TINJAUAN YURIDIS DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA KORUPSI MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG KORUPSI.

(1)

TINJAUAN YURIDIS DISPARITAS DALAM PENJATUHAN

PIDANA PADA PERKARA KORUPSI MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG KORUPSI

SKRIPSI

(Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jawa Timur)

Oleh :

DENNY AGUNG PRAKOSO NPM. 0671010050

YAYASAN KESEJAHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR

FAKULTAS HUKUM PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

SURABAYA 2011


(2)

PERSETUJUAN MENGIKUTI UJIAN SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS DISPARITAS DALAM PENJATUHAN

PIDANA PADA PERKARA KORUPSI MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG KORUPSI

Disusun Oleh :

DENNY AGUNG PRAKOSO NPM. 0671010050

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skripsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Subani, S.H., M.Si Mas Anienda Tien Fitriyah, S.H., M.H.

NIP.19510504 198303 1 001 NPT. 3 7709 07 0223

Mengetahui, D E K A N

Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP. 19620625 199103 1 001


(3)

PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN REVISI SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS DISPARITAS DALAM PENJATUHAN

PIDANA PADA PERKARA KORUPSI MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG KORUPSI

Disusun Oleh :

DENNY AGUNG PRAKOSO NPM. 0671010050

Telah dipertahankan Dihadapan dan Diterima olehTim Penguji Skirpsi Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Pembangunan Nasional ”Veteran” Jawa Timur Pada tanggal 11 Juni 2011

Tim Penguji :

1. Hariyo Sulistiyantoro, S.H., M.M. : ( ... ) NIP. 19620625 199103 1 001

2. H. Sutrisno, S.H., M.Hum. : ( ... ) NIP. 19601212 198803 1 001

3. Subani, S.H., MSi. : ( ... ) NIP. 19510504 198303 1 001

Mengetahui, D E K A N

Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.M NIP. 19620625 199103 1 001


(4)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Denny Agung Prakoso

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 8 Desember 1987

NPM : 0671010050

Konsentrasi : Pidana

Alamat : Gubeng Kertajaya IX C No. 25

Surabaya

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi saya dengan judul : ”TINJAUAN YURIDIS DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG KORUPSI” dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukm Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur adalah benar-benar hasil karya cipta saya sendiri, yang saya buat sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan hasil jiplakan (plagiat).

Apabila dikemudian hari ternyata skripsi ini hasil jiplakan (plagiat) maka saya bersedia dituntut di depan Pangadilan dan dicabut gelar kesarjanaan (Sarjana Hukum) yang saya peroleh.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dengan penuh rasa tanggung jawab atas segala akibat hukumnya.

Mengetahui Surabaya, 30 Juni 2011

KaProgdi Penulis,

Subani, S.H., M.Si Denny Agung Prakoso


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji bagi Allah SWT, yang tak henti-hentinya memberikan nikmat, karunia kepada setiap hambanya. Hanya kepada-Nyalah rasa syukur patut dipanjatkan atas terselesaikannya proposal yang berjudul: Tinjauan Yuridis Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana Pada Perkara Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Korupsi. Selesainya proposal ini tidak lepas dari bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini peneliti patutlah kiranya menyampaikan terima kasih kepada yang terhormat :

1. Bapak Haryo Sulistiyantoro, S.H., M.H. Dekan Fakultas Hukum UPN

”Veteran” Jatim.

2. Bapak H. Sutrisno, S.H., M.Hum., selaku WADEK I Fakultas hukum UPN ”Veteran” Jatim.

3. Bapak Subani, S.H., M.Si. selaku ketua Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jatim dan selaku pembimbing utama yang selalu memberikan dukungan, masukan, dan kesabaran dalam memberikan pengarahan terhadap peneliti.

4. Ibu Mas Anienda Tien Fitriyah, S.H., M.H selaku dosen pembimbing

pendamping yang selalu memberikan dukungan, masukan, dan kesabaran dalam memberikan pengarahan terhadap peneliti.


(6)

5. Bapak Panggung Handoko, S.Sos., S.H., M.M. selaku dosen wali yang bersedia direpoti untuk masalah peneliti selama kuliah di Progdi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jatim tercinta ini.

6. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh dosen di Progdi Ilmu Hukum Fakultas Hukum UPN ”Veteran” Jatim yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

7. Seluruh staf TU Fakultas hukum UPN ”Veteran” Jatim yang sabar dan ramah dalam melayani mahasiswa.

8. Bapak Rianto, S.H., dan Ibu Suratmi sebagai orang tua yang selalu

memberikan pelajaran mengenai arti sebuah kehidupan serta tak henti-hentinya memberikan bantuan baik secara moril maupun materiil dan doa. 9. Adikku Dita yang telah memberikan bantuan dan doanya.

10.Rekan-rekan Forum Hukum Sidoarjo ”FHS” yang telah membantu

memberikan masukan dan diskusinya terhadap peneliti, khususnya kepada mas Fathoni dari UNSURI Sidoarjo. Mas Purwaji, mas Suprapto dari UMSIDA Sidoarjo, serta Rio, Gufron, bagus, Hendro, Danu, mbak Nyoman dari UPN, dan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Sungguh peneliti harapkan saran dan kritik yang baik demi kesempurnaan skripsi ini. Dengan harapan bahwa skripsi ini Insya Allah akan berguna bagi rekan-rekan di Program Studi Ilmu Hukum.

Surabaya, Juni 2011 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN SKRIPSI... HALAMAN UJIAN SKRIPSI ... HALAMAN PERSETUJUAN DAN PENGESAHAN SKRIPSI ... KATA PENGANTAR ... DAFTAR ISI ... ABSTRAK ... BAB I PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang Permasalahan ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Manfaat Penelitian ... 1.5. Kajian Pustaka ... 1.6. Metodologi Penelitian ... 1.7. Pertanggungjawaban Sistematika ...

BAB II DISPARITAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI ...

2.1. Penerapan Disparitas ...

2.2. Putusan Pengadilan Dalam Kasus Tindak Pidana

Korupsi yang Didalamnya Menerapkan Disparitas ...

BAB III AKIBAT HUKUM DISPARITAS PENJATUHAN

PIDANA PADA PERKARA KORUPSI ...

i ii iii iv v vii ix 1 1 4 4 4 5 28 31 32 32 36 50


(8)

3.1. Faktor yang Mempengaruhi Terhadap Penjatuhan Pidana Pada Perkara Korupsi ... 3.2. Akibat Hukum Putusan Disparitas ... 3.3. Upaya Hukum ... BAB IV PENUTUP ...

4.1. Kesimpulan ... 4.2. Saran ... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

50 56 58 63 63 64


(9)

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAWA TIMUR FAKULTAS HUKUM

Nama Mahasiswa : Denny Agung Prakoso

NPM : 0671010050

Tempat/Tanggal Lahir : Surabaya, 8 Desember 1987

Program Studi : Strata 1 (S1)

Judul Skripsi :

TINJAUAN YURIDIS DISPARITAS DALAM PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 20

TAHUN 2001 TENTANG KORUPSI ABSTRAKSI

Penelitian yang berjudul ”Disparitas Dalam Penjatuhan Pidana Pada Perkara Korupsi Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Korupsi” bertujuan pertama untuk mengetahui dan menganalisis dalam hal bagaimana disparitas itu dapat dijatuhkan untuk perkara korupsi. Kedua untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum disparitas penjatuhan pidana pada perkara korupsi.

Metode penelitian yang digunakan yuridis normatif yaitu merupakan penelitian hukum terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder terutama yang berkaitan dengan materi yang dibahas.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan pertama, disparitas itu dapat dijatuhkan untuk perkara korupsi asalkan hakim dalam putusannya didasarkan atas pertimbangan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. Kecuali yang tesebut dalam pada huruf a,e,f dan h, apabila terjadi sesuatu kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum, sesuai dengan ketentuan pasal 197 Ayat (1) huruf f KUHAP beserta penjelasannya. Kedua akibat hukum disparitas penjatuhan pidana pada perkara korupsi, di mana hakim yang menjatuhkan putusan tidak didasarkan atas tidak mencatumkan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, bukan karena terjadi salah ketik, melainkan ada suatu kesengajaan dengan berbagai pertimbangan yang perlu dicurigai, maka putusan tersebut adalah batal demi hukum.


(10)

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Permasalahan

Negara Indonesia adalah negara hukum demikian ketentuan pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah saru ciri dari negara hukum adalah menghormati dan melindungi hak-hak asasi manusia. Perlindungan hak-hak asasi manusia salah satu di antaranya yaitu perlakuan yang sama bagi setiap warga negara sesuai dengan pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Di dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman (selanjutnya disingkat UU No. 4 Tahun 2004), dijelaskan bahwa:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Peradilan yang bebas sebagaimana pasal 24 ayat (1) UUD 1945, bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, dipertegas oleh pasal 1 UU No. 4 Tahun 2004, bahwa ”Kekuasan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi


(11)

terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.

