Karakteristik Pupuk Organik Yang Berasal Dari Sampah Organik Rumah Tangga Pada Komposter Aerob Dan Anaerob
KARAKTERISTIK PUPUK ORGANIK YANG BERASAL
DARI SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA PADA
KOMPOSTER AEROB DAN ANAEROB
SKRIPSI
Oleh
IRVA SARAH GINTING
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2008
(2)
KARAKTERISTIK PUPUK ORGANIK YANG BERASAL
DARI SAMPAH ORGANIK RUMAH TANGGA PADA
KOMPOSTER AEROB DAN ANAEROB
SKRIPSI
Oleh
IRVA SARAH GINTING
Disetujui Oleh, Komisi Pembimbing
(Ainun Rohanah, STP.,M.Si) (Ir. Edi Susanto, M.Si)
Ketua Anggota
DEPARTEMEN TEKNOLOGI PERTANIAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
(3)
ABSTRACT
Waste is the most common problem found in human environment. The large volume of waste comes from household. Waste could damage the inviroment by flood, the getting smaller land, and decreasement of environment sanity. Composting is an approach to manage municipal domestic waste become organic fertilizer. The organic fertilizer is produced by remodelling organic by microbe become as the final product is a low rate C/N ratio. This research purposed to study organic fertilizer characteristic produced by the organic household waste by using aerob and anaerob composter. This done by putting the aerob and anaerob in the composter tank, of 35 cm diameters and 60 cm highs. Parameter used to show the compost quality is the C/N ratio, themperature change, pH, moisture, sucrose content.
Key word : organic domestic waste,organic fertilizer, quality compost.
ABSTRAK
Sampah merupakan masalah yang sangat sering ditemukan dilingkungan masyarakat. Sampah yang paling banyak yaitu sampah yang berasal dari rumah tangga. Sampah dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, sempitnya daratan dan menurunnya sanitasi lingkungan. Pengomposan merupakan salah satu upaya pengolahan sampah menjadi pupuk organik. Pupuk organik merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pupuk organik yang berasal dari sampah organik rumah tangga dengan menggunakan komposter aerob dan anaerob. Penelitian dilakukan secara aerob dan anaerob di dalam tong pengomposan yang berdiameter 35 cm dengan tinggi 60 cm. Parameter yang digunakan untuk menilai kualitas kompos adalah, rasio C/N, perubahan suhu, derajat keasaman (pH), kadar air, dan rendemen. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengomposan dengan metode aerob lebih baik dalam hal rasio C/N akhir, perubahan suhu, dan kadar air dari pada dengan metoda anaerob.
(4)
RINGKASAN PENELITIAN
IRVA SARAH GINTING . Karakteristik Pupuk Organik Yang berasal dari Sampah Organik Rumah Tangga Pada Komposter Aerob Dan Anaerob. dibimbing olehAINUN ROHANAH sebagai ketua dan EDI SUSANTO sebagai anggota komisi pembimbing.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pupuk organik berasal dari berbagai sampah organik rumah tangga pada komposter aerob dan anaerob.
Parameter yang diamati adalah ratio C/N, temperatur, derajat keasaman (pH), kadar air bahan dan rendemen.
Proses pengomposan aerob adalah proses pengomposan dengan menggunakan oksigen (O2), hasilnya adalah pupuk organik yang mengeluarkan CO2, uap air, dan panas. Sedangkan proses pengomposan anaerob adalah proses pengomposan tanpa menggunakan oksigen (O2), hasilnya adalah Lumpur yang mengeluarkan gas metana, CO2dan senyawa seperti asam organik dan berbau
Hasil penelitianmenunjukkan bahwa pengomposan dengan menggunakan komposter aerob lebih baik dilihat dari perbandingan C/N akhir (sebesar 7,86 ; 9,82 dan 12,14), perubahan suhu dalam proses pengomposan karena memiliki temperatur tinggi sebesar 46oC dan pupuk organik yang dihasilkan tidak berbau dan proses pengomposan lebih cepat.
Sedangkan pengomposan dengan menggunakan komposter anaerob perbadingan C/N sebesar 17,81 ;22,32 dan 29,19 dan lebih membutuhkan waktu yang lama dalam proses pengomposan.
(5)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kisaran pada tanggal 16 juli 1985 dari ayah Sinar Ginting dan ibu Lorenta Tarigan. Penulis merupakan putri ketiga dari 4 bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Sidikalang dan lulus Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada tahun 2003. penulis memilih program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
Selama perkuliahan, penulis mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Teknik Pertanian (IMATETA) sebagai bendahara pada periode 2006-2007.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan di PTPN II Pabrik Gula Kwala Madu (PGKM) pada bulan juli 2006.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi ini.
Adapun skripsi ini berjudul Karakteristik Pupuk Organik Yang berasal dari Sampah Organik Rumah Tangga Pada Komposter Aerob Dan Anaerob
yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ibu Ainun Rohanah, STP.,M.Si selaku ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak Ir. Edi Susanto, M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan, namun penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan.
Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Medan, Agustus 2008 Penulis
(7)
DAFTAR ISI
RINGKASAN PENELITIAN ...i
RIWAYAT HIDUP...iii
KATA PENGANTAR...iv
DAFTAR GAMBAR... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... ... viii
PENDAHULUAN...1
Latar Belakang ...1
Tujuan Penelitian ...3
Kegunaan Penelitian...3
TINJAUAN LITERATUR ...4
Pupuk Organik ...4
Sampah Organik...8
Proses Pembuatan Pupuk Organik ...9
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Pupuk Organik ...11
Penggembur (Bulking Agent)...16
Mesin Pencacah kasar ...17
Komposter...17
METODOLOGI PENELITIAN ...19
Lokasi dan Waktu Penelitian ...19
Alat dan Bahan...19
Metode Penelitian...20
Pelaksanaan Penelitian...20
1. Komposter Aerob...20
a. Pembuatan komposter ...20
b. Penyiapan bahan...21
c. Proses pengisian komposter ...21
2. Komposter Anaerob...22
a. Pembuatan komposter ...22
b. Penyiapan bahan...22
c. Proses pengisian komposter ...23
Pengamatan Parameter...23
HASIL DAN PEMBAHASAN ...26
Karakteristik Pupuk Organik pada Komposter aerob ...26
Ratio C/N ...26
Temperatur (suhu)...28
Derajat Keasaman (pH)...29
Kadar Air Bahan ...29
Rendemen...31
Karakteristik Pupuk Organik pada Komposter anaerob ...32
Ratio C/N ...32
Temperatur (suhu)...33
(8)
Kadar Air Bahan ...35
Rendemen...36
KESIMPULAN DAN SARAN ...38
Kesimpulan ...38
Saran ...39
DAFTAR PUSTAKA...40
(9)
DAFTAR GAMBAR
Hal
1. Perbandingan ratio C/N pada komposter aerob... 26
2.Grafik hubungan lama pengomposan (hari) terhadap suhu...28
3. Perbandingan kadar air bahan pada komposter aerob...30
4. Perbandingan rendemen pada komposter aerob...31
5. Perbandingan ratio C/N pada komposter anaerob...32
6. Grafik hubungan lama pengomposan (hari) terhadap suhu ...34
7. Perbandingan kadar air bahan pada komposter anaerob...36
(10)
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
1. Gambar Teknik Komposter Aerob... 39
2. Gambar Teknik Komposter Anaerob... 40
3. Gambar Komposter Skala Rumah Tangga... 41
4. Gambar Komposter Rotary Klin ... 42
5. Data Analisa Ratio C/N akhir ... 43
6. Data Suhu Harian Komposter Aerob dan Anaerob... 44
7. Data Kadar Air pada Komposter Aerob dan Anaerob ... 45
(11)
ABSTRACT
Waste is the most common problem found in human environment. The large volume of waste comes from household. Waste could damage the inviroment by flood, the getting smaller land, and decreasement of environment sanity. Composting is an approach to manage municipal domestic waste become organic fertilizer. The organic fertilizer is produced by remodelling organic by microbe become as the final product is a low rate C/N ratio. This research purposed to study organic fertilizer characteristic produced by the organic household waste by using aerob and anaerob composter. This done by putting the aerob and anaerob in the composter tank, of 35 cm diameters and 60 cm highs. Parameter used to show the compost quality is the C/N ratio, themperature change, pH, moisture, sucrose content.
Key word : organic domestic waste,organic fertilizer, quality compost.
