Persepsi Terhadap Pernikahan Pada Wanita Dewasa Dini Yang Berasal Dari Keluarga Bercerai

(1)

PERSEPSI TERHADAP PERNIKAHAN PADA WANITA

DEWASA DINI YANG BERASAL DARI KELUARGA BERCERAI

SKRIPSI

Oleh:

ICHIN MERRIM 041301069

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN JUNI 2008


(2)

Lembar Pernyataan

Saya yang bertanda-tangan di bawah ini, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai” adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, maka saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang saya sandang dan sanksi lainnya sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku.

Medan, Juni 2008


(3)

ABSTRAK Fakultas Psikologi

Univeritas Sumatera Utara, Juni 2008

Ichin Merrim Br. P

Persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai

10+ 99+ 6+77

Bibliografi 27 (1983-2008)

Persepsi terhadap pernikahan dipengaruhi oleh pengetahuan dan harapan dalam pernikahan. Pengetahuan anak tentang pernikahan akan ia pelajari melalui pernikahan orangtua sebelumnya. Pernikahan orangtua yang berakhir pada perceraian akan membentuk persepsi anak akan pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanakah persepsi terhadap pernikahan pada anak yang berasal dari keluarga bercerai.

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, karena pembentukan persepsi setiap orang berbeda-beda. Pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan snowball/chain sampling. Metode pengumpulan data dengan menggunakan wawancara mendalam dengan menggunakan bantuan alat perekam (tape recorder).

Melalui penelitian ini diperoleh bahwa persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai berbeda pada tiap individunya. Dua dari tiga responden merasa bahwa perceraian adalah hal yang penting, sedangkan satu responden tidak merasa penting pernikahan.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang senantiasa mengaruniakan kekuatan, kemampuan, kesehatan, kasih, semangat dan senantiasa memelihara hidup penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini guna memenuhi persyaratan persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan pada Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara. Hanya oleh kehendak-Nya lah penulis dapat menyelesaikan penelitian ini yang berjudul “Persepsi terhadap Pernikahan pada Wanita Dewasa Dini yang Berasal dari Keluarga Bercerai”.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama penulis menyelesaikan penelitian ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Chairul Yoel, Sp.A(K), selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Eka Ervika M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis selama proses mengerjakan tugas ini. Terima kasih atas bimbingan, arahan, serta masukan- masukan yang telah ibu berikan kepada penulis. 3. Ibu Lili Garliah M.Si dan Ibu Elvi Andriani M.Si selaku dosen penguji dan

pembanding.

4. Terima kasih kepada Ibu Vivi Gusrini R. Pohan S.Psi, Psi dan Kak Juliana I. Saragih, S. Psi yang merupakan dosen pembimbing akademik penulis.


(5)

5. Terima kasih kepada kedua orangtuaku yang senantiasa memberikan cinta, kasih sayang, semangat dan dorongan untuk setiap langkah hidupku. Sehingga aku tidak pernah terjatuh terlalu dalam dan mampu berdiri tegak kembali.

6. Terima kasih kepada saudara-saudaraku tercinta, Erik Ivan Purba dan Itan Iskova Purba. Doa, dukungan dan kehadiran kalian dalam setiap suka dukaku telah menjadi kekuatan bagiku.

7. Terima kasih kepada teman-teman kelompokku, Grace, Juni, Christy dan Kak Intan, doa kita telah menjadi kenyataan.

8. Terima kasih kepada sahabat-sahabatku yang terkasih, Grace, Yustisi, May, Winida, Pasca, dan semua yang namanya tidak bisa saya sebut satu persatu. Dukungan dan bantuan yang telah kalian berikan sangat berarti dalam hidupku.

9. Terima kasih kepada kakak-kakakku, Herni, Lince, dan Henny, yang selalu memberikan dukungan kepadaku.

10. Terima kasih kepada adik-adikku Eka dan Herry yang senantiasa menemani dalam setiap hari-hariku.

11. Terima kasih kepada Kak Ridhoi yang senantiasa memberikan masukan dan menyemangati dalam pengerjaan tugas ini.

12. Terima kasih kepada ketiga responden, tanpa kalian penelitian ini tidak akan pernah selesai. Terima kasih atas waktu dan dukungan yang telah diberikan.


(6)

Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu peneliti mengharapkan adanya kritikan dan saran dari pembaca sekalian. Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

Medan, Juni 2008 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Lembar Pernyataan...i

ABSTRAK...ii

KATA PENGANTAR...iii

DAFTAR ISI...vi

BAB I PENDAHULUAN I.A. Latar Belakang Masalah...1

I.B. Perumusan Masalah...8

I.C. Tujuan Penelitian...8

I.D. Manfaat Penelitian...8

I.E. Sistematika Penelitian...9

BAB II LANDASAN TEORI II.A. Persepsi terhadap Pernikahan...11

II.A.1. Definisi Persepsi terhadap Pernikahan...11

II.A.2. Apek Persepsi terhadap Pernikahan...13

II.A.3. Faktor-faktor yang Mendorong Seseorang untuk Menikah...14

II.B. Dewasa Dini...15

II.B.1. Defenisi Dewasa Dini...15

II.B.2. Ciri-Ciri Dewasa Dini...16

II.B.3. Tugas Perkembangan Dewasa Dini...18


(8)

II.C.1. Definisi Keluarga Bercerai...19

II.C.2. Dampak Perceraian Bagi Anak...20

II.C.3. Dampak Pengasuhan Orangtua Setelah Perceraian...22

II.C.4. Persepsi terhadap Pernikahan pada Wanita Dewasa Dini yang Berasal dari Keluarga Bercerai...23

II. D. Paradigma...25

BAB III METODE PENELITIAN III.A. Pendekatan Kualitatif... ...26

III.A.1. Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif...27

III.B. Metode Pengumpulan Data...28

III.B.1. Wawancara...29

III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data...29

III.C.1. Alat Perekam (tape recorder)...30

III.C.2. Pedoman Wawancara...30

III.C.3. Lembaran Observasi...31

III.D. Responden Penelitian...31

III.D.1. Karakteristik Responden Penelitian ...31

III.D.2. Jumlah Responden Penelitian...32

III.D.3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian...32

III.E. Prosedur Penelitian...32

III.E.1. Tahap Pralapangan...33

III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian...33


(9)

III.F. Metode Analisis Data...34

BAB IV ANALISA DATA DAN INTERPRETASI DATA IV. A. Responden I...38

IV. A. 1. Analisa Data...38

IV. A. 1. a. Deskripsi Identitas Diri Responden I...38

IV. A. 1. b. Hasil Observasi...41

IV. A. 1. c. Data Hasil Wawancara...44

IV. B. Responden II...56

IV. B. 1. Analisa Data...56

IV. B. 1. a. Deskripsi Identitas Diri Responden II...56

IV.B. 1. b. Hasil Observasi...58

IV. B. 1. c. Data Hasil Wawancara...61

IV. C. Responden III...70

IV. C. 1. Analisa Data...70

IV. C. 1. a. Deskripsi Identitas Diri Responden II...70

IV.C. 1. b. Hasil Observasi...72

IV. C. 1. c. Data Hasil Wawancara...75

IV. D. Analisis Interpersonal antar Responden...82

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN V. A. Kesimpulan...92

V. B. Diskusi ...93

V.C. Saran-saran...96


(10)

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan...96 DAFTAR PUSTAKA...97 LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 1...38

Tabel 2...41

Tabel 3...56

Tabel 4...58

Tabel 5...70

Tabel 6...72

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman wawancara 2. Inform concern penelitian 3. Verbatim wawancara


(12)

ABSTRAK Fakultas Psikologi

Univeritas Sumatera Utara, Juni 2008

Ichin Merrim Br. P

Persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai

10+ 99+ 6+77

Bibliografi 27 (1983-2008)

Persepsi terhadap pernikahan dipengaruhi oleh pengetahuan dan harapan dalam pernikahan. Pengetahuan anak tentang pernikahan akan ia pelajari melalui pernikahan orangtua sebelumnya. Pernikahan orangtua yang berakhir pada perceraian akan membentuk persepsi anak akan pernikahan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimanakah persepsi terhadap pernikahan pada anak yang berasal dari keluarga bercerai.

Dalam penelitian ini digunakan metode kualitatif, karena pembentukan persepsi setiap orang berbeda-beda. Pengambilan responden dalam penelitian ini menggunakan snowball/chain sampling. Metode pengumpulan data dengan menggunakan wawancara mendalam dengan menggunakan bantuan alat perekam (tape recorder).

Melalui penelitian ini diperoleh bahwa persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai berbeda pada tiap individunya. Dua dari tiga responden merasa bahwa perceraian adalah hal yang penting, sedangkan satu responden tidak merasa penting pernikahan.


(13)

BAB I PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang Masalah

Keluarga merupakan kelompok primer yang terpenting dalam masyarakat. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap individu yang menjalani kehidupan rumah tangga tentunya mengharapkan rumah tangga yang bahagia, namun tidak semua kehidupan keluarga berjalan seperti yang diharapkan. dalam masyarakat ditemui juga rumah tangga yang diwarnai dengan peristiwa-peristiwa yang tidak diharapkan oleh anggota keluarga. Salah satu contoh dari peristiwa yang tidak diharapkan ini adalah perceraian (Yusuf, 2004).

Jumlah perceraian di dunia telah meningkat selama beberapa dekade terakhir, khususnya pada era industri yang berkembang. Hasil pengujian Hetherington (dalam Thomas & Grimes, 1994) menunjukkan hampir 40% pernikahan akan berakhir pada perceraian dan hampir 40-50% anak-anak akan tinggal dalam keluarga dengan orangtua tunggal.

Buletin The Economist (dalam Khisbiyah, 1994) menunjukkan bahwa rata-rata perceraian tertinggi di negara industri terjadi di Amerika Serikat, dimana hampir separuh pernikahan berakhir dengan perceraian. Adapun pada negara-negara Eropa, seperti Inggris, Denmark, dan Swedia, dua dari lima pernikahan berakhir pada perceraian, sedangkan di Jepang, satu dari lima pernikahan berakhir pada perceraian.


(14)

Fenomena perceraian tidak hanya berlangsung di negara maju tetapi juga di negara berkembang seperti Indonesia. Menurut Singarimbun dan Permore (dalam Khisbiyah, 1994), rata-rata perceraian di Indonesia lebih tinggi dari negara manapun di Asia. Persentase pasangan bercerai di Indonesia meningkat setiap tahunnya. Tahun 2000 persentase perceraian mencapai 6,9% dari pasangan yang menikah, sedangkan pada tahun 2005 perceraian telah meningkat hingga mencapai 8,5% (Ditjen PPA, 2008).

