Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency Pada Siswa/i Kelas Tujuh Bilingual Yang Berasal Dari SD Reguler di SMPK "X" Bandung.

ABSTRAK
Penelitian ini berjudul Studi Deskriptif Mengenai Resiliency Pada Siswa/i
Kelas Tujuh Bilingual yang Berasal Dari SMPK “X” di Kota Bandung. Rancangan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan penelitian deskriptif.
Pemilihan sampel menggunakan metode purposive sampling dan sampel dalam
penelitian ini berjumlah 92 responden. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner
berbentuk matriks yang disusun peneliti berdasarkan empat aspek resiliency Bonnie
Benard (2004). Pengolahan data menggunakan teknik analisis deskriptif yang
disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi dan tabulasi silang.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa sebanyak 51.2% siswa/i kelas tujuh
bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X” Bandung memiliki resiliency
tinggi, dan sebanyak 48.8% memiliki resiliency yang rendah. Siswa/i kelas tujuh
bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X” Bandung yang memiliki
kekuatan pada empat aspek personal strength yang terdiri dari social competence,
problem solving skill, autonomy dan sense of purpose akan menunjukkan resiliency
yang tinggi. Sedangkan para siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD
Reguler di SMPK “X” Bandung yang menunjukkan kelemahan pada empat aspek
personal strength yang terdiri dari social competence, problem solving skill,
autonomy dan sense of purpose akan menunjukkan resiliency yang rendah.
Peneliti mengajukan saran agar dilakukan peninjauan kembali terhadap
kesesuaian alat ukur yang digunakan dengan teori Resiliency, serta penelitian

lanjutan mengenai kontribusi faktor-faktor yang mempengaruhi resiliency siswa/i
kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X” Bandung. Pihak
sekolah dihimbau untuk memberi informasi kepada orang tua siswa mengenai
program bilingual dan menggunakan informasi mengenai resiliency siswa/i untuk
membantu memfasilitasi para siswa/i agar lebih terlibat dalam kegiatan. Siswa/i
kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X” Bandung
diharapkan agar bisa lebih terlibat dalam kegiatan kelompok dengan teman-teman
agar dapat saling menyemangati dan saling membantu siswa/i bilingual untuk dapat
bertahan ditengah kesulitan yang dihadapi di kelas bilingual.

iii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR ISI

Lembar Judul …………………………………………………………..

i


Lembar pengesahan…………………………………………………….

ii

Abstrak ………………………………………………………………..

iii

Kata pengantar…………………………………………………………

iv

Daftar Isi…………………………………………………………… ….

vii

Daftar Tabel…………………………………………………………….

viii


Daftar Bagan………………………………………………………. ….

ix

Daftar Lampiran ………………………………………………………..

x

BAB I. PENDAHULUAN……………………………………….. …..

1

1.1

Latar Belakang Masalah…………………………………..

1

1.2


Identifikasi Masalah……………………………………….

9

1.3

Maksud dan Tujuan Penelitian…………………………….

9

1.3.1

Maksud Penelitian ..……………………………….

9

1.3.2

Tujuan Penelitian .…………………………………


9

Kegunaan Penelitian……………………………………….

9

1.4

1.4.1

Kegunaan Teoritis ………………………………….. 9

1.4.2

Kegunaan Praktis ………………………………….. 10

1.5

Kerangka Pemikiran………………………………………..


11

1.6

Asumsi Penelitian………………………………………….

19

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA………………………………………
vii

20

Universitas Kristen Maranatha

2.1

Resiliency……………………………………………………. 20
2.1.1 Pengertian Resiliency ………………………………… 20
2.1.2 Aspek-aspek Resiliency ………………………………. 20

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Resiliency .……….. 29

2.2 Masa Remaja ………………………………………………... 37
2.2.1 Definisi masa remaja ………………………………… 37
2.2.2 Karakteristik masa remaja …………………………… 37
2.2.3 Tugas Perkembangan Remaja ………………………. 39
2.2.4 Konteks Sosial Remaja ……………………………… 42
2.2.5 Perubahan dalam teman sebaya selama remaja ……… 42
2.2.6 Tekanan teman sebaya dan tuntutan konformitas …… 43
2.2.7 Klik dan kelompok …………………………………… 43
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……………………………….. 45
3.1

Rancangan dan Prosedur Penelitian…………………………. 45
3.1.1 Rancangan Penelitian …………………………………. 45
3.1.2 Prosedur Penelitian …………………………………… 46

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional………………… 46
3.2.1 Variabel Penelitian……………………………………. 46
3.2.2 Definisi Operasional…………………………………... 46

3.3 Alat Ukur…………………………………………………….. 48
3.3.1 Alat Ukur Resiliency…………………….………………. 48
3.3.2 Prosedur Pengisian……………………………………... 51
viii

Universitas Kristen Maranatha

3.3.3. Sistem Penilaian………………………………………. 52
3.3.4 Kuesioner Data Pribadi dan Data Penunjang………….. 53
3.3.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur …………………... 53

3.4 Populasi dan Teknik Sampling……………………………….. 54
3.4.1 Populasi Sasaran………………………………………. 54
3.4.2 Karakteristik Sampel………………………………...... 54
3.4.3 Teknik Penarikan Sampel…………………………… 55
3.5 Teknik Analisis Data……………………………………….
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ……………………
4.1

4.2


55
56

Gambaran Umum Subyek Penelitian ………………………..