ABSTRAK
Sampah merupakan masalah yang sangat sering ditemukan dilingkungan masyarakat. Sampah yang paling banyak yaitu sampah yang berasal dari rumah tangga. Sampah dapat menyebabkan kerusakan lingkungan seperti banjir, sempitnya daratan dan menurunnya sanitasi lingkungan. Pengomposan merupakan salah satu upaya pengolahan sampah menjadi pupuk organik. Pupuk organik merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pupuk organik yang berasal dari sampah organik rumah tangga dengan menggunakan komposter aerob dan anaerob. Penelitian dilakukan secara aerob dan anaerob di dalam tong pengomposan yang berdiameter 35 cm dengan tinggi 60 cm. Parameter yang digunakan untuk menilai kualitas kompos adalah, rasio C/N, perubahan suhu, derajat keasaman (pH), kadar air, dan rendemen. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengomposan dengan metode aerob lebih baik dalam hal rasio C/N akhir, perubahan suhu, dan kadar air dari pada dengan metoda anaerob.
(12)
PENDAHUULUAN
Latar Belakang
Sampah sampai saat ini dianggap sebagai barang yang tidak dapat lagi dimanfaatkan, sehingga harus dibuang atau disingkirkan jauh-jauh dari lingkungan manusia. Bila kita mau menyadari, sebenarnya sampah terjadi semenjak manusia menggunakan barang-barang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, seperti makan, tempat tinggal, pakaian, serta kebutuhan lainnya.
Pada saat jumlah manusia masih relatif sedikit dan kebutuhan hidupnya belum meningkat, maka sampah yang dibuang juga masih terbatas, baik jumlah maupun jenisnya. Akan tetapi setelah populasi manusia semakin meningkat, dan kebutuhan hidupnya juga semakin bertambah, kuantitas dan jenis sampah yang dibuang juga semakin meningkat pula. Saat sekarang sampah telah menjadi masalah serius bagi setiap perkotaan pada kota dan kabupaten di Indonesia, terlebih bagi kota yang memiliki tingkat kepadatan penduduk yang cukup tinggi. Bertumpuknya sampah di tempat pembuangan sementara mengakibatkan menurunnya sanitasi lingkungan dan estetika kota, sehingga menimbulkan gangguan bagi warga kota.
Luas daratan yang terbatas akan semakin sempit dengan meluasnya timbunan sampah padat yang dihasilkan oleh warga kota. Bertambah luasnya tempat pembuangan akhir (TPA) akan mengurangi luas daratan yang dapat dimanfaatkan untuk daerah pemukiman, daerah industri, daerah pertanian dan lain-lainnya. Mengingat kondisi seperti ini, maka perlu pemikiran lebih lanjut
(13)
bagaimana mengurangi jumlah sampah dengan memanfaatkan kembali limbah padat ini untuk kepentingan manusia melalui proses daur ulang limbah padat, sekaligus sebagai usaha untuk mengurangi pencemaran daratan.
Pemanfaatan kembali limbah padat atau sampah ini ternyata banyak memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia. Sampah yang semula tidak berharga, setelah diolah dapat dimanfaatkan kembali melalui proses daur ulang, menjadi bernilai ekonomis. Salah satu cara pemanfaatan kembali sampah kota ini dapat dibuat kompos untuk pupuk tanaman.
Peningkatan produksi pertanian, tidak terlepas dari penggunaan bahan kimia, seperti pupuk buatan/anorganik dan pestisida. Penggunaan pupuk buatan/kimia dan pestisida saat ini oleh petani kadang kala sudah berlebihan melebihi takaran dan dosis yang dianjurkan, sehingga menggangu keseimbangan ekosistem, disamping itu tanah cenderung menjadi tandus, organisme- organisme pengurai seperti zat-zat renik, cacing-cacing tanah menjadi habis, demikian juga binatang seperti ular pemangsa tikus, populasi menurun drastis.
Penggunaan pupuk di dunia terus meningkat sesuai dengan pertambahan luas areal pertanian, pertambahan penduduk, kenaikan tingkat intensifikasi serta makin beragamnya penggunaan pupuk sebagai usaha peningkatan hasil pertanian. Para ahli lingkungan hidup khawatir dengan pemakaian pupuk mineral yang berasal dari pabrik ini akan menambah tingkat polusi tanah yang akhirnya berpengaruh juga terhadap kesehatan manusia.
Berdasarkan hal tersebut makin berkembang alasan untuk mengurangi penggunaan pupuk mineral dan agar pembuatan pabrik-pabrik pupuk di dunia
(14)
dikurangi atau dihentikan sama sekali agar manusia bisa terhindar dari malapetaka polusi. Upaya pembudidayaan tanaman dengan pertanian organik merupakan usaha untuk dapat mendapatkan bahan makanan tanpa penggunaan pupuk anorganik. Dengan sitem ini diharapkan tanaman dapat hidup tanpa ada masukan dari luar sehingga dalam kehidupan tanaman terdapat suatu siklus hidup yang tertutup (Yuwono, 2007).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari karakteristik pupuk organik berasal dari berbagai sampah organik rumah tangga pada komposter aerob dan anaerob.
Kegunaan penelitian
1. Penulis, sebagai bahan untuk menyusun skripsi yang merupakan syarat untuk menyelesaikan pendidikan di Program Studi Teknik Pertanian Departemen Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.
2. Mahasiswa, sebagai bahan informasi bagi yang ingin mengembangkan penelitian ini.
3. Masyarakat, sebagai bahan informasi bagi yang membutuhkan atau akan menggunakan penelitian ini.
(15)
TINJAUAN PUSTAKA
Pupuk Organik
Pupuk organik merupakan hasil akhir dan atau hasil antara dari perubahan atau peruraian bagian dan sisa-sisa tanaman dan hewan. Misalnya bungkil, guano, tepung tulang dan sebagainya. Karena pupuk organik berasal dari bahan organik yang mengandung segala macam unsur maka pupuk ini pun mengandung hampir semua unsur (baik makro maupun mikro). Hanya saja, ketersediaan unsur tersebut biasanya dalam jumlah yang sedikit. Pupuk organik diantaranya ditandai dengan ciri-ciri :
- Nitrogen terdapat dalam bentuk persenyawaan organik sehingga mudah dihisap tanaman.
- Tidak meninggalkan sisa asam anorganik didalam tanah.
- Mempunyai kadar persenyawaan C organik yang tinggi, misalnya hidrat arang.
(Murbandono, 2000).
Pupuk organik (kompos) merupakan hasil perombakan bahan organik oleh mikrobia dengan hasil akhir berupa kompos yang memiliki nisbah C/N yang rendah. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N < 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terombak dalam waktu yang lama, sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan N karena menguap selama proses perombakan berlangsung. Kompos yang dihasilkan dengan fermentasi menggunakan teknologi mikrobia efektif dikenal
(16)
dengan nama bokashi. Dengan cara ini proses pembuatan kompos dapat berlangsung lebih singkat dibandingkan cara konvensional (Yuwono, 2007).
Penggunaan pupuk organik yang dipadukan dengan penggunaan pupuk kimia dapat meningkatkan produktivitas tanaman dan pengurangan penggunakan pupuk kimia, baik pada lahan sawah maupun lahan kering. Telah banyak dilaporkan bahwa terdapat interaksi positif pada penggunaan pupuk organik dan pupuk kimia secara terpadu. Penggunaan pupuk kimia secara bijaksana diharapkan memberikan dampak yang lebih baik dimasa depan. Tidak hanya pada kondisi lahan dan hasil panen yang lebih baik, tetapi juga pada kelestarian lingkungan (Musnamar, 2005)
Pupuk organik dalam bentuk yang telah dikomposkan ataupun segar berperan penting dalam perbaikan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah serta sebagai sumber nutrisi tanaman. Secara umum kandungan nutrisi hara dalam pupuk organik tergolong rendah dan agak lambat tersedia, sehingga diperlukan dalam jumlah cukup banyak. Namun, pupuk organik yang telah dikomposkan dapat menyediakan hara dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dalam bentuk segar, karena selama proses pengomposan telah terjadi proses dekomposisi yang dilakukan oleh beberapa macam mikroba, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Sumber bahan kompos antara lain berasal dari limbah organik seperti sisa-sisa tanaman (jerami, batang, dahan), sampah rumah tangga, kotoran ternak (sapi, kambing, ayam), arang sekam, dan abu dapur (Deptan, 2006).
Sumber utama bahan organik bagi tanah berasal dari jaringan tanaman, baik serupa sampah-sampah tanaman (serasah) ataupun sisa-sisa tanaman yang telah mati. Sumber bahan organik lainnya adalah hewan. Bahan bahan organik
(17)
yang berasal dari serasah, sisa-sisa tanaman yang mati, limbah atau kotoran hewan dan bangkai hewan itu sendiri, didalam tanah akan diaduk-aduk dan dipindahkan oleh jasad renik yang selanjutnya dengan kegiatan berbagai jasad tanah bahan organik itu melalui berbagai proses yang rumit dirombak menjadi bahan organik tanah yang mempunyai arti penting (Sutejo dan Kartasapoetra, 1987).