Kekuasaan kehakiman yang bebas merdeka tidak terdapat penjelasan lebih lanjut, hanya saja dalam memutuskan suatu perkara hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa sesuai dengan pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004. Negara hukum memberikan perlakuan yang sama dalam hukum di antaranya adalah suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya sebagaimana pasal 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP).

Sejalan dengan konsep Negara Hukum, peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman harus memegang teguh asas “Rule of Law”. Untuk menegakkan Rule of Law para hakim dan mahkamah pengadilan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

a. Supremasi Hukum

b. Equality Before the Law c. Human Rights

Ketiga hal tersebut adalah konsekuensi logis dari prinsip-prinsip Negara hukum. Yakni :

a. Asas Legalitas (Principle of Legality)

b. Asas Perlindungan HAM (Principle of Protection of Human Rights) c. Asas Peradilan Bebawd (Free Justice Principle).1

1

Moh. Kusnardi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1983, h. 39.


(12)

Berdasarkan pada fungsi peradilan diatas maka perilaku jajaran aparat penegak hukum, khususnya perilaku hakim menjadi salah satu barometer utama untuk melihat keberhasilan, keobyektifan, dari proses penegakan hukum yaitu terwujud dalam putusannya, sehingga dapat untuk mengukur tegak tidaknya hukum dan undang-undang. Aparat penegak hukum menjadi titik netral dalam proses penegakan hukum yang harus memberikan teladan dalam menjalankan hukum dan undang-undang. Dalam praktek, prinsip-prinsip peradilan yang bebas tidak selalu konsisten diterapkan dan dilaksanakan dalam kehidupan praktek peradilan, sering terjadi kesenjangan dalam putusan terhadap pelaku tindak pidana sehingga bermunculan issu yang seringkali muncul seperti, mafia peradilan, menyuap, konspirasi, KUHP disingkat menjadi (Kasih Uang Habis Perkara), dan istilah - istilah lain. Issu seperti ini akan muncul ketika terjadi ketidakadilan dalam proses peradilan. Dalam dunia hukum terjadinya perbedaan menyolok dalam proses penjatuhan putusan pidana terhadap pelaku dalam perkara yang sama atau berkarakter sama, biasa disebut Disparitas Pidana. Adanya disparitas pidana ini menjadi sangat menarik untuk dikaji lebih dalam. Paling tidak ada dua aspek yang menonjol, yaitu tentang hak-hak apa yang menyebabkan terjadinya disparitas pemidanaan dan dampak akan akibat apa yang muncul dari disparitas pidana.

Dibahasnya mengenai disparitas putusan hakim ini ada kaitannya dengan keinginan untuk mengetahui kasus tindak pidana korupsi yang telah diputus oleh Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, ternyata kasus anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang merumuskan anggaran kesejahteraan


(13)

anggota DPRD tersebut ada indikasi mengarah pada tindak pidana korupsi. Perumus anggaran tersebut terdiri atas 6 (enam) anggota dan dipisah dalam 2 (dua) persidangan di mana 4 (empat) orang anggota dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama oleh Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat kasasi masing-masing dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun, sedangkan 2 (dua) anggota lainnya dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebagaimana tersebut di atas, maka yang dipermasalahkan dalam skripsi ini adalah:

1.2.1. Dalam hal bagaimana disparitas itu dapat dijatuhkan untuk perkara korupsi?

1.2.2. Apa akibat hukum disparitas penjatuhan pidana pada perkara korupsi ?

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Untuk mengetahui dan menganalisis dalam hal bagaimana disparitas itu dapat dijatuhkan untuk perkara korupsi.

1.3.2. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum disparitas penjatuhan pidana pada perkara korupsi.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1.Sebagai sumbangan pemikiran dalam ilmu pengetahuan hukum, khu susnya mengenai asas kebebasan hakim dalam memeriksa perkara pidana umumnya dan pidana korupsi khususnya, karena tidak jarang kasus yang sama putusannya berbeda..


(14)

1.4.2. Sebagai masukan yang berkaitan dengan pihak-pihak diadili dalam perkara korupsi yang ternyata putusannya berbeda dan digunakan sebagai sumbangan pemikiran penegak hukum dalam mengadili perkara korupsi agar terhindar disparitas putusan hakim.

1.5. Kajian Pustaka a. Pengertian Korupsi

Sehubungan dengan penggunaan keuangan atau perekenomian negara diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU Korupsi). Korupsi berarti menggunakan uang atau perekonomian negara, menurut Penjelasan Umum UU Korupsi disebutkan: Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Korupsi berasal dari bahasa latin “corruptio” atau “corruptus” Yang mempunyai arti harafiah "kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau menfitnah".2 Di dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi

2


(15)

tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana korupsi apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang memenuhi keseluruhan unsur-unsurnya sebagai berikut:

a. melawan hukum

b. melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Melawan hukum, menurut penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Korupsi, yang dimaksud dengan "secara melawan hukum" dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formal maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat. Maka perbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata "dapat” sebelum rasa "merugikan keuangan atau perekonomian negara" menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat.

Melawan hukum merupakan salah satu unsur penting dari suatu tindak pidana. Menurut Ridwan Halim, yang dimaksud dengan melawan hukum ialah suatu perbuatan atau perbuatan-perbuatan yang pada dasarnya:

a. Merupakan tindakan manusia baik secara aktif (berbuat) maupun secara pasif (mendiamkan). Yang dimaksud secara aktif ialah berbuat sesuatu yang dilarang dan diancam hukuman oleh Undang-undang sedangkan yang


(16)

dimaksud secara pasif ialah mendiamkan atau tidak melakukan perbuatan yang sebenarnya diwajibkan oleh undan-undang.

b. Dilarang oleh hukum atau Undang-undang dengan ancaman hukum adat istiadat/kebiasaan/tata kesusilaan dan kesopanan yang hidup dalam masyarakat.3

Menurut doktrin unsur "melawan hukum" itu dapat dikupas dari sudut pandang atas unsur formal dan unsur materiil, yaitu:

a. Melawan hukum secara formil (menurut Simons) ialah suatu perbuatan yang mengandung suatu unsur atau beberapa ansur yang dalam Undang-undang nyata-nyata ditulis atau ditegaskan sebagai hal yang melawan hukurn.

b. Melawan hukum secara materiil (menurut Van Hamel) ialah suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup dalam masyarakat (baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis atau kebiasaan) dipandang sebagai parbuatan yang melawan hukum, meskipun Undang-undang mungkin tidak menegaskan demikian.4

Dalam tindak pidana korupsi, terdapat pengertian melawan hukum secara materiil yang bersifat negatif, yaitu melawan hukum formil dan hukum materiil, yakni perbuatan tersebut dikatakan melawan hukum apabila perbuatan tersebut melanggar undang-undang, tidak sesuai dengan norma yang hidup dalam masyarakat. Jadi meski perbuatan itu tidak diatur dalam perundang undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela, karena tidak sesuai rasa keadilan atau norma kehidupan sosial di masyarakat, maka perbuatan itu dapat dipidana.

Unsur yang kedua adalah melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi. Menurut pendapat Darwan Prins adalah sebagai berikut:

3

Ridwan Halim, Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, h. 51

4 Ibid.


(17)

1. memperkaya diri sendiri, artinya bahwa dengan melakukan perbuatan melawan hukum itu pelaku menikmati bertambahnya kekayaan atau harta benda miliknya sendiri;

2. memperkaya orang lain maksudnya, akibat perbuatan melawan dari pelaku, ada orang lain yang menikmati bertambahnya kekayaannya atau bertambahnya harta bendanya. Jadi, disini yang diuntungkan bukan pelaku langsung;

3. memperkaya korporasi, atau mungkin juga yang mendapat keuntungan dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pelaku adalah suatu korporasi.5

b. Tindak Pidana Korupsi

Sedangkan tindak pidana korupsi menurut Pasal 3 UU Korupsi, setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Pasal 33 UU Korupsi di dalamnya terkandung unsur-unsur:

a. dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

b. menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan;

c. dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Unsur yang pertama yakni dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi sudah dijelaskan diatas dimana pengertiannya berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan mendatangkan keuntungan.

Unsur yang kedua adalah menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan.

5

Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, h. 1.


(18)

Seseorang baru dapat dikatakan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana, jika seseorang tersebut mempunyai jabatan atau kedudukan. Pengertian pejabat diatur dalam Pasat 92 KUHP yang menentukan:

a. orang-orang yang dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum;

b. orang-orang yang bukan karena pilhan menjadi anggota badan pembuat undang-undang, badan pemerintahan atau badan perwakilan rakyat yang dibentuk oleh pemerintah atau atas nama pemerintah;

c. semua anggota waterschtap;

d. sernua kepala rakyat Bumiputera dan kepala golongan Timur Asing yang menjalankan kekuasaan yang syah;

e. Hakim, termasuk pula Hakim wasit, serta orang-orang yang menjalankan peradilan admirtistratif atau ketua-ketua dan anggota peradilan agama; f. Semua anggota angkatan perang.