56

4.1.1 Gambaran Subyek Berdasarkan Usia …………………

56

4.1.2 Persentase Responden Berdasarkan Jenis Kelamin …..

57

4.1.3 Persentase Responden Berdasarkan Les Tambahan ….

57


Gambaran Hasil Penelitian ……………………………………

58

4.2.1 Persentase Kekuatan Resiliency berdasarkan Aspek
Personal Strength ……………………………………….

58

Pembahasan …………………………………………………….

59

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………………………………

75

5.1

Kesimpulan …………………………………………………….


75

5.2

Saran ……………………………………………………………

76

5.2.1 Saran Teoritis …………………………………………………..

76

5.2.2 Saran Praktis ……………………………………………………

77

4.3

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 79
ix

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN ………………………………………………………… 80
LAMPIRAN

x

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR TABEL
Tabel 3.3.1 Pembagian item-item dalam Alat Ukur Resiliency …………

48

Tabel 3.3.3. Skor Jawaban ……………………………………………...

51

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Usia …………………...

56

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ………….

57

Tabel 4.3 Gambaran Responden Berdasarkan Les Tambahan …………

57

Tabel 4.4 Gambaran Hasil Penelitian Resiliency …………….…………

58

Tabel 4.5 Tabulasi Silang antara Resiliency dan Empat aspek Personal
Strength ………………………………………………………. 59

xi

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR BAGAN
Bagan 1.1 Bagan Kerangka Pikir ………………………………………..

18

Bagan 3.1 Bagan Rancangan Penelitian ………………………………… 46

xii

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN A Data Pribadi, Data Penunjang, dan Kuesioner Resiliency
LAMPIRAN B Tabulasi Silang Resiliency dan Personal Strengths
LAMPIRAN C Tabulasi Silang Resiliency dengan Protective Factors
LAMPIRAN D Tabulasi Silang Protective Factors dengan Personal Strengths
LAMPIRAN E Tabulasi Silang Resiliency dengan Data Pribadi Responden
LAMPIRAN E Kelas Bilingual SMPK “X” Bandung

xiii

Universitas Kristen Maranatha

BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang Masalah
Kemampuan bahasa Inggris seseorang telah menjadi tuntutan yang sangat
penting di era globalisasi ini. Tantangan dunia pendidikan di masa depan kian
membutuhkan kesiapan banyak hal, salah satu hal yang sangat diperhatikan
adalah upaya peningkatan mutu kemampuan dan keterampilan para siswa dalam
berbahasa Inggris. Walaupun bahasa Inggris termasuk sulit untuk dipelajari
namun bahasa ini dianggap penting oleh banyak pihak, oleh sebab itu tidak
mengherankan bahwa para ahli yang berkecimpung dalam dunia pendidikan
merasa perlu memberikan pelajaran bahasa Inggris secara intensif dan
berkesinambungan kepada para siswa di sekolah menengah bahkan sejak anakanak masih duduk di bangku sekolah dasar, hal ini terlihat dari dimasukkannya
bahasa Inggris ke dalam kurikulum sekolah dan bahkan ada beberapa sekolah
yang

mengadakan

program

bilingual

atau

dwibahasa

(http://gurupembaharu.com/home/?p=2733).
Pada tingkat sekolah menengah telah banyak SMP dan SMA yang
dijadikan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) dan sudah banyak juga
sekolah yang memperoleh status Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Sekolah
RSBI maupun SBI tersebut diharapkan mampu menghasilkan lulusan–lulusan
yang mampu bersaing secara global, namun hal ini masih menjadi kendala karena
terbatasnya kemampuan bahasa Inggris para siswa. Sekolah yang menuju RSBI

1

Universitas Kristen Maranatha

2

atau telah SBI biasanya membuka program bilingual dengan bahasa pengantar
bahasa Inggris, dimana semua atau sebagian mata pelajaran tertentu akan
disajikan dalam bahasa Inggris. Bagi siswa/i yang berasal dari Sekolah Dasar
Bilingual, tentunya hal ini tidak akan menjadi masalah karena para siswa tersebut
telah terbiasa menerima materi, tugas, dan ulangan dalam bahasa Inggris,
sedangkan bagi siswa/i yang sebelumnya berasal dari Sekolah Dasar reguler
dengan bahasa pengantar Indonesia tentu saja dapat menimbulkan masalah apabila
mereka tidak dapat beradaptasi dengan kelas bilingual.
Di mata masyarakat awam, program bilingual dianggap lebih berkualitas
daripada program reguler. Hal ini mendorong banyak orang tua untuk tetap
memasukkan anaknya ke program bilingual walaupun telah mengetahui kesulitan
yang akan dihadapi di program bilingual. Keinginan orang tua agar anaknya dapat
memiliki kemampuan bahasa Inggris yang baik ini terkadang tidak didukung oleh
minat dari sang anak untuk memasuki program bilingual sehingga tidak jarang hal
ini menimbulkan konflik dan membuat anak merasa tertekan (stress) dalam
menjalankan

pendidikannya

di

sekolah

yang

tidak

diinginkannya

(www.kompas.com). Hal ini dapat menjadi pisau bermata dua bagi para siswa
yang bisa menjadikannya lebih maju atau malah sebaliknya semakin mundur
karena merasa tertekan dengan beban pelajaran.
SMPK “X” adalah salah satu sekolah favorit di kota Bandung yang
menawarkan beberapa program, yaitu DCP (Dual Certificate Programme),
bilingual, dan reguler. Program DCP adalah program khusus yang bekerjasama
dengan Cambridge Singapore, dengan bahasa pengantar dan proses belajar