Perceraian sendiri dapat disebabkan oleh berbagai hal, salah satunya dapat disebabkan oleh ketidaksetujuan orangtua, seperti yang dituturkan oleh K berikut ini:

“Mungkin karena latar belakang keluarga bapak, kalo.... Istilahnya kan mamak itu anak yang paling kecil di keluarga, anak perempuan, jadi udah kek dijodoh-jodohin gitu. Ya tahulah kalo zaman dulu itu enggaknya bisa, kayak zaman sekarang pun enggaknya bisa dipaksakan kali sebenarnya keinginan orangtua kan. Jadi karena dari awalnya pun mulanya udah salah gitu, kedepannya pun udah tetap itu jadi masalah. Istilahnya karena tidak sesuai dengan pilihan orangtua, bapak itu jadi bulan-bulanan keluarga mamak gitu. Yang dibilang enggak becus kerjalah, bukan orang satu suku lah, gitu. Lagian dia bukan orang berada gitu”, (Komunikasi personal, 20 April 2008).

Peristiwa perceraian dalam keluarga senantiasa memberikan dampak yang mendalam baik kepada pasangan maupun bagi anak. Perceraian dapat berdampak positif bagi pasangan dan anak jika perceraian merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh ketentraman diri, dengan berlangsungnya perceraian maka situasi konflik, rasa tidak puas dan perbedaan paham dapat dihindari. Bagi beberapa keluarga, perceraian dianggap keputusan yang paling baik untuk mengakhiri rasa tertekan, rasa takut, rasa cemas, dan ketidaktenteraman (Dagun,


(15)

2002). Mead (dalam Dagun, 2002) menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mengakhiri suatu pernikahan bila pernikahan tersebut hanya mendatangkan bencana dan ketidaktenteraman.

Hampir setengah dari orang yang bercerai merasa bahwa mereka telah mengakhiri hubungan yang sulit (Chiriboga & Cutler; Wallerstein & Kelly, dalam Santrock, 1997). Menurut Wallerstein dan Kelly (dalam Santrock, 1997), banyak orang yang merasa lega setelah perceraian dan beberapa orang lainnya menganggap perceraian sebagai sebuah kesempatan untuk pembaharuan atau untuk berkembang. Menurut Clarke-Stewart & Brentano (2007) perceraian sendiri akan mengakhiri hubungan yang tidak baik antar pasangan dan memberikan kesempatan untuk mencari hubungan yang lebih baik lagi.

Sama halnya bagi anak, anak yang di asuh oleh orangtua tunggal akan lebih baik daripada anak yang diasuh keluarga utuh namun selalu diliputi rasa tertekan. Hal yang senada juga diungkapkan oleh Bram (dalam Republika Online, 2006):

“Hidup saya mungkin jauh lebih baik dari anak-anak lain yang masih ada ayah-ibunya di rumah, tetapi mereka setiap hari berantem.”

Terdapat juga dampak negatif dari perceraian terhadap pasangan maupun anak. Bagi pasangan yang bercerai, perceraian menimbulkan ketegangan, karena merupakan salah satu perubahan yang paling sulit (stressfull) yang dialami seseorang (Kitzman & Gayord, 2001). Reaksi emosi yang muncul pada orang yang mengalami perceraian adalah depresi, kehilangan harga diri, marah dan bingung (Kelly, dalam Santrock, 1997). Reaksi emosi lainnya yang biasanya


(16)

muncul pada perceraian adalah depresi, yang termanifestasi dalam berbagai cara, seperti kurang tidur, fatigue (lelah), kehilangan harga diri, atau peningkatan atau penurunan berat badan (Herman, Kelly, dalam Santrock, 1997).

Bagi anak, perceraian memberikan pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan mereka. Amato dan Keith (dalam Kail & Cavanaugh, 2000) menyatakan anak yang orangtuanya bercerai sering kurang sukses dalam sekolah dan memiliki masalah perilaku dan konsep diri. Wallerstein & Sara McLanahan dan Kiernan (dalam Khisbiyah, 1994) menemukan anak dari perceraian sering terlibat dalam kekerasan, penggunaan obat-obatan dan bunuh diri di usia muda, dan sering keluar dari sekolah, menganggur, menikah di usia belasan, memiliki anak sebelum menikah dan akhirnya kembali mengalami kehancuran rumah tangga.

Perceraian juga dapat menimbulkan perasaan bersalah pada anak. Anak merasa bahwa perpisahan kedua orangtuanya disebabkan oleh dirinya. Anak juga dapat menjadi bingung dengan perpisahan orangtuanya, seperti yang diungkapkan oleh Anin (dalam Republika Online, 2006):

“Gue kadang juga masih suka merasa bingung dan kehilangan. Gue juga pernah merasa bersalah apa ini semua karena gue.”

Dampak dari perceraian sendiri tidak begitu saja berakhir pada saat anak sudah mencapai masa keseimbangan (dua tahun setelah perceraian), tetapi perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka (Dagun, 2002). Beberapa kasus yang terjadi menunjukkan anak yang orangtuanya bercerai, pada saat dewasa, menjadi takut untuk menikah. Manda (2007),


(17)

mengungkapkan perasaannya mengenai ketakutannya terhadap pernikahan akibat perceraian orangtua:

“For me, pernikahan terlihat menakutkan, karena bagaimana mungkin dua insan yang saling cinta bisa saling mengkhianati dan rebut-rebutan harta nantinya, padahal dulu pas pacaran, pengorbanan dan kasih sayang jadi momok utama. Gue tau ini rambu-rambu bahaya, karena menikah itu sangat dianjurkan oleh agama yang gue anut, tapi gue juga gak bisa apa-apa, ini dampak dari masa kecil gue yang amburadul. Jadi, yang bisa gue lakukan cuma berdoa, semoga ada orang baik yang bisa bareng gue mewujudkan keluarga yang bahagia, dan kalopun orang itu gak bisa, ya gak papa, at least bercerailah dengan baik-baik dan sebisa mungkin membahagiakan anak-anak gue, dan kalopun gue gak akan menikah sampai kapan pun, gue udah punya alternatif lain untuk menyikapinya.”

Perceraian juga memiliki dampak yang berbeda pada anak laki-laki dan anak perempuan. Dampak perceraian pada anak laki-laki akan tampak pada kehidupan sosialnya. Anak lebih senang menyendiri dalam bermain, kurang ingin bekerja sama, kurang teratur, kurang kreatif. Mereka lebih senang mengamati permainan dari pada ikut terlibat dalam permainan. Anak lelaki juga lebih cenderung untuk memilih teman yang lebih kecil usianya atau lebih cenderung memilih teman perempuan dari pada teman pria yang sebaya (Dagun, 2002).

Berbeda dengan anak laki-laki, akibat perceraian terhadap anak perempuan dengan orangtua yang bercerai justru muncul ketika mereka memasuki usia dewasa dini, tepatnya ketika dihadapkan pada tugas perkembangan untuk membangun sebuah rumah tangga. Ketika memasuki dewasa dini terjadi penyesuaian diri terhadap pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru. Komitmen dan penyesuaian diri dengan mempersiapkan kehidupan pernikahan merupakan hal yang mencirikan masa dewasa dini (Hurlock, 1999).


(18)

Wallerstein (dalam Larsen & Buss, 2002) menemukan masalah penyesuaian sesungguhnya nyata saat wanita yang berasal dari keluarga bercerai mulai memasuki dewasa dini. Setiap kali wanita tersebut melihat pria dan wanita, pandangannya akan selalu dipengaruhi dengan apa yang ia lihat pada ayah dan ibunya. Perasaan curiga dan tidak percaya pada wanita dewasa dini ini akan selalu timbul dan selalu menganggap bahwa karakter yang sama mungkin terdapat pada setiap pria (Grollman, 1969).

Menurut Wallerstein (dalam Larsen & Buss, 2002) hal tersebut terjadi karena “hantu dari masa lalu” yang muncul saat mereka memasuki hubungan intim. Hantu masa lalu adalah bayangan dari pernikahan orangtua yang gagal dan berpengaruh kuat. Ketakutan mengulang kesalahan orangtua, berkaitan erat sehingga tanpa sadar anak akan berusaha untuk lebih baik dari pada orangtuanya. Bayangan ini merupakan emosi yang berkaitan dengan keinginan yang memusat saat wanita yang berasal dari keluarga bercerai memasuki usia dewasa dini dan mempengaruhi pendekatan mereka dalam membangun hubungan yang akan berakhir pada pernikahan.

Bagi wanita, pernikahan yang diharapkan tentu saja tidak terlepas dari pengalaman pernikahan orangtuanya di masa lalu. Penelitian Henker (1983) menunjukkan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Individu yang


(19)

memiliki hubungan positif dengan orang tuanya, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan pernikahannya.

Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stres yang berkepanjangan (baik ringan maupun berat). Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna pernikahan itu sendiri (Henker, 1983).

Latar belakang yang berasal dari keluarga bercerai, pengalaman perceraian orangtua dan sikap terhadap perceraian serta kepercayaan terhadap perceraian akan membentuk persepsi anak. Seperti yang diungkapkan oleh Adler (2006), pada saat masa kanak-kanak, anak telah membentuk kesan mengenai pernikahan yang anak dapatkan dari pernikahan orangtuanya sendiri. Pola asuh orangtua dan hubungan orangtua dengan anak akan mempengaruhi kualitas pernikahan seseorang, menentukan pemilihan pasangan, mempengaruhi persepsi dan sikap terhadap pasangan, dan mempengaruhi persepsi orang tersebut terhadap perannya sendiri (Adler, 2006). Maka dengan adanya pengalaman pernikahan orangtua sebelumnya, anak akan memiliki gambaran mengenai pernikahan.

Akhirnya, meringkas semua pengalaman perceraian, masa dewasa dini merupakan masa yang sulit bagi wanita yang berasal dari keluarga bercerai karena pada masa ini mereka dituntut untuk memenuhi tugas perkembangannya untuk berumah-tangga. Hal inilah yang membuat peneliti tertarik untuk mengetahui


(20)

bagaimana persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang mengalami perceraian orangtua.

I.B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama dari pnelitian ini, yaitu: 1. Bagaimana dampak perceraian orangtua terhadap anak?

2. Bagaimana faktor yang mendorong untuk menikah pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai?

3. Bagaimanakah persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai?

I.C. Tujuan Penelitian

Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai.

I.D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat mengenai gambaran persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai yang terdiri dari manfaat teoritis dan manfaat praktis.


(21)

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan secara umum dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan dalam melihat persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai.

2. Manfaat Praktis

a. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi wanita yang berasal dari keluarga bercerai untuk mengidentifikasi masalah yang dapat menghambat tugas perkembangannya, terutama pada pernikahan.

b. Penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi psikolog dan praktisi LSM wanita agar dapat membantu menyelesaikan masalah yang menghambat tugas perkembangan wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai.

I.E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah : Bab I : Pendahuluan

Bab ini menjelaskan tentang latar belakang masalah penelitian, identifikasi masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II : Landasan Teori

Bab ini akan memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan persepsi terhadap pernikahan, hal-hal yang


(22)

mempengaruhi persepsi, pengertian dewasa dini, ciri-ciri dewasa dini dan tugas perkembangan dewasa dini, keluarga bercerai, dampak perceraian bagi pasangan dan anak.

Bab III : Metodologi Penelitian

Pada bab ini dijelaskan mengenai rumusan pertanyaan penelitian, metode pengumpulan data, populasi, dan metode pengambilan sampel. Bab IV : Analisa Data dan Hasil Analisa Data

Pengolahan dan pengorganisasian data dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan, mencakup deskripsi data, pengorganisasian (rekonstruksi) data, dan selanjutnya membahas data-data penelitian tersebut dengan teori yang relevan.