Syarat-syarat yang dimiliki pupuk organik, yaitu :
a. Zat N atau zat lemasnya harus terdapat dalam bentuk persenyawaan organik, jadi harus mengalami peruraian menjadi persenyawaan N yang mudah dapat diserap oleh tanaman.
b. Pupuk tersebut dapat dikatakan tidak meninggalkan sisa asam organik didalam tanah.
c. Pupuk organik tersebut seharusnya mempunyai kadar persenyawaan C organik yang tinggi, seperti hidrat arang.
(Sutejo, 1990).
Syarat pembuatan kompos :
a. Campuran kompos harus homogen agar kadar N dan kecepatan fermentasi dapat merata dan tetap, oleh karena itu bahan-bahan mentah perlu dipotong-potong menjadi bagian-bagian kecil.
b. Temperatur awal harus tinggi untuk membunuh patogen biji rumput-rumputan dan lalat atau telur-telur dan larva hama lainnya serta penyakit yang terbawa kedalam tumpukan.
c. Pada awal pembuatan kompos itu diperlukan air yang cukup banyak untuk mengimbangkan penguapan dan untuk mengaktifkan jasad renik.
(18)
Ciri-ciri kompos yang baik : a. Berwarna coklat
b. Berstruktur remah c. Berkonsistensi gembur d. Berbau daun yang lapuk. (Sutejo, 1990).
Beberapa manfaat kompos dalam memperbaiki sifat tanah adalah: - Memperkaya bahan makanan untuk tanaman
- Memperbesar daya ikat tanah berpasir - Memperbaiki struktur tanah berlempung - Mempertinggi kemampuan menyimpan air - Memperbaiki drainase dan porositas tanah - Menjaga suhu tanah agar stabil
- Mempertinggi daya ikat tanah terhadap zat hara - Dapat meningkatkan pengaruh pupuk buatan. (Damanhuri dan Padmi, 2007).
Banyak sifat baik pupuk organik terhadap kesuburan tanah antara lain sebagai berikut :
a. Bahan organik dalam proses mineralisasi akan melepaskan hara tanaman yang lengkap (N, P, K, Ca, Mg, S, serta hara mikro) dalam jumlah tidak terlalu banyak dan relatif kecil.
b. Bahan organik dapat memperbaiki struktur tanah, menyebabkan tanah menjadi ringan untuk diolah, dan mudah ditembus akar
(19)
d. Bahan organik meningkatkan daya menahan air, sehingga kemampuan tanah untuk menyediakan air menjadi lebih banyak. Kelengasan air lebih terjaga.
e. Bahan organik membuat permeabilitas tanah menjadi lebih baik, menurunkan permeabilitas pada tanah bertekstur kasar (pasiran) dan meninggalkan permeabilitas pada tanah bertekstur sangat lembut (lempungan).
f. Bahan organik meningkatkan KPK (kapasitas pertukaran kation) sehingga kemampuan mengikat kation menjadi lebih tinggi. Akibatnya, jika tanah yang dipupuk dengan bahan organik dengan dosis tinggi, hara tanaman tidak mudah tersusun.
g. Bahan organik memperbaiki kehidupan biologi tanah (baik hewan tingkat tinggi ataupun tingkat rendah) menjadi lebih baik karena ketersediaan makan lebih terjamin.
(Rosmarkam dan Nasih, 2002).
Sampah Organik
Jenis sampah organik yang bisa diolah menjadi kompos itu adalah : a. Sampah sayur baru
b. Sisa sayur basi, tapi ini harus dicuci dulu, peras, lalu buang airnya c. Sisa nasi
d. Sisa ikan, ayam, kulit telur
e. Sampah buah (anggur, kulit jeruk, apel dan lain-lain). Tapi tidak termasuk kulit buah yang keras seperti kulit salak.
(20)
Sampah organik yang tidak bisa diolah :
a. Protein seperti daging, ikan, udang, juga lemak, santan, susu karena mengundang lalat sehingga tumbuh belatung.
b. Biji-biji yang utuh atau keras seperti biji salak, asam, lengkeng, alpukat dan sejenisnya. Buah utuh yang tidak dimakan karena busuk dan berair seperti pepaya, melon, jeruk, anggur.
c. Sisa sayur yang berkuah harus dibuang airnya, kalau bersantan harus dibilas air dan ditiriskan.
(Litauditomo, 2007).
Proses Pembentukan Pupuk Organik
Selama proses dekomposisi bahan organik mentah (sampah) menjadi kompos akan terjadi berbagai perubahan hayati yang dilakukan oleh mikroorgaisme sebagai aktivator. Adapun perubahannya sebagai berikut :
a. Penguraian karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2dan H2O (air).
b. Protein menjadi ammonia, CO2dan air.
c. Pembebasan unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap oleh tanaman.
d. Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara didalam sel mikroorganisme, terutama nitrogen, fosfor, dan kalium.
Dengan perubahan tersebut maka kadar karbohidrat akan hilang atau turun dan senyawa nitrogen yang larut (amonia) akan meningkat. Dengan demikian, C/N semakin rendah dan relatif stabil mendekati C/N tanah (Sudradjat, 2007).
(21)
Menurut Djuarnani (2005) selama hidupnya, mikroorganisme mengambil air dan oksigen dari udara. Makanan yang diperoleh dari bahan organik yang akan diubah menjadi produk metabolisme berupa karbondioksida (CO2), air (H2O), humus dan energi. Sebagian dari energi yang dihasilkan digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhan dan reproduksi.
Dalam proses pengomposan peranan mikroba selulolitik dan lignolitik sangat penting, karena kedua mikroba tersebut memperoleh energi dan karbon dari proses perombakan bahan yang mengandung karbon. Proses pengomposan secara aerob, lebih cepat dibanding anaerob dan waktu yang diperlukan tergantung beberapa faktor, antara lain : ukuran partikel bahan kompos, C/N rasio bahan kompos, keberadaan udara (keadaan aerobik), dan kelembaban. Kompos yang sudah matang diindikasikan oleh suhu yang konstan, pH alkalis, C/N rasio <20, kapasitas tukar kation > 60 me/100 g abu, dan laju respirasi < 10 mg/g kompos. Sedangkan indikator yang dapat diamati secara langsung adalah jika berwarna coklat tua dan tidak berbau busuk (berbau tanah)( Deptan, 2006).
Pengomposan aerobik terjadi dalam keadaan ada O2. melalui aktivitas mikroorganisme yang terkontrol, bahan-bahan organik tersebut didekomposisi menjadi kompos. Jamur mendekomposisi senyawa polimer dari tanaman seperti selulosa dan lignin. Jamur juga mendekomposisi residu-residu organik yang terlalu kering, asam atau rendah kadar nitrogennya bagi bakteri (Sudradjat, 2007). Pengomposan aerobik berjalan dengan kondisi terbuka. Dalam hal ini, udara bebas bersentuhan langsung dengan bahan kompos. Pengontrolan terhadap kadar air, suhu, pH, kelembapan, ukuran bahan, volume tumpukan bahan, dan pemilihan bahan perlu dilakukan secara intensif unutk mempertahankan proses
(22)
pengomposan agar stabil sehingga diperoleh proses pengomposan yang optimal, kualitas maupun kecepatannya. Selain itu, juga untuk memperlancar udara masuk kedalam bahan kompos. Pengontrolan secara intensif ini merupakan ciri khas proses aerobik. Oleh karena itu, kegiatan operasional pengomposan aerobik relative sibuk dari pada anaerobik (Yuwono, 2006).
Pengomposan anaerobik adalah dekomposisi bahan organik tanpa oksigen. Hasil metabolisme dari proses ini metan, CO2, dan berbagai produk intermediet (metabilites). Metabolistes menyebabkan bau yang lebih keras dibandingkan kompos aerob sehingga cara ini agak kurang diminati. Pada proses anaerobik, energi tersebut dikeluarkan dalam bentuk gas metan yang sangat bermanfaat (Sudradjat, 2007).