Universitas Kristen Maranatha

3

mengajar sepenuhnya dalam bahasa Inggris. Siswa/i yang mengikuti program
DCP mengikuti kurikulum Cambridge dan hanya mempelajari beberapa mata
pelajaran yaitu English, Literature, Science (gabungan Fisika, Kimia, dan
Biologi), Math, Geography, History, Art & Music, Physic Education dan
Religion. Siswa/i yang mengikuti program ini nantinya akan mendapatkan dua
ijazah, yaitu ijazah nasional setelah lulus Ujian Negara (UN) di kelas IX, dan
ijazah dari Cambridge setelah mengikuti ujian di kelas X SMA. Program reguler
adalah program klasikal yang mengikuti kurikulum nasional dengan bahasa
pengantar bahasa Indonesia. Program bilingual adalah program khusus dimana
para siswanya walaupun belajar sesuai dengan kurikulum nasional namun untuk
beberapa mata pelajaran tertentu seperti Fisika, Matematika, Geografi, Ekonomi,
dan Bahasa Inggris menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris.
Para siswa/i kelas tujuh di SMPK “X” Bandung pada umumnya harus
berusaha beradaptasi dengan situasi baru di SMP. Para siswa/i yang baru saja
beralih dari SD harus memasuki lingkungan sekolah yang baru, berkenalan
dengan teman-teman dan guru baru, belajar berbagai hal baru yang tentu saja
berbeda dengan SD. Di SMP, para siswa/i harus belajar beberapa mata pelajaran
baru seperti fisika, biologi, kimia, ekonomi, geografi, dan belajar di laboratorium.
Siswa/i SMPK “X” sebagai siswa/i yang bersekolah di sekolah favorit juga
menghadapi tantangan dari segi nilai minimal yang harus diraih yang biasa
disebut KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal). Nilai KKM yang tinggi di sekolah
ini seringkali membuat para siswa/i kelas tujuh kesulitan karena mereka pada
umumnya belum terbiasa dengan cara belajar dan materi di SMP.

Universitas Kristen Maranatha

4

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru BK, para siswa/i yang
mengikuti program bilingual namun berasal dari SD Reguler cenderung
mengalami kesulitan yang lebih daripada para siswa/i program reguler karena
beberapa alasan. Para siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler
harus menerima pelajaran bahasa Inggris, science (fisika, biologi, dan kimia),
matematika, dan beberapa mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial seperti
ekonomi dan geografi dalam bahasa Inggris. Para siswa/i kelas bilingual dituntut
untuk memiliki kemampuan bahasa Inggris yang memadai baik lisan maupun
tulisan. Bagi siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD bilingual hal ini
dirasa lebih mudah karena mereka sudah terbiasa menerima pelajaran dalam
bahasa inggris, namun bagi siswa/i yang berasal dari SD reguler jika kemampuan
berbahasa Inggris mereka kurang memadai, maka akan menimbulkan kesulitan
untuk memahami materi, mengerjakan tugas dan ulangan harian.
Masalah buku pegangan juga terkadang menjadi kendala bagi siswa/i kelas
bilingual. Para siswa/i bilingual mempunyai kelebihan tertentu dibandingkan
dengan siswa reguler. Siswa/i bilingual mendapat dua jenis buku pegangan untuk
beberapa mata pelajaran tertentu di atas, yaitu satu buku yang sesuai dengan
kurikulum nasional dan satu buku pengantar dengan bahasa Inggris yang berasal
dari Cambridge. Bagi siswa/i kelas tujuh yang memang berasal dari SD Bilingual
tentunya hal ini tidak menjadi masalah besar karena siswa/i tersebut telah terbiasa
menerima materi dalam bahasa Inggris, namun bagi siswa/i yang berasal dari
sekolah reguler, hal ini dapat menimbulkan masalah karena mereka harus
menerima materi dari buku nasional dalam bahasa Inggris, sehingga seringkali

Universitas Kristen Maranatha

5

para siswa/i harus menterjemahkan istilah-istilah atau kosakata baru yang mereka
dapatkan ke dalam bahasa Inggris. Bagi para siswa/i bilingual, hal ini seringkali
menjadi masalah karena mereka harus meluangkan waktu untuk mencari arti dari
istilah asing di tengah banyaknya tugas dan PR yang harus mereka kerjakan.
Untuk sistem pengevaluasian, ulangan harian bagi siswa/i bilingual dilaksanakan
oleh guru mata pelajaran bersangkutan dengan menggunakan bahasa Inggris, dan
untuk ulangan tengah semester dan ulangan umum diselenggarakan bersamaan
dengan siswa/i reguler dengan bahasa Indonesia dan sistem penilaian yang sama
dengan siswa/i reguler. Situasi ini membuat para siswa/i merasa tertekan karena
pada saat proses belajar mengajar di kelas, para siswa/i menerima materi dalam
bahasa Inggris dan ulangan harian serta tugas dan pekerjaan rumah dalam bahasa
Inggris sedangkan pada saat ujian bersama siswa/i harus mempelajari lagi materi
dan istilah-istilah dalam bahasa Indonesia.
Para siswa/i yang bersekolah di sekolah favorit umumnya memiliki nilai
Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang lebih tinggi daripada sekolah lain.
Untuk dapat mencapai KKM, para siswa/i harus berusaha keras belajar,
mengerjakan tugas, dan pekerjaan rumah yang diberikan guru.
Untuk dapat mengikuti program bilingual dengan baik dan mencapai
KKM, para siswa/i seringkali harus terus meningkatkan kemampuan bahasa
Inggris dengan mengikuti kursus bahasa Inggris. Banyak diantara para siswa/i
yang juga harus mengikuti les tambahan untuk meningkatkan prestasi belajar dan
juga les lainnya untuk mengembangkan bakat yang dimiliki misalnya mengikuti
les musik. Beban pelajaran yang lebih berat dibandingkan dengan program