Bab V : Kesimpulan , Diskusi dan Saran

Kesimpulan berisikan hasil dari penelitian yang telah dilaksanakan, dan terdapat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan dengan teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru, serta saran-saran praktis sesuai hasil dan masalah-masalah penelitian, dan saran-saran metodologi untuk penyempurnaan penelitian lanjutan.


(23)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Persepsi terhadap Pernikahan

II.A.1. Definisi Persepsi terhadap Pernikahan

Persepsi merupakan proses mengetahui atau mengenali objek dan kejadian objektif dengan bantuan indera (Chaplin, 1999). Persepsi adalah suatu proses aktif setiap orang memperhatikan, mengorganisasikan dan menafsirkan semua pengalamannya secara selektif (Mulyana, 2005). Myers (1992) menyatakan persepsi merupakan cara pandang (pengamatan) individu terhadap stimulus yang ada di lingkungannya melalui proses penginderaan yang dilakukan secara aktif untuk dapat menafsirkan dan menyimpulkan stimulus tersebut. Menurut Anorogo & Widiyanti (1993), persepsi adalah proses seorang individu untuk memilih, mengorganisasikan dan menafsirkan masukan-masukan informasi untuk menciptakan sebuah gambar yang bermakna tentang dunia. Setelah melihat penjelasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah suatu proses setiap orang memilih, memperhatikan, mengorganisasikan dan menafsirkan semua pengalamannya secara selektif untuk mendapatkan gambaran suatu stimulus.

Batasan mengenai pernikahan ada banyak tergantung pada pendekatannya, di antaranya adalah: Herning (1956) mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita yang kurang lebih permanen, ditentukan oleh kebudayaan dengan tujuan mendapatkan kebahagiaan. Keterikatan ini bersifat


(24)

persahabatan, ditandai oleh perasaan bersatu dan saling memiliki. Masing-masing individu perlu menyesuaikan diri pada pasangannya dan mengubah diri agar sesuai.

Sedangkan menurut Duval dan Miller (1980) pernikahan adalah suatu hubungan yang diakui secara sosial antara pria dan wanita, yang mensahkan hubungan seksual dan adanya kesempatan mendapatkan keturunan. Pria dan wanita ini bertanggungjawab atas pengasuhan anak mereka dan pasangan ini juga selama menikah memantapkan pembagian kerja antara mereka.

Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan 1/1974 menyatakan pernikahan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Setelah melihat penjelasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu ikatan antara seorang pria dan wanita yang diakui secara sosial dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal. Berdasarkan uraian mengenai persepsi dan pernikahan yang telah dikemukakan, maka dapat disimpulkan bahwa persepsi terhadap pernikahan adalah proses aktif setiap orang memilih, memperhatikan, mengorganisasikan, dan menafsirkan pengalamannya mengenai suatu ikatan antara seorang pria dan seorang wanita yang diakui secara sosial untuk membentuk keluarga (rumah tangga).


(25)

II.A.2. Aspek Persepsi terhadap Pernikahan

Persepsi individu memiliki tiga aspek yaitu pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan, pengharapan yang dimiliki individu untuk pernikahannya sendiri serta penilaian individu mengenai pernikahannya (Calhoun & Acocella, 1990).

1. Pengetahuan

Aspek pertama dari persepsi adalah pengetahuan. Pengetahuan yang dimaksud berupa pengetahuan yang dimiliki individu mengenai pernikahan. Pengetahuan ini didapatkan dari masa lalu dan perasaan terhadap pernikahan 2. Harapan

Aspek kedua dari persepsi adalah harapan. Selain individu mempunyai satu set pandangan terhadap pernikahan, individu juga memiliki pengharapan terhadap pernikahannya sendiri, seperti apa pernikahan itu seharusnya dan apa yang harus dilakukan dalam pernikahan.

3. Penilaian

Aspek terakhir dari persepsi adalah penilaian. Penilaian adalah kesimpulan individu terhadap pernikahan yang didasarkan pada bagaimana pernikahan tersebut memenuhi pengharapan individu terhadap pernikahan.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga aspek yang dapat mempengaruhi pembentukan persepsi. Adapun ketiga aspek tersebut adalah pengetahuan, harapan dan penilaian.


(26)

II.A.3. Faktor-Faktor yang Mendorong Seseorang untuk Menikah

Dalam Domikus (1997), ada beberapa faktor yang mendorong seseorang untuk menikah, yang dikategorikan ke dalam dua faktor utama, yaitu :

1. Push factor, yaitu faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk segera memasuki pernikahan, meliputi :

a. Konformitas, orang memutuskan untuk menikah karena demikian pula yang dilakukan oleh sebagian besar orang. Agaknya kebanyakan struktur kebudayaan yang ada di muka bumi ini adalah sedemikian rupa sehingga konformitas merupakan hal yang utama.

b. Cinta, cinta merupakan komitmen emosional manusia yang perlu diterjemahkan ke dalam suatu bentuk yang lebih nyata dan permanen, yaitu pernikahan.

c. Legitimasi sex dan anak, secara tradisional, masyarakat memberikan dukungan terhadap hubungan seksual hanya kepada mereka yang telah menyatakan komitmennya secara legal. Sedangkan lahirnya anak-anak yang tidak berasal dari pernikahan yang sah akan menimbulkan stigma sosial yang tidak dapat disepelekan.

2. Pull factors, yaitu faktor-faktor daya tarik yang menetralisir kekawatiran seseorang untuk terikat dalam pernikahan yang akan mengurangi kebebasan. Yang termasuk dalam pull factors, antara lain :


(27)

a. Persahabatan, salah satu harapan terhadap pernikahan adalah terjadinya persahabatan yang terus menerus. Banyak pasangan dalam pernikahan sesungguhnya adalah terjalinnya suatu persahabatan.

b. Berbagi, berbagi dalam gaya hidup, pikiran-pikiran, dan juga penghasilan, dianggap sebagai daya tarik seseorang untuk memasuki pernikahan.

c. Komunikasi, pasangan suami istri perlu terlibat secara mendalam dalam komunikasi yang akrab dan bermakna. Pasangan yang bahagia adalah mereka yang terampil berkomunikasi baik secara verbal maupun nonverbal dan saling peka terhadap kebutuhan satu sama lain.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang memotivasi seseorang untuk menikah. Faktor yang pertama adalah push factor yang mendorong seseorang untuk segera memasuki pernikahan, dan faktor yang kedua adalah pull factor yang menetralisir kekawatiran seseorang untuk terikat dalam pernikahan yang akan mengurangi kebebasan.

II.B. Dewasa Dini

II.B.1. Definisi Dewasa Dini

Kata dewasa dini berasal dari kata adultus yang artinya telah tumbuh menjadi kekuatan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Jadi orang dewasa adalah orang orang yang telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam masyarakat bersama orang dewasa lainnya.


(28)

Hurlock (1999) kemudian membagi masa dewasa menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Masa dewasa dini yang dimulai dari usia 18 tahun sampai 40 tahun 2. Masa dewasa madya yang dimulai dari usia 40 tahun sampai 60 tahun 3. Masa dewasa lanjut yang dimulai dari 60 tahun sampai kematian

Menurut Hurlock (1999), pembagian usia bukan merupakan hal yang ketat, hanya merupakan umur dimana pria dan wanita mulai menunjukkan perubahan penampilan, minat, sikap dan perilaku karena tekanan budaya sehingga menimbulkan penyesuain diri yang harus dihadapi setiap orang dewasa.

Masa dewasa dini merupakan periode penyesuaian, dan hal inilah yang membedakannya dengan masa dewasa lainnya. Pada masa ini terjadi berbagai macam penyesuaian yang menjadi aspek utama kehidupan dewasa antara lain penyesuaian minat, peran seks, pekerjaan, pernikahan, menjadi orangtua ataupun terhadap kesendirian.

II.B.2. Ciri-Ciri Dewasa Dini

Ada beberapa ciri-ciri dewasa dini yang dikemukakan oleh Hurlock (1999), diantaranya yang berkenaan dengan penelitian ini adalah:

1. Masa dewasa dini sebagai masa pengaturan

Pada masa ini banyak dewasa dini mencoba berbagai pekerjaan untuk menentukan mana yang paling sesuai untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup mereka dan yang akan memberikan kepuasan lebih permanen.


(29)

Keputusan untuk memulai hidup rumah tangga bergantung pada dua faktor, yaitu :

a. Faktor pertama, cepat tidaknya mereka mampu menemukan pola hidup yang memenuhi kebutuhan mereka kini dan pada masa depan.

b. Faktor kedua yang menentukan kemantapan pilihan seseorang bekerja, tanggung-jawab yang harus dipikulnya sebelum ia mulai berkarya.

2. Masa dewasa dini sebagai usia reproduktif

Orangtua (parenthood) merupakan salah satu peran yang paling penting dalam hidup orang dewasa. Orang yang menikah berperan sebagai orang tua berperan sebagai orangtua pada saat mereka berusia dua puluhan atau pada awal tiga puluhan. Orang yang belum menikah hingga menyelesaikan pendidikan atau telah memulai kehidupan karirnya, tidak akan menjadi orang tua sebelum mereka merasa bahwa mereka mampu berkeluarga.

3. Masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru Di antara berbagai penyesuaian diri yang dilakukan oleh dewasa dini terhadap gaya hidup baru, yang paling umum adalah penyesuaian pada pola peran seks atas dasar persamaan derajat (egalitarian) yang menggantikan pembedaan pola peran seks tradisional, serta pola-pola baru bagi kehidupan rumah keluarga, termasuk perceraian, keluarga berorangtua tunggal, dan berbagai pola baru di tempat kerja khususnya pada unit-unit kerja yang besar dan impersonal di bidang bisnis dan industri.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga ciri-ciri dewasa dini. Ciri-ciri yang pertama


(30)

adalah masa dewasa sebagai masa pengaturan. Kedua, masa dewasa dini sebagai usia reproduktif, dan yang ketiga, masa dewasa dini sebagai masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru.

II.B.3. Tugas Perkembangan Dewasa Dini

Hurlock (1999), mengemukakan beberapa tugas perkembangan dari dewasa dini. Berikut adalah beberapa yang berkenaan dengan penelitian ini, yaitu: 1. Memilih seorang teman hidup

Dewasa dini mencoba berpacaran dengan satu atau lebih lawan jenis untuk menemukan pasangan yang dirasakan sesuai dengan mereka.

2. Belajar hidup bersama istri atau suami membentuk suatu keluarga

Individu melampaui proses belajar mengenal masing-masing pasangannya, mereka harus belajar untuk mengatasi masalah dua orang yang berbeda nilai dan orientasinya. Suami dan istri membangun suatu sistem pernikahan baru dan juga menyusun kembali hubungan dengan keluarga jauh dan teman-teman untuk melibatkan pasangan.

3. Membesarkan anak-anak

Orangtua menyesuaikan sistem pernikahan untuk memberi ruang bagi anak-anak mereka. Orangtua juga merawat anak-anak, memenuhi kebutuhan ekonomi dan melakukan tugas rumah tangga. Penyusunan kembali hubungan dengan keluarga jauh (extended family) termasuk peran menjadi orangtua dan peran kakek-nenek.