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Pupuk Organik
Pembentukan pupuk organik dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: 1. Perbandingan Karbon-nitrogen (C/N) bahan baku pupuk organik
Nitrogen adalah zat yang dibutuhkan bakteri penghancur untuk tumbuh dan berkembang biak. Timbunan bahan kompos yang kandungan nitrogennya terlalu sedikit (rendah) tidak menghasilkan panas sehingga pembusukan bahan-bahan menjadi amat terhambat. Oleh karenanya, semua bahan-bahan dengan kadar C/N yang tinggi, misalnya kayu, biji-bijian yang keras, dan tanaman menjalar, harus dicampur dengan bahan-bahan yang berair. Pangkasan daun dari kebun dan sampah-sampah lunak dari dapur amat tepat digunakan sebagai bahan pencampur (Mumbandono, 2000).
Rasio C/N adalah perbandingan kadar karbon (C) dan kadar nitrogen (N) dalam satu bahan. Semua mahluk hidup terbuat dari sejumlah besar bahan karbon
(23)
(C) serta nitrogen (N) dalam jumlah kecil. Unsur karbon dan bahan organik (dalam bentuk karbohidrat) dan nitrogen (dalan bentuk protein, asam nitrat, amoniak dan lain-lain), merupakan makanan pokok bagi bakteri anerobik. Unsur karbon (C) digunakan untuk energi dan unsur nitrogen (N) untuk membangun struktur sel dan bakteri. bakteri memakan habis unsur C 30 kali lebih cepat dari memekan unsur N. Pembuatan kompos yang optimal membutuhkan rasio C/N 25/1 sampai 30/1. berikut daftar perbandingan C/N dari beberapa bahan organik yaitu :
Tabel 1. Perbandingan C/N dari beberapa bahan organik
Nama Bahan Organik Rasio C/N Sampah sayur-sayuran 20 : 1 Sampah dapur campur 15 : 1
Pupuk hijau 14 : 1
Serbuk gergaji 500 : 1
Daun-daunan (segar) 10 : 1
Apel, buah 21 : 1
Sampah buah-buahan 35 : 1 Sumber : Yuwono (2006).
Dalam proses pengomposan, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan berat n kering), sedang C/N diakhir proses adalah 12-20. Pada rasio yang lebih rendah, ammonia akan dihasilkan dan aktivitas biologi akan terlambat, sedang pada ratio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variable pembatas. Harga C/N tanah adalah 10-20, sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan (Damanhuri dan Padmi, 2007).
(24)
2. Suhu Pencernaan
Menjaga kestabilan suhu (mempertahankan panas) pada suhu ideal (40-500C) amat penting dalam pembuatan kompos. Hal ini disebabkan tidak adanya bahan material yang digunakan untuk menahan panas dan menghindari pelepasan panas. Suhu yang kurang akan menyebabkan bakteri pengurai tidak bisa berbiak atau bekerja secara wajar. Dengan demikian, pembuatan kompos akan berlangsung lama. Sebaliknya, suhu yang terlalu tinggi bisa membunuh bakteri pengurai (Murbandono, 2000).
Suhu ideal untuk pengomposan aerobik adalah 45-650C, sedangkan untuk pengomposan anaerobik berkisar 50-600C. Suhu optimal dapat dibantu dengan meletakkan tempat pengomposan dilokasi yang terkena matahari langsung. Apabila sinar matahari dimanfaatkan untuk menaikkan suhu maka gas metan yang dihasilkan semakin tinggi dan proses pembusukan perlu dikeluarkan setiap hari, yaitu dengan membuka lubang gas (Yuwono, 2006).
Apabila proses pengomposan berjalan dengan baik, akan timbul panas dengan sendirinya (self-heating). Panas tersebut timbul akibat reaksi eksotermik biokimiawi antara senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroorganisma dengan senyawa limbah. Panas tersebut dapat mencapai temperatur di atas 60 oC selama minggu pertama proses pengomposan. Meningkatnya temperatur tersebut adalah terjadi dengan sendirinya. Di dalam limbah, dengan adanya perubahan temperatur tersebut, mikroorganisma yang dominan hidup di dalamnya adalah mikroorganisma termofilik (yaitu mikroorganisma yang hidup pada suhu di atas 45oC) (Jaerony, 2008).
(25)
Kondisi paling optimum pengomposan dari pencapaian temperatur antara 45 - 65 oC, tetapi harus < 80 oC. Kondisi temperatur tersebut juga diperlukan untuk proses inaktivasi dari bakteri pathogen di dalam sludge (jika ada). Kadar air, kecepatan aerasi, ukuran dan bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar dan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi distribusi temperatur dalam tumpukan kompos. Sebagai contoh, kecenderungan temperatur akan lebih rendah jika kondisi kadar air berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan. Sebaliknya kondisi kadar air yang rendah akan menurunkan aktivitas mikroba dan menurunkan kecepatan pembentukan panas (Arifianto dan Kuswadi, 2008)
Proses pengomposan mengalami 3 tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu, yaitu : mesophilic, thermophilic dan tahap pendinginan. Pada tahap awal mesophilic suhu proses akan naik dengan adanya fungi & bakteri pembentuk asam, tahap ini terjadi pada hari 1 3. Suhu proses akan terus meningkat ke tahap thermophilic selama 3 4 hari, dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteri thermopilic, actinomycetes dan fungi, namun suhu tersebut masih dalam kisaran suhu ideal minimum proses pengomposan. Kondisi suhu tersebut juga diperlukan untuk proses inaktivasi bila ada bakteri pathogen. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktivitas mikroba dan penggantian dari mikroorganisme thermophilik dengan bakteri & fungi mesophilik fase ini terjadi pada hari ketujuh sampai hari ke empat belas. Aktivitas ini ditandai dengan penurunan suhu pengomposan sampai sama dengan suhu lingkungan. Selama tahap pendinginan ini, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan
(26)
akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan penyempurnaan pembentukan humus (Kastaman,dkk, 2008)
3. Keasaman (pH) bahan baku pupuk organik
Keasaman atau pH dalam tumpukan kompos juga mempengaruhi aktivitas mikroorgaisme. Kisaran pH yang baik sekitar 6,5-7,5 (netral). Oleh karena itu, dalam proses pengomposan sering diberi tambahan kapur atau abu dapur untuk menaikkan pH (Indriani, 2000).
Derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam penomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan mendekati normal (Djuarnani,dkk, 2005).
Kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat waktu dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral tanpa pemberian kapur (Yuwono, 2006).
4. Cairan Pemula/Starter
Starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan yang dijual komersial. Bisa juga menggunakan lumpur aktif organik atau isi rumen.
Untuk mempercepat terjadinya proses fermentasi, maka pada permulaan pengumpanan perlu ditambahkan cairan yang mengandung banyak bakteri yang disebut juga dengan starter (Kamaruddin,dkk, 1995).
(27)
Effective microorganisme 4 (EM4) merupakan kultur campuran dari mikro organisme yang menguntungkan, berasal dari alam Indonesia asli, bermanfaat bagi kesuburan tanah maupun pertumbuhan dan produksi tanaman, serta ramah lingkungan. Mikroorganisme yang ditambahkan akan membantu memperbaiki kondisi biologis tanah dan dapat membantu penyerapan unsur hara (Marsono dan Paulus, 2001).
Jumlah mikroorganisme fermentasi di dalam EM4 sangat banyak, sekitar 80 genus. Mikroorganisme tersebut dipilih yang dapat bekerja secara efektif dalam memfermentasikan bahan organik. Dari sekian banyak mikroorganisme, ada lima golongan yang pokok, dari asam laktat (Lactobacillus sp.), bakteri fotosintetik (Rhodopseudomonas sp.), streptomyces sp, Ragi (yeast) dan actinomycetes (Indriani, 2000).
5. Ukuran bahan
Semakin kecil ukuran bahan, proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas pada bahan yang lembut daripada bahan dengan ukuran yang lebih besar. Ukuran bahan yang dianjurkan pada pengomposan aerobik antara 1-7,5 cm. Sedangkan pada pengomposan anaerobik, sangat dianjurkan untuk menghancurkan bahan selumat-lumatnya sehingga menyerupai bubur atau lumpur. Hal ini untuk mempercepatproses penguraian oleh bakteri dan mempermudah pencampuran bahan (Yuwono, 2006).
6. Kadar air bahan
Kadar air bahan yang dianjurkan dalam pengomposan aerobik adalah 40-50%. Kondisi ini harus dijaga agar mikroorganisme aerobik dalam kompos dapat
(28)
bekerja dengan baik dan tidak mati. Terlalu banyak kadar air akan berakibat bahan semakin padat, melumerkan sumber makanan yang dibutukan mikroba dan memblokir oksigen untuk masuk. Namun, apabila air terlalu sedikit maka bahan kering dan tidak mendukung kehidupan mikroba.
