Selanjutnya

ep

.g
m
ha

ku
m

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1985
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a.


b.

c.

d.

Mengingat :

bahwa Unit ed Nat ions Convent ion on t he Law of t he Sea
(Konvensi Perserikat an Bangsa-Bangsa t ent ang Hukum
Laut ) t elah dit erima baik oleh Konperensi Perserikat an
Bangsa-Bangsa t ent ang Hukum Laut Ket iga di New York
pada t anggal 30 April 1982 dan t elah dit andat angani oleh
Negara Republik Indonesia bersama-sama serat us delapan
belas penandat angan lain di Mont ego Bay, Jamaica pada
t anggal 10 Desember 1982;
bahwa Unit ed Nat ions Convent ion on t he Law of t he Sea
sebagaimana dimaksud pada huruf a di at as mengat ur
rej im-rej im hukum laut , t ermasuk rej im hukum Negara
Kepulauan secara menyeluruh dan dalam sat u paket ;

bahwa rej im hukum Negara Kepulauan mempunyai art i
dan peranan pent ing unt uk memant apkan kedudukan
Indonesia sebagai Negara Kepulauan dalam rangka
implement asi Wawasan Nusant ara sesuai amanat Maj elis
Permusyawarat an Rakyat Republik Indonesia;
bahwa berdasarkan pert imbangan t ersebut di at as
dipandang perlu unt uk mengesahkan Unit ed Nat ions
Convent ion on t he Law of t he Sea t ersebut dengan
Undang-undang;

Pasal 5 ayat (1), Pasal
Undang Dasar 1945;

11, dan Pasal 20 ayat (1) Undang-

Dengan perset uj uan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menet apkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN UNITED NATIONS
CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA (KONVENSI

PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG HUKUM LAUT).

www.djpp.depkumham.go.id

ep

.g
m
ha

ku
m

Pasal 1
Mengesahkan Unit ed Nat ions Convent ion t he Law of t he Sea (Konvensi
Perserikat an Bangsa-Bangsa t ent ang Hukum Laut ), yang salinan naskah
aslinya dalam bahasa inggeris dilampirkan pada Undang-undang ini.
Pasal 2
Undang-undang ini mulai berlaku pada t anggal diundangkan.


Agar set iap orang menget ahuinya, memerint ahkan pengundangan Undangundang ini dengan penempat annya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakart a
pada t anggal 31 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SOEHARTO
Diundangkan di Jakart a
pada t anggal 31 Desember 1985
MENTERI/ SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

SUDHARMONO, S. H.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1985 NOMOR 76

www.djpp.depkumham.go.id

.g

m
ha

ku
m

ep

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 1985
TENTANG
PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION
ON THE LAW OF THE SEA
(KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TENTANG
HUKUM LAUT)

I.


UMUM
Usaha masyarakat int ernasional unt uk mengat ur masalah kelaut an
melalui Konperensi Perserikat an Bangsa-Bangsa (PBB) t ent ang Hukum
Laut yang Ket iga t elah berhasil mewuj udkan Unit ed Nat ions
Convent ion on t he Law of t he Sea (konvensi Perserikat an BangsaBangsa t ent ang Hukum Laut ) yang t elah dit andat angani oleh 117
(serat us t uj uh belas) negara pesert a t ermasuk Indonesia dan 2 sat uan
bukan negara di Mont ego Bay, Jamaica, pada t anggal 10 Desember
1982.
Dibandingkan dengan Konvensi-konvensi Jenewa 1958 t ent ang Hukum
Laut , Konvensi Perserikat an Bangsa-Bangsa t ent ang Hukum Laut
t ersebut mengat ur rej im-rej im hukum laut secara lengkap dan
menyeluruh, yang rej im-rej imnya sat u sama lainnya t idak dapat
dipisahkan.
Dit inj au dari isinya, Konvensi Perserikat an Bangsa-Bangsa t ent ang
Hukum Laut t ersebut :
a.
Sebagian merupakan kodif ikasi ket ent uan-ket ent uan hukum
laut yang sudah ada, misalnya kebebasan-kebebasan di Laut
Lepas dan hak lint as damai di Laut Terit orial;
b.

Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah
ada, misalnya ket ent uan mengenai lebar Laut Terit orial
menj adi maksimum 12 mil laut dan krit eria Landas Kont inen.
Menurut Konvensi Jenewa 1958 t ent ang Hukum Laut krit eria
bagi penent uan lebar landas kont inen adal ah kedalaman air
dua rat us met er at au krit eria kemampuan eksploit asi. Kini
dasarnya adalah krit eria kelanj ut an alamiah wilayah darat an
sesuat u Negara hingga pinggiran luar t epian kont inennya
(Nat ural prolongat ion of it s land t errit ory t o t he out er edge of
t he cont inent al margin) at au krit eria j arak 200 mil laut ,
dihit ung dari garis dasar unt uk mengukur lebar laut Terit orial
j ika pinggiran luar t epian kont inen t idak mencapai j arak 200
mil laut t ersebut ;
c.
Sebagian melahirkan rej im-rej im hukum baru, sepert i asas
Negara Kepulauan, Zona Ekonomi Eksklusif dan penambangan
di Dasar Laut Int ernasional.

www.djpp.depkumham.go.id


.g
m
ha

ku
m

ep

Bagi Bangsa dan Negara Republik Indonesia, Konvensi ini mempunyai
art i yang pent ing karena unt uk pert ama kalinya asas Negara
Kepulauan yang selama dua pul uh lima t ahun secara t erus menerus
diperj uangkan oleh Indonesia, t elah berhasil memperoleh pengakuan
resmi masyarakat int ernasional. Pengakuan resmi asas Negara
Kepulauan ini merupakan hal yang pent ing dalam rangka mewuj udkan
sat u kesat uan wilayah sesuai dengan Deklarasi Dj uanda 13 Desember
1957, dan Wawasan Nusant ara sebagaimana t ermakt ub dalam
Ket et apan Maj elis Permusyawarat an Rakyat t ent ang Garis-garis Besar
Haluan Negara, yang menj adi dasar perwuj udan bagi kepulauan
Indonesia sebagai sat u kesat uan polit ik, ekonomi, sosial budaya dan

pert ahanan keamanan.
Yang dimaksud dengan "Negara Kepulauan" menurut Konvensi ini
adalah suat u negara yang seluruhnya t erdiri dari sat u at au lebih
gugusan kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain.
Konvensi menent ukan pula bahwa gugusan kepulauan berart i suat u
gugusan pulau-pulau t ermasuk bagian pulau, perairan diant ara
gugusan pulau-pulau t ersebut dan lain-lain wuj ud alamiah yang
hubungannya sat u sama lainnya demikian erat nya sehingga gugusan
pulau-pulau, perairan dan wuj ud alamiah lainnya t ersebut merupakan
suat u kesat uan geograf i dan polit ik yang hakiki, at au secara hist oris
t elah dianggap sebagai sat u kesat uan demiki an.
Negara Kepulauan dapat menarik garis dasar/ pangkal lurus kepulauan
yang menghubungkan t it ik-t it ik t erluar pulau-pulau dan karang kering
t erluar kepulauan it u, dengan ket ent uan bahwa :
a.
di dalam garis dasar/ pangkal demikian t ermasuk pulau-pulau
ut ama dan suat u daerah dimana perbandingan ant ara daerah
perairan dan daerah darat an, t ermasuk at ol, adalah ant ara
sat u berbanding sat u (1 : 1) dan sembilan berbanding sat u (9 :
1);

b.
panj ang garis dasar/ pangkal demikian t idak boleh melebihi 100
mil laut , kecuali bahwa hingga 3 % dari j umlah seluruh garis
dasar/ pangkal yang mengelilingi set iap kepulauan dapat
melebihi
kepanj angan
t ersebut ,
hingga
pada
suat u
kepanj angan maksimum 125 mil laut ;
c.
penarikan
garis dasar/ pangkal
demikian
t idak
boleh
menyimpang dari konf igurasi umum Negara Kepulauan.
Negara Kepulauan berkewaj iban menet apkan garis-garis dasar/
pangkal kepulauan pada pet a dengan skala yang cukup unt uk

menet apkan posisinya. Pet a at au daf t ar koordinat geograf i demikian
harus diumumkan sebagaimana mest inya dan sat u salinan dari set iap
pet a at au daf t ar demikian harus dideposit kan pada Sekret aris
Jenderal Perserikat an Bangsa-Bangsa.
Dengan diakuinya asas Negara Kepulauan, maka perairan yang dahul u
merupakan bagian dari Laut Lepas kini menj adi "perairan kepulauan"
yang berart i menj adi wilayah perairan Republik Indonesia.
Disamping ket ent uan-ket ent uan sebagaimana dimaksudkan di muka,