(31)

4. Mengelola sebuah rumah tangga

Pasangan suami istri berusaha untuk menjalankan rumahtangganya sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang mereka bentuk bersama.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan terdapat empat tugas perkembangan dewasa dini. Adapun keempat tugas perkembangan tersebut adalah memilih seorang teman hidup, belajar hidup bersama istri atau suami membentuk suatu keluarga, membesarkan anak-anak, dan mengelola sebuah rumah tangga.

II.C. Keluarga Bercerai

II.C. 1. Definisi Keluarga Bercerai

Elliot dan Merrile (dalam Su’adah, 2005) mengatakan bahwa keluarga

adalah kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang tinggal bersama dan mempunyai hubungan darah, pernikahan atau adopsi. Bogardus (dalam Su’adah, 2005) menyatakan bahwa keluarga adalah kelompok sosial kecil, yang biasanya terdiri dari ayah, ibu dan satu anak atau lebih, yang saling berbagi perasaan dan tanggung jawab dan dimana anak dapat dididik untuk memiliki kontrol diri dan menjadi seseorang yang bermotivasi sosial. Berdasarkan definisi sebelumnya, maka dapat dirumuskan bahwa keluarga merupakan kelompok sosial terkecil yang umumnya terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Menurut Biro Pusat Statistik, perceraian merupakan kategori bagi mereka yang menceraikan suami atau istrinya dan belum menikah kembali. Menurut


(32)

Atwater (1983) perceraian merupakan terputusnya pernikahan biasanya bersamaan dengan penyesuaian psikologis, sosial dan keuangan.

Su’adah (2005), menyatakan bahwa perceraian adalah cerai hidup antara pasangan suami-istri sebagai akibat dari kegagalan mereka menjalankan kewajiban masing-masing. Berdasarkan uraian sebelumnya, perceraian kemudian dapat disimpulkan sebagai suatu keadaan terputusnya pernikahan yang disebabkan suami menceraikan istri sebagai akibat kegagalan mereka menjalankan kewajiban

Berdasarkan uraian mengenai keluarga dan perceraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa defenisi dari keluarga bercerai. Keluarga bercerai adalah kelompok sosial terkecil dimana pernikahan ayah dan ibu terputus sebagai akibat kegagalan pasangan (orangtua) untuk menjalankan kewajiban mereka.

II.C.2. Dampak Perceraian Bagi Anak

Dampak perceraian orangtua terhadap anak dapat dibedakan atas dua, yaitu dampak positif dan dampak negatif.

1. Dampak positif

Perceraian dapat membantu anak untuk keluar dari situasi konflik, rasa tidak puas, dan perbedaan paham yang terus menerus. Perceraian juga dapat mengakhiri rasa tertekan, rasa takut, cemas dan ketidaktenteraman (Dagun, 2002).


(33)

2. Dampak negatif

Menurut Bray dan Berger (dalam Owens, 2002), dampak negatif perceraian pada anak dapat dibedakan berdasarkan usia anak saat perceraian berlangsung. Berikut adalah merupakan penjelasan dari pembagian usia tersebut:

a. Kelompok usia bayi dan balita 2 tahun akan menujukkan ketidakamanan karena merasa gagal untuk memperoleh rasa aman.

b. Kelompok usia anak prasekolah seringkali merasa cemas memikirkan apa yang telah mereka perbuat sehingga salah satu orangtua pergi, mereka juga merasa bahwa perpisahan kedua orangtua hanya bersifat sementara. mereka juga merasa bingung dengan orangtua yang meyakinkan mereka bahwa orangtua menyayangi anak, tetapi orang tua pindah dari rumah. Anak juga menunjukkan kecemasan akan keterpisahan yang akhirnya dapat membuat anak regresi dan menyalahkan diri sendiri.

c. Kelompok anak usia sekolah merasakan kecemasan, depresi, takut, berada dalam konflik, merasa bersalah dan marah kepada salah satu atau kedua orangtua karena telah memutuskan untuk bercerai.

d. Kelompok anak usia remaja adalah kelompok usia yang paling sedikit terkena dampak dari perceraian walaupun mereka cemas dan kecewa atas perceraian tersebut. Kelompok remaja sudah mampu melihat tujuan dari perceraian dengan melihat perubahan kedua orangtua setelah perceraian berlangsung.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian orangtua mempunyai dampak terhadap anak.


(34)

Dampak tersebut terbagi antara dampak positif dan dampak negatif. Dimana dampak negatif dapat dibedakan berdasarkan kelompok usia anak saat perceraian terjadi.

II.C.3. Dampak Pengasuhan Orangtua Setelah Perceraian

Ketika kasus perceraian terjadi, terdapat perbedaan cara asuh antara ayah dan ibu. Perbedaan cara asuh ini bukanlah suatu hal yang terjadi sebagai akibat dari perceraian itu sendiri, karena dalam keluarga utuh orangtua tetap memiliki cara asuh yang berbeda. Figur ibu seringkali digambarkan sebagai tokoh yang dekat dengan anaknya, maka pada kasus perceraian terdapat kecenderungan di mana kaum ibu dibebani pengasuhan anak. Sebaliknya, figur ayah digambarkan sebagai tokoh yang kurang dekat dengan anak. Maka, dalam kasus perceraian, ayah jarang dibebani pengasuhan anak (Dagun, 2002).

Anak yang mengalami peristiwa perceraian orangtua akan merasakan dampak yang lebih dalam jika anak diasuh oleh orangtua yang berjenis kelamin berbeda dengannya. Anak perempuan yang diasuh oleh ayah, akan memperlihatkan suatu sikap yang kurang menguntungkan. Anak perempuan yang diasuh oleh ayah akan memiliki sikap yang kurang bekerjasama dengan lingkungan sosialnya dan kurang jujur. Sebaliknya, apabila anak perempuan di asuh oleh ibunya, anak akan menunjukkan segi positif, anak perempuan akan lebih mandiri dan tidak terlalu tergantung pada ibunya. Santrock & Warshak menyatakan bahwa anak akan lebih baik apabila diasuh oleh orangtua yang sejenis kelamin dengan mereka (dalam Dagun, 2002).


(35)

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengasuhan orangtua pada anak setelah perceraian terjadi juga dapat memberikan dampak pada anak. Anak akan lebih baik apabila di asuh oleh orangtua yang satu jenis kelamin dengan mereka.

II.C.4. Persepsi terhadap Pernikahan pada Wanita Dewasa Dini yang Berasal dari Keluarga Bercerai

Perceraian orangtua akan memberikan dampak dalam kehidupan anak. Bagi wanita, perceraian akan memberikan dampak pada saat wanita memasuki kehidupan dewasa dini (Wallerstein, dalam Larsen & Buss, 2002). Individu dengan usia dewasa dini memiliki tugas perkembangan untuk membangun rumah tangga (Hurlock, 1999).

Bayangan wanita terhadap rumah tangga tentu saja tidak terlepas dari pengalaman sebelumnya. Henker (1983) menunjukkan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak (termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Selanjutnya, apa yang sudah tertanam akan termanifestasi kelak dalam hubungan dengan keluarganya sendiri. Individu yang memiliki hubungan positif dengan orangtuanya, biasanya tidak mengalami masalah yang berarti dalam kehidupan pernikahannya.

Sebaliknya, dari pengalaman emosional yang kurang menyenangkan bersama orangtua, akan terekam dalam memori dan menimbulkan stres yang menunjukkan segala sesuatu yang terjadi dalam hubungan antara orang tua-anak


(36)

(termasuk emosi, reaksi dan sikap orang tua) akan membekas dan tertanam secara tidak sadar dalam diri seseorang. Segala emosi negatif dari masa lalu, terbawa dan mempengaruhi emosi, persepsi/pola pikir dan sikap orang tersebut di masa kini, baik terhadap diri sendiri, terhadap pasangan dan terhadap makna pernikahan itu sendiri (Henker, 1983).

Anak dari keluarga bercerai mampu belajar dari pengalaman sama baiknya dengan anak dari keluarga utuh (Brown & Amatea, 2000). Maka, dari pengalaman pernikahan orangtua sebelumnya anak akan memiliki pengetahuan mengenai pernikahan itu sendiri. Latar belakang wanita yang berasal dari keluarga bercerai dan berdasarkan pengalamannya terhadap pernikahan orangtua yang berakhir pada perceraian akan membentuk persepsi wanita terhadap pernikahan. Menurut Calhoun & Acocella (1990), persepsi akan terbentuk melalui pengetahuan, harapan dan penilaian. Individu belajar tentang kehidupan rumah tangga dan gambaran ideal tentang pasangan lawan jenis melalui orangtua mereka (Adler, 2006).

Persepsi yang dibentuk oleh anak bisa saja membuat anak untuk berusaha lebih baik dari pada orangtuanya Wallerstein (dalam Larsen & Buss, 2002). Sebaliknya, persepsi terhadap pernikahan tersebut juga dapat membuat anak jadi skeptis terhadap pernikahan (Long, Wallerstein, dalam Brown & Amatea, 2000).


(37)

Pernikahan Orangtua

Bercerai Tidak Bercerai

Dampak pada Anak

Positif Negatif

Persepsi terhadap Pernikahan Dipengaruhi oleh:

1. Pengetahuan 2. Harapan

3. Penilaian

Wanita Dewasa Dini Memiliki tugas perkembangan: 1. Memilih seorang

teman hidup 2. Membentuk suatu

keluarga 3. Membesarkan

anak-anak

4. Mengelola rumah tangga

Pada wanita, dampak dari perceraian orangtua muncul pada saat memasuki dewasa dini (Wallerstein, dalam Larsen & Buss, 2002)

Keterangan:

: Hal yang termasuk dalam penelitian : Terdiri dari

: Berasal dari

: Menghasilkan : Mempengaruhi : Penjelasan


(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

III.A. Pendekatan Kualitatif

Menurut Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006), metode penelitian kualitatif merupakan prosedur penelitian yang akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga digunakan untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subyek penelitian beserta konteksnya.

Melihat masalah yang hendak diungkap dalam penelitian ini, pendekatan kualitatif dipandang sesuai untuk dapat mengetahui bagaimana persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai. Persepsi merupakan hal yang unik dan berbeda pada setiap orang, karena persepsi seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor yang berbeda. Sehingga dengan penelitian kualitatif, dapat dilihat manusia dengan kesubyektifitasannya. Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Poerwandari (2001) bahwa dalam penelitian kualitatif, manusia dipandang dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subyektif.