Unsur yang ketiga yakni dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Mengenai merugikan keuangan negara yang merupakan salah satu unsur pokok korupsi sesuai dengan Konsideran UU Korupsi butir a bagian menimbang sebagai berikut, "Bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efisiensi tinggi". Mengenai perekonomian negara diatur dalam Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai berikut: "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional".

Keuangan negara yang dimaksud menurut Penjelasan Umum 3 UU Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan


(19)

atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kawajiban yang timbul karena:

(a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah;

(b) Berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara! Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau, perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan negara. Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.

Dalam jenis tindak pidana korupsi ada 2 macam, yaitu:

1. Korupsi sesuai dengan undang-undang (Administrative Coruption).

Dimana segala sesuatu yang dijalankan adalah sesuai dengan hukum atau peraturan yang berlaku. Akan tetapi, individu-individu tertentu memperkaya dirinya sendiri. Terdapat dalam pasal 13 UU Korupsi.

2. Korupsi bertentangan dengan undang-undang (Against The Rule

Corruption).

Korupsi yang dilakukan adalah sepenuhnya bertentangan dengan hukum. Misalnya penyuapan, penyalahgunaan jabatan untuk memperkaya


(20)

diri sendiri atau orang lain. Terdapat dalam Pasal 2,3,5,6,7,8,9,10,11,12 UU Korupsi”6

c. Putusan dan Konsekuensi Yuridis Terhadap Putusan Hakim

Menurut Pasal 1 angka 11 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP): “Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebasatau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini.”

Dalam hal ini ada 2 (dua) sifat putusan dari hakim yaitu berdasarkan Pasal 191 Ayat (1) dan (2) KUHAP serta Pasal 3 Ayat (1) KUHAP, yaitu: a. Pasal 191 KUHAP menentukan:

(1)Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2)Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan

kepada Terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.

(3)Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dan (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

b. Pasal 193 Ayat (1) KUHAP yang menentukan:

Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

Dari ketentuan diatas, maka ada 2 (dua) sifat putusan hakim yaitu:

1. Putusan pemidanaan, apabila yang didakwakan oleh penuntut umum

dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan

6


(21)

menurut hukum.

2. Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (Vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntan hukum (Onslag van recht

vervolging.”7

Hakikatnya putusan pemidanaan merupakan putusan hakim berisikan suatu perintah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan maka hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan.”8

d. Disparitas

Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam putusan perkara pidana dikenal adanya suatu kesenjangan dalam penjatuhan pidana yang lebih dkenal dengan disparitas. Menurut Muladi, disparitas adalah “penerapan pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas”.9 Disparitas pidana menurut Harkristuti Harkrisnowo dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun

7Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat

Dakwaan , Eksepsi dan Putusan Peradilan),( (selanjutnya disebut Lilik Mulyadi 1)), Citra Aditya

Bakti, Bandung, 1996, h.126 8

Ibid, h.127

9

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h. 52.


(22)

demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.10

Dari pengertian tersebut dapatlah kita lihat bahwa disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan. Lebih spesifik dari pengertian itu, menurut Harkristuti Harkrisnowo disparitas pidana dapat terjadi dalam beberapa kategori yaitu:

1. Disparitas antara tindak pidana yang sama

2. Disparitas antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama

3. Disparitas pidana yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim

4. Disparitas antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama 11

Dari pendapat Harkristuti Harkrisnowo itulah dapat kita temukan wadah dimana disparitas tumbuh dan menyejarah dalam penegakan hukum di Indonesia. Disparitas tidak hanya terjadi pada tindak pidana yang sama, tetapi juga pada tingkat keseriusan dari suatu tindak pidana, dan juga dari putusan hakim, baik satu majelis hakim maupun oleh majelis hakim yang berbeda untuk perkara yang sama. Tentu saja kenyataan mengenai ruang lingkup tumbuhnya disparitas ini menimbulkan inkonsistensi di lingkungan peradilan.

10

Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan

terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi

April 2003, (Jakarta:KHN,2003) h.28. 11

Ibid.


(23)

Faktor yang dapat menyebabkan timbulnya disparitas pidana adalah tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana.

Sudarto mengatakan12 bahwa pedoman pemberian pidana akan

memudahkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya. Pedoman pemberian pidana itu memuat hal-hal yang bersifat objektif mengenai hal hal yang berkaitan dengan si pelaku tindak pidana sehingga dengan memperhatikan hal-hal tersebut penjatuhan pidana lebih proporsional dan lebih dipahami mengapa pidananya seperti hasil putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pendapat sudarto ini dibenarkan pula oleh Muladi, karena masalahnya bukan menghilangkan disparitas secara mutlak, tetapi disparitas tersebut harus rasional.13

Hal ini sesuai pula dengan salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang menyatakan: “Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator

12

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, h. 9 13


(24)

dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan).

Dalam rangka usaha untuk mengurangi disparitas pidana, maka didalam konsep rancangan KUHP yang baru buku I Tahun 1982, pedoman pemberian pidana itu diperinci sebagai berikut:14

Dalam pemidanaan hakim mempertimbangkan: 1. Kesalahan pembuat

2. Motif dan tujuan dilakukannya tindak pidana 3. Cara melakukan tindak pidana

4. Sikap batin pembuat

5. Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pembuat

6. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana 7. Pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat

8. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. 1. Masalah Patokan Pidana

Hal lain yang dapat menimbulkan disparitas pidana adalah ketidakadaan patokan pemidanaan dalam perundang-undangan kita maupun dalam praktek di pengadilan. Tanpa pedoman yang memadai dalam

14


(25)

undang hukum pidana dikhawatirkan masalah disparitas pidana dikemudian hari akan menjadi lebih parah dibandingkan dengan saat ini.

Senator Edward M. Kennedy, seperti yang dikutip Eddy Djunaedy15 mengatakan bahwa dengan tidak adanya pedoman dalam hukum pidana, keanekaragaman pidana akan terjadi walaupun hakim-hakim akan melaksanakan tugas pemidanaan dengan penuh tanggung jawab dan secermat mungkin.

Maksud dari patokan pemidanaan menurut Edward M. Kennedy adalah pidana rata-rata yang dijatuhkan hakim dalam wilayah pengadilan tertentu, misalnya wilayah pengadilan tinggi Jakarta Pusat. Dengan demikian pidana yang terlalu ekstrim, terlalu berat, atau terlalu ringan dapat dibatasi. Patokan tersebut tidak bersifat mutlak. Setiap majelis hakim bebas untuk menyimpang dari patokan tersebut asal saja dengan memberikan pertimbangan yang cukup dalam putusannya.

Faktor eksternal yang membuat hakim bebas menjatuhkan pidana yang bersumber pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana, karena tersedia

15


(26)

jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan perundang-undangan pidana. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 12 ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut. Sedangkan dalam ayat (4) nya diatur bahwa pidana penjara selam waktu tertentu sekali sekali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Demikan pula dengan halnya pidana kurungan dalam pasal 18 ayat 1 KUHP, dinyatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan dalam pasal 18 ayat 3 KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan. Didalam pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan.

Menyangkut faktor yang bersumber pada diri hakim terutama yang menyangkut profesionalitas dan integritas untuk menaruh perhatian terhadap perkara yang ditangani dengan mengingat tujuan pemidanaan yang hendak dicapai, maka terhadap perbuatan perbuatan pidana yang sama pun akan dijatuhkan pidana yang berbeda beda.16

Oleh karena itu dapatlah dikatakan bahwa disparitas dalam pemidanaan disebabkan oleh hukum sendiri dan penggunaan kebebasan hakim, yang meskipun kebebasan hakim diakui oleh undang—undang dan

16

Gregorius Aryadi, “Putusan Hakim dalam Perkara Pidana” (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta), h.33.


(27)

memang nyatanya diperlukan demi menjamin keadilan tetapi seringkali penggunannya melampaui batas sehingga menurunkan kewibawaan hukum di Indonesia.

Problematika mengenai disparitas pidana yang telah tumbuh dalam penegakan hukum ini tentu menimbulkan akibat yang tidak bisa dielakkan. Akibat dari disparitas pidana yang menyolok ini, menurut Edward M. Kennedy, sebagaimana juga dikutip Barda Nawawi ialah:17

1. Dapat memelihara tumbuhnya atau berkembangnya perasaan sinis masyarakat terhadap sistem pidana yang ada

2. Gagal mencegah terjadinya tindak pidana 3. Mendorong terjadinya tindak pidana

4. Merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar. Dari pandangan Edward M. Kennedy tersebut dapatlah kita ketahui bahwa akibat dari adanya disparitas pidana tidak sesuai dengan tujuan hukum pidana dan semangat dari falsafah pemidanaan. Disparitas pidana semakin menimbulkan kekacauan dalam masyarakat, tidak hanya menyakiti rasa keadilan masyarakat, tetapi juga mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pidana. Kondisi inilah yang kemudian menjadi bentuk dari kegagalan penegakan hukum pidana, dimana penegakan hukum malah diartikan sesuatu yang tidak penting oleh masyarakat.