Universitas Kristen Maranatha

6

reguler, aktivitas yang padat di luar sekolah seperti ikut les tambahan maupun
kursus, kegiatan bersama keluarga maupun kegiatan organisasi serta keinginan
untuk bersenang-senang dan bermain bersama teman dan keluarga merupakan
aktivitas-aktivitas yang harus dapat diatur dengan baik oleh para siswa/i agar
dapat mengikuti berbagai aktivitas lain di luar sekolah tanpa melalaikan tugas
sekolah. Di sekolah, para siswa/i juga harus menyesuaikan diri dengan cara
belajar yang berbeda antara SD dan SMP. Salah satu contoh perbedaannya yaitu
saat masih di SD para siswa/i biasanya mendapatkan catatan dari gurunya,
sedangkan di bangku SMP mereka seringkali harus membuat catatan dan
rangkuman sendiri dari penjelasan yang diberikan guru. Di sisi lain, tuntutan
KKM untuk setiap mata pelajaran dan beban pelajaran yang lebih tinggi daripada
tingkat sekolah dasar juga seringkali membuat para siswa kelas tujuh merasa
tertekan, terlebih siswa/i yang sekolah di SMPK “X”.
Stres dapat dialami oleh siapa pun, kapan pun, dan di mana pun, termasuk
pada remaja usia sekolah. Dari survey yang dilakukan peneliti terhadap 21 siswa
kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler, 67% siswa menyatakan bahwa
mereka merasa tertekan dengan banyaknya tugas dan pekerjaan rumah yang
diberikan karena hal itu membuat mereka harus disibukkan dengan jadwal les dan
tidak mempunyai waktu lagi untuk bermain, 33% siswa merasa sulit mendapat
teman dekat karena para siswa lain sudah saling kenal dan keenam siswa ini
seringkali merasa canggung untuk bergabung dengan mereka. Dalam hal prestasi
belajar, 52% dari 21 siswa merasa tertekan karena memikirkan KKM (Kriteria

Universitas Kristen Maranatha

7

Ketentuan Minimal) dari setiap bidang studi yang cukup tinggi sehingga mereka
merasa sulit untuk bisa meraih nilai yang tinggi.
Dalam situasi yang penuh dengan tekanan dan perubahan, diperlukan suatu
kemampuan untuk beradaptasi secara positif dan berfungsi dengan baik di tengah
situasi yang menekan, penuh halangan dan rintangan yang disebut dengan
resiliency (Bernard, 2004). Resiliency dapat dilihat dari 4 aspek, yaitu social
competence, problem solving skills, autonomy, sense of purpose and
belongingness. Dengan adanya social competence, siswa/i mampu untuk
memberikan respon positif kepada lingkungan sekitar di tengah situasi yang
menekan. Kedua, problem solving skills, siswa/i mampu mencari jalan keluar atas
permasalahan yang terjadi. Ketiga, autonomy, siswa/i diharapkan memiliki
kemandirian dan yang keempat, melalui sense of purpose and belongingness
siswa/i diharapkan memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat mengatasi situasi
yang menekan.
Berdasarkan survey yang dilakukan oleh peneliti terhadap 21 siswa/i
bilingual yang berasal dari SD reguler kelas tujuh, 71% di antaranya merasa dapat
beradaptasi dengan baik dan mengatasi tekanan dan halangan yang mereka
hadapi. Mereka mampu mendapatkan respon positif dari teman-teman, guru, dan
tua, mereka juga mampu menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Dalam
menghadapi masalah, siswa/i ini mampu membuat menyusun rencana untuk
memecahkan masalahnya. Dalam menyelesaikan tugas dan belajar di rumah
mereka tidak tergantung kepada orang tua ataupun teman-teman, dan mereka
merasa bangga karena dapat mengatasi masalah mereka sendiri. Sedangkan 29%

Universitas Kristen Maranatha

8

lainnya merasa masih belum dapat mengatasi tekanan dan masalah yang
dihadapinya di sekolah. Mereka seringkali kesulitan dalam bersikap positif kepada
teman maupun guru di sekolah. Siswa/i ini seringkali merasa murung di sekolah,
menarik diri dari teman-teman. Mereka juga sulit menyelesaikan tugas-tugas,
seringkali tergantung dengan orangtua dan teman-teman dalam menyelesaikan
tugas, dan mereka merasa kurang yakin akan bisa mendapat prestasi yang baik.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa siswa/i SMPK “X” mempunyai
derajat resiliency yang berbeda-beda. Pentingnya resiliency bagi para siswa/i
SMPK “X” membuat peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai derajat
resiliency pada siswa/i bilingual yang berasal dari SD reguler di SMPK “X”
Bandung.

Universitas Kristen Maranatha

9

1.2.Identifikasi Masalah
Ingin mengetahui seperti apakah derajat resiliency pada siswa/i kelas tujuh
bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X” di kota Bandung.

1.3.Maksud Dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai
derajat resiliency pada siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler
di SMPK “X” di kota Bandung.

1.3.2. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran lebih lanjut
mengenai derajat dan aspek-aspek resiliency serta faktor-faktor apa saja yang
dapat mempengaruhi derajat resiliency pada siswa/i kelas tujuh bilingual yang
berasal dari SD Reguler di SMPK “X” di kota Bandung.

1.4.Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi untuk penelitian
selanjutnya mengenai resiliency pada siswa/i SMPK “X” yang berasal dari
SD reguler di kota Bandung.