Persepsi terhadap pernikahan yang terbentuk pada setiap individu akan berbeda, karena persepsi terhadap pernikahan terbentuk berdasarkan tiga aspek, yaitu pengetahuan, harapan dan penilaian. Pengetahuan, harapan dan penilaian yang dimiliki setiap orang tentang pernikahan akan berbeda karena dipengaruhi oleh latar belakang yang berbeda, dengan adanya perbedaan pada tiap individu,


(39)

maka untuk mengungkap persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini perlu menggunakan metode penelitian kualitatif. Melalui penelitian kualitatif, diharapkan peneliti akan dapat melihat permasalahan persepsi terhadap pernikahan dengan lebih mendalam karena turut mempertimbangkan dinamika, perspektif, alasan, dan faktor-faktor eksternal yang turut mempengaruhi subyek penelitian. Hal ini sesuai dengan pendapat Poerwandari (2001) yang menyatakan bahwa salah satu tujuan penting penelitian kualitatif adalah diperolehnya pemahaman yang menyeluruh dan utuh tentang fenomena yang diteliti. Sebagian besar aspek psikologis manusia juga sangat sulit direduksi dalam bentuk elemen dan angka sehingga akan lebih ‘etis’ dan kontekstual bila diteliti dalam setting alamiah.

III.A.1. Kredibilitas dalam Penelitian Kualitatif

Istilah kredibilitas digunakan untuk menjelaskan validitas penelitian kualitatif yang dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kredibilitas studi kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud, mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan seting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).

Ada beberapa cara yang peneliti gunakan untuk meningkat kredibilitas penelitian ini adalah sesuai dengan yang dikemukakan oleh Patton (dalam Poerwandari, 2001), yaitu:

1. Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan objektif terhadap sampling, partisipan ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti


(40)

juga perlu menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif konsep maupun skema yang terkait dengan data.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yg terkumpul, proses pengumpulan data, dan strategi analisisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitaiannya dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiannya sendiri.

4. Menyertakan rekan yang dapat berperan sebagai pengkritik yang memeberikan saran-saran dan pembelaan yang akan memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisis yang akan dilakuakan peneliti.

5. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali data, dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda, peneliti perlu mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyaan tentang data.

III.B. Metode Pengumpulan Data

Poerwandari (2001) menyatakan ada beberapa metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Metode-metode ini dapat dikombinasikan satu sama lain, bahkan juga dapat dikombinasikan dengan metode kuantitatif. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan metode wawancara dan selama wawancara akan dilakukan observasi.


(41)

III.B.1. Wawancara

Wawancara adalah proses komunikasi antara dua pihak, dimana paling tidak salah satu pihak memiliki tujuan tertentu dan di dalamnya terdapat pertanyaan dan menjawab pertanyaan (Stewart & Cash, 2000). Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in-depth interview). Banister (1994) menjelaskan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara yang tetap menggunakan pedoman wawancara, namun penggunaannya tidak sekedar wawancara terstruktur (dalam Poerwandari, 2001). Pedoman wawancara ini dibuat berdasarkan pada teori persepsi terhadap pernikahan yang mencakup faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi yang dikemukakan oleh Calhoun dan Acocella.

Pedoman wawancara ini juga digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek (check list) apakah aspek-aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan. Dengan pedoman yang demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung (Poerwandari, 2001).

III.C. Alat Bantu Pengumpulan Data

Menurut Poerwandari (2001) yang menjadi alat terpenting dalam penelitian kualitatif adalah peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan


(42)

pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat bantu, seperti alat perekam (tape recorder), pedoman wawancara, dan catatan lapangan.

III.C.1. Alat Perekam (tape recorder)

Poerwandari (2001) menyatakan sedapat mungkin wawancara perlu direkam dan dibuat transkripnya secara verbatim (kata demi kata), sehingga tidak bijaksana jika peneliti hanya mengandalkan ingatan. Untuk tujuan tersebut, perlu digunakan alat perekam agar peneliti mudah mengulangi kembali rekaman wawancara dan dapat menghubungi subyek kembali apabila ada hal yang masih belum lengkap atau belum jelas. Penggunaan alat perekam ini dilakukan dengan seizin subyek.

III.C.2. Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Pedoman wawancara ini juga sebagai alat bantu untuk mengkategorisasikan jawaban sehingga memudahkan pada tahap analisis data. Pedoman ini disusun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian, tapi juga berdasarkan pada berbagai teori yang berkaitan dengan masalah yang ingin dijawab (Poerwandari, 2001).

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian tanpa menentukan urutan pertanyaan karena akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung. Pedoman ini digunakan untuk


(43)

mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah dibahas atau ditanyakan.

III.C.3. Lembaran Observasi

Observasi dilakukan bersamaan dengan proses wawancara. Hal-hal yang terjadi selama berlangsungnya penelitian dicatat dalam lembaran observasi. Lembaran observasi ini akan memudahkan peneliti dalam mendapatkan dan mengingat garis besar yang terjadi selama proses wawancara serta memperkuat makna.

Lembaran observasi berisi deskripsi tentang hal-hal yang diamati dan harus deskriptif, dan dicatat dengan menyertakan informasi-informasi dasar seperti tanggal dan waktu dan dicatat dengan menyertakan informasi dasar seperti dimana observasi dilakukan, siapa yang hadir di sana, bagaimana setting fisik lingkungan, interaksi sosial, dan aktivitas apa yang berlangsung.

III.D. Responden Penelitian

III.D.1. Karakteristik Responden Penelitian

Karakteristik responden dalam penelitian ini adalah wanita dewasa dini yang belum menikah, dimana orangtuanya telah bercerai. Lokasi diadakannya penelitian adalah di kota Medan dan Berastagi. Hal ini dilakukan karena melihat keterbatasan waktu, dana, maupun tenaga yang dimiliki peneliti, sehingga akan lebih memudahkan dalam hal pengumpulan data.


(44)

III.D.2. Jumlah Responden Penelitian

Penelitian kualitatif ini mengambil sampel tiga orang. Alasan pengambilan sampel ini yaitu karena penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, sehingga perlu pendekatan yang mendalam terhadap subyek. Pendekatan yang maksimal dapat dilakukan dengan subyek yang tidak terlalu besar, dan jumlah subyek tidak diambil satu saja dengan alasan agar dapat dibandingkan antara subyek yang satu dengan subyek yang lain dan dapat melihat adanya perbedaan individual.

III.D.3. Prosedur Pengambilan Responden Penelitian

Untuk mendapatkan responden sesuai dengan karakteristik responden yang telah disebutkan sebelumnya, peneliti menggunakan prosedur pengambilan bola salju/berantai (snowball/chain sampling). Pengambilan sampel dilakukan secara berantai dengan meminta informasi pada orang yang diwawancarai atau dihubungi sebelumnya.

III.E. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang diungkapkan Bogdan (dalam Moleong, 2006). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisis data.


(45)

III.E.1. Tahap Pralapangan

Pada tahap persiapan penelitian, peneliti menggunakan sejumlah hal yang diperlukan untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2006), yaitu sebagai berikut: 1. Mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan persepsi dan

perceraian, baik yang berasal dari teori maupun dari literatur lepas seperti artikel.

2. Menyusun pedoman wawancara.

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk menjadi pedoman dalam proses wawancara.

3. Persiapan untuk pengumpulan data.

Peneliti mencari beberapa orang responden yang sesuai dengan kriteria sampel yang telah ditentukan, meminta kesediaannya (informed consent) untuk menjadi responden dan mengumpulkan informasi tentang calon responden tersebut.

4. Membangun rapport.

Setelah memperoleh kesediaan dari responden penelitian, peneliti meminta kesediaan untuk bertemu dan mulai membangun rapport. Setelah peneliti dan responden penelitian mengadakan kesepakatan yang meliputi waktu dan tempat wawancara serta persyaratan lain yang diajukan kedua belah pihak.

III.E.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Setelah diadakan kesepakatan, maka peneliti mulai melakukan wawancara, namun sebelumnya peneliti membina rapport agar responden penelitian merasa


(46)

nyaman dan tidak merasa asing. Wawancara akan dilakukan di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder mulai dari awal hingga akhir. Peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal responden ketika wawancara berlangsung.

III.E.3. Tahap Pencatatan Data

Untuk memudahkan pencatatan data, peneliti menggunakan alat perekam sebagai alat bantu agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sebelum wawancara dimulai, peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam wawancara yang akan dilakukan. Setelah wawancara dilakukan, peneliti membuat verbatim dari wawancara tersebut.

III.F. Metode Analisis Data

Beberapa tahapan dalam menganalisis data kualitatif menurut Poerwandari (2001), yaitu :

1. Koding

Koding adalah proses membubuhkan kode-kode pada materi yang diperoleh. Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan mensistemasi data secara lengkap dan mendetail sehingga data dapat memunculkan dengan lengkap gambaran tentang topik yang dipelajari. Semua peneliti kualitatif menganggap tahap koding sebagai tahap yang penting, meskipun peneliti yang satu dengan peneliti yang lain memberikan usulan prosedur yang tidak sepenuhnya sama. Pada akhirnya, penelitilah yang berhak (dan


(47)

bertanggungjawab) memilih cara koding yang dianggapnya paling efektif bagi data yang diperolehnya (Poerwandari, 2001).

2. Organisasi Data

Highlen dan Finley (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa organisasi data yang sistematis memungkinkan peneliti untuk :

a. Memperoleh data yang baik,

b. Mendokumentasikan analisis yang dilakukan,

c. Menyimpan data dan analisis yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

Hal-hal yang penting untuk disimpan dan diorganisasikan adalah data mentah (catatan lapangan dan kaset hasil rekaman), data yang sudah diproses sebagiannya (transkrip wawancara), data yang sudah ditandai/dibubuhi kode-kode khusus dan dokumentasi umum yang kronologis mengenai pengumpulan data dan langkah analisis.

3. Analisis Tematik

Penggunaan analisis tematik memungkinkan peneliti menemukan pola yang pihak lain tidak bisa melihatnya secara jelas. Pola atau tema tersebut tampil seolah secara acak dalam tumpukan informasi yang tersedia. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi, yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks, kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu atau hal-hal di antara gabungan dari yang telah disebutkan. Tema tersebut secara minimal daapt mendeskripsikan fenomena dan secara maksimal memungkinkan interpretasi fenomena.


(48)

4. Tahapan Interpretasi/analisis

Kvale (dalam Poerwandari, 2001) menyatakan bahwa interpretasi mengacu pada upaya memahami data secara lebih ekstensif sekaligus mendalam. Ada tiga tingkatan konteks interpretasi yang diajukan Kvale (dalam Poerwandari, 2001), yaitu : pertama, konteks interpretasi pemahaman diri (self understanding) terjadi bila peneliti berusaha memformulasikan dalam bentuk yang lebih padat (condensed) apa yang oleh subyek penelitian sendiri dipahami sebagai makna dari pernyataan-pernyataannya. Interpretasi tidak dilihat dari sudut pandang peneliti, melainkan dikembalikan pada pemahaman diri subyek penelitian, dilihat dari sudut pandang dan pengertian subyek penelitian tersebut. Kedua, konteks interpretasi pemahaman biasa yang kritis (‘criticial commonsense understanding’) terjadi bila peneliti berpijak lebih jauh dari pemahaman diri subyek penelitiannya. Peneliti mungkin akan menggunakan kerangka pemahaman yang lebih luas daripada kerangka pemahaman subyek, bersifat kritis terhadap apa yang dikatakan subyek, baik dengan memfokuskan pada ‘isi’ pernyataan maupun pada subyek yang membuat pernyataan. Meski demikian semua itu tetap dapat ditempatkan dalam konteks penalaran umum : peneliti mencoba mengambil posisi sebagai masyarakat umum dalam mana subyek penelitian berada. Ketiga, konteks interpretasi pemahaman teoritis adalah konteks paling konseptual. Pada tingkat ketiga ini, kerangka teoritis tertentu digunakan untuk memahami pernyataan-pernyataan yang ada, sehingga dapat mengatasi konteks pemahaman diri subyek ataupun penalaran umum.