Suatu fakta hukum dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, dalam hal ini, ada juga ahli hukum yang tidak sependapat bahwa disparitas hanya

17

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.cit, h. 8


(28)

membawa dampak negatif sehingga harus diminimalisasi, mereka tidak memandang disparitas pidana sebagai suatu kesalahan atau cacat tubuh dalam penegakan hukum pidana di Indonesia. Sehubungan dengan hal ini, Oemar Seno Adji berpendapat bahwa disparitas di dalam pemidanaan dapat dibenarkan, dalam hal sebagai berikut:

1. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan terhadap penghukuman delik-delik yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas

2. Disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar.18

Pendapat lain pun mengungkapkan hal yang hampir serupa dengan pandangan Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa terhadap pengaruh negatif disparitas pidana tidaklah diatasi dengan cara menyeragamkan pidana dalam kasus yang sama, tetapi hendaknya putusan tersebut mendasarkan alasan atau dasarnya yang rasional.19

Dari pandangan Oemar Seno Adji, dapat kita lihat bahwa pandangannya tentang disparitas pemidanaan merupakan sebuah pembenaran, dengan ketentuan bahwa disparitas harus didasarkan pada alasan alasan yang jelas dan dapat dibenarkan. Pandangan ini sejalan dengan asas kebebasan hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara yang diajukan padanya. Pandangan ini pun merupaka bentuk refleksi dimana hakim dalam usahanya untuk tetap menjaga kewibawaan hukum, harus dapat mempertanggungjawab-kan putusan yang dihasilkannya dengan

18

Oemar Seno Adji, “Hukum-hukum Pidana”, Jakarta-Erlangga, 1984, h. 28-29 19

Nurul Widiasih Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar lampung. Tesis Jakarta, juli 2009


(29)

memberikan alasan yang benar dan wajar tentang perkara yang diperiksanya. jika hal ini diterapkan, secara logika tentu saja disparitas pidana akan dapat diterima oleh masyarakat dengan tidak mengusik kepuasan masyarakat terhadap putusan hakim dan juga tidak mengoyak rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Problematika mengenai Disparitas pidana dalam penegakkan hukum di Indonesia memang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Yang dapat ditempuh hanyalah upaya-upaya dalam rangka meminimalisasi dispatitas pidana yang terjadi dalam masyarakat. Dengan berbagai pandangan sarjana dihubungkan dengan falsafah pemidanaan dan tujuan hukum itu sendiri maka solusinya dapatlah kita gunakan pandangan dari Muladi yang menyatakan bahwa upaya terpenting yang harus ditempuh dalam menghadapi problematika disparitas pidana adalah perlunya penghayatan hakim terhadap asas proporsionalitas antara kepentingan masyarakat, kepentingan Negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.20

Sehubungan dengan ini Hazewinkel Suringa dan Remmelink menyimpulkan bahwa soal penjatuhan pidana tidak akan dan tetap tidak akan memberi pemecahan yang memuaskan, ia sukar memungkinkan adanya garis yang tetap untuk itu. Oleh Karena itu, untuk menghilangkan disparitas pidana sama sekali adalah tidak mungkin, yang perlu diusahakan adalah pemidanaan yang tepat dan serasi (consistency of sentence). Dalam

20


(30)

hal ini pemidanaan tidak dimaksudkan untuk mencapai uniformitas atau penyatuan mutlak, karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, aturan batas maksimal dan minimal pemidanaan dan bertentangan pula dengan rasa keadilan dan keyakinan hakim. Dalam keadaan ini, untuk dapat menempuh jalan tengah, ia mengutip Oimen dengan menyatakan bahwa yang menjadi hal pokok bukanlah untuk memberikan pidana yang sama, tetapi untuk berusaha dengan menggunakan kata-kata Robert Kennedy “Not

making sentence equal, but in making sentencing philosiophies agree”

(bukan memjadikan pidana sama, tetapi menjadikan falsafah pemidanaan serasi).21

e. Disparitas Korupsi

Disparitas dalam tindak pidana korupsi yang dimaksud adalah “penerapan pidana (disparity of sentencing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama (same offence) atau terhadap tindak pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan tanpa dasar pemberian yang jelas”.22 Disparitas pidana menurut Harkristuti Harkrisnowo dipersepsi publik sebagai bukti ketiadaan keadilan (societal justice). Sayangnya, secara yuridis formal, kondisi ini tidak dapat dianggap telah melanggar hukum. Meskipun demikian, seringkali orang melupakan bahwa elemen “keadilan” pada dasarnya harus melekat pada putusan yang diberikan oleh hakim.23

21

Oemar Senoadji, Op.cit, h. 24 22

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005, h. 52.

23

Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan

terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi


(31)

Pengertian tentang Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Korupsi, yang menentukan bahwa:

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Menurut penjelasan umum UU Korupsi yang dimaksud dengan perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan pada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Adapun penggolongan subyek hukum tindak pidana korupsi menurut Pasal 1 Ayat (3) UU Korupsi, meliputi: “Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.”

Subyek hukum disini adalah orang yang dibebani hak dan kewajiban hukum. Sanksi pidana menurut “Roeslan saleh ialah reaksi atas delik dan ini berwujud nestapa yang dengan sengaja dilimpahkan negara pada pembuat delik itu.”24 Dalam sanksi pidana di KUHP dikenal sanksi pidana minimum dan sanksi pidana maksimum. Untuk sanksi pidana minimum diatur dalam Pasal 12 Ayat (2) KUHP yang menentukan: “Pidana penjara selama waktu

24

A.Hamzah, dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di


(32)

tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.” Sedangkan sanksi pidana penjara maksimum secara umum tertuang dalam pasal 12 Ayat (2) KUHP yaitu 15 tahun berturut-turut, dan juga dalam Pasal 12 Ayat (4) KUHP menentukan: “Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.”

Dikenal juga sanksi pidana penjara seumur hidup yang diatur dalam Pasal 12 Ayat (3) KUHP sebagai berikut:

“Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antara pidana penjara selama waktu tertentu; boleh juga hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena bebarengan (concursus), pengulangan (residivis) atau karena yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52a (L.N 1958 No.127).”

Dalam ketentuan hukum pidana dikenal hukum pidana umum dan hukum pidana khusus, menurut E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi:

a. Hukum pidana umum adalah ketentuan hukum pidana yang berlaku secara umum bagi semua orang.

b. Hukum pidana khusus adalah karena peraturannya yang secara khusus yang ada kalanya bertitik berat kepada kekhususan suatu golongan tertentu (militer dan yang dipersamakan) atau suatu tindak pidana tertentu seperti


(33)

pemberantasan tindak pidana ekonomi, korupsi dan lain sebagainya.”25 Prinsip pemberlakuannya bahwa hukum pidana khusus lebih diutamakan daripada hukum pidana umum lebih dikenal dengan asas Lex

Spesialis Derogat Lex Generalis. Tindak pidana korupsi adalah suatu tindak

pidana yang masuk dalam kategori kejahatan berat (Extra Ordinary Crime) sehingga diatur diluar KUHP yaitu UU Korupsi, karena perbuatan ini selain dapat merugikan masyarakat juga dapat merugikan keuangan negara.

f. Dasar putusan hakim

Tugas hakim secara normatif diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu:

1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang (Pasal 5 ayat (1).

2. Membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan (Pasal 5 ayat (2).

3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat (1)). 4. Memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada

lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta (Pasal 27 ayat (1)).

25

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan


(34)

5. Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1)).

6. Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib

memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)).

Perihal putusan tersebut harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan atau meringankan terdakwa, merupakan suatu fakta yang harus jelas diuraikan sesuai dengan apa yang ditemukan dalam pemeriksaan sidang pengadilan, mesti jelas diungkap dalam uraianm pertimbangan putusan. Karena landasan yang dipergunakan sebagai dasar titik tolak untuk menentukan berat ringannya hukuman pidana yang akan ditimpakan kepada terdakwa, tidak lepas dari fakta dan keadaan yang memberatkan atau meringankan.26 Oleh karena pertimbangan hukum yang memberatkan dan meringannya terdakwa tersebut merupakan bagian dari ketentuan pasal 197 KUHAP, maka jika suatu putusan tidak disertakan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, maka akan dapat mempengaruhi putusan tersebut.

Di samping tugas hakim secara normatif, hakim juga mempunyai tugas secara konkrit dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara melalui tindakan secara bertahap yaitu:

1. Mengkonstatir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa konkrit. Hakim harus mengkonstatir peristiwa konkrit yang disengketakan. Untuk dapat mengkonstatir peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus dibuktikan lebih

26

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Kuhap, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hlm. 361.


(35)

dahulu. Tanpa pembuktian hakim tidak boleh mengkonstatir atau menyatakan suatu peristiwa konkrit itu benar-benar terjadi. Mengkonstatir berarti menyatakan benar terjadinya suatu peristiwa konkrit.

2. Mengkualifisir yaitu menetapkan atau merumuskan peristiwa hukumnya. Hakim menilai peristiwa yang telah dianggap benar-benar terjadi itu termasuk dalam hubungan hukum yang mana. Mengkualifisir adalah kegiatan untuk mencari dan menemukan hukumnya atau undang-undangnya untuk dapat diterapkan pada peristiwa konkrit, peristiwa konkrit itu harus diarahkan kepada undang-undangnya, sebaliknya undang-undangnya harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkrit.