Universitas Kristen Maranatha

10

2. Memberi informasi tambahan di bidang ilmu Psikologi Pendidikan
mengenai derajat resiliency para siswa/i SMPK “X” yang berasal dari SD
reguler di kota Bandung

1.4.2. Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi kepada kepala sekolah dan para guru pengajar di
SMPK 1 mengenai derajat resiliency siwa/i kelas tujuh bilingual yang
berasal dari SD Reguler di SMPK “X” agar dapat membantu para siswa/i
menyesuaikan diri lebih baik lagi di lingkungan sekolah.
2. Memberikan informasi bagi orang tua siswa/i agar memahami dan
membantu putra-putrinya untuk dapat menyesuaikan diri di lingkungan
sekolah.
3. Memberikan informasi kepada siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal
dari SD reguler di SMPK “X” Bandung agar dapat saling membantu
sesama siswa kelas tujuh bilingual untuk berhasil dalam mengikuti
pelajaran di kelas bilingual.

Universitas Kristen Maranatha

11

1.5.Kerangka Pemikiran
Siswa/i bilingual kelas tujuh di SMPK “X” pada umumnya berada dalam
tahap perkembangan remaja awal. Pada masa ini siswa/i harus menyelesaikan
tugas perkembangannya, diantaranya adalah mengembangkan intelektual dan
menjadi individu yang terdidik serta mampu mencapai kemandirian dan
mengembangkan pengambilan keputusan terhadap kegiatan belajar (Santrock,
2003).
Menurut Piaget (Santrock, 2003), pada masa ini remaja berada dalam
tahap pemikiran formal operasional. Remaja mulai berpikir abstrak dengan
berpikir tidak lagi terbatas pada kejadian nyata seperti anak-anak. Remaja juga
berpikir lebih idealis, remaja mulai memikirkan tentang ciri-ciri ideal dari diri
mereka dan orang lain. Pada saat yang sama, remaja juga berpikir lebih logis
(Kuhn, 1991 dalam Santrock, 2003). Remaja mulai menyusun rencana untuk
memecahkan masalah dan menguji pemecahan masalah secara sistematis yang
disebut dengan penalaran deduktif hipotetis. Sebagian remaja usia awal tidak
sepenuhnya dapat mencapai tahap perkembangan ini dan masih berada dalam
tahap konkrit operasional (http://pungky13.wordpress.com/2012/04/07/makalahperkembangan-kognitif). Namun berkembangnya cara berpikir remaja ini
diharapkan dapat mendukung mereka untuk mampu mengatasi hambatan dalam
belajar di tingkat sekolah yang lebih tinggi.
Remaja yang duduk di bangku kelas tujuh biasanya baru beralih dari SD
ke SMP. Masa transisi dari SD ke SMP ini dapat menimbulkan stress karena
transisi ini berlangsung pada suatu masa ketika banyak perubahan yang

Universitas Kristen Maranatha

12

berlangsung secara serentak dalam diri remaja, keluarga dan di sekolah. Para
peneliti yang meneliti mengenai transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah
pertama menemukan bahwa tahun pertama di SMP dapat menyulitkan bagi
banyak murid (Eccles & Midgely,1990; Hawkins & Berndt, 1985; Hirsch, 1989;
Simmons & Blyth, 1987 dalam Santrock 2003).
Siswa/i kelas bilingual kelas tujuh di SMPK “X” yang berasal dari kelas
reguler memiliki mata pelajaran yang lebih beragam daripada di SD. Siswa/i harus
belajar beberapa mata pelajaran baru seperti Kimia, Fisika, dan praktek di
laboratorium dalam bahasa Inggris serta wajib mengikuti satu kegiatan
ekstrakurikuler. Agar dapat berhasil mencapai KKM yang ditetapkan sekolah
seringkali para siswa/i harus mengikuti les tambahan atau bimbingan belajar
untuk membantu mereka memahami materi sekolah dan juga melatih kemampuan
bahasa Inggris mereka terutama untuk beberapa mata pelajaran tertentu yang
dianggap sulit seperti matematika, fisika, dan kimia. Padatnya kegiatan di sekolah
dan banyaknya tugas-tugas sekolah menuntut para siswa/i untuk dapat membagi
waktu dengan baik antara tugas sekolah dengan kegiatan luar seperti kursus lain
untuk mempertajam minat dan bakat, acara keluarga dan bermain dengan teman
sebaya. Segala keadaan di atas dapat menyebabkan siswa/i kelas bilingual
mengalami situasi yang menekan (adversity). Dalam situasi tersebut diharapkan
para siswa/i program bilingual yang berasal dari SD reguler di SMP “X” memiliki
kemampuan untuk dapat menyesuaikan diri secara positif serta berfungsi secara
baik di tengah situasi yang menekan. Kemampuan individu untuk menyesuaikan