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m

ha

ku
m

ep

syarat -syarat yang pent ing bagi pengakuan int ernasional at as asas
Negara
Kepulauan
adalah
ket ent uan-ket ent uan
sebagaimana
diuraikan di bawah ini.
Dalam "perairan kepulauan" berlaku hak lint as damai (right of
innocent passage) bagi kapal-kapal negara lain. Namun demikian
Negara Kepulauan dapat menangguhkan unt uk sement ara wakt u hak
lint as damai t ersebut pada bagian-bagian t ert ent u dari "perairan
kepulauannya" apabila di anggap perlu unt uk melindungi kepent ingan
keamanannya.
Negara Kepulauan dapat menet apkan al ur laut kepulauan dan rut e
penerbangan di at as alur laut t ersebut .
Kapal asing dan pesawat udara asing menikmat i hak lint as al ur laut
kepulauan melalui alur laut dan rut e penerbangan t ersebut unt uk
t ransit dari suat u bagian Laut Lepas at au Zona Ekonomi Eksklusif ke
bagian lain dari Laut Lepas at au Zona Ekonomi Eksklusif . Alur laut
kepulauan dan rut e penerbangan t ersebut dit et apkan dengan menarik
garis poros. Kapal dan pesawat udara asing yang melakukan lint as
t ransit melalui alur laut dan rut e penerbangan t ersebut t idak boleh
berlayar at au t erbang melampaui 25 mil laut sisi kiri dan sisi kanan
garis poros t ersebut .
Sekalipun kapal dan pesawat udara asing menikmat i hak lint as alur
laut kepulauan melalui alur laut dan rut e penerbangan t ersebut ,
namun hal ini di bidang lain daripada pel ayaran dan penerbangan
t idak boleh mengurangi kedaulat an Negara Kepulauan at as air sert a
ruang udara di at asnya, dasar laut dan t anah di bawahnya dan sumber
kekayaan di dalamnya.
Dengan demikian hak lint as alur laut kepulauan melalui rut e
penerbangan yang diat ur dalam Konvensi ini hanyalah mencakup hak
lint as penerbangan melewat i udara di at as alur laut t anpa
mempengaruhi kedaulat an negara unt uk mengat ur penerbangan di
at as wilayahnya sesuai dengan Konvensi Chicago 1944 t ent ang
Penerbangan Sipil at aupun kedaulat an negara kepulauan at as wilayah
udara lainnya di at as perairan Nusant ara.
Sesuai
dengan
ket ent uan
Konvensi,
disamping harus
menghormat i perj anj ian-perj anj ian int ernasional yang sudah ada,
Negara Kepulauan berkewaj iban pula menghormat i hak-hak
t radisional penangkapan ikan dan kegiat an l ain yang sah dari negaranegara t et angga yang langsung berdampingan, sert a kabel laut yang
t elah ada di bagian t ert ent u perairan kepulauan yang dahulunya
merupakan Laut Lepas. Hak-hak t radisional dan kegiat an lain yang sah
t ersebut t idak boleh dialihkan kepada at au dibagi dengan negara
ket iga at au warganegaranya.
Konvensi Perserikat an Bangsa-Bangsa t ent ang Hukum Laut ini
mengat ur pula rej im-rej im hukum sebagai berikut :
1.

Laut Terit orial dan Zona Tambahan
a.
Laut Terit orial
Konperensi-konperensi
Perserikat an

Bangsa-Bangsa

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m
ha

ku
m

ep

t ent ang Hukum Laut yang pert ama (1958) dan kedua
(1960) di Jenewa t idak dapat memecahkan masalah
lebar Laut Terit orial karena pada wakt u it u prakt ek
negara menunj ukkan keanekaragaman dal am masalah
lebar Laut Terit orial, yait u dari 3 mil laut hingga 200 mil
laut .
Konperensi Perserikat an Bangsa-Bangsa t ent ang Hukum
Laut Ket iga pada akhirnya berhasil menent ukan lebar
Laut Terit orial maksimal 12 mil laut sebagai bagian dari
keseluruhan paket rej im-rej im hukum laut , khususnya :
1).
zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya t idak
melebihi 200 mil laut dihit ung dari garis
dasar/ pangkal darimana lebar Laut Terit orial
diukur dimana berlaku kebebasan pelayaran;
2).
kebebasan t ransit kapal-kapal asing melalui Selat
yang digunakan unt uk pelayaran int ernasional;
3).
hak akses negara t anpa pant ai ke dan dari laut
dan kebebebasan t ransit ;
4).
t et ap dihormat i hak lint as laut damai melalui
Laut Terit orial.
Rej im Laut Terit orial memuat ket ent uan sebagai berikut
:
1).
Negara pant ai mempunyai kedaulat an penuh at as
Laut Terit orial, ruang udara di at asnya, dasar laut
dan t anah di bawahnya sert a kekayaan alam yang
t erkandung di dalamnya.
2).
Dalam Laut Terit orial berlaku hak lint as laut
damai bagi kendaraan-kendaraan air asing.
Kendaraan air asing yang menyelenggarakan lint as
laut damai di Laut Terit orial t idak boleh
melakukan ancaman at au penggunaan kekerasan
t erhadap kedaulat an, keut uhan wilayah at au
kemerdekaan polit ik negara pant ai sert a t idak
boleh melakukan kegiat an survey at au penelit ian,
mengganggu sist em
komunikasi,
melakukan
pencemaran dan melakukan kegiat an lain yang
t idak ada hubungan langsung dengan lint as laut
damai. Pelayaran lint as laut damai t ersebut harus
dilakukan secara t erus menerus, langsung sert a
secepat nya, sedangkan berhent i dan membuang
j angkar hanya dapat dilakukan bagi keperluan
navigasi yang normal at au kerena keadaan
memaksa (f orce maj eure) at au dalam keadaan
bahaya at au unt uk t uj uan memberikan bant uan
pada orang, kapal at au pesawat udara yang
berada dalam keadaan bahaya.
3).
Negara pant ai berhak membuat perat uran

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m
ha

ku
m

ep

b.