(49)

5. Pengujian Terhadap Dugaan

Dugaan adalah kesimpulan sementara. Dengan mempelajari data kita mengembangkan dugaan-dugaan yang juga merupakan kesimpulan-kesimpulan sementara. Dugaan yang dikembangkan tersebut juga harus dipertajam dan diuji ketepatannya. Begitu tema-tema dan pola-pola muncul dari data, untuk meyakini temuannya, selain mencoba untuk terus menajamkan tema dan pola yang ditemukan, peneliti juga perlu mencari data yang memberikan gambaran berbeda dari pola-pola yang muncul tersebut. Hal ini berkaitan erat dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda-beda mengenai data yang sama. Berbagai perspektif harus disesuaikan untuk memungkinkan keluasan analisis serta mengecek bias-bias yang tidak disadari oleh peneliti.


(50)

BAB IV

ANALISA DATA DAN INTERPRETASI DATA

Pada bagian ini akan diuraikan hasil analisa wawancara dalam bentuk narasi. Untuk mempermudah pembaca dalam memahami persepsi terhadap pernikahan pada wanita dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai maka data akan dijabarkan, dianalisa, dan diinterpretasi per subjek. Analisa data akan dijabarkan dengan menggunakan aspek-aspek yang terdapat dalam pedoman wawancara.

Pada bab ini akan digunakan kode-kode untuk memudahkan melihat hasil wawancara yang terdapat pada lampiran. Contoh kode yang digunakan seperti RI. W2. 110-114/hal. 3, yang berarti pernyataan tersebut terdapat pada responden I saat wawancara kedua, yang terdapat pada baris 110 sampai 114, pada halaman 3.

IV. A. Responden I IV. A. 1. Analisa Data

IV. A. 1. a. Deskripsi Identitas Diri Responden I Tabel 1

Gambaran Umum Responden I

Dimensi Responden I

Usia 19 tahun

Agama Kristen Protestan

Suku bangsa Batak Toba

Pendidikan terakhir SMA

Pekerjaan Mahasiswa


(51)

Tinggal dengan Dulu nenek dari pihak ibu, saat ini bibi dari pihak ibu

Usia saat orangtua bercerai ± 11 tahun

Lama perceraian ± 8 tahun

Status ibu Menikah

Pekerjaan ibu Ibu rumah tangga

Status ayah Menikah

Pekerjaan ayah Pedagang

Latar Belakang Responden I

Responden I adalah anak pertama dari dua bersaudara. Usia responden saat ini 19 tahun. Adik responden berjenis kelamin perempuan dan saat ini sedang bersekolah SMA di Mandailing Natal. Responden sendiri saat ini sedang meneruskan pendidikannya di bangku kuliah di salah satu sekolah tinggi swasta di kota Medan.

Ayah dan ibu responden bersuku Batak Toba dan beragama Kristen protestan. Pernikahan kedua orangtuanya tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga, sehingga kedua orangtuanya kawin lari dan mereka tinggal di Jakarta. Beberapa tahun kemudian responden dan keluarga pindah ke Rantau Parapat untuk membuka usaha. Saat responden masih TK, ayah responden diminta keluarganya untuk kembali karena nenek responden sedang sakit. Sejak kepergian ayahnya tersebut, ayahnya tidak kembali lagi untuk mengurus responden dan keluarganya. Setelah lama menunggu kepulangan ayah, ibu responden memutuskan kembali ke rumah orangtuanya di Mandailing Natal.

Di Mandailing Natal, responden hidup berempat dengan ibu, adik dan neneknya. Sewaktu responden kelas lima SD, ayahnya kembali dan meminta kesediaan mereka untuk menerimanya kembali. Ibu responden menanyakan


(52)

kesediaannya untuk menerima ayahnya kembali, tetapi responden menolak karena responden merasa ayahnya telah berbuat jahat karena meninggalkan mereka bertiga. Melihat responden tidak berniat untuk menerima kembali ayahnya, ibu responden memutuskan untuk bercerai dengan ayahnya.

Saat responden duduk di kelas dua SMP, ibu responden memutuskan untuk menikah kembali. Responden tidak bisa menerima pernikahan ibunya tersebut. Tetapi ibunya bersikeras untuk tetap menikah karena takut ketika nanti ia bertambah tua, ia tidak punya teman untuk berbagi. Pada hari pernikahan, responden berniat untuk tidak menghadiri pernikahan ibunya, tetapi karena desakan dari seluruh keluarga ia pun menghadirinya. Sampai saat ini responden belum bisa menerima kahadiran ayah tirinya.

Setelah pernikahan keduanya, ibu responden tinggal di Medan bersama suaminya. Responden dan adiknya tetap tinggal di Mandailing Natal dengan neneknya. Setelah tamat SMA, responden pindah ke Medan untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi. Responden berpikiran untuk tidak kuliah di Medan agar tidak tinggal dengan ibu dan ayah tirinya. Tetapi karena tidak diizinkan oleh ibunya, akhirnya responden kuliah di kota Medan. Pada awalnya, responden tinggal dengan ibu dan ayah tirinya, tetapi karena pada akhirnya terjadi perselisihan antara responden dengan ayah tirinya, responden pindah ke rumah bibinya hingga sekarang.


(53)

IV. A. 1. b. Hasil Observasi

Tabel 2

Waktu Wawancara Responden I Hari/Tanggal

wawancara Waktu wawancara Tempat wawancara

Sabtu/12 April 2008 11.00-12.30 WIB Kos teman responden Rabu/14 Mei 2008 13.05-13.25 WIB Kos teman responden

Secara fisik Responden I memiliki tinggi badan sekitar 158 cm dan berat badan sekitar 55 kg. Ia memiliki warna kulit sawo matang, rambutnya hitam lurus dan panjang hampir sepinggang, mata bulat besar, wajah oval.

Peneliti mengenal responden I melalui responden II. Responden I adalah teman dari responden II. Pada pertemuan pertama, peneliti membangun rapport dengan responden. Responden menyambut peneliti dengan baik. Responden bersikap ramah dan sangat terbuka. Saat peneliti menyampaikan tujuan dari penelitian kepada responden, responden dengan senang hati membantu penelitian peneliti.

Sikap yang ditonjolkan selama wawancara adalah baik, responden cukup kooperatif dan terbuka. Tidak ada kesan canggung pada diri responden walaupun responden dan peneliti belum saling mengenal sebelumnya. Jawaban-jawaban yang diberikan responden mengalir dengan lancar, tanpa merasa tertekan, ataupun keterpaksaan.

Keseluruhan wawancara dilakukan di kos teman responden. Bangunan kos tersebut berada di belakang rumah pemilik kos. Bangunan kos tersebut adalah bangunan permanen yang terdiri dari dua tingkat bercat putih, terdiri dari enam


(54)

kamar. Di bagian samping bangunan kos terdapat dua buah kamar mandi dan satu dapur yang dapat digunakan oleh penghuni kos. Kamar kos tersebut merupakan kamar pertama yang ditemui ketika kita memasuki lingkungan kosnya. Kamar teman responden berada di sebelah tangga kayu yang menghubungkan lantai satu dan lantai dua bangunan kos tersebut.

Wawancara pertama sampai ketiga dilakukan di kamar kos teman responden. Kos tersebut berupa kamar berukuran 4 x 3 m. Bagian dalam kamar tersebut bercat merah jambu. Bagian dindingnya ditempeli beberapa poster artis dan tempelan foto teman responden. Di salah satu sudut ruangan diletakkan tempat tidur, di sudut lain diletakkan lemari baju. Di samping lemari baju tersebut terdapat rak buku. Di seberang tempat tidur terdapat kipas angin dan meja yang digunakan sebagai tempat menaruh peralatan makan dan air minum. Bagian tengah ruangan diletakkan karpet yang dapat digunakan sebagai tempat duduk.

Pada saat wawancara pertama, responden memakai kemeja putih dengan rok hitam. Rambut responden diikat dengan rapi menggunakan karet rambut berwarna hitam. Sebelum wawancara dilangsungkan, peneliti dengan responden terlebih dahulu bercakap-cakap untuk mencairkan suasana. Responden dengan peneliti saling menanyakan kabar dan keadaan masing-masing. Tak lama kemudian, wawancara pun dimulai, tak lupa peneliti meminta izin kepada responden untuk merekam pembicaraan dengan menggunakan tape recorder (alat perekam) selama wawancara berlangsung.

Wawancara pertama berlangsung dengan baik. Responden menjawab semua pertanyaan peneliti dengan tanpa tekanan ataupun paksaan. Peneliti dengan


(55)

responden duduk dengan jarak yang cukup dekat, yaitu sekitar 0,5-1 meter, hal ini dilakukan untuk memudahkan perekaman selama wawancara berlangsung. Responden dan peneliti duduk saling berhadapan di atas karpet. Responden jarang menatap mata peneliti, sesekali ia melihat mata peneliti tetapi tidak untuk waktu yang cukup lama.

Pada beberapa kesempatan, responden sering menaikkan volume suaranya untuk menegaskan jawaban-jawaban yang diberikannya. Terkadang responden juga tertawa ketika melontarkan jawaban yang menurutnya lucu. Pada saat memberikan jawaban terkadang responden terdiam sejenak untuk mengambil nafas dan memikirkan jawabannya.

Hal yang mengganggu pada wawancara pertama adalah suara-suara teman responden dari luar kamar. Sesekali juga terdengar suara ketukan palu dari sebelah tetangga yang sedang memperbaiki bagian rumahnya, sehingga terkadang peneliti sulit untuk mendengar jawaban responden.

Wawancara kedua juga dilakukan di kos kawan responden. Responden baru saja selesai ujian praktek ketika wawancara dilangsungkan. Sebelum wawancara dilangsungkan, peneliti sempat menunggu responden selama satu jam, karena responden sedang ujian. Awalnya responden menggunakan kemeja putih dengan rok biru yang merupakan seragam kuliahnya, tetapi pada saat wawancara akan dilangsungkan, responden membuka kemeja putihnya dan mengenakan kaos putih yang sebelumnya sudah dipakai terlebih dahulu bersamaan dengan kemeja.

Sama seperti wawancara pertama, pada wawancara kedua responden menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peneliti dengan lancar. Pada wawancara


(56)

kedua ini responden lebih banyak mempertahankan kontak mata dengan peneliti. Jarak duduk antara responden dengan peneliti berkisar antara 0,5-1 meter. Tidak ada hal yang mengganggu dalam wawancara kedua ini, sehingga wawancara berlangsung dengan lancar tanpa terhenti.

IV. A. 1. c. Data Hasil Wawancara 1. Dampak Perceraian Orangtua a. Dampak positif

Dampak positif dari perceraian yang dirasakan oleh responden adalah responden menjadi lebih mandiri, lebih dewasa, lebih paham cara menghadapi masalah. Bisa menyelesaikan masalah sendiri baik dengan keluarga maupun dengan teman.