3. Mengkonstituir atau memberikan konstitusinya, yaitu hakim menetapkan hukumnya dan memberi keadilan kepada para pihak yang bersangkutan. Di sini hakim mengambil kesimpulan dari adanya premis mayor (peraturan hukumnya) dan premis minor (peristiwanya). Dalam memberikan putusan, hakim perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan secara proporsional yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.

Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya direktiva/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara.27 Namun dalam kenyataannya hakim dalam menangani suatu perkara sering dipengaruhi oleh pihak lain. Dalam membuat suatu putusan terhadap perkara korupsi banyak

27

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat


(36)

dipengaruhi oleh pihak yang berkepentingan tetapi kita tetap pada aturan yang ada. Tidak boleh terpengaruh terhadap intervensi.

Hakim dalam usaha penerapan hukum demi keadilan di persidangan harus menyadari tanggung jawabnya sehingga bila bertindak dan berbuat tidaklah sekedar menerima, memeriksa kemudian menjatuhkan putusan, melainkan keseluruhan perbuatan itu diarahkan guna mewujudkan Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa. Inilah yang harus diwujudkan oleh hakim dalam sidang pengadilan yang sekaligus sebagai realisasi dari tanggung jawabnya.

Hakim akan tetap bekerja dan berusaha untuk mewujudkan keadilan meskipun kasus yang dihadapi tidak ada hukumnya. Bila menemukan kasus yang tidak ada hukumnya, hakim berusaha mencari dengan menggali dan menemukan hukumnya dengan bersandarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hal ini harus dilakukan sebab sudah merupakan suatu kewajiban menurut undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 Tahun 2004 dalam Pasal 28 disebutkan:

(1) Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

(2) Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memerhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

Hakim dalam memeriksa perkara diakhiri dengan putusan. Putusan pengadilan atau yang biasa disebut dengan putusan hakim sangat diperlukan untuk menyelesaikan suatu perkara pidana. Dengan adanya putusan hakim diharapkan para pihak dalam perkara khususnya terdakwa dapat memperoleh kepastian


(37)

hukum tentang statusnya sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain menerima putusan, melakukan upaya hukum banding, kasasi, grasi dan sebagainya.

1.6. Metodologi Penelitian

Sebagaimana telah diketahui bahwa ilmu pengetahuan itu harus dapat diuji kebenarannya, untuk dapat membuktikan kebenaran ilmiah dari penelitian yang dilaksanakan. Masalah yang akan diteliti ruang lingkupnya dibidang hukum, yaitu hukum sebagai aturan hidup manusia untuk dapat mewujudkan ketertiban dan keadilan. Sebagai aturan hidup manusia hukum itu bersifat Normatif, yang terdiri dari norma-norma (kaidah-kaidah, patokan, ketentuan) yang tertulis dalam bentuk Perundang-undangan dan yang tidak tertulis dalam bentuk kebiasaan-kebiasaan berperilaku yang tetap dalam bentuk hukum adat yang hidup dalam masyarakat.28

a. Tipe dan Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe yuridis normatif yaitu yang mencakup kajian pokok adalah azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi (penyesuaian) hukum dan perbandingan hukum atau sejarah hukum yang menyangkut materi hukum pidana, maka pendekatan normatifnya dengan membaca, mempelajari dan menguraikan tentang norma-norma, pasal-pasal perundangan, pendapat para ahli dibidang hukum pidana,29 yang mengatur tentang disparitas dalam tindak pidana korupsi.

28

Himawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995, h. 59

29


(38)

b. Sumber Bahan Hukum

Penelitian masalah ini dari Sumber data sekunder yaitu data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan hasil dokumentasi penelitian orang lain dalam bentuk buku-buku ilmu hukum,30 Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai

kekuatan mengikat secara umum (Perundang-undangan) atau mempunyai kekuatan mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (seperti : kontrak, konvensi, dokumen hukum)”.31 Bahan penelitian ini terdiri dari beberapa Perundang-undangan di antaranya Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan Undang-undang.

Berdasarkan teori di atas, maka bahan hukum primer yang digunakan adalah :

1. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

2. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer.32 Bahan hukum sekunder di antaranya literatur, makalah dan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas.

30

Ibid, h. 65. 31

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandungh, 2004, h. 82.

32


(39)

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.33 (Seperti : Kamus hukum).

c. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1) Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang terkait dengan pokok permasalahan menggunakan jenis normatif, untuk menganalisis data ini adalah studi dokumen/bahan pustaka,34 dengan cara mempelajari buku-buku, Undangp-Undang, yang terkait.

2) Pengolahan Data

Setelah semua data yang sudah terkumpul masih berupa bahan mentah, maka pengolahan dan dengan metode editing, yaitu memeriksa atau membetulkan data agar dapat dipertanggungjawabkan, seperti apakah jawaban salah/benar’.

d. Teknik Analisis

Data yang diperoleh berupa data sekunder, penyajian data dilakukan dengan menganalisanya, dilakukan secara metode kwalitatif dan deskriptif yaitu suatu metode memfokuskan pada suatu pemecahan masalah yang ada, menafsirkan dan menguraikan permasalahan, kemudian mengkaji dan menguji teori-teori yang ada.35

33

Ibid. 34

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005, h. 141.

35

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum¸ Universitas Indonesia, Jakarta, 1984, h. 16.


(40)

1.7. Pertanggungjawaban Sistematika

Sistematika skripsi ini diawali Bab I, Pendahuluan, berisikan gambaran umum permasalahan, yang merupakan pengantar pembahasan pada bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metodologi penelitian.

Bab II dengan judul bab Disparitas Dalam Tindak Pidana Korupsi. Bab kedua ini berisi Disparitas Korupsi, Pertimbangan Hakim Dalam Menilai Pembuktian dan Penjatuhan Pidana Dalam Tindak Pidana Korupsi, Pertimbangan Putusan Hakim Dalam Perkara Pidana, Dapat Dibatalkan, Batal Demi Hukum dan Konsekuensinya.

Bab III, dengan judul Metode Penelitian. Bab ketiga ini berisi tipe dan jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan dan pengolahan data, metode analisis data, lokasi penelitian, waktu penelitian, jadwal penelitian dan rincian biaya serta pertanggungjawaban sistematika.

Bab IV, dengan judul bab Penutup, yang mengakhiri seluruh rangkaian uraian dan pembahasan. Bab ini sub babnya terdiri atas kesimpulan berisi jawaban atas masalah dan saran sebagai alternatif pemecahan masalah.


(41)

BAB II

DISPARITAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

2.1. Penerapan Disparitas

Disparitas hanya dapat diterapkan dalam putusan perkara pidana ternyata terdapat kesenjangan dalam penjatuhan pidana, sehingga masyarakat berangkapan sebagai bukti ketiadaan keadilan. Disparitas pidana timbul karena adanya penjatuhan hukuman yang berbeda terhadap tindak pidana yang sejenis, atau antara tindak pidana yang mempunyai tingkat keseriusan yang sama, atau yang dijatuhkan oleh satu majelis hakim atau antara pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim yang berbeda untuk tindak pidana yang sama. Jadi dalam perkara yang sama, misalnya tidak pidana korupsi baik diadili di Pengadilan Negeri yang sama maupun Pengadilan Negeri di daerah lain ternyata putusan hakim yang dijatuhkan berbeda. Penjatuhan pidana ini tentunya adalah hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pelaku tindak pidana sehingga dapatlah dikatakan bahwa figur hakim di dalam hal timbulnya disparitas pemidanaan sangat menentukan.

Hakim yang memutuskan perkara sejenis tetapi hukuman yang dijatuhkan berbeda terdapat berbagai faktor penyebabnya sa;lah satu di antaranya tidak adanya pedoman pemidanaan bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Dengan tidak adanya pedoman pemidanaan akan


(42)

menyulitkan hakim dalam menetapkan pemidanaannya, setelah terbukti bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya.

Sebenarnya jika terjadinya disparitas tersebut disebabkan karena tidak adanya pedoman tentunya tidak tepat, karena tidak jarang dalam perkara pidana korupsi terjadi suatu perbedaan dalam putusannya, karena sebagaimana yang saat ini sering terjadi hakim membebaskan pelaku tindak pidana korupsi dengan pertimbangan bukti-buktinya kurang kuat, atau bahwa terjadinya kerugian negara tersebut karena terjadi kesalahan administratif.