2.

t ent ang lint as laut damai yang berkenaan dengan
keselamat an pelayaran dan pengat uran lint as
laut , perlindungan alat bant uan sert a f asilit as
navigasi, perlindungan kabel dan pipa bawah laut ,
konservasi kekayaan alam hayat i, pencegahan
t erhadap pelanggaran at as perat uran perikanan,
pelest arian lingkungan hidup dan pencegahan,
pengurangan dan pengendalian pencemaran,
penelit ian ilmiah kelaut an dan survei hidrograf i
dan pencegahan pelanggaran perat uran bea
cukai, f iskal, imigrasi dan kesehat an.

Zona Tambahan
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 lebar Zona Tambahan
pada lebar Laut Terit orial diukur, maka Konvensi PBB
t ent ang Hukum Laut 1982 kini menent ukan bahwa,
dengan dit ent ukannya lebar Laut Terit orial maksimal 12
mil laut , lebar Zona Tambahan adalah maksimal 24 mil
laut diukur dari garis dasar laut Terit orial.
Di Zona Tambahan negara pant ai dapat melaksanakan
pengawasan dan pengendalian yang perlu, unt uk :
1).
mencegah
pelanggaran
t erhadap
perat uran
perundang-undangannya di bidang bea cukai,
f iskal , keimigrasian dan kesehat an yang berlaku di
wilayah darat dan Laut Terit orial negara pant ai;
2).
menindak
pelanggaran-pelanggaran
at as
perat uran perundang-undangan t ersebut yang
dilakukan di wilayah darat dan Laut Terit orial
negara pant ai.

Selat yang digunakan unt uk pelayaran int ernasional
Penet apan lebar Laut Terit orial maksimal 12 mil laut
membawa akibat bahwa perairan dalam Selat yang semula
merupakan bagian dari Laut Lepas berubah menj adi bagian dari
Laut Terit orial negara-negara selat yang mengelilinginya.
Berhubungan dengan it u, t et ap t erj aminnya f ungsi Selat
sebagai j alur pelayaran int ernasional merupakan syarat bagi
dit erimanya penet apan lebar Laut Terit orial maksimal 12 mil
laut . Ol eh karena it u, dengan t idak mengurangi pelaksanaan
kedaulat an dan yurisdiksi negara-negara pant ai dibidang lain
daripada lint as laut dan lint as udara, kendaraan air asing dan
pesawat udara asing mempunyai hak lint as l aut / udara melalui
suat u selat yang digunakan unt uk pelayaran int ernasional.
Negara-negara selat , dengan memperhat ikan ket ent uanket ent uan Konvensi, dapat membuat perat uran perundangundangan mengenai lint as laut t ransit melalui selat t ersebut
yang bert alian dengan :
a.
keselamat an pelayaran dan pengat uran lint as laut ;

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m
ha

ku
m

ep

b.

c.

d.

3.

pencegahan,
pengurangan
dan
pengendalian
pencemaran;
pencegahan penangkapan ikan, t ermasuk penyimpanan
alat penangkapan ikan dalam palka;
memuat at au membongkar komodit i, mat a uang at au
orang-orang,
bert ent angan
dengan
perat uran
perundang-undangan bea cukai, f iskal , imigrasi dan
kesehat an.