Pengomposan secara anaerobik membutuhkan kadar air yang tinggi, yaitu 50% keatas. Kadar air yang banyak pada proses anaerobik diperlukan bakteri untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan beraneka macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat. Secara fisik, kadar air juga akan memudahkan proses penghancuran bahan organik dan mengurangi bau (Yuwono, 2006).
Penggembur (Bulking Agent)
Penggembur (Bulking Agent) adalah suatu bahan mineral, energi dan pengkayaan unsur hara yang berfungsi sebagai campuran bahan baku dalam dekomposisi sampah atau kompos, untuk mempermudah penggemburan/pembusukkan sampah organik dalam proses pengolahan sampah. Bulking Agent ini terdiri dari dedak, serbuk gergaji, zeolit, aditive, urea, dolomit dan abu dengan komposisi tertentu. Dalam proses reduksi sampah skala rumah tangga, gunakan penggembur (bulking agent) secukupnya ( bisa dijadikan standar 3 persen ( %) dari berat bahan kompos/sampah) saat sampah siap diproses guna didekomposisi (Bastaman, 2008).
Mesin Pencacah Kasar
Perabot seukuran meja makan mini (panjang 1,6 meter, tinggi 1,35 meter, lebar 0,9 meter) itu berfungsi menghancurkan sampah organik-organik seperti
(29)
batang, daun, dan ranting yang menjadi lebih halus. Hasil olahan lalu dijadikan pupuk kompos. Cara kerja mesin ini bak mesin penggiling ; memotong, mengaduk-aduk, dan mengubah timbunan sampah dedaunan menjadi material organik yang halus. Dipacu diesel, efektivitas mesin ini boleh diacungi jempol. Berpuluh-puluh kilogram tumpukan sampah dedaunan dapat segera disulap menjadi bubur serat dalam hitungan menit (Sudradjat, 2007).
Komposter
Komposter adalah alat atau mesin dalam pembuatan kompos yang berasal dari sampah organik. Berbagai ukuran dan kemampuan alat ini menjadikan komposter dibagi kedalam beberapa tipe yaitu:
1. Komposter Skala Rumah Tangga
Pengertian komposter skala rumah tangga karena digunakan cocok bagi pengelolaan sampah yang dihasilkan dalam jumlah kecil yakni rumah satu keluarga. Alat dengan dimensi tinggi: 90 cm, diameter: 55 cm ini (Lampiran 3) terbuat dari bahan drum-plastik HDE. Jenis bahan plastik yang kuat hingga alat ini dapat bertahan sekitar 10 tahun. Komposter type ini digunakan dalam penanganan sampah organik yakni material sisa-sisa pemakaian rumah tangga seperti : makanan, kertas, ikan, buah-buahan, sayuran, dan lain-lain.
2. Komposter Rotary Klin (Tipe Rotary Klin)
Komposter ini berdimensi: tinggi: 190 cm, diameter: 155 cm dan panjang: 200 cm (Lampiran 4). Terbuat dari bahan fiber resin dan peralatan aerasi lainnya. Alat Mesin Rotary Klin komposter sampah ini akan merupakan solusi tepat dalam penanganan sampah suatu komunitas atau wilayah yang sebagian besar berupa
(30)
sampah organik seperti sampah rumah tangga, restoran, hotel, serta sampah domestik dari lingkungan rumah tangga satu keluarga besar atau suatu komplek perumahan/estate. Kategori sampah organik atau yang bisa terdegradasi (degradable) meliputi: sisa makanan, kertas, sisa ikan dan duri ikan, kulit buah-buahan, potongan sayuran, dan lain-lain.
Komposter dengan aktivator kompos seperti halnya : organik dekomposer, EM, Green Phoskko, dan sejenisnya serta ditambah penggembur (bulking agent) akan berkemampuan merubah sampah sisa rumah tangga menjadi kompos hanya dalam 10 hingga 12 hari saja. Komposter berfungsi dalam mengalirkan udara (aerasi), memelihara kelembaban dan temperatur sehingga bakteri dan jasad renik bekerja mengurai bahan organik secara optimal. Disamping fungsi tersebut, dengan komposter memungkinkan aliran lindi terpisah dari material padat dan akan menguntungkan bagi pembuatan pupuk cair (Wikipedia, 2007).
Komposter adalah alat berupa tong plastik yang digunakan untuk memproses sampah basah menjadi kompos di rumah. Komposter ada dua jenis yaitu komposter dengan Aerator dan komposter tanpa Aerator. Komposter dengan aerator disebut juga dengan komposter aerobik yaitu dalam pengomposannya membutuhkan saluran udara. Sedangkan komposter tanpa aerator yang disebut juga dengan komposter anaerobik dimana tidak membutuhkan udara dalam proses pengomposan sehingga komposter tertutup rapat (Tangerangkota, 2008).
Komposter dibuat sedemikian sehingga bisa menjadi suatu tempat penampungan sampah-sampah organik dan sebagai tempat pembusukan sampah tersebut. Untuk membuat satu buah komposter yang layak pakai, minimal
(31)
diperlukan satu buah wadah dengan ukuran tertentu dan telah dilubangi sekelilingnya. Selanjutnya, wadah tersebut ditanam di dalam tanah dan bagian dasarnya diberi sedikit tanah untuk pengondisian. Sampah-sampah organik yang telah dipisahkan kemudian dapat dimasukkan ke dalam komposter tersebut dan dimampatkan sampai permukaannya cukup rata. Komposter itu lalu ditutup (Ridwan, 2008).
(32)
METODOLOGI PENELITIAN
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan April - Juli 2008.
Alat dan Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Air
2. Sampah Organik yang berasal dari rumah tangga 3. EM-4
4. Gula
5. Bulking Agent(Penggembur)
Alat alat yang digunakan didalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Drum plastik digunakan sebagai tempat pengomposan bahan-bahan organik menjadi pupuk organik.
2. Termometer untuk alat mengukur suhu bahan-bahan organik yang akan dikomposkan menjadi pupuk organik.
3. Timbangan untuk menimbang bahan organik yang akan dikomposkan. 4. Pipa PVC diameter 4, 2.5 dan 1 inci sebagai saluran udara pada setiap
komposter.
5. Bor digunakan untuk membuat lubang pada drum plastik yang akan digunakan untuk proses pengomposan secara aerob.
(33)
7. Kalkulator
8. Parang/Pisau digunakan sebagai alat untuk mencacah bahan-bahan organik yang akan dikomposkan.
9. pH meter digunakan untuk mengukur derajat keasaman (pH) campuran bahan.
Pelaksanaan Penelitian 1. Komposter Aerob
a. Pembuatan Komposter
Pada penelitian ini, tipe komposter aerob yang digunakan adalah tipe skala rumah tangga yang terbuat dari drum plastik yang berukuran tinggi : 60 cm, diameter: 35 cm.
Adapun tahapan pembuatannya adalah :
1. Disediakan drum bekas dengan tinggi : 60 cm, diameter: 35 cm, dimana tutup drum bagian tengah dilubangi dengan diameter 2,5 inci.
2. Pada kedua sisi drum paling atas dilubangi dengan diameter 1 inci.
3. Sediakan pipa dengan diameter 2,5 inci dan pipa yang berdiameter 1 inci.. Sisi- sisi pipa yang berdiameter 2,5 inci dilubangi dengan diameter kurang lebih 0,5-1 cm.
4. Pada kedua sisi bagian atas pipa yang berdiameter 2,5 inci dilubangi dengan diameter 1 inci.
5. Sambungkan masing-masing pipa pada lubang yang telah disediakan seperti gambar pada Lampiran 1.
(34)
b. Penyiapan bahan
Bahan yang digunakan adalah sampah yang berasal dari rumah tangga dicampur dengan pengembur (Bulking Agent), EM4 dan air.
Adapun persiapan bahan pada komposter aerob adalah sebagai berikut: 1. Disiapkan sampah organik yang berasal dari rumah tangga.
2. Kemudian bahan dipotong-potong dengan parang dengan ukuran 1-7,5 cm. 3. Setelah itu sampah organik dicampur dengan air dengan perbandingan
untuk 10 kg sampah organik dicampur dengan air sebanyak 2 kg.
4. Setelah itu bahan dicampurkan dengan pengembur (Bulking Agent) dengan perbandingan untuk 12 kg campuran bahan dicampur dengan 0,36 Kg penggembur (Bulking Agent).
5. Kemudian bahan yang telah dicampur tadi, ditambahkan larutan EM4yang telah dicampur dengan larutan gula sebanyak 1,5 sendok makan (6 sendok makan EM4+ 1 sendok makan gula + 10 liter air)
c. Proses Pengisian Komposter
Adapun pengisian komposter pada proses aerob adalah sebagai berikut : 1. Masukkan bahan yang akan dikomposkan kedalam komposter.
2. Dipantau suhunya setiap hari
3. Apabila bahan di komposter tersebut kelihatan kekurangan air dapat ditambahkan air secukupnya. Kadar air pada bahan dapat diketahui dengan menggenggam dan meremasnya. Apabila bahan dapat dikepal-kepal, berarti kadar air sudah sesuai.
4. Aduk-aduk bahan di komposter tersebut apabila suhunya terlalu tinggi (>650C).
(35)
5. Lama proses pembentukan yang dilakukan yaitu selama 14 hari. 6. Dilakukan pengamatan parameter.
7. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
2. Komposter Anaerob a. Pembuatan Komposter
Pada penelitian ini, tipe komposter anaerob yang digunakan adalah tipe skala rumah tangga yang terbuat dari drum plastik yang tinggi : 60 cm, diameter: 35 cm
Adapun tahapan pembuatannya adalah :
1. Drum bekas dengan ukuran tinggi : 60 cm, diameter: 35 cm, dilubangi bagian atasnya dengan diameter 4 inci sebagai saluran pemasukan. 2. Setelah lubang dibuat, disediakan pipa dengan diameter yang sesuai
dengan diameter lubang yang telah dibuat.
3. Sambungkan pipa pada lubang yang telah disediakan seperti gambar pada Lampiran 2.
b. Penyiapan bahan
Adapun persiapan bahan pada komposter anaerob adalah sebagai berikut: 1. Disiapkan sampah organik yang berasal dari rumah tangga.
2. Kemudian sampah organik dipotong-potong dengan parang dengan ukuran <1 cm atau halus.
3. Setelah itu sampah organik dicampurkan dengan air dengan perbandingan 1 : 1 (untuk 15 kg sampah organik dicampur dengan 15 kg air).
(36)
4. Setelah itu bahan dicampurkan dengan pengembur (Bulking Agent) dengan perbandingan untuk 30 kg campuran bahan dicampur dengan 0.9 Kg penggembur (Bulking Agent).
5. Kemudian bahan yang telah dicampur tadi, ditambahkan larutan EM4yang telah dicampur dengan larutan gula sebanyak 9 sendok, kemudian aduk hingga merata (6 sendok makan EM4 + 1 sendok makan gula + 10 liter air).
c. Proses Pengisian Komposter
Adapun pengisian komposter pada proses anaerob adalah sebagai berikut: 1. Masukkan bahan yang akan dikomposkan kedalam komposter melalui
saluran pemasukan.
2. Tutup komposter tersebut agar udara dan bau tidak masuk dan keluar dari komposter.
3. Dipantau suhunya setiap hari
4. Lama proses pembentukan yang dilakukan yaitu selama 14 hari. 5. Dilakukan pengamatan parameter.
6. Percobaan dilakukan sebanyak tiga kali ulangan.
Pengamatan Parameter
Adapun parameter yang diamati adalah :
1. Analisa Perbandingan C/N Akhir Pupuk Organik
Perbandingan C/N akhir pupuk organik dilakukan setelah 14 hari atau bahan sudah menjadi pupuk organik. Pengambilan data diperoleh dengan
(37)
menganalisa bahan atau sampel di Laboratorium Riset dan Teknologi di Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara dengan cara :
- Penentuan nilai C total metodeWalkey and Black.
- Penentuan nilai N cara Semi MikroKjeldahl.
2. Perubahan suhu
Untuk mengetahui perubahan suhu bahan campuran pembentuk pupuk organik dapat dilakukan dengan menggunakan termometer. Pengukuran temperatur dilakukan setiap hari selama proses pembentukan pupuk organik.
3. Derajat Keasaman (pH) Pupuk Organik
Pada kondisi awal setelah bahan dicampurkan dilakukan pengukuran pH awal sebelum dimasukkan dalam komposter. pH diukur dengan menggunakan pH meter. Setelah proses pembentukan pupuk organik (setelah 14 hari) dilakukan kembali pengukuran pH pupuk organik untuk mengetahui keasaman pupuk organik yang dihasilkan.
4. Kadar Air Bahan (%)
Analisa kadar air bahan dilakukan dengan cara kering oven bahan. Sebelum dikeringovenkan, diambil sampel disetiap perlakuan. Kemudian ditimbang setiap 2 gram di alumunium foil yang telah diketahui berat kosongnya. Dikeringkan didalam oven selama 3 jam dengan suhu 1050C lalu didinginkan selama 15 menit kemudian ditimbang. Pengurangan dengan berat merupakan
(38)
banyaknya air yang diuapkan dari bahan. Pengambilan data dilakukan diawal dan diakhir pengomposan. Kadar air dihitung dengan rumus :
Kadar air = x100% BeratAwalBeratAkhir
BeratAwal
5. Rendemen (%)
Bahan campuran pada setiap perlakuan ditimbang hingga diketahui berat awal dari campuran bahan. Setelah 14 hari bahan menjadi pupuk organik dan ditimbang kembali kemudian dihitung rendemennya. Rendemen dihitung dengan rumus :
Rendemen = x100% BeratAwal
(39)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah karakteristik pupuk organik pada komposter aerob dan komposter anaerob yang berasal dari berbagai sampah organik rumah tangga yaitu : ratio C/N akhir, temperatur, derajat keasaman (pH), kadar air bahan dan rendemen.
Karakteristik Pupuk Organik
Proses pengomposan aerob adalah proses pengomposan dengan menggunakan oksigen (O2), hasilnya adalah pupuk organik yang mengeluarkan CO2, uap air, dan panas. Sedangkan proses pengomposan anaerob adalah proses pengomposan tanpa menggunakan oksigen (O2), hasilnya adalah Lumpur yang mengeluarkan gas metana, CO2dan senyawa seperti asam organik dan berbau.
1. Ratio C/N akhir
Gambar 1. menunjukkan ratio C/N akhir komposter aerob dan komposter anaerob pada berbagai ulangan percobaan. Ratio C/N akhir yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 7,86; 9,82 dan 12,14 dengan metode komposter aerob dan 17,81; 22,32 dan 29,19 dengan metode komposter anaerob.
(40)
0 5 10 15 20 25 30 35
KA I KA II KA III KAn I KAn II KAn III Keterangan :
KA : Komposter Aerob KAn : Komposter anaerob
Gambar 1. Perbandingan ratio C/N pada komposter aerob dan anaerob. Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pengomposan dengan komposter aerob menghasilkan kompos dengan C/N akhir yang kecil dan mendekati C/N tanah sebesar 12-20 sehingga sangat cocok/ baik digunakan untuk pupuk bagi tanaman. Sedangkan pengomposan dengan komposter anaerob nilai C/N akhir rataan sebesar 23,10. Nilai C/N akhir ini tidak mendekati C/N tanah sehingga tidak cocok digunakan bagi tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Damanhuri dan Padmi (2007) yang menyatakan bahwa perbandingan C dan N awal yang baik dalam bahan yang dikomposkan adalah 25-30 (satuan berat n kering), sedang C/N diakhir proses adalah 12-20. Harga C/N tanah adalah 10-12, sehingga bahan-bahan yang mempunyai harga C/N mendekati C/N tanah, dapat langsung digunakan.
Ratio C/N akhir pada komposter anaerob lebih tinggi dibandingkan ratio C/N akhir pada komposter aerob, karena waktu yang dibutuhkan untuk proses pengomposan pada komposter anaerob masih kurang, dimana pada hari ke14 pengomposan masih pada tahap thermofilik sehingga pupuk organik yang
(41)
dihasilkan belum matang dan belum dapat digunakan langsung pada tanaman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Deptan (2006) bahwa proses pengomposan secara aerob, lebih cepat dibanding anaerob dan waktu yang diperlukan tergantung rasio C/N bahan kompos. Sedangkan pada pengomposan dengan komposter aerob pupuk organik yang dihasilkan sudah matang yang ditandai dengan ratio C/N yang rendah yang mendekati C/N tanah.
2. Perubahan suhu
Dari hasil penelitian yang dilakukan diperoleh adanya perubahan suhu pada setiap komposter. Dimana dapat dilihat suhu akan meningkat dan juga akan mengalami penurunan. Fluktasi suhu harian proses pengomposan dari tiap-tiap ulangan percobaan disetiap perlakuan dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
0 10 20 30 40 50
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
su
hu KA IIKAn II
Keterangan :
KA : Komposter Aerob KAn : Komposter anaerob
Gambar 2. Profil suhu selama proses pengomposan pada komposter aerob dan anaerob.
Dari Gambar 2. menunjukkan perubahan suhu selama proses pengomposan komposter aerob dan komposter anaerob. Dari gambar dapat dilihat bahwa suhu pada komposter aerob lebih tinggi dibandingkan pada komposter anaerob, karena komposter anaerob memiliki kadar air yang lebih tinggi
(42)
dibandingkan komposter aerob, menurut Arifianto dan Kuswadi, (2008) temperatur akan lebih rendah jika kondisi kadar air berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan. Sedangkan pada komposter aerob kadar airnya tidak berlebih sehingga menghasilkan panas yang dapat mempercepat proses pengomposan dan sekaligus berguna untuk menghilangkan bakteri pathogen.
Menurut Kastaman,dkk(2008) proses pengomposan mengalami 3 tahapan berbeda dalam kaitannya dengan suhu, yaitu : mesophilik, thermophilik dan tahap pendinginan. Pada tahap awal mesophilik suhu proses akan naik dengan adanya fungi & bakteri pembentuk asam, tahap ini terjadi pada hari 1 3 seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2. Suhu proses akan terus meningkat ke tahap thermophilik selama 3 - 4 hari, dalam penelitian ini suhu maksimal yang dapat dicapai pada komposter aerob adalah 46oC, walaupun rata-rata suhu maksimal adalah 45,6oC sedangkan pada komposter anaerob adalah 35oC, walaupun rata-rata suhu maksimal adalah 34,6oC dimana mikroorganisme akan digantikan oleh bakteri thermopilik, actinomycetes dan fungi, namun suhu tersebut masih dalam kisaran suhu ideal minimum proses pengomposan. Kondisi suhu tersebut juga diperlukan untuk proses inaktivasi bila ada bakteri pathogen. Tahap pendinginan ditandai dengan penurunan aktivitas mikroba dan penggantian dari mikroorganisme thermophilik dengan bakteri & fungi mesophilik. Fase ini terjadi pada hari ketujuh sampai hari ke empat belas. Aktivitas ini ditandai dengan penurunan suhu pengomposan sampai sama dengan suhu lingkungan. Selama tahap pendinginan ini, proses penguapan air dari material yang telah dikomposkan akan masih terus berlangsung, demikian pula stabilisasi pH dan penyempurnaan
(43)
pembentukan humus. Kadar air, suplai udara, ukuran dan bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar dan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi suhu dalam tumpukan kompos. Kecenderungan suhu akan lebih rendah jika kondisi kadar air berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan. Sebaliknya kondisi kadar air yang rendah akan menurunkan aktivitas mikroba dan menurunkan kecepatan pembentukan panas.
3. Derajat Keasaman (pH)
Dari hasil penelitian diperoleh derajat keasaman (pH) akhir pada setiap komposter aerob dan komposter anaerob adalah sebesar 7. Menurut Djuarnani
dkk (2005) bahwa derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan mendekati normal.
Proses pengomposan pada komposter anaerob maupun komposter aerob perlu dilakukan kontrol pH karena pembuatan kompos anaerobik berlangsung dengan bantuan bakteri pembentukan gas metan yang sangat peka dengan kondisi pH dan suhu. Menurut Yuwono (2006) bahwa kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat waktu dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral tanpa pemberian kapur.
Menurut Damanhuri dan Padmi (2007), pH pemegang peranan penting dalam pengomposan. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5,
(44)
kemudian pH akan naik dan stabil pada pH 7-8 sampai kompos matang. Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur.
4. Kadar Air Bahan
Gambar 5. menunjukkan perbandingan kadar air bahan pada komposter aerob dan anaerob pada berbagai ulangan percobaan. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 35%, 40% dan 35% dengan menggunakan komposter aerob dan 65%,60% dan 65% dengan menggunakan komposter anaerob.
0 10 20 30 40 50 60 70
KA I KAII KAIII KAn I KAn II KAn III
Keterangan :
KA : Komposter Aerob KAn : Komposter anaerob
Gambar 3. Perbandingan kadar air bahan pada komposter aerob dan komposter anaerob.
`
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pupuk organik yang dihasilkan komposter aerob mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk organik yang dihasilkan komposter anaerob, karena pada awal pengomposan bahan pada komposter aerob ini tidak membutuhkan air yang banyak dan pada proses pengomposan terjadi penguapan air karena bahan bersentuhan langsung dengan udara. Sedangkan pada komposter anaerob, kadar air yang dihasilkan sangat tinggi. Hal ini disebabkan pada awal pengomposan
(45)
perbandingan bahan dan air adalah 1 : 1 (untuk 15 kg bahan maka air yang dicampurkan sebanyak 15 kg). Komposter anaerob membutuhkan air yang banyak karena kadar air yang banyak diperlukan oleh bakteri untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan beraneka macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat.
5. Rendemen
Gambar 5. menunjukkan perbandingan rendemen pada komposter aerob dan anaerob pada berbagai ulangan percobaan. Rendemen yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 42,07%, 42,88% dan 41,26% dengan menggunakan komposter aerob dan 99,19%, 99,48% dan 98,70% dengan menggunakan komposter anaerob. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
KA I KA II KA III KAn I KAn II KAn III
Re nd em en (% ) Keterangan :
KA : Komposter Aerob KAn : Komposter anaerob
Gambar 4. Perbandingan rendemen pada komposter aerob dan komposter anaerob. Pada komposter aerob, pupuk organik yang dihasilkan sebesar 42,07% yaitu sebanyak 5,2 kg dari berat awal bahan pengomposan sebanyak 12.36 kg. Penurunan berat akhir bahan disebabkan karena adanya penguapan air yang
(46)
tinggi. Sedangkan pada komposter anaerob, pupuk organik yang dihasilkan sebesar 99,19% yaitu sebanyak 30,65 kg dari berat awal bahan pengomposan sebanyak 30,9 kg dapat dilihat bahwa pupuk organik yang dihasilkan tidak mengalami penurunan berat yang begitu besar, karena pada proses pengomposan komposter anaerob, hasil akhir yang diperoleh berupa lumpur yang memiliki kadar air yang tinggi. Menurut Yuwono (2006) Lumpur ini dapat langsung digunakan atau diberikan pada tanaman dan apabila ingin disimpan terlebih dahulu lumpur tersebut diangin-anginkan diatas lantai yang terlindungi dari sinar matahari hingga kering kemudian dapat dimasukkan kedalam kantong plastik.
(47)
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengomposan dengan menggunakan komposter aerob memberikan prospek yang cukup baik daripada menggunakan komposter anaerob dilihat dari segi C/N akhir, temperatur, kadar air bahan dan rendemen. 2. Perbandingan C/N akhir pada komposter aerob yaitu sebesar 7,86; 9,82.
dan 12,14. Sedangkan ratio C/N akhir pada komposter anaerob yaitu sebesar 17,81; 22,32 dan 29,19.
3. Derajat keasaman (pH) akhir yang dihasilkan oleh masing-masing komposter (aerob dan anaerob) sama yaitu sebesar 7.
4. Kadar air pada komposter aerob sebesar 35%, 40% dan 35%. Sedangkan pada komposter anaerob sebesar 65%, 60% dan 65%.
5. Rendeman pada komposter aerob yaitu sebesar 42,07%, 42,88% dan 41,26%. Sedangkan pada komposter anaerob yaitu sebesar 99,19%, 99,48% dan 98,70%
Saran
1. Dalam melakukan penelitian perlu memperhatikan kondisi awal komposter maupun kondisi bahan organik (suhu dan pH) yang akan dikomposkan terutama pada komposter anaerob untuk menghidari kebocoran komposter.
(48)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. K., A. K Irwanto, N. Sregar, E. Agustina, A. H. Tambunan, M. Yamin, E. Hartulistiyoso, dan Y.A. Purwanto., 1995. Energi dan Listrik Pertanian, Academic Development of The Graduate Program, IPB. Bogor.
Arifianto.D. dan Son Kuswadi., 2008. Aplikasi Wastewater Sludge Untuk Proses Pengomposan.http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg001 87.html. Akses : 19 Agustus 2008.
Damanhuri, E., dan TRI Padmi, 2007. Pengomposan-Composting.
http://tsabitah.wordpress.com. Akses : 19 Nopember 2007.
Deptan, 2007. Teknik Pembuatan Kompos.http://www.deptan.go.id. Akses : 19 Nopember 2007.
Djuarnani. N., Kritian., BS Setiawan.,2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka.
Indriani, Y.H., 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Jaerony, 2008. Pengetahuan Tentang Kompos
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00187.html. Akses : 19 Agustus 2008.
Litauditomo, 2007. Mengolah Sampah Rumah Tangga. http://www.lintauditomo.muliply.com. Akses : 19 Nopember 2007.
