baron, Robert A. 1977. Human Aggression. New York: Plenum Press.

Brehm, Sharon S., Saul M. Kassin, H, dan Houghton Mifflin. 1989. Social Psychology. USA:,

Laurens, Joyce Marcella. 2005. Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta:PT. Grasindo.

Sarwono, Sarlito W., dan Eko A. Meinarno. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: Salemba Humanika.


(6)

76 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Pikiran Rakyat. 2010. Konsep Rumah Susun Masih Belum Optimal (Online). (http://newspaper.pikiranrakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=792 15).

2009. Kota Bandung Butuh 200.000 Rumah Baru (Online). (http://www.ahmadheryawan.com)