Zona Ekonomi Eksklusif
Di Zona Ekonomi Eksklusif , negara pant ai mempunyai:
a.
hak berdaulat unt uk t uj uan eksploirasi, eksploit asi,
pengelolaan dan konservasi sumber kekayaan alam baik
hayat i maupun non hayat i di ruang air dan kegiat ankegiat an lainnya unt uk eksploirasi dan eksploit asi
ekonomi zona t ersebut sepert i pembangkit an t enaga
dari air, arus dan angin;
b.
yurisdiksi yang berkait an dengan pembuat an dan
penggunaan pulau-pulau buat an, inst alasi-inst alasi dan
bangunan-bangunan lainnya, penelit ian ilmiah dan
perlindungan sert a pelest arian lingkungan laut ;
c.
kewaj iban unt uk menghormat i kebebasan pelayaran dan
penerbangan int ernasional, pemasangan kabel at au pipa
bawah laut menurut prinsip hukum int ernasional yang
berlaku di Zona Ekonomi Eksklusif ;
d.
kewaj iban unt uk memberikan kesempat an t erut ama
kepada negara t idak berpant ai at au negara yang secara
geograf is
t idak
berunt ung
unt uk
t urut
sert a
memanf aat kan surplus dari j umlah t angkapan ikan yang
diperbolehkan.
Masalah Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya t idak melebihi
200 mil laut t ersebut erat kait annya dengan masalah
penet apan lebar Laut Terit orial maksimal 12 mil laut , karena :
a.
beberapa negara pant ai, yang menganut lebar Laut
Terit orial 200 mil laut , baru dapat menerima penet apan
lebar Laut Terit orial maksimal 12 mil laut dengan
adanya rej im Zona Ekonomi Eksklusif yang lebarnya
t idak melebihi 200 mil laut .
b.
pada sisi lain :
1).
negara-negara t anpa pant ai dan negara-negara
yang secara geograf is t idak berunt ung baru dapat
menerima penet apan lebar Laut Terit orial
maksimal 12 mil laut dan Zona Ekonomi Eksklusif
yang lebarnya t idak melebihi 200 mil laut dengan
ket ent uan
bahwa
mereka
memperoleh
kesempat an unt uk t urut sert a memanf aat kan
surplus
dari
j umlah
t angkapan
yang
diperbolehkan.

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m
ha
4.

ep

ku
m

c.

5.

2).

mereka mempunyai hak t ransit ke dan dari laut
melalui wilayah negara pant ai/ negara t ransit .
negara-negara marit im baru dapat menerima rej im Zona
Ekonomi Eksklusif j ika negara pant ai t et ap menghormat i
kebebasan
palayaran/ penerbangan
mel alui
Zona
Ekonomi Eksklusif .

Landas Kont inen
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 t ent ang Landas
Kont inen yang menet apkan lebar Landas Kont inen berdasarkan
pada krit eria kedalaman at au krit eria kemampuan eksploit asi,
maka Konvensi 1982 ini mendasarkannya pada berbagai krit eria
:
a.
j arak sampai 200 mil laut j ika t epian luar kont inen t idak
mencapai j arak 200 mil laut t ersebut ;
b.
kelanj ut an alamiah wilayah darat an di bawah laut
hingga t epian luar kont inen yang lebarnya t idak boleh
melebihi 350 mil laut yang diukur dari garis dasar Laut
Terit orial j ika di luar 200 mil laut masih t erdapat daerah
dasar laut yang merupakan kelanj ut an al amiah dari
wilayah darat an dan j ika memenuhi krit eria kedalaman
sediment asi yang dit et apkan dalam konvensi; at au
c.
t idak boleh melebihi l00 mil laut dari garis kedalaman
(isobat h) 2500 met er.
Krit eria kelanj ut an alamiah wilayah darat an di bawah laut
hingga t epian luar kont inen yang dit ent ukan dalam Konvensi ini
pada akhirnya dapat dit erima negara-negara bukan negara
pant ai, khususnya negara-negara t anpa pant ai at au negaranegara yang geograf is t idak berunt ung set elah Konvensi j uga
menent ukan bahwa negara pant ai mempunyai kewaj iban unt uk
memberikan pembayaran at au kont ribusi dalam nat ura yang
berkenaan dengan eksploit asi sumber kekayaan non-hayat i
Landas Kont inen di luar 200 mil laut . Pembayaran at au
kont ribusi t ersebut harus dilakukan melaui Ot orit a Dasar Laut
Int ernasional yang akan membagikannya kepada negara pesert a
Konvensi didasarkan pada krit eria pembagian yang adil dengan
memperhat ikan kepent ingan sert a kebut uhan negara-negara
berkembang, khususnya negara-negara yang perkembangannya
masih paling rendah dan negara-negara t anpa pant ai.
Sekalipun Landas Kont inen pada mulanya t ermasuk dalam
rej im Zona Ekonomi Eksklusif , namun dalam Konvensi ini
Landas Kont inen diat ur dalam Bab t ersendiri. Hal ini berkait an
dengan dit erimanya krit eria kelanj ut an alamiah wilayah
darat an hingga pinggiran luar t epian kont inen, yang
memungkinkan lebar landas Kont inen melebihi lebar Zona
Ekonomi Eksklusif .
Laut Lepas
Berbeda dengan Konvensi Jenewa 1958 t ent ang Laut Lepas