“Kita jadi lebih mandiri, lebih dewasa, cepat menghadapi masalah itu lebih, lebih mengerti cara untuk solusinya karena yang namanya broken home itukan langsung kita diajarkan untuk menghadapi masalah, gitu lah bisa menghadapi masalah. Bisa masalah itu diselesaikan sendiri, secara kekeluargaan atau teman dekat sendiri, begitulah.” (RI. W1. 357-362/hal.8).

b. Dampak negatif

Responden merasa kurang kasih sayang dan kurang perhatian dari orangtua. Karena setelah kedua orangtuanya telah memiliki keluarga masing-masing, kedua orangtua mereka berusaha untuk memperbaiki keluarga yang telah dibina. Sehingga responden dan adiknya tidak mendapatkan perhatian lagi.

“Kurang kasih sayang, kurang perhatian orangtua, iya kan. Karena mereka udah punya keluarga masing-masing, mereka itu kan memperbaiki keluarga mereka masing-masing. Sementara kami anak-anaknya yang dua,


(57)

kami sendiri yang jadinya me... yang menghadapi hidup ini sendirian.” (RI. W1. 369-376/hal.8-9).

2. Faktor yang mendorong untuk menikah a. Push factor

Bagi responden, menjadi perawan tua merupakan hal yang kurang bagus dipandang orang lain. Responden ingin menikah untuk mendapatkan keturunan.

“Supaya kita memiliki keturunan. Ya, tanpa keturunan kan rasanya, melalui pernikahannya kita dapat keturunan. Ya, kurasa untuk menambah keturunan dan untuk, apa lagi ya pernikahan. Aku juga kurang begitu tahu sih pernikahan. Tapi aku rasa pernikahan itu penting juga untuk setiap orang. Tanpa pernikahan rasaku hidup ini belum, ibarat sayur tanpa garam (tertawa terbahak-bahak). Gitu ya? (tertawa). Kayaknya kurang komplit lah gitu rasanya kalo enggak nikah. Apa lagi seperti kata orang lain kan, PERATU, perawan tua, aduh rasanya jelek kali gitu, single selama hidupnya gitu. Tapi kurang, kurang baguslah (tertawa).” (RI. W2. 41-57/hal.2)

b. Pull factor

Pernikahan juga untuk melengkapi kehidupannya, tanpa pernikahan kehidupan responden menjadi tidak lengkap. Pernikahan dilangsungkan untuk memiliki teman berbagi dalam suka dan duka.

“Ya... rasaku ada teman berbagi dalam suka dan duka.” (RI. W2. 65-66/hal.2).

3. Persepsi terhadap Pernikahan a. Pengetahuan

Pernikahan orangtua responden tidak direstui oleh kedua belah pihak keluarga, sehingga mereka memutuskan untuk kawin lari. Pada saat responden duduk di bangku TK atau kurang lebih lima tahun, ayah responden dihubungi oleh


(58)

pihak keluarganya dan diminta untuk menjenguk ibunya yang sedang sakit. Ibu responden mengijinkan kepergian ayahnya. Tetapi setelah lama menunggu, ayah responden tidak kunjung memberi kabar kepada ibu responden dan tidak kembali-kembali. Akhirnya ibu responden memutuskan untuk kembali ke rumah nenek responden.

“Jadi orang itu terbilang kawin lari. Aku di situ masih, orangtuaku berpisah masih aku dulu TK, pisahnya. Tiba-tiba katanya mamaknya lagi sakit, pokoknya dia suruh datanglah balik ke Jakarta, dari dia enggak pulang-pulang. Berhubung dia enggak pulang-pulang, baliklah mamak aku ke tempat mamaknya, ya begitulah.” (RI. W1. 42/hal.2; 67-69/hal.2; 665-671/hal.15).

Saat responden kelas lima SD atau kurang lebih berusia 11 tahun, orangtua responden bercerai. Orangtua responden bercerai karena pernikahan mereka tidak disetujui oleh kedua belah pihak keluarga. Saat perceraian belum diputuskan, ibu responden menanyakan kepada responden, apakah responden bersedia menerima kehadiran ayahnya kembali, tetapi responden menolak, karena responeden merasa kesalahan ayahnya sudah terlalu besar. Responden merasa ayahnya jahat karena telah meninggalkan ibu, adik dan dirinya. Sehingga akhirnya responden meminta ibunya untuk bercerai dengan ayahnya. Ibunya juga menanyakan apakah responden sanggup menjalani hidup tanpa sosok ayah, tetapi responden merasa Tuhan akan memberikan jalan terbaik pada mereka.

“Tapi cerainya kelas lima SD. Mm... kalau faktor itu sih penyebab utamanya memang dasar, gimana ya, keluarga tidak mendukung. Aku gak tahu pasti apa penyebabnya, tapi aku, pengakuan dari orangtua katanya sih, ee.. dari awal orang itu menikah, itu awalnya orang itu memang tidak disetujui, tapi orang itu tetap pengen dan sangat memang orang itu, katakanlah saling menyayangi. Jadi, apapun kata orangtua mereka, mereka tidak peduli. Padahal orangtua mereka tidak mendukung. “(RI. W1. 69/hal.2; 31-41/hal.2)


(59)

“Cuma waktu kelas lima, orangtuaku nanya, ‘Gimana, bapak mau minta maaf dengan keluarga kita semua, kita terimanya atau bagaimana?’(Volume suara bertambah kuat). Memang pernah sih orangtuaku bilang kayak gitu tapi karena dia membilang begitu, aku rasa kejahatan bapak itu atau si bapak itu, tidak, tidak layak lagilah menurut aku pada saat itu, berpikir mungkin saat itu emosi atau bagaimana aku juga gak tahu, rasanya kesalahan itu udah besar kali gitu, jadi ada baiknya, ‘ya udah ceraikan ajalah mak’. Memang dulu pernah sih mamak aku bilang, apa sanggup menjalani semuanya ini tanpa seorang bapak, katanya. Terus aku rasa Tuhan pasti memberikan jalan terbaik, aku bilang aja gitu, percaya ajalah, ya udah. Itu pilihanmu, katanya. Ya, udah, orangtua mengabulkannya.” (RI. W1. 78-99/hal.2-3).

Saat perceraian kedua orangtuanya terjadi, responden merasa kecewa dan sedih. Tetapi responden yakin di balik ini semua pasti ada kebahagiaan yang akan ia peroleh. Responden juga merasa perceraian kedua orangtuanya adalah kesalahan orangtuanya sendiri. Setelah perceraian berlangsung, responden tetap merasa sedih karena merasa iri melihat keluarga lain yang bisa harmonis dan sejahtera. Walaupun begitu, responden juga merasa bahwa ia pasti punya kelebihan bila dibandingkan dengan keluarga yang lain, jadi untuk saat ini responden menikmati hidupnya (RI. W1. 15-28/hal.1).

“Terus, perasaan aku kecewa, sedih, tapi aku yakin di balik ini semua pasti ada kebahagiaan yang aku peroleh. Karena dia, ini kan kesalahan dia. Perasaan aku, tetap sedih itu ada, ada, di dalam hati itu pasti ada. Karena kita juga melihat gimana ya, kita melihat keluarga orang harmonis, bagus, sejahtera, kita iri pasti ada. Apalagi teman-teman aku, yang seperti aku ini tidak ada, broken home. Tapi aku juga melihat walaupun keluarga mereka sejahtera, bahagia, tapi aku melihat juga pasti ada kekurangan mereka, dan aku juga menyadari walaupun keluargaku begini pasti ada kelebihanku dibanding keluarga mereka yang damai sejahtera, gitu aja menurut aku. Jadi aku enjoy aja, untuk saat ini.” (RI. W1. 6-9/hal.1; 443-444/hal.10; 15-28/hal.1).


(60)

Setelah perceraian sampai saat ini, ayah responden tidak pernah menghubungi ataupun membiayai kehidupan responden dan adiknya. Responden tidak tahu mengapa ayahnya melakukan hal tersebut. Keluarga dari pihak ibu juga tidak pernah meminta ayah untuk bertanggung-jawab atas kehidupan responden dan adiknya. Pihak keluarga ibu juga menginginkan agar responden tidak menguhubungi keluarga ayahnya lagi

“Kalau kami sih enggak pernah hubungan, enggak ada contact, sampai sekarang enggak pernah hubungan sama dia. Setelah orang itu pisah sampai sekarang, dia tidak pernah mengirim apa-apa sama aku, dia tidak pernah ngirim. Dia enggak mau menghubungi, enggak ngirim aku enggak tahu alasannya apa.” (RI. W1. 112-115/hal.3; 529-532/hal.12; 556-558/hal.13)

“Tapi berhubung gara-gara entah bagaimana, orangtuaku juga merasa sanggup dan saudara-saudara dari mamak aku juga, tulangku, apaku, Tanteku juga bilang gak usah minta dari orang itu, anggap saja orang itu, yah... yang sudah jauh gitu kan. Mereka (ibu dan keluarganya) enggak ngasih supaya aku jangan pigi. Jangan mengikuti mereka (ayah dan keluarganya) lagi lah kan.” (RI. W1. 127-133/hal.3; 169-174/hal.4).

Walaupun responden merasa ayahnya jahat, tetapi responden sangat ingin mengenal ayah dan keluarga ayahnya. Responden juga merasa rindu dan sayang kepada ayahnya. Responden mengharapkan agar ayahnya dapat mengingat dirinya. Sehingga pada saat SMA ia memberanikan diri meminta kepada ibunya untuk mengijinkan ia bertemu dengan ayahnyanya. Pihak keluarga ibu tidak mengijinkan kepergian responden dan ingin menahan responden dengan cara tidak memberikan ongkos kepada responden. Responden kemudian meminta kepada ayahnya agar dikirimkan uang untuk ongkos perjalanannya. Ayah responden mengirimkan uang tersebut kepada responden, karena melihat hal tersebut


(61)

keluarga dari pihak ibu luluh hatinya dan merasa keluarga pihak ayah juga ingin untuk bertemu responden.

“Sama bapaklah dulu ya, kadang-kadang aku merasa kangen itu pasti. Terus perasaan aku sama bapakku itu, walaupun bapak aku jahat aku tetap menyayangi dia. Kalau sama bapakku yang di Jakarta, harapanku sih cuma satu rasaku, semoga dia mengingat aku sebagai anaknya, itu aja harapanku yang paaaling, aku sudah berdoa semoga kiranya bapakku mengingat aku, itulah doa dan harapanku sama Tuhan.”(RI. W1.484-486/hal.11; 498-500/hal.11; 970-975/hal.22).

“Aku pengeen sekali mengenal keluarga dari dia. Karena aku kan sudah besar, masa keluarga dari Bapak aku tidak kenal. Terus sampe-sampe keluarga dari Mamak aku enggak mau kasih ongkos aku. Enggak mau kasih ongkos, enggak mau kasih biaya, sementara, pokoknya orang itu berusaha supaya jangan aku pigi, ya gitulah. Tapi aku, aku gimana ya, aku nekad supaya minta dari keluarga dari bapak aku. Opungku itu kuminta. Minta ongkos, gitukan gara-gara orangtuaku gak mau ngasih, bukan karena enggak ada uang, tapi mereka enggak ngasih supaya aku jangan pigi. Jangan mengikuti mereka lagi lah kan. Terakhir gara-gara apa, dikasih orang itu, dikirim ke ATM aku, ya udah berhubung gara-gara uangnya dikirim, apa boleh buat, orangtua pasti bakalan, oo berarti orang itu pun pengennya kehadiranmu, ya kan.” (RI. W1. 158-179/hal.4-5).