Perbedaan putusan hakim dalam perkara pidana yang sejenis tersebut menjadi tidak jelas dan membingungan para praktisi maupun akademisi ketika mengacu pada salah satu butir dari hasil simposium IKAHI 1975 yang menyatakan: “Untuk menghilangkan adanya perasaan-perasaan tidak puas terhadap putusan hakim pidana yang pidananya berbeda sangat menyolok untuk pelanggaran hukum yang sama, maka dirasa perlu untuk mengadakan usaha-usaha agar terdapat penghukuman yang tepat dan serasi. Akan tetapi uniformitas mutlak bukanlah yang dimaksudkan, oleh karena bertentangan dengan prinsip kebebasan hakim, yang perlu hanyalah keserasian pemidanaan dengan rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan pembangunan bangsa dengan mempertimbangkan rasa keadilan si terhukum. Untuk keserasian ini diperlukan suatu pedoman/indikator dalam bentuk yang dinamakan checking points yang disusun setelah mengadakan simposium atau seminar, baik yang bersifat regional maupun


(43)

nasional dengan mengikutsertakan ahli-ahli yang disebut behavior scientist.”(Istilah uniformitas pemidanaan ini dirasa dapat menimbulkan pengertian yang kurang sesuai dan oleh karenanya kata ketetapan dan keserasian pemidanaan lebih dipergunakan).

Hakim memeriksa dan mengadili perkara dalam putusannya tidak jarang membingungkan masyarakat, yang tidak lepas hakim dalam menjalankan tugasnya terlalku berpedoman pada ketentuan Pasal 24 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 memberikan landasan hukum bagi kekuasaan hakim dimana kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Ketentuan ini telah memberikan jaminan terhadap kebebasan lembaga peradilan sebagai lembaga yang merdeka, termasuk didalamnya, kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya. Hakim bebas memilih jenis pidana, karena tersedia jenis pidana didalam pengancaman pidana dalam ketentuan perundang-undangan pidana. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 12 ayat (2) KUHP, yang menyebutkan bahwa pidana penjara waktu tertentu paling pendek 1 (satu) hari dan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut turut. Sedangkan dalam ayat (4) nya diatur bahwa pidana penjara selam waktu tertentu sekali sekali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Demikan pula dengan halnya pidana kurungan dalam pasal 18 ayat 1 KUHP, dinyatakan bahwa pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun, sedangkan dalam pasal 18 ayat 3 KUHP diatur bahwa pidana kurungan sekali kali tidak boleh lebih


(44)

dari satu tahun empat bulan. Didalam pasal 30 KUHP, diatur bahwa pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh sen. Apabila pidana denda tidak dibayar, ia digani dengan pidana kurungan dan lamanya pidana kurungan pengganti denda paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Selain itu tidak jarang ketika putusan hakim diprotes, dengan santainya memberikan jawaban bahwa masih anak lembaga upaya banding maupun kasasi.

Padahal dengan putusan yang berbeda tersebut dapat menimbulkan suatu kesan masyarakat yang pesimis terhadap sistem peradilan, dengan pesimistisnya masyarakat sebagai bukti bahwa suatu pemerintahan gagal mencegah terjadinya tindak pidana, pemerintah seakan-akan mendorong terjadinya tindak pidana misalnya tindak pidana korupsi dan merintangi tindakan-tindakan perbaikan terhadap para pelanggar.

Meskipun demikian bukan berarti disparitas putusan tersebut dilarang. Disparitas putusan masih diperkenankan terhadap penghukuman delik-delik yang agak berat, namun disparitas pemidanaan tersebut harus disertai dengan alasan-alasan pembenaran yang jelas, atau disparitas pemidanaan dapat dibenarkan apabila itu beralasan ataupun wajar.

Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa disparitas dapat diterapkan dalam menangani kasus tindak pidana salah satu di antaranya tindak p;idana korupsi. Terjadinya disparitas putusan hakim salah satu faktor penyebabnya yaitu tidak adanya suatu pedoman yang pasti digunakan oleh hakim dalam mengabil putusan, yang menjadikan


(45)

masyarakat kebingungan dan pesimistis terjadinya pemberantasan tidak pidana korupsi misalnya.

2.2. Putusan Pengadilan Dalam Kasus Tindak Pidana Korupsi yang Didalamnya Menerapkan Disparitas

2.2.1. Kasus Pertama

2.2.1.1. Fakta Hukum

Para terdakwa adalah anggota DPRD Kabupaten Banggai, secara bersama-sama sebagai Panitia anggaran/anggota DPRD Kabupaten Banggai, yaitu antara tahun 2001 sampai dengan tahun 2004, melaksanakan Rapat Panitia Anggaran Legislatif, mengusulkan dan menyepakati tunjangan kesejahteraan Anggota DPRD Kabupaten Banggai Tahun 2004 yang dituangkan dalam Rencana anggaran Satuan kerja (RASK) sebesar Rp. 3.968.600.000,- (Tiga milyar sembilan ratus enam puluh delapan juta enam ratus ribu rupiah).

Rangkaian penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Banggai Tahun Anggaran (TA) 2004, Drs. H. Djar’un Sibay sebagai Ketua merangkap anggota dan Suryanto sebagai Anggota bersama-sama dengan Anggota Panitia Anggaran DPRD Kabupaten Banggai lainnya membahas dan menyetujui yang mana dalam Anggaran Belanja DPRD tersebut telah dianggarkan Tunjangan Kesejahteraan/Tunjangan Kesehatan seluruhnya sebesar Rp. 3.123.600.000,- (Tiga milyar seratus dua puluh tiga juga enam ratus ribu rupiah) tanpa


(46)

didukung rincian sub mata anggaran. Setelah anggaran disahkan dan ditetapkan, maka Tunjangan Kesejahteraan/Tunjangan Kesehatan direalisasikan pembayarannya kepada seluruh anggota DPRD Kabupaten Bangga termasuk Drs. H. Djar’un Sibay dan Suryanto dalam bentuk uang pesangon masing-masing menerima uang tunai sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), selain itu juga dibayarkan uang kesejahteraan dalam bentuk yang tunai masing-masing sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) ditambah Rp. 6.000.000,- (enam juta rupiah) untuk Drs. H. Djar’un Sibay sebagai Ketua merangkap anggota ditambah lagi sejumlah Rp. 24.000.000,- (Dua puluh empat juta rupiah). Pimpinan dan Anggota DPRD Kabupaten Banggai juga diasuransikan pada maskapai Asuransi AJB Bumi Putra 1912 untuk 40 (empat puluh) orang untuk masa 5 (lima) tahun dengan premi asuransi sebesar Rp. 130.681.500,- (seratus tiga puluh juta enam ratus delapan puluh satu ribu lima ratus rupiah). Uang pertanggungan diterima oleh pimpinan dan anggota DPRD Kabupaten Banggai dalam bentuk uang tunai berupa nilai tunai seluruhnya sebesar Rp. 751.955.265,- (Tujuh ratus lima puluh satu juta sembilana ratus lima puluh lima ribu dua ratus enam puluh lima rupiah).

Drs. H. Djar’un Sibay menerima uang Dana Askum, sebesar Rp. 33.420.973,- (Tiga puluh tiga juta empat ratus dua puluh ribu sembilan ratus tujuh puluh tiga rupiah) dan Suryanto menerima uang Dana Askum, sebesar 31.000.000,- (Tiga puluh satu juta rupiah). Semua perbuatan Drs. H. Djar’un Sibay dan Suryanto tersebut yang telah menerima tunjangan kesejahteraan/


(47)

tunjangan kesehatan, penerimaan nilai tunai asuransi, dan honor/insentif Pimpinan DPRD adalah perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku antara lain Pasal 101 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD yang pada pokoknya menyatakan bahwa kedudukan protokoler dan keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diatur dengan PP dan Pasal 52 ayat (3) PP No. 1/2001.

Bahwa dari perbuatan Drs. H. Djar’un Sibay dan Suryanto merugikan keuangan/perekonomian negara sebesar Rp. 4.354.043.288 (Empat milyar tiga ratus lima puluh empat juta empat puluh tiga ribu dua ratus dua puluh delapan rupiah), dari jumlah tersebut masing-masing anggota telah menerima tunjangan.

2.2.1.2. Putusan Pengadilan Negeri

Atas perbuatannya tersebut negara atau perekonomian negara dirugikan seluruhnya sebesar Rp. 4.354.043.288,- (empat milyar tiga ratus lima puluh empat juta empat puluh tiga ribu dua ratus delapan puluh delapan rupiah). Meskipun para terdakwa mempunyai posisi yang sama, namun pemberkasan dipisah menjadi dua berkas dan diadili dua hakim yang berbeda, dan kenyataannya sebagaimana putusan Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 112/Pid.B/2005/PN.Lwk tanggal 24 Mei 2006, Amar Putusan sebagia berikut : Menjatuhkan Pidana penjara terhadap para Terdakwa tersebut oleh karenanya, masing-masing dengan pidana penjara yaitu :


(48)

- Terdakwa I Drs. H. Djar’un Sibay selama 2 (dua) tahun - Terdakwa II Suryanto selama 1 (satu) tahun

2.2. 1.3. Putusan Pengadilan Tinggi

Amar Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu No. 65/PID/2006/PT.PALU tanggal 08 November 2006 sebagai berikut :

1. Menghukum para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing:

- Terdakwa I Drs. H. Djar’un Sibay selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan

- Terdakwa II Suryanto selama 2 (dua) tahun

2.2.1.4. Putusan Mahkamah Agung

Mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : I. Drs. H. Djar’un Sibay., II. Suryanto, tersebut ;

Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu No.65/PID72006/PT.PALU tanggal 08 November 2006 yang memperbaiki Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 112/Pid.B/2005/PN.LWK tanggal 24 Mei 2006 ;

1. Menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana

2. Melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum

3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan


(49)

4. Memerintahkan agar terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan, kecuali terdakwa ditahan karena perkara lain ;

5. Menetapkan barang bukti dikembalikan kepada darimana barang bukti tersebut disita

2.2.2. Kasus Kedua 2.2.2.1. Fakta Hukum

Bahwa mereka Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III dan Terdakwa IV masing-masing selaku anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banggai Periode 1999 – 2004, telah melakukan atau turut melakukan perbuatan memperkaya diri sendir atau orang lain, atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, perbuatan para Terdakwa dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut :

Bahwa mereka Terdakwa I, Terdakwa II, Terdakwa III dan Terdakwa IV selakau anggota Panggar/Anggota DPRD Kabupaten Banggai lainnya telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu pada hari Kamis tanggal 4 Desember 2003 dilakukan rapat Panitia Anggaran Legislatif dalam rangka membahas Rencana Anggaran Satuan Kerja DPRD kabupaten Banggai Tahun 2004. Dalam pembahasan Rencana Anggaran Satuan Kerja (RSAK) tersebut telah disepakati tunjangan kesejahteraan Anggota DPRD Kabupaten banggai Tahun 2004 sebesar Rp. 3.968.600.000,- (tiga milyar sembilan ratus enam puluh delapan juta enam ratus ribu rupiah).


(50)

- Pada tanggal 29 Januari 2004 diadakan Rapat Paripurna DPRD Kabupaten Baggai dengan agenda pengambilan keputusan terhadap RAPBD Tahun 2004. Hasil rapat Paripurna tersebut memutuskan besarnya tunjangan kesejahteraan/tunjangan kesehatan bagi anggota DPRD Kabupaten Baggai Tahun 2004 sebesar Rp. 3.123.600.000,- (tiga milyar seratus dua puluh tiga juta enam ratus ribu rupiah)

- Bahwa dalam penyusunan dan penetapan maupun penerimaan Anggaran Belanja DPRD Tahun 2004 berupa tunjangan kesejahteraan dalam bentuk uang pesangon dan asuransi tidak didasarkan atau menyimpang dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 110 Tahun 2000 tentang Kedudukan Keuangan DPRD dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 161/322/SJ tanggal 29 Desember 2003 perihal Pedoman tentang Kedudukan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Di dalam PP tersebut yang dimaksud dengan tunjangan kesejahteraan adalah :

- Asuransi kesehatan’

- Perumahan/sewa rumah dinas beserta perlengkapannya; - Pakaian dinas;

- Santunan bagi anggota DPRD yang meninggal dunia sebagai uang duka.

- Berdasarkan hasil penghitungan ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Negara Cq. Pemerintah Daerah Kabupaten Banggai mengalami kerugian sebesar Rp. 3.494.527.933,- (tiga milyar


(51)

empat ratus sembilan puluh empat juta lima ratus dua puluh tujuh ribu sembilan ratus tiga puluh tiga rupiah).

- Dari kerugian negara di atas, masing-masing Terdakwa telah menerima tunjangan kesejahteraan dalam bentuk uang pesangon dan Asuransi Perkumpulan untuk kepentingan pribadi atau perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain.

Perbuatan mereka Terdakwa tersebut di atas sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 20 Tahun 2001 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP;

Tuntutan Pidana Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Luwuk tanggal 16 Mei 2005 sebagai berikut :

- Menjatuhkan terhadap Para Terdakwa tersebut oleh karenanya masing-masing dengan pidana penjara :

- Terdakwa I : 4 (empat) tahun dikurangi selama Terdakwa

berada dalam tahanan sementara;

- Terdakwa II : 3 (tiga) tahun dikurangi selama Terdawa berada dalam tahanan sementara.

- Terdakwa III : 3 (tiga) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalamtahanan sementara

- Terdakwa IV : 4 (empat) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara.


(52)

2.2.2.2. Putusan Pengadilan Negeri

Putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 18/Pid.B/2005/PN.Luwuk Dengan Terdakwa Husen Mahdali yakni sebagai terdakwa Pertama di jatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 3 (tiga) bulan, Yorris Marthianus sebagai terdakwa kedua di jatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun, Musaddad Mile sebagai terdakwa ketiga dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun, Yusuf Djalil sebagai terdakwa keempat dijatuhi pidana penjara 1 (satu) tahun 3 (tiga) bulan.

2.2.2.3. Putusan Pengadilan Tinggi

Putusan Pengadilan Tinggi Palu No.56/ Pid/ 2005/ PT. Palu menghukum para terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara dengan masing-masing :

Husen Mahdali : 2 (dua) tahun Yorris Marthianus : 2 (dua) tahun Musaddad Mile : 2 (dua) tahun Yusuf Djalil : 2 (dua) tahun

2.2.2.4. Putusan Mahkamah Agung

Mahkamah Agung Republik Indonesiayang memeriksa pada tingkat kasasi, dalam putusannya No. 646 K/Pid/2006, tertanggal 10 Agustus 2006 1. Menolak permohonan kasasi dari Para Pemohon Kasasi/Terdakwa I,


(53)

2. Menghukum Para Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara masing-masing yaitu :

- Terdakwa I Husen Mahdali selama 2 (dua) tahun; - Terdakwa II Yorris Marthianus selama 2 (dua) tahun; - Terdakwa III Musaddad Mile selama 2 (dua) tahun; - Terdakwa IV Jusuf Djalil selama 2 (dua) tahun;

Pertimbangan hukum Mahkamah Agung dalam tingkat Kasasi sebagai berikut :

1. Perbuatan para Terdakwa bukan merupakan perbuatan melanggar hukum

(tindak pidana) karena suatu konsep/draf bukan merupakan produk hukum yang mempunyai kekuatan mengikat;

2. Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2004 adalah sah karena tidak dibatalkan oleh gubernur Sulawesi Tengah sesuai (Undang-Undang No. 22 Tahun 1999)

3. Peraturan Daerah yang sah adalah bukan perbuatan melawan hukum PP No. 110 Tahun 2000 berdasarkan Putusan MA No. 04/S/HUM/ 2001, telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berdasarkan Pasal 1 (2) KUHP kalau ada perubahan ketentuan peraturan perundangan maka yang digunakan adalah ketentuan yang menguntungkan bagi Terdakwa.

4. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata bahwa perbuatan para Terdakwa memang terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak


(54)

pidana oleh karenanya para Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum:

Dari uraian-uraian tersebut di atas maka bila terdapat penyimpangan dalam penetapan Perda APBD tersebut tunduk pada ketentuan Pasal 113 dan 114 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 karena merupakan perbuatan yuridis ke Tatanegaraan sedangkan terhadap Terdakwa-Terdakwa yang telah menerima kesejahteraan/pesangon dan uang habis kontrak Asuransi Kumpulan (ASKUM) tersebut dengan demikian bukanlah merupakan perbuatan yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Mahkamah Agung berpendapat, bahwa putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu No. 65/PID/2006/PT.PALU tanggal 08 November 2006 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 112/Pid.B/2005/ PN.LWK tanggal 24 Mei 2006 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara tersebut seperti tertera di bawah ini :

Menimbang bahwa oleh karena permohonan kasasi dari para Pemohon Kasasi/para Terdakwa dikabulkan dan para Terdakwa dilepaskan dari segala tuntutan hukum, maka biaya perkara dalam semua tingkat peradilan dibebankan kepada negara.

Memperhatikan pasal-pasal dari Undang-Undang No. 4 Tahun 2004, Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 dan peraturan perundang-undangan lain yang bersangkutan ;


(55)

Mengadili :

Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : I Drs. H. Djar’un Sibay, II Suryanto, tersebut; Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawei Tengah di Palu No. 65/PID/2006/PT.PALU tanggal 08 November 2006 yang memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Luwuk No. 112/Pid.B/2005/PN.LWK tanggal 24 Mei 2006;

1. Menyatakan para terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana;

Memperhatikan uraian kedua kasus tersebut di atas nampak bahwa dalam kasus yang sama, namun Mahkamah Agung dalam putusannya berbeda. Sebagaimana kasus 1 (Djar`un Sibay dan Suryanto) Mahkamah Agung dalam putusannya melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum. Sedangkan pada kasus 2 (Husen Mahdali cs), menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana korupsi masing-masing pidana penjara selama 2 (dua) tahun.