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m

ep

ku
m

ha

yang menet apkan Laut Lepas dimulai dari bat as t erluar Laut
Terit orial, Konvensi ini menet apkan bahwa Laut Lepas t idak
mencakup Zona Ekonomi Eksklusif , laut t erit orial perairan
pedalaman dan perairan kepulauan.
Kecuali perbedaan-perbedaan t ersebut di at as, pada dasarnya
t idak t erdapat perbedaan ant ara Konvensi Jenewa 1958
t ent ang Laut Lepas dan Konvensi Perserikat an Bangsa-Bangsa
t ent ang Hukum Laut mengenai hak-hak dan kebebasankebebasan di Laut Lepas.
Kebebasan-kebebasan t ersebut harus dilaksanakan oleh set iap
negara dengan mengindahkan hak negara lain dalam
melaksanakan kebebasan di Laut Lepas. Di samping mengat ur
hak-hak kebebasan-kebebasan di Laut Lepas, Konvensi ini j uga
mengat ur masalah konservasi dan pengelolaan sumber
kekayaan hayat i di Laut Lepas yang dahulu diat ur dalam
Konvensi Jenewa 1958 t ent ang Perikanan dan konservasi
sumber kekayaan hayat i di Laut Lepas.

6.

Rej im Pulau
Rej im Pulau diat ur dalam Bab t ersendiri dalam Konvensi ini
yang dihubungkan dengan masalah Laut Terit orial, Zona
Ekonomi Eksklusif dan Landas Kont inen.
Konvensi menent ukan bahwa pulau/ karang mempunyai Laut
Terit orial, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kont inen dengan
ket ent uan bahwa pulau/ karang yang t idak dapat mendukung
habit at manusia at au kehidupan ekonominya sendiri, t idak
mempunyai Zona Ekonomi Eksklusif at au Landas Kont inen
sendiri dan hanya berhak mempunyai Laut Terit orial saj a.

7.

Rej im Laut t ert ut up/ set engah t ert ut up
Penet apan lebar Laut Terit orial maksimal 12 mil laut dan Zona
Ekonomi Eksklusif yang lebarnya t idak melebihi 200 mil diukur
dari garis dasar Laut Terit orial, mengakibat kan bahwa perairan
Laut t ert ut up/ set engah t ert ut up yang dahulunya merupakan
Laut Lepas menj adi Laut Terit orial at au Zona Ekonomi Eksklusif
negara-negara di sekit ar at au berbat asan dengan laut
t ert ut up/ set engah
t ert ut up
t ersebut .
Rej im
laut
t ert ut up/ set engah t ert ut up diat ur dalam sat u Bab t ersendiri
dalam Konvensi ini.
Konvensi menganj urkan ant ara lain agar negara-negara yang
berbat asan
dengan
Laut
t ert ut up/ set engah
t ert ut up
mengadakan kerj asama mengenai pengelolaan, konservasi
sumber kekayaan alam hayat i dan perlindungan sert a
pelest arian lingkungan laut t ersebut .

8.

Rej im akses negara t idak berpant ai ke dan dari laut sert a
kebebasan t ransit
Jika dalam Konvensi Jenewa 1958 t ent ang Laut Lepas masalah

www.djpp.depkumham.go.id

ep

.g
m

ku
m

ha

hak akses negara t anpa pant ai diat ur dalam salah sat u pasal ,
Konvensi ini mengat ur masalah rej im akses negara t anpa pant ai
ke dan dari laut sert a kebebasan t ransit melalui negara t ransit
secara lebih t erperinci dalam sat u Bab t ersendiri.
Rej im ini berkait an dengan hak negara-negara t ersebut unt uk
ikut memanf aat kan sumber kekayaan alam yang t erkandung
dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Kawasan dasar laut
int ernasional.
Sesuai ket ent uan-ket ent uan dalam Konvensi, pelaksanaan hak
akses negara t idak berpant ai sert a kebebasan t ransit melalui
wilayah negara t ransit dan di Zona Ekonomi Eksklusif perlu
diat ur dengan perj anj ian bilat eral subregional dan regional.

9.