Setelah bertemu ayah dan keluarganya, responden akhirnya mengenal ayahnya dan keluarganya. Tapi responden merasa tidak terlalu nyaman tinggal dengan ayahnya. Setelah pulang dari tempat ayahnya, responden juga tidak pernah berhubungan dengan ayahnya. Biasanya responden mencari tahu kabar keluarga ayahnya melalui pamannya yang merupakan adik ayahnya. Beberapa bulan yang lalu responden dihubungi oleh bibinya untuk mengabarkan nenek responden yang ada di Medan telah meninggal dunia. Responden merasa sangat terharu, ternyata keluarga dari ayahnya masih mengingat dirinya dan masih menganggap dirinya bagian dari keluarga. Responden merasa keluarga ayahnya masih sayang dan


(62)

masih ingin melihat dirinya. Meskipun demikian, responden tidak terlalu ingin untuk masuk ke dalam keluarga ayahnya.

“Terus waktu SMA itu aku pigi ke Jakarta, beliau di Jakarta., terus kujumpain disitulah aku kenalnya gimana keluarga dari bapak aku, gimana Opung, gimana apa, semuanya. Tapi, entah kenapa rasanya enggak, enggak nyaman aja kurasa sama dia terlalu lama gitulah.” (RI. W1. 138-145/hal.4; ).

“Aku menghubungi adeknya dia. Udaku ini orangnya, aku juga tanya kayak gimana keadaan Bapak, gimana keadaan keluarga di Jakarta, aku mau.” (RI. W1. 580-583/hal.13).

“Adeknya tinggal di Medan ini. Kemaren, baru bulan dua meninggalnya. Aku, aku terhaaru sekali rasanya, ternyata aku masih dicantumkan orang itu dalam keluarga orang itu, begitulah perasaanku. Terus waktu itu ternyata mereka masih pengen gitu kan, masih sayang sama aku, masih pengen ngeliat aku, ya udah mereka kabari. Tapiii entah kenapa, ee... aku itu gimana ya (diam sejenak) enggak begitu pengenlah ee... masuk dalam keluarga mereka, gitu.” (RI. W1. 204-215/hal.5; 138-145/hal.4; 506-509/hal.11).

Responden merasa sayang dan bangga pada ibunya yang seorang diri mampu membesarkan, mendidik dan menyekolahkan adik dan dirinya hingga saat ini. Responden tidak terbuka dengan ibunya. Meskipun begitu, responden tidak ingin memihak salah satu diantara kedua orangtuanya.

“Sayang kepada mamakku, kepada dia sayang. . Selama mereka bercerai ya aku bangga juga sih sama mamak aku. Aku bangganya dia seorang diri membesarkan, mendidik serta menyekolahkan kami sehingga aku sampai sekarang ini dari bapak aku belum ada sedikitpun dana. Aku itu orangnya enggak terbuka sama orangtua.” (RI. W1. 515-520/hal.12; 437-438/hal.10).

“Aku enggak mau mengikuti salah satu diantara mereka, aku enggak mau. Karena aku pikir gini, aku tidak memihak satupun diantara mamak atau bapak aku, meskipun mamak aku yang benar, bapak aku yang salah, aku enggak memihak mamak aku kok.” (RI. W1. 346-353/hal.8).


(1)

Dampak negatif dari perceraian orangtua bagi responden III adalah memiliki temper tantrum (ledakan kemarahan), hal ini terjadi karena responden tidak mendapatkan perhatian dari orangtuanya. Sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Santrock (1997), bahwa pengendalian kemarahan (control of temper) anak di pengaruhi oleh interaksi antara orangtua dengan anak pada saat usia prasekolah. Hetherington (dalam Santrock, 1997), mengatakan bahwa 25% anak dari keluarga bercerai memiliki masalah temperamen. Responden III tidak bisa bersosialisasi dengan orang lain. Hal ini dapat dijelaskan dengan pernyataan Clarke-Stewart (dalam Dagun, 2002) yang menyatakan bahwa kemampuan sosialisasi anak dipengaruhi oleh kedalaman hubungan antara anak dengan orangtua. Melihat dari karakteristik ayahnya, responden III merasa tidak suka dan tidak butuh pria. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Grollman (1969), bahwa pada wanita yang berasal dari keluarga dapat merasa curiga, tidak percaya dan merasa karakter yang sama dengan ayah akan tampak pada setiap pria.

Responden II tidak merasakan dampak apapun terhadap perceraian orangtuanya karena sejak usia 10 bulan responden diasuh oleh neneknya. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Cowan, Powell, & Cowan (dalam Berns, 2004), yang menyatakan bahwa tidak semua anak merasakan dampak yang sama terhadap perceraian orangtuanya, hal tersebut tergantung pada kepribadian, kemampuan mengatasi stres dan hubungannya dengan orangtua. Hal yang senada juga diutarakan oleh Hetherington (1999), yang menyatakan reaksi anak terhadap


(2)

perceraian dipengaruhi oleh bagaimana kualitas hubungan anak dan orangtua sebelum perceraian.

Responden I dan III ingin mendapatkan keturunan dalam pernikahannya. Responden I ingin menikah agar tidak dipandang buruk oleh orang lain. Sedangkan responden II ingin menikah untuk memuliakan nama Tuhan dan memenuhi kebutuhan seks. Hal tersebut sesuai dengan apa yang dikemukakan Domikus (1997), yang menyatakan bahwa salah satu hal yang mendorong seseorang untuk menikah adalah konformitas dan legitimasi sex dan anak. Konformitas adalah salah satu dorongan untuk menikah karena orang lain juga melakukan pernikahan. Sedangkan legitimasi sex dan anak merupakan dorongan karena masyarakat memberikan dukungan terhadap hubungan seksual kepada mereka yang telah menyatakan komitmennya secara legal. Sedangkan lahirnya anak dari hubungan yang tidak sah akan menimbulkan stigma sosial yang tidak dapat disepelekan. Responden II tidak memiliki aspek push factor pada faktor yang mendorong seseorang untuk menikah. Responden II dan III ingin mendapat kebahagiaan dari pernikahannya. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Clarke-Stewart & Brentano (2007) bahwa motivasi utama individu untuk menikah adalah untuk mendapatkan kebahagiaan.

Responden I dan III merasa bahwa pernikahan penting dan mereka ingin pernikahannya lebih baik dari orangtuanya. Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Wallerstein (dalam Larsen & Buss, 2002). Sedangkan responden III merasa pernikahan tidak ada artinya, hal ini sejalan dengan apa yang


(3)

Responden I, II, dan III ingin mendapatkan pasangan yang sesuai dengan mereka, hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Aron & Aron (dalam Lemme, 1995). Aron & Aron menyatakan bahwa individu akan mencari pasangan yang sesuai dengan dirinya dan dapat memenuhi karakterisik yang diinginkan oleh pasangan tersebut.

V.C. Saran-saran

Dengan melihat hasil penelitian yang diperoleh, maka peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

V.C.1. Saran praktis

a. Kepada orangtua yang bercerai agar dapat mengurangi dampak dari perceraian dengan cara lebih mempersiapkan anak dengan perceraian orangtua.

b. Kepada masyarakat agar menghapuskan stigma terhadap anak yang berasal dari keluarga bercerai.

V.C.2. Saran Penelitian Lanjutan

a. Agar penelitan selanjutnya melihat bagaimana persepsi pernikahan pada pria dewasa dini yang berasal dari keluarga bercerai, sehingga dapat dijadikan pembanding dengan hasil penelitian ini.

b. Dalam penelitian ini hanya mendapatkan responden yang di asuh oleh ibunya. Untuk penelitian selanjutnya, diharapkan peneliti mendapat responden yang diasuh oleh ayahnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Adler, A. (2006). Jadikan Hidup Lebih Bermakna. Alih Bahasa: Mely Septiani. Jogjakarta: Paragrad Books.

Berns, Roberta. M. (2004). Child, Family, School, Community Socialization and Support. 6 th ed. USA: Thomson Learning, Inc.

Brown, M.N. & Amatea, E.S. (2000). Love and Intimate Relationship. Canada: Psychology Press.

Calhoun, J.F, & Acocella, J.R. (1990). Psikologi Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan, Edisi ke Tiga. Alih Bahasa: Satmoko. Semarang: IKIP Semarang Press.

Chaplin, J.P. (2000). Kamus Lengkap Psikologi. Alih bahasa: Kartini Kartono. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Clarke-Stewart, A. & Brentano, C. (2007). Divorce: Causes and Consequences. USA: Yale University Press.

Dagun, S.M. (2002). Psikologi Keluarga. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Ditjen PPA. (2008). Angka Cerai dan Nikah di Indonesia. http://klasiber.uii.ac.id/mod/forum/discuss.php?d=390. Akses waktu: 27/03/08.

Domikus, Y. (1997). Perilaku sosioemosional dalam perkawinan aplikasi teori pertukaran sosial dalam mewujudkan perkawinan yang stabil dan memuaskan. Jurnal Psikologi Sosial, hal. 48-56.


(5)

Hetherington, E.M. (1999). Coping With Divorce, Single Parenting, and Remarriage : A Risk And Resiliency Perspective. USA: Lawrence Erlbaum Associates.

Hurlock, E. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi 5. Jakarta : Penerbit Erlangga.

Kail, R.V., & Cavanaugh, J.C. (2000). Human Development: A Life Span View. 2nd ed. USA: Wadsworth.

Khisbiyah, Y. (1994). Family Dinamics, Family Breakups, and Their Impacts on Children. Buletin Psikologi, II, 2, 36-49.

Larsen, R.J., & Buss, D.M. (2002). Personality Psychology: Domains of Knowledge About Human Nature. New York: McGraw-Hill.

Lemme, H.B. (1995). Development in Adulthood. USA: A Simon & Schuster Company.

Manda. (2007). Tentang Manda. [On-line],

http://mandhut.blogsome.com/2007/02/22/broken-home/. Akses waktu: 10/09/07.

Mereka Terbukti Berhasil Melewati Masa Sulit Itu. (2006). Republika Online. [On-line],

http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=245931&kat_id=41&kat _id1=&kat_id2=. Akses waktu: 10/09/07.

Moleong, L.J. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mulyana, D. (2005). Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(6)

Owens, B.K. (2002). Child and Adolescent Development: an Integrated Approach. USA: Thomson Learning.

Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia: Lembaga Pembangunan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3).

Santrock, J.W. (1997). Life-Span Development. 6thed. USA: Times Mirror Higher Education Group, Inc.

Stewart, C.J., & Cash, W.B.(2003). Interviewing: Principle and Practices. 10th ed. New York: McGraw-Hill.

Thomas, A. & Grimes, J. (1994). Psychological Perspective. USA: The National Association of School Psychologist.

Yusuf, H.S. (2004). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.