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Djar`un Sibay dan Suryanto tersebut di batas disertai pertimbangan hukum

Putusan Mahkamah Agung dalam kasus Djar`un Sibay dan Suryanto tersebut di batas disertai pertimbangan hukum perbuatan para Terdakwa bukan merupakan perbuatan melanggar hukum (tindak pidana) karena suatu konsep/draf bukan merupakan produk hukum yang mempunyai kekuatan mengikat, Peraturan Daerah Kabupaten Banggai Nomor 1 Tahun 2004 adalah sah karena tidak dibatalkan oleh gubernur Sulawesi Tengah sesuai (Undang-Undang No. 22 Tahun 1999), Peraturan Daerah yang sah adalah bukan perbuatan melawan hukum PP


(56)

No. 110 Tahun 2000 berdasarkan Putusan MA No. 04/S/HUM/ 2001, telah dinyatakan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan berdasarkan Pasal 1 (2) KUHP kalau ada perubahan ketentuan peraturan perundangan maka yang digunakan adalah ketentuan yang menguntungkan bagi Terdakwa. Hal ini berarti bahwa dalam kasus Djar`un dan Suryanto menganggap bahwa yang terjadi adalah adanya suatu kesalahan dalam lingkup hukum administrasi, sehingga meskipun negara dirugikan, namun kerugian yang ditimbulkan oleh hukum administrasi, maka bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum, sehingga meskipun negara dirugikan, kerugian tersebut bukan merupakan suatu perbuatan pidana. Sedangkan dalam kasus Husen Mahdali cs disertai pertimbangan hukum

Memperhatikan uraian sebagaimana di atas nampak bahwa jika Pengadilan Negeri dalam putusannya membedakan antara terdakwa I, II, III dan terdakwa IV yang masing-masing dengan pidana penjara selama 4, 3, 3 dan 4 tahun, Pengadilan Tinggi dalam putusannya menjatuhkan pidana yang sama yaitu masing-masing 2 (dua) tahun, demikian juga Mahkamah Agung yang memeriksa pada tingkat kasasi menjatuhkan putusan yang sama, yaitu masing-masing terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 2 (dua) tahun. Hal ini berarti bahwa terhadap terdakwa yang sama yang diadili secara bersama-sama terjadi suatu perbedaan dalam penjatuhan pidana (disparitas) terutama antara putusan Pengadilan Negeri dengan Mahkamah Agung.

Disparitas putusan memang diperkenankan, asalkan tidak menyimpang dari pertimbangan sebagaimana ketentuan Pasal 197 Ayat (1) huruf f KUHAP,


(57)

bahwa: “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.” Kemudian dipertegas lagi dalam penjelasan dari Pasal 197 Ayat (2) KUHAP, bahwa: “Kecuali yang tesebut dalam pada huruf a,e,f dan h, apabila terjadi sesuatu kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum”.

Jadi perbandingan antara putusan pertama yang terdakwanya Djar’un cs dan putusan kedua dengan terdakwa Mahdali cs dapat dikatakan disparitas pidana itu dapat kita lihat dari uraian di atas antara perbandingan putusan pertama dan kedua disitu dapat kita lihat dari proses putusan dari tingkat Pengadilan Negeri sampai Tingkat Mahkamah Agung yakni pada tingkatan Putusan Mahkamah Agung yang dikatakan disparitas putusan itu dapat kita lihat yakni terdakwa Djar’un cs dinyatakan Melepaskan para terdakwa dari segala tuntutan hukum sedangkan dalam kasus Husen Mahdali cs masing masing terdakwa dikenakan hukuman 2 (dua) tahun penjara karena terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi.

Hal ini berarti bahwa dalam kasus Djar`un dan Suryanto menganggap bahwa yang terjadi adalah adanya suatu kesalahan dalam lingkup hukum administrasi, sehingga meskipun negara dirugikan, namun kerugian yang ditimbulkan oleh hukum administrasi, maka bukan merupakan suatu perbuatan melawan hukum, sehingga meskipun negara dirugikan, kerugian tersebut bukan


(58)

merupakan suatu perbuatan pidana. Sedangkan dalam kasus Husen Mahdali cs disertai pertimbangan hukum


(59)

BAB III

AKIBAT HUKUM DISPARITAS PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA KORUPSI

3.1. Faktor yang Mempengaruhi Terhadap Terjadinya Disparitas Hukuman Dalam Putusan Hakim Tentang Tindak Pidana Korupsi

Disparitas putusan hakim dalam menangani masalah tindak pidana korupsi sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan, karena berat ringannya putusan hakim tersebut bersifat yuridis dengan didasarkjan atas fakta yang terungkap di dalam persidangan dan oleh undang-undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat di dalam putusan.

Pertimbangan yang bersifat yuridis tersebut di antaranya berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:

a. Dakwaan jaksa penuntut umum. b. Keterangan saksi.

c. Keterangan terdakwa. d. Barang-barang bukti.

e. Pasal-pasal dalam Undang-Undang tindak pidana korupsi.

Dakwaan merupakan dasar hukum acara pidana karena berdasarkan itulah pemeriksaan di persidangan dilakukan. Dakwaan berisi identitas terdakwa juga memuat uraian tindak pidana serta waktu dilakukannya tindak pidana dan memuat pasal yang dilanggar. Perumusan dakwaan didasarkan dari hasil pemeriksaan pendahuluan yang dapat disusun tunggal, kumulatif, alternatif maupun subsidair. Hakim memeriksa berdasarkan surat dakwaan


(1)

memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Dalam melaksanakan pengawasan, Komisi Yudisial wajib: menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Pelaksanaan tugas tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Badan peradilan dan hakim wajib memberikan keterangan atau data yang diminta Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan terhadap perilaku hakim dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal permintaan Komisi Yudisial diterima. Dalam hal badan peradilan atau hakim tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi wajib memberikan penetapan berupa paksaan kepada badan peradilan atau hakim untuk memberikan keterangan atau data yang diminta. Dalam hal badan peradilan atau hakim telah diberikan peringatan atau paksaan tetap tidak melaksanakan kewajibannya, pimpinan badan peradilan atau hakim yang bersangkutan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian. Semua keterangan dan data bersifat rahasia. Ketentuan

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(2)

lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan tugas diatur oleh Komisi Yudisial. Sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, usul penjatuhan sanksi terhadap hakim, dapat berupa: teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian. Usul penjatuhan sanksi beserta alasan kesalahannya bersifat mengikat, disampaikan oleh Komisi Yudisial kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Usul penjatuhan sanksi diserahkan oleh Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi. Hakim yang akan dijatuhi sanksi diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Hakim. Dalam hal pembelaan diri ditolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak pembelaan diri ditolak oleh Majelis Kehormatan Hakim. Keputusan Presiden mengenai pemberhentian hakim, ditetapkan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung, sebagaimana pasal 23 UU Yudisial.


(3)

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan

1. Disparitas diterapkan dalam kasus tindak pidana di mana dalam kasus yang sejenis, namun putusan hakim berbeda, salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya disparitas adalah tidak adanya suatu pedoman yang digunakan oleh hakim dalam menjatuhkan putusan. Disparitas putusan hakim memang diperkenankan asalkan hakim dalam putusannya didasarkan atas pertimbangan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa sesuai dengan ketentuan pasal 197 KUHAP.

2. Akibat hukum disparitas penjatuhan pidana pada perkara korupsi, di mana hakim yang menjatuhkan putusan tidak didasarkan atas tidak mencatumkan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa, bukan karena terjadi salah ketik, melainkan ada suatu kesengajaan dengan berbagai pertimbangan yang perlu dicurigai, maka putusan tersebut adalah batal demi hukum.

63

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(4)

4.2. Saran

1. Komisi Yudisial agar memberikan pengawasan yang ketat kepada hakim dalam memeriksa suatu putusan Tindak Pidana Korupsi.

2. Hendaknya memberikan sanksi yang berat kepada hakim yang memeriksa tindak pidana korupsi agar penjatuhan pidana tidak didasarkan pertimbangan yang memberatkan dan meringankan tidak terjadi.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandungh, 2004.

Adami Chazawi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayu Media Publiching, Jakarta, 2005.

A.Hamzah, dan Siti Rahayu, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan Di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta, 1983

Andi Hamzah, Korupsi Di Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1986.

Darwan Prints, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.

E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM.PTHM, Jakarta, 1982.

Gregorius Aryadi, “Putusan Hakim dalam Perkara Pidana” (Studi Kasus tentang Pencurian dan Korupsi di Daerah Istimewa Yogyakarta).

Harkristuti Harkrsnowo, “Rekonstruksi Konsep Pemidanaan: Suatu Gugatan terhadap Proses Legislasi dan Pemidanaan di Indonesia”, dalam majalah KHN Newsletter, Edisi April 2003, (Jakarta:KHN,2003).

Himawan Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 1995

Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan , Eksepsi dan Putusan Peradilan), Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996.

Moh. Kusnardi dan Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1983.

Muladi, dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2005.

Nurul Widiasih Disparitas pidana dalam kasus tindak pidana kekerasan fisik dalam rumah tangga di wilayah hukum Bandar lampung. Tesis Jakarta, juli 2009

Hak Cipta © milik UPN "Veteran" Jatim :


(6)

Oemar Seno Adji, “Hukum-hukum Pidana”, Erlangga, Jakarta, 1984.

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Grup, Jakarta, 2005

Ridwan Halim, Hukum Pidana dalam Tanya Jawab, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum¸ Universitas Indonesia, Jakarta, 1984.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986.

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2002.