Kawasan Dasar laut Int ernasional
Kawasan Dasar Laut Int ernasional adalah dasar laut / samudera
yang t erlet ak di luar Landas Kont inen dan berada di bawah
Laut Lepas (lihat j uga uraian dalam but ir 4 dan but ir 5).
Konvensi menet apkan bahwa Kawasan Dasar Laut Int ernasional
dan kekayaan alam yang t erkandung di dasar laut dan t anah
dibawahnya merupakan warisan bersama umat manusia.
Tidak ada sat u negarapun boleh menunt ut at au melaksanakan
kedaulat an at au hak berdaulat at as bagian dari Kawasan Dasar
Laut Int ernasional at au kekayaan alam yang t erdapat di
dalamnya.
Demikian pula t idak sat u negarapun at au badan hukum at au
orang boleh melaksanakan pemilikan at as salah sat u bagian
dari kawasan t ersebut semua kegiat an di Kawasan Dasar Laut
Int ernasional dilaksanakan unt uk kepent ingan umat manusia
secara keseluruhan, maka pengelolaannya dilaksanakan oleh
suat u badan int ernasional, yait u Ot orit a Dasar Laut
Int ernasional (Int ernat ional Seabed Aut horit y).
Adapun
pengelolaannya didasarkan pada suat u sist em, yait u sist em
paralel, yakni selama Perusahaan (Ent erprise) sebagai wahana
ot orit a belum dapat beroperasi secara penuh, negara-negara
pesert a Konvensi t ermasuk perusahaan negara dan swast anya
dapat melakukan penambangan di Kawasan Dasar Laut
Int ernasional t ersebut berdasarkan suat u hubungan kerj a at au
asosiasi dengan Ot orit a. Konvensi Perserikat an Bangsa-Bangsa
t ent ang Hukum Laut ket iga dengan suat u resolusi yait u Resolusi
I,
menet apkan
pula
pembent ukan
Komisi
Persiapan
(Preparat ory Commission) yang t ugasnya adalah unt uk
mempersiapkan ant ara lain pembent ukan Ot orit a Dasar Laut
Int ernasional dan Pengadilan Int ernasional unt uk Hukum Laut .

10.

Perlindungan dan pemeliharaan lingkungan Laut
Walaupun perlahan-lahan akan t et api pada akhirnya t umbuh
kesadaran bahwa, sekalipun laut it u sangat l uas t et api sumbersumber kekayaan yang t erkandung di dalamnya t idak t anpa

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m

ep

ku
m

ha

bat as kelest arian. Penangkapan hidup j enis ikan selalu
mengandung sesuat u resiko bahwa kelangsungan hidup j enis
ikan t ersebut dapat t erancam dengan kepunahan.
Pengembangan
t eknologi
di
bidang
perikanan,
yang
memungkinkan penangkapan ikan dalam skala besar, dapat
mengakibat kan t idak hanya kepunahan j enis-j enis ikan akan
t et api j uga kemunduran besar bagi perusahaan-perusahaan
yang t ergant ung dari penangkapan j enis j enis ikan t ersebut .
Di samping it u t umbuh kesadaran, dalam art i keresahan,
megenai kelest arian lingkungan hidup, yang pada akhirnya
menggerakkan
Perserikat an
Bangsa-Bangsa
unt uk
menyelenggarakan Koperensi mengenai Lingkungan Hidup di
St ockholm dalam t ahun 1972 Pembuangan limbah secara t idak
t erkendali ke dalam laut an membawa akibat kerusakan yang
parah pada lingkungan laut .
Demikian pula, pencemaran yang diakibat kan oleh kecelakaan
t angker-t angker raksasa, sepert i Torrey Canyon dalam t ahun
1967 dan Amoco Cadit z dalam t ahun 1978, membawa
kerusakan yang sangat parah pada lingkungan hidup.
Berdasarkan kenyat aan-kenyat aan sebagaimana t ersebut di
at as, Konvensi menent ukan bahwa set iap negara mempunyai
kewaj iban unt uk melindungi dan melest arikan lingkungan laut .
Di samping it u Konvensi j uga menent ukan bahwa set iap negara
mempunyai hak berdaulat unt uk memanf aat kan sumbersumber kekayaan alamnya sesuai dengan kewaj ibannya unt uk
melindungi dan melest arikan lingkungan laut .

11.

Penelit ian ilmiah kelaut an
Konvensi menent ukan bahwa kedaulat an negara pant ai
mencakup pula pengat uran penelit ian ilmiah kelaut an di Laut
Terit orial at au Perairan Kepulauan. Hal t ersebut berart i bahwa
set iap penelit ian ilmiah kelaut an yang dilaksanakan dalam Laut
Terit orial/ Perairan Kepulauan hanya dapat dilaksanakan
dengan seizin negara pant ai. Konvensi menet apkan pula bahwa
negara pant ai mempunyai yurisdiksi unt uk penelit ian ilmiah
kelaut an di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kont inen.
Penelit ian ilmiah oleh negara asing at au organisasi
int ernasional sepanj ang t idak bert ent angan dengan ket ent uanket ent uan sebagaimana diat ur dalam Konvensi supaya diizinkan
oleh negara pant ai. Unt uk penelit ian ilmiah kelaut an yang
dilakukan di Laut Lapas berlaku kebebasan penelit ian dengan
ket ent uan bahwa penelit ian ilmiah yang dilakukan di Landas
Kont inen t unduk pada rej im penelit ian Landas Kont inen.
Demikian j uga bagi penelit ian ilmiah di Kawasan Dasar Laut
Int ernasional berlaku prinsip kebebasan penelit ian ilmiah yang
t unduk pada rej im Kawasan Dasar Laut Int ernasional.