Universitas Kristen Maranatha

13

diri secara positif dan berfungsi secara baik di tengah situasi yang menekan,
banyak halangan, dan rintangan disebut resiliency (Benard, 2004).
Resiliency terdiri dari empat aspek, yaitu social competence, problem
solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future (Benard, 2004).
Social competence adalah kemampuan siswa/i bilingual yang berasal dari SD
reguler di SMPK “X” untuk membangun relasi dan memunculkan respon positif
kepada orang lain. Social competence dapat terlihat dari kemampuan para siswa/i
untuk mendapatkan respon positif dari guru dan teman (responsiveness). Para
siswa/i mampu untuk menyampaikan apa yang mereka rasakan tanpa menyakiti
perasaan guru dan teman-teman (communication). Para siswa/i mampu mengerti
dan memahami apa yang dirasakan oleh guru dan teman-temannya (emphaty and
caring). Para siswa/i mempunyai keinginan dan kemauan untuk peduli terhadap
guru dan teman-temannya, membantu meringankan beban guru dan teman tanpa
pamrih serta memaafkan dirinya sendiri, guru, dan teman-teman yang pernah
melakukan kesalahan (compassion, altruism, and forgiveness). Dalam penelitian
ini compassion dan altruism dikelompokkan menjadi satu karena maksud dari
keduanya adalah kepedulian serta kesediaan membantu guru dan teman tanpa
pamrih.
Problem solving skills merupakan kemampuan para siswa/i bilingual yang
berasal dari kelas reguler di SMPK “X” untuk dapat membuat rencana yang bisa
membantu mereka untuk dapat belajar dengan baik (planning). Para siswa/i dapat
melihat berbagai alternatif untuk mengatasi masalah mereka di sekolah
(flexibility). Para siswa/i berinisiatif mencari bantuan dan mampu mengenali dan

Universitas Kristen Maranatha

14

mencari dukungan dan bantuan dari berbagai sumber (resourcefulness). Para
siswa/i mampu berpikir kritis serta memanfaatkannya untuk menganalisis masalah
dan mencari solusi yang tepat (critical thinking and insight).
Autonomy merupakan kemampuan siswa/i kelas bilingual yang berasal
dari kelas reguler di SMPK “X” untuk memiliki rasa percaya diri dan penilaian
diri yang positif (positive identity), para siswa/i dapat mengusahakan yang terbaik
dalam belajar agar dapat mencapai KKM dan meraih prestasi (internal locus of
control and initiative). Para siswa/i memiliki keyakinan bahwa dirinya mampu
mengikuti pelajaran di kelas bilingual dan dapat mencapai KKM (self-efficacy and
Mastery). Kemampuan para siswa/i untuk dapat melepaskan diri secara emosional
dari pengaruh buruk lingkungan yang dapat mempengaruhi kegiatan belajar
(adaptive distancing and resistance). Para siswa/i mampu memandang diri sendiri
secara positif (self-awareness and mindfulness). Para siswa/i memiliki rasa humor
yang dapat membantu mereka menjalani hari dengan ceria (humor).
Sense of purpose and bright future merupakan kemampuan para siswa/i
bilingual yang berasal dari SD reguler SMPK ”X” untuk mengarahkan diri pada
tujuan/masa depan. Siswa/i mampu mempertahankan motivasi untuk mendapat
prestasi yang baik di sekolah (goal direction, achievement motivation, and
educational aspirations). Para siswa/i mampu menikmati melakukan hobi atau
kegemaran yang dapat membantu mereka mengatasi situasi menekan atau sulit
(special interest, creativity, and imagination). Para siswa/i memiliki rasa optimis
dan harapan bahwa ia akan berhasil dalam studinya dan mempunyai masa depan

Universitas Kristen Maranatha

15

yang cerah. Para siswa/i mampu menarik makna dari keyakinan religiusnya yang
membuatnya optimis dalam menghadapi tekanan yang dialaminya di sekolah.
Derajat resiliency pada siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD
regular berbeda-beda, hal ini dipengaruhi oleh faktor yang mendukung mereka
saat menghadapi situasi yang menekan (adversity) yang disebut dengan protective
factors. Dalam situasi menekan bagi para siswa/i kelas tujuh bilingual yang
berasal dari SD reguler, lingkungan sekolah, keluarga, dan komunitas menjadi
protective factors. Terdapat tiga aspek dalam family, community, dan school
protective factors, yaitu : caring relationships, high expectations, opportunities
for participation and contribution. Kekuatan dari ketiga protective factors dapat
mempengaruhi kebutuhan dasar para siswa/i. Kebutuhan dasar seseorang terdiri
atas safety (kebutuhan akan rasa aman), love/belonging (kebutuhan untuk
dicintai), respect (kebutuhan untuk dihargai), autonomy/power (kebutuhan untuk
mandiri), challenge/mastery (kebutuhan untuk merasa mampu melakukan
sesuatu), dan meaning (kebutuhan untuk menemukan makna dalam hidup).
Kebutuhan dasar ini merupakan perkembangan yang dibawa sejak lahir dan
seseorang akan termotivasi secara alami untuk memenuhinya. Setelah kebutuhankebutuhan dasar seseorang ini terpenuhi maka hal tersebut akan meningkatkan
personal strength dalam menghadapi situasi yang menekan.
Caring relationship adalah suatu hubungan yang didalamnya terdapat
perhatian dan rasa cinta sehingga terbentuk suatu proses empati dalam diri para
siswa/i bilingual di SMPK”X” Bandung. Caring relationship di sekolah seperti
perhatian dari guru serta kedekatan secara emosional siswa/i dengan para guru