Marsono dan Paulus S., 2001. Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Murbandono, L.H.S., 2000. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta. Murbandono, L.H.S., 1989. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Musnamar,E.I., 2005. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi, Penerbit Swadaya, Jakarta.
Rosmankam ,A. dan Nasih W.Y, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Sofian, 2007. Sukses Membuat Kompos Dari Sampah. PT.AgroMedia Pustaka, Jakarta.
(1)
pembentukan humus. Kadar air, suplai udara, ukuran dan bentuk tumpukan, kondisi lingkungan sekitar dan kandungan nutrisi sangat mempengaruhi suhu dalam tumpukan kompos. Kecenderungan suhu akan lebih rendah jika kondisi kadar air berlebih karena panas yang dihasilkan akan digunakan untuk proses penguapan. Sebaliknya kondisi kadar air yang rendah akan menurunkan aktivitas mikroba dan menurunkan kecepatan pembentukan panas.
3. Derajat Keasaman (pH)
Dari hasil penelitian diperoleh derajat keasaman (pH) akhir pada setiap komposter aerob dan komposter anaerob adalah sebesar 7. Menurut Djuarnani
dkk (2005) bahwa derajat keasaman pada awal proses pengomposan akan mengalami penurunan karena sejumlah mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan mengubah bahan organik menjadi asam organik. Pada proses selanjutnya, mikroorganisme dari jenis lain akan mengkonversikan asam organik yang telah terbentuk sehingga bahan memiliki derajat keasaman yang tinggi dan mendekati normal.
Proses pengomposan pada komposter anaerob maupun komposter aerob perlu dilakukan kontrol pH karena pembuatan kompos anaerobik berlangsung dengan bantuan bakteri pembentukan gas metan yang sangat peka dengan kondisi pH dan suhu. Menurut Yuwono (2006) bahwa kondisi asam pada proses pengomposan biasanya diatasi dengan pemberian kapur. Namun dengan pemantauan suhu bahan kompos secara tepat waktu dan benar sudah dapat mempertahankan kondisi pH tetap pada titik netral tanpa pemberian kapur.
Menurut Damanhuri dan Padmi (2007), pH pemegang peranan penting dalam pengomposan. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5,
(2)
kemudian pH akan naik dan stabil pada pH 7-8 sampai kompos matang. Bila pH terlalu rendah, perlu penambahan kapur.
4. Kadar Air Bahan
Gambar 5. menunjukkan perbandingan kadar air bahan pada komposter aerob dan anaerob pada berbagai ulangan percobaan. Kadar air yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 35%, 40% dan 35% dengan menggunakan komposter aerob dan 65%,60% dan 65% dengan menggunakan komposter anaerob.
0 10 20 30 40 50 60 70
KA I KAII KAIII KAn I KAn II KAn III Keterangan :
KA : Komposter Aerob KAn : Komposter anaerob
Gambar 3. Perbandingan kadar air bahan pada komposter aerob dan komposter anaerob.
`
Dari hasil diatas dapat disimpulkan bahwa pupuk organik yang dihasilkan komposter aerob mempunyai kadar air yang lebih rendah dibandingkan dengan pupuk organik yang dihasilkan komposter anaerob, karena pada awal pengomposan bahan pada komposter aerob ini tidak membutuhkan air yang banyak dan pada proses pengomposan terjadi penguapan air karena bahan bersentuhan langsung dengan udara. Sedangkan pada komposter anaerob, kadar air yang dihasilkan sangat tinggi. Hal ini disebabkan pada awal pengomposan
(3)
perbandingan bahan dan air adalah 1 : 1 (untuk 15 kg bahan maka air yang dicampurkan sebanyak 15 kg). Komposter anaerob membutuhkan air yang banyak karena kadar air yang banyak diperlukan oleh bakteri untuk membentuk senyawa-senyawa gas dan beraneka macam asam organik sehingga pengendapan kompos akan lebih cepat.
5. Rendemen
Gambar 5. menunjukkan perbandingan rendemen pada komposter aerob dan anaerob pada berbagai ulangan percobaan. Rendemen yang diperoleh pada penelitian ini adalah sebesar 42,07%, 42,88% dan 41,26% dengan menggunakan komposter aerob dan 99,19%, 99,48% dan 98,70% dengan menggunakan komposter anaerob.
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
KA I KA II KA III KAn I KAn II KAn III
Re
nd
em
en
(%
)
Keterangan :
KA : Komposter Aerob KAn : Komposter anaerob
Gambar 4. Perbandingan rendemen pada komposter aerob dan komposter anaerob. Pada komposter aerob, pupuk organik yang dihasilkan sebesar 42,07% yaitu sebanyak 5,2 kg dari berat awal bahan pengomposan sebanyak 12.36 kg. Penurunan berat akhir bahan disebabkan karena adanya penguapan air yang
(4)
tinggi. Sedangkan pada komposter anaerob, pupuk organik yang dihasilkan sebesar 99,19% yaitu sebanyak 30,65 kg dari berat awal bahan pengomposan sebanyak 30,9 kg dapat dilihat bahwa pupuk organik yang dihasilkan tidak mengalami penurunan berat yang begitu besar, karena pada proses pengomposan komposter anaerob, hasil akhir yang diperoleh berupa lumpur yang memiliki kadar air yang tinggi. Menurut Yuwono (2006) Lumpur ini dapat langsung digunakan atau diberikan pada tanaman dan apabila ingin disimpan terlebih dahulu lumpur tersebut diangin-anginkan diatas lantai yang terlindungi dari sinar matahari hingga kering kemudian dapat dimasukkan kedalam kantong plastik.
(5)
KESIMPULAN DAN SARAN
KesimpulanDari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengomposan dengan menggunakan komposter aerob memberikan prospek yang cukup baik daripada menggunakan komposter anaerob dilihat dari segi C/N akhir, temperatur, kadar air bahan dan rendemen. 2. Perbandingan C/N akhir pada komposter aerob yaitu sebesar 7,86; 9,82.
dan 12,14. Sedangkan ratio C/N akhir pada komposter anaerob yaitu sebesar 17,81; 22,32 dan 29,19.
3. Derajat keasaman (pH) akhir yang dihasilkan oleh masing-masing komposter (aerob dan anaerob) sama yaitu sebesar 7.
4. Kadar air pada komposter aerob sebesar 35%, 40% dan 35%. Sedangkan pada komposter anaerob sebesar 65%, 60% dan 65%.
5. Rendeman pada komposter aerob yaitu sebesar 42,07%, 42,88% dan 41,26%. Sedangkan pada komposter anaerob yaitu sebesar 99,19%, 99,48% dan 98,70%
Saran
1. Dalam melakukan penelitian perlu memperhatikan kondisi awal komposter maupun kondisi bahan organik (suhu dan pH) yang akan dikomposkan terutama pada komposter anaerob untuk menghidari kebocoran komposter.
(6)
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah. K., A. K Irwanto, N. Sregar, E. Agustina, A. H. Tambunan, M. Yamin, E. Hartulistiyoso, dan Y.A. Purwanto., 1995. Energi dan Listrik Pertanian, Academic Development of The Graduate Program, IPB. Bogor.
Arifianto.D. dan Son Kuswadi., 2008. Aplikasi Wastewater Sludge Untuk Proses Pengomposan.http://www.mailarchive.com/[email protected]/msg001 87.html. Akses : 19 Agustus 2008.
Damanhuri, E., dan TRI Padmi, 2007. Pengomposan-Composting. http://tsabitah.wordpress.com. Akses : 19 Nopember 2007.
Deptan, 2007. Teknik Pembuatan Kompos.http://www.deptan.go.id. Akses : 19 Nopember 2007.
Djuarnani. N., Kritian., BS Setiawan.,2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka.
Indriani, Y.H., 2000. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya. Jakarta. Jaerony, 2008. Pengetahuan Tentang Kompos
http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg00187.html. Akses : 19 Agustus 2008.
Litauditomo, 2007. Mengolah Sampah Rumah Tangga. http://www.lintauditomo.muliply.com. Akses : 19 Nopember 2007.
Marsono dan Paulus S., 2001. Pupuk Akar Jenis dan Aplikasi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Murbandono, L.H.S., 2000. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta. Murbandono, L.H.S., 1989. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta.
Musnamar,E.I., 2005. Pupuk Organik Padat: Pembuatan dan Aplikasi, Penerbit Swadaya, Jakarta.
Rosmankam ,A. dan Nasih W.Y, 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius, Yogyakarta.
Sofian, 2007. Sukses Membuat Kompos Dari Sampah. PT.AgroMedia Pustaka, Jakarta.