12.

Pengembangan dan Alih Teknologi

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m

ku
m

ha

a.

ep

b.

13.

Negara-negara, secara langsung at au melalui organisasi
int ernasional yang berwenang, harus mengadakan
kerj asama sesuai dengan kemampuan masing-masing
unt uk secara akt if memaj ukan pengembangan dan
pengalihan ilmu penget ahuan dan t eknologi kelaut an;
Semua negara waj ib memaj ukan pengembangan
kemampuan ilmiah dan t eknologi kelaut an negaranegara yang memerlukan bant uan t eknik dalam bidang
t ersebut ,
khususnya
negara-negara
berkembang,
t ermasuk negara-negara t anpa pant ai dan yang secara
geograf is t idak berunt ung, yang memerlukan bant uan di
bidang eksplorasi dan eksploit asi, konservasi dan
pengelolaan
sumber-sumber
kekayaan
laut ,
perlindungan dan pelest arian lingkungan laut , penelit ian
ilmiah kelaut an, dengan t uj uan unt uk mempercepat
pembangunan sosial dan ekonomi negara- negara
berkembang.

Penyelesaian Sengket a
Konvensi menent ukan bahwa set iap Negara Pesert a Konvensi
harus menyelesaikan suat u sengket a mengenai penaf siran dan
penerapan Konvensi melalui j alan damai sesuai dengan
ket ent uan Pasal 2 ayat 3 Piagam Perserikat an Bangsa-Bangsa.
Konvensi ini mengat ur sist em penyelesaian sengket a, dimana
negara-negara pesert a berkewaj iban unt uk t unduk pada salah
sat u daripada lembaga penyelesaian sengket a sebagai berikut :
Mahkamah Int ernasional (I. C. J. ), Pengadilan Int ernasional
unt uk Hukum Laut , Arbit rasi Umum at au Arbit rasi Khusus.
Konvensi 1982 ini membent uk Pengadilan Int ernasional unt uk
Hukum Laut sebagai mahkamah t et ap (st anding t ribunal ) dan
Arbit rasi Umum sert a Arbit rasi Khusus sebagai mahkamah ad
hoc (ad hoc Tribunal). Set iap sengket a mengenai penaf siran
dan penerapan Konvensi dapat diaj ukan unt uk diselesaikan
oleh salah sat u dari ke empat macam lembaga penyelesaian
sengket a t ersebut di at as, kecuali sengket a mengenai
penaf siran dan penerapan Bab XI Konvensi mengenai Kawasan
Dasar Laut Int ernasional besert a lampiran-lampiran Konvensi
yang bert alian dengan masalah Kawasan Dasar Laut
Int ernasional, yang merupakan yurisdiksi mut lak Kamar
Sengket a Dasar Laut . Sej alan dengan masalah persiapan
pembent ukan organ-organ Ot orit a Dasar Laut Int ernasional ,
maka pembent ukan Pengadilan-Int ernasional unt uk Hukum
Laut besert a Kamar-kamar di dalamnya harus dipersiapkan pula
oleh Komisi Persiapan sesuai dengan ket ent uan Resolusi I yang
diambil oleh Konperensi PBB t ent ang Hukum Laut Ket iga, agar
dapat segera berf ungsi set elah Konvensi mulai berlaku.

www.djpp.depkumham.go.id

.g
m

Ket ent uan Penut up
Sebagaimana lazimnya, konvensi memuat ket ent uan-ket ent uan
penut up yang mengat ur masalah-masalah prosedural sepert i
penandat anganan, pengesahan dan konf irmasi f ormal, aksesi
dan berlakunya Konvensi, amandemen, deposit ori dan lainlainnya. Beberapa ket ent uan penut up yang pent ing yang
t erdapat pada Konvensi ini ant ara lain adalah :
a. Konvensi mulai berlaku 12 bulan set elah t ercapai
pengesahan oleh 60 negara;
b. Konvensi ini menggant ikan (prevail) Konvensi-konvensi
Jenewa 1958 mengenai Hukum Laut bagi para pihaknya;
c. Konvensi
ini
t idak
membenarkan
negara-negara
mengadakan pensyarat an (reservat ion) t erhadap ket ent uanket ent uan dalam Konvensi pada wakt u mengesahkan karena
seluruh ket ent uan Konvensi ini merupakan sat u paket yang
ket ent uan-ket ent uannya sangat erat hubungannya sat u
dengan yang lain, dan oleh karena it u hanya dapat disahkan
sebagai sat u kebulat an yang ut uh.

ep

ku
m

ha

14.

II.

Pasal DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup j elas
Pasal 2
Cukup j elas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3319

www.djpp.depkumham.go.id