Universitas Kristen Maranatha

16

dapat membantu para siswa untuk bertahan saat menghadapi pelajaran yang sulit
atau tidak menarik. Caring relationship dari anggota keluarga berupa perhatian,
kasih sayang, dan dukungan bagi para siswa/i saat belajar atau menghadapi tugas
dan ulangan yang sulit. Caring relationship juga bisa didapat para siswa/i dari
teman-teman berupa semangat dan kesediaan teman-teman untuk mendengarkan
keluhan para siswa/i serta memahami kesulitan yang dialami siswa/i. Guru,
anggota keluarga, dan teman-teman yang dapat memberi dukungan dan dapat
menerima kondisi siswa/i apa adanya dapat membuat siswa/i merasa terpenuhi
kebutuhannya akan rasa aman yang selanjutnya dapat membantu mengembangkan
personal strength para siswa/i.
High expectation merupakan keyakinan dan harapan dari para guru bahwa
para siswa/i mampu mengikuti pelajaran di kelas bilingual dengan baik dan dapat
mendapat nilai yang baik. Anggota keluarga dan teman-teman yang selalu
meyakinkan siswa/i bahwa mereka mampu mengikuti pelajaran di kelas bilingual
dan dapat meraih nilai di atas KKM merupakan bentuk high expectation dari
anggota keluarga. Keyakinan dari para guru, anggota keluarga, dan teman-teman
bahwa para siswa/i dapat meraih nilai yang baik di kelas bilingual dapat
menguatkan para siswa/i dalam melakukan proses belajar di sekolah.
Opportunities for participation and contribution merupakan adanya
kesempatan yang diberikan lingkungan baik guru, anggota keluarga, dan temanteman kepada para siswa/i untuk dapat menyampaikan opini, kesempatan untuk
berpartisipasi dalam suatu kegiatan sehingga siswa/i dapat merasakan terlibat
dalam suatu kegiatan, bertanggung jawab dan mengembangkan kemandirian

Universitas Kristen Maranatha

17

dalam menghadapi masalah atau situasi sulit. Kesempatan yang diberikan oleh
orang tua untuk bertanggung jawab dan mandiri dalam suatu kegiatan merupakan
contoh opportunities for participation and contribution dari anggota keluarga.
Opportunities for participation and contribution dari lingkungan sekolah berupa
para guru yang memberikan kesempatan bagi para siswa untuk mandiri dan
bertanggung jawab dalam menentukan pilihan, dalam kegiatan problem solving,
dan untuk bekerja bersama dan membantu orang lain. Teman-teman yang
memberi kesempatan bagi siswa/i untuk dapat menghayati sense of power dan
merasa di hargai melalui kesempatan untuk melakukan problem solving dan
pengambilan keputusan. Adanya kesempatan bagi para siswa/i untuk terlibat
dalam kegiatan guna mencari penyelesaian suatu masalah serta kesempatan untuk
bekerja bersama dan membantu para guru, anggota keluarga, dan teman-teman
diharapkan dapat membantu para siswa/i mengembangkan personal strength yang
dapat berguna untuk meningkatkan kemampuan resiliency bagi para siswa/i.
Para siswa/i yang memiliki resiliency tinggi menunjukkan bahwa mereka
mampu untuk membangun relasi dan memberikan respon positif kepada
lingkungan, mampu membuat rencana yang dapat membantu mereka untuk dapat
belajar dengan baik, memiliki rasa percaya diri dan penilaian diri yang positif, dan
mampu mengarahkan diri pada tujuan.
Para siswa/i yang memiliki resiliency rendah akan kurang mampu untuk
membangun relasi dan memberikan respon positif kepada lingkungan, kurang
mampu membuat rencana yang dapat membantu mereka dalam belajar, kurang

Universitas Kristen Maranatha

18

memiliki rasa percaya diri dan penilaian diri yang positif, serta kurang mampu
mengarahkan diri pada tujuan.
Uraian di atas dapat digambarkan melalui bagan kerangka pikir berikut ini.
Adversity
-

Kelas bilingual

-

Belajar mata pelajaran baru dan
prakter Laboratorium dalam bahasa
Inggris

-

Tingginya KKM yang harus dicapai

-

Banyaknya tugas, PR, dan ulangan
dalam bahasa Inggris

-

Jadwal les pelajaran dan kursus lainnya
yang padat.

Kebutuhan dasar :
Tinggi
Siswa/i bilingual yang
berasal dari SD reguler
di SMPK X Bandung

Protective Factors :
School protective factors,
Family protective factors,
Community protective factors
dalam bentuk :
- Caring relationship
- High expectation,
- Opportunities for
participation and
Contribution.

-

Safety
Love/belonging
Respect
Autonomy/Power
Challenge/Mastery
Meaning

RESILIENCY
Rendah

Aspek resiliency:
-

Social competence
Problem solving skills
Autonomy
Sense of purpose and bright future

Bagan 1.5 Kerangka Pikir

Universitas Kristen Maranatha

19

1.6.Asumsi


Para siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di
SMPK “X” Bandung menghadapi situasi yang menekan (adversity)
seperti harus menerima pelajaran baru dalam bahasa Inggris, tingginya
KKM yang harus dicapai, banyaknya tugas, pekerjaan rumah serta
ulangan dalam bahasa Inggris, jadwal les pelajaran dan kursus lainnya
yang padat.



Dalam menghadapi adversity, dibutuhkan derajat resiliency yang
tinggi.



Kemampuan resiliency pada para siswa/i kelas tujuh bilingual yang
berasal dari SD Reguler di SMPK “X” Bandung dipengaruhi oleh
protective factors dari Sekolah, Keluarga, dan Komunitas.



Para siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di
SMPK “X” Bandung memiliki derajat resiliency yang berbeda-beda.

Universitas Kristen Maranatha

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan terhadap 86

Siswa/i Kelas Tujuh Bilingual yang Berasal dari SD Reguler di SMPK “X”
Bandung, maka dapat disimpulkan bahwa :


Jumlah siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di
SMPK “X” Bandung yang memiliki derajat resiliency rendah hampir sama
dengan yang memiliki resiliency tinggi.



Siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X”
Bandung dengan resiliency rendah, umumnya akan menunjukkan derajat
yang rendah juga dalam empat aspek personal strength (social
competence, problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and
bright future).



Siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X”
Bandung dengan resiliency tinggi, umumnya akan menunjukkan derajat
yang tinggi juga dalam empat aspek personal strength (social competence,
problem solving skills, autonomy, dan sense of purpose and bright future).



Siswa/i yang menghayati adanya caring relationship dari keluarga
memiliki derajat resiliency tinggi.



Adanya caring relationship dari sekolah dan teman cenderung tidak
berkaitan terhadap resiliency siswa/i.

75

Universitas Kristen Maranatha

76



Protective factors berupa High Expectations dari keluarga, sekolah dan
teman-teman cenderung tidak berkaitan terhadap derajat resiliency para
siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X”
Bandung.



Siswa/i yang menghayati adanya opportunities for participation and
contribution dari sekolah dan teman-teman menunjukkan resiliency tinggi.



Siswa/i yang menghayati adanya caring relationship dari keluarga,
sekolah dan teman-teman sebagian besar menunjukkan derajat yang tinggi
pada keempat aspek resiliency.



Sebagian besar siswa/i yang menghayati adanya high expectations dari
keluarga menunjukkan derajat yang tinggi pada keempat aspek resiliency,
sedangkan high expectations dari sekolah dan komunitas cenderung tidak
berkaitan terhadap keempat aspek resiliency.



Siswa/i yang menghayati maupun yang kurang menghayati adanya
opportunities for participations and contribution dari sekolah, keluarga
dan komunitas cenderung mampu menunjukkan derajat yang tinggi pada
aspek social competence dan autonomy.

5.2

Saran
Dari hasil, peneliti menunjukkan beberapa saran, yaitu :

5.2.1

Saran Teoritis
Apabila akan dilakukan penelitian lanjutan mengenai resiliency pada

siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di SMPK “X”

Universitas Kristen Maranatha

77

Bandung, dapat disarankan untuk meninjau kembali kesesuaian alat ukur dengan
teori Resiliency dan meneliti mengenai kontribusi protective factors dengan
resiliency.

5.2.2


Saran Praktis
Ditujukan kepada pihak sekolah agar dapat mengadakan penyuluhan guna
memberi informasi kepada orang tua mengenai program bilingual dan
persiapan yang harus dilakukan siswa/i sebelum memasuki program
bilingual sehingga orang tua dapat mengenali terlebih dahulu kemampuan
anak sebelum memutuskan masuk ke program bilingual. Dengan
diadakannya penyuluhan ini diharapkan orang tua dapat mendukung para
siswa/i yang duduk di kelas tujuh bilingual untuk memiliki ketahanan
yang lebih dalam menghadapi situasi menekan di kelas bilingual.



Kemudian bagi pihak sekolah, terutama Kepala Sekolah dan para guru
yang mengajar di kelas bilingual, diharapkan agar informasi mengenai
resiliency pada siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler
di SMPK “X” Bandung ini dapat dimanfaatkan untuk membantu
memfasilitasi siswa/i agar bisa terlibat dalam kegiatan OSIS serta terlibat
dalam kegiatan kelompok seperti berdiskusi atau belajar bersama dengan
teman-teman. Dengan adanya penghayatan bahwa para siswa/i memiliki
kesempatan untuk terlibat dalam kegiatan di sekolah dan di tengah temanteman, siswa/i diharapkan dapat

lebih mampu bertahan dalam

menghadapi situasi menekan di kelas bilingual.

Universitas Kristen Maranatha

78



Kepada siswa/i kelas tujuh bilingual yang berasal dari SD Reguler di kota
Bandung diharapkan agar bisa lebih terlibat dalam kegiatan kelompok
dengan teman-teman agar dapat saling menyemangati dan saling
membantu siswa/i bilingual untuk dapat bertahan ditengah kesulitan yang
dihadapi di kelas bilingual.

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie. 2004. Resiliency : What We Have Learned. San Fransisco :
WestEd.
Benard,B.(1991,August). FosteringResiliency in Kids: Protective Factors in the
Family, School, and Community. Portland, OR: Northwest Regional
Educational Laboratory.
Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana
Indonesia.
Nazir, M. 2005. Metode Penelitian. Bogor : Ghalia Indonesia.
Papalia, D. E. O., & Sally W., & Feldman R. D. (2007). Human Development (10th
edition). New York : Mc. Graw Hill.
Santrock, John W. 2003. Adolescence. Jakarta : Erlangga.
_______________ 2004. Life Span Development 5th edition. Dallas : University of
Texas.
Siegel, Sidney. 1997. Statistik Non Parametrik Unuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama.

79

Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Hartini, Aurelia. 2009. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliemcy Pada Mantan
Pecandu Narkoba Di Panti Rehabilitasi “X” Kota Bandung. Skripsi.
Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Natasha, Tessa. 2010. Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliency pada Wanita
yang Menjadi Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di
Lembaga UPT P2TP2A Kota Bandung. Usulan Penelitian. Bandung :
Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
Amna, Amalia. 2011. Studi Deskriptif mengenai Reesiliency pada Pasangan dari
Penderita Gagal Ginjal Kronis di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung.
Skripsi. Bandung : Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.
(http://gurupembaharu.com/home/?p=2733 diakses pada tanggal 5 Oktober 2011)
(http://www.tanglewood.net/projects/teachertraining/Book_of_Readings/Benard.pd
f diakses pada tanggal 22 November 2011)
(www.kompas.com diakses pada tanggal 22 november 2011)
(http://pungky13.wordpress.com/2012/04/07/makalah-perkembangan-kognitif
diakses pada tanggal 18 Agustus 2012)

80

Universitas Kristen